makalah analisis kaidah dasar bioetika dan perundang-undangan apoteker

34
ANALISIS KAIDAH DASAR BIOETIKA DAN PERUNDANG-UNDANGAN APOTEKER BERDASARKAN KASUS “HARI YANG MELELAHKAN DI APOTEK X” Kelas Etika dan Hukum 19 Anggota Kelompok : Firda Zakiatun Nufus 1406640101 Fitri Marsya 1406545125 Khusna Millati A 1406544854 Lendy Caesari Leorenza 1406557743 Vanessa 1406567946 Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Etika dan Hukum 1

Upload: millatiazka

Post on 01-Oct-2015

91 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

ANALISIS KAIDAH DASAR BIOETIKA DAN PERUNDANG-UNDANGAN APOTEKER BERDASARKAN KASUS HARI YANG MELELAHKAN DI APOTEK X

Kelas Etika dan Hukum 19Anggota Kelompok :Firda Zakiatun Nufus1406640101Fitri Marsya 1406545125Khusna Millati A1406544854Lendy Caesari Leorenza1406557743Vanessa1406567946

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Etika dan HukumDosen Pembimbing : Hanny Handiyani S.Kp., M.Kep.

RUMPUN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS INDONESIADAFTAR ISIDaftar isi 2Abstrak ....................................................................................................................3BAB I PENDAHULUAUNA. Latar Belakang 4B. Rumusan Masalah 5C. Tujuan Penulisan 5D. Manfaat Penulisan 5BAB II ISIA. Dasar Hukum Bioetika.................................................................................61. Istilah Bioetika ........................................................................................62. Kaidah Dasar Bioetika ............................................................................6B. Dasar Teori Apoteker ..................................................................................8C. Analisis Kaidah Dasar Bioetika dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek X ..............................................111. Analisis Kaidah Dasar Bioetika Autonomy dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek X ..................112. Analisis Kaidah Dasar Bioetika Justice dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek X ..................143. Analisis Kaidah Dasar Bioetika Non-Maleficence dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek X ..154. Analisis Kaidah Dasar Bioetika Beneficence dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek X ..................17BAB III PENUTUPA. Kesimpulan ...............................................................................................20B. Saran .........................................................................................................20Daftar Pustaka .......................................................................................................21ABSTRAKSebagai seorang apoteker yang merupakan bagian dari tenaga kerja kesehatan, beberapa tindakan medis yang dilakukan membutuhkan suatu pedoman secara etis untuk menentukan kebenaran tindakan tersebut. Salah satu pedoman yang dibutuhkan seorang apoteker adalah kaidah dasar bioetika yang terdiri dari Beneficence, Non-Maleficence, Autonomy dan Justice. Berdasarkan hasil diskusi menurut pemicu Hari yang Melelahkan di Apotek X, apoteker Andi dan asisten apoteker dalam apotek tersebut tidak sepenuhnya menjalankan kaidah dasar bioetika tersebut dan sepenuhnya melanggar prinsip Justice. Pedoman lainnya yang digunakan adalah Kode Etik Apoteker Indonesia, peranan apoteker sesuai WHO Seven-Star Pharmacist dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dipatuhi dan ditaati oleh apoteker yang bekerja di Indonesia. Berdasarkan hasil diskusi pula, apoteker Andi dan asisten apoteker tidak sepenuhnya mengaplikasikan Kode Etik dan peraturan perundang-undangan. Diharapkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh apoteker Andi dan asisten apoteker dapat menjadi pelajaran bagi pembaca makalah ini.Kata kunci : apoteker, asisten apoteker, bioetika, beneficence, non-maleficence, autonomy, justice, Kode Etik, UU, PP

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangDalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika.Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan keterampilan teknis dan moral serta mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat.Apoteker adalah suatu profesi dalam bidang Kesehatan. Apoteker dapat dikatakan sebagai pekerjaan kefarmasian yang diperoleh dari suatu negara sebagai otoritas keahlian sehingga perlu adanya sumpah dalam hal profesionalitas. Seorang apoteker sebelum menjalankan praktek profesinya harus mengucapkan sumpah/janji (PP No.20 / 1962). Selanjutnya meregistrasikan diri kepada pemerintah melalui Departemen Kesehatan, serta mendapatkan Surat Izin Kerja, barulah yang bersangkutan sah untuk berpraktek di seluruh wilayah Indonesia.Seiring dengan perkembangan zaman semakin banyak pelanggaran kode etik oleh sebagian besar profesi terutama profesi kesehatan bidang Apoteker yang akan kami bahas selanjutnya. Pengaruh lingkungan yang kurang kondusif serta kesalahan kecil yang lama-kelamaan menjadi suatu kebiasaan kadangkala bisa membuat profesi apoteker menjadi tidak mematuhi kode etik yang seharusnya dijalankan. Dari pembuatan makalah ini diharapkan agar mahasiswa maupun pembaca dapat mengetahui apa saja yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang apoteker profesional.. Makalah ini juga menjelaskan tentang analisis kaidah dasar bioetika sebagai dasar dalam pelayanan kesehatan terutama di Apotek.B. Rumusan Masalah1. Apa dasar teori bioetika dan peranannya dalam mengatur profesi Apoteker?2. Apa yang menjadi dasar UU dalam menjalankan praktek Apoteker?3. Apa saja kode etik yang perlu diterapkan seorang Apoteker?

C. Tujuan PenulisanTujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas kuliah etika hukum profesi dan untuk mengkaji studi-studi kasus pelanggaran oleh profesi kefarmasian serta memahami apa saja yang menjadi batasan dalam menjalankan praktek bagi seorang Apoteker.D. Manfaat PenulisanManfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat memberi informasi mengenai pelanggaran-pelanggaran studi kasus dalam dunia keseehatan bidang kefarmasian.

BAB IIISI

A. DASAR TEORI BIOETIKA1. Istilah BioetikaIstilah bioetika berasal dari kata yunani, yaitu bios yang berarti hidup, dan ethos yang berarti adat istiadat atau moral, yang secara umum berarti etika hidup. Minat dan perhatian dalam bidang bioetika telah muncul sejak tahun 1960-an dan awal 1970. Hippokrates (460-377 SM) menyelenggarakan konvensi perlindungan hak-hak manusia dan kebebasan dasar, yang menelurkan rentetam pernyataan tentang perlindungan hidup dan integritas fisik bersama perlindungan dan penyelamatan kebebasan kebebasan dasar sipil dan politik (Sgreccia, 1991).Istilah bioetika ini diabadikan oleh seorarang onkolog, yaitu van Resseler Potter pada tahun 1971, ia memandang bioetika sebagai ilmu pengetahuan untuk mempertahankan hidup dan terpusat pada penggunaan ilmu-ilmu biologis untuk memperbaiki mutu hidup. Dalam arti luas, bioetika adalah penerapan etika dalam ilmu-ilmu biologis, obat, pemeliharaan kesehatan, dan bidang-bidang terkait (Childress, 1992).Sejak diabadikan pada tahun 1971 oleh Potter, istilah ini mendunia dan digunakan dibeberapa tempat. Pada tahun 1973, bioetika dianggap sebagai cabang ilmu baru. Dan pada yang 1978, terbit ensiklopedi bioetika pertama (Ensyclopedia of Bioethics) yang membahas mengenai masalah-masalah etika dan sosial dalam bidang hidup, obat, dan kesehatan. Lalu dalam janga sepuluh tahun, berdirilah 15 lembaga bioetika di Amerika Serikat dan Kanada (Tettamanzi, 1992). Dengan demikian, tampak bahwa kesadaran akan pentingnya bioetika dalam hidup manusia meningkat.2. Kaidah Dasar BioetikaDalam dunia kesehatan, terdapat berbagai macam prinsip yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Namun, yang digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan terdiri dari empat prinsip yang biasa disebut sebagai Kaidah Dasar Bioetik (KDB). Terdapat empat prinsip utama di dalam Kaidah Dasar Bioetik, yaitu beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice.

2.1 BeneficenceBeneficence atau tindakan berbuat baik mengacu pada tindakan yang dilakukan demi kebaikan pasien. Beneficence bersifat sangat umum dalam dunia kedokteran. Artinya bahwa hampir setiap saat prinsip ini diterapkan dalam mengambil keputusan.Beneficence biasanya diterapkan dalam kasus yang simpel dan umum, kondisi pasien sadar dan tidak begitu parah, juga pengobatan yang diberikan wajar tidak berlebihan ataupun dikurang-kurangi. Intinya, dokter mengutamakan kepentingan pasien dan bertindak demi kebaikan pasien.2.2 Non-maleficence/PrimumnonnocerePrinsip dasar non-maleficence adalah primum non nocere, yang artinya pertama-tama jangan menyakiti. Prinsip ini melarang dokter berbuat jahat atau membuat pasien semakin menderita, serta mewajibkandokter untuk meminimalisasi akibat buruk. 2.3 JusticeJustice atau keadilan berarti menangani kasus yang sama dengan cara yang sama. Yaitu meliputi kesamaan tindakan pada kasus yang sama dan memberi perlakuan sama untuk setiap orang.2.4 AutonomyAutonomy memiliki arti kebebasan bertindak, memutuskan dan menentukan diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya tanpa paksaan atau campur-tangan pihak luar. B. Dasar Teori Perundangan Apoteker1. Praktik Kefarmasian dan Pekerjaan KefarmasianSelain kaidah dasar bioetika, seorang apoteker harus menjalankan peranan dan tanggung jawab apoteker, serta menaati peraturan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, terutama untuk menjalankan suatu praktek berdasarkan kefarmasian di Indonesia. Praktek kefarmasian berarti penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam rangka pemeliharaan ataupun pencegahan kesehatan sesuai izin yang diberikan oleh pemerintah mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Aturan yang berlaku dalam lingkup kerja apoteker adalah aturan oleh WHO (World Health Organization), UU Republik Indonesia, dan Kode Etik Apoteker Indonesia. Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 108, praktik kefarmasiaan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Praktek kefarmasian pada umumnya dilakukan dalam sarana pelayanan kefarmasian berupa apotek, rumah sakit, puskesmas, dll (Lihat PP 51 tahun 2009 pasal 19). Namun, berdasarkan pemicu yang diberikan, Hari yang Melelahkan di Apotek X, peranan dan tanggung jawab apoteker yang akan ditinjau berlokasi di apotek dan bukan sarana pelayanan kefarmasian lainnya.Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, pekerjaan kefarmasian meliputi : Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi; Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi; Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi; dan Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.Berdasarkan UU tersebut, perlu ditekankan bahwa selain tugas pelayanan resep, seorang apoteker berkewajiban untuk memberikan layanan informasi obat kepada pasien sebagaimana ditegaskan kembali dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 679/MENKES/SK/V/2003 tentang Registrasi dan Izin Kerja Apoteker pasal 8 ayat yang kedua dan PP no 51 tahun 2009 pasal 21 ayat 1.2. Sumber Daya Manusia dalam Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Menurut PP no 51 tahun 2009, tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (asisten apoteker). Dalam suatu apotek, terdapat dua unsur pekerja kefarmasian yang telah disebutkan oleh undang-undang tersebut dengan tambahan bahwa seorang apoteker dibantu oleh apoteker pendamping yang tidak wajib dan tenaga teknis kefarmasian (pasal 20 PP no 51 tahun 2009). Tetapi seluruh tanggung jawab atas pekerjaan dan praktek kefarmasian dipegang oleh apoteker (penjelasan pasal 51 ayat 3 PP no 51 tahun 2009) dan pelayanan resep dilakukan oleh apoteker atau tenaga teknis kefarmasian hanya jika apotek berada di tempat terpencil tanpa seorang apoteker (pasal 21 PP 51 tahun 2009), melambangkan pentingnya suatu apoteker untuk terus ada dalam apotek.3. Peran ApotekerMenurut WHO, peran apoteker dapat diringkas dalam 7 peranan atau disebut juga Seven-Star Pharmacist yaitu : Care-giverPelayanan yang diberikan seorang apoteker harus berdasarkan kepedulian yang membuat apoteker nyaman dengan pekerjaannya, memberikan pasien pelayanan dengan kualitas tertinggi Decision makerSeorang apoteker dituntut untuk berani membuat keputusan terutama dalam penggunaan sumber daya kesehatan CommunicatorKomunikasi (verbal, non-verbal, mendengar, dan menulis) oleh seorang apoteker harus berjalan dengan lancar kepada pasien, publik dan tenaga kerja kesehatan lainnya LeaderDalam suatu tim, apoteker dapat berperan sebagai seorang pemimpin, terutama jika situasi menuntut untuk keberadaan suatu pemimpin ManagerApoteker harus secara efektif mengelola suatu fasilitas kefarmasian dan sumber daya kesehatan Life-long learnerJalur pembelajaran harus selalu ditempuh oleh seorang apoteker seumur hidupnya untuk terus berkembang dalam perubahan zaman TeacherSeorang apoteker memiliki kewajiban untuk menunjang edukasi kepada calon-calon apoteker, pasien, atau publik yang juga dapat berguna untuk memperkaya ilmu yang dimiliki apoteker.

Mengetahui peran-peran apoteker tersebut, perlu diketahui pula bahwa seluruh peran tersebut hanya dapat dimiliki oleh apoteker dan bukan tenaga teknis kefarmasian. Berdasarkan PP no 51 tahun 2009, pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas, atau instalasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh apoteker.

4. Standar Kompetensi ApotekerTerdapat sembilan kompetensi apoteker Indonesia yaitu : Mampu melakukan praktik kefarmasian secara professional dan etik Mampu menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan sediaan farmasi Mampu melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan Mampu memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai standar yang berlaku Mempunyai keterampilan dalam pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan Mampu berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat Mampu mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan standar yang berlaku Mempunyai ketrampilan organisasi dan mampu membangun hubungan interpersonal dalam melakukan praktik kefarmasian Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan kefarmasian

5. Kode Etik ApotekerTujuan utama dari kode etik apoteker adalah menjadi pedoman yang membantu dalam menentukan suatu tindakan medis oleh apoteker yang memerlukan panduan hukum etika. Tujuan lain adalah untuk mengurangi kesalahpahaman atau konflik baik antar apoteker maupun dengan masyarakat.Seluruh peraturan di atas mengenai kewajiban maupun hak apoteker berperan dalam menentukan Kode Etik Apoteker Indonesia dan saling berkaitan antar satu sama lain. Dalam penjelasan pasal 8 Kode Etik Apoteker Indonesia, seorang apoteker wajib untuk mengikuti perundang-undangan terutama dalam bidang kefarmasian dan mengikuti perkembangan pengetahuan kefarmasian dan perundang-undangannya. Maka itu, undang-undang yang telah dijelaskan perlu dipertimbangkan pula dalam menentukan tindakan etis dalam pekerjaan kefarmasian.

C. Analisis Kaidah Dasar Bioetika dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek X1. Analisis Kaidah Dasar Bioetika Autonomy dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek XBerdasarkan kasus Hari yang Melelahkan di Apotek X, terdapat beberapa nilai Kaidah Dasar Biomedik Autonomi dan bisa dikaitkan dengan Kode Etik Apoteker. Pernyataan pertama yaitu Andi tengah sibuk mempersiapkan dokumen penting Apotek karena mendengar kabar aka nada inspeksi mendadak dari BPOM dalam beberapa hari ke depan. Di apotek tersebut hanya terdapat Andi sebagai apoteker. Beberapa pasien yang ingin meminta informasi obat ditolaknya. Di pernyataan ini Apoteker Andi melanggar nilai autonomi poin ke tujuh, yaitu Melaksanakan informed consent. Alasannya karena seharusnya seorang Apoteker dapat menjadi sumber informasi mengenai obat-obatan yang terdapat didalam apoteknya tersebut. Hal ini juga tidak sesuai dengan kode etik Apoteker pasal 7 yang berbunyi Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya dengan implementasi seorang Apoteker harus senantiasa meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap obat, dalam bentuk penyuluhan, memberikan informasi secara jelas, melakukan monitoring penggunaan obat dan sebagainya.Pernyataan kedua yaitu Asisten membicarakan penyakit yang diderita pasien dengan pegawai lainnya. Dalam pernyataan ini, seorang asisten apoteker melanggar nilai autonomi poin ke empat dan ke lima, yaitu Menjaga rahasia pasien dan menghargai privasi pasien. Alasannya karena seharusnya seorang Asisten Apoteker mampu menjaga kerahasiaan pasien dan tidak membicarakan mengenai masalah pasien kecuali kepada pihak yang memang bersangkutan, seperti Dokter dan Apotekernya. Hal ini juga tidak sesuai dengan kode etik Asisten Apoteker terhadap profesinya, yaitu Seorang Asisten Apoteker harus menjaga rahasia kedokteran dan rahasia kefarmasian, serta hanya memberikan kepada pihak yang berhak. Pernyataan ketiga yaitu Andi menegur asisten tersebut. Pada saat penyerahan obat, Andi mempersilahkan Tn Jalak untuk masuk ke ruangannya. Andi memberikan informasi obat pada ruangannya untuk menjadi privasi pasien. Dalam pernyataan ini, Apoteker Andi menerapkan nilai autonomi poin ke empat dan ke lima, yaitu Menjaga rahasia pasien dan Menghargai privasi pasien. Alasannya karena dengan memberikan informasi obat pada ruangan pribadinya maka pasien akan merasa hak privasinya dihargai dan Apoteker pun bisa dengan leluasa memberikan petunjuk pemakaian obat yang benar. Ini sesuai dengan kode etik Apoteker pasal 1 yaitu Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah/Janji Apotekerdengan implementasi merahasiakan kondisi pasien, resep dan medication record untuk pasien, pasal 6 yaitu Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain dengan implementasi seorang apoteker harus menjaga kepercayaan masyarakat atas profesi yang disandangkan dengan jujur dan penuh integritas dan juga pasal 9 yaitu Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat. Menghormati hak asasi pasien dan melindungi makhluk hidup insanidengan implementasi seorang apoteker harus menjaga kerahasiaan pasien, rahasia kefarmasian, dan rahasia kedokteran dengan baik.Pernyataan keempat yaitu Andi mengatakan kepada pasien obat tersebut tidak tersedia di apotek. Pada pernyataan ini, Apoteker Andi tidak sesuai dengan nilai autonomi poin ke tiga dan dua belas, yaitu Berterus terang dan Tidak berbohong ke pasien meskipun untuk kebaikan pasien. Alasannya karena seharusnya Apoteker Andi dapat menjelaskan baik-baik bahwa memang obat dengan jenis psikotropika harus ditebus dengan menggunakan resep dokter. Karena jika Apoteker Andi berbohong melanggar pasal 7 yaitu Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya dengan implementasiseorang Apoteker harus mampu berbagi informasi mengenai pelayanan kepada pasien.Pernyataan kelima yaitu Kembali dikatakan kepada Tn. Anonim bahwa obat kosong. Dalam pernyataan ini, Apoteker Andi melanggar nilai autonomi yang sama seperti pernyataan kelima, yaitu Berterus terang dan Tidak berbohong ke pasien meskipun untuk kebaikan pasien. Alasannya karena seharusnya Apoteker Andi lebih bersabar dalam memastikan keabsahan resep dan lagi-lagi Apoteker Andi seharusnya dapat menjelaskan bahwa sebenarnya obat tersebut ada namun Tn. Anonim harus lebih bersabar untuk mendapatkan obat Alprazolam yang berjenis psikotropika tersebut. Karena pasal yang dilanggar Apoteker Andi yaitu pasal 7 yang berbunyi Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinyadengan implementasi seorang Apoteker harus mampu berbagi informasi mengenai pelayanan kepada pasien.Pernyataan keenam yaitu Padahal sebelumnya Ny. Anggrek telah diberi informasi bahwa proses penyiapan resep agak lama karena seluruh obat dalam resep tersebut adalah obat racikan yang penyiapannya memerlukan ketelitian. Walaupun telah diberi penjelasan oleh Andi, Ny. Anggrek tetap meminta obatnya dipercepat karena harus datang ke acara arisan. Pada pernyataan ini, Apoteker Andi sesuai dengan poin ke tiga dan tujuh, yaitu Berterus terang dan Menjalankan informed consent. Alasannya karena Penginformasian peracikan obat kepada pegawai apotek lain untuk kemudian diberitahukan kepada pasien penebus obat yang bersangkutan. Sesuai dengan Pasal 7, seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya dengan implementasi seorang apoteker harus mampu berbagi informasi mengenai pelayanan kepada pasien dengan tenaga profesi kesehatan yang terlibat.Dari kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa subjek yang terdapat dalam kasus pemicu tersebut telah memenuhi parameter KDB Autonomi. Subjek dalam kasus tersebut telah bertindak sesuai dengan kaidah dasar bioetika, namun ada pula yang tidak sesuai dengan kaidah dasar bioetika. Oleh karena itu, untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan KDB, maka perlu adanya evaluasi agar kedepannya tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan untuk hal-hal yang sudah sesuai dengan KDB perlu dipertahankan dan ditingkatkan.2. Analisis Kaidah Dasar Bioetika Justice dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek XMenerima sumber pelayanan kesehatan dalam jumlah yang sebanding (Priharjo, 1995). Kalimat tersebut merupakan pengertian justice menurut Priharjo. Sedangkan menurut (Rustanto, 2005) justice diartikan sebagai keseimbangan atau harmoni. Jika dihubungkan dengan pelaksanaan pengertian justice diatasdalam pelayanan kesehatan maka, untuk memberikan pelayanan kesehatan, kita sebagai tenaga kesehatan perlu memberikan pelayanan kesehatan yang sebanding atau sama rata terhadap pasien tanpa membedakan status sosial agar tercipta keseimbangan atau keharmonian.Dalam konteks kasus pemicu farmasi yang diberikan, maka akan dibahas mengenai pentingnya menerapkan kaidah dasar bioetika salah satunya justicedalam pelayanan di apotek. Dalam kasus tersebut terdapat apoteker bernama Andi yang bekerja di Apotek X yang sangat ramai pengunjung. Apoteker Andi tersebut melakukan pelanggaran kaidah justice yang terdapat di dalam kalimat Antrian di Apotek semakin panjang karena memasuki jam pulang kantor, Andi melihat temannya Tn. Z. Karena termasuk teman baik, Andi mendahulukan pelayanan Tn. Z.Mengacu pada kalimat pertama, antrian di apotek sangat panjang, dan kalimat kedua Andi mendahulukan pelayanan Tn. Z, karena termasuk teman baiknya. Sudah jelas Apoteker Andi melanggar kaidah Dasar Bioetik yaitu justice. Hal tersebut dapat ditilik dari kriteria justice nomor 1, 3, 6, 8, dan 9.Kriteria nomor 1 yang berisikan memberlakukan segala sesuatu secara universal. Apoteker Andi tidak memberlakukan pasien secara universal yang maksudnya adalah sang apoteker tidak melakukan pelayanan yang merata bagi klien yang datang ke apoteknya. Dibuktikan dengan ia mendahulukan teman baiknya untuk dilayani terlebih dahulu sementara antrian masih panjang. Kriteria nomor 3 yaitu memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama dan nomor 8 yaitu tidak melakukan penyalahgunaan. Menurut kedua kriteria justice tersebut Apoteker andi sudah menyalahgunakan kedudukannya dan wewenangnya sebagai Apoteker. Dibuktikan dengan alasan yang sama seperti pada pelanggaran kriteria nomor 1.Kriteria nomor 6 yaitu berisikan menghargai hak orang lain. Apoteker Andi juga melanggar kriteria ini karena ia hanya memikirkan hak teman dekatnya yang menurut dia patut didahulukan. Namun hal tersebut salah karena justice memiliki konteks memberikan hak yang sama terhadap klien tanpa memandang hubungan kekerabatan apalagi status sosial. Sementara untuk kriterianomor 9 yang berisikan bijak dalam makro alokasi.Alasannya adalah karena ia tidak melayani pasien sesuai nomor urut, dan lebih mendahulukan pelayanan untuk teman dekatnya dalam mengalokasikan kebijakan yang dimilikinya sebagai Apoteker.Dalam pelayanan kesehatan, justice diperlukan untuk memberikan perlakuan sama rata dan adil demi kebahagiaan dan kenyamanan pasien atau klien Apotek tesrebut. Apabila hal ini tidak dilakukan maka klien akan merasa dirugikan dan bisa saja menuntut pihak Apotek karena bertindak tidak adil. Dengan demikian, dalam pelayanan kesehatan seperti di Apotek diperlukan penerapan justice agar klien merasa senang dan nyaman serta merasa tidak dibeda-bedakan dengan klien lainnya.3. Analisis Kaidah Dasar Bioetika Non-Maleficence dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek XBioetika secara luas dapat diartikan sebagai etika yang diterapkan dalam ilmu-ilmu kehidupan (life sciences) dan dalam praktik pemeliharaan kesehatan. Bioetika ini sangat penting juga dalam kehidupan kefarmasian yang dapat dijunjung oleh Apoteker agar dapat mencapai tujuan yang tepat dengan salah satu contohnya adalah memberikan layanan informasi obat kepada pasien/klien. Untuk mencapai tujuan tersebut, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia telah menetapkan/memutuskan dalam Keputusan Kongres Nasional XVIII / 2009 yang berisikan kode etik serta pasal-pasal seorang Apoteker. Kaidah Dasar Bioetika pun juga dapat menjadi titik seorang Apoteker dalam menjalankan tugasnya. Dalam tulisan ini, akan dipaparkan mengenai kaitan kriteria yang terdapat di Kaidah Dasar Bioetika bagian Non-Maleficence dengan kasus pemicu yang diberikan minggu lalu (25/3) yang berjudul Hari yang Melelahkan di Apotek XSetelah diskusi yang dilakukan bersama rekan satu profesi mengenai pemicu yang diberikan, didaptkan bahwa ada beberapa kalimat dari pemicu tersebut yang termasuk dalam kriteria Non-Maleficence. Pertama, terdapat pada paragraf ketiga baris tiga dengan kalimat Andi tau bahwa obat tersebut sering disalahgunakan kalimat ini sesuai dengan kriteria nomor 8 yaitu Mencegah pasien dari bahaya, alasannya adalah Apoteker sudah melakukan sesuai dengan kriteria tersebut untuk mencegah pasien dari bahaya dengan menginformasikan dan mencegah pasien dari hal-hal yang akan berakibat buruk nantinya terhadap resep yang dicurigakan tersebut.Kedua, terdapat pada paragraf keempat baris enam dengan kalimat Andi menolak permintaan pasien secara halus dan pada pargraf kelima baris empat dengan kalimat Ia memutuskan tidak memberikan obat tersebut kalimat-kalimat ini sesuai dengan kriteria nomor 10 yaitu Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian alasannya adalah Apoteker sudah melakukan sesuai dengan kriteria tersebut dengan sudah memahami kesalahan dari resep yang diterima dari pasien dan tidak membiarkan pasien dengan menuruti apa yang mereka inginkan tanpa memandang ketentuan kefarmasian.Ketiga, terdapat pada pargraf keenam baris sembilan dengan kalimat Asisten akhirnya salah mencampur obat kalimat ini bertentangan dan tidak sesuai dengan kriteria nomor 10 Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian, karena sudah jelas dalam hal ini Apoteker lalai dengan apa yang dikerjakan dan sangat membahayakan pasienKeempat, terdapat pada paragraf kedelapan baris empat dengan kalimat Ia terbiasa membeli di apotek tersebut tanpa resep dokter kalimat ini tidak sesuai dengan kriteria nomor 8 yaitu Mencegah pasien dari bahaya, alasannya adalah Apoteker Andi telah mengetahui bahwa temannya terbiasa membeli obat keras tanpa resep dari dokter tetapi ia tetap menyediakan obat tersebut tanpa resep dari dokter. Hal tersebut sungguh sangat membahayakan pasien.4. Analisis Kaidah Dasar Bioetika Beneficence dan Kode Etik Apoteker Berdasarkan Kasus Hari yang Melelahkan di Apotek XPada kaidah dasar bioetika Beneficence, kaidah tersebut tidak terlepas dari undang-undang pemerintah yang menentukan tindakan medis. Kaidah Beneficence menurut UU ditentukan dalam 1. Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 3 : Menjalankan profesinya sesuai kompetensi, mengutamakan dan berpegang pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajiban Pasal 5 : Menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian Pasal 6 : Berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik untuk orang lain Pasal 9 : Mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insani2. Peran Apoteker menurut WHO Seven Star Pharmacist Care-giver Teacher3. PP No 51 tentang Pekerjaan KefarmasianBerikut ini hasil pembahasan untuk kaidah Beneficence berdasarkan pemicu Hari yang Melelahkan di Apotek X :ParagrafPernyataanSubyekBentukAlasan

4 (kalimat terakhir) & 5 (kalimat 3)Apoteker Andi meminta Ny. Mawar untuk kembali kepada dokter penulis resep ; Apoteker Andi ingin memastikan keabsahan resep dan menghubungi dokter yang tertera pada resep untuk menghindari penyalahgunaan obat keras.ApotekerAplikasi Mengusahakan manfaat yang lebih baik daripada manfaat buruk Mengikuti unsur Beneficence yaitu Utility (keseimbangan keuntungan dan kerugian dalam suatu tindakan untuk mencapai tujuan yang terbaik menurut terj. Lawrence, 2007 dalam Journal of Chiropractic Humanities, 2007) Menaati kode etik apoteker pasal 3 (berpegang pada prinsip kemanusiaan), 5 (tidak mencari keuntungan semata), 6 (berbudi luhur) dan 9 (melindungi makhluk hidup insani) Sesuai dengan peran apoteker menurut WHO sebagai Care-giver dan Decision maker Mengikuti PP no 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang mencakup distribusi obat yang baik (mencegah penyalahgunaan)

7 (kalimat 1 & 3)Pemberian obat sejumlah setengah resep yang seharusnya dapat diganti dengan obat generik untuk memudahkan pasien dalam biaya.ApotekerPelanggaran Tidak melakukan paternalisme Menjamin kehidupan baik atau kepuasan pasien Memberikan obat berkhasiat maupun murah

Mengaplikasikan paternalisme ,telah memenuhi kebutuhan pasien tanpa memberi kebebasan bagi pasien untuk memilih Melanggar unsur Beneficence yaitu Positive Beneficence (menyediakan keuntungan maksimal menurut terj. Lawrence, 2007 dalam Journal of Chiropractic Humanities, 2007) Tidak menggunakan alternatif yang seharusnya diperbolehkan menurut PP no 51 tahun 2009 mengenai mengganti obat merek dagang dengan obat generic yang sama komponen obat aktifnya

8 (kalimat 5)Apoteker Andi pulang terlebih dahulu sebelum jam tutup pelayanan apotekApotekerPelanggaran Altruisme Peranan apoteker

Melanggar kriteria altruisme dalam Beneficence yang artinya mengorbankan kepentingan diri untuk orang lain Melanggar peran (manager, teacher dan communicator) dan kompetensi apoteker (pemberian informasi) serta kode etik apoteker pasal 7 (menjadi sumber informasi) yang dapat terhalangi jika apoteker pulang terlebih dahulu

BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANApoteker di dalam pengabdiannya serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker. Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu Kode Etik Apoteker Indonesia. Didalam Kode Etik Apoteker Indonesia terdapat banyak pasal-pasal yang harus diamalkan dalam menjalankan tugasnya. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tidak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka Apoteker tersebut wajib mengakui dan menerima sanksi dari pemerintah, Ikatan/Organisasi Profesi Farmasi yang menanganinya yaitu ISFI dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

B. SARANBagi apoteker, harus menjalankan prinsip bioetika yang lebih menyeluruh dan melaksanakan tidak secara teoritis saja tetapi juga dalam pekerjaannya. Bagi calon apoteker, mempersiapkan diri agar kedepannya dapat mengaplikasikan prinsip bioetika di lapangan kerja.

DAFTAR PUSTAKAApps.who.int,. (2015). The Role of the Pharmacist in the Health-Care System - Preparing the Future Pharmacist: Curricular Development, Report of a Third WHO Consultative Group on the Role of the Pharmacist Vancouver, Canada, 27-29 August 1997: 3. Observations: 3.2 The role of the pharmacist: The seven-star pharmacist. Retrieved 3 April 2015, from http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Js2214e/3.2.htmlAcademia.edu,. (2015). BIOETIKA KEDOKTERAN. Retrieved 31 Maret 2015, from https://www.academia.edu/7245584/BIOETIKA_KEDOKTERANBeauchamp, T.L., dan Childress, J.F. (2001). Principles of Biomedical Ethics. New York: Oxford University Press.Diploma 3 Farmasi. Kode Etik Ahli Farmasi Indonesia, http://himafarma.mipa.uns.ac.id/kode- etik-ahli-farmasi-indonesia.php/. Diakses tanggal 30 Maret 2015 jam 20.30; 2011.James F. Childress, Bioethics, dalam A New Dictionary of Christian Ethics (Ed. John Macquarrie and James Childress), London: SCM Press Ltd, 1992.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 679/Menkes/Sk/V/2003Masruchin., dkk. (2009). Kode Etik Apoteker Indonesia dan Implementasi Jabaran Kode Etik. Pemetaan Peran Apoteker Dalam Pelayanan Kefarmasian Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker Di Apotek Di Surabaya Timur. (2014). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 3(1), 1-12.Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009Sgreccia, E. (1991). Manuale di bioetica: I. fondamenti ed etica biomedical, Milano: Vita e Pensiero.SP, F. (2015). Kep Kongres Nasional XVIII ISFI No.006 thn 2009 ttg Kode Etik Apoteker Indonesia | Peraturan Umum. Ikatanapotekerindonesia.net. Retrieved 30 March 2015, from http://www.ikatanapotekerindonesia.net/pharmaceutical-law/peraturan-umum/2139-kep-kongres-nasional-xviii-isfi-no-006-thn-2009-ttg-kode-etik-apoteker-indonesia.htmlTettamanzi, D. (1992). Bioetica: Nuove frontier per Iuomo, Casale Monferrato: Edizioni PiemmeUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

2