makalah agama makrifat
TRANSCRIPT
MAKALAH
MA’RIFATULLAH
Disusun sebagai Tugas Mata KuliahPendidikan Agama Islam
Disusun Oleh :
Sonny Arfan
12040005
FAKULTAS TEKNIKINSTITUT TEKNOLOGI PEMBANGUNAN SURABAYA
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................2
1.1 Latar Belakang....................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................5
1.4 Sistematika Penulisan.........................................................................5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................4
2.1 Pengertian Makrifatullah....................................................................4
2.2 Cara Bermakrifat................................................................................5
2.3 Dzat Ilahiyah.......................................................................................8
2.4. Sifat-Sifat Allah..................................................................................9
2.5 Hakikat Iman dan Buahnya..............................................................13
2.6 Yang Menjadi Kekhawatiran Orang-orang makrifat........................15
2.7 Ma’rifat Kepada Allah Bererti Menemukan Puncak Kebesaran
Nikmat......................................................................................................16
2.8 Ciri-ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada Allah, yaitu :.......................18
2.9 Pandangan Para Ulama’ tentang Ma’rifat........................................19
BAB III PENUTUP......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................23
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam, dan intinya adalah iman dan
amal. Iman dan amal, atau aqidah dan syari’ah kedua-duanya berkaitan
satu sama lainnya seperti keterkaitan antara buah dan pohonnya.
Iman mencerminkan aqidah dan pokok-pokok yang menjadi
landasan syari’at Islam. Dan dari dasar-dasar ini keluarlah cabang-
cabangnya. Amal mencerminkan syari’ah dan cabang-cabang yang
dianggap sebagai tindak lanjut dari iman dan aqidah.
Pengertian iman atau Aqidah meliputi enam perkara :
1) Ma’rifat kepada Allah, ma’rifat kepada nama-nama-Nya yang baik
dan sifat-sifat-Nya Yang Tinggi, ma’rifat kepada dalil-dalil wujud-
Nya dan fenomena-fenomena keagungan-Nya di alam semesta ini.
2) Ma’rifat kepada alam yang ada dibalik alam semesta ini atau alam
yang tidak dapat dilihat (alam ghaib).
3) Ma’rifat kepada Kitab-kitab Allah yang diturunkan untuk
menentukan rambu-rambu kebenaran dan kebathilan, kebaikan dan
kejahatan, halal dan haram, yang baik dan yang buruk.
4) Mar’rifat kepada para nabi dan rasul Allah yang telah dipilih untuk
menjadi penunjuk jalan dan pembimbing makhluk untuk mencapai
kebenaran.
5) Ma’rifat kepada hari akhir dan hal-hal yang ada didalamnya.
6) Ma’rifat terhadap qadar (takdir).
Pemahaman tentang iman ini adalah aqidah yang menjadi muatan
kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, ajaran yang dibawa oleh para
Rasul-Nya, dan wasiat-Nya kepada umat-umat terdahulu maupun umat
belakangan. Sesungguhnya Allah menjadikan aqidah ini berlaku umum
2
bagi seluruh manusia dan kekal sepanjang masa karena ia mempunyai
dampak yang jelas dan manfaat yang tampak dalam kehidupan individu
maupun masyarakat. Ma’rifat kepada Allah, membangkitkan kebaikan-
kebaikan, membina rasa senantiasa diawasi oleh Allah (muroqobah),
memotivasi untuk mencari hal-hal yang luhur dan mulia, menjauhkan
manusia dari sifat nista dan hina. Ma’rifat kepada para malaikat,
mendorong sesorang untuk mencontoh sifat-sifat mereka (dlm hal
kesucian) dan tolong menolong mereka dalam kebenaran dan kebaikan,
sehingga mendorong manusia kepada kesadaran dan kewaspadaan yang
sempurna sehingga yang timbul dari diri manusia adalah hal-hal yang
mulia. Ma’rifat kepada kitab-kitab Allah, mendorong manusia untuk
mengetahui manhaj (sistem kehidupan) yang digariskan Allah untuk
umat manusia agar menempuh manhaj tersebut untuk mencapai
kesempurnaan materi maupun etika. Ma’rifat kepada para
Rasul,dimaksudkan untuk mengetahui langkah-langkah mereka dan
meneladani apa yang mereka lalukan sebagaimana yang dikehendaki
Allah untuk setiap umat manusia. Ma’rifat kepada hari akhir, sebagai
pendorong yang paling kuat untuk mengerjakan kebaikan dan
meninggalkan keburukan. Ma’rifat terhadap qadar, dapat memberikan
bekal kepada seseorang dengan berbagai potensi dan kekuatan yang
mampu menghadapi berbagai hambatandan kesulitan, dan dihadapannya
persoalan-persoalan besar menjadi kecil. Hal yang demikian (aqidah)
dimaksudkan untuk membersihkan perilaku, menyucikan jiwa dan
mengarahkan kepada nilai-nilai yang paling luhur, disamping ia
merupakan kebenaran yang kokoh dan tidak berubah-ubah. Sehingga
menanamkan aqidah kepada jiwa, merupakan cara yang paling tepat
untuk mewujudkan unsur-unsur yang baik. Karena sesungguhnya aqidah
merupakan sumber berbagai perasaan yang muia, lahan untuk
menanamkan berbagai perasaan yang baik, dan tempat tumbuhnya
perasaan yang luhur.
