makalah 29

36
Resusitasi bayi prematur FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Kampus II Ukrida Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta 11510 Nama: Joshua Peterson Nim: 102009326 Kelompok: B2 Email:[email protected] Abstract Bayi prematur mula didefinisikan sebagai bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram . Definisi bayi premature berdasarkan BBLR ini pertama kali digunakan sebagai standard oleh Nikolaus T. Miller, dokter kepada di Moscow Founding Hospital. The American Academy of Pediatrics mengadopsi standar ini pada tahun 1935. Pada tahun 1948 WHO menetapkan prematuritas sebagai berat badan lahir 2500 gram atau kurang.Saat ini, definisi WHO untuk persalinan premature adalah persalinan yang terjadi antara kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu, dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kejadian persalinan prematur berbeda pada setiap negara, di negara maju, misalnya Eropa, angkanya berkisar antara 5-11%. Seksio sesarea adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan bayi. Bedah caesar umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal melalui vagina tidak memungkinkan karena berisiko kepada komplikasi medis lainnya. Abrupsio plasenta (pelepasan plasenta prematur) didefinisikan sebagai lepasnya plasenta yang tertanam normal dari dinding uterus baik lengkap maupun parsial pada usia kehamilan 20 minggu atau lebih. Abruptio plasenta merupakan suatu komplikasi dalam obstetric yang harus ditangani dengan segera dan anak 1 | Page

Upload: joshua-pattinson-legi

Post on 01-Dec-2015

152 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

makalah blok 29

TRANSCRIPT

Resusitasi bayi prematur

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Kampus II Ukrida Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta 11510

Nama: Joshua Peterson

Nim: 102009326

Kelompok: B2

Email:[email protected]

Abstract

Bayi prematur mula didefinisikan sebagai bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram . Definisi

bayi premature berdasarkan BBLR ini pertama kali digunakan sebagai standard oleh Nikolaus

T. Miller, dokter kepada di Moscow Founding Hospital. The American Academy of Pediatrics

mengadopsi standar ini pada tahun 1935. Pada tahun 1948 WHO menetapkan prematuritas

sebagai berat badan lahir 2500 gram atau kurang.Saat ini, definisi WHO untuk persalinan

premature adalah persalinan yang terjadi antara kehamilan 20 minggu sampai dengan usia

kehamilan kurang dari 37 minggu, dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kejadian

persalinan prematur berbeda pada setiap negara, di negara maju, misalnya Eropa, angkanya

berkisar antara 5-11%. Seksio sesarea adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan

dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan

bayi. Bedah caesar umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal melalui vagina tidak

memungkinkan karena berisiko kepada komplikasi medis lainnya. Abrupsio plasenta (pelepasan

plasenta prematur) didefinisikan sebagai lepasnya plasenta yang tertanam normal dari dinding

uterus baik lengkap maupun parsial pada usia kehamilan 20 minggu atau lebih. Abruptio

plasenta merupakan suatu komplikasi dalam obstetric yang harus ditangani dengan segera dan

anak dilahirkan dengan tindakan bedah Caesar dan pada kasus anak yang premature haruslah

ditangani dengan segera karena pematangan organ yang belum sempurna. Selain itu, keadaan

ibu juga turut dimonitor agar tidak terjadi syok hipovolemi akibat dari tindakan bedah Caesar

dan juga abruption plasenta yang menyebabkan pendarahan yang banyak.

Kata kunci: Bedah Caesar, abruption plasenta, premature

1 | P a g e

Skenario 2

Seorang bayi dilahirkan dari ibu G1P0A0 36 minggu melalui emergency Sectio Cesaria karena mengalami abraptio placenta. Pada menit pertama , bayi tidak menangis, tampak pucat, kaki & tangan lemah tidak bergerak. Saat di lakukan pembersihan jalan nafas, bayi tidak ada respon, denyut jantung 50 x/ menit.

Definisi

Abruptio plasenta ialah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada uterus,

sebelum janin dilahirkan. Definisi ini berlaku pada kehamilan dengan masa gestasi di atas 22

minggu atau berat janin diatas 500 gram. Proses abruptio plasenta dimulai dengan terjadinya

perdarahan dalam desibua basalis yang menyebabkan hematoma retroplasenta. Abruptio plasenta

bervariasi dari sebagian area plasenta sehingga seluruh luas plasenta terlepas. Jenis abruption

plasenta terdiri dari:

Sinus marginalis-hanya sedikit bagian plasenta yang terlepas

Ringan-termasuk sinus marginalis, area yang terlepas sangat kecil

Sedang-area yang terlepas 1/4 tetapi tidak lebih dari 2/3 dari luas plasenta

Berat –lebih 2/3 luas area plasenta yang terlepas

Pendahaluan

Pada kasus PBL blok 29 Emergency Medicine, ialah berkenaan dengan seorang pasien wanita

yang melahirkan anak pada usia kehamilan 36 minggu yang masih prematur melalui tindakan

bedah Caesar akibat daripada komplikasi pada kandungan yaitu terjadi abruption plasenta atau

plasenta yang terlepas. Selain itu, anak yang dilahirkan juga berada dalam keadaan lemah, pucat,

bradikardi dan respons motorik yang sangat lemah. Oleh itu, pada kasus ini, anak tersebut

haruslah ditangani dengan segera dan juga termasuk dalam suatu kasus emergensi pediatric.

Selain itu, keadaan ibu turut harus dimonitor pada waktu sama karena pada tindakan bedah

terjadi perdarahan masif dan juga kemungkinan kehilangan darah yang banyak akibat

terlepasnya plasenta.

2 | P a g e

Penilaian risiko

Antisipasi untuk kebutuhan resusitasi dapat ditentukan dengan melakukan penilaian yang

seksama mengenai risiko. Dengan mengevaluasi faktor risiko ibu dan janin terhadap peristiwa

intrapartum dan postpartum, kebutuhan untuk resusitasi dapat dikenali pada lebih dari setengah

neonatus. Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengevaluasi keadaan janin selama

periode intrapartum. Tujuan utama dari metode ini adalah untuk mendeteksi hipoksia-iskemia

pada janin, yang dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada neonatus.

Dengan demikian, informasi yang dikumpulkan dari penilaian intrapartum dapat digunakan

untuk menentukan kebutuhan yang mungkin diperlukan untuk resusitasi.1

1. Pemantauan Denyut Jantung Janin

Ada dua metode yang biasa digunakan untuk mendeteksi laju jantung janin intrapartum, yaitu:

Continuous Electronic Fetal heart rate Monitoring (EFM) dan Intermittent Auscultation (IA).

Electronic Fetal heart rate Monitoring (EFM), merekam perubahan relatif laju jantung janin

terhadap kontraksi uterus, telah menggantikan IA di kebanyakan institusi dan dipertimbangkan

sebagai metode utama dalam mengevaluasi keadaan janin. Tujuan utama dari EFM adalah untuk

mengidentifikasi janin dengan hypoxic acidemia. EFM terdiri dari komponen akselerasi dan

variabilitas laju jantung janin. Jika terjadi penurunan variabilitas dan deselerasi laju jantung janin

adalah indikasi terjadinya fetal distress. EFM mempunyai keakuratan 90% dalam meramalkan

nilai Apgar menit ke-5.1,2

3 | P a g e

2. Scalp and Acoustic Stimulation

Fetal scalp stimulation melibatkan penggunaan jari atau alat untuk menekan vertex janin.

Pemeriksaan ini dilakukan jika serviks telah dilatasi dan ketuban pecah sehingga alat berukuran

kecil seperti penghapus pensil dan terbuat dari plastik dapat dimasukan. Elektroda berupa kawat

spiral diletakkan dibawah kulit kepala bayi. Karena monitor ini menempel langsung pada bayi,

sinyal denyut jantung janin kadang lebih jelas dan konsisten daripada peralatan monitor eksternal

seperti contohnya EFM. Acoustic stimulation adalah suatu pemeriksaan yang tidak invasif

dimana sebuah alat elektronik ditempatkan pada perut ibu, kemudian alat tersebut akan

mengirimkan suara kepada janin. Dari hasil yang diperoleh, jika laju jantung janin meningkat

lebih dari 15 kali per menit diatas nilai normal selama lebih dari 15 menit, hal ini mungkin

menandakan janin mengalami asidosis.1

3. Biophysical Profile Score

Penelitian telah menunjukkan beberapa keuntungan menggunakan Biophysical Profile Score.

Biophysical Profile Score menyediakan suatu ukuran langsung dan akurat dari oksigenasi

jaringan yang normal dengan kombinasi penilaian yang sonographic dari

(1) pergerakan nafas janin

(2) kereaktifan denyut jantung

(3) pergerakan seluruh tubuh

(4) tonus janin

(5) volume cairan amnion.

Setiap parameter diberi skor 0 ( jika criteria tidak terpenuhi) atau 2 (jika kriteria terpenuhi),

dengan 0/0 adalah skor terendah yang dapat dicapai dan 10/10 adalah skor yang paling tinggi.

Skor lebih dari 8 mengindikasikan oksigenasi jaringan normal, score 0-4 kemungkinan terjadi

asidosis dan berisiko tinggi terjadi asfiksia dalam 1 minggu jika tidak ada intervensi. Skor 6

adalah meragukan.2

4 | P a g e

4. Fetal Pulse Oximetry

Fetal pulse oximetry adalah metode lain yang sekarang ini digunakan untuk menilai janin

intrapartum. Ada tiga sistem yang telah dikembangkan dan digunakan secara komersial. Yaitu

Sensor OB Scientific, Nonin Medical System dan Nellcor Sensor. Alat-alat ini digunakan untuk

mendeteksi saturasi oksigen janin. Jika SpO2 janin >30%, menandakan saturasi oksigen janin

baik dan tidak terjadi asidosis. Tapi jika SpO2 <30%, menandakan saturasi oksigen janin tidak

baik dan mungkin terjadi asidosis. Dan jika SpO2 <30% menetap lebih dari 10menit, hal ini

mungkin memprediksikan pH kulit kepala kurang dari 7.2 dan memperlukan resusitasi

intrauterin atau mempercepat kelahiran.2

5 | P a g e

5. Fetal Doppler Ultrasound Study

Fetal Doppler Ultrasound Study adalah suatu metoda untuk mengevaluasi keadaan janin yang

sering digunakan bersama dengan Biophysical Profile Score. Fetal Doppler Study menggunakan

indeks denyut nadi dan bentuk gelombang percepatan arus sebagai parameter diagnostik dan

untuk menilai prognosis adaptasi janin. Ada beberapa jenis Doppler yang digunakan untuk

mengevaluasi ibu, janin dan sirkulasi plasenta. Pertama, Doppler arteri uterina. Sering digunakan

pada trimester kedua untuk menilai efek sirkulasi ibu pada janin. Informasi yang didapat

bermanfaat dalam memprediksikan adanya pre-eclampsia dan keterlambatan pertumbuhan janin

di dalam kandungan. Kedua,Doppler arteri umbilikalis. Menilai efek defisiensi plasenta di

berbagai sistem organ pada janin, dan jika ditemukan adanya defisiensi plasenta akan

menyebabkan keterlambatan pertumbuhan janin dalam kandungan.2

Efek anestesi pada neonatus selama persalinan

Selama proses persalinan dan kelahiran, keadaan janin dapat dipengaruhi obat-obat analgesia dan

anestesi yang digunakan, sehingga pemilihan obat-obatan ini harus benar-benar diperhatikan.

I. Transmisi obat melalui plasenta

Obat yang digunakan selama proses persalinan dan kelahiran dapat mempengaruhi janin melalui

sirkulasi uteroplasental. Obat-obatan anestesi lokal dan golongan narkotik mudah menembus

sirkulasi uteroplasental.7

II. Analgesia

a. Opioid-Obat golongan opioid intravena mudah ditransmisikan melalui sirkulasi uteroplasenta

dan dapat menyebabkan depresi nafas. Golongan morfin dapat menyebabkan depresi nafas yang

berat pada janin.7

b. Antagonis opioid-Naloxone dapat digunakan untuk mengembalikan depresi nafas pada janin

yang diakibatkan penggunaan opioid.

6 | P a g e

c. Sedatif atau transquilizer

Barbiturat dapat melewati plasenta dengan cepat, mengakibatkan somnolen dan hipoventilasi

yang dapat berlangsung selama beberapa hari. Pemberian diazepam pada dosis besar dapat

menyebabkan hipotonia, lethargy, poor feeding, dan gangguan termoregulasi, yang dapat

bertahan selama beberapa hari. Ketamin dalam dosis >1mg/kg dapat menyebabkan depresi pada

neonatus. Namun, dosis ketamin yang biasanya digunakan pada proses persalinan sebesar 0.1-0.2

mg/kg merupakan batas yang aman.7

d. Anestesi untuk operasi

i) Anestesi spinal

Abnormalitas pada neonatus sangat jarang terjadi dibandingkan dengan anestesi umum. Dosis

obat pada maternal dan fetal sangat rendah sehingga jarang mengakibatkan abnormalitas.

ii) Anestesi epidural

Terjadi transmisi dari obat anestesi, akan tetapi efek obat hanya dapat dideteksi dari pemeriksaan

fungsi luhur.7

iii) Anestesi umum

Thiopental (4mg/kg) digunakan untuk induksi pada anestesi umum. Nilai APGAR tidak

dipengaruhi thiopental dengan dosis 4mg/kg/dosis.7

Ketamin (1mg/kg) digunakan dalam induksi anestesi. Efek setelah pemberian ketamin

lebih baik daripada penggunaan thiopental.7

Pelemas otot melewati sirkulasi uteroplasental dalam jumlah yang kecil sehingga hanya

mengakibatkan efek minimal pada neonatus.

Nitrous Oxide melewati plasenta dengan cepat. Pada pemberian konsentrasi yangtinggi

dapat mengakibatkan nilai APGAR yang rendah. Pemberian dengan konsentrasi sampai

dengan 50% masih merupakan batas yang aman, akan tetapi neonatus membutuhkan

suplementasi oksigen setelah kelahiran.7

Zat anestesi halogen (isoflurane, enflurane, sevoflurane, desflurane, dan halothane)

pada penggunaan dengan konsentrasi yang rendah, jarang mengakibatkan anestesia pada

neonatus. Pada penggunaan dengan konsentrasi yang tinggi dapat menurunkan

kontraktilitas uterus sehingga setelah proses kelahiran, konsentrasinya harus diturunkan

untuk mengurangi risiko terjadinya atonia uteri.7

7 | P a g e

Langkah-langkah resusitasi neonatus

Neonatus aterm yang cairan ketubannya jernih dan bersih dari mekonium,langsung bernafas,

menangis, dan tonus ototnya baik memerlukan perawatan rutin, seperti mengeringkan,

menghangatkan, dan membersihkan jalan nafas dengan balon penghisap atau kateter penghisap.

Sebaliknya, neonatus yang tidak memenuhi kriteria di atas memerlukan langkah-langkah

resusitasi. Nilai Apgar dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi. Langkah-

langkah resusitasi neonatus antara lain:

1. Stabilisasi

2. Ventilasi

3. Kompresi dada

4. Penggunakan medikasi

Setiap langkah memerlukan waktu 30 detik untuk menuju ke langkah berikutnya. Untuk menuju

ke langkah berikutnya diperlukan penilaian terhadap respirasi, detak jantung, dan kulit bayi.

Contohnya, apnea dan gasping merupakan indikasi bantuan ventilasi. Peningkatan atau

penurunan detak jantung dapat menunjukkan kondisi perbaikan atau perburukan. Sianosis

sentral, penurunan cardiac output, hipotermia, asidosis, atau hipovolemia merupakan indikasi

dari resusitasi lebih lanjut. Langkah-langkah yang digunakan ini merupakan suatu petunjuk yang

digunakan di rumah sakit berkenaan dengan kasus gawat pada perawatan neonatus. Petunjuk ini

berdasarkan daripada American Heart Association (AHA) Guidelines for Cardiopulmonary

2005 dan juga berdasarkan Neonatal Resusitation Guidelines and Emergency Cardiovascular

Care(ECC) of Pediatric yang dikeluarkan pada tahun 2006. Pada makalah ini, akan dibahaskan

dengan lebih lanjut berkenaan dengan langkah resusitasi neonatus di rumah sakit yang harus

dilaksnakan dalam batas waktu tertentu sesuai dengan petunjuk yang dijelaskan dalam

guidelines. Terdapat batas waktu dalam setiap langkah tertentu adalah bertujuan untuk

mengurangkan kerusakan organ dan kematian sel pada bayi yang akan meningkat jika fetal

distress tidak ditangani dengan segera yang akan memburukan lagi prognosis pada anak

tersebut. Oleh itu, dengan adanya guidelines ini akan dapat membantu para ahli medis mengenai

gambaran sebenar keadaan darurat neonatus dan juga langkah-langkah penting yang harus

dilaksanakan dalam waktu yang terbatas.4

8 | P a g e

Langkah Awal Resusitasi

Langkah awal untuk memulai resusitasi meliputi mengurangi pengeluaran panas, memposisikan

kepala pada sniffing position untuk membuka jalan nafas, membersihkan jalan nafas, dan

memberikan rangsangan.

1. Menghangatkan

Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal ini dapat dilakukan

dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer. Sebaiknya bayi yang diletakkan di bawah

radiant warmer dibiarkan tidak berpakaian agar dapat diobservasi dengan baik serta mencegah

terjadinya hipertermi. Bayi yang dengan berat kurang dari 1500 gram, mempunyai risiko tinggi

9 | P a g e

terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi tersebut dibungkus dengan plastik, selain

diletakkan di bawah radiant warmer. Tujuan dari resusitasi neonatus yaitu untuk mencapai

normotermi dengan cara memantau suhu, sehingga tidak terjadi hipertermi iatrogenik.4

2. Memposisikan kepala dan membersihkan jalan nafas

Setelah diletakkan di bawah radiant warmer, bayi sebaiknya diposisikan terlentang dengan

sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position. Kemudian jalan nafas harus dibersihkan.

Jika tidak ada mekonium, jalan nafas dapat dibersihkan dengan hanya menyeka hidung dan

mulut dengan handuk, atau dapat dilakukan suction dengan menggunakan bulb syringe atau

suction catheter jika diperlukan. Sebaiknya dilakukan suction terhadap mulut lebih dahulu

sebelum suction pada hidung, untuk memastikan tidak terdapat sesuatu di dalam rongga mulut

yang dapat menyebabkan aspirasi. Selain itu, perlu dihindari tindakan suction yang terlalu kuat

dan dalam karena dapat menyebabkan terjadinya refleks vagal yang menyebabkan bradikardi dan

apneu. Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan laju nadi lebih dari

100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik, lakukan suction pada mulut dan hidung

dengan bulb syringe ( balon penghisap ) atau kateter penghisap besar jika diperlukan.4

Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi mekonium saat proses persalinan

atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena itu, jika bayi menunjukan usaha nafas yang buruk,

tonus otot yang melemah, dan laju nadi kurang dari 100 kali per menit, perlu dilakukan suction

langsung pada trachea dan harus dilakukan secepatnya setelah lahir. Hal ini dapat dilakukan

dengan laringoskopi langsung dan memasukan kateter penghisap ukuran 12 French (F) atau 14 F

untuk membersihkan mulut dan faring posterior, dilanjutkan dengan memasukkan endotracheal

tube, kemudian dilakukan suction. Langkah ini diulangi hingga keberadaan mekonium sangat

minimal.4

10 | P a g e

3. Mengeringkan dan Memberi Rangsangan

Ketika jalan nafas sudah dibersihkan, bayi dikeringkan untuk mencegah terjadinya kehilangan

panas, kemudian diposisikan kembali. Jika usaha nafas bayi masih belum baik, dapat diberikan

rangsang taktil dengan memberikan tepukan secara lembut atau menyentil telapak kaki, atau

dapat juga dilakukan dengan menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi.4

Penelitian laboratotium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama yang

berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan yang cepat

maka peride selanjutnya disebut apnu primer. Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk

telapak kaki akan menimbulkan pernapasan.4

Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan beberapa

usaha bernapas megap – megap dan kemudian masuk ke dalam periode apneu sekunder. Selama

masa apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi

baru lahir. Bantuan pernapasan dengan ventilasi tekanan positif harus diberikan untuk mengatasi

masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung akan mulai menurun pada saat bayi

mengalami apnu primer , tekanan darah akan tetapbertahan sampai dimulainya apnu sekunder.4

4. Evaluasi pernafasan, laju nadi, dan warna kulit

Langkah terakhir dari langkah awal resusitasi yaitu evaluasi pernafasan, laju nadi dan warna

kulit. Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap (gasping ). Gasping menunjukkan

adanya usaha nafas yang tidak efektif dan memerlukan ventilasi tekanan positif. Selain itu, laju

nadi harus lebih dari 100 kali per menit, yang diukur dengan cara melakukan palpasi tekanan

nadi di daerah dasar umbilikus, atau dengan auskultasi dinding dada sebelah kiri. Jika laju nadi

kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan ventilasi tekanan positif.5

Penilaian warna kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh bayi untuk

menilai ada tidaknya sianosis sentral. Sianosis sentral menandakan terjadinya hipoksemia,

sehingga perlu diberikan oksigen tambahan. Jika masih terjadi sianosis setelah diberikan oksigen

tambahan, ventilasi tekanan positif perlu dilakukan, bahkan dengan laju nadi lebih dari 100 kali

11 | P a g e

per menit. Jika sianosis sentral masih terjadi dengan ventilasi tekanan positif yang adekuat, perlu

dipikirkan adanya penyakit jantung bawaan atau adanya hipertensi pulmoner yang persisten.5

Penilaian dan penatalaksanaan jalan nafas

Penilaian Jalan Nafas

Penilaian dan penatalaksanaan dari jalan nafas dapat dilakukan dengan cara pembersihan jalan

nafas, memposisikan bayi pada sniffing position untuk membuka jalan nafas. Selain itu, dapat

pula dilakukan evaluasi terhadap laju nadi dan warna kulit bayi. Evaluasi ini harus dilakukan

dengan baik karena bila ada salah satu tanda vital yang abnormal, akan segera membaik jika

diberikan ventilasi. Jadi, di dalam resusitasi neonatus, pemberian ventilasi yang adekuat

merupakan langkah yang paling penting dan paling efektif.5

Pemberian Oksigen

Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih dari 100 kali per

menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Oksigen aliran bebas oksigen diberikan dengan cara

dialirkan ke hidung bayi secara pasif, dapat diberikan menggunakan sungkup, T-piece

resuscitator, atau selang oksigen (oxygen tubing) sesuai dengan cara yang diperlukan. Untuk

memastikan neonatus mendapatkan oksigen dengan konsetrasi tinggi, sungkup harus diletakkan

menempel pada wajah, agar menciptakan tekanan yang setara dengan Continuous Positive

Airway Pressure (CPAP) atau Positive End Expiratory Pressure (PEEP). Jika menggunakan

selang oksigen, posisi tangan harus dibentuk seperti mangkok di ujung selang dan diletakkan di

depan wajah bayi. Oksigen tidak boleh diberikan lebih dari 10 liter per menit (LPM) untuk waktu

yang lama. Oksigen cukup diberikan dengan aliran 5 LPM dalam resusitasi. 5

Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%. Terdapat

penelitian yang meneliti penggunaan udara ruangan (oksigen 21%) dan oksigen 100% untuk

resusitasi neonatus. Disebutkan bahwa penggunaan oksigen 100% dapat merugikan selama masa

post asfiksia, hal ini berdasarkan teori:

12 | P a g e

1. Pada observasi in vitro , produksi oksigen radikal saat reoksigenasi hipoksia bergantung pada

konsentrasi oksigen.5

2. Peningkatan konsentrasi hipoxantine di plasma selama hipoksia mencapai level lebih tinggi

pada saat resusitasi. Karena hipoxantine terakumulasi pada neonatus yang asfiksia , maka dapat

kita artikan bahwa limitasi oksigen pada masa post asfiksi secara potensial dapat mengurangi

luka akibat akumulasi dari oksigen radikal.5

3. Selain itu hiperoksia memperlambat aliran darah pada bayi aterm maupun preterm dan

pemberian oksigen 100% saat persalinan dapat menyebabkan penurunan aliran darah jangka

panjang pada bayi preterm.5

Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa mortalitas neonatus lebih rendah pada penggunaan

oksigen 21% daripada oksigen 100% ( 5,8 % dan 9,5% ) dan pada neonatus preterm juga berlaku

hal yang sama yaitu mortalitas pada penggunaan oksigen 21% lebih rendah daripada oksigen

100% ( 21 % dan 35 % ). Hal ini menunjukkan resusitasi menggunakan oksigen 21% ( udara

ruangan) tampaknya potensial sebagai strategi untuk menurunkan mortalitas neonatus bahkan

pada neonatus preterm.5

Penggunaan oksigen memiliki efek samping seperti dapat merusak paru-paru dan jaringan,

terutama pada bayi prematur. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya penggunaan oksigen

dengan konsentrasi kurang dari 100%, yang dapat diperoleh dengan menggunakan oxygen

blender yang dapat mencampur oksigen dan udara untuk menghasilkan konsentrasi udara yang

diinginkan. Pada bayi yang menderita penyakit jantung bawaan, penggunaan oksigen 100%

dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara umum, saturasi oksigen harus dijaga antara 85-95%,

dimana 70-80% didapatkan pada menit awal kehidupan. 5

Pemberian oksigen tambahan juga diberikan pada bayi yang memerlukan ventilasi tekanan

positif. Indikasi dari ventilasi tekanan positif dengan oksigen tambahan antara lain:

1. Bayi yang apnea

2. Laju nadi kurang dari 100 kali per menit setelah 30 detik

3. Terjadi sianosis sentral setelah diberikan oksigen tambahan

13 | P a g e

Ventilasi tekanan positif pada bayi aterm

Beberapa penelitian menunjukkan pada bayi yang mengalami apnea atau gasping (megap

megap), pemberian ventilasi tekanan positif dengan kecepatan 40-60 kali per menit dengan

oksigen 100% merupakan cara yang efektif untuk memcapai laju nadi lebih dari 100 kali per

menit. Tekanan yang diperlukan untuk dapat melakukan ventilasi tekanan positif pada bayi aterm

dan preterm dengan efektif yaitu antara 30-40 cm H2O, walaupun dengan tekanan 20 cm H2O

sudah cukup efektif. Tanda dari ventilasi yang adekuat yaitu adanya peningkatan dari laju nadi.

Apabila tidak terjadi peningkatan laju nadi, reposisi ulang kepala dan sungkup, serta bersihkan

kembali jalan nafas atau lakukan suction lagi. Bila masih gagal dengan ventilasi yang non-

invasif, perlu dilakukan intubasi.6

Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Preterm

Paru-paru pada bayi preterm lebih mudah terluka oleh volume inflasi yang besar, sehingga lebih

sulit untuk dilakukan ventilasi. Tekanan sebesar 20-25 cm H2O sudah cukup adekuat dalam

ventilasi pada bayi preterm. Pada bayi yang menunjukkan tanda-tanda pernapasan yang buruk

dan/atau sianosis dapat digunakan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) sekitar 4-6 cm

H2O. Sama seperti bayi aterm, jika masih gagal,perlu dilakukan intubasi.6

Alat-alat ventilasi

Ventilasi pada neonatus dapat menggunakan beberapa macam alat seperti:

1. Self-inflating bags

2. Flow-inflating bag

3. T-piece resuscitator

4. Laryngeal mask airways

5. Endotracheal tube

14 | P a g e

Self-inflating bags merupakan alat yang paling banyak dipakai dalam ventilasi manual.

Alat ini memiliki katup pengaman yang menjaga tekanan inflasi sebesar 35 cm H2O.

Namun katup pengaman ini kurang efektif bila digunakan terlalu kuat. Positive End-

Expiratory Pressure (PEEP) dapat diberikan apabila katup PEEP disambungkan. Tetapi

self-inflating bags tidak dapat menggunakan CPAP. Selain itu, self-inflating bags tidak

dapat digunakan untuk mengalirkan oksigen aliran bebas (free-flow oxygen).6

Flow-inflating bags atau balon tidak mengembang sendiri dapat mengembang apabila ada

sumber gas. Alat ini tidak memiliki katup pengaman, namun dengan alat ini dapat

dilakukan PEEP atau CPAP karena adanya katup yang dapat mengatur aliran udara.

Selain itu, dengan alat ini dapat dialirkan oksigen aliran bebas dan lebih baik dalam

resusitasi neonatus.6

T-piece resuscitator merupakan alat yang dapat mengatur aliran udara serta juga dapat

membatasi tekanan yang diberikan. Tekanan inflasi yang diinginkan dan waktu inspirasi

lebih stabil dengan alat ini dibandingkan dengan self-inflating bags dan flow-inflating

bags. Selain itu, dengan alat ini dapat dilakukan PEEP dan dapat mengalirkan oksigen

aliran bebas.6

Laryngeal mask airway (LMA) merupakan alat yang dapat digunakan apabila penggunaan

sungkup sudah tidak efektif.

Indikasi penggunaan endotracheal tube antara lain:

a) Penghisapan mekonium dari trakea

b) Saat ventilasi menggunakan sungkup sudah tidak efektif

c) Koordinasi dengan kompresi dada

d) Penggunaan Epinefrin

e) Keadaan resusitasi khusus (seperti hernia diafragma kongenital)

Untuk mengurangi terjadinya hipoksia saat melakukan intubasi, sebaiknya dilakukan

preoksigenasi, dengan cara memberikan oksigen aliran bebas selama 20 detik. Biasanya

digunakan blade yang lurus pada tindakan ini. Blade no.1 digunakan untuk bayi aterm,

no.0 untuk bayi preterm, dan no.00 untuk bayi yang sangat preterm. Ukuran dari

endotracheal tube dipilih berdasarkan berat dari neonatus. Posisi dari endotracheal tube

yang benar dapat ditandai dengan peningkatan laju nadi,adanya pengeluaran CO2,

terdengarnya suara nafas, pergerakan dinding dada, adanya embun pada selang, dan tidak

15 | P a g e

ada distensi abdomen saat ventilasi. Apabila tidak ada peningkatan dari laju nadi dan

tidak ada pengeluaran CO2, posisi dari endotracheal tube harus diperiksa dengan

laringoskop.6

Kompresi Dada

Kompresi dada harus dilakukan apabila laju nadi kurang dari 60 kali per menit walaupun sudah

dilakukan ventilasi secara adekuat dengan pemberian oksigen tambahan selama 30 detik.

Kompresi dada harus dilukan dengan kecepatan 90 kali per menit dengan perbandingan kompresi

dengan ventilasi 3:1 (90:30). Kompresi dilakukan di bawah sela iga ketiga dengan kedalaman

sepertiga dari diameter anterior dan posterior. Ada 2 cara yang dapat digunakan, yaitu dengan

metode 2 jari (2 finger method) dan metode ibu jari ( thumb method). Metode ibu jari lebih

direkomendasikan karena tidak cepat lelah dan dapat mengatur kedalaman tekanan dengan baik.

Selain itu, menurut beberapa penelitian, metode tangan melingkari dada menghasilkan tekanan

sistolik, diastolik, mean arterial pressure, dan perfusi jaringan yang lebih baik daripada metode 2

jari. Metode 2 jari digunakan apabila dibutuhkan akses ke umbilikus untuk memasang umbilical

catheter. Setelah dilakukan kompresi dada selama 30 detik, lakukan penilaian kembali terhadap

laju nadi, laju pernafasan, dan warna kulit. Kompresi dada harus dilakukan sampai laju nadi

lebih dari atau sama dengan 60 kali per menit secara spontan.6

Penghentian Resusitasi

Di dalam persalinan, ada kondisi dimana tidak dilakukan resusitasi, antara lain bayi dengan masa

gestasi kurang dari 23 minggu, bayi dengan berat lahir kurang dari 400 gram, anencephaly, dan

bayi yang dipastikan menderita trisomi 13 dan 18. Sedangkan penghentian resusitasi dapat

dilakukan apabila tidak terjadi sirkulasi spontan dalam waktu 15 menit.6

16 | P a g e

Medikasi

1. Epinefrin

Epinefrin sangat penting penggunaannya dalam resusitasi, terutama saat oksigenasi dengan

ventilasi dan kompresi dada tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Epinefrin dapat

menyebabkan vasokontriksi perifer, meningkatkan kontraktilitas jantung, dan meningkatkan

frekuensi jantung. Dosis yang digunakan 0.01-0.03 mg/kg yang dapat diberikan IV atau dosis

yang lebih tinggi 0.03 sampai 0.1 mg/kg melalui pipa endotrakeal. Pemberian ini dapat diulang

setiap 3-5 menit sekali.6

2. Volume expanders

Pada neonatus yang membutuhkan resusitasi, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya

hipovolemia terutama pada neonatus dengan respons yang tidak adekuat terhadap resusitasi yang

diberikan. Volume expanders yang dapat digunakan whole blood O-rh negative 10ml/kg, atau

Ringer Lactate 10ml/kg, dan normal saline 10 ml/kg. Semuanya ini dapat diberikan secara intra

vena selama 5-10 menit.6

3. Naloxone hydrochloride

Merupakan antagonis opioid yang sebaiknya diberikan pada neonatus dengan depresi nafas yang

tidak responsif terhadap resusitasi ventilasi yang sebelumnya lahir dari ibu dengan mendapatkan

narkotik 4 jam sebelum kelahiran. Dosis yang diberikan 0.1 mg/kg secara IV ataupun melalui

pipa endotrakeal. Dosis ini dapat diulangi setiap 5 menit apabila dibutuhkan.6

4. Dextrose

Glukosa darah sewaktu harus diperiksa setidaknya 30 menit setelah lahir pada neonatus yang

mengalami asfiksia, neonatus yang lahir dari ibu dengan diabetes, atau prematur. Bolus dextrosa

10% diberikan dengan dosis 1-2 ml/kg IV dan selanjutnya dapat diberikan dextrosa 10% dengan

laju 4-6ml/kg/menit (80-100ml/kg/hari). 6

17 | P a g e

Komplikasi bayi prematur

Kebanyakan komplikasi yang terjadi pada bayi prematur adalah yang berhubungan dengan

fungsi organ yang belum sempurna atau matang sepenuhnya untuk beradaptasi dengan kondisi

extrauterin dan juga harus beradaptasi karena tidak lagi mendapat bantuan dari ibunya lagi.

Komplikasi-komplikasi yang bisa terjadi meliputi:

a) Paru-paru

Produksi surfaktan seringkali tidak memadai guna mencegah alveolar collapse dan atelektasis,

yang dapat terjadi Respitarory Distress Syndrome.7

b) SSP ( Susunan syaraf pusat)

Disebabkan tidak memadainya koordinasi refleks menghisap dan menelan, bayi yang lahir

sebelum usia gestasi 34 minggu harus diberi makanan secara intravena atau melalui sonde

lambung. Immaturitas pusat pernafasan di batang otak mengakibatkan apneic spells (apnea

sentral).7

c) Infeksi

Sepsis atau meningitis kira-kira 4X lebih berisiko pada bayi premature daripada bayi normal.

d) Pengaturan suhu

Bayi prematur mempunyai luas permukaan tubuh yang besar dibanding rasio masa tubuh, oleh

karena itu ketika terpapar dengan suhu lingkungan dibawah netral, dengan cepat akan kehilangan

panas dan sulit untuk mempertahankan suhu tubuhnya karena efek shivering pada prematur tidak

ada.7

e)Saluran pencernaan (Gastrointestinal tract).

Volume perut yang kecil dan reflek menghisap dan menelan yang masih immatur pada bayi

prematur, pemberian makanan melalui nasogastrik tube dapat terjadi risiko aspirasi.

18 | P a g e

f) Ginjal

Fungsi ginjal pada bayi prematur masih immatur, sehingga batas konsentrasi dan dilusi cairan

urine kurang memadai seperti pada bayi normal.7

g) Hiperbilirubinemia

Pada bayi prematur bisa berkembang hiperbilirubinemia lebih sering daripada pada bayi aterm,

dan kernicterus bisa terjadi pada level bilirubin serum paling sedikit 10mg/dl (170 umol/L) pada

bayi kecil, bayi prematur yang sakit.7

h) Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan penyebab utama kerusakan otak pada periode perinatal. Kadar glukosa

darah kurang dari 20 mg/100cc pada bayi kurang bulan atau bayi prematur dianggap menderita

hipoglikemia.7

i) Mata

Retrolental fibroplasia, kelainan ini timbul sebagai akibat pemberian oksigen yang berlebihan

pada bayi prematur yang umur kehamilannya kurang dari 34 minggu. Tekanan oksigen yang

tinggi dalam arteri akan merusak pembuluh darah retina yang masih belum matang (immatur).

19 | P a g e

Komplikasi maternal

Komplikasi juga dapat terjadi pada ibu yang melahirkan secara bedah Caesar dan dalam kasus

ini, ibu tersebut terpaksa dilakukan tindakan bedah untuk melahirkan anak karena terjadi

abruption plasenta atau terlepasnya plasenta dari linea uterus yang dapat menyebabkan

perdarahan yang banyak sehingga dapat menyebabkan syok pada ibu tersebut. Oleh itu, dalam

kasus ini kita harus memperhatikan kedua-dua kondisi pasien kita yaitu si ibu dan juga anaknya

yang masih dalam keadaan lemah setelah dilahirkan karena ternyata bayi tersebut masih

premature. Komplikasi pada syok dapat berakibat lebih buruk pada pasien kita karena perfusi

yang berkurang pada salah satu organ yang akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ yang

menjadikan prognosis menjadi lebih buruk. Oleh itu, pertama sekali kita harus mengenali

beberapa gejala syok sesuai dengan derajat yaitu syok ringan hingga berat, dan setelah itu

barulah kita dapat melakukan terapi sesuai dengan derajat syok yang diderita oleh ibu tersebut.7

Syok ringan Syok sedang Syok berat

Takikardi minimal/normal

Hipotensi sedikit

Vasokonstriksi perifer ringan

(kulit dingin, pucat, basah)

Urin normal/sedikit kurang

Keluhan; merasa dingin

Takikardi 100-120x/menit

Hipotensi sistolik 90-100mmhg

Oliguri/anuria

Keluhan; haus

Takikardi 120x/menit

Hipotensi sistolik <60mmHg

Pucat sekali

Anuria

Kesadaran menurun

Prosedur penanganan syok

1. Resusitasi syok harus dilakukan dengan segera dengan tujuan untuk pemulihan segera

perfusi jaringan dan kapasitas angkut oksigen yang adekuat.

2. Posisi pasien yang berbaring terlentang dengan kaki ditinggikan.

3. Bebaskan dan pelihara jalan napas, tidur tanpa bantal dengan kepala tengadah.

4. Beri O2 5-10 liter/menit melalui kanula hidung atau sungkap muka.

5. Resusitasi cairan

20 | P a g e

a. Pasang kanula intravena dengan diameter terbesar(No. 16G) dan ambil sampel darah

dan seterusnya pasang kateter vena sentral. Petunjuk keberhasilan resusitasi adalah

perbaikan tekanan pengisian atrium, produksi urin dan perbaikan kesadaran.

b. Monitor tekanan atrium dengan pengukuran tekanan baji arteri pulmonalis sedangkan

untuk pengukuran tekanan vena sentral dapat menggambarkan tekanan pengisian

atrium secara kasar kecuali pada pasien payah jantung dan penyakit paru obstruktif.7

c. Tahap awal diberikan Ringer laktat yaitu cairan garam berimbang sebanyak 2-3kali

dari jumlah darah yang hilang dengan tetesan 20-30 kali/menit.7

d. Cairan tersebut diharapkan dapat memulihkan sirkulasi( tekanan darah dan tekanan

vena sentral naik) dan produksi urin dan mengatasi asidosis metabolic ringan. Dan

dipertahankan di dalam intravascular 25%.7

e. Pada syok ringan dan sedang, tekanan vena sental 15cm H20 masih dapat ditoleransi.

Tetapi pada syok berat dan lama, dimana terjadi cedera kapiler dan kebocoran ke

ruang interstitial, tekanan vena sental dipertahankan 3-8cm H20 dan jika > 8cm H20

dapat terjadi edema interstitial.7

f. Pemberian cairan dextrose 5% dalam air tidak dianjurkan pada tahap awal syok,

karena dapat terjadi intoksifikasi air dan edema otak, ini disebabkan oleh ekstravasasi

air ke ruang ekstravaskuler yang banyak.7

g. Oleh itu, hanya 1/12 cairan dextrose dalam air yang masih dipertahankan

intravaskuler. Pada syok hemoragik yang berat dapat diberikan cairan koloid

plasma( dekstran, albumin 5% atau cairan HES hydroxyethyl starch) sebanyak 10-

20ml/kg BB dan cairan Ringer laktat.7

h. Pasien dengan hemoglobin 4-3g%( hematokrit 15-10%) dalam tingkat dekompensasi

reversible dan asidosis metabolic, tetapi masih dapat bertahan hidup. Transfuse darah

sebanyak jumlah perdarahan merupakan terapi efektif.7

6. Pemberian obat hanya sebagai terapi tambahan dan pemberian harus hati-hati dengan

titrasi per-infus

a. Sodium bikarbonat: diberikan jika pH arteri <7,2 sedangkan pemberian cairan sudah

adekuat dan terjadi hiperventilasi sedang. Jumlah sodium bikarbonat yang diberikan

dengan formula [base excess X BB X 1/3]; ½ dosis diberikan bolus intravena dan

selebihnya melalui infuse.7

21 | P a g e

b. Vasokonstriktor: digunakan untuk mencegah henti jantung dan dapat diberikan

sebelum resusitasi cairan. Vasikontriktor meningkatkan tekanan arteri rata-rata

sehingga memperbaiki perfusi pada jaringan otak dan jantung. Obat yang dapat

dipakai adalah norepinefrin, fenilefrin, metoksamin, metarminol dan dopamine dosis

tinggi.7

c. Kortikosteroid: kegunaan masih diragukan kecuali pada pasien dengan supresi

korteks adrenal yang mengalami perdarahan.

Kegagalan resusitasi

1. Terjadi peningkatan pengisian atrium dan produksi di atas normal menunjukan volume

overload dan segera pemberian cairan harus diperlambatkan.

2. Lebih banyak cairan diperlukan jika tekanan pengisian atrium dan produksi urin masih di

bawah normal.

3. Jika tekanan pengisian atrium meningkat tetapi produksi urin berkurang haruslah

dilakukan pengukuran tekanan baji arteri pulmonalis dan mengukur curah jantung.

Penilaian resusitasi

1. Observasi setiap 15 menit yang harus diukur adalah tekanan darah, nadi, nafas, kesadaran

dan tekanan vena sentral.

2. Ukur cairan masuk dan keluar yaitu produksi urin bagi mengetahui lebih dini jika terjadi

nekrosis tubular akut atau gagal ginjal.

3. Periksa hemoglobin dan hematokrit secara periodic bila dicurigai perdarahan masih

berlangsung.

4. Lakukan analisa gas darah arteri untuk menilai fungsi kardiopulmoner.

22 | P a g e

Kesimpulan

Pada kasus ini, kita telah mendapatkan seorang wanita yang baru pertama kali hamil dan

mengalami abruption plasenta sehingga dia terpaksa menjalani tindakan bedah Caesar waluapun

usia kehamilan masih premature yaitu 36 minggu. Anak yang dilahirkan ternyata dalam keadaan

yang sangat lemah dengan nilai skor APGAR yang sangat rendah sehingga kita dapat simpulkan

bahwa anak ini harus mendapatkan diterapi di unit gawat darurat. Selain itu, kita juga harus

waspada terhadap kondisi si ibu tersebut karena abruption plasenta menyebabkan suatu

perdarahan yang banyak dan dapat menimbulkan komplikasi syok hipovolemia pada ibu tersebut

jika tidak ditangani dengan segera. Di samping itu, tindakan bedah Caesar juga dapat

menimbulkan banyak perdarahan dan dokter bedah harus mempertimbangkan kondisi ibu

tersebut sebelum melanjutkan tindakan bedah. Pada tindakan bedah juga akan digunakan obat

anestesi yang dapat memperberat lagi keadaan anak yang premature tersebut. Oleh itu, pemilihan

obat anestesi juga harus dipikirkan dalam hal ini. Setelah keadaan ibu dan anak menjadi stabil,

kita tetap harus memonitor kondisi ibu dan anaknya sehingga menjadi lebih stabil. Khususnya

pada anak yang premature ini, harus dimonitor karena system organ pada anak tersebut belum

mengalami pematangan yang sempurna sehingga membutuhkan bantuan dan terapi suportif

untuk membantu anak tersebut beradaptasi terhadap kondisi ekstrauterin. Dalam kes ini, bayi

yang tampak lemah itu akan diterapi berdasarkan guidelines yang dikeluarkan oleh American

Heart Society yang membataskan suatu tindakan tersebut untuk dilakukan dalam suatu tempoh

tertentu. Ini adalah bertujuan untuk mengurangi efek hipoperfusi pada anak yang akan

menyebabkan lebih banyak kematian sel jika tidak ditangani dengan segera. Oleh yang demikian,

anak tersebut harus dibantu dalam gold period principle yang menjadi suatu standar atau patokan

suatu tindakan harus dilakukan. Sebagai kesimpulan, tujuan utama yang harus kita

pertimbangkan dalam kasus ini adalah memastikan status hemodinamik ibu dalam keadaan stabil

dan pada anak dilakukan tindakan resusitasi untuk memperbaiki perfusi pada anak tersebut dan

setelah itu dilanjutkan dengan terapi sehingga system organ pada anak tersebut menjadi lebih

matang dan berfungsi dengan lebih sempurna bagi mengelakkan terjadi komplikasi pada bayi

prematur. Antara komplikasi yang sering terjadi pada bayi premature adalah respiratory distress

syndrome akibat daripada system pernafasan yang belum berfungsi dengan sempurna.

23 | P a g e

Daftar pustaka

1. Behrman Richard, Kliegman Roberts, Jenson Hal. Nelson Textbook of Pediatric.17th ed.

Pennsylvania: An Imprint of Elsevier Science. 2006

2. Kaye D Alan, Pickney LM, Hall M. Stan, Baluch R.Amir, Frost Elizabeth, Ramadhyani

Usha. Update On Neonatal Resuscitation. 2009. diunduh dari

http://staff.aub.edu.lb/~webmeja/20_1.html//

3. Barber CA. , Wyckoff MH. . Use and Efficacy of Endotracheal Versus Intravenous

Epinephrine During Neonatal Cardiopulmonary Resuscitation in the Delivery Room.

Illinois: American Academy of Pediatrics.2006.

4. Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for

Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, diunduh dari

http://circ.ahajournals.org/

5. O2 flow : Ramji S , Saugstad OD. Use of 100% Oxygen or Room Air in Neonatal

Resuscitation. Illinois: American Academy of Pediatrics . 2005.

6. O'Donnell C, Kamlin O, Davis P, Morley C J. Endotracheal Intubation Attempts During

Neonatal Resuscitation: Success Rates, Duration, and Adverse Effects. Illinois: American

Academy of Pediatrics.2006.

7. Hanifa Wiknjosastro, Saifudin AB, Trijatmo Rachimhadhi, Ilmu bedah kebidanan, Ed. 1

Cet. 8: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.

24 | P a g e