makalah dm farter 2 dila.docx
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan masalah kesehatan global, di mana
dilaporkan lebih dari 14 juta penduduk di Indonesia dan 246 juta di dunia menderita
diabetes. Penyakit ini dapat mengancam hidup dan memperburuk kualitas hidup (1).
Jumlah penderita DM di Indonesia terus meningkat, menempati urutan keempat
terbesar di dunia setelah India, China, dan Amerika Serikat. Penyakit DM dapat
menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi. Data dari Departemen Kesehatan
menunjukkan,jumlah pasien DM rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit
menempati urutan pertama. Tahun 1995 jumlah pengidap diabetes diperkirakan 4,5
juta, tahun 2005 diperkirakan menjadi 12 juta penderita, dan 14 juta orang pada tahun
2006. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan negara dengan penderita DM terbanyak keempat di dunia setelah India,
China dan Amerika Serikat, dengan perkiraan penderita DM mencapai angka 21,3 juta
orang pada 2030 (1) (2).
Berdasarkan latar belakang inilah, pada makalah akan dibahas mengenai
penyakit Diabetes Melitus dan cara penanggulangannya.
1
BAB IIISI
II.1 Definisi dan Klasisikasi Diabetes MelitusDiabetes Melitus adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuria,
polidipsi, dan polifagi, disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemia (glukosa puasa lebih besar dari 126 mg/dl atau postprandial lebih besar
dari 200 mg/dl). Bila DM tidak segera diatasi akan terjadi gangguan metabolisme lemak
dan protein, dan resiko timbulnya gangguan mikrovaskular atau makrovaskular
meningkat (3).
Melihat etiologinya, DM dapat dibedakan menjadi: DM tipe 1, adanya gangguan
produksi insulin akibat penyakit autoimun atau idiopatik, disebut Insulin Dependent
Diabetes Melitus atau IDDM, karena pasien mutlak membutuhkan insulin. DM tipe 2,
akibat resistensi insulin atau gangguan sekresi insulin, terkadang cukup diberikan anti-
diabetik oral, disebut dengan Noninsulin Dependent Diabetes Melitus atau NIDDM.
Jenis lain lagi, yaitu gestational diabetes melitus; DM akibat penyakit endokrin atau
pankreas atau akibat penggunaan obat (3).
Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association dijelaskan dalam tabel di
bawah ini (4):
2
3
II.2 DM tipe 1
Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena
paparan agen infeksi atau lingkungan, yaitu racun, virus (rubella kongenital, mumps,
coxsackievirus dan cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai, gandum dan
susu sapi). Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolute yang disebabkan
oleh lesi atau nekrosis sel β berat. Hilangnya fungsi sel β mungkin disebabkan oleh
invasi virus, kerja toksin kimia atau umumnya melalui kerja antibodi autoimun yang
ditujukan untuk melaswan sel β. Akibat dari destruksi sel β, pancreas gagal berespon
terhadap masukan glukosa dan diabetes Tipe I menunjukkan gejala klasik defisiensi
insulin (polidipsia, polifagia, dan poliurea) (5).
Penatalaksanaannya diberikan insulin. Untuk memenuhi kebutuhan insulin basal
digunakan insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) atau kerja panjang
(long-acting insulin) sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah
makan) digunakan insulin kerja cepat (reguler/short-acting insulin) atau insulin kerja
sangat cepat (rapid-atau ultra-rapid acting insulin). Di pasaran, selain tersedia insulin
dengan komposisi tersendiri, juga ada sediaan yang sudah dalam bentuk campuran
antara insulin kerja cepat cepat dengan kerja menengah (disebut premixed insulin) (6).
Pada tabel di bawah dilampirkan contoh sediaan insulin beserta
farmakokinetiknya (6):
4
Pada gambar di bawah ini dijelaskan mengenai profil farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog. Sumber HIRSH IB N. Engl. J. Med. 2005 :
5
II.3 DM Tipe 2
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa
membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang
merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena
terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya
masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut
dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama
bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi
terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya
asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan
sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah
terjadi komplikasi (7).
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan
pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi
pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu
jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen
hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes
(tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-
penyakit lain dan komplikasi yang ada. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga
membutuhkan terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah (7).
Ada 5 golongan antidiabetik oral (ADO) yang dapat digunakan untuk mengobati
DM dan telah dipasarkan di Indonesia yakni golongan : sulfonylurea, meglitinid,
biguanid, penghambat α-glikosidase, dan tiazolidinedion. Kelima golongan obat ini
dapat diberikan pada DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan
latihan fisik saja (3):
a. Golongan sulfonilurea : merupakan insulin secretagogues, kerjanya merangsang
sekresi insulin dari granul sel-sel β Langerhans pankreas. Contoh obat
golongan ini adalah sulfonilurea generasi 1 (tolbutamid, tolazamid,
6
asetoheksimid dan klorpropamid) dan sulfonilurea generasi 2
(gliburid/glibenklamid, glipizid, gliklazid, dan glimepirid) Sulfonilurea kerja
panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta
malnutrisi (3).
b. Golongan Meglitinid : cara kerjanya sama dengan sulfonilurea hanya saja
berbeda stuktur kimianya. Contoh obat golongan ini adalah repaglinid dan
meglitinid. Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial (3).
c. Golongan biguanid : Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah
Metformin. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan
produksi glukosa hati. • Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita
diabetes gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin. (7).
Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal
dengan kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis • Metformin tidak mempunyai
efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. • Metformin
mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa diatasi dengan
pemberian sesudah makan (7).
d. Golongan Tiazolidinedion : Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa
perifer. agonist potent dan selektif PPARγ, mengaktifkan PPARγ membentuk
kompleks PPARγ-RXR dan terbentuklah GLUT baru Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi cairan.
Contoh obat golongan ini adalah troglitazon, pioglitazon, dan rosiglitazon (3) (7).
e. Penghambat enzim α-glikosidase. Obat golongan ini memperlambat absorpsi
polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestine. Dengan menghambat kerja
enzim α-glikosidase, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang
normal dan pasien DM. Contohnya akarbosa, bekerja dengan mengurangi
absorbsi glukosa di usus halus. Akarbosa juga tidak mempunyai efek samping
7
hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea. Akarbosa mempunyai efek samping
pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens. (3) (7).
DPP-4 (dipeptydil peptidase) inhibitor bekerja dengan menghalangi aksi DPP-4,
enzim yang menghancurkan hormon incretin. Hormon incretins membantu tubuh
memproduksi lebih banyak insulin hanya bila diperlukan dan mengurangi jumlah
glukosa yang diproduksi oleh hati ketika tidak diperlukan. Hormon-hormon ini
dilepaskan sepanjang hari dan tingkat meningkat pada waktu makan. Obat golongan
increatin mimetic agonis dengan DPP4-inhibitor yaitu meningkatkan kadar insulin dalam
darah. Golongan obat non-thiazolidinedione melemahkan proliferasi sel otot pembuluh
darah halus, di mana efek ini agonis dengan PPAR-γ (peroxisome proliferator-activated
receptor-gamma). Hal ini dapat meningkatkan sensivitas insulin (8).
Pemberian anti-diabetik oral dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian anti-diabetik oral
berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan.
Glinid diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa diberikan
sebelum/sesaat/sesudah makan. Akarbosa diberikan bersama makan suapan pertama.
Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan
saat makan atau sebelum makan. Bila dengan gaya hidup sehat dan monoterapi anti-
diabetik oral glukosa darah belum terkendali maka diberikan kombinasi 2 anti-diabetik
oral, untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 anti-diabetik oral yang cara kerja berbeda,
misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan gaya hidup sehat dan
kombinasi terapi 2 anti-diabetik oral glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan
yaitu yang pertama gaya hidup sehat dan kombinasi terapi 3 anti-diabetik oral atau
gaya hidup sehat dan kombinasi terapi 2 anti-diabetik oral bersama insulin basal, yang
dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang
diberikan malam hari menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa darah tetap tidak
terkendali maka pemberian anti-diabetik oral dapat dihentikan, dan terapi beralih
kepada insulin intensif. (7).
8
II.4 DM Tipe LainDM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik
endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.
Diabetes Melitus Gestasional DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana
intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya
komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk
menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan (7).
II.5 Target Penatalaksanaan DiabetesPenatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target
utama, yaitu:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes, dijelaskan dalam tabel di bawah ini (4):
9
II.6 Terapi Non-farmakologik Diabetes (Gaya Hidup Sehat)
a. Edukasi. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat
yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya
edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi
pasien untuk memiliki perilaku sehat.1,8 Tujuan dari edukasi diabetes adalah
mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami
penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi
yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku
pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada penyandang
diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan
pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan
mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak (7).
b. Terapi Gizi Medis. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu
makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing
individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%,
lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3 g, dan diet cukup
serat sekitar 25 g/hari (7).
c. Latihan Jasmani Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-
masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat
aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan meningkatkan sensitifitas insulin (7).
10
BAB IIIKESIMPULAN
Diabetes Melitus masih merupakan masalah kesehatan yang penting, peran
pelaku kesehatan sangatlah dibutuhkan untuk menanggulangi masalah ini. Edukasi
terhadap masyarakat mengenai penyakit Diabetes Melitus dan penatalaksanaannya
sangatlah diperlukan. Diharapkan ke depannya jumlah penderita Diabetes Melitus
dapat berkurang.
Agar dapat berperan secara profesional dalam pelayanan kefarmasian dan
penatalaksanaan Diabetes Melitus, tentu saja diperlukan dukungan ilmu pengetahuan
dan keterampilan yang memadai, diharapkan dengan adanya makalah ini dapat
menambah informasi mengenai penyakit Diabetes Melitus.
11