3
Para Rasul menyampaikan aqidah kepada umatnya dengan cara
yang seluruhnya mudah dipahami, sederhana dan logis. Para Rasul
mengajak mereka untuk memperhatikan kerajaan langit dan bumi,
membangkitkan akal mereka untuk berpikir tentang ayat-ayat Allah,
mengingatkan fitrah mereka kepada perasaan beragama yang telah
ditanamkan kepadanya, dan menumbuhkan kesadaran akan adanya alam
dibalik alam materi ini. Dengan cara-cara tersebut Rasulullah
membangkitkan aqidah dalam jiwa umatnya, mengarahkan pandangan
dan pikiran mereka, membangkitkan akal dan mengingatkan fitrah
mereka, seraya merawatnya dengan pendidikan dan pengembangan
hingga mencapai puncak kesuksesan.
Penyimpangan dari manhaj para nabi disebabkan oleh berbagai
perselisihn politik, kontak dengan berbagai aliran pemikiran dan
keagamaan, dan menjadikan akal sebagai hakim tentang masalah yang
berada di luar kemampuannya. Hal tersebut menjadi sebab bergesernya
iman. Pada dasarnya aqidah itu semuanya sama (tidak berbeda), namun
ketika akal menjadi ‘hakim’ yang terjadi adalah para pengemban akidah
terpecah belah menjadi berbagai aliran dan masing-masing mengklaim
diri sebagai kelompok yang paling benar. Berbagai perdebatan muncul
sehingga kedudukan aqidah menjadi melemah. Kelemahan aqidah ini
diikuti oleh kelemahan umum yang melanda individu, keluarga,
masyarakat dan negara, bahkan pada setiap segi kehidupan.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penuluisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah
diantaranya sebagai berikut:
1. Pengertian Ma’rifatullah
2. Cara Bermakrifat
3. Dzat Ilahiyah
4. Sifat-Sifat Allah
4
5. Hakikat Iman dan Buahnya
6. Yang Menjadi Kekhawatiran Orang-orang makrifat
7. Ma’rifat Kepada Allah Bererti Menemukan Puncak Kebesaran Nikmat
8. Ciri-ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada Allah
9. Pandangan Para Ulama’ tentang Ma’rifat
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Guru Madrasah
Ibtida’iyah
2. Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai Ma’rifat Allah
1.4 Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. LatarBelakang,
2. RumusanMasalah
3. Tujuan Penulisan
4. SistematikaPenulisan
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Ma’rifatullah
2. Cara Bermakrifat
3. Dzat Ilahiyah
4. Sifat-Sifat Allah
5. Hakikat Iman dan Buahnya
6. Yang Menjadi Kekhawatiran Orang-orang makrifat
7. Ma’rifat Kepada Allah Bererti Menemukan Puncak Kebesaran Nikmat
8. Ciri-ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada Allah
9. Pandangan Para Ulama’ tentang Ma’rifat
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Makrifatullah
Ma’rifatullah merupakan puncak pengetahuan bahkan merupakan
pengetahuan yang paling agung. Ia merupakan asas yang menjadi
landasan kehidupan rohani seluruhnya.
Definisi dan maksud makrifat dalam pandangan ulama' tasawuf :
Sheikh Abdus Samad Al-Palembangi berkata makrifat adalah
tujuan terakhir yang ingin diperolehi oleh ulama’ tasawuf, karena
perkara itu, baginya, adalah syurga, ”barangsiapa masuk akan ia
(makrifat) tiada ingat ia akan syurga di akhirat“. Oleh itu, beliau
berpendapat seluruh maqamat yang terdapat diperingkat mujahadah al-
maqamat dikatakan sebagai “jalan yang menyampaikan kepada makrifat
Allah swt.” Allah swt berfirman,
Artinya, ”barangsiapa takut kepada maqam tuhan nya akan dapat
dua syurga.”(al-Rahman:46)
Ahli Tafsir berpendapat yang dimaksudkan dua syurga di sini ialah
syurga dunia dan syurga akhirat. Syurga akhirat (taman indah) yang
akan didiami oleh orang mukmin diakhirat kelak, manakala syurga
dunia ialah makrifat dengan matahati (syuhud), yang sangat lazat, sedap,
manis sehingga tidak hendak lagi akan syurga akhirat itu seperti
bidadari-bidadari, makanan-makanan syurga, kota-kota, mahligai-
mahligai, pelayan-pelayan muda beliau dan lain-lain lagi. Begitulah
seperti dikatakan tuan guru Haji Daud, Bukit Abal, syurga makrifat
tersangatlah lazat dan sedapnya.
Sheikh Al-Jurjani berkata, al-Makrifat bermaksud “Mengetahui
hakikat sesuatu dan tujuan kewujudan nya, ialah makrifat didahului
4
dengan sifat al-jahil, berbeza dengan sifat al-ilm”. Oleh kerana itu
dinamakan Allah swt sebagai al-‘Alim bukan al-‘Arif.1[1]
Sheikh Ibnu ‘Athaillah berkata, ”Makrifat ialah mengetahui
hakikat sesuatu dari sudut zat dan sifat serta mengetahui fungsinya”2[2]
Tuan guru Haji Daud Umar, Bukit Abal, mengatakan, makrifat
tasauf ialah mengenal Allah swt melalui musyahadah matahati dan
bukan melalui dalil akli dan nakli.
