majalah gerbang

40
lhamdulillah. Dengan memuja dan memuji-Nya, dengan segenap kekuatan pikir, imajinasi dan kesehatan lahir A bathin yang telah dikucurkan-Nya, akhirnya majalah sastra GERBANG berhasil diterbitkan untuk pertama kalinya. Usaha pembuatan dan penerbitan majalah ini dilakukan secara berdarah-darah. Tapi, demi membuat wadah dan ruang tegur sapa kreativitas seluruh anak bangsa di Indonesia, khususnya di kawasan Kalimantan (Timur) bagian utara, Gerbang dihadirkan. Terbitnya majalah ini disemangati oleh imajinasi dan mimpi. Bahwa kita membutuhkan wadah pemersatu, setidaknya dalam level imajinasi. Media ini diharapkan menjadi ruang bersama bagi bertemunya beragam gagasan dari berbagai latar belakang etnis, bahasa, agama, bahkan aspek lain. Tentunya dalam konteks sastra. Majalah ini juga hadir oleh sebab kekuatan mimpi. Segenap tim pengelola menyadari pentingnya media sebagai kekuatan mengubah sejarah, bukan mengikutinya. Terakhir, inilah ruang bersama, tempat kita menyemai bibit ide-ide luar biasa, yang mengubah hal-hal biasa menjadi luar biasa. Selamat berkreativitas dan berkarya. Tabik. Salam. Sapa Redaksi sapa redaksi Edisi01/tahun I/2012 1

Upload: m-azni-rasyid

Post on 19-Jul-2015

3.435 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah gerbang

lhamdulillah. Dengan memuja dan

memuji-Nya, dengan segenap kekuatan

pikir, imajinasi dan kesehatan lahir Abathin yang telah dikucurkan-Nya, akhirnya

majalah sastra GERBANG berhasil

diterbitkan untuk pertama kalinya.

Usaha pembuatan dan penerbitan majalah

ini dilakukan secara berdarah-darah. Tapi,

demi membuat wadah dan ruang tegur

sapa kreativitas seluruh anak bangsa di

Indonesia, khususnya di kawasan

Kalimantan (Timur) bagian utara, Gerbang

dihadirkan.

Terbitnya majalah ini disemangati oleh

imajinasi dan mimpi. Bahwa kita

membutuhkan wadah pemersatu,

setidaknya dalam level imajinasi. Media ini

diharapkan menjadi ruang bersama bagi

bertemunya beragam gagasan dari

berbagai latar belakang etnis, bahasa,

agama, bahkan aspek lain. Tentunya dalam

konteks sastra. Majalah ini juga hadir oleh

sebab kekuatan mimpi. Segenap tim

pengelola menyadari pentingnya media

sebagai kekuatan mengubah sejarah, bukan

mengikutinya.

Terakhir, inilah ruang bersama, tempat kita

menyemai bibit ide-ide luar biasa, yang

mengubah hal-hal biasa menjadi luar biasa.

Selamat berkreativitas dan berkarya. Tabik.

Salam.

Sapa Redaksi

sapa redaksi

Edisi01/tahun I/2012 1

Page 2: Majalah gerbang

Konsultan SastraKorrie Layun Rampan Suminto A. SayutiJhoni Ariadinata Pemimpin UmumMuhammad ThobroniPimpinan Redaksi Syamsul BachriPemimpin Perusahaan Muhammad AzniAnggotaTheodorus, AlvianSekretaris RedaksiYeyen PurwiyantiDewan Redaksi Erna Wahyuni, S.S.,M.A (Redaktur Ahli)Dwi Cahyono Aji, M.A.Iva Ani Wijiati, S.PdSiti Sulistyani Pamuji, S.PdSiti Fatonah, S.PdRita Kumalasari, S.Pd.Anggota Redaksi Try Rubianto Tunggal Hardianto Jenny Eka MaryantyNovitasari

SUSUNAN PENGELOLA

Redaksi

Alamat : Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo Tarakan, Jalan Amal Lama No 1 Kota Tarakan; Website : http://majalahgerbang.blogspot.com ; Twiter: @majalahgerbang ; E-mail/Facebook: [email protected] ; Contact Person Redaksi : 082152930851 (Yeyen Purwiyanti) Hotline Iklan : 085247848611 (Muhammad Azni)

Redaksi menerima kiriman tulisan dalam bentuk cerpen, puisi, esai sastra, resensi (buku sastra, film, drama, dan sebagainya), serta photo dan kartun. Tulisan, photo dan kartun yang dimuat akan diberikan tanda bukti majalah terbit dan kenang-kenangan.

Model Sampul : Yuni Astuti

Mahasiswa Pendidikan Sastra, Bahasa dan Daerah Fakultas Keguruan dan Pendidikan Universitas Borneo Tarakan.

Dokumen Pribadi

MAJALAH SASTRA GERBANG

Diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan

Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra

Indonesia dan Daerah, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Borneo Tarakan

Gerbang2 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 3

Daftar Isi

SAPA REDAKSIREDAKSIDAFTAR ISICERPEN UTAMA

CERPEN 2

GELAPKorrie Layun Rampan

MY IDOL ARROGANTNovitasari

Guru UleSyamsul Bahri

CERPEN 1

ESAI

PUISI-PUISI

CERITA ANAK

ULASAN

Menanti Tumbuhnya Kantong Sastra di KaltimSunaryo Broto

Puisi-puisi Amien Wangsitalaja:Mendirikan Malam 1 Mendirikan Malam 2The Spirit of MeccaPengantin (1)

Puisi-puisi Heri Sucipto (Den Cipto):Pesona Ruhui RahayuTepian oh TepianKapal Kayu

Puisi Eka Haditia:Untuk Anak-anakku

Puisi Asri Rubianto:HITAM_PUTIH

Puisi Ariani:Pangeran Hatiku

Puisi Rusli Badi:Kehidupan Anak Jalanan

Puisi Yusriadi Hasan Basri:Dipasung Sunyi

Puisi Yeyen Purwiyanti:Cucuran Keringat

Hasna dan Bebek Kecil

Seksualitas dalam Lelaki dari Selatan

GERBANG1

2

3

4

12

18

22

28

29

30

31

31

31

32

32

34

36

Page 3: Majalah gerbang

Konsultan SastraKorrie Layun Rampan Suminto A. SayutiJhoni Ariadinata Pemimpin UmumMuhammad ThobroniPimpinan Redaksi Syamsul BachriPemimpin Perusahaan Muhammad AzniAnggotaTheodorus, AlvianSekretaris RedaksiYeyen PurwiyantiDewan Redaksi Erna Wahyuni, S.S.,M.A (Redaktur Ahli)Dwi Cahyono Aji, M.A.Iva Ani Wijiati, S.PdSiti Sulistyani Pamuji, S.PdSiti Fatonah, S.PdRita Kumalasari, S.Pd.Anggota Redaksi Try Rubianto Tunggal Hardianto Jenny Eka MaryantyNovitasari

SUSUNAN PENGELOLA

Redaksi

Alamat : Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo Tarakan, Jalan Amal Lama No 1 Kota Tarakan; Website : http://majalahgerbang.blogspot.com ; Twiter: @majalahgerbang ; E-mail/Facebook: [email protected] ; Contact Person Redaksi : 082152930851 (Yeyen Purwiyanti) Hotline Iklan : 085247848611 (Muhammad Azni)

Redaksi menerima kiriman tulisan dalam bentuk cerpen, puisi, esai sastra, resensi (buku sastra, film, drama, dan sebagainya), serta photo dan kartun. Tulisan, photo dan kartun yang dimuat akan diberikan tanda bukti majalah terbit dan kenang-kenangan.

Model Sampul : Yuni Astuti

Mahasiswa Pendidikan Sastra, Bahasa dan Daerah Fakultas Keguruan dan Pendidikan Universitas Borneo Tarakan.

Dokumen Pribadi

MAJALAH SASTRA GERBANG

Diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan

Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra

Indonesia dan Daerah, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Borneo Tarakan

Gerbang2 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 3

Daftar Isi

SAPA REDAKSIREDAKSIDAFTAR ISICERPEN UTAMA

CERPEN 2

GELAPKorrie Layun Rampan

MY IDOL ARROGANTNovitasari

Guru UleSyamsul Bahri

CERPEN 1

ESAI

PUISI-PUISI

CERITA ANAK

ULASAN

Menanti Tumbuhnya Kantong Sastra di KaltimSunaryo Broto

Puisi-puisi Amien Wangsitalaja:Mendirikan Malam 1 Mendirikan Malam 2The Spirit of MeccaPengantin (1)

Puisi-puisi Heri Sucipto (Den Cipto):Pesona Ruhui RahayuTepian oh TepianKapal Kayu

Puisi Eka Haditia:Untuk Anak-anakku

Puisi Asri Rubianto:HITAM_PUTIH

Puisi Ariani:Pangeran Hatiku

Puisi Rusli Badi:Kehidupan Anak Jalanan

Puisi Yusriadi Hasan Basri:Dipasung Sunyi

Puisi Yeyen Purwiyanti:Cucuran Keringat

Hasna dan Bebek Kecil

Seksualitas dalam Lelaki dari Selatan

GERBANG1

2

3

4

12

18

22

28

29

30

31

31

31

32

32

34

36

Page 4: Majalah gerbang

Cerpen Utama

Tak ada yang menduga bahwa situasi dapat berganti dengan cepat dan bersuasana aneh. Bunga-bunga kertas yang bergantungan dan bunga-bunga hidup yang menghiasi ruangan tampak jadi layu seketika, seperti diserang wabah api yang menghanguskan segala benda. Keserasian yang selama berhari-hari mengorak di seluruh rumah, dalam ruangan, dan kamar-kamar—bahkan sehingga ke sumur, beranda dan halaman rumah—tiba-tiba menjadi ngelangut dalam warna yang bermuram durja. Kemuraman itu serasa meniti semua hati dan memukul perasaan. Pada orang tua Erna pukulan itu terasa demikian keras!

“Pelajaran paling pahit yang kita alami,” suara ayah Erna. “Ibu terlalu menuruti kemauan sendiri. Akhirnya kita juga yang memetik hasilnya. Rasa malu dan….”

“Bapak jangan menyalahkan

Ibu. Mengapa Bapak tidak mampu mencegah anak itu lari? Bapak memang tak bertanggung jawab!”

“Tanggung jawab? Ibu yang harus bertanggung jawab. Karena Ibu yang memaksa kehendak sendiri. Sudah kukatakan, jangan memaksa kehendak sendiri seperti mengukur baju orang di badan kita. Nah, Ibu sendiri yang merasa akibatnya.” “Bapak juga menerima akibatnya. Karena Bapak tidak bijaksana!” “Tidak bijaksana? 'Kan sudah kubilang, kita rundingkan dengan Erna. Kalau memang ia menolak Suparno, ya, kita jangan memaksa. Bukankah yang menjalani hidup berumah tangga itu Erna sendiri?” “Tapi ia perlu diatur, agar ia mendapatkan kebahagiaan. Tidak menjadi gembel!” “Diatur? Kayak kita ini hidup di zaman Siti Nurbaya saja. Orang yang kreatif

uasana yang begitu meriah dan penuh tawa itu tiba-tiba berubah menjadi Skeadaan yang menggelisahkan. Suara-

suara lembut yang penuh bunga kesenangan tiba-tiba berubah dalam nada-nada keras dan penuh ancaman. Di antaranya adalah suara tangis yang mula-mula lirih, tiba-tiba ada yang melengking dan membentuk semacam paduan suara yang menggemakan rasa duka.

