makalah akhir

33
MAKALAH HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA Disusun oleh : Nick Yuangga N. (6312010003) JURUSAN TEKNIK ELEKTRO PROGRAM STUDI TEKNIK LISTIK INDUSTRI POLITEKNIK NEGERI JAKARTA – BBPLKLN CEVEST BEKASI 2014 KATA PENGANTAR

Upload: mikael-nick-yuangga

Post on 18-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

agama kristen

TRANSCRIPT

MAKALAH HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Disusun oleh :Nick Yuangga N. (6312010003)

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO PROGRAM STUDI TEKNIK LISTIK INDUSTRIPOLITEKNIK NEGERI JAKARTA BBPLKLN CEVEST BEKASI

2014

KATA PENGANTARPuji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Hubungan Gereja dan Negara. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Kristen.Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi menyempurnakan makalah ini.Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Terima kasih.

Bekasi, Desember 2014

Penulis

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANGAgama memberikan peran sangat penting dalam kehidupan masyarakat serta dalam pengembangan berbagai sektor kehidupan. Dalam kenyataannya, agama dan Negara memiki hubungan yang saling terkait satu sama lain. Agama juga mengajarkan bagaimana kita berperilaku dalam suatu Negara. Di sini pemahaman agama menurut Perjanjian Lama menjadi suatu kebutuhan. dan kemudian menawarkan hubungan yang lebih tepat antara negara dan agama serta bagaimana aplikasinya dalam konteks Indonesia.Melihat efek negatif dari pemahaman yang tidak utuh tentang negara yang dihasilkan melalui data yang tidak lengkap, karena hanya dari PB (Perjanjian Baru), demikian sebaliknya. Namun karena pembenaran tentang hubungan agama dan negara yang menyertai kesadaran baru dalam peran politik Kristen saat ini adalah PL (Perjanjian Lama), maka penulis merasa perlu untuk mengangkat kembali berita PL (Perjanjian Lama) untuk dapat memberikan dasar-dasar konseptual yang kuat tentang negara menurut Alkitab. Dengan demikian orang Kristen dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam hal keterlibatannya bagi negara, secara khusus di bumi Indonesia yang masih bebenah diri untuk menuntaskan tuntutan reformasi di segala bidang.

1.2 RUMUSAN MASALAHDalam makalah ini akan membahas tentang :1. Teokrasi dalam Bangsa Israel2. Kegagalan Teokrasi Israel dan Munculnya Negara Sekular3. Sisi Negatif dari Negara4. Pemisahan Negara dari Agama5. POLA-POLA HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA6. Pandangan Roma Katholik7. Pandangan Marthin Luther8. Pandangan John Calvin9. TERAPAN DALAM KONTEKS INDONESIA10. Ketidakabsahan suatu Negara Agama di Negara Pancasila11. Prinsip Hubungan Negara dan Agama di Indonesia

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Teokrasi dalam Bangsa IsraelPada waktu manusia diciptakan kemudian ditempatkan dalam taman Eden, di sana tidak dilaporkan ada negara serta perlunya negara untuk mengatur umat manusia yang niscaya akan mengalami perkembangan. Pada waktu Allah memerintahkan manusia untuk berkembang biak dan memenuhi bumi, Allah tidak memerintahkan manusia untuk membangun negara bila jumlah manusia telah cukup dan membutuhkan suatu negara dalam pengorganisasian manusia. Mengenai keberadaan manusia sebelum jatuh dalam dosa yang tidak memerlukan negara Kuyper menjelaskan seperti berikut ini.Sebab sesungguhnya tanpa dosa pasti tidak akan ada tatanan penguasa dan negara; tetapi kehidupan politik, dalam keseluruhannya akan berevolusi sendiri, menurut pola patriark, yaitu dari kehidupan keluarga. Tidak ada system peradilan, polisi, tentara, angkatan laut, yang perlu diberlakukan dalam dunia yang tanpa dosa; dan dengan demikian, setiap peraturan dan hukum akan ditinggalkan, bahkan semua kendali dan penegasan kekuasaan penguasa akan lenyap, dan kehidupan berkembang dengan sendirinya, secara normal dan tanpa hambatan, dari dorongan organiknya sendiri. Siapa yang perlu mengikat jika tidak ada perpecahan? Siapa yang memerlukan tongkat jika tangan dan kaki bekerja dengan sehat?Manusia adalah mahkluk sosial, hal tersebut nyata dalam penciptaan manusia yang tak terpisah dengan manusia lainnya, kecuali Adam. Allah memberi mandat kepada manusia untuk hidup dalam kebersamaan, melalui penciptaan manusia yang tak terpisah. Setelah Adam dan hawa diciptakan, Allah memerintahkan mereka untuk berkembang biak, bertambah banyak. Perkembangan manusia terjadi dalam komunitas, dan setiap manusia lahir, dibesarkan dalam komunitas, berarti manusia adalah mahkluk sosial. Kehidupan sosial ini dapat berjalan tanpa negara, karena Allah yang menjadi raja. Allah yang bebas, merdeka, tidak pernah melanggar hukum-hukumnya sendiri pada waktu Allah melaksanakan kebebasannya, demikian juga manusia yang total bergantung kepada Tuhan. Namun sejak kejatuhan, manusia tidak lagi total bergantung dengan Tuhan. Manusia tidak lagi mampu menggunakan kebebasannya tanpa mengganggu hak-hak orang lain, bahkan sering kali membinasakan pesaingnya, khususnya sejak pembunuhan Habel.Manusia terus bertambah jahat. Mengenai kejahatan manusia Alkitab mencatat demikian: "Adapun bumi itu telah rusak dihadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi." (Kejadian 6:11-12). Setelah air bah Allah membuat perjanjian dengan Nuh; Allah mendelegasikan kepada Nuh kuasa untuk memelihara masyarakat dengan menghukum pelaku kejahatan, "...dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesamanya. Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri (Kejadian 9:5-6)". Perintah Allah kepada Nuh ini merupakan `pemerintahan manusia' yang diberikan legitimasi ilahi. Dan perintah ini tidak dibatasi pada Nuh, tetapi juga hingga saat ini, karena perjanjian Allah dengan Nuh ini merupakan perjanjian yang kekal (Kejadian 9:16), kebenaran ini harus juga diterapkan oleh orang Kristen pada saat ini, yaitu memberikan hukuman yang sebanding dengan tingkat kejahatan. Implikasinya penegakkan hukum menjadi keharusan yang tidak dapat ditolak oleh pemerintahan negara.Setelah tindakan Allah yang mencerai-beraikan manusia, maka Allah melakukan intervensi dalam menciptakan negara untuk pemeliharaan bumi. Dengan diawali pemanggilan Abraham, yang kemudian melahirkan bangsa Israel, yaitu bangsa pilihan. Bangsa Israel yang dipilih Tuhan untuk menjadi negara yang memuliakan Tuhan. Allah menjanjikan Israel sebagai bangsa dan akan memiliki daerah kekuasaan yaitu seluruh tanah Kanaan, Israel harus membaktikan hidupnya kepada Allah untuk menjadi negara yang menjalankan mandat Allah dalam memelihara dunia ciptaan Tuhan. Sebagai negara, Israel telah lengkap karena memiliki: Raja (Tuhan), Rakyat (bangsa Israel, dan wilayah (Kanaan). Pemerintahan Allah atas Israel bertujuan untuk menjadikan bangsa dan/negra Israel sebagai saksi bagi bangsa-bangsa lain, Allah Israel adalah Allah yang hidup, pencipta langit dan Bumi.

Rencana Allah yang mulia kepada Israel, tidak dapat dinikmati oleh Israel, karena kitab Hakim-hakim melaporkan ketidaktaatan Israel. Israel membiarkan rakyat bangsa-bangsa lain tetap tinggal di wilayah kerajaan yang diberikan Allah. Bahkan Israel mengijinkan bangsa-bangsa lain untuk tetap ada dan tunduk pada kerajaan Israel. Akibatnya mereka tidak memiliki kemampuan untuk memiliki otoritas atas wilayah yang diberikan Allah, di mana Allah bertahta di tengah-tengah mereka. Setelah kegagalan Israel mentaati Allah dalam kitab hakim-hakim, maka kitab Samuel dan kitab Raja-raja, melaporkan juga kegagalan Israel tersebut. Pembuangan bangsa Israel merupakan bukti kegagalan Israel sebagai bangsa untuk mentaati Allah.

2.2 Kegagalan Teokrasi Israel dan Munculnya Negara SekularIsrael sebagi negara teokrasi telah gagal, Israel adalah "negara gagal" Israel sebagai negara baru muncul kembali pada abad 20 M, namun negara Israel yang ada sekarang berbeda dengan Israel dalam Perjanjian Lama. Setelah kegagalan Israel, Allah menunjukan pemeliharaan-Nya pada alam semesta melalui pemerintahn sekuler. Namun tidak berarti sebelum Israel sebagai negara mengalami kegagalan, Allah tidak melakukan pemeliharaan dunia melalui raja-raja di luar Israel. Sebelumnya Allah hanya memfokuskan pada Israel, karena Israel yang akan menyatukan semua bangsa di bumi. Karena kegagalam Israel maka tujuan Allah atas Israel tidak digenapi dalam Israel, tetapi hal ini bukan berarti kegagalan Allah.Perlidungan Allah atas Israel melalui pemerintahan bangsa lain adalah nyata dalam Alkitab. Jadi dalam negara di mana rakyat kerajaan itu tidak mengakui Allah sebagai raja, Allah tetap raja yang berdaulat. Karena ketuhanan Allah tidak bergantung pada pengakuan manusia, Allah tetap Allah yang berdaulat, baik dengan pengakuan maupun tanpa pengakuan. Pemeliharaan Allah terhadap dunia yang diciptakannya dapat juga melalui pemerintahan bangsa non Israel (sekular). Di sini terlihat bahwa Allah juga memakai `pemerintahan sekuler.' Intervensi Allah secara langsung dengan pemerintah yang berasal dari Allah, yaitu bersikap adil terhadap semua individu dalam kerajaannya. Daniel, Sadrak, Mesak dan Abednego terlibat aktif dalam pemerintahan raja Nebukadnezar. Bahkan sebelum pembuangan Allah memerintahkan Israel melalui Yeremia untuk mengusahakan kesejahteraan daerah di mana umat Allah berada.Dalam pimpinan Ezra, kerajaan Israel berusaha dibangunkan kembali. yaitu kerajaan Israel yang memuliakan Allah. Penulisan kitab Tawarikh menceritakan kegemilangan kerajaan Israel dibuat Ezra untuk menyadarkan Israel tentang pentingnya hidup sebagai bangsa pilihan Allah .3 Usaha Ezra mentransformasikan hukum-hukum Allah dalam peraturan hidup sehari-hari secara lebih rinci merupakan wujud kerinduan Ezra untuk membangun kerajaan Israel yang telah hancur. Namun, sejarah PL melaporkan bahwa Israel adalah negara gagal, dan negara sekuler dipakai Allah sebagai alat untuk memelihara ciptaan-Nya.

2.3 Sisi Negatif dari NegaraDalam Perjanjian Lama jelas dilaporkan bahwa negara tidak berada dalam ordo penciptaan, melainkan dalam ordo pemeliharaan. Sebelum kejatuhan tidak ada negara. Pemahaman ini menjadi landasan pemikiran Luther dan Calvin dalam hubungan gereja dan negara walaupun keduanya memiliki perbedaan. Calvin memiliki pandangan yang lebih positif tentang negara dibandingkan Luther. Pada mulanya manusia tidak memerlukan negara, karena semua manusia dapat total bergantung dengan Tuhan dalam menjalankan kebebasannya, namun setelah manusia jatuh ke dalam dosa dan tidak seorangpun manusia yang hidup tanpa dosa, maka negara dibutuhkan untuk menahan kejahatan manusia. Karena itu manusia berdosa harus ditolong oleh hukum-hukum agar dapat memperbaiki kesesatannya.Berdasarkan perjanjian Nuh, di mana Allah memberikan legitimasi kewenangan untuk menghukum manusia yang berbuat kejahatan. Hal itu merupakan `gambaran' pemerintah yang menyandang pedang atau negara. Pemberian sangsi untuk menimbulkan efek jera membutuhkan negara, walaupun negara yang dipimpin oleh manusia yang telah jatuh juga dan cenderung menyeleweng, sebagaimana terjadi dalam sejarah raja-raja Israel. Sebelum Allah mengabulkan permintaan Israel untuk seorang raja yang memimpin Israel, Allah telah mengingatkan bahwa raja yang diharapkan akan menolong mereka akan cenderung menyusahkan mereka (1Samuel 8). Namun tidak berarti bahwa negara tidak diperlukan, karena negara adalah alat Tuhan dalam pemeliharaan dunia. Kemampuan negara untuk mengurangi kejahatan sebagai hakim antar individu memungkinkan terjaganya hak-hak individu, di sini negara sangat berarti bagi manusia. Keberadaan negara yang berada dalam kelemahan manusia ini karena dosa.Pentingnya negara juga dapat dilihat pada pemberian hukum Tuhan (Taurat). Hukum Tuhan yang berfungsi untuk mengarahkan manusia pada kehendak Tuhan dengan disertai pemberian sangsi hukuman; jadi hukum merupakan alat negara untuk menjalankan kewenangannya. Hukum Allah tidak eksklusif, tetapi ia adalah untuk semua, orang Kristen yang mengerti hukum adalah perintah Allah untuk pemeliharaan dunia, dan hukum ini adalah alat negara untuk menjalankan wewenangnya, akan terlibat mengawal kebijakan negara. Jadi hukum Allah adalah untuk semua, yaitu sebagai perintah Allah untuk pemeliharaan dunia, dan juga adalah alat dari negara untuk menjalankan kewenangannya. Dengan demikian orang Kristen harus terlibat dalam mengawal kebijakan negara.Manusia yang telah jatuh dalam dosa memerlukan hukum, bukan hanya untuk mengarahkan pada kebenaran, namun juga untuk memberikan efek jera ketika manusia melanggar hukum. Pemberian 10 hukum di Sinai sebagai UUD Israel merupakan persiapan lahirnya kerajaan Israel. Hukum yang diterapkan oleh negara/kerajaan yang menjalankan wewenang yang berasal dari Allah akan menekan kejahatan. Karena hukum yang Allah berikan adalah berisi perintah Allah kepada manusia, sehingga semua manusia harus melaksanakannya. Hukum adalah untuk semua, pemerintah yang adalah wakil Allah wajib untuk menegakkan hukum Allah dalam pemerintahan. Negara walaupun dalam kelemahan tetap berguna untuk mengurangi kejahatan. Negara dapat menghindari anarkisme, sebagaimana ditekankan oleh Luther, lebih baik ada pemerintahan tirani dibandingkan dengan anarkisme.Fakta mengenai pentingnya negara terlihat dalam sejarah kerajaan Israel, bahkan dimulai dengan hakim-hakim. Tidak adanya pemimpin yang menegakkan kebenaran membuat individu-individu berbuat sekehendak hatinya. Bahkan fakta pembuangan membuktikan bahwa adanya negara lebih baik dibandingkan tanpa negara. Pemerintahan sekuler tetap merupakan wakil Allah dalam pemeliharaan dunia, intervensi Allah tetap ada secara langsung, menyiratkan bahwa adanya negara, lebih baik bagi orang Israel dalam pembuangan dibanding tanpa negara. Tindakan raja yang menghukum kejahatan adalah memberikan efek jera kepada pembuat kejahatan, sehingga dapat mengurangi kejahatan. Negara sekuler tidak berdasarkan agama tetapi menghargai keberagamaan rakyat, sebagaimana terjadi dalam pemerintahan Nebukadnezar.2.4 Pemisahan Negara dari AgamaSebelum raja Saul, Israel dipimpin oleh hakim-hakim, jabatan hakim adalah berbeda dengan jabatan nabi dan imam. Imam hanya dari suku Lewi, tetapi hakim-hakim dari suku-suku lain. Jarang sekali ada individu memegang dua jabatan secara bersamaan yaitu imam dan hakim dan memiliki karunia Nabi, kecuali Musa dan Samuel. Namun dalam pengembangan kerajaan Israel, perbedaan antara agama dan negara menjadi jelas. Raja selalu datang dari suku Yehuda, sedang Imam dari suku Lewi. Raja tidak dapat menjadi Imam demikian juga sebaliknya, Imam tidak dapat menjadi raja. Jika terjadi pelanggaran Allah akan menghukumnya, karena itu berarti pelanggaran wewenang. Dalam Perjanjian Lama Raja cenderung menguasai bidang agama (tugas Imam). Tindakan raja yang melampaui wewenangnya, dilakukan oleh Saul. Pelanggaran yang dilakukannya adalah mempersembahkan korban yang adalah tugas Imam. Atas tindakan Saul tersebut, Allah memutuskan Saul dari garis kerajaan (1 Samuel 13). Pelanggaran yang sama juga dilakukan oleh Uzia. Pelanggaran tersebut lahir karena Uzia sombong dan mencoba untuk melakukan tugas imam (2 Tawarikh 26:16-21) yang bukan menjadi wewenangnya, Uzia dihukum Tuhan dengan penyakit kusta.Kerajaan Israel adalah pemerintahan teokrasi, namun tidak dapat diartikan bahwa PL melegitimasikan gereja untuk menguasai negara. Teokrasi harus diartikan sebagai pemerintahan atau masyarakat yang diatur oleh Tuhan. Perjanjian lama memang tidak melaksanakan pemisahan agama dan negara, namun tidak berarti agama boleh menguasai negara atau sebaliknya. Pada waktu Elia membunuh Imam-Imam Baal (1 Raja-raja 18:40). Elia tidak kuatir tentang hak kebebasannya untuk melaksanakan agamanya.Jadi konsep pemisahan antara agama dan negara berakar dalam Perjanjian Lama.4 Perjanjian Lama jelas memisahkan antara wewenang agama dan negara, walaupun keduanya berasal dari Allah, namun keduanya mempunyai hubungan koordinasi, sebagaiman pemikiran Calvin. Agama tetap bertanggung jawab mengingatkan negara untuk menjalankan wewenangnya dengan baik, namun agama atau gereja tidak boleh menguasai negara, karena bukan wewenang gereja.

2.5 POLA-POLA HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARASetidaknya ada tiga pola hubungan yang sampai saat ini masih mempengaruhi pemikiran Kristen. Pertama, pemisahan mutlak antara agama dan negara. Kedua, menundukkan yang satu dengan yang lainnya, dalam bentuk agama negara (agama tunduk kepada negara). Ketiga, dalam bentuk negara agama (negara tunduk pada agama).5 Pola-pola ini sudah terjadi dalam perjalanan sejarah gereja. Pola `gereja di atas negara' nampak dalam tradisi Katolik Roma yang memahami eksistensi negara bersumber pada hukum alamiah; gereja dan negara adalah dua entitas yang otonom, yang mana, baik gereja maupun negara mempunyai kekuasaan yang berbeda. Secara institusional yang gereja dan negara terpisah; keduanya tidak saling menguasai namun sering kali bersinggungan. Keduanya tidak mungkin terpisah secara total, karena orang-orang yang sama adalah warga negara sekaligus juga warga Gereja. Dalam situasi tersebut muncu pertentangan siapa yang memegang kekuasaan dalam masyarakat Kristen.Warga gereja secara bersamaan adalah warga negara juga, jadi ada kepentingan gereja terhadap isi hukum negara, maka gereja dapat menuntut kuasa atas negara. Gereja merasa lebih tinggi dari negara sehingga gereja menundukkan negara di bawahnya.6 Kekuasaan gereja yang berada di atas negara membuat kekuasaannya menjadi absolut dan harus mengabaikan semua hal yang berbeda dengan gereja. Demi mempertahankan eksistensinya, gereja yang mempunyai kepentingan dengan hukum negara. Kemudian hari, gereja terpikat untuk menguasai negara, sehingga gereja sering kali harus terbenam dalam dunia politik. Kekuasaan gereja yang melampaui batas wewenangnya ini dapat mengakibatkan terjadinya pengekangan terhadap kebebasan manusia, seperti yang terjadi di dalam abad pertengahan.

2.6 Pandangan Roma KatholikPandangan yang optimis mengenai gereja menguasai negara tetap dipegang sampai saat ini, walaupun abad pertengahan telah membuktikan pola hubungan ini sangat berbahaya bagi kebebasan beragama. Dan hingga saat ini pola ini masih dianut oleh sebagian orang Kristen Indonesia Pola inilah yang mendorong lahirnya partai-partai yang bernuansa agama Kristen di Indonesia. Pola hubungan gereja menundukkan negara bukan hanya dianut oleh umat Katolik pada abad pertengahan, tetapi juga ada pada kelompok/denominasi Kristen lainnya, walaupun dasar berpijaknya berbeda.Perubahan hubungan antara gereja dan negara sebagaimana ada pada pola hubungan pertama diatas terjadi pada pemikiran Reformatoris. Jika tradisi Roma Katolik melihat eksistensi negara bersumber dalam hukum kodrat, sebaliknya tradisi reformasi melihat negara dalam perspektif kejatuhan manusia atau dalam usaha memelihara dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Allah menciptakan institusi negara sebagai bagian dari ordo pemeliharaan. Jadi negara tidak termasuk dalam ordo penciptaan, sehingga negara sebagaimana pandangan Agustinus dilihat secara negatif, namun tidak boleh diartikan tidak berguna. Bagi Luther, institusi negara dalam dirinya bersifat negatif, karena negara tidak menghasilkan kebaikan tetapi hanya untuk mencegah kejahatan. Dan kekuasaan negara sering kali mudah untuk diselewengkan, namun demikian negara perlu ada untuk menghindari anarkhi; karena bagi Luther tirani lebih baik dari pada anarkhi.

2.7 Pandangan Marthin LutherDalam teori dua kerajaannya, Luther menggambarkan bahwa negara dan gereja memiliki kewenangan yang berbeda. Negara mempunyai wewenang dalam urusan kesejahteraan, sedang gereja dalam urusan-urusan rohaniah. Dan gereja tidak boleh melawan pemerintah, kecuali negara mencampuri urusan gereja dalam wewenang spiritual. Dan pada waktu negara bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kewajibannya, gereja dapat melawan Negara demi ketaatan pada Allah; untuk itu gereja harus rela untuk menderita.Dalam pandangan Luther, tampak kurang memperhatikan peran sosial gereja, bahkan mengindikasikan pola pemisahan hubungan negara dan gereja secara total. Gereja menjadi pasif, bahkan akibatnya gereja menjadi tidak peduli dengan hal-hal dunia, yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya juga. Pola hubungan ini memiliki sisi negatif ketika negara bertindak melampaui daerah kekuasaannya (sewenang-wenang) dan "gereja harus tetap tunduk kepada negara." Slogan ketundukan inilah yang banyak didengungkan pada rezim Orde Baru yang lalu. Gereja kehilangan suara kenabiannya, dan gereja tidak merasa perlu aktif dalam dunia politik, karena politik dianggap sebagai perjuangan orang tidak percaya, ironisnya gereja yang tidak berpolitik dipakai untuk kepentingan politik rezim yang lalu juga.

2.8 Pandangan John CalvinPandangan yang lebih positif mengenai pola hubungan gereja dan negara disuarakan oleh Calvin. Sebagaimana Luther, Calvin juga setuju untuk melihat negara dalam perspektif kejatuhan manusia. Mengenai pandangan Calvin yang juga dipegang oleh Abraham Kuyper, sisi positifnya seperti berikut.Sebab sesungguhnya tanpa dosa pasti tidak akan ada tatanan penguasa dan negara, ...Dengan demikian, semua konsepsi yang benar tentang natur negara dan tentang pengambil alihan kekuasaan oleh pemerintah, dan di pihak lain, semua konsepsi yang benar tentang hak dan kewajiban rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, bergantung pada apa yang telah dikedepankan oleh Calvinisme sebagai kebenaran primordial bahwa Allah telah membentuk orang-orang yang memerintah, karena alasan dosa... tanpa hukum dan pemerintahan, dan tanpa otoritas yang berkuasa, akan sungguh-sungguh menjadi neraka di bumi, atau setidaknya merupakan suatu pengulangan dari apa yang pernah ada di bumi ketika Allah menenyelamkannya dalam air bah, ras pertama manusia yang bobrok.Menurut pandangan Calvin negara ada karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, tanpa dosa negara tidak perlu ada. Namun walaupun Calvin melihat negara secara negatif, tapi ia percaya bahwa negara berguna untuk dapat mengatur kehidupan menjadi lebih baik. Calvin melihat negara lebih positif dibandingkan Luther. Dalam pandangan Calvin, tanpa negara kehidupan menjadi seperti neraka.Walaupun Calvin mengakui ada kedaulatan yang berbeda antara negara dan agama sebagaimana Luther, namun berbeda dengan Luther, Calvin berpendapat bahwa apabila negara menyalah gunakan kekuasaannya, baik urusan spiritual maupun dunia, rakyat boleh melawannya. Jadi Calvin tidak memisahkan negara dengan agama secara total, ia mengakui pemisahan tetapi tidak ada keterpisahan. Tidak ada subordinasi atau separasi total, melainkan yang terjadi adalah koordinasi."Kedaulatan negara dan kedaulatan Gereja berdiri berdampingan, dan mereka saling membatasi satu dengan lainnya'. Pandangan Calvin ini didasarkan oleh pemahaman bahwa gereja dan negara memperoleh wewenangnya dari Allah yang satu, bagi dunia yang satu dan kemanusiaan yang satu. Bagi Calvin pemerintahan sipil merupakan sesuatu yang dibutuhkan karena dosa masih merajalela. Negara ada karena manusia cenderung berbuat kejahatan, bahkan didalam masyarakat Kristen sendiri banyak orang yang tidak menjadi Kristen yang sejati. Karena wewenang negara berasal dari Allah, maka negara harus beralaskan pada penghormatan dan kesusilaan. Negara bertanggung jawab terhadap kemajuan agama, untuk menjaga kesusilaan, namun negara tidak diberi hak untuk mengatur apa yang terjadi dalam Gereja.

2.9 TERAPAN DALAM KONTEKS INDONESIAPola hubungan gereja dan negara yang beragam di atas, akan memengaruhi sikap orang Kristen terhadap Negara. Namun sebagaimana telah dijelaskan, Orang Kristen seharusnya berani mengambil salah satu pola hubungan gereja dan negara yang Alkitabiah dan relevan untuk konteks Indonesia. keputusan ini penting bagi maksimalisasi peran Kristen dalam negara Republik Indonesia. Untuk itu, maka pengetahuan negara menurut Perjanjian Lama diharapkan dapat menolong orang Kristen dalam memilih pola hubungan antara negara dan gereja dan mencari relevansinya dalam konteks Indonesia.

2.10 Ketidakabsahan suatu Negara Agama di Negara PancasilaHubungan negara dan agama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang terus mengalami perdebatan. Sejak awal kemerdekaan ada dua kekuatan yang terus saling berusaha untuk menancapkan taring kekuasaannya atas negara. Pertama ada kelompok yang menginginkan adanya pemisahan total antara agama dan negara, yang akan melahirkan negara sekuler yang anti agama. Kedua, Keingina agama untuk mendominasi negara, menjadikan nilai-nilai agama tertentu sebagai dasar bagi penyelenggaraan negara.Untuk menghindari benturan keduanya, maka Pancasila menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, karena itu tidak ada satu agama pun yang boleh mendominasi negara. Indonesia bukan negara sekuler, karena pendiri Indonesia adalah orang-orang yang beragama dan menghimbau semua rakyat Indonesia supaya beragama. Pernyataan negara Indonesia bukan negara sekuler juga ditegaskan dalam sila pertama dari Pancasila, yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan. Penolakan terhadap negara sekuler juga tidak berarti bahwa Indonesia bisa dibangun di atas dasar agama tertentu, karena agama-agama lain, tentu saja tidak dapat menerimanya.Misalnya, suatu usaha untuk menggantikan Pancasila dengan mendirikan negara Islam telah terjadi berulang kali dan usaha-usaha tersebut selalu mengalami kegagalan. Mengenai Islam yang tidak pernah berhasil mempersatukan Indonesia, Eka mengutip Simatupang sebagai berikut:"Tidak pernah ada sebuah kerajaan Islam yang mempersatukan seluruh Indonesia di bawah kekuasaannya. Ada wilayah-wilayah yang tak pernah dicapai oleh Islam, dan di beberapa wilayah Indonesia Lapisan pra-Islam tetap mempunyai pengaruh yang besar. Ketika Majapahit sedang mundur dan Islam belum berhasil mencapai seluruh Indonesia, ketika itulah pengaruh Barat diperkenalkan. Bersamaan dengan itu, kekristenan meluas dan menjadi agama dari wilayah-wilayah yang belum dapat dicapai sebelumnya oleh pengaruh-pengaruh kultural dan religius baik India maupun Islam".Indonesia pantas disebut sebagai "bukan negara sekuler" karena rakyat yakin bahwa kemerdekaan yang diperoleh 17 Agustus 195 semata-mata karunia Tuhan. Namun Indonesia juga bukan negara agama, karena agama Islam yang terbesar sekalipun tidak pernah menyatukan Indonesia, sehingga tidak mungkin menempatkan Indonesia sebagai negara agama. Selanjutnya pemahaman Indonesia sebagai "bukan negara agama dan bukan negara sekuler" telah diakui sejak lama. Namun dalam perjalanan sejarah, usaha untuk menjadikan Indonesia negara sekular dan negara agama terus berlangsung. Munculnya partai-partai agama di Indonesia secara tidak langsung juga merupakan usaha untuk menggantikan ideologi negara, walapun menyatakan diri berazaskan Pancasila. Meski demikian, kerinduan untuk mendirikan partai-partai yang bernafaskan keagamaan lebih didorong oleh semangat agama untuk menguasai negara. Hal ini terlihat bahwa partai-partai keagamaan tersebut lebih memperjuangkan kelompok agama tertentu serta mengabaikan nilai-nilai Pancasila.Salah satu perjuangan partai keagamaan yang nyata-nyata berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai kelompok agama tertentu adalah partai Masyumi, sebagaimana diutarakan oleh Affan Gaffar adalah Masyumi:Masyumi merupakan partai politik terbesar yang terlihat dalam pemilihan umum 1955 dengan memperoleh suara terbanyak, akan tetapi tidak berhasil membentuk koalisi yang menghasilkan pemerintahan yang kuat sehingga agenda-agenda politik tidak dapat dijalankan, di samping persoalan internal dalam tubuh partai itu sendiri. Sebagai partai Islam yang besar, Masyumi mencoba memperjuangkan agar Islam merupakan nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia melalui forum konstituante. Akan tetapi Masyumi mendapat tantangan yang sangat kuat dari kalangan nasionalis, komunis, serta Kristen/Katolik.Pengalaman Partai Masyumi tersebut telah memberikan gairah bagi tumbuhnya partai-partai keagamaan untuk mendapatkan suara dalam pemilu untuk mendapatkan kekuasaan. Sayangnya, pengalaman Masyumi sebagai partai yang pernah meraih suara terbanyak namun tidak berhasil melakukan penetrasi nilai-nilai Islam untuk menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini tidak pernah dijadikan pelajaran berharga oleh semua kelompok agama yang ada di Indonesia. Sehingga motivasi pendirian partai-partai yang bernafaskan keagamaan tetap sama hingga saat ini. Hal itu terlihat jelas dalam janjijanji kampanye yang diberikan.Pernyataan bahwa negara Indonesia memisahkan antara negara dan agama merupakan keputusan yang diambil founding fathers Indonesia. Jadi disamping Pancasila memisahkan agama dari negara. Pancasila juga mengakui bahwa tidak ada satu agamapun yang dapat dijadikan agama negara, yang akhirnya agama bisa meguasai negara. Pemisahan antara agama dan negara dalam NKRI berarti bahwa negara dan agama diakui memiliki kodrat yang berbeda sehingga negara tidak boleh mencampuri urusan negara dan agama tidak boleh menguasai negara. Indonesia adalah "negara teis-demokratis." Negara yang berdasarkan ketuhanan, sebagaimana dijelaskan dalam sila pertama dari Pancasila. Dan negara melindungi agama-agama yang ada serta memberikan kesempatan yang sama.Hubungan antara agama dan negara di Indonesia nampak telah dirumuskan dengan jelas. Ungkapan Indonesia "bukan negara agama dan bukan negara sekuler" yang unik bukan merupakan penyimpangan dari Pancasila. Namun adanya kecenderungan lain, bahwa di luar Pancasila, hubungan antar agama dan negara tersebut menjadi kabur. Indonesia dengan Pancasila-nya menyatakan diri sebagai "negara demokrasi" yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Mengenai keunikan Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, Simatupang menerangkan demikian:Negara modern yang bukan negara sekuler, bukan negara agama, dalam arti diidentikkan dengan salah satu agama, tetapi di mana dalam rangka Pancasila, beberapa agama mempunyai kedudukan resmi dan hidup berdampingan bahkan memikul tanggung jawab bersama dalam upaya untuk mendirikan suatu model yang tidak sekuler tetapi tetap menjunjung tinggi nilai moral, etik dan spiritual. Eksperimen yang berlangsung di Indonesia ini tidak ada duanya di negara lain dan sepanjang sejarah umat manusia, dan oleh sebab itu tidak usah mengherankan bahwa upaya untuk menjalankan hal yang belum pernah terjadi itu, tidak selalu mudah. Pihak-pihak yang bersangkutan sendiri yaitu golongan-golongan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, kadang-kadang cenderung untuk kembali ke dalil-dalil yang mereka bawa dari negara asalnya ke Indonesia dan menghadapi masalah-masalah baru.Walaupun hubungan agama dan negara di Indonesia sangat jelas tetapi tetap timbul keneragaman pandangan tentang hubungan agama dan negara. Perbedaan tafsir ini, menurut T.B. Simatupang dikarenakan, agama-agama yang ada belum memahami konteks di mana mereka berada, karena agama-agama yang ada, menurutnya, masih berpijak pada tempat asal di mana agama itu berada sebelum di bawa ke Indonesia. Usaha tokoh-tokoh agama untuk memecahkan masalah etika politik yang melanda Indonesia dengan mendirikan partai-partai agama bisa saja didasarkan pada niat suci. Namun usaha tersebut tidak perlu ditunggangi oleh keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Ideologisasi agama jenis ini bisa jadi akan menghantam balik agama-agama yang pada dasarnya memiliki niat suci tadi, jika nilai-nilai agama yang dipenetrasikannya justru tidak dapat membawa Indonesia pada kehidupan yang lebih baik. Kondisi ini akan membuat agama-agama kehilangan justifikasi moralnya.

2.11 Prinsip Hubungan Negara dan Agama di IndonesiaDari sudut pandang Perjanjian Lama hubungan antara agama dan negara memiliki hubungan yang jelas, yaitu negara dan agama merupakan kodrat yang berbeda, namun keduanya berasal dari sumber yang sama. Wewenang negara dan agama (gereja) berasal dari Tuhan. Karena itu keduanya harus diabdikan kepada kemanusiaan.Prinsip Hubungan yang demikian memiliki relevansi dalam Pancasila. Mengenai kesesuaian tersebut, Darmaputera seorang teolog Kristen yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Calvin menjelaskan demikian,Negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka landasan moral, etik dan spiritual bagi, pembangunan nasional... artinya, kerangka landasan moral etik dan spiritual itu tidak hanya kontribusi satu agama saja.Agama dan negara berbeda, negara tidak boleh menguasai negara, demikian juga agama tidak boleh menguasai negara. Agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi. Agama bertanggung jawab untuk mengingatkan negara pabila negara tidak melakukan kewenangannya sebagaimana kodratnya. Karena agama-agama adalah pemberi landasan moral, demikian juga pada waktu agama-agama dalam interpretasi praktis keagamaannya melanggar undang-undang dan ketertiban umum. Maka negara wajib untuk melakukan tindakan hukum untuk penertiban hubungan bersama antar agama dan kelompok yang ada.Agama harus senantiasa kritis terhadap negara, karena negara sebagai institusi yang diciptakan setelah kejatuhan memiliki kelemahan. Pada saat negara tidak berjalan sesuai dengan kewenangannya, bukan saja gereja tidak harus mentaatinya, tetapi gereja harus memberikan kritik untuk mengembalikan negara pada kodratnya. Namun agama-agama tersebut tidak boleh menguasai negara. Karena dominasi agama (tertentu) akan menimbulkan pemerintahan yang otoriter kembali, yang tidak akan dapat menerima kritik dari agama-agama yang berbeda. Di sini terjadilah hegemoni agama sekaligus diskriminasi terhadap agama-agama yang berbeda.Dari sudut pandang Kristen (PL), perjuangan kelompok-kelompok seharusnya tetap berpegang pada keadilan yang telah ditetapkan pada keputusan untuk memisahkan negara dan agama. Pada hakekatnya, agama memiliki daerah kekuasaan yang berbeda dengan negara. Walaupun agama-agama membutuhkan negara, kepentingan agama tidak boleh diwujudnyatakan dengan memakai tangan negara. Dan perjuangan agama-agama untuk mendapatkan kedudukan harus merupakan perjuangan universal tanpa diskriminasi. Jadi seorang Kristen yang menduduki jabatan negara tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan agama atau kelompoknya, walaupun ia dipilih dengan mendapatkan suara terbanyak yang berasal dari kelompok tertentu. Siapa pun yang memegang kepemimpinan dalam pemerintahan harus bersikap adil, karena perjuangannya adalah perjuangan demi menegakkan keadilan yang bersifat universal, bukan kepentingan kelompok tertentu.Umat Kristen juga harus mendorong umat beragama lain untuk menyumbangkan nilai-nilai yang inklusif dalam transformasi Pancasila. Nilai-nilai inklusif agama-agama ini akan menjadi landasan moral bagi bangsa Indonesia. Bagi umat Kristen moralitas merupakan sesuatu yang bersifat universal, karena itu penciptaan undang-undang yang berlandaskan moral yang bersifat universal menjadi semangat kekristenan dalam partisipasi pambangunan bangsa.Apabila agama tetap berada dalam kodratnya maka agama dalam dunia publik akan sangat berperan bagi terciptanya negara yang berjalan sesuai dengan kodratnya. Mengenai peran agama dalam negara Martin Lukito Sinaga mengutip rumusan Jose Casanova sebagai berikut: 1. Agama memasuki dunia-dunia publik haruslah membela, tidak hanya kebebasannya, tetapi juga kebebasan kelompok agama yang lain (jadi agama dihayati secara majemuk): dengan demikian agama-agama akan mencegah juga lahirnya absolutisme negara. 2. Agama-agama tersebut secara aktif mempersoalkan absolutisme otonomi sekuler, namun kali ini tidak dengan keinginan menggantikan atau pun menetukan jalannya negara sedemikian (sebab nanti ia akan menjadi absolut lagi), tetapi menggugat realitas secara etis. 3. Dalam ia membela traditional life world terhadap penetrasi ataupun kolonialisasi dunia teknis dan administrasi negara modern (yang anonim itu), ia tidak perlu melamun, mengimpikan suatu gemeinschaft negeri ideal agamanya yang mau dibawa hadir saat ini, tetapi menjadikan "dunia' kehidupan tradisi yang khas agamis itu sebagai sebuah wacana yang terbuka dan didebatkan secara publik: dan menjadikannya suatu semangat dalam religious social movement.Apabila agama-agama (khususnya umat kristiani) dapat berperan seperti yang dijelaskan di atas, maka terbentuklah masyarakat sipil yang kuat yang mempunyai daerah kekuasaannya sendiri. Pandangan Perjanjian Lama (Alkitab) tentang hubungan agama dan negara ini baik untuk semua, karena dalam masyarakat sipil yang terbentuk ini diperjuangkan yang namanya kedaulatan publik (public sphere). Di sini, opini yang berasal dari berbagai agama dibentuk dan kemudian menimbulkan kedaulatan baru, yaitu daerah kedaulatan masyarakat sipil yang merupakan syarat penting untuk adanya negara demokrasi.Dengan adanya peran agama-agama dalam memberikan arah moral dan etika bagi negara melalui pembentukan opini yang merupakan sumbangsih agama-agama, maka agama-agama tidak akan melepaskan kontrolnya dari pemerintah. Dan pemerintah secara bersamaan juga harus menjaga proses pembentukan masyarakat sipil tersebut berjalan dengan baik melalui proteksi terhadap hak-hak sipil. Kemudian politisasi agama yang timbul karena diskriminasi agama dapat ditekan. Pemakaian agama untuk mendapatkan kekuasaan pribadi juga akan menjadi sulit karena agama-agama telah turut berperan dalam pembangunan bangsa. Jadi agama-agama menjadi agama publik yang terbuka.Pertimbangan, dilemparkannya agama dari dunia privat ke dalam dunia publik, untuk Indonesia merupakan sesuatu yang amat penting. Setidaknya, agama-agama bisa saling mengenal, sehingga menghapuskan kecurigaan antar umat beragama yang telah lama ditabur dalam proses politisasi agama. Pengenalan yang lebih baik akan agama-agama lain, secara khusus juga akan menolong agama-agama misioner dalam memahami misi agama-agama lain, sehingga konflik dapat dihindari. Dengan pemahaman atas agama lain, usaha-usaha misi agama-agama dapat dijalankan secara kontekstual tanpa harus mengkompromikan ajaran agamanya.Bagi penganut kepercayaan, hubungan antara agama dan negara menjadi penting, karena di sini mereka juga dapat ikut serta dalam pembentukan opini publik yang dapat memberikan tempat bagi eksistensi mereka, karena perlindungan hak-hak sipil memungkinkan mereka dapat memberikan opininya. Demikian juga aliran `bidat' yang sering kali salah dimengerti oleh banyak orang di Indonesia, karena yang mengetahui tentang bidat umumnya hanyalah tokoh-tokoh agama. Mereka dapat memberikan opini mereka bagi pembangunan bangsa. Di sini terjadi interaksi sosial antara bidat dan agama-agama di dalam saling pengertian dan akhirnya memberi tempat dalam pembentukan moral dan etika.Umumnya `bidat' adalah kelompok-kelompok yang memisahkan diri dari agama karena adanya hutang agama yang belum terpenuhi dalam mengemban tanggung jawab perwujudan keyakinan agamanya. Demikian juga penyebutan agama mainstream (aliran yang baku) yang menuntut hak monopoli atas kebenaran, tidak lagi mendapatkan tempat, karena hal itu sering kali dipergunakan sebagai alat untuk menindas kepercayaan lain, yang berbeda dengan aliran utama yang diakui sebagai "agama-agama resmi."Apabila perjuangan semua rakyat Indonesia yang beragama adalah perjuangan untuk pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, dengan semangat yang inklusif bagi terbentuknya demokrasi yang berkeadilan, maka peran agama-agama tidak akan berubah menjadi usaha untuk saling menguasai dengan memakai negara sebagai senjata untuk meredam sesamanya. Perjuangan tersebut seharusnya menjadi perjuangan bersama yang suci, untuk orang Kristen perjuangan tersebut haruslah dilakukan dengan sungguh-sungguh karena hubungan agama dan negara yang ada dalam NKRI sesuai dengan berita Alkitab. Bagi orang Kristen di Indonesia, inilah perjuangan yang sesungguhnya, sebagaimana dikatakan oleh Darmaputera:Kita seharusnya berjuang bagi pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, yakni pengamalan semangatnya yang inklusif dan non-diskriminasi itu, kita seharusnya berjuang bagi kesatuan dalam keberagaman Indonesia dan seharusnya berjuang bagi terbentuknya dan realisasi demokrasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

KESIMPULANHal yang menghambat aktivitas orang Kristen dalam negara adalah adanya penekanan yang terlalu berlebihan mengenai kewarganegaraan surga. Tidak sedikit orang Kristen yang berpikir bahwa karena mereka bukan warga negara dunia, bukan dari dunia, mereka adalah warga negara surga, maka tidak perlu menghabiskan waktu untuk memberikan kontribusi positif pada negara, cukup menjadi warga negara yang baik. Orang Kristen bahkan tidak sedikit yang merasa tabu untuk turut serta dalam pembangunan negara secara khusus dalam politik praktis, bagi mereka politik sering kali diidentikkan sebagai sesuatu yang tanpa moral atau menghalalkan segala cara.Mengabaikan Perjanjian Lama dalam memahami negara dari sudut iman kristiani akan mengakibatkan lahirnya pemikiran yang sempit tentang negara. Realitas ini dapat dimengerti, karena Perjanjian Baru tidak melaporkan secara menyeluruh mengenai konsep negara, dan hubungannya dengan agama (gereja). Apalagi aktivitas orang Kristen dalam pemerintahan pada jaman para Rasul sangat terbatas, sehingga tidaklah mengherankan sulit untuk mencari contoh mengenai hubungan antara agama dan negara secara jelas dalam Perjanjian Baru. Akibatnya, tanpa pemahaman Perjanjian Lama maka konsep hubungan antara agama dan negara menjadi beragam, dan terus dipegang hingga saat ini.Agama tidak dipisahkan total dari negara, namun agama tidak boleh berkeinginan menguasai negara. Agama bukan hanya ada dalam dunia privat, tetapi ada dalam dunia publik, yang memiliki peran dalam dunia publik. Untuk menghidupi `hubungan antara agama dan negara' memang bukan merupakan suatu hal yang mudah. Kekerasan yang biasa menghiasi hubungan dan kecurigaan antar pemeluk agama akan tantangan tersendiri. Oknum-oknum yang terlalu lama menikmati kekuasaan dengan memanfaatkan agama-agama tidak dengan sendirinya akan melepaskan nikmatnya kuasa tersebut. Namun perjuangan bangsa ini yang menyadari arti pentingnya negara Indonesia bagi mereka akan menjadi modal dalam usaha mencapai Indonesia yang lebih baik.