Makrifat manusia terhadap Allah swt yang telah dialami semenjak
di alam arwah itu boleh menjadi terlupa dan terhijab dengan sifat-sifat
kemanusiaan yang terdapat pada diri seorang yang salik dan dosa-dosa
yang mereka lakukan. Ruh berasal dari alam arwah, seni, halus, bebas
dan cemerlang. Setelah dimasukkan kedalam jasad, maka ia menjadi
terlupa karena memasuki jasad yang gelap, terbelenggu dan kasar.
Untuk mengingatinya kembali, seorang itu perlu bermujahadah bagi
membersihkan hatinya, seperti firman Nya, “Dan orang yang berkerja
keras didalam agama kami, sesungguhnya kami akan pimpin mereka
dijalan-jalan kami dan sesunggohnya Allah berserta orang-orang yang
berbuat kebaikan.”(al-Ankabut:69).
2.2 Cara Bermakrifat
Ada dua sarana untuk melakukan ma’rifatullah yaitu :
1) Memikirkan dan memperhatikan segala sesuatu yang diciptakan
oleh Allah.
Menggunakan akal fikiran untuk berma'rifat kepada Allah SWT
begitu banyak disinggung dalam Al-Quran :
Berbagai ayat Mengenai hal ini dapat dibaca pada bab Quran &
Sains. Beberapa contoh ayat yang menjelaskan hal ini:
ر�ض� � و�األ� م�او�ات� الس� ف�ي م�اذ�ا وا �ظ�ر� ان ق�ل�
12
5
Katakanlah: Periksalah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan
bumi...(Q.S. Yunus: 101)
م�ع�ر�ض�ون� �ه�ا ع�ن و�ه�م� �ه�ا �ي ع�ل ون� �م�ر$ ي ر�ض�� و�األ� م�او�ات� الس� ف�ي �ة& ي
� آ م�ن� *ن� ي� �أ و�ك
"Alangkah Banyaknya ayat (tanda kekuasaan Allah) di langit dan bumi
yang mereka lalui, tetapi mereka itu semua membelakanginya saja (tidak
memperhatikannya)." (Q.S. Ysuf: 105).
2) Mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
Nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan perantara yang
digunakan Allah Ta'ala agar Makhluknya dapat berma'rifat kepadaNya.
ن�ى �ح�س� ال م�اء� �س� األ� �ه� ف�ل �د�ع�وا ت م�ا 4ا ي� أ ح�م�ن� الر� اد�ع�وا و�
� أ �ه� الل اد�ع�وا ق�ل�
Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Rahman, mana saja nama
Tuhan yang kamu seru, Dia adalah mempunyai nama-nama yang baik..."
(Q.S. Al-Ira': 110)
Jumhur ulama bersepakat bahwa nama-nama Allah yang baik
(Asmaul Husna) itu ada 99 nama. Hal ini berlandaskan pada hadis riwayat
Bukhari, muslim dan Tirmidzi yang menjelaskan hadis dari Abu Hurairah
Rasulullah saw bersabda yang artinya: Allah itu mempunyai sembilan puluh 3[3]sembilan nama. Barangsiapa yang menghafalnya (mengingatnya dan
menghadirkan dalam kalbu), ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha
Ganjil dan cinta kepada hal yang ganjil".
3
6
Ma’rifatullah dapat dilakukan dengan bertafakur. Sesungguhnya tiap
organ tubuh mempunyai tugas, sedangkan tugas akal adalah merenungkan,
memperhatikan dan memikirkan. Jika potensi ini tidak difungsikan maka
hilanglah kerja akal dan tidak berfungsi pula tugasnya. Islam menghendaki
agar akal bangkit melepaskan diri dari belenggunya dan bangun dari
tidurnya.
Tidak memfungsikan akal dapat menurunkan derajat manusia ke
tingkatan yang lebih rendah dari derajat binatang. Taqlid (mengikuti orang
lain tanpa mengetahui alasan dan tujuannya) menjadi penghalang
bagikemerdekaanakal dan pengekang akal untuk berpikir. Oleh karena itu
Allah memuji orang-orang yang bersikap objektif terhadap berbagai fakta
dan dapat membedakan antara yang satu dengan yang lain, sesudah diteliti,
diperiksa, dan dicermati lalu mereka mengambil yang terbaik dan
meninggalkan yang lain. Allah mencela orang-orang yang bertaqlid yang
tidak mau berpikir kecuali mengikuti pikiran orang lain. Ketika Islam
mengajak manusia untuk berpikir, sesungguhnya apa yang dikehendakinya
adalah berpikir dalam batas kemampuandan jangkauan akal.
“Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangalah kamu
memikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan dapat memikirkan
kadar kedudukan-Nya(sebagai mana mestinya).” (Diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim dalam alHilyh secara marfu’ kepada Nabi dengansanad yang
lemahtetapi maknanya shahih).
Diantara tujuan paling mulia yang dikehendaki Islam dari upayanya
membangkitkan akal dan memfungsikannya untuk merenung dan
memikirkan sesuatu adalah memberi petunjuk kepada manusia agar
memahami dan kemudian membimbingnya dengan lembut kepada hakikat
yang besar yakni mengenal Allah. Sesungguhnya ma’rifatullah itu
hanyalahhasil kerja akal pikiran yang cerdas dan memperoleh ilham, dan
buah pemikiran yang mendalam dan cemerlang. Sarana lain yang
dipergunakan Islam untuk mengenalkan manusia kepada Allah dengan
7
menjelaskan nama-nama Allah yang baik (al-Asma’ al-Husna) dan sifat-
sifat-Nya yang luhur.
“Katakanlah: serulah Allah dan serulah Ar-Rahmaan. Dengan
nama yang mana saja yang kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaul-Husna
(nama-nama yang terbaik)” (Al-Israa’ : 110)
“Dan bagi Allah-lah nama-nama yang terbaik, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut Asmaul-Husna itu.” (Al-A’raaf : 180)
2.3 Dzat Ilahiyah
Sesungguhnya hakikat Dzat Tuhan tidak dapat diketahui oleh akal.
Sebab Dzat tuhan memang tidak dapat dijangkau oleh akal, dan
sesungguhnya meskipun akal manusia itu cerdas dan kemampuan untuk
mengetahui sesuatu telah mencapai puncaknya namun ia sangat terbatas dan
sangat lemah untuk mengetahui 4[4]hakikat berbagai hal. Akal pun tidak
mampu mengetahui (hakikat) jiwa manusia itu sendiri. Padahal jiwa
manusia itu bukanlah suatu hal yang asing. Persoalan tentang jiwa masih
merupakan 5[5]salah satu persoalan yang sulit dipecahkan oleh ilmu
pengetahuan maupun fisafat. Akal juga tidak dapatmengetahui hakikat
cahaya. Padahal cahaya merupakan barang yang paling tampak dengan
sangat jelas. Ilmu manusia sampai sekarang ini masih tidak mampu
menguak banyak hal tentang hakikat alam semesta ini, dan tidak mampu
berbicara tentang hal itu secara pasti. Seorang ahli falak terkenal, Kamikl
Flamaryun dalam btkunya “Kekuatan Alam Yang Misteri” berkata : “Kami
melihat diri kami sedang berfikir. Namun apa itu berpikir? Tidak seorang
pun dapat menjawab pertanyaan ini, dan kami melihat diri kami sedang
berjalan. Akantetapi apa sebenarnya kerja oto itu? Tidak seorang pun
mengetahui hal itu.” Keterbatasan akal pikiran, kelemahan untuk
mengetahui hakikat sesuatu, dan ketidakmampuan akal untuk mengetahui
45
8
hakikat jiwa manusia tidaklah berarti menafikan keberadaannya. Kelemahan
akal untuk mengetahui hakikat cahaya tidak berarti menafikan adanya
cahaya yang memancar diberbagai ufuk. Demikian pula mengenai dzat
Tuhan. Bila manusia tidak mampu mengetahui hakikatnya, maka tidak
berarti bahwa Dia tidak ada,bahkan Dia ada dan keberadaan-Nya jauh lebih
kuat dari segala yang ada. Orang yang meminta pembuktian atas adanya
Tuhan bagaikan orang buta yang menuntut bukti atas adanya matahari di
siang hari bolong.
2.4. Sifat-Sifat Allah
Sifat-sifat yang dimiliki Allah yang diantaranya disebut sifat
salsabiyah dan di antaranya ada yang disebut sifat tsubutiyah. Sifat
salsabiyah adalah sifat yang meniadakan segala sesuatu yang tidak layak
bagi kesempurnaan Allah.
Sifat salsabiyah tersebut adalah Al-Awwal dan Al-Akhir. Allah adalah
dzat yang maha dahulu, artinya bahwa tiada permulaan bagi wujud-Nya dab
bagwa wujud Allah tanpa didahului dengan tahap tiada. Allah adalah dzat
yang Maha Akhir. Artinya bahwa Allah itu dzatnya tiada akhir, kekal tanpa
batas, dan tanpa berkesudahan. Dia itu Azali (Maha dahulu) dan abadi, tidak
didahului oleh siapapun.
“Dialah yang Awwal dan yang Akhir, yang Dhahir dan yang Bathin
dan Dia mengetahui segala sesuatu.”(Al-Hadiid : 3)
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”(Al-Qashash :88)
Menurut keterangan hadits-hadits yang ada tampak bahwa ‘Arasy
merupakan makhluk bagian atas yangpertama kali diciptakan dan
bahwasanya air merupakan makhluk berupa benda yang pertama kali
diciptakan. Dan air ini diciptakan sebelum penciptaan ‘Arasy sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi. Sesudah penciptaan
‘Arasy dan air barulah kemudian Allah menciptakan langit dan bumi. Begitu
9
juga tampak dari hadist shahih yang diriwayatkan Imam Ahmad dan
Tirmidzi bahwa makhluk ma’nawi yang pertama kali diciptakan adalah
Qalam (pena).
“Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi bersabda: Sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh
Allah adalah qolam(pena). Kemudian Allah berfirman
kepadanya :’Tulislah’. Kemudian qalam itu terus berjalan mencatat apa
yang ada (segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini) sampai
datangnya hari kiamat.” (HR Bukhari)
Perlu diketahui tidaklah benar seseorang yang berkata: “Allah telah
menciptakan makhluk-makhluk, lantas siapa yang menciptakan Allah?” Hal
ini disebabkan pertanyaannya keliru. Pencipta itu bukan makhluk. Sebab
andaikata Dia makhluk niscaya memerlukan pencipta. Bagaimana mungkin
seseorang bisa mengetahui dzat Tuhan, sedangkan mengetahui hakikat
dirinya pun tidak tahu.
“Orang akan selalu bertanya, sehingga ditanyakan juga hal yang
berikut: “Allah telah menciptakan makhluk lalu siapa yang menciptakan
Allah?” Maka barang siapa menjumpai pertanyaan seperti itu hendaklah ia
berkata: Aku beriman kepada Allah (Yang Maha Pencipta).” (HR. Imam
Muslim)6[6]
Allah yang Maha Suci tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia
dan Dia tidak sama dengan apapun. Segala sesuatu yang terlintas dibenak
anda maka Dia tidaklah seperti itu.
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura : 11)
Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan lemah, sedangkan
Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa. Manusia diciptakan dalam keadaan
memerlukan pertolongan orang lain, sedangkan Allah Maha Kaya dan Maha
Terpuji. Manusia beranak dan diperanakkan, sedangkan Allah tidak beranak
6
10
dan tidak diperanakkan. Manusia pelupa, sedangkan Allah tidak pernah
keliru dan tidak pula lupa. Manusia serba berkekurangan sedangkan Allah
Maha Sempurna secara mutlak.
“Katakanlah,Dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nyasegala sesuatu, yang tiada beranak dan tiada
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” (Al-
Ikhlas : 1-4)
Allah Maha Esa di dalam Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-
perbuatan-Nya. Keesaan Dzat, maksudnya adalah bahwasanya Allah itu
tiada sekutu bagi-Nya di dalam kerajaan-Nya.
“Maha Suci Allah, Dialah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”
(Az-Zumar : 4)
Adapun sifat Allah berikutnya adalah sifat-sifat yang tsubutiyah.
Allah itu Maha Kuasa, tidak lemat sedikitpun untuk mengerjakan sesuatu.
Allah itu Maha Berkehendak(Iradah), yakni Allah menentukan sesuatu yang
mungkin ada dengan sebagian apa yang pantas berlaku untuknya. Allah
bebas berkehendak menjadikannya tinggi atau pendek, baik atau buruk,
berilmu atau bodoh, dll. Allah itu Maha Mengetahui (Ilmu), yakni
mengetahui segala sesuatu, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang ada,
baik yang terjadi di masa lampau atau yang sedang terjadi atau yang akan
terjadi. Allah itu Dzat yang Maha Hidup (Hayat), yakni sifat hidup inilah
yang membuat pihak yang disifatinya menjadi layak menerima sifat qudrah,
iradah, ilmu, sama’, dan bashar. Andaikata Dia tidak hidup maka sifat-sifat
tersebut tidak aka nada pada-Nya. Allah itu Maha Berbicara (Kalam), yakni
tidak dengan huruf dan tidak pula dengan suara. Allah telah menetapkan
sifat ini kepada diri-Nya sendiri. Allah itu Maha Mendengar, yakni dapat
mendengar segala sesuatu sehingga Dia benar-benar, dapat mendengar
langkah-langkah semut hitam yang berjalan di atas batu licin diwaktu
malam yang gelap gulita. Sebagaimana Dia mampu mendegar segala
sesuatu, Dia-pun Maha Melihat, yakni melihat segala sesuatu dengan
11
penglihatan menyeluruh mencakup segala yang a7[8]da. Penglihatan
Allahtidaklah menggunakan mata seperti cara melihat makhluknya.
Sifat-sifat Allah diantaranya ada yang disebut sifat Dzat, dan ada juga
yang disebut sifat-sifat af’al (perbuatan). Sifat Dzat adalah tsubutiyah atau
sifat-sifat ma’ani sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Adapun sifat-
sifat af’al (perbuatan) adalah seperti mencipta dan memberi rezeki.
Sesungguhnya kita wajib berjalan mengikuti petunuk sifat-sifat Allah itu,
menggunakannya sebagai cahaya penerang jalan, menjadikan sebagai
contoh tauladan teritinggi, dan mencapai puncak ketinggian jiwa dan
peningkatan ruhani yang sempurna. Allah “Rabbul-‘Alamin” merupakan
teladan tertinggi yang wajib diteladani oleh orang beriman, Allah “Maha
Pemurah” mengaruniakan nikmat pada makhluk-makhluk-Nya, dan
menampakkan cinta-Nya kepada mereka, sekalipun mereka tidak
mengerjakan suatu amal yang menyebabkan mereka berhak menerima hal
itu. Allah “Maha Pengasih” memberikan balasankepada manusia atas amal
perbuatanya. Ini juga merupakan contoh yang sangat tinggi, yang
mengharuskan umat manusia membalas kebaikan orang lain dengan
kebaikan pula. Allah “Yang menguasai hari pembalasan” menghitung amal
perbuatan manusia, lalu memberikan balasan kepada orang yang berbuat
buruk dengan balasan setimpal, bukan karena senang menyiksa, melainkan
dengan semangat toleransi (bersediamemberi maaf). Sebagaimana seorang
pemimpin yang penyayang wajib bersikap seperti itu terhadap yang
dipimpinnya. Keempat sifat-sifat Allah tertinggi yang palinng utama, serta
keteladanan-Nya yng sangat tinggi. Apa saja pelajaran yang dapat diambil
dari sifat-sifat ini juga berlaku untuk sifat-sifat yang lain. Dari keempat sifat
Allah ini dapat diambil pelajaran untuk dijadikan tauladan. Demikian pula
halnya dari sifat yang lain. Misalnya sifat cinta dan sayang merupakan
cerminan dari sifat-sifat Allah berikut : 1) Ar-Rauf (Maha Belas Kasihan),
2) Al-Wadud (Maha Mencintai), 3) At-Tawwab (Maha Menerima Taubat),
7
12
4) Al-‘Afuw (Maha Memaafkan), 5)Asy-Syakur (Maha Pemberi Balasan),
6) As-Salaam (Maha Damai), 7)Al-Mu’min (Maha Pemberi Rasa Damai),
8)Al-Baar (Maha Baik Dalam Tindakan Dan Pemberian), 9)Rafi’ud
Darajaat (Maha Meninggikan Derajat), 10)Ar-Razaq (Maha Pemberi
Rezeki), 10) Al-Wahhab (Maha Pemberi Karunia), 11) Al-Wasi’ (Maha
Luas Anugrah-Nya). Demikian pula halnya dengan sifat-sifat yang
mempunyai makna ‘mengetahui’ yang tercermin dalam sifat-sifat-Nya
sebagai berikut: 1) Al-‘Alim (Maha Mengetahui), 2) Al-Hakim (Maha
Bijaksana), 3)As-Sami’ (Maha Mendengar), 4) Al-Bashir (Maha Melihat),
5) Asy-Syahid (Maha Menyasikan), 6)Ar-Raqib (Maha Mengawasi), 7) Al-
Bathin (Maha Mengetahui Rahasia).
2.5 Hakikat Iman dan Buahnya
Iman kepada Allah mencermikan hubungan paling mulai antara
manusia dengan Penciptanya. Hal ini dikarenakan makhluk yang paling
mulia di muka bumi adalah manusia, dan sesuatu yang ada di dalam diri
manusia yang paling mulia adalah hatinya, sedangkan sesuatu yang ada di
dalam hati yang paling mulia adalah keimanan. Diantara manifestasi iman
adalah ahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai oleh orang yang beriman
dari pada apapun juga, dan hal itu tampak dalam ucapan, perbuatan dan
perilakunya. Jika di sana masih ada sesuatu yang lebih dicintainya dari pada
Allah dan Rasul-Nya berarti imannanya tidak murni lagi, dan akidahnya
tergoncang. Nabi Muhammad bersabda :
“Ada tiga hal; barangsiapa dalam dirinya terdapat tiga hal tersebut
maka ia benar-benar telah mendapatkan manisnya iman, yaitu: 1. Allah dan
Rasul-Nyalebih dicintai dari ada selain keduanya. 2. Ia mencintai
seseorang semata-mata karena Allah. 3. Ia benci kembali kepada kekufuran
sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam neraka.”
Nabi juga bersabda :
13
“Tidaklah beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih
dicintai dari pada orang tuanya, anaknya, dirinya sendiri, dan manusia
seluruhnya” (HR. Bukhari).
Sebagaimana iman tercermin dalam bentuk cinta (kepada Allah dan
Rasul-Nya), maka keimanan juga tercermin di dalam jihad meninggikan
kalimat Allah dan berjuang meninggikan bendera kebenaran, menghentikan
kezaliman dan kerusakan di bumi. Pengaruh dan dampak iman akan tampak
dengan jelas dalam rasa takut kepada Allah.
“Sesungguhnya yang taku kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama.” (Fathir :28)8[9]
Bila ma’rifat seseorang kepada Allah semakin sempurna maka
sempurna pula rasa takutnya kepada Allah. Manifestasi keimanan yang
paling besar adalah berpegang teguh kepada wahyu Allah. Iman dapat
menumbuhkan hubungan yang beraneka macam. Ia dapat mengikat
hubungan antara orang-orang beriman dn Allah, dengan ikatan kasih saying
dan cinta. Iman juga dapat mempererat hubungan antar sesame kaum
mukminin atas dasar kasih sayang. Apabila manusia telah mengenal
Tuhannya melalui akal dan hati maka ma’rifat ini akan menghasikan buah
yang masak baginya dan meninggalkan dampak yang bagus dalam dirinya.
Ma’rifat ini juga akan mengarahkan perilakunya menuju kebaikan dan
kebeneran, keluhuran dan keindahan. Buah keimanan dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Kemerdekaan jiwa dari kekuasaan orang lain.
2. Iman dapat membangkitkan keberanian di dalam jiwa dan keinginan
untuk terus maju, menganggap enteng kematiandan menggandrungi mati
syahid demi membela kebenaran.
3. Keimananmenetapkan keyakinan bahwa Allah-lah yang Maha Pemberi
rezeki, dan bahwasanya rezeki tidak dapat dipercepat karena kerakusan
8
14
orang yang rakus, dan tidak pula dapat ditolak oleh kebencian orang
yang benci.
4. Rasa tenang dan tentram.
5. Keimanan dapat meningkatkan kekuatan maknawiyah manusia dan
menghubungkan dirinya dengan contoh taulan tertinggi.
6. Kehidupan yang baik.10
2.6 Yang Menjadi Kekhawatiran Orang-orang makrifat
“Orang-orang makrifat jika dalam keadaan lapang itu lebih kerasa
kekhawatirannya, daripada ia dalam keadaan kesempitan, serta ia tidak
dapat tetap dalam berdiri diatas batas-batas adab dalam keadaan lapang
kecuali sedikit”.9[10]
Memang kebanyakan manusia dalam keadaan lapang itu ia lupa
daratan akan hal yang harus diingat pada setiap saat, yaitu Allah yang
memberi kelapangan itu.
Dari keterlupaannya ia menjadi orang yang berperilaku semau gue
tanpa mengenal batas-batas yang menjadi ketent10[11]uan dalam agama.
Ketahuilah bahwa dalam keadaan lapang itu hawa nafsu yang tadinya
terkuasai ini terbalik menguasai, sebagaimana telah diterangkan di bab
sebelumnya bahwa hawa nafsu itu mengajak kepada perbuatan tercela.
Sebenarnya dalam keadaan bagaimanapun orang harus ingat dan takut
kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit.
Perhatikan sabda Rasulullah SAW :
“ITTAQILLAAHA HAITSU MAA KUNTA”
“Takutlah kepada Allah dimana kau berada”
Akan tetapi menurut orang-orang makrifat dalam keadaan lapang ia
banyak kekhawatirannya daripada dalam keadaan sempitnya. Sebab
menurut mereka dalam keadaan lapang itu suatu kesempatan bagi hawa
910
15
nafsu. Nah, dari sinilah mereka khawatir kalau nanti tertarik oleh ajakan
hawa nafsu. Misalnya : selalu mempercaturkan tentang berbagai kebendaan
dunia, dan berbagai kekeramatan yang membikin aib dan risaunya hati dalm
mengingat kapada Allah padahal bagi orang yang berma’rifat dia harus
menghindar dari sifat tersebut untuk menjernihkan hati didalam menghadap
Allah. Memang dalam keadaan lapang itu biasanya banyak manusia
tergelincir olehnya, demikian sebaliknya dalam keadaan sempit bagi orang
ma’rifat lebih mendekatkan kepada keselamatan.11
2.7 Ma’rifat Kepada Allah Bererti Menemukan Puncak Kebesaran Nikmat
Manusia diberi fitrah oleh Allah sejak ia dilahirkan dalam kandungan
ibunya. Dari fitroh itu manusia dituntut supaya mengenal Tuhannya.
Sebagai pencipta dan pelindung dirinya. Walaupun ia sudah diberi fitroh
oleh Allah tapi nia tidak mendapat anugerah dari-Nya tentu ia tidak akan
bisa mengenal Allah secara hakiki.
Oleh sebab itu manusia yang tidak mendapat anugerah dari Allah,
mereka akan menemui bermacam-macam pandapat dalam mengenal Tuhan
ini, antara lain : ada manusia yang menuhankan dirinya, seperti Fir’aun,
hidup di masa Nabi Musa, dan ada juga yang munuhankan kepada batu
(patung) seperti Raja Namrud beserta pengikutnya yang hidup pada zaman
Nabi Ibrahim.11[12]
Jika Allah telah menunjukkan kepada hambanya dengan sebagian
sebab-sebab sehingga ia jadi orang yang ma’rifat, kemudian kepadanya
dibukakan pintu kema’rifatan sehingga ia mendapat ketenangan yang luar
biasa, dan ini adalah merupaka ma’rifat yang paling besar.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami
memperlihatkannya) agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika
malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
11
16
`Inilah Tuhanku`. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: `Saya
tidak suka kepada yang tenggelam`. Kemudian tatkala dia melihat bulan
terbit dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia
berkata: `Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat`. Kemudian tatkala dia
melihat matahari terbit, dia berkata: `Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar`,
maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: `Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada tuhan yang menciptakan
langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Al-
An’am 75-79)
Demikianlah liku-liku Ibrahim dalam mencari Tuhan yang
sebenarnya. Akhirnya ia menjumpai tuhan yang sebenarnya yaitu Allah.
Inilah ma’rifatnya Ibrahim kepada Allah yang merupakan anugerah
dari-Nya sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang besar dan ketenangan
yang luar biasa.
Apabila kamu mendapat jalan ma’rifat yang hakiki maka janganlah
kamu hiraukan amalmu yang sedikit. Sebab diatas telah diterangkan bahwa
ma’rifat itu adalah anugerah dari Allah yang datangnya tidak
menggantungkan akan banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Ketauhilah bahwa sesungguhnya maksud dan tujuan manusia
memperbanyak amal kebaikan itu adalah agar dia dapat mentaqorubkan
(mendekatkan) diri kepada Allah. Maka dari itu amal yang sedikit tapi
disertai ma’rifat kepada Allah, itu lebih baik dibandingkan dengan amal
yang banyak tapi tidak disertai ma’rifat kepada Allah.
Dalam hal ini dapat dimisalkan seperti orang menderita sakit,
disebabkan penyakit yang dideritanya ini maka menjadi berkuranglah
ibadanya kepada Allah. Bahkan penyakit yang dideritanya itu dapat
menimbulkan salah satu pintu kema’rifatan kepada Allah.13
17
2.8 Ciri-ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada Allah, yaitu :
Orang yang berma’rifat kepada allah selalu mengesakan Allah,
memuliakan dan mengutamakan Allah, Selalu mendekatkan diri
kepada Allah pada waktu susah maupun senang. Begitu juga dalam
pandangan mata hatinya, sepenuhnya tertuju pada kekuasaan Allah.
Orang yang berma’rifat kepada Allah, merasa dirinya selalu diawasi
dan di saksikan oleh Allah, selalu berusaha menjaga hatinya, fikiran
maupun tingkah lakunya dari maksiat.
Didalam hati orang yang berma’rifat harus bersih dari sifat kikir, hawa
nafsu dan sifat suka membanggakan dirinya sendiri.
Orang-orang ma’rifat, hidupnya sederhana tapi semangat untuk
berjuang, beramar ma’ruf nahi munkar, dalam arti nyata misalnya:
Dia bersedekah atau menolong fakir miskin dengan ikhlas, tanpa ingin
di puji, tanpa ingin mengharap imbalan dan semata-mata mencari
ridho Allah.
18
Batasan tingka laku orang ahli ma’rifat :
Orang ahli ma’rifat mengenal Allah, sehinnga antar manusia dan Allah
tidak ada perantara. Sehingga seolah-olah mampu berkomunikasi
langsung.
Semua dasar dan tuntunan hidup adalah berdasar ajaran rosululloh
SAW, dan berusaha meninggalkan akhlak yang rendah atau tercelah.
Menyerahkan hawa nafsu ( emosi ) menurut kehendak Allah yang
dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Kita ini dan semua ini milik Allah dan hanya kepadanyalah kita semua
ini akan kembali.
2.9 Pandangan Para Ulama’ tentang Ma’rifat
1) Pandangan Al-muhasibih tentang ma’rifat
Al-muhasibih mengatakan bahwa ma’rifat harus di tempuh melalui jalan
taswuf yang didasarkan pada kitab dan sunnah.
Al-Muhasibih menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut :
a. Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah, menurut Al-Muhasibih adalah
taat. Taat tiada lain adalah wujud konkret ketaatan hambahnya kepada
Allah.Kecintaan kepada Allah hanya dapat di buktikan dengan jalan
ketaatan, bukan sekedar mengungkapkan ungkapan-ungkapan kecintaan
semata sebagaimana dilakukan oleh sebagaian orang. Mengekspresikan
kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa
pengalaman merupakan kepalsuan semata. Diantara implementasi
kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini
kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi
hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c. Pada tahap ketiga ini, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah
keilmuan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua
19
tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini
disimpan Allah.
d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh semata sufi dengan fana
yang menyebabkan baqa.
2) Pandangan Dzun nun Al-mishri tentang ma’rifat
a. Sesungguhnya Al-ma’rifah yang hakiki adalah bukan ilmu tentang
keesaan tuhan sebagaimana yang telah di percayai oleh orang-orang
mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim,
mutakalimin ahli balaghah. Akan tetapi , ia adalah al-ma’rifah kepada
keesaan tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah sebab mereka
adalah sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengn mata
hatinya, maka terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk
hambah-hambahnya yang lain.
b. Al-ma’rifah yang ia pahami adalah bahwa allah menyinari hatimu
dengan cahaya al-ma’rifah yang murni, Seperti mata hari tak dapat
dilihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hambah
mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang darinya. Lebur (fanah)
dalam kekuasaannya, mereka merasa hambah berbicara dengan ilmu
yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, Melihat dengan
penglihatan Allah, dan berbuat dengan pebuatan Allah.
3) Pandangan Al-ghozali tentang ma’rifat
Menurut Al-ghozali ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada. Dalam kitab
ihya ulum ad-din, Al-ghozalih membedakan jalan pengetahuan sampai
kepada tuhan bagi oarang awam, ulama’ dan orang sufi. Oleh karena itu ia
membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalam
rumah, dengan mengikuti perkataan seorang bahwa si fulan berada di
rumah tanpa menyelidiki lagi. Bagi para ulma’ keyakinan adalh ibarat si
fulan dirumah, di bangun atas dasar ada tanda-tandanya seperti ada suara si
20
fulan walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya
melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding lebih jauh dari itu,
iapun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya, bahwa si
fulan benar-benar berada di rumah.
Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si
fulan berada di rumah dengan mata kepalanya sendiri.
Ringkasnya, Ma’rifat menurut Al-ghozali tidak seperti ma’rifat menurut
orang awam maupun ma’rifat para ulama’, tetapi ma’rifat sufi dibangun atas
dasardzuq rohani dan kasyif ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat di capai oleh
para khawash auliah tanpa melalui perantara langsung dari Allah,
sebagaimana ilmu kenabian yang langsung di perolah dari Allah, walaupun
dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat
ilmu Allah melalui perantara malaikat allah, sedangkan para wali
mendapatkan ilmu dari ilham. Meskipun demikian, kedua-duanya sama-
sama memperoleh ilmu dari Allah.
21
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Kita yang telah mengenal dan mengetahui keberadaan Allah sudah
sepatutnya apabila kita senantiasa mengabdikan diri secara bulat dan utuh
semata-mata demi mengharapkan Keridoannya. Salah satu tanda bagi orang
yang berma’rifat kepada allah adalah, bahwa ia senantiasa bersandar dan
berserah diri kepada Allah semata. Apapun yang telah dan akan terjadi pada
dirinya selalu diterima dengan baik. Apabila ia diberi kenikmatan ia
bersyukur, sedang apabila ia mendapatkan musibah ia terima dengan sabar.
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah
menyombongkan diri. Sebagi mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia
tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan dan ijin-Nya. Menurut
seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut
sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
a. Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat
berhubungan secara langsung dengan-Nya.
b. Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk
Rasulullah SAW.
c. Berserah diri kepada Allah dalm hal mengendalikan hawa nafsu.
d. Merasa ahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak pasti akan
kembali kepadanya.
22
DAFTAR PUSTAKA
http://teknologiforever.wordpress.com/2012/09/14/resume-aqidah-
islamiyah-sayyid-sabiq/
http://pienotes.blogspot.com/2010/12/al-makrifat-mengenal-allah-swt.html
Sabiq, sayyid. Aqidah Islamiyah : Pola Hidup Sederhana. Dipponegoro:
Robbani Press, 2008
Mz, Labib dan Maftuh Ahnan. Kuliah Ma’rifat. CV. Bintang Pelajar
Solihin, M. Tokoh-tokoh Sufi. Bandung : Pustaka Setia, 2003
http://islamwiki.blogspot.com/2011/04/marifat-kepada-allah.html
23