GELAPKorrie Layun Rampan

Gerbang4 Sastra Menyatukan Bangsa

tidak akan suka diatur dengan cara begitu. Ibu sudah cukup mengatur makan-minumnya semenjak bayi, tapi setelah ia dewasa, ia berhak menentukan masa depannya sendiri.” “Bapa memang begitu. Sekarang pun membela anak yang mencorengkan arang di kening. Lalu maumu bagaimana?” “Semuanya sudah terlanjur begini. Taka ada cara kita untuk mengubah keadaan, selain dari hanya mengikuti arus. Kenyataan pahit macam apa pun kita harus terima. Yang pertama kita harus minta maaf kepada keluarga calon suami Erna, juga kepada Suparno sendiri. Kita juga harus minta maaf kepada seluruh undangan. Langkah selanjutnya akan kita atur kemudian.” “Tapi Erna sendiri bagaimana? Di mana ia sekarang? Dan Suparno? Adakah dia mampu memaafkan Erna, memaafkan kita?” “'Kan ini semuanya Ibu yang mengatur. Mengapa Ibu jadi merasa khawatir?” “Aku merasa sangat malu!” “Karena itu Ibu aturlah dengan cara terbaik agar beban malu itu dapat tertutupi.” “Aku justru mengkhawatirkan Erna.” “Dia sudah dewasa.” “Tapi Erna satu-satunya anak kita. Aku sudah memberikan yang terbaik untuk dia. Aneh rasanya, air susu yang kuberikan justru dibalas dengan air tuba.” “Air tuba?” “Apalagi kalau bukan air tuba? Yang baik dibalas yang jahat. Yang kuberikan menjanjikan kenyamanan dan kebahagiaan hidup, justru dibalas dengan kesusahan dan dukacita.” “Itulah salahnya Ibu memandang. Segala yang baik dan segala yang berkenan di hati Ibu, Ibu berikan dan suapi pada Erna. Semasa ia kanak-kanak

ia dapat menerima perlakuan seperti itu, tapi setelah ia dewasa, setelah ia sarjana. Ia punya arah tuju. Ia punya keinginan dan kemauaan yang harus ia laksanakan sendiri. Yang baik menurut Ibu, mungkin yang terburuk bagi dia. Kalau ia merasa tidak mungkin mencintai Suparno karena ia mencintai Rinto?” “Anak berandal tengik itu? Apa yang akan diberikannya kepada Erna? Mampukah ia membahagiakan Erna?” “Mereka punya jalan sendiri-sendiri. Menurut kaca mata Ibu, Rinto buruk. Anak berandal. Anak nakal. Tapi dia juga sarjana. Dia bisa menalar sendiri . Dia mampu mendukung kehidupan keluarganya. Mungkin saja mereka akan berbahagia, walaupun mereka sekarang tak punya apa-apa.” “Suparno telah mempunyai apa yang mungkin membuat Erna berbahagia. Anehnya Bapak selalu membela Erna dan Rinto,” “Aku membela yang baik. Sikap otoriter yang telah Ibu pegang selama ini justru membuat semuanya berantakan. Bukankah itu berarti Ibu telah gagal?” “Aku tak pernah gagal. Aku yakin aku bisa mengendalikan Erna. Yang kuinginkan adalah sikap Bapak sebagai kepala keluarga. Bagaimana cara terbaik yang harus kita lakukan agar kita bisa terlepas dari lingkaran rasa malu yang mencoreng wajah kita. Bagaimana kita membasuh….” Ayah Erna tak memjawab. Tiba-tiba ia merasa disergap rasa welas pada istrinya yang bersikap otoriter. Ia juga merasa kerinduan yang begitu datang tiba-tiba pada Erna. Anak satu-satunya, putri lagi. Selama ini ia lupa melihat Erna. Ia lupa kalau putri tunggalnya itu telah dewasa. Telah lulus sarjana. Telah mampu menentukan jalan sendiri. Ia merasa anaknya masih bayi. Masih kanak-kanak yang ceria, ayu dan kemayu. Kanak-

Cerpen Utama

Edisi01/tahun I/2012 5

Page 5: Majalah gerbang

Cerpen Utama

Tak ada yang menduga bahwa situasi dapat berganti dengan cepat dan bersuasana aneh. Bunga-bunga kertas yang bergantungan dan bunga-bunga hidup yang menghiasi ruangan tampak jadi layu seketika, seperti diserang wabah api yang menghanguskan segala benda. Keserasian yang selama berhari-hari mengorak di seluruh rumah, dalam ruangan, dan kamar-kamar—bahkan sehingga ke sumur, beranda dan halaman rumah—tiba-tiba menjadi ngelangut dalam warna yang bermuram durja. Kemuraman itu serasa meniti semua hati dan memukul perasaan. Pada orang tua Erna pukulan itu terasa demikian keras!

“Pelajaran paling pahit yang kita alami,” suara ayah Erna. “Ibu terlalu menuruti kemauan sendiri. Akhirnya kita juga yang memetik hasilnya. Rasa malu dan….”

“Bapak jangan menyalahkan

Ibu. Mengapa Bapak tidak mampu mencegah anak itu lari? Bapak memang tak bertanggung jawab!”

“Tanggung jawab? Ibu yang harus bertanggung jawab. Karena Ibu yang memaksa kehendak sendiri. Sudah kukatakan, jangan memaksa kehendak sendiri seperti mengukur baju orang di badan kita. Nah, Ibu sendiri yang merasa akibatnya.” “Bapak juga menerima akibatnya. Karena Bapak tidak bijaksana!” “Tidak bijaksana? 'Kan sudah kubilang, kita rundingkan dengan Erna. Kalau memang ia menolak Suparno, ya, kita jangan memaksa. Bukankah yang menjalani hidup berumah tangga itu Erna sendiri?” “Tapi ia perlu diatur, agar ia mendapatkan kebahagiaan. Tidak menjadi gembel!” “Diatur? Kayak kita ini hidup di zaman Siti Nurbaya saja. Orang yang kreatif

uasana yang begitu meriah dan penuh tawa itu tiba-tiba berubah menjadi Skeadaan yang menggelisahkan. Suara-

suara lembut yang penuh bunga kesenangan tiba-tiba berubah dalam nada-nada keras dan penuh ancaman. Di antaranya adalah suara tangis yang mula-mula lirih, tiba-tiba ada yang melengking dan membentuk semacam paduan suara yang menggemakan rasa duka.

GELAPKorrie Layun Rampan

Gerbang4 Sastra Menyatukan Bangsa

tidak akan suka diatur dengan cara begitu. Ibu sudah cukup mengatur makan-minumnya semenjak bayi, tapi setelah ia dewasa, ia berhak menentukan masa depannya sendiri.” “Bapa memang begitu. Sekarang pun membela anak yang mencorengkan arang di kening. Lalu maumu bagaimana?” “Semuanya sudah terlanjur begini. Taka ada cara kita untuk mengubah keadaan, selain dari hanya mengikuti arus. Kenyataan pahit macam apa pun kita harus terima. Yang pertama kita harus minta maaf kepada keluarga calon suami Erna, juga kepada Suparno sendiri. Kita juga harus minta maaf kepada seluruh undangan. Langkah selanjutnya akan kita atur kemudian.” “Tapi Erna sendiri bagaimana? Di mana ia sekarang? Dan Suparno? Adakah dia mampu memaafkan Erna, memaafkan kita?” “'Kan ini semuanya Ibu yang mengatur. Mengapa Ibu jadi merasa khawatir?” “Aku merasa sangat malu!” “Karena itu Ibu aturlah dengan cara terbaik agar beban malu itu dapat tertutupi.” “Aku justru mengkhawatirkan Erna.” “Dia sudah dewasa.” “Tapi Erna satu-satunya anak kita. Aku sudah memberikan yang terbaik untuk dia. Aneh rasanya, air susu yang kuberikan justru dibalas dengan air tuba.” “Air tuba?” “Apalagi kalau bukan air tuba? Yang baik dibalas yang jahat. Yang kuberikan menjanjikan kenyamanan dan kebahagiaan hidup, justru dibalas dengan kesusahan dan dukacita.” “Itulah salahnya Ibu memandang. Segala yang baik dan segala yang berkenan di hati Ibu, Ibu berikan dan suapi pada Erna. Semasa ia kanak-kanak

ia dapat menerima perlakuan seperti itu, tapi setelah ia dewasa, setelah ia sarjana. Ia punya arah tuju. Ia punya keinginan dan kemauaan yang harus ia laksanakan sendiri. Yang baik menurut Ibu, mungkin yang terburuk bagi dia. Kalau ia merasa tidak mungkin mencintai Suparno karena ia mencintai Rinto?” “Anak berandal tengik itu? Apa yang akan diberikannya kepada Erna? Mampukah ia membahagiakan Erna?” “Mereka punya jalan sendiri-sendiri. Menurut kaca mata Ibu, Rinto buruk. Anak berandal. Anak nakal. Tapi dia juga sarjana. Dia bisa menalar sendiri . Dia mampu mendukung kehidupan keluarganya. Mungkin saja mereka akan berbahagia, walaupun mereka sekarang tak punya apa-apa.” “Suparno telah mempunyai apa yang mungkin membuat Erna berbahagia. Anehnya Bapak selalu membela Erna dan Rinto,” “Aku membela yang baik. Sikap otoriter yang telah Ibu pegang selama ini justru membuat semuanya berantakan. Bukankah itu berarti Ibu telah gagal?” “Aku tak pernah gagal. Aku yakin aku bisa mengendalikan Erna. Yang kuinginkan adalah sikap Bapak sebagai kepala keluarga. Bagaimana cara terbaik yang harus kita lakukan agar kita bisa terlepas dari lingkaran rasa malu yang mencoreng wajah kita. Bagaimana kita membasuh….” Ayah Erna tak memjawab. Tiba-tiba ia merasa disergap rasa welas pada istrinya yang bersikap otoriter. Ia juga merasa kerinduan yang begitu datang tiba-tiba pada Erna. Anak satu-satunya, putri lagi. Selama ini ia lupa melihat Erna. Ia lupa kalau putri tunggalnya itu telah dewasa. Telah lulus sarjana. Telah mampu menentukan jalan sendiri. Ia merasa anaknya masih bayi. Masih kanak-kanak yang ceria, ayu dan kemayu. Kanak-

Cerpen Utama

Edisi01/tahun I/2012 5

Page 6: Majalah gerbang

kanak yang penuh tawa dan canda, yang banyak merebut perhatiannya semasa Erna masih kecil dan manja. Tetapi serentak kegiatan bisnisnya meningkat dan Erna meningkat remaja, sampai lulus perguruan tinggi, waktu untuk putri tunggalnya itu makin sedikit. Semuanya ia serahkan kepada istrinya. Dan sang istrilah yang mengatur semuanya, sampai-sampai pada perkawinan. Dan kini ia dihadapi oleh kenyataan yang lebih pahit dari empedu. Ternyata di hari pernikahan itu, Erna minggat. Entah ke mana ia pergi, hanya besar dugaannya Erna minggat bersama pacarnya, Rinto, pemuda yang tak disukai istrinya. Beberapa kali ia dapat berbincang-bincang dengan Rinto, dan ia merasa menyukai pemuda itu. Sikap Rinto yang terbuka, tutur katanya yang sopan, pikirannya yang maju, dan kecerdasannya yang membuat ia meraih gelar sarjana, walaupun keadaan ekonomi keluarganya terbilang sangat mundur. Ia sendiri tidak memilih siapa yang akan menjadi pendamping anaknya, yang ia kehendaki adalah kebahagiaan sang anak. Masih teringat akan percakapannya yang terakhir dengan Rinto. “Jadi setelah lulus sarjana, Rinto akan mengabdi di desa?” ia bertanya karena Rinto mengatakan ia akan bertugas di pedalaman. “Rencanan Rinto memang demikian, Oom. Tapi tak tahu bagaimana resliasasinya. Rinto ingin membuka sekolah di pedalaman. Mungkin di pedalama Irian atau pedalaman Kalimantan.” “Baik sekali,” ia memuji. “Sekolah apa, misalnya?” “Sekolah pertanian. Yaitu pertanian yang cocok dengan kondisi tanah setempat. Rinto pikir, sering kali penerapan pertanian di beberapa

kawasan Tanah Air kita salah, terutama pada bentuk pengelolaan tanah.” “Mungkin ada benarnya,” ia tiba-tiba seperti setuju. “Maaf, Pak. Bukan hanya mungkin Bapak,” Rinto meyakinkan. “Tanah muda seperti di Irian dan Kalimantan tidak akan cocok digarap seperti kita menggarap tanah di Jawa.. Apalagi di Kalimatan dan Irian sedikit gunung api, sehingga kondisi tanahnya jadi lain, termasuk kesuburan. Pori-pori tanah yang besar dan lebar. Itu sebabnya sulit dibuat pengairan di dataran yang agak tinggi di Irian dan Kalimatan. Kecuali di dataran rendahnya. Tapi dataran rendah di dua pulau itu selalu berada di sepanjang sungai. Sedangkan sungai-sungai itu selalu banjir di sepanjang tahun.” “Lalu cara mengatasinya?” “Sawah hanya bisa dibuka di bagian lembah yang tidak dilewati sungai besar. Atau dibuka tanah di daerah pasang surut. Bisa juga dibuat sawah di bagian penghuluan sungai, yaitu di bagian-bagian udik sekali, di kawasan tanah yang agak datar dengan tetap menetapkan kawasan konservasi. Sedangkan tanah-tanah dataran tinggi sangat baik dijadikan areal perkebunan. Kebun vanili, kebun cokelat, kebun buah-buahan, kebun cengkeh, kalapa sawit, dan sebagainya. Kalau tanah yang luas itu dapat dibuka, kita tidak akan tergantung pada minyak saja, Bapak.” “Kamu betul, Rinto,” ia merasa hatinya bersorak. “Tapi itu baru hanya cita-cita saya, Bapak. Kenyataannya masih jauh ke depan. Hanya Rinto merasa yakin terhadap semua apa yang baik. Seperti telah terbayang hamparan kebun dengan daun yang menghijau. Seperti terbayang sawah yang terhampar luas di kawasan lembah dalam. Berhektar-hektar padi

