makalah apresiasi dan kajian prosa fiksi

Upload: anshory-ahmad

Post on 09-Jul-2015

4.415 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

MAKALAH APRESIASI DAN KAJIAN PROSA FIKSI TENTANG KONSEP-KONSEP DASAR SASTRA

DI SUSUN OLEH : NAMA: MARISSA APRIANI NPM:1021120087

PENDIDIKAN BAHASADAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMDYAH BENGKULU (UMB) TAHUN AJARAN 2011/2012

DAFTAR ISI BAB 1 PENGDAHULUAN 1.1LATAR BELAKANG 1.2RUANG LIMGKUP PENELITIAN 1.3RUMUSAN MASALAH 1.4TUJUAN MASALAH 1.5MANFAAT PENELITIAN

BAB 2 KAJIAN TEORO KONSEP-KONSEP DASAR SASTRA 2.1 2.2 2.3 2.4 DEFIISI WILAYAH SASTRA 3 WILAYAH SASTRA 3 HAKEKAT SASTRA

2.5 CIRI-CIRI SASTRA 2.6 SISTEM DAN KONVENSI SASTRA 2.8 MANFAAT SASTRA

BAB 111 PENUTUP 3.1 KESIMPULAN 3.2 SARAN DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENGDAHULUAN 1.1LATAR BELAKANG Sudah kita pahami pada urian terdahuhu bahwa konsep-konsep dasar adalah salah satu yang harus kita pelajari. Kurangnya rasa ingin tahu terhadap pembelajaran akan menimbulkan ketidaktahuan tentang konsep dasar sastra oleh sebab itu kami akan menyajikan pengertian tentang konsep dasar sastra dengan baik dan benar. 1.2RUANG LINGKUP PENELITIAN Untuk mengetahui pembelajaran dalam sastra Indonesia, kita wajib mengetahui terlebih dahulu tentang kajian sastra dalam konsep-konsep dasar sastra. 1.3RUMUSAN MASALAH Bagaimana peran mahasiswa yang baik agar mengetahui konsep-konsep dasar sastra. 1.4TUJUAN MASALAH 1. Agar mahasiswa memahami dari konsep-konsep karya sastra. 2. Agar mahasiswa mengetahui perbedaan konsep- konsep karya sastra .

15 MANFAAT PENELITIAN 1. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami dengan baik dan benar. 2. Agar mahasiswa menjadikan motivasi dalam belajar.

BAB 11 KAJIAN TEORI

Konsep-konsep Dasar Sastra

2.1 Definisi Sastra menurut Para AhliBanyak sudah definisi sastra yang telah dikemukakan oleh para ahli . Pada dasarnya, definisi tersebut mempunyai dasar pengertian yang sama, meskipun diuraikan dengan kat dan bahasa yang berbeda.Walaupun usaha mendefinisikan sastra sudah dilakukan oleh banyak ahli , batasan yang tepat mengenai sastra itu belum dapat dirumuskan. Batasan-batasan yang ada seringkali hanya didasarkan pads aspek-aspek tertentu sehingga masih terdapat kemungkinan untuk disanggah atau dipertanyakan. Hal tersebut disebabkan adanya celah-celah kelemahan atau terlalu longgarnya batasan-batasan yang ada. Secara intuitif, memang kita mengetahui apa yang disebut sastra itu. Namun, deskripsi dari pengertian yang ada pada pikiran kita itulah yang masih sulit dirumuskan dalam bentuk kalimat yang tepat. Jika kita mencoba merumuskan definisi sastra berdasarkan intuisi tersebut biasanya banyak gejala yang luput dari kalimat yang kita susun. Sebagai contoh, merumuskan kata sastra saja masih banyak perbedaan persepsi. Sastra misalnya dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan , memberi petunjuk atau instruksi, sedang tra berarti alat atau sarana (Teeuw, 1984: 23). Padahal dalam pengertian sekarang (bahasa Melayu), sastra banyak diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su yang berarti indah atau baik. Jadilah susastra yang bermakna tulisan yang indah.

Pengertian sastra yang didasarkan pada makna kata di atas, tentu tidak dapat menggambarkan definisi sastra secara keseluruhan. Hal tersebut misalnya dapat dibandingkan dengan makna sastra yang terdapat dalam bahasa-bahasa Barat. Kerancuan makna pun masih melingkupi makna sastra tersebut. Dalam bahasa Inggris misalnya dikenal istilah literature, Perancis litterature, Jerman literatur, dan Belanda letterkunde. Secara etimologis, katakata tersebut berasal dari bahasa Latin yaitu litterature yang merupakan terjemahan dari kata grammatika yang mengandung makna tats bahasa dan puisi. Namur kenyataannya, dalam pengertian yang dikenal saat ini kata literature ternyata mengacu pada makna segala sesuatu yang tertulis. Padahal jika kits simak lebih jauh, manifestasi makna tersebut tentu tidak dapat menggambarkan sastra dalam pengertian karya fiksi. Seperti diketahui bahwa bentuk-bentuk tulisan pada umumnya yang tidak mengandung unsur estetika bahasa, estetika isi, imajinasi tidak dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Dengan demikian, referensi makna yang didasarkan pada referensi harfiah dari pengertian sastra tidak dapat dipakai sebagai perwujudan pengertian sastra itu sendiri. Jika sampai saat ini banyak pendapat yang mengungkapkan batasan bahwa sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik, bukan berarti bahwa pandangan tersebut dapat menjabarkan pengertian sastra secara tuntas. Banyak hal yang merupakan bagian dari sastra belum terangkum. Secara mendasar, suatu teks sastra setidaknya harus mengandung tiga aspek utama yaitu,decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare (memberikankenikmatan (mampu menggerakkan kreativitas pembaca). Kriteria dasar di atas, tentu saja masih harus dijabarkan lebih lanjut pada bagian-bagian yang lebih khusus. Karena mendefinisikan sastra tidak hanya sekedar mengurai maknanya secara harfiah spontan dan sastra itu bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain, dan mempunyai koherensi antara unsur-unsurnya. Kreativitas dan spontanitas merupakan dasar definisi jaman romantik. Tokoh-tokoh Romantik seperti Sartre, Coleridge ataupun Roland Barthes merupakan pendukung bahwa sastra memang tidak lepas dari kreasi, ekspresi, otonomi, koherensi, dan sintesis, di samping makna yang tidak terhingga. Sebaliknya, kaum formalis, lebih menitikberatkan pada masalah sintaktik dan grafik. Fungsi puitiklah yang dianggap dominan yang tertuang dalam struktur sintaktiknya. Tokoh formalis seperti Mukarovsky, EE Cummings, Sjklovski, Tolstoj selalu berpangkal bahwa unsur puitik yang terefleksi mulai aspek foregrounding merupakan faktor utama. Unsur-unsur tersebut, misalnya, berupa ekuivalensi dan juga penyimpangan struktur-struktur bahasa yang lazim dipakai. Dari sinilah teks sastra ditentukan kualitasnya dan kekhasannya yang istimewa. Merumuskan pengertian sastra secara utuh memang sangat sulit. Karena seperti yang diutarakan oleh Mukarovsky di atas bahwa umumnya definisi yang ada hanya bersifat arsial. Namun demikian, berdasaran definisi historik di atas, paling tidak

secara global dapat dirumuskan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang. spontan yang mampu mengungkapan aspek estetik baik antara aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetika bahasa biasanya , diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface structure) sedang estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure. Mursal Esten menyatakan "sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan)" (1978 : 9). Kemudian dikatakan pula bahwa sastra. adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1988 : 8). Panuti Sudjiman mendefinisikan sastra sebagai "karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya" (1986 : 68). Selain itu, Ahmad Badrun berpendapat bahwa "Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif" (1983 : 16). Menurut Engleton (1988 : 4), sastra yang disebutnya "karya tulisan yang halus" (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil. Keempat definisi di atas berangkat dari dasar pengertian yang sama walaupun diungkapkan dengan kalimat dan bahasa yang berbeda. Selain itu, antara satu definisi dengan definisi yang lain saling melengkapi. Oleh sebab itu, apabila diminta kepada Anda tentang pengertian sastra sebaiknya Anda memberikan rumusan Anda sendiri yang berdasarkan pada pendapat para ahli di atas. Ada satu formula yang diberikan oleh Merrill ( 1983 ) untuk membuat definisi, yaitu: tuliskan nama konsep, tulis kelas superordinat, sebutkan

2.2

Hakikat Sastra

Pengertian sastra yang dikemukakan para ahli di atas, memberikan gambaran bagi kita tentang hakikat sastra itu. Dikemukakan oleh M.Atar Semi (1988:18-19), bahwa ada tiga hakikat sastra, yaitu: sastra menggunakan bahasa, 2) sastra terkait dengan berbagai cabang ilmu dan 3) sastra didukung oleh cerita. Secara singkat, ketiga hakikat sastra tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini. Sebagai suatu hasil karya seni kreatif sastra mempunyai kedudukan yang sama dengan karya seni yang lain. Karya sastra bagi pengarang merupakan

suatu jalan untuk mengemukakan ide, pikiran, atau perasaannya. Pengungkapan semua hal di atas menggunakan alat, sarana, atau media penyampai berupa bahasa, sebagaimana pelukis menggunakan cat dan pematung menggunakan kayu atau batu. Namun demikian, ada satu hal yang harus diingat, bahwa bahasa yang digunakan para sastrawan walaupun pada mulanya berasal dari bahasa yang digunakan dalam kehidupan seharihari, tetapi dalam proses kreativitasnya bahasa tersebut ikut mengalami pengolahan, sehingga tidak sama lagi dengan bahasa komunikasi sehari-hari. Biasa dikatakan bahasa sastra itu bermakna konotatif atau ambigu. Bahasa sastra tidak selalu dapat diartikan secara harfiah atau menurut arti kata yang ada dalam kamus. Hal ini pun menimbulkan sifat khas sastra yang bersifat tidak komunikatif praktis. Sastra pada hakikatnya berkaitan dengan berbagai cabang ilmu. Hakikat sastra ini dapat kita jelaskan dari sudut pengarang, pembaca, atau dari sudut karya sastra itu sendiri.Seorang sastrawan yang akan mencipta sastra sangatlah dituntut memiliki kompetensi bahasa. Hal inilah yang memungkinkan ide, gagasan, atau perasaan yang akan diungkapkan dapat disampaikan. Kompetensi dimaksud bukan hanya sekedar mengetahui kaidah-kaidah yang berlaku atau memahami sistem yang ada pada suatu bahasa. Sastrawan dituntut lebih dari itu. Sastrawan sangat dituntut mampu mengolah bahasa yang akan digunakannya itu secara kreatif sehingga menimbulkan daya pesona bagi pembacanya. Selain itu, ide atau gagasan dan juga perasaan yang akan diungkapkan itu merupakan pengalaman batin sastrawan yang telah melalui proses yang melibatkan berbagai pengetahuan yang dimiliki dan menghendaki pula wawasan yang luas. Banyak pelaku seni sastra yang melakukan studi mendalam tentang objek yang sedang digarapnya. Misalnya, penulis novel Gajah Mada merasa perlu mengadakan perjalanan dan mengunjungi Singapura untuk mendapatkan pemahaman atau gambaran tentang luasnya daerah ekspansi Gajah Mada di Kerajaan Maja Pahit ( Kick andy, Metro TV, Januari, akhir Desember 2007). Cornelia Agata, artis yang memerankan tokoh dokter jiwa dalam drama Kenapa Leonardo? yang diproduksi Teater Koma melakukan studi dengan membaca ilmu psikoanalisa, Sigmun Frud ( Show Biz on Location, 11 Januari,2008 ). Demikian juga dengan penikmat karya sastra, yang tidak cukup hanya menguasai ilmu bahasa saja. Tak jarang seorang pembaca dituntut memiliki ilmu dan wawasan yang luas agar dapat memberikan makna yang sempurna terhadap karya sastra yang dinikmatinya. Hal ini semakin terasa pentingnya apabila aspek kehidupan yang digarap pengarang sangat berjauhan dengan kehidupan pembaca tersebut. Misalnya, seorang pembaca dengan latar

belakang budaya Minangkabau akan merasa sulit saat berhadapan dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk yang berlatarbelakang kebudayaan Jawa tersebut. Pembaca ini tentu harus memahami dahulu aspek kebudayaan Jawa yang dikemukakan pengarang itu. Suatu karya sastra tidak hanya sarat dengan estetika bahasa dan kesastraan saja, tetapi sarat pula dengan berbagai aspek kehidupan yang lain. Seluruh aspek kehidupan manusia akan ditemukan dalam karya sastra. Demikianlah gambaran keterkaitan sastra dengan berbagai cabang ilmu. Suatu saat seorang sastrawan ingin mengemukakan sesuatu. Akan tetapi hal itu sangat rumit untuk diutarakan. Kalau ia mengungkapkan dengan begitu saja, dikhawatirkan pembaca akan sulit menangkap maksudnya dan tentu saja karyanya itu akan sama saja dengan tulisan yang berbentuk laporan biasa. Dalam situasi seperti ini, sering sastrawan memulianya dengan cerita. Dengan demikian, pengarang lebih mudah mengemukakan gagasannya dan pembaca pun lebih senang menerimanya. Selain hal di atas, Rene Wellek dan Austin Warren (1989) mengemukakan sifat imajinatif sebagai hakikat sastra. Maksudnya pengalaman atau peristiwa yang disampaikan sastrawan dalam karyanya bukanlah pengalaman atau peristiwa yang sesungguhnya, sebagaimana yang terdapat dalam realitas objektif. Kendatipun demikian, pengalam dan peristiwa itu telah mengalami proses pengolaahn dengan menggunakan daya imajinasi atau daya khayal sastrawan.

Konsep-konsep Dasar Sastra

2.1 Definisi Sastra menurut Para Ahli

Banyak sudah definisi sastra yang telah dikemukakan oleh para ahli . Pada dasarnya, definisi tersebut mempunyai dasar pengertian yang sama, meskipun diuraikan dengan kat dan bahasa yang berbeda.Walaupun usaha mendefinisikan sastra sudah dilakukan oleh banyak ahli , batasan yang tepat mengenai sastra itu belum dapat dirumuskan. Batasan-batasan yang ada seringkali hanya didasarkan pads aspek-aspek tertentu sehingga masih terdapat kemungkinan untuk disanggah atau dipertanyakan. Hal tersebut disebabkan adanya celah-celah kelemahan atau terlalu longgarnya batasan-batasan yang ada. Secara intuitif, memang kita mengetahui apa yang disebut sastra itu. Namun, deskripsi dari pengertian yang ada pada pikiran kita itulah yang masih sulit dirumuskan dalam bentuk kalimat yang tepat. Jika kita mencoba merumuskan definisi sastra berdasarkan intuisi tersebut biasanya banyak gejala yang luput dari kalimat yang kita susun. Sebagai contoh, merumuskan kata sastra saja masih banyak perbedaan persepsi. Sastra misalnya dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan , memberi petunjuk atau instruksi, sedang tra berarti alat atau sarana (Teeuw, 1984: 23). Padahal dalam pengertian sekarang (bahasa Melayu), sastra banyak diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su yang berarti indah atau baik. Jadilah susastra yang bermakna tulisan yang indah. Pengertian sastra yang didasarkan pada makna kata di atas, tentu tidak dapat menggambarkan definisi sastra secara keseluruhan. Hal tersebut misalnya dapat dibandingkan dengan makna sastra yang terdapat dalam bahasa-bahasa Barat. Kerancuan makna pun masih melingkupi makna sastra tersebut. Dalam bahasa Inggris misalnya dikenal istilah literature, Perancis litterature, Jerman literatur, dan Belanda letterkunde. Secara etimologis, katakata tersebut berasal dari bahasa Latin yaitu litterature yang merupakan terjemahan dari kata grammatika yang mengandung makna tats bahasa dan puisi. Namur kenyataannya, dalam pengertian yang dikenal saat ini kata literature ternyata mengacu pada makna segala sesuatu yang tertulis. Padahal jika kits simak lebih jauh, manifestasi makna tersebut tentu tidak dapat menggambarkan sastra dalam pengertian karya fiksi. Seperti diketahui bahwa bentuk-bentuk tulisan pada umumnya yang tidak mengandung unsur estetika bahasa, estetika isi, imajinasi tidak dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Dengan demikian, referensi makna yang didasarkan pada referensi harfiah dari pengertian sastra tidak dapat dipakai sebagai perwujudan pengertian sastra itu sendiri. Jika sampai saat ini banyak pendapat yang mengungkapkan batasan bahwa sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik, bukan berarti bahwa pandangan tersebut dapat menjabarkan pengertian sastra secara tuntas. Banyak hal yang merupakan bagian dari sastra belum terangkum. Secara mendasar, suatu teks sastra setidaknya harus mengandung tiga aspek utama yaitu,decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare

(memberikankenikmatan (mampu menggerakkan kreativitas pembaca). Kriteria dasar di atas, tentu saja masih harus dijabarkan lebih lanjut pada bagian-bagian yang lebih khusus. Karena mendefinisikan sastra tidak hanya sekedar mengurai maknanya secara harfiah spontan dan sastra itu bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain, dan mempunyai koherensi antara unsur-unsurnya. Kreativitas dan spontanitas merupakan dasar definisi jaman romantik. Tokoh-tokoh Romantik seperti Sartre, Coleridge ataupun Roland Barthes merupakan pendukung bahwa sastra memang tidak lepas dari kreasi, ekspresi, otonomi, koherensi, dan sintesis, di samping makna yang tidak terhingga. Sebaliknya, kaum formalis, lebih menitikberatkan pada masalah sintaktik dan grafik. Fungsi puitiklah yang dianggap dominan yang tertuang dalam struktur sintaktiknya. Tokoh formalis seperti Mukarovsky, EE Cummings, Sjklovski, Tolstoj selalu berpangkal bahwa unsur puitik yang terefleksi mulai aspek foregrounding merupakan faktor utama. Unsur-unsur tersebut, misalnya, berupa ekuivalensi dan juga penyimpangan struktur-struktur bahasa yang lazim dipakai. Dari sinilah teks sastra ditentukan kualitasnya dan kekhasannya yang istimewa. Merumuskan pengertian sastra secara utuh memang sangat sulit. Karena seperti yang diutarakan oleh Mukarovsky di atas bahwa umumnya definisi yang ada hanya bersifat arsial. Namun demikian, berdasaran definisi historik di atas, paling tidak secara global dapat dirumuskan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang. spontan yang mampu mengungkapan aspek estetik baik antara aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetika bahasa biasanya , diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface structure) sedang estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure. Mursal Esten menyatakan "sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan)" (1978 : 9). Kemudian dikatakan pula bahwa sastra. adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1988 : 8). Panuti Sudjiman mendefinisikan sastra sebagai "karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya" (1986 : 68). Selain itu, Ahmad Badrun berpendapat bahwa "Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif" (1983 : 16). Menurut Engleton (1988 : 4), sastra yang disebutnya "karya tulisan yang halus" (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil.

Keempat definisi di atas berangkat dari dasar pengertian yang sama walaupun diungkapkan dengan kalimat dan bahasa yang berbeda. Selain itu, antara satu definisi dengan definisi yang lain saling melengkapi. Oleh sebab itu, apabila diminta kepada Anda tentang pengertian sastra sebaiknya Anda memberikan rumusan Anda sendiri yang berdasarkan pada pendapat para ahli di atas. Ada satu formula yang diberikan oleh Merrill ( 1983 ) untuk membuat definisi, yaitu: tuliskan nama konsep, tulis kelas superordinat, sebutkan

2.2

Hakikat Sastra

Pengertian sastra yang dikemukakan para ahli di atas, memberikan gambaran bagi kita tentang hakikat sastra itu. Dikemukakan oleh M.Atar Semi (1988:18-19), bahwa ada tiga hakikat sastra, yaitu: sastra menggunakan bahasa, 2) sastra terkait dengan berbagai cabang ilmu dan 3) sastra didukung oleh cerita. Secara singkat, ketiga hakikat sastra tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini. Sebagai suatu hasil karya seni kreatif sastra mempunyai kedudukan yang sama dengan karya seni yang lain. Karya sastra bagi pengarang merupakan suatu jalan untuk mengemukakan ide, pikiran, atau perasaannya. Pengungkapan semua hal di atas menggunakan alat, sarana, atau media penyampai berupa bahasa, sebagaimana pelukis menggunakan cat dan pematung menggunakan kayu atau batu. Namun demikian, ada satu hal yang harus diingat, bahwa bahasa yang digunakan para sastrawan walaupun pada mulanya berasal dari bahasa yang digunakan dalam kehidupan seharihari, tetapi dalam proses kreativitasnya bahasa tersebut ikut mengalami pengolahan, sehingga tidak sama lagi dengan bahasa komunikasi sehari-hari. Biasa dikatakan bahasa sastra itu bermakna konotatif atau ambigu. Bahasa sastra tidak selalu dapat diartikan secara harfiah atau menurut arti kata yang ada dalam kamus. Hal ini pun menimbulkan sifat khas sastra yang bersifat tidak komunikatif praktis. Sastra pada hakikatnya berkaitan dengan berbagai cabang ilmu. Hakikat sastra ini dapat kita jelaskan dari sudut pengarang, pembaca, atau dari sudut karya sastra itu sendiri.Seorang sastrawan yang akan mencipta sastra sangatlah dituntut memiliki kompetensi bahasa. Hal inilah yang memungkinkan ide, gagasan, atau perasaan yang akan diungkapkan dapat disampaikan. Kompetensi dimaksud bukan hanya sekedar mengetahui kaidah-kaidah yang berlaku atau memahami sistem yang ada pada suatu bahasa. Sastrawan dituntut lebih dari itu. Sastrawan sangat dituntut mampu mengolah bahasa yang

akan digunakannya itu secara kreatif sehingga menimbulkan daya pesona bagi pembacanya. Selain itu, ide atau gagasan dan juga perasaan yang akan diungkapkan itu merupakan pengalaman batin sastrawan yang telah melalui proses yang melibatkan berbagai pengetahuan yang dimiliki dan menghendaki pula wawasan yang luas. Banyak pelaku seni sastra yang melakukan studi mendalam tentang objek yang sedang digarapnya. Misalnya, penulis novel Gajah Mada merasa perlu mengadakan perjalanan dan mengunjungi Singapura untuk mendapatkan pemahaman atau gambaran tentang luasnya daerah ekspansi Gajah Mada di Kerajaan Maja Pahit ( Kick andy, Metro TV, Januari, akhir Desember 2007). Cornelia Agata, artis yang memerankan tokoh dokter jiwa dalam drama Kenapa Leonardo? yang diproduksi Teater Koma melakukan studi dengan membaca ilmu psikoanalisa, Sigmun Frud ( Show Biz on Location, 11 Januari,2008 ). Demikian juga dengan penikmat karya sastra, yang tidak cukup hanya menguasai ilmu bahasa saja. Tak jarang seorang pembaca dituntut memiliki ilmu dan wawasan yang luas agar dapat memberikan makna yang sempurna terhadap karya sastra yang dinikmatinya. Hal ini semakin terasa pentingnya apabila aspek kehidupan yang digarap pengarang sangat berjauhan dengan kehidupan pembaca tersebut. Misalnya, seorang pembaca dengan latar belakang budaya Minangkabau akan merasa sulit saat berhadapan dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk yang berlatarbelakang kebudayaan Jawa tersebut. Pembaca ini tentu harus memahami dahulu aspek kebudayaan Jawa yang dikemukakan pengarang itu. Suatu karya sastra tidak hanya sarat dengan estetika bahasa dan kesastraan saja, tetapi sarat pula dengan berbagai aspek kehidupan yang lain. Seluruh aspek kehidupan manusia akan ditemukan dalam karya sastra. Demikianlah gambaran keterkaitan sastra dengan berbagai cabang ilmu. Suatu saat seorang sastrawan ingin mengemukakan sesuatu. Akan tetapi hal itu sangat rumit untuk diutarakan. Kalau ia mengungkapkan dengan begitu saja, dikhawatirkan pembaca akan sulit menangkap maksudnya dan tentu saja karyanya itu akan sama saja dengan tulisan yang berbentuk laporan biasa. Dalam situasi seperti ini, sering sastrawan memulianya dengan cerita. Dengan demikian, pengarang lebih mudah mengemukakan gagasannya dan pembaca pun lebih senang menerimanya. Selain hal di atas, Rene Wellek dan Austin Warren (1989) mengemukakan sifat imajinatif sebagai hakikat sastra. Maksudnya pengalaman atau peristiwa yang disampaikan sastrawan dalam karyanya bukanlah pengalaman atau peristiwa yang sesungguhnya, sebagaimana yang terdapat dalam realitas objektif. Kendatipun demikian, pengalam dan peristiwa itu telah mengalami proses pengolaahn dengan menggunakan daya imajinasi atau daya khayal sastrawan.

Konsep-konsep Dasar Sastra

2.1 Definisi Sastra menurut Para AhliBanyak sudah definisi sastra yang telah dikemukakan oleh para ahli . Pada dasarnya, definisi tersebut mempunyai dasar pengertian yang sama, meskipun diuraikan dengan kat dan bahasa yang berbeda.Walaupun usaha mendefinisikan sastra sudah dilakukan oleh banyak ahli , batasan yang tepat mengenai sastra itu belum dapat dirumuskan. Batasan-batasan yang ada seringkali hanya didasarkan pads aspek-aspek tertentu sehingga masih terdapat kemungkinan untuk disanggah atau dipertanyakan. Hal tersebut disebabkan adanya celah-celah kelemahan atau terlalu longgarnya batasan-batasan yang ada. Secara intuitif, memang kita mengetahui apa yang disebut sastra itu. Namun, deskripsi dari pengertian yang ada pada pikiran kita itulah yang masih sulit dirumuskan dalam bentuk kalimat yang tepat. Jika kita mencoba merumuskan definisi sastra berdasarkan intuisi tersebut biasanya banyak gejala yang luput dari kalimat yang kita susun. Sebagai contoh, merumuskan kata sastra saja masih banyak perbedaan persepsi. Sastra misalnya dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan , memberi petunjuk atau instruksi, sedang tra berarti alat atau sarana (Teeuw, 1984: 23). Padahal dalam pengertian sekarang (bahasa Melayu), sastra banyak diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su yang berarti indah atau baik. Jadilah susastra yang bermakna

tulisan yang indah. Pengertian sastra yang didasarkan pada makna kata di atas, tentu tidak dapat menggambarkan definisi sastra secara keseluruhan. Hal tersebut misalnya dapat dibandingkan dengan makna sastra yang terdapat dalam bahasa-bahasa Barat. Kerancuan makna pun masih melingkupi makna sastra tersebut. Dalam bahasa Inggris misalnya dikenal istilah literature, Perancis litterature, Jerman literatur, dan Belanda letterkunde. Secara etimologis, katakata tersebut berasal dari bahasa Latin yaitu litterature yang merupakan terjemahan dari kata grammatika yang mengandung makna tats bahasa dan puisi. Namur kenyataannya, dalam pengertian yang dikenal saat ini kata literature ternyata mengacu pada makna segala sesuatu yang tertulis. Padahal jika kits simak lebih jauh, manifestasi makna tersebut tentu tidak dapat menggambarkan sastra dalam pengertian karya fiksi. Seperti diketahui bahwa bentuk-bentuk tulisan pada umumnya yang tidak mengandung unsur estetika bahasa, estetika isi, imajinasi tidak dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Dengan demikian, referensi makna yang didasarkan pada referensi harfiah dari pengertian sastra tidak dapat dipakai sebagai perwujudan pengertian sastra itu sendiri. Jika sampai saat ini banyak pendapat yang mengungkapkan batasan bahwa sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik, bukan berarti bahwa pandangan tersebut dapat menjabarkan pengertian sastra secara tuntas. Banyak hal yang merupakan bagian dari sastra belum terangkum. Secara mendasar, suatu teks sastra setidaknya harus mengandung tiga aspek utama yaitu,decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare (memberikankenikmatan (mampu menggerakkan kreativitas pembaca). Kriteria dasar di atas, tentu saja masih harus dijabarkan lebih lanjut pada bagian-bagian yang lebih khusus. Karena mendefinisikan sastra tidak hanya sekedar mengurai maknanya secara harfiah spontan dan sastra itu bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain, dan mempunyai koherensi antara unsur-unsurnya. Kreativitas dan spontanitas merupakan dasar definisi jaman romantik. Tokoh-tokoh Romantik seperti Sartre, Coleridge ataupun Roland Barthes merupakan pendukung bahwa sastra memang tidak lepas dari kreasi, ekspresi, otonomi, koherensi, dan sintesis, di samping makna yang tidak terhingga. Sebaliknya, kaum formalis, lebih menitikberatkan pada masalah sintaktik dan grafik. Fungsi puitiklah yang dianggap dominan yang tertuang dalam struktur sintaktiknya. Tokoh formalis seperti Mukarovsky, EE Cummings, Sjklovski, Tolstoj selalu berpangkal bahwa unsur puitik yang terefleksi mulai aspek foregrounding merupakan faktor utama. Unsur-unsur tersebut, misalnya, berupa ekuivalensi dan juga penyimpangan struktur-struktur bahasa yang lazim dipakai. Dari sinilah teks sastra ditentukan kualitasnya dan kekhasannya yang istimewa. Merumuskan pengertian sastra secara utuh memang sangat sulit. Karena seperti yang diutarakan oleh Mukarovsky di atas bahwa umumnya definisi yang ada

hanya bersifat arsial. Namun demikian, berdasaran definisi historik di atas, paling tidak secara global dapat dirumuskan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang. spontan yang mampu mengungkapan aspek estetik baik antara aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetika bahasa biasanya , diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface structure) sedang estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure. Mursal Esten menyatakan "sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan)" (1978 : 9). Kemudian dikatakan pula bahwa sastra. adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1988 : 8). Panuti Sudjiman mendefinisikan sastra sebagai "karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya" (1986 : 68). Selain itu, Ahmad Badrun berpendapat bahwa "Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif" (1983 : 16). Menurut Engleton (1988 : 4), sastra yang disebutnya "karya tulisan yang halus" (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil. Keempat definisi di atas berangkat dari dasar pengertian yang sama walaupun diungkapkan dengan kalimat dan bahasa yang berbeda. Selain itu, antara satu definisi dengan definisi yang lain saling melengkapi. Oleh sebab itu, apabila diminta kepada Anda tentang pengertian sastra sebaiknya Anda memberikan rumusan Anda sendiri yang berdasarkan pada pendapat para ahli di atas. Ada satu formula yang diberikan oleh Merrill ( 1983 ) untuk membuat definisi, yaitu: tuliskan nama konsep, tulis kelas superordinat, sebutkan

2.2

Hakikat Sastra

Pengertian sastra yang dikemukakan para ahli di atas, memberikan gambaran bagi kita tentang hakikat sastra itu. Dikemukakan oleh M.Atar Semi (1988:18-19), bahwa ada tiga hakikat sastra, yaitu: sastra menggunakan bahasa, 2) sastra terkait dengan berbagai cabang ilmu dan 3) sastra didukung oleh cerita. Secara singkat, ketiga hakikat sastra tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini. Sebagai suatu hasil karya seni kreatif sastra mempunyai kedudukan yang

sama dengan karya seni yang lain. Karya sastra bagi pengarang merupakan suatu jalan untuk mengemukakan ide, pikiran, atau perasaannya. Pengungkapan semua hal di atas menggunakan alat, sarana, atau media penyampai berupa bahasa, sebagaimana pelukis menggunakan cat dan pematung menggunakan kayu atau batu. Namun demikian, ada satu hal yang harus diingat, bahwa bahasa yang digunakan para sastrawan walaupun pada mulanya berasal dari bahasa yang digunakan dalam kehidupan seharihari, tetapi dalam proses kreativitasnya bahasa tersebut ikut mengalami pengolahan, sehingga tidak sama lagi dengan bahasa komunikasi sehari-hari. Biasa dikatakan bahasa sastra itu bermakna konotatif atau ambigu. Bahasa sastra tidak selalu dapat diartikan secara harfiah atau menurut arti kata yang ada dalam kamus. Hal ini pun menimbulkan sifat khas sastra yang bersifat tidak komunikatif praktis. Sastra pada hakikatnya berkaitan dengan berbagai cabang ilmu. Hakikat sastra ini dapat kita jelaskan dari sudut pengarang, pembaca, atau dari sudut karya sastra itu sendiri.Seorang sastrawan yang akan mencipta sastra sangatlah dituntut memiliki kompetensi bahasa. Hal inilah yang memungkinkan ide, gagasan, atau perasaan yang akan diungkapkan dapat disampaikan. Kompetensi dimaksud bukan hanya sekedar mengetahui kaidah-kaidah yang berlaku atau memahami sistem yang ada pada suatu bahasa. Sastrawan dituntut lebih dari itu. Sastrawan sangat dituntut mampu mengolah bahasa yang akan digunakannya itu secara kreatif sehingga menimbulkan daya pesona bagi pembacanya. Selain itu, ide atau gagasan dan juga perasaan yang akan diungkapkan itu merupakan pengalaman batin sastrawan yang telah melalui proses yang melibatkan berbagai pengetahuan yang dimiliki dan menghendaki pula wawasan yang luas. Banyak pelaku seni sastra yang melakukan studi mendalam tentang objek yang sedang digarapnya. Misalnya, penulis novel Gajah Mada merasa perlu mengadakan perjalanan dan mengunjungi Singapura untuk mendapatkan pemahaman atau gambaran tentang luasnya daerah ekspansi Gajah Mada di Kerajaan Maja Pahit ( Kick andy, Metro TV, Januari, akhir Desember 2007). Cornelia Agata, artis yang memerankan tokoh dokter jiwa dalam drama Kenapa Leonardo? yang diproduksi Teater Koma melakukan studi dengan membaca ilmu psikoanalisa, Sigmun Frud ( Show Biz on Location, 11 Januari,2008 ). Demikian juga dengan penikmat karya sastra, yang tidak cukup hanya menguasai ilmu bahasa saja. Tak jarang seorang pembaca dituntut memiliki ilmu dan wawasan yang luas agar dapat memberikan makna yang sempurna terhadap karya sastra yang dinikmatinya. Hal ini semakin terasa pentingnya apabila aspek kehidupan yang digarap pengarang sangat berjauhan dengan

kehidupan pembaca tersebut. Misalnya, seorang pembaca dengan latar belakang budaya Minangkabau akan merasa sulit saat berhadapan dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk yang berlatarbelakang kebudayaan Jawa tersebut. Pembaca ini tentu harus memahami dahulu aspek kebudayaan Jawa yang dikemukakan pengarang itu. Suatu karya sastra tidak hanya sarat dengan estetika bahasa dan kesastraan saja, tetapi sarat pula dengan berbagai aspek kehidupan yang lain. Seluruh aspek kehidupan manusia akan ditemukan dalam karya sastra. Demikianlah gambaran keterkaitan sastra dengan berbagai cabang ilmu. Suatu saat seorang sastrawan ingin mengemukakan sesuatu. Akan tetapi hal itu sangat rumit untuk diutarakan. Kalau ia mengungkapkan dengan begitu saja, dikhawatirkan pembaca akan sulit menangkap maksudnya dan tentu saja karyanya itu akan sama saja dengan tulisan yang berbentuk laporan biasa. Dalam situasi seperti ini, sering sastrawan memulianya dengan cerita. Dengan demikian, pengarang lebih mudah mengemukakan gagasannya dan pembaca pun lebih senang menerimanya. Selain hal di atas, Rene Wellek dan Austin Warren (1989) mengemukakan sifat imajinatif sebagai hakikat sastra. Maksudnya pengalaman atau peristiwa yang disampaikan sastrawan dalam karyanya bukanlah pengalaman atau peristiwa yang sesungguhnya, sebagaimana yang terdapat dalam realitas objektif. Kendatipun demikian, pengalam dan peristiwa itu telah mengalami proses pengolaahn dengan menggunakan daya imajinasi atau daya khayal sastrawan.

MANFAAT SASTRA Makna yang terkandung pada kata bermanfaat adalah bahwa membaca

karya sastra adalah merupakan kegiatan tidak membuang waktu, tidak merupakan iseng, kegiatan yang perlu mendapat perhatian. GENRE SASTRA Genre atau jenis sastra secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua yaitu: 1. Golongan konotatif imajinatif cirinya bersifat khayal, bahasanya

2. Golongan non imajinatif cirinya bersifat tidak khayal, tetapi berdasarkan fakta, bahasanya denotatif (ANANDA SUSANTO;2011)

Konsep-konsep Dasar Sastra dan Studi Sastra Ada empat konsep yang akan dibahas dalam perkuliahan keempat ini, yaitu: 1) kaidah sastra, 2) ciri-ciri sastra, 3) wilayah studi sastra, dan 4) wilayah kesusastraan. Keempat konsep tersebut adalah sebagai berikut ini. I.1

Kaidah sastra / daya tarik sastra

Sebagaimana dikatakan Herman J. Waluyo, (1994: 56-58 ) bahwa kaidah sastra atau daya tarik sastra terdapat pada unsur-unsur karya sastra tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada unsur ceritanya, yakni cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita yang dimaksud. Selain itu, faktor bahasa juga memegang peranan penting dalam menciptakan daya pikat, kemudian gayanya dan hal-hal yang khas yang dapat menyebabkan karya itu memikat pembaca. Khusus pada cerita fiksi, ada empat hal lagi yang membantu menciptakan daya tarik suatu cerita rekaan, yaitu : 1) kreativitas, 2) tegangan (suspense), 3) konflik, dan 4) jarak estetika. Uraian keempatnya sebagaimana dikutip dari Waluyo ( 1994:58-60 ) berikut ini. 1) Kreativitas

Tanpa kreativitas, karya sastra yang diciptakan pengarang t i d a k m un gk i n me n e mp at i p er h a t i an p em ba c a . Kr ea t i v i t a s d i tandai dengan adanya penemuan baru dalam proses penceritaan. Pengarang-pengarang yang lazim disebut "avantgarde" atau pelopor, biasanya menunjukkan daya kreativitas yang menonjol yang membedakan karya rekaannya dari karya yang mendahului. Dalam sejarah sastra Indonesia, kita mengenal para pembah a r u s a s t r a I n d o n e s i a y a n g m e n u n j u k k a n , d a y a k r e a t i v i t a s mereka, seperti: March Rush (dengan Siti Nurbaya), Abdul Muis (dengan Salah Asuhan), Sutan Takdir Alisyahbana (dengan Layar Terkemban g), Armijn Pane (d engan Belen ggu), Achdi at Kart ami h a r j a ( d e n g a n A t h e i s ) , M o c h t a r L u b i s ( d e n g a n J a l a n T a k A d a Ujung), Iwan Si matupang (d en gan karya- karyan ya yang berco rak eksistensialistis), Putu Widjaya (dengan Gress), Danarto (dengan cerita-cerita mistiknya), dan sebagainya. Pen emuan - p en emuan h al yan g bar u i t u mun gki n mel al ui p en i r u a n t e r h a d a p k a r y a y a n g s u d a h ad a d e n g a n j a l a n m e m p e r b ah ar ui , n a mu n

m un gk i n ju ga m el al ui p en c a r i an s ec ar a mo dern har us banyak ber sus ah payah untuk men emukan s es uat u yan g bar u, un t uk t id ak h an ya men gul an g- ul an g ap a yang sudah diucapkan/diungkapkan oleh pengarang lain.

2)Tegangan ( Suspense)Di depan telah dibicarakan tentang tegangan atau suspense. Tidak mungkin ada daya tarik tanpa menciptakan tegangan dalam s ebuah cer i t a. Jali n an c er i t a yan g men i mbulkan r as a i n gin t ah u yang bes ar dar i pembac a adalah merupakan t egan gan c eri ta it u. Tegangan bermula dari ketidakpastian cerita yang berlanjut, yang mend ebar kan bagi p embaca /pendengar cerit a. T egan gan meno p an g ke i n gi n t a h u an p e mb ac a ak an ke l a n j ut an c er i t a . T eg an ga n diaki batkan o leh kemah ir an p enc eri ta di dalam merangkai ki sah seperti yang sudah dikemukakan di depan. T anp a t egan gan, cer ita tid ak memikat . penulis /p enc er ita y a n g m a h i r akan memelihara tegangan itu, sehingga mampu mempermainkan hasrat i n g i n t a h u p e m b a c a . B a h k a n k a d a n g kadang segenap pikiran dan perasaan pembaca terkonsentrasikan ke dalam cerita itu, karena kuatnya tegangan yang dirangkai oleh s a n g p e n u l i s . D a l a m m e n j a w a b h a s r a t i n g i n t a h u p e m b a c a / pendengar, penulis/pencerita memberikan jawaban-jawaban yang m en ge ju t k a n (p en uh s ur p r i s e) . T i n g gi r en d ah n ya ka d a r ke ju t a n itu bergantung dari kecakapan dan kreativitas pengarang. Pengarang-pengarang cerita rekaan besar seperti Agata Christie, Serlock Holmes, Pramudya Ananta Toer, dan sebagainya, mampu menciptakan jawaban-jawaban cerita yang penuh kejutan sehingga ceritanya memiliki suspense yang memikat. Cerita-cerita action biasanya dengan suspense yang keras. Cerita semacam itu berusaha mengikat perhatian pembaca terus-menerus.

3)KonflikM e m b i c a r a k a n d a y a t a r i k c e r i t a r e k a a n h a r u s m e n g h u bungkannya dengan konflik yang dibangun. Jika konflik itu tidak wajar d an t i d ak kuat , maka jalan c er i t an ya akan dat ar d an t i d ak menimbulkan daya tarik. Konflik yang wajar artinya konflik yang m a n u s i a w i , y a n g m u n g k i n t e r j a d i d a l a m kehidupan ini dan antara kedua orang yang mengalami konflik itu m e m p u n y a i posisi yang kurang lebih seimbang. Jika posisinya sudah nampak t i d a k s e i m b a n g , m a k a k o n f l i k m e n j a d i t i d a k w a j a r k a r e n a p e m baca segera akan menebak kelanjutan jalan ceritanya. K o n f l i k i t u j u g a h a r u s k u a t . D a l a m k i s a h k e h i d u p a n s e h ar i - har i ,

ko n f li k yan g kuat bi as an ya ber kai t an den gan p r o bl em manusia yang penting dan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Kon f l i k itu ber s i f at mult i d i men s i on al yan g ti d ak mud ah men ye l e s a i k a n n y a . R o m a n S a l a h A s u h an d a n B e l e n g g u m e m i l i k i k o n f li k yan g cukup kuat karena pr oblem yan g men yebabkan ko nf li k itu adalah problem hakiki dalam kehidupan manusia. Konflik itu, juga s ukar men yel es ai kan n ya kar en a t i d ak mun gki n ad an ya s at u jawaban saja. Hal ini berbed a den gan kon fl ik yang di bangun me l al ui cerit a wayan g. Karena to ko hnya hit am putih, maka kon fl ik dalam cerita wayang segera dapat ditebak jawabannya. D a l a m n o v e l - n o v e l m u t a k h i r , j a l i n a n k o n f l i k i t u c u k u p ber v ar i as i . Kar en a ko n f li k men jad i d as ar c er i t a, maka p erh at i an p e n g a r a n g k e p a d a k o n f l i k i n i k i r a n y a m e m u n g k i n k a n m e r e k a akan lebih mampu menjalin cerita yang memikat.

4)Jarak EstetikaDaya pi kat s ebuah cer i t a f i ks i juga mun c ul aki bat p en ga rang memiliki jarak estetika yang cukup pekat dengan cerita dan . 1 tokoh'To - koF cerita itu. Seolah-olah pengarang menguasai benar- benar dunia dari to col itu, sehingga pengarang benar-benar ikut t e r l i b a t d a l a m d i r i t o k o h d a n c er i t a n y a . J i k a k e a d a a n i n i d ap a t dilakukan ol eh p en garang, p embaca akan l ebih yaki n akan h adir nya cerita dan tokoh itu, seakan-akan cerita fiksi itu bukan hanya tiruan dari kenyataan itu, namun adalah kenyataan sendiri yang mengejawantah. Waktu penulis membaca cerita Mushashi, penulis merasa ikut terlibat dalam peristiwa-peristiwa karena kekuatan cerita itu. K e t i k a p a d a a d e g a n t e r a k h i r M u s h a s h i m e n g a l a h k a n S a s a k i Kojiro, penulis merasa menyaksikan dui ksatria bertempur di tepi p ant ai Parangtr iti s, di si ang hari ket ika mat ah ar i t er ik, d an t ibat i b a M u s h a s h i m e l o m p a t m e n g h a n t a m k e p a l a K o l i r o d e n g a n pedang. Kisah itu seperti Nadir di mata penulis dan bukan hanya d a l a m a n g a n - a n g a n . I n i d a p a t t e r j a d i k a r e n a k e k u a t a n c e r i t a . Pengarang menciptakan jarak estetis yang cukup rapat sehingga tokoh dan peristiwa

benar-benar hidup

E.

Ciri-ciri sastra

Ciri sastra yang akan kita pahamkan di sini adalah ciri-ciri sastra yang pernah dikemukakan oleh para ahli sastra atau para praktisi sastra. Pada pembicaraan

konsep-konsep sebelumnya, sudah banyak terungkap tentang ciri sastra ini. Misalnya, pada pembicaraan definisi sastra yang dikemukakan para ahli di atas. Konsep-konsep prasyarat pembentuk konsep sastra tersebut merupakan ciri sastra. Bukankah suatu definisi konsep harus mencakup penyebutan nama konsep, superordinat konsep, dan ciri-ciri yang mendefinisikan konsep tersebut, selain penyebutan kata penghubung antarciri yang mendefinisikan itu? Wellek & Warren ( 1989:22) menyebutkan: 1) menimbulkan efek yang mengasingkan, 2) fiksionalitas, 3) ciptaan, 4) tujuan yang tidak praktis, 5) pengolahan dan penyampaian melalui media bahasa, 6) imajinasi, 7) bermakna lebih, 8) berlabel sastra, 9) merupakan konvensi masyarakat, sebagai cirri-ciri sastra. Selain itu, Lexemburg, dkk. ( 1984:9) menambahakan beberapa cirri lagi, yaitu: 1) bukan imitasi, 2) otonom, 3) koherensi, 4). sintesa, dan 5) mengungkapkan yang tak terungkapkan sebagai ciri sastra yang lainnya. Dengan demikian sudah teridentifikasi empat belas cirri sastra. Tentu pendapat lain dapat pula ditambahkan, seperti pendapat yang dipegang pada zaman Romantik, bahwa sastra itu merupakan luapan emosi spontan, sedangkan menurut kaum Formalis, sastra selain menunjukkan cirinya pada aspek sintaktik, juga pada grafiknya.Untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut tentang maksud ciri-ciri sastra di atas, Anda sebaiknya membaca buku sumber yang telah disebutkan di atas, yaitu buku Wellek & Warren dan buku Lexemburg, dkk. Anda lihat identitas sumber selengkapnya pada bagian V. Sumber Belajar.

C. Iiga wilayah kesusastraan

Tiga wilayah kesusastra itu adalah : 1) wilayah penciptaan sastra, 2) wilayah penikmatan sastra, dan 3) wilayah penelitian sastra. Dikemukakan oleh Mursal Esten ( 1978:13-14), bahwa ketiga wilayah dalam kehidupan kesusastraan itu saling berhubungan dan saling membantu. Maksud dari ketiga wilayah tersebut dijelaskannya sebagai berikut ini. Wilayah penciptaan kesusastraan ialah wilayah para sastrawan, yang diisi dengan ciptaan-ciptaan yang baik dan bermutu. Persoalan mereka ialah bagaimana menciptakan ciptasastra yang baik dan bermutu. Wilayah penelitian ialah wilayah para ahli dan para kritikus. Mereka berusaha menjelaskan , menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap ciptasastra-ciptasastra. Tentu saja mereka harus memperlengkapi diri mereka dengan segala pengetahuan yang mungkin diperlukan untuk memahami ciptasastraciptasastra yang mereka hadapi. Wilayah para penikmat adalah wilayah para pembaca. Wilayah ini tidak kurang pentingnya, karena untuk merekalah sesungguhnya ciptasastra-ciptasastra ditulis oleh para pengarang.

B. Tiga cabang studi sastra

Yang merupakan tiga cabang studi sastra itu adalah teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra ( Wellek & Warren

dalam Pradopo, 2002: 34-35). Pegertian ketiga cabang studi sastra itu sebagaimana dijelaskan Paradopo (2002) dan Fananie ( 2000 ) berikut ini. 1) Teori sastra adalah bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori kesusastraan, seperti studi tentang apakah kesusastraan itu, bagaimana unsurunsur atau lapis-lapis normanya; studi tentang jenis sastra (genre ), yaitu apakah jenis sastra dan masalah umum yang berhubungan dengan jenis sastra, kemungkinan dan kriteria untuk membedakan jenis sastra, dan sebagainya ( Pradopo, 2002:34). Perihal unsur-unsur atau lapis-lapis norma karya sastra dijelaskan lebih lanjut oleh Fananie yakni menyangkut aspek-aspek dasar dalam teks sastra. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek intrinsik dan ekstrinsik sastra. Teori intrinsic sastra berhubungan erat dengan bahasa sebagai sistem, sedang konvensi ekstrinsik berkaitan dengan aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaan sastra. Aspek tersebut meliputi aliran, unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama, psokologi, dan sebagainya. (2000:17-18) Ditegaskan lagi oleh Pradopo ( 2002:34) bahwa pokoknya semua pembicaraan mengenai teori atau bersifat teori itu adalah lingkup teori sastra. 2) Sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan lahirnya kesusastraan Indonesia modern, sejarah sastra membicarakan sejarah jenis sastra, membicarakan periode-periode sastra, dan sebagainya; pokoknya semua pembicaraan yang berhubungan dengan kesejarahan sastra, baik pembicaraan jenis, bentuk, pikiran-pikiran, gaya-gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra dari periode ke periode ( Pradopo,2002: 34).Dikemukakan oleh Fananie (2000:19-20) bahwa berdasarkan aspek kajiannya, sejarah sastra dibedakan menjadi: a. Sejarah genre, yaitu sejarah sastra yang mengkaji perkembangan karya-karya

sastra seperti puisi dan prosa yang meliputi cerpen, novel, drama, atau sub genre seperti pantun, syair, talibun, dan sebagainya. Kajian tersebut dititikberatkan pada proses kelahirannya, perkembangannya, dan pengaruh-pengaruh yang menyertainya.

3) Kritik Sastra ialah studi sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung, menganalisis, menginterpretasi, memberi komentar, dan memberikan penilaian (Pradopo,2002:34-35). Dikatakan Fananie, Kritik sastra itu semacam pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. Karena itu hasil dari kritik sastra biasanya mencakup dua hal , yaitu baik dan buruk (goodness atau dislikeness) (2000:20). Untuk memperoleh gambaran yang jelas, maka kritik selalu berkaitan dengan judgement, valuation, proper understanding and recornition, statement giving valuation, and rise in value (2000:20).

BAB 111 PENUTUP 3.1 SARAN Bagi mahasiswa UMB agar mampu menguasai tentang konsep dasar sastra dan mempelajari secara baik dan benar KESIMPULAN

Bagi mahasiswa sebagai pengalaman belajar yang berpusat pada subyek pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan yang baik dan benar. DAFTAR OTAKA -SANTOSO, ANANDA 2001. BAHASA.INDONESIA. SURABAYA.