Cerpen Utama

Gerbang6 Sastra Menyatukan Bangsa

menguning, berkilometer kebun buah dan pohon berharga yang menghasilkan devisa. Itu semua menuntut cinta akan kerja, Bapak,” Rinto menatap ayah Erna. “Ya, ya, memang benar.” Bayang-bayang Rinto tiba-tiba menyeruak dalam bayangan Suparno. Sulit bagi ayah Erna untuk membayangkan Suparno. Apakah melihat dari kepribadiannya atau melihat kekayaannya. Kalau menilik kecerdasan dan kepribadian Suparno, anak muda itu jauh di bawah Rinto. Akan tetapi kalau ukurannya pada harta kekayaannya, ia adalah pemuda yang pantas diperhitungankan. Namun harta itu pun perlu dipertanyakan, apakah hasil tetesan keringatnya sendiri atau limpahan dari orang tuanya Karena memang orang tua Suparno tergolong orang yang sangat berada. Tampaknya ibu Erna lebih terpikat oleh harta benda ketimbang kemampuan membentuk masa depan yang hanya terbayang dalam rancangan. Rinto memang baru merancang, belum menjalaninya, karena kesempatan tampaknya baru akan datang setelah ia lulus sebagai sarjana. Masih dalam senggukannya ibu Erna merasakan bahwa dirinya menjadi ibu yang malang. Anak yang dikasihi dan dipelihara dengan segala daya dan kekuatan tiba-tiba terbang bagai burung yang baru lepas dari angkar emas. Terasa Erna begitu tega meninggalkan rencana yang telah dibuat, tanpa memberi penolakan secara keras. Walaupun memang saat lamaran itu disampaikan, ia pernah berbicara dengan Erna. Gadis itu memang menunjukkan sikap yang menolak, walaupun tidak dengan nada berontak yang tajam. Itu yang membuat ibu Erna merasa yakin bahwa Erna menerima Suparno. “Erna telah memilih Rinto, Ibu. Karena itu rasanya tak mungkin Erna menerima

Suparno.” “Kau rasa tak mungkin, itu berarti mungkin Erna. Masa Depanmu akan lebih terjamin jika engkau bersama Suparno, Nak. Ibu merasa plong jika melepaskanmu bersama Suparno.” “Plong pada Ibu, tapi tidak pada Erna, Bu.” “Bersama Rinto hidupmu akan menjadi musibah, Erna. Suparno telah memiliki apa-apa yang engkau butuhkan. Sedangkan Rinto? Apa yang Erna harapkan dari hanya gelar sarjana?” “Cinta dan kerja keras, Bu.” “Cinta? Jika Erna memahami arti hidup yang sesungguhnya, Erna akan memahami makna cinta. Kalau misalnya kau sedang kelaparan, apakah mungkin engkau makan cinta? Dan kerja keras? Kau boleh berleha-leha dengan Suparno. Tanpa kerja keras, Erna sudah makmur….” “Tapi Erna ingin bekerja keras, menciptakan masa depan sendiri, Bu. Jika Erna hanya menerima hasil keringat orang lain, itu rasanya tidak nikmat. Terasa sangat tidak berharga. Dan untuk mencapai itu Erna bertekad melakukannya bersama Rinto.” “Aneh, Erna. Ada pemuda yang mencintai engkau dan bersedia membahagiakan engkau, tetapi kau tidak

Cerpen Utama

Edisi01/tahun I/2012 7

Page 7: Majalah gerbang

kanak yang penuh tawa dan canda, yang banyak merebut perhatiannya semasa Erna masih kecil dan manja. Tetapi serentak kegiatan bisnisnya meningkat dan Erna meningkat remaja, sampai lulus perguruan tinggi, waktu untuk putri tunggalnya itu makin sedikit. Semuanya ia serahkan kepada istrinya. Dan sang istrilah yang mengatur semuanya, sampai-sampai pada perkawinan. Dan kini ia dihadapi oleh kenyataan yang lebih pahit dari empedu. Ternyata di hari pernikahan itu, Erna minggat. Entah ke mana ia pergi, hanya besar dugaannya Erna minggat bersama pacarnya, Rinto, pemuda yang tak disukai istrinya. Beberapa kali ia dapat berbincang-bincang dengan Rinto, dan ia merasa menyukai pemuda itu. Sikap Rinto yang terbuka, tutur katanya yang sopan, pikirannya yang maju, dan kecerdasannya yang membuat ia meraih gelar sarjana, walaupun keadaan ekonomi keluarganya terbilang sangat mundur. Ia sendiri tidak memilih siapa yang akan menjadi pendamping anaknya, yang ia kehendaki adalah kebahagiaan sang anak. Masih teringat akan percakapannya yang terakhir dengan Rinto. “Jadi setelah lulus sarjana, Rinto akan mengabdi di desa?” ia bertanya karena Rinto mengatakan ia akan bertugas di pedalaman. “Rencanan Rinto memang demikian, Oom. Tapi tak tahu bagaimana resliasasinya. Rinto ingin membuka sekolah di pedalaman. Mungkin di pedalama Irian atau pedalaman Kalimantan.” “Baik sekali,” ia memuji. “Sekolah apa, misalnya?” “Sekolah pertanian. Yaitu pertanian yang cocok dengan kondisi tanah setempat. Rinto pikir, sering kali penerapan pertanian di beberapa

kawasan Tanah Air kita salah, terutama pada bentuk pengelolaan tanah.” “Mungkin ada benarnya,” ia tiba-tiba seperti setuju. “Maaf, Pak. Bukan hanya mungkin Bapak,” Rinto meyakinkan. “Tanah muda seperti di Irian dan Kalimantan tidak akan cocok digarap seperti kita menggarap tanah di Jawa.. Apalagi di Kalimatan dan Irian sedikit gunung api, sehingga kondisi tanahnya jadi lain, termasuk kesuburan. Pori-pori tanah yang besar dan lebar. Itu sebabnya sulit dibuat pengairan di dataran yang agak tinggi di Irian dan Kalimatan. Kecuali di dataran rendahnya. Tapi dataran rendah di dua pulau itu selalu berada di sepanjang sungai. Sedangkan sungai-sungai itu selalu banjir di sepanjang tahun.” “Lalu cara mengatasinya?” “Sawah hanya bisa dibuka di bagian lembah yang tidak dilewati sungai besar. Atau dibuka tanah di daerah pasang surut. Bisa juga dibuat sawah di bagian penghuluan sungai, yaitu di bagian-bagian udik sekali, di kawasan tanah yang agak datar dengan tetap menetapkan kawasan konservasi. Sedangkan tanah-tanah dataran tinggi sangat baik dijadikan areal perkebunan. Kebun vanili, kebun cokelat, kebun buah-buahan, kebun cengkeh, kalapa sawit, dan sebagainya. Kalau tanah yang luas itu dapat dibuka, kita tidak akan tergantung pada minyak saja, Bapak.” “Kamu betul, Rinto,” ia merasa hatinya bersorak. “Tapi itu baru hanya cita-cita saya, Bapak. Kenyataannya masih jauh ke depan. Hanya Rinto merasa yakin terhadap semua apa yang baik. Seperti telah terbayang hamparan kebun dengan daun yang menghijau. Seperti terbayang sawah yang terhampar luas di kawasan lembah dalam. Berhektar-hektar padi

Cerpen Utama

Gerbang6 Sastra Menyatukan Bangsa

menguning, berkilometer kebun buah dan pohon berharga yang menghasilkan devisa. Itu semua menuntut cinta akan kerja, Bapak,” Rinto menatap ayah Erna. “Ya, ya, memang benar.” Bayang-bayang Rinto tiba-tiba menyeruak dalam bayangan Suparno. Sulit bagi ayah Erna untuk membayangkan Suparno. Apakah melihat dari kepribadiannya atau melihat kekayaannya. Kalau menilik kecerdasan dan kepribadian Suparno, anak muda itu jauh di bawah Rinto. Akan tetapi kalau ukurannya pada harta kekayaannya, ia adalah pemuda yang pantas diperhitungankan. Namun harta itu pun perlu dipertanyakan, apakah hasil tetesan keringatnya sendiri atau limpahan dari orang tuanya Karena memang orang tua Suparno tergolong orang yang sangat berada. Tampaknya ibu Erna lebih terpikat oleh harta benda ketimbang kemampuan membentuk masa depan yang hanya terbayang dalam rancangan. Rinto memang baru merancang, belum menjalaninya, karena kesempatan tampaknya baru akan datang setelah ia lulus sebagai sarjana. Masih dalam senggukannya ibu Erna merasakan bahwa dirinya menjadi ibu yang malang. Anak yang dikasihi dan dipelihara dengan segala daya dan kekuatan tiba-tiba terbang bagai burung yang baru lepas dari angkar emas. Terasa Erna begitu tega meninggalkan rencana yang telah dibuat, tanpa memberi penolakan secara keras. Walaupun memang saat lamaran itu disampaikan, ia pernah berbicara dengan Erna. Gadis itu memang menunjukkan sikap yang menolak, walaupun tidak dengan nada berontak yang tajam. Itu yang membuat ibu Erna merasa yakin bahwa Erna menerima Suparno. “Erna telah memilih Rinto, Ibu. Karena itu rasanya tak mungkin Erna menerima

Suparno.” “Kau rasa tak mungkin, itu berarti mungkin Erna. Masa Depanmu akan lebih terjamin jika engkau bersama Suparno, Nak. Ibu merasa plong jika melepaskanmu bersama Suparno.” “Plong pada Ibu, tapi tidak pada Erna, Bu.” “Bersama Rinto hidupmu akan menjadi musibah, Erna. Suparno telah memiliki apa-apa yang engkau butuhkan. Sedangkan Rinto? Apa yang Erna harapkan dari hanya gelar sarjana?” “Cinta dan kerja keras, Bu.” “Cinta? Jika Erna memahami arti hidup yang sesungguhnya, Erna akan memahami makna cinta. Kalau misalnya kau sedang kelaparan, apakah mungkin engkau makan cinta? Dan kerja keras? Kau boleh berleha-leha dengan Suparno. Tanpa kerja keras, Erna sudah makmur….” “Tapi Erna ingin bekerja keras, menciptakan masa depan sendiri, Bu. Jika Erna hanya menerima hasil keringat orang lain, itu rasanya tidak nikmat. Terasa sangat tidak berharga. Dan untuk mencapai itu Erna bertekad melakukannya bersama Rinto.” “Aneh, Erna. Ada pemuda yang mencintai engkau dan bersedia membahagiakan engkau, tetapi kau tidak

Cerpen Utama

Edisi01/tahun I/2012 7

Page 8: Majalah gerbang

menerimanya. Sesungguhnya, kalau engkau belajar mencintai Suparno, engkau akan dapat memetik hasilnya. Bahwa hidupmu akan terjamin. Kau akan berbahagia.” “Apakah bahagia itu terletak pada banyaknya harta benda?” “Kalau kau tak berharta dan menjadi kere, adakah bahagia itu akan menjenguk hidupmu? Erna terlalu muda untuk dapat memikirkan masalah hidup yang ruwet. Oleh karena itu, dengan menerima cinta Suparno, Erna akan dibimbing untuk mereguk bahagia yang segera tiba.” “Itu kalau Erna Ibu. Tetapi Erna sendiri?” “Erna 'kan belum menjalaninya.” “Menjalani pernikahan? Perkawinan, begitu? Amit-amit!” “Apa lagi? Jika Erna sudah menjalaninya, Erna akan dapat belajar bagaimana yang disebut hidup berumah tangga itu. Bahwa cinta saja tidak cukup. Ia harus dilengkapi dengan uang, harta benda, rumah, kendaraan, saling memahami, dan turunan. Erna akan merasakan bahwa cinta hanya elemen kecil dari sebuah bangunan perkawinan.” “Maksud Ibu sangat baik, dan Erna sangat berterima kasih. Tapi Erna tidak mampu menjadikan diri Erna adalah Ibu. Oleh karena itu, sebaiknya Ibu menyampaikan baik-baik pada Mas Suparno bahwa Erna belum mampu berumah tangga, dan sebaiknya ia menyampaikan lamaran kepada gadis lain. Bukan Erna….” “Tapi Ibu sudah menerimanya. Lalu Ibu harus berbuat apa. Ibu akan bertindak bagaimana?” “Ibu menerima lamaran Mas Suparno?” “Karena Ibu yakin Erna akan menerimanya.”

Ibu Erna kembali terguguk karena senggukan tangis yang menyendat. Tak pernah ia merasa kehilangan yang begitu besar seperti kehilangan anak satu-satunya ini. Ada rasa sesal yang demikian mendera saat ia mengenang kembali suka dan deritanya melahirkan dan membesarkan Erna. Dari bayi merah hingga menjadi gadis yang cantik jelita. Ia merasa dirinya menitis ke dalam tubuh dan jiwa Erna, tetapi mengapa tiba-tiba titisan darah itu menyeleweng dari kehendaknya? Apakah ia telah keliru dan gagal sebagai ibu? Ayah dan Ibu Erna sama-sama panik. Keluarga yang ikut serta dalam pesta itu pun merasa serba salah. Wajah mereka serasa dibakar dengan api, serasa disulut dengan aliran listrik yang bervoltage ribuan watt. Semua mereka yang sedang mengharapkan sukacita yang besar dalam pesta yang sangat mewah, tetapi justru berbuahkan ratap dan tangisan yang mengiris hati. Terik yang memancar dari langit serasa menggayut mendung setinggi gunung. Udara yang segar terasa begitu sumpek dan berbau busuk. Semuanya terasa buruk dan muram yang menyembul dalam warna-warna hitam kelam. Walapun sudah seminggu Erna menghilang, tetapi warna muram masih saja menggayut di dalam rumah keluarganya. Sedangkan saat itu Erna sudah berada di atas kapal motor wisata di Danau Toba. Bersama Rinto, suaminya, mereka berdua sedang mengakhiri kunjungan ke danau itu, dan selanjutnya akan memasuki dunia cita-cita di pedalaman. Pada saat hari pernikahan Erna, ia dapat meloloskan diri dan kemudian bersama Rinto berangkat ke Jakarta. Rinto sendiri merasa terpukul karena lamarannya yang telah ditolak secara mentah-mentah oleh Ibu Erna. Oleh

Cerpen Utama

Gerbang8 Sastra Menyatukan Bangsa

bantuan kawan-kawan Rinto di Jakarta, akhirnya mereka berdua dapat dinikahkan di depan penghulu. Selanjutnya mereka berdua menghilangkan jejak ke Danau Toba. Udara sangat cerah. Mereka berdua pergi menyewa speedboat dan kemudian mengarungi danau. Indahnya alam danau itu seperti menyerahkan keindahan dunia untuk direguk sampai ke dasar. Di dalam perjalanan itu mereka berdua terus merancangkan ide kehidupan masa depan. Apa yang harus dilakukan di pedalaman nanti. Dan di saat itu pula di rumah Erna terjadi perdebatan yang mendekati pertengkaran karena kepergian Erna. Keluarga pihak ayah dan keluarga pihak ibu Erna saling menyalahkan, sehingga terjadi perdebatan keluarga. Dan di saat itu pula di atas speedboat itu terdengar suara Rinto. “Kita memang telah menyakitkan keluarga, tapi tidak ada jalan lain. Ibumu menolak aku, sedangkan Erna sendiri menolak Suparno. Dan di atas semuanya itu kita tak mampu hidup sendiri-sendiri, karena kita memang ditakdirkan untuk bersatu.” “Memang demikian, Mas Rinto. Akibat dari pelarian kita memang besar. Tapi akan lebih besar akibatnya jika Erna harus menikah dengan lelaki yang tak Erna cintai. Mas Rinto akan menderita, dan Erna akan menderita lebih berlipat ganda.” “Aku pikir di suatu ketika mereka akan memaafkan kita. Mereka aka memahami bahwa cinta dapat membuat orang menjadi nekat. Bahwa kita tidak main-main.” “Memang tampaknya mereka menganggap kita hanya main-main karena kita dianggap sebagai kanak-kanak tanggung yang tak

mampu berpikir sendiri. Sementara kenyataannya kita telah lewat dua satu, dan kita telah sama-sama sarjana.” “Bukan soal sarjananya. Soalnya kita telah dibebaskan dari pengampuan, dan kita telah mampu menentukan jalan hidup sendiri. Yang menanggung dan menerima susah senang hidup kita adalah kita berdua, 'kan?” “Memang kita, Mas Rinto.” “Karena itu maka rencana kita untuk membuka kawasan pedalaman itu harus secara cepat direalisasikan. Kita satukan tabungan kita berdua, kita beli alat-alat pertanian yang sederhana, dan kita mulai bersama-sama dengan penduduk yang sudah ada.” “Ya, kita mulai setelah kita berada di sana….” “Kita mulai dari yang sedikit.” “Untuk mencapai yang banyak.” “Tapi anak kita tak usah banyak.” “Berapa?” “Dua.” “Dua? Lelaki dan perempuan?” “Lelaki atau perempuan sama saja. Asal sehat rohani dan jasmani. Erna dan Mas Rinto sama saja. Kita sama-sama….” “Mencitai?” “Saling melengkapi.” “Saling isi-mengisi.” “Ya, isi-mengisi….” Matahari sudah turun dalam kecondongan hampir senja. Saat speedboat itu memutar ke jalan pulang,

Cerpen Utama

Edisi01/tahun I/2012 9

Page 9: Majalah gerbang

menerimanya. Sesungguhnya, kalau engkau belajar mencintai Suparno, engkau akan dapat memetik hasilnya. Bahwa hidupmu akan terjamin. Kau akan berbahagia.” “Apakah bahagia itu terletak pada banyaknya harta benda?” “Kalau kau tak berharta dan menjadi kere, adakah bahagia itu akan menjenguk hidupmu? Erna terlalu muda untuk dapat memikirkan masalah hidup yang ruwet. Oleh karena itu, dengan menerima cinta Suparno, Erna akan dibimbing untuk mereguk bahagia yang segera tiba.” “Itu kalau Erna Ibu. Tetapi Erna sendiri?” “Erna 'kan belum menjalaninya.” “Menjalani pernikahan? Perkawinan, begitu? Amit-amit!” “Apa lagi? Jika Erna sudah menjalaninya, Erna akan dapat belajar bagaimana yang disebut hidup berumah tangga itu. Bahwa cinta saja tidak cukup. Ia harus dilengkapi dengan uang, harta benda, rumah, kendaraan, saling memahami, dan turunan. Erna akan merasakan bahwa cinta hanya elemen kecil dari sebuah bangunan perkawinan.” “Maksud Ibu sangat baik, dan Erna sangat berterima kasih. Tapi Erna tidak mampu menjadikan diri Erna adalah Ibu. Oleh karena itu, sebaiknya Ibu menyampaikan baik-baik pada Mas Suparno bahwa Erna belum mampu berumah tangga, dan sebaiknya ia menyampaikan lamaran kepada gadis lain. Bukan Erna….” “Tapi Ibu sudah menerimanya. Lalu Ibu harus berbuat apa. Ibu akan bertindak bagaimana?” “Ibu menerima lamaran Mas Suparno?” “Karena Ibu yakin Erna akan menerimanya.”

Ibu Erna kembali terguguk karena senggukan tangis yang menyendat. Tak pernah ia merasa kehilangan yang begitu besar seperti kehilangan anak satu-satunya ini. Ada rasa sesal yang demikian mendera saat ia mengenang kembali suka dan deritanya melahirkan dan membesarkan Erna. Dari bayi merah hingga menjadi gadis yang cantik jelita. Ia merasa dirinya menitis ke dalam tubuh dan jiwa Erna, tetapi mengapa tiba-tiba titisan darah itu menyeleweng dari kehendaknya? Apakah ia telah keliru dan gagal sebagai ibu? Ayah dan Ibu Erna sama-sama panik. Keluarga yang ikut serta dalam pesta itu pun merasa serba salah. Wajah mereka serasa dibakar dengan api, serasa disulut dengan aliran listrik yang bervoltage ribuan watt. Semua mereka yang sedang mengharapkan sukacita yang besar dalam pesta yang sangat mewah, tetapi justru berbuahkan ratap dan tangisan yang mengiris hati. Terik yang memancar dari langit serasa menggayut mendung setinggi gunung. Udara yang segar terasa begitu sumpek dan berbau busuk. Semuanya terasa buruk dan muram yang menyembul dalam warna-warna hitam kelam. Walapun sudah seminggu Erna menghilang, tetapi warna muram masih saja menggayut di dalam rumah keluarganya. Sedangkan saat itu Erna sudah berada di atas kapal motor wisata di Danau Toba. Bersama Rinto, suaminya, mereka berdua sedang mengakhiri kunjungan ke danau itu, dan selanjutnya akan memasuki dunia cita-cita di pedalaman. Pada saat hari pernikahan Erna, ia dapat meloloskan diri dan kemudian bersama Rinto berangkat ke Jakarta. Rinto sendiri merasa terpukul karena lamarannya yang telah ditolak secara mentah-mentah oleh Ibu Erna. Oleh

Cerpen Utama

Gerbang8 Sastra Menyatukan Bangsa

bantuan kawan-kawan Rinto di Jakarta, akhirnya mereka berdua dapat dinikahkan di depan penghulu. Selanjutnya mereka berdua menghilangkan jejak ke Danau Toba. Udara sangat cerah. Mereka berdua pergi menyewa speedboat dan kemudian mengarungi danau. Indahnya alam danau itu seperti menyerahkan keindahan dunia untuk direguk sampai ke dasar. Di dalam perjalanan itu mereka berdua terus merancangkan ide kehidupan masa depan. Apa yang harus dilakukan di pedalaman nanti. Dan di saat itu pula di rumah Erna terjadi perdebatan yang mendekati pertengkaran karena kepergian Erna. Keluarga pihak ayah dan keluarga pihak ibu Erna saling menyalahkan, sehingga terjadi perdebatan keluarga. Dan di saat itu pula di atas speedboat itu terdengar suara Rinto. “Kita memang telah menyakitkan keluarga, tapi tidak ada jalan lain. Ibumu menolak aku, sedangkan Erna sendiri menolak Suparno. Dan di atas semuanya itu kita tak mampu hidup sendiri-sendiri, karena kita memang ditakdirkan untuk bersatu.” “Memang demikian, Mas Rinto. Akibat dari pelarian kita memang besar. Tapi akan lebih besar akibatnya jika Erna harus menikah dengan lelaki yang tak Erna cintai. Mas Rinto akan menderita, dan Erna akan menderita lebih berlipat ganda.” “Aku pikir di suatu ketika mereka akan memaafkan kita. Mereka aka memahami bahwa cinta dapat membuat orang menjadi nekat. Bahwa kita tidak main-main.” “Memang tampaknya mereka menganggap kita hanya main-main karena kita dianggap sebagai kanak-kanak tanggung yang tak

mampu berpikir sendiri. Sementara kenyataannya kita telah lewat dua satu, dan kita telah sama-sama sarjana.” “Bukan soal sarjananya. Soalnya kita telah dibebaskan dari pengampuan, dan kita telah mampu menentukan jalan hidup sendiri. Yang menanggung dan menerima susah senang hidup kita adalah kita berdua, 'kan?” “Memang kita, Mas Rinto.” “Karena itu maka rencana kita untuk membuka kawasan pedalaman itu harus secara cepat direalisasikan. Kita satukan tabungan kita berdua, kita beli alat-alat pertanian yang sederhana, dan kita mulai bersama-sama dengan penduduk yang sudah ada.” “Ya, kita mulai setelah kita berada di sana….” “Kita mulai dari yang sedikit.” “Untuk mencapai yang banyak.” “Tapi anak kita tak usah banyak.” “Berapa?” “Dua.” “Dua? Lelaki dan perempuan?” “Lelaki atau perempuan sama saja. Asal sehat rohani dan jasmani. Erna dan Mas Rinto sama saja. Kita sama-sama….” “Mencitai?” “Saling melengkapi.” “Saling isi-mengisi.” “Ya, isi-mengisi….” Matahari sudah turun dalam kecondongan hampir senja. Saat speedboat itu memutar ke jalan pulang,

Cerpen Utama

Edisi01/tahun I/2012 9

Page 10: Majalah gerbang

udara yang cerah telah tampak bermendung dalam gayutan yang menyimpan hujan. Angin yang tadi sangat santai tiba-tiba berubah menjadi tiupan yang menggetarkan pepohonan dan menimbulkan gelombang besar. Tampaknya awan memang menyimpan topan, dan angin akan membawa awan berhujan ke atas danau. Sedangkan tepian pelabuhan masih beberapa kilometer lagi. Pengemudi speedboat menjadi gugup saat gelombang seperti bukit mendaki pada dinding cakrawala. Hujan yang mengandung topan seperti kecepatan kilat ikut pula membuat suasan menjadi menakutkan. Butiran hujan yang besar saat jatuh di atas diri membuat rasa sakit seperti ditusuk jutaan jarum suntik yang majal. Dan di saat topan limbubu mengandung hujan berguntur memusar di atas danau dan mengolengkan speedboat, hati ketiga penumpang kendaraan itu seperti disilet. Jantung serasa putus dan hati seperti menciut dalam nyali yang seperti luka berdarah. Di bawah kelebatan hujan dan kekelaman yang memusar, gelombang yang ditimbulkan oleh limbubu mengungkit speedboat seperti membalik ikan teri dalam wajan penggorengan. Dalam kejap yang singkat, speedboat itu tak mampu dikendalikan dan tergulung ombak yang menggunung. Mesin speedboat mati dan kendaraan itu karam. Rinto menyambar dua bilahan papan dan menggaet istrinya, karena motoris lupa membawa pelampung. “Kita harus selamat,” ia berkata dengan gugup karena ingat Erna tak bisa berenang. “Ingat anak kita yang akan lahir….” “Anak dua?” “Anak dua dan lahan pertanian kita di pedalaman.” “Kita hidup berbahagia di sana.” “Ya, kita hidup berbahagia.”

“Mas cinta Erna?” “Erna cinta Rinto?” “Erna melahirkan dua anak.” “Anak Erna dan Rinto….” Angin deras dan hujan tak henti seperti pancuran raksasa yang diguyur dari langit. Dua hari kemudiannya suasana menjadi gempar di rumah orang tua Erna. Berita yang ditulis koran pagi tentang kecelakaan pasangan pengantin baru di danau itu membuat semuanya serba hitam bagi ibu dan ayah Erna. Ibu Erna tiba-tiba seperti pohon tua terkena timpukan angin puyuh. Sesekali limbung dan akhirnya roboh dalam pingsan. Keluarga yang lain saling terisak, beberapa di antara mereka ada yang menangis keras-keras. Dalam kelamuran mata karena air yang memancar, ayah Erna masih sempat mengulang baca berita yang ditulis koran itu. “Telah ditemukan dua jasad pengantin baru yang berwisata di Danau Toba. Dari KTP diketahui nama mereka: Erna Sukowiyono dan Rinto Harjanto. Speedboat yang dipakai ditemukan di tepi danau berikut jasad pengemudinya. Saat berita ini diturunkan, keluarga kedua korban baru dihubungi oleh keamanan setempat….” Ayah Erna merasa matanya makin lamur. Pandangannya terasa sangat gelap!

Samarinda, 21 Maret 2012

Cerpen Utama

Tentang Penulis : Korrie Layun Rampan. Adalah sastrawan senior. Telah malang melintang di blantika sastra Indonesia. Karya-karyanya tersebar di Koran, majalah dan buku. Kini menjadi penggerak sastra di wilayah Kalimantan Timur.

Gerbang10 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 11

Page 11: Majalah gerbang

udara yang cerah telah tampak bermendung dalam gayutan yang menyimpan hujan. Angin yang tadi sangat santai tiba-tiba berubah menjadi tiupan yang menggetarkan pepohonan dan menimbulkan gelombang besar. Tampaknya awan memang menyimpan topan, dan angin akan membawa awan berhujan ke atas danau. Sedangkan tepian pelabuhan masih beberapa kilometer lagi. Pengemudi speedboat menjadi gugup saat gelombang seperti bukit mendaki pada dinding cakrawala. Hujan yang mengandung topan seperti kecepatan kilat ikut pula membuat suasan menjadi menakutkan. Butiran hujan yang besar saat jatuh di atas diri membuat rasa sakit seperti ditusuk jutaan jarum suntik yang majal. Dan di saat topan limbubu mengandung hujan berguntur memusar di atas danau dan mengolengkan speedboat, hati ketiga penumpang kendaraan itu seperti disilet. Jantung serasa putus dan hati seperti menciut dalam nyali yang seperti luka berdarah. Di bawah kelebatan hujan dan kekelaman yang memusar, gelombang yang ditimbulkan oleh limbubu mengungkit speedboat seperti membalik ikan teri dalam wajan penggorengan. Dalam kejap yang singkat, speedboat itu tak mampu dikendalikan dan tergulung ombak yang menggunung. Mesin speedboat mati dan kendaraan itu karam. Rinto menyambar dua bilahan papan dan menggaet istrinya, karena motoris lupa membawa pelampung. “Kita harus selamat,” ia berkata dengan gugup karena ingat Erna tak bisa berenang. “Ingat anak kita yang akan lahir….” “Anak dua?” “Anak dua dan lahan pertanian kita di pedalaman.” “Kita hidup berbahagia di sana.” “Ya, kita hidup berbahagia.”

“Mas cinta Erna?” “Erna cinta Rinto?” “Erna melahirkan dua anak.” “Anak Erna dan Rinto….” Angin deras dan hujan tak henti seperti pancuran raksasa yang diguyur dari langit. Dua hari kemudiannya suasana menjadi gempar di rumah orang tua Erna. Berita yang ditulis koran pagi tentang kecelakaan pasangan pengantin baru di danau itu membuat semuanya serba hitam bagi ibu dan ayah Erna. Ibu Erna tiba-tiba seperti pohon tua terkena timpukan angin puyuh. Sesekali limbung dan akhirnya roboh dalam pingsan. Keluarga yang lain saling terisak, beberapa di antara mereka ada yang menangis keras-keras. Dalam kelamuran mata karena air yang memancar, ayah Erna masih sempat mengulang baca berita yang ditulis koran itu. “Telah ditemukan dua jasad pengantin baru yang berwisata di Danau Toba. Dari KTP diketahui nama mereka: Erna Sukowiyono dan Rinto Harjanto. Speedboat yang dipakai ditemukan di tepi danau berikut jasad pengemudinya. Saat berita ini diturunkan, keluarga kedua korban baru dihubungi oleh keamanan setempat….” Ayah Erna merasa matanya makin lamur. Pandangannya terasa sangat gelap!

Samarinda, 21 Maret 2012

Cerpen Utama

Tentang Penulis : Korrie Layun Rampan. Adalah sastrawan senior. Telah malang melintang di blantika sastra Indonesia. Karya-karyanya tersebar di Koran, majalah dan buku. Kini menjadi penggerak sastra di wilayah Kalimantan Timur.

Gerbang10 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 11

Page 12: Majalah gerbang

Sebulan yang lalu...

“Alan! Alan!” teriakku pada malam

itu.

Malam itu adalah kedatangan Alan

Chistian datang ke kotaku. Dan aku

ikut dalam robongan penggemar Alan

untuk menjemputnya di bandara.

Malam itu sangat terasa panas,

meskipun di bandara memiliki banyak

pendingin udara tetap saja udara di

dalam sana sangat panas karena

begitu banyak manusia terutama yang

menunggu kedatangan Alan.

Ketika Alan keluar bandara begitu

banyak para penggemar berusaha

mendekatinya. Aku tahu aku tidak

mungkin bisa mendekatinya meskipun

dalam jarak satu meter. Dan aku

mendapat ide untuk mengetahui

tempat dia akan beristirahat.

Aku adalah penggemar berat Alan

“Aku berjanji, ketika kau bangun aku berjanji akan bersamamu. Selamanya” suara seorang pria yang agak asing di telingaku itu masih tergiang-ngiang di kepalaku. Masih ingat aku setiap detail kata yang keluar dari mulutnya.

Aku menatap wajah kedua orang tuaku satu persatu dan itu bukan suara dari mereka. Aku mencoba untuk mencermati suara kakak perempuanku dan itu juga bukan suaranya. Aku sangat yakin kalau itu adalah suara seorang pria bukan suara yang biasa aku kenal dalam sehari – hari.

Ini hari ke tiga setelah aku bangun dari keadaan komaku. Sebuah kecelakaan yang membuatku seperti orang mati, tertidur selama satu bulan. Aku ingat sedikit demi sedikit detik-detik kecelakaan itu dan aku berhasil menyusun kembali serpihan-serpihan ingatan yang sudah susah payah aku susun itu

***

my idol arrogantNovitasari

Cerpen 1

Gerbang12 Sastra Menyatukan Bangsa

Chistian. Dia adalah pria yang sangat

tampan, pandai dan sangat ramah –

tamah. Sudah setahun ini aku terus

mengikuti perkembangan Alan dan ini

akhirnya, bisa melihat wajahnya secara

langsung apa lagi bisa memegang

wajahnya.

Dengan sepeda motor yang aku

kendarai sendiri menuju bandara, aku

juga mulai mengikuti mobil yang

membawa Alan dan ternyata bukan

hanya aku saja yang memiliki ide untuk

mencaritahu tempat peristirahatan Alan

tapi juga beberapa anak – anak remaja

mengikuti mobil Alan. Dan saat itu juga

kejadian naas itu terjadi...

Aku memacu kendaraanku dengan

kecepatan 70km/jam dan itu masih

belum bisa mengalahkan kecepatan

mobil yang membawa Alan itu. Aku

berusaha mendekati mobil itu tapi tidak

bisa. Akhirnya aku memberanikan diriku

untuk melebihi kecepatan kendaraanku

dari yang sebelumnya. Terfokus pada

mobil yang membawa Alan, aku bahkan

tidak menyadari kalau lampu lalu lintas

yang ada di depanku saat itu sudah

berubah menjadi merah dan yang

kuingat saat itu hanya lampu terang yang

sangat cepat menuju kearahku.

***

Aku melihat kesekelilingku, aku

melihat kedua orangtuaku hanya berdiri

di belakang orang-orang yang tak aku

kenal sambil terus mengarahkan

kameranya padaku, begitu juga dengan

kakak perempuanku – Raisa yang dari

tadi hanya tersenyum tipis padaku.

“Apa komentar anda nona Raika?”

seorang perempuan yang kira – kira

seumuran dengan Raisa mencoba

mengajakku bicara.

“A... Hmm...” hanya gumaman yang

keluar dari mulutku. Aku bingung harus

menjawab apa karena aku benar-benar

tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Biarkan dia istirahat dulu.Wawancara

itu bisa kapan sajakan?” suara itu

terdengar kembali. Suara yang sama

dengan suara yang aku dengar waktu itu.

Aku berusaha memicingkan mata,

memfokuskankan pengelihatanku pada

pintu dan masuklah seorang pria dengan

stelan jas. Ia berjalan mendekatiku

perlahan tapi pasti dan aku bisa katakan

dengan penuh keyakinan kalau itu

adalah Alan Chistian.

Aku bahkan perlu memperhatikannya

dengan seksama agar aku tidak keliru

kalau itu benar-benar Alan Chistian. Ia

berbicara pada kru yang ada di kamar itu

lalu kru-kru itu pergi, mungkin karena

aku terlalu fokus padanya sehingga aku

tidak mendengar apa yang ia katakan.

Sadar-sadar tangannya sudah menjulur

padaku.

“Ayo kita pergi dari sini. Aku ingin

mengajakmu ke suatu tempat yang

indah” lalu ia tersenyum padaku.

Tanpa sadar aku meraih tangannya

dan ikut bersamanya. Ia membuka pintu

mobil lalu ia memasangkan sabuk

pengaman padaku. Masih belum ada

kata-kata yang keluar dari mulutku. Ia

memacu mobilnya pergi meninggalkan

rumah sakit. Sepanjang jalan ia hanya

diam begitu juga denganku dan

sampailah kami di sebuah danau. Lalu ia

turun dari mobil, aku hanya melihat ke

arahnya dan berinisiatif untuk turun

juga.

Aku berdiri di sebelahnya, melihatnya

dari samping ia kelihatan sangat tampan

bahkan lebih tampan daripada ketika aku

melihatnya di televisi. Lalu tiba-tiba ia

melihat ke arahku dan aku sangat kaget

dengannya.

“Jangan anggap semua ini sungguhan.

Cerpen 1

Edisi01/tahun I/2012 13

Page 13: Majalah gerbang

Sebulan yang lalu...

“Alan! Alan!” teriakku pada malam

itu.

Malam itu adalah kedatangan Alan

Chistian datang ke kotaku. Dan aku

ikut dalam robongan penggemar Alan

untuk menjemputnya di bandara.

Malam itu sangat terasa panas,

meskipun di bandara memiliki banyak

pendingin udara tetap saja udara di

dalam sana sangat panas karena

begitu banyak manusia terutama yang

menunggu kedatangan Alan.

Ketika Alan keluar bandara begitu

banyak para penggemar berusaha

mendekatinya. Aku tahu aku tidak

mungkin bisa mendekatinya meskipun

dalam jarak satu meter. Dan aku

mendapat ide untuk mengetahui

tempat dia akan beristirahat.

Aku adalah penggemar berat Alan

“Aku berjanji, ketika kau bangun aku berjanji akan bersamamu. Selamanya” suara seorang pria yang agak asing di telingaku itu masih tergiang-ngiang di kepalaku. Masih ingat aku setiap detail kata yang keluar dari mulutnya.

Aku menatap wajah kedua orang tuaku satu persatu dan itu bukan suara dari mereka. Aku mencoba untuk mencermati suara kakak perempuanku dan itu juga bukan suaranya. Aku sangat yakin kalau itu adalah suara seorang pria bukan suara yang biasa aku kenal dalam sehari – hari.

Ini hari ke tiga setelah aku bangun dari keadaan komaku. Sebuah kecelakaan yang membuatku seperti orang mati, tertidur selama satu bulan. Aku ingat sedikit demi sedikit detik-detik kecelakaan itu dan aku berhasil menyusun kembali serpihan-serpihan ingatan yang sudah susah payah aku susun itu

***

my idol arrogantNovitasari

Cerpen 1

Gerbang12 Sastra Menyatukan Bangsa

Chistian. Dia adalah pria yang sangat

tampan, pandai dan sangat ramah –

tamah. Sudah setahun ini aku terus

mengikuti perkembangan Alan dan ini

akhirnya, bisa melihat wajahnya secara

langsung apa lagi bisa memegang

wajahnya.

Dengan sepeda motor yang aku

kendarai sendiri menuju bandara, aku

juga mulai mengikuti mobil yang

membawa Alan dan ternyata bukan

hanya aku saja yang memiliki ide untuk

mencaritahu tempat peristirahatan Alan

tapi juga beberapa anak – anak remaja

mengikuti mobil Alan. Dan saat itu juga

kejadian naas itu terjadi...

Aku memacu kendaraanku dengan

kecepatan 70km/jam dan itu masih

belum bisa mengalahkan kecepatan

mobil yang membawa Alan itu. Aku

berusaha mendekati mobil itu tapi tidak

bisa. Akhirnya aku memberanikan diriku

untuk melebihi kecepatan kendaraanku

dari yang sebelumnya. Terfokus pada

mobil yang membawa Alan, aku bahkan

tidak menyadari kalau lampu lalu lintas

yang ada di depanku saat itu sudah

berubah menjadi merah dan yang

kuingat saat itu hanya lampu terang yang

sangat cepat menuju kearahku.

***

Aku melihat kesekelilingku, aku

melihat kedua orangtuaku hanya berdiri

di belakang orang-orang yang tak aku

kenal sambil terus mengarahkan

kameranya padaku, begitu juga dengan

kakak perempuanku – Raisa yang dari

tadi hanya tersenyum tipis padaku.

“Apa komentar anda nona Raika?”

seorang perempuan yang kira – kira

seumuran dengan Raisa mencoba

mengajakku bicara.

“A... Hmm...” hanya gumaman yang

keluar dari mulutku. Aku bingung harus

menjawab apa karena aku benar-benar

tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Biarkan dia istirahat dulu.Wawancara

itu bisa kapan sajakan?” suara itu

terdengar kembali. Suara yang sama

dengan suara yang aku dengar waktu itu.

Aku berusaha memicingkan mata,

memfokuskankan pengelihatanku pada

pintu dan masuklah seorang pria dengan

stelan jas. Ia berjalan mendekatiku

perlahan tapi pasti dan aku bisa katakan

dengan penuh keyakinan kalau itu

adalah Alan Chistian.

Aku bahkan perlu memperhatikannya

dengan seksama agar aku tidak keliru

kalau itu benar-benar Alan Chistian. Ia

berbicara pada kru yang ada di kamar itu

lalu kru-kru itu pergi, mungkin karena

aku terlalu fokus padanya sehingga aku

tidak mendengar apa yang ia katakan.

Sadar-sadar tangannya sudah menjulur

padaku.

“Ayo kita pergi dari sini. Aku ingin

mengajakmu ke suatu tempat yang

indah” lalu ia tersenyum padaku.

Tanpa sadar aku meraih tangannya

dan ikut bersamanya. Ia membuka pintu

mobil lalu ia memasangkan sabuk

pengaman padaku. Masih belum ada

kata-kata yang keluar dari mulutku. Ia

memacu mobilnya pergi meninggalkan

rumah sakit. Sepanjang jalan ia hanya

diam begitu juga denganku dan

sampailah kami di sebuah danau. Lalu ia

turun dari mobil, aku hanya melihat ke

arahnya dan berinisiatif untuk turun

juga.

Aku berdiri di sebelahnya, melihatnya

dari samping ia kelihatan sangat tampan

bahkan lebih tampan daripada ketika aku

melihatnya di televisi. Lalu tiba-tiba ia

melihat ke arahku dan aku sangat kaget

dengannya.

“Jangan anggap semua ini sungguhan.

Cerpen 1

Edisi01/tahun I/2012 13

Page 14: Majalah gerbang

Ini hanya permainan untuk menaikkan

rating filmku. Ingat! Ini hanya

permainan. Jangan pernah kau

menganggap kalau aku

benaran suka

denganmu!” Alan tiba-

tiba membentakku.

Senyuman yang sedari

tadi terus menghiasi

wajahku langsung lenyap

begitu saja. Aku sangat

terkejut dengan sikapnya

yang sangat berbeda 180º

dari yang aku lihat di

televisi. Tanpa sadar yang

muncul dari wajahku

adalah wajah kekesalan.

“Kau dengar aku

tidak?” ia tersenyum “Aku

tahu kau adalah

penggemar beratku. Ketika pertama kali

kita ketemu langsung aku bisa membaca

wajahmu kalau kau suka denganku.

Iyakan?!” ia kembali tersenyum. “Tapi

jangan harap kalau aku akan jatuh cinta

dengan cewek biasa sepertimu.”

Seketika itu juga aku langsung

menamparnya. Enak saja ia berkata

seperti itu, kalau aku tahu dia

mempunyai sikap seperti itu lebih baik

aku tidak perlu mengidolakannya. Tanpa

mengatakan apapun aku pergi

meninggalkannya.

Ia memegangi pipi kanannya yang

memerah akibat tamparanku karena

kesal ia menarik tanganku dengan keras

lalu spontan aku injak kaki kirinya dan itu

cukup berhasil membuatnya melepaskan

genggamannya padaku. Lalu ia kembali

mengejarku dan langsung berusaha

menciumku tentu saja dengan susah

payah aku melawannya.

“Bukankah ini yang kau inginkan!

Dicium oleh idola terkenal sepertiku!”

Aku pun akhirnya menggigit bibirnya

sangking kesalnya. Aku benar-benar

tidak pernah bertemu

dengan orang sebrengsek

dia. Ia mengatasnamakan

seorang idola tapi sikapnya

ini tidak lebih dari seorang

maniak mesum.

Aku meninggalkannya,

di belakang aku

mendengarnya berteriak

kepadaku dan aku tetap

tidak menghiraukannya.

“Lihat saja nanti, aku

tidak akan pernah mau

menemuimu lagi. Jangan

harap seumur hidupmu

bisa bertemu denganku!!!”

itu kata terakhir yang aku

dengar darinya.

***

“Kapan aku bisa keluar dari rumah

sakit?” aku menanyakan hal itu berulang

kali kepada Raisa. Aku sudah merasa

sangat bosan dengan keadaan di rumah

sakit.

“Nanti” itu jawaban singkat dari

Raisan sambil terus membaca

majalahnya yang baru saja ia beli.

Aku menghela nafas “Apa kau tidak

bisa tidak usaha membaca majalah itu di

depanku?”

“Kenapa?”

“Kenapa? Tentu saja karena cover

depan majalahmu muka si brengsek itu!”

Ia melihat cover majalah itu dan wajah

Alan terpampang di halaman depan

majalah itu “Oh... bukannya kau sangat

suka padanya. Sekarang nikmati

keberuntunganmu saat ini.”

“Keberuntungan?! Ini bukan

keberuntungan tapi kesialan?!”

Cerpen 1

Gerbang14 Sastra Menyatukan Bangsa

“Memangnya kenapa kau? Baru di

bawa pergi satu kali saja sudah merasa

kalau Alan sudah jadi milikmu.” Ia masih

belum beranjak dari bacaannya.

“Itu karena? Karena? Arg! Lupakan

saja!”

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan

begitu banyak wartawan masuk ke

dalam dan di depan wartawan-wartawan

itu ada si Brengsek Sialan itu – Alan.

Melihat hal itu Raisa langsung bangkit

dari tempat duduknya.

“Ini dia gadis yang beruntung yang

akan kencan denganku dalam sehari

penuh ini”

Aku hanya bisa ternganga kesal...

***

Alan berusaha menemukan sebuah

baju yang cocok denganku di sebuah

butik yang cukup terkenal di kotaku dan

aku hanya bisa diam menatapnya.

“Aku sudah menemukannya!” ia

tampak kegirangan. “Cobalah ini, pasti

akan sangat cantik ketika kau

memakainya.”

Aku berjalan perlahan menujunya dan

memegang baju ini lalu ia menarik

tanganku “Berusahalah untuk tersenyum

selama seharian penuh ini.” Berikut

dengan nada menjengkelkannya itu.

Aku meliriknya lalu pergi ke ruang

ganti sambil membawa baju itu. di dalam

ruang ganti aku hanya bisa mencibirnya.

Aku harus tenang, itu yang ada di dalam

pikiranku saat ini. Setelah selesai aku

memakai baju itu aku keluar. Aku sangat

terkejut karena baju itu sangat pas

denganku. Alan tahu memprediksikan

ukuran bajuku???

“Sangat cantik! Aku sangat suka” itu

yang keluar dari mulutnya bukan ejekan

atau hinaan yang keluar. Ia tersenyum

padaku dan seketika itu dalam hitungan

beberapa detik aku sempat terpesona

dengan senyumannya itu.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku

dan aku hadir ke dalam dunia nyata lagi.

Dia bukan seorang pangeran tapi di

seorang penjagal. Lalu kami pergi ke

danau tempat kami dulu berkelahi. Kami

berdua duduk di pinggir danau untuk

pengambilan gambar. Pura-pura ngobrol

dengan asyik saling mengakrabkan diri.

Aku dan Alan saling mengucapkan

terima kasih pada para kru. Setelah para

kru pergi tinggallah kami berdua.

“Bersabarlah sedikit, tinggal bagian

makan malam lagi setelah itu kita tidak

akan bertemu lagi” kali ini cara bicaranya

tidak begitu menjengkelkan seperti yang

kemarin-kemarin.

Ia melihat ke arahku dan aku

mengacuhkannya, aku hanya melihat ke

arah danau. Dan sepertinya ia menunggu

jawabanku karena tidak ada jawaban ia

pergi. Tidak jauh ia pergi tiba-tiba aku

ingin mengerjainya.

Cerpen 1

“Tolong!” aku menceburkan diriku

ke danau dan pura-pura tidak bisa

berenang.

Aku melihatnya hanya berdiam diri

di atas sekilas aku melihat wajah panik

darinya. Ia melihat kesekelilingnya

tidak ada orang dan akhirnya ia

menceburkan dirinya. Dan bukannya

datang menyelamatkanku ia malah

meminta tolong juga. Ternyata ia tidak

bisa berenang.

Secepat kilat aku berenang

mendekatinya, membawanya ke

pinggir danau. Ia pingsan, aku pun

mulai panik. Aku mendekatkan

telingaku ke hidungnya dan tidak

terdengar ada nafasnya. Aku melihat

kesekelilingku dan tetap tidak ada

orang. Akhirnya aku memberikan

Edisi01/tahun I/2012 15

Page 15: Majalah gerbang

Ini hanya permainan untuk menaikkan

rating filmku. Ingat! Ini hanya

permainan. Jangan pernah kau

menganggap kalau aku

benaran suka

denganmu!” Alan tiba-

tiba membentakku.

Senyuman yang sedari

tadi terus menghiasi

wajahku langsung lenyap

begitu saja. Aku sangat

terkejut dengan sikapnya

yang sangat berbeda 180º

dari yang aku lihat di

televisi. Tanpa sadar yang

muncul dari wajahku

adalah wajah kekesalan.

“Kau dengar aku

tidak?” ia tersenyum “Aku

tahu kau adalah

penggemar beratku. Ketika pertama kali

kita ketemu langsung aku bisa membaca

wajahmu kalau kau suka denganku.

Iyakan?!” ia kembali tersenyum. “Tapi

jangan harap kalau aku akan jatuh cinta

dengan cewek biasa sepertimu.”

Seketika itu juga aku langsung

menamparnya. Enak saja ia berkata

seperti itu, kalau aku tahu dia

mempunyai sikap seperti itu lebih baik

aku tidak perlu mengidolakannya. Tanpa

mengatakan apapun aku pergi

meninggalkannya.

Ia memegangi pipi kanannya yang

memerah akibat tamparanku karena

kesal ia menarik tanganku dengan keras

lalu spontan aku injak kaki kirinya dan itu

cukup berhasil membuatnya melepaskan

genggamannya padaku. Lalu ia kembali

mengejarku dan langsung berusaha

menciumku tentu saja dengan susah

payah aku melawannya.

“Bukankah ini yang kau inginkan!

Dicium oleh idola terkenal sepertiku!”

Aku pun akhirnya menggigit bibirnya

sangking kesalnya. Aku benar-benar

tidak pernah bertemu

dengan orang sebrengsek

dia. Ia mengatasnamakan

seorang idola tapi sikapnya

ini tidak lebih dari seorang

maniak mesum.

Aku meninggalkannya,

di belakang aku

mendengarnya berteriak

kepadaku dan aku tetap

tidak menghiraukannya.

“Lihat saja nanti, aku

tidak akan pernah mau

menemuimu lagi. Jangan

harap seumur hidupmu

bisa bertemu denganku!!!”

itu kata terakhir yang aku

dengar darinya.

***

“Kapan aku bisa keluar dari rumah

sakit?” aku menanyakan hal itu berulang

kali kepada Raisa. Aku sudah merasa

sangat bosan dengan keadaan di rumah

sakit.

“Nanti” itu jawaban singkat dari

Raisan sambil terus membaca

majalahnya yang baru saja ia beli.

Aku menghela nafas “Apa kau tidak

bisa tidak usaha membaca majalah itu di

depanku?”

“Kenapa?”

“Kenapa? Tentu saja karena cover

depan majalahmu muka si brengsek itu!”

Ia melihat cover majalah itu dan wajah

Alan terpampang di halaman depan

majalah itu “Oh... bukannya kau sangat

suka padanya. Sekarang nikmati

keberuntunganmu saat ini.”

“Keberuntungan?! Ini bukan

keberuntungan tapi kesialan?!”

Cerpen 1

Gerbang14 Sastra Menyatukan Bangsa

“Memangnya kenapa kau? Baru di

bawa pergi satu kali saja sudah merasa

kalau Alan sudah jadi milikmu.” Ia masih

belum beranjak dari bacaannya.

“Itu karena? Karena? Arg! Lupakan

saja!”

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan

begitu banyak wartawan masuk ke

dalam dan di depan wartawan-wartawan

itu ada si Brengsek Sialan itu – Alan.

Melihat hal itu Raisa langsung bangkit

dari tempat duduknya.

“Ini dia gadis yang beruntung yang

akan kencan denganku dalam sehari

penuh ini”

Aku hanya bisa ternganga kesal...

***

Alan berusaha menemukan sebuah

baju yang cocok denganku di sebuah

butik yang cukup terkenal di kotaku dan

aku hanya bisa diam menatapnya.

“Aku sudah menemukannya!” ia

tampak kegirangan. “Cobalah ini, pasti

akan sangat cantik ketika kau

memakainya.”

Aku berjalan perlahan menujunya dan

memegang baju ini lalu ia menarik

tanganku “Berusahalah untuk tersenyum

selama seharian penuh ini.” Berikut

dengan nada menjengkelkannya itu.

Aku meliriknya lalu pergi ke ruang

ganti sambil membawa baju itu. di dalam

ruang ganti aku hanya bisa mencibirnya.

Aku harus tenang, itu yang ada di dalam

pikiranku saat ini. Setelah selesai aku

memakai baju itu aku keluar. Aku sangat

terkejut karena baju itu sangat pas

denganku. Alan tahu memprediksikan

ukuran bajuku???

“Sangat cantik! Aku sangat suka” itu

yang keluar dari mulutnya bukan ejekan

atau hinaan yang keluar. Ia tersenyum

padaku dan seketika itu dalam hitungan

beberapa detik aku sempat terpesona

dengan senyumannya itu.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku

dan aku hadir ke dalam dunia nyata lagi.

Dia bukan seorang pangeran tapi di

seorang penjagal. Lalu kami pergi ke

danau tempat kami dulu berkelahi. Kami

berdua duduk di pinggir danau untuk

pengambilan gambar. Pura-pura ngobrol

dengan asyik saling mengakrabkan diri.

Aku dan Alan saling mengucapkan

terima kasih pada para kru. Setelah para

kru pergi tinggallah kami berdua.

“Bersabarlah sedikit, tinggal bagian

makan malam lagi setelah itu kita tidak

akan bertemu lagi” kali ini cara bicaranya

tidak begitu menjengkelkan seperti yang

kemarin-kemarin.

Ia melihat ke arahku dan aku

mengacuhkannya, aku hanya melihat ke

arah danau. Dan sepertinya ia menunggu

jawabanku karena tidak ada jawaban ia

pergi. Tidak jauh ia pergi tiba-tiba aku

ingin mengerjainya.

Cerpen 1

“Tolong!” aku menceburkan diriku

ke danau dan pura-pura tidak bisa

berenang.

Aku melihatnya hanya berdiam diri

di atas sekilas aku melihat wajah panik

darinya. Ia melihat kesekelilingnya

tidak ada orang dan akhirnya ia

menceburkan dirinya. Dan bukannya

datang menyelamatkanku ia malah

meminta tolong juga. Ternyata ia tidak

bisa berenang.

Secepat kilat aku berenang

mendekatinya, membawanya ke

pinggir danau. Ia pingsan, aku pun

mulai panik. Aku mendekatkan

telingaku ke hidungnya dan tidak

terdengar ada nafasnya. Aku melihat

kesekelilingku dan tetap tidak ada

orang. Akhirnya aku memberikan

Edisi01/tahun I/2012 15

Page 16: Majalah gerbang

nafas buatan untuknya, aku memang

tidak tahu caranya tapi tidak ada

salahnya mencoba.

Beberapa kali aku memberinya nafas

buatan akhirnya ia sadar. Ia terbatuk dan

sadar lalu tanpa sadar aku memeluknya

sambil menangis.

“Maafkan aku... maafkan aku...

maafkan aku” hanya itu yang bisa keluar

dari mulutku selain tangisan.

***

Alan lalu berdiri mendekatiku dan

menuju ke arah belakangaku lalu ia

memasangkan sebuah kalung yang

sangat indah. Setelah itu ia kembali ke

tempat duduknya sambil terus

menebarkan senyumannya padaku.

Saat pertama kali aku sampai di danau

itu, pinggiran danau itu sudah di sulap

oleh para kru menjadi sebuah tempat

yang sangat indah. Di pinggir danau

terdapat sebuah meja makan dan dua

buah kursi dengan beberapa hidangan

yang terlihat sederhana tapi sangat enak.

Aku ingat ketika baju indah ini sampai di

rumahku dan aku membaca surat yang

ada di dalamnya.

“Aku harap kau mau memakai baju ini.

Alan” itu isi suratnya. Tapi sepertinya

sangat berarti bagiku.

Aku mendekat, semakin dekat dengan

tempat duduk itu, lalu Alan datang tiba-

tiba di belakangaku dan

mempersilahkanku duduk. Ia tampak

kelihatan sangat tampan dengan setelan

jas yang ia gunakan.

Lalu ia berbisik padaku “Kau sangat

cantik malam ini.”

Tanpa sadar aku tersenyum. Alan yang

aku lihat malam itu adalah Alan yang

selalu aku impikan selama ini sangat

berbeda dengan Alan yang aku temui

beberapa hari lalu. Dan kami mulai

berbincang-bincang dengan santai

menikmati malam itu.

Sampai acara pengambilan gambar

untuk sebuah reality show itu selasai

kami masih nyaman dengan keadaan

saat itu. Semua kru sudah mulai bersiap-

siap untuk pulang.

“Boleh aku meminta satu hal

padamu?” tanya Alan padaku.

“Tentu saja. Apa?”

“Aku ingin kau selalu menyimpan

kalung itu selamanya.”

Aku tersenyum “Aku akan selalu

menyimpannya.”

Ia menatapku “Tapi aku ingin kau

bukan hanya menyimpan kalung itu di

dalam lemari atau laci di kamarmu tapi

yang aku inginkan adalah kau selalu

menyimpan kalung itu di dalam hatimu.”

Aku sedikit heran dengan perkataan

Alan “Tapi kalung tidak bisa di simpan di

ha-” kata-kata itu terhenti ketika Alan

langsung menciumku.

***

Cerpen 1

Tentang Penulis : Novitasari. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo Tarakan. Sedang belajar keras menulis karya-karya sastra, baik puisi maupun prosa. Salah satu naskah novelnya telah selesai dikerjakan. Kini masih menunggu proses diterbitkan. Selain kuliah, ia bergabung menjadi redaktur majalah sastra GERBANG dan mengikuti berbagai lomba penulisan sastra.

Gerbang16 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 17

Page 17: Majalah gerbang

nafas buatan untuknya, aku memang

tidak tahu caranya tapi tidak ada

salahnya mencoba.

Beberapa kali aku memberinya nafas

buatan akhirnya ia sadar. Ia terbatuk dan

sadar lalu tanpa sadar aku memeluknya

sambil menangis.

“Maafkan aku... maafkan aku...

maafkan aku” hanya itu yang bisa keluar

dari mulutku selain tangisan.

***

Alan lalu berdiri mendekatiku dan

menuju ke arah belakangaku lalu ia

memasangkan sebuah kalung yang

sangat indah. Setelah itu ia kembali ke

tempat duduknya sambil terus

menebarkan senyumannya padaku.

Saat pertama kali aku sampai di danau

itu, pinggiran danau itu sudah di sulap

oleh para kru menjadi sebuah tempat

yang sangat indah. Di pinggir danau

terdapat sebuah meja makan dan dua

buah kursi dengan beberapa hidangan

yang terlihat sederhana tapi sangat enak.

Aku ingat ketika baju indah ini sampai di

rumahku dan aku membaca surat yang

ada di dalamnya.

“Aku harap kau mau memakai baju ini.

Alan” itu isi suratnya. Tapi sepertinya

sangat berarti bagiku.

Aku mendekat, semakin dekat dengan

tempat duduk itu, lalu Alan datang tiba-

tiba di belakangaku dan

mempersilahkanku duduk. Ia tampak

kelihatan sangat tampan dengan setelan

jas yang ia gunakan.

Lalu ia berbisik padaku “Kau sangat

cantik malam ini.”

Tanpa sadar aku tersenyum. Alan yang

aku lihat malam itu adalah Alan yang

selalu aku impikan selama ini sangat

berbeda dengan Alan yang aku temui

beberapa hari lalu. Dan kami mulai

berbincang-bincang dengan santai

menikmati malam itu.

Sampai acara pengambilan gambar

untuk sebuah reality show itu selasai

kami masih nyaman dengan keadaan

saat itu. Semua kru sudah mulai bersiap-

siap untuk pulang.

“Boleh aku meminta satu hal

padamu?” tanya Alan padaku.

“Tentu saja. Apa?”

“Aku ingin kau selalu menyimpan

kalung itu selamanya.”

Aku tersenyum “Aku akan selalu

menyimpannya.”

Ia menatapku “Tapi aku ingin kau

bukan hanya menyimpan kalung itu di

dalam lemari atau laci di kamarmu tapi

yang aku inginkan adalah kau selalu

menyimpan kalung itu di dalam hatimu.”

Aku sedikit heran dengan perkataan

Alan “Tapi kalung tidak bisa di simpan di

ha-” kata-kata itu terhenti ketika Alan

langsung menciumku.

***

Cerpen 1

Tentang Penulis : Novitasari. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo Tarakan. Sedang belajar keras menulis karya-karya sastra, baik puisi maupun prosa. Salah satu naskah novelnya telah selesai dikerjakan. Kini masih menunggu proses diterbitkan. Selain kuliah, ia bergabung menjadi redaktur majalah sastra GERBANG dan mengikuti berbagai lomba penulisan sastra.

Gerbang16 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 17

Page 18: Majalah gerbang

Long Buang nama desa kecil yang

dibanggakan Guru Ule. Long Buang sangat

kaya isi alam. Di Long Buang apa saja bisa

dicari. Asalkan berbau alam. Berburu

hewan payau adalah hobi Guru Ule.

Bermodal senjata kaleber laras panjang

rakitan sendiri. Dia bisa membawa pulang

payau hasil tangkapan. Ule adalah laki-laki

sabar. Tabah. Paling suka makan pucuk

singkong. Ditumbuk halus dengan alat

penumbuk. Mereka namakan alat

penumbuk itu lesung.

Lesung terbuat dari kayu ul in

berbentuk petak. Ditengahnya lubang

yang semakin dalam semakin kecil.

Mereka namakan makanan itu tung ubi

meca. Pucuk singkong ditumbuk halus

dan ditumis. Menghaluskannya dengan

penumbuk lesung. Itu makanan kesukaan

Ule. Dia sangat lahap jika makan dengan

lauk tung ubi meca. Ule ramah terhadap

orang sekitar. Juga berbudi pekerti luhur.

SD Tungun Paku nama sekolah Ule

mengajar. Saban pagi Ule mendidik anak-

anak kampong. Agar menjadi anak-anak

cerdas. Ule ingin menaikan derajat orang

kampong. Agar tidak buta huruf.

Setidaknya bisa membaca dan menulis.

Agar tidak mudah tertipu saat pergi ke

kota.

Long Buang melekat adat istiadat suku

dayak . Te l inga ber lubang besar

bergelantungan banyak besi bundar

sebagai anting. Tato ukiran dayak di

tangan dan kaki. Itu ciri khas orang tertua

suku dayak.

Ule mengajar penuh ikhlas. Sangat

bersemangat. Dia mengajarkan murid

mulai pelajaran hitung sampai bahasa

indonesia. Di kampung Ule sudah biasa

mengajar bahasa daerah (dayak)

bercampur Bahasa Indonesia . Murid-

muridnya tidak terlalu paham Bahasa

indonesia. Ule pelopor mendidik dan

Ule namanya. Kerjanya jadi guru di

w i l aya h s u ku d aya k punan. Sebuah kampung sangat jauh dari kota. Para

pakar menyebutnya daerah pedalaman.

Guru UleSyamsul Bahri

Cerpen 2

Gerbang18 Sastra Menyatukan Bangsa

mengajarkan bahasa indonesia. Murid

Ule belum menggunakan seragam

sekolah. Sekolah mereka tidak dihiraukan

pemerintah.

Jarak membuat masalah. Dari Long

Buang butuh sehar i per ja lanan.

Mengunakan perahu kecil bermesinkan

ketinting 15 PK. Baru tembus ke kota. Air

sungai dangkal penuh bebatuan.

Membentuk giram kecil. Kampung Ule tak

dapat ditembus perahu besar. Airnya

dangkal.

Ule tak pernah mengeluh. Dia

bersemangat mengajar murid. Walau gaji

guru terbatas untuk hidup keluarga. Ule

mengharap kebijakan pemerintah

memperbaiki sekolah. Tempat mereka

mengajar sudah bocor. Rusak. Mereka

juga ingin kenaikan gaji guru. Khususnya di

daerah pedalaman. Bukan Ule bila tidak

berjuang keras. Ule model orang pekerja

keras.

Setiap pulang sekolah, Ule mencari

ikan. Dengan jala buatan sendiri. Tak lupa

dia membawa dulang di punggung.

Persiapan mencari emas. Long Buang kaya

dengan kekayaan alam.

Selain mencari emas, Ule juga petani

rajin. Saat menjala ikan dan mencari

emas, Ule tak lupa membawa istri dan

anak laki-lakinya. Mereka menggunakan

perahu kecil dan mesin ketinting.

Melawan arus sangat deras.

Canda tawa selalu menghiasi keluarga

itu. Ule mengajarkan anaknya menjala.

Agar suatu saat anaknya bisa mencari ikan

dengan jala. Saat ikan mulai berkurang

dan emas mulai susah, musim bercocok

tanam tiba. Kampung Ule mempunyai

tradisi gotong royong dalam bercocok

tanam.

Caranya bergantian dari ladang ke

ladang lain. Masyarakat Long Buang

berjiwa sosial. Penuh semangat. Mau

bekerja keras. Saat musim bercocok

tanam semua warga kampung sibuk

dengan ladang masing-masing. Biasanya

sekolah diliburkan. Agar anak-anak

membantu orang tua.

Nugal bahasa keren mereka bercocok

tanam di pergunungan. Beras panenan

dinamakan beras gunung. Warga

kampung harus melakukan itu. Untuk

kebutuhan bertahan hidup. Bila panen

tiba, mereka menaruh hasil panen di

lumbung. Lumbung padi sengaja dibuat

untuk menampung padi panenan. Untuk

kebutuhan sehari-hari.

Cerpen 2

Edisi01/tahun I/2012 19

Page 19: Majalah gerbang

Long Buang nama desa kecil yang

dibanggakan Guru Ule. Long Buang sangat

kaya isi alam. Di Long Buang apa saja bisa

dicari. Asalkan berbau alam. Berburu

hewan payau adalah hobi Guru Ule.

Bermodal senjata kaleber laras panjang

rakitan sendiri. Dia bisa membawa pulang

payau hasil tangkapan. Ule adalah laki-laki

sabar. Tabah. Paling suka makan pucuk

singkong. Ditumbuk halus dengan alat

penumbuk. Mereka namakan alat

penumbuk itu lesung.

Lesung terbuat dari kayu ul in

berbentuk petak. Ditengahnya lubang

yang semakin dalam semakin kecil.

Mereka namakan makanan itu tung ubi

meca. Pucuk singkong ditumbuk halus

dan ditumis. Menghaluskannya dengan

penumbuk lesung. Itu makanan kesukaan

Ule. Dia sangat lahap jika makan dengan

lauk tung ubi meca. Ule ramah terhadap

orang sekitar. Juga berbudi pekerti luhur.

SD Tungun Paku nama sekolah Ule

mengajar. Saban pagi Ule mendidik anak-

anak kampong. Agar menjadi anak-anak

cerdas. Ule ingin menaikan derajat orang

kampong. Agar tidak buta huruf.

Setidaknya bisa membaca dan menulis.

Agar tidak mudah tertipu saat pergi ke

kota.

Long Buang melekat adat istiadat suku

dayak . Te l inga ber lubang besar

bergelantungan banyak besi bundar

sebagai anting. Tato ukiran dayak di

tangan dan kaki. Itu ciri khas orang tertua

suku dayak.

Ule mengajar penuh ikhlas. Sangat

bersemangat. Dia mengajarkan murid

mulai pelajaran hitung sampai bahasa

indonesia. Di kampung Ule sudah biasa

mengajar bahasa daerah (dayak)

bercampur Bahasa Indonesia . Murid-

muridnya tidak terlalu paham Bahasa

indonesia. Ule pelopor mendidik dan

Ule namanya. Kerjanya jadi guru di

w i l aya h s u ku d aya k punan. Sebuah kampung sangat jauh dari kota. Para

pakar menyebutnya daerah pedalaman.

Guru UleSyamsul Bahri

Cerpen 2

Gerbang18 Sastra Menyatukan Bangsa

mengajarkan bahasa indonesia. Murid

Ule belum menggunakan seragam

sekolah. Sekolah mereka tidak dihiraukan

pemerintah.

Jarak membuat masalah. Dari Long

Buang butuh sehar i per ja lanan.

Mengunakan perahu kecil bermesinkan

ketinting 15 PK. Baru tembus ke kota. Air

sungai dangkal penuh bebatuan.

Membentuk giram kecil. Kampung Ule tak

dapat ditembus perahu besar. Airnya

dangkal.

Ule tak pernah mengeluh. Dia

bersemangat mengajar murid. Walau gaji

guru terbatas untuk hidup keluarga. Ule

mengharap kebijakan pemerintah

memperbaiki sekolah. Tempat mereka

mengajar sudah bocor. Rusak. Mereka

juga ingin kenaikan gaji guru. Khususnya di

daerah pedalaman. Bukan Ule bila tidak

berjuang keras. Ule model orang pekerja

keras.

Setiap pulang sekolah, Ule mencari

ikan. Dengan jala buatan sendiri. Tak lupa

dia membawa dulang di punggung.

Persiapan mencari emas. Long Buang kaya

dengan kekayaan alam.

Selain mencari emas, Ule juga petani

rajin. Saat menjala ikan dan mencari

emas, Ule tak lupa membawa istri dan

anak laki-lakinya. Mereka menggunakan

perahu kecil dan mesin ketinting.

Melawan arus sangat deras.

Canda tawa selalu menghiasi keluarga

itu. Ule mengajarkan anaknya menjala.

Agar suatu saat anaknya bisa mencari ikan

dengan jala. Saat ikan mulai berkurang

dan emas mulai susah, musim bercocok

tanam tiba. Kampung Ule mempunyai

tradisi gotong royong dalam bercocok

tanam.

Caranya bergantian dari ladang ke

ladang lain. Masyarakat Long Buang

berjiwa sosial. Penuh semangat. Mau

bekerja keras. Saat musim bercocok

tanam semua warga kampung sibuk

dengan ladang masing-masing. Biasanya

sekolah diliburkan. Agar anak-anak

membantu orang tua.

Nugal bahasa keren mereka bercocok

tanam di pergunungan. Beras panenan

dinamakan beras gunung. Warga

kampung harus melakukan itu. Untuk

kebutuhan bertahan hidup. Bila panen

tiba, mereka menaruh hasil panen di

lumbung. Lumbung padi sengaja dibuat

untuk menampung padi panenan. Untuk

kebutuhan sehari-hari.

Cerpen 2

Edisi01/tahun I/2012 19

Page 20: Majalah gerbang

Ule mulai membuat ribuan lubang di

tanah berbukit. Anak dan istri menabur

benih ke dalam lubang. Agar padi harum

dan enak. Alam membuat bibit subur.

Beda dengan menanam padi di sawah.

Mereka harus menyemai padi lebih dulu.

Di kampung Ule cukup membersihkan dan

membakar dedaunan dan pohon yang

sudah kering serta tumbang. Tempatnya

daerah perbukitan menjadi pupuk alam.

Ule dan istri sering menunggui benih padi

agar tidak dimakan hewan liar.

Semakin lama padi itu sudah siap untuk

dipanen. Ule dan istri senang kerena

panennya memuaskan. Tak lupa Ule

bersedekah kepada orang yang tidak

mempunyai lading. Ule membagi hasil

panen dengan tulus ikhlas. Inilah cara

tuhan membagikan rezeki untuk

umatnya. Dari tangan Ule membagi rezeki

yang berlimpah dari tuhan.

Usai bercocok tanam, Ule menjadi

guru. Ule mengajar anak anak seperti

biasa. Dengan semangat. Dengan canda

tawa. Anak-anak riang gembira. Itu

mewakili rasa haru beriak dalam jiwa ule.

Pulang mengajar, Ule bertemu teman

lama dari kota. Dia mengadakan

penelitian budaya suku dayak di Long

Buang. Teman ule bernama Ilham.

Sepontan Ule mengajak Ilham berbincang

masa sekolah dulu. Tentang kenakalan.

Sering bolos. Sering ngerjain guru. Semua

membuat Ule tertawa lepas. Seakan

beban bertumpuk hilang.

Ule mengajak ilham berbincang di

rumah. Sambil berjalan mereka bercerita.

Di rumah Ule, mereka duduk lesehan. Ule

berteriak, “uwe… oh we…”

Itu panggilan Ule terhadap istri. Bahasa

dayak artinya Ibu.

Istrinya keluar. Katanya, “Inu iko

mengin-mengin ake?”

Ada apa kamu pangil-panggil saya?

Ule menyahut, “Uyan sungai areng”.

Buat air minum dulu untuk tamu.

Istrinya bergegas membuatkan kopi

khas dayak. Diolah sendiri menjadi bubuk

kopi yang dasyat enaknya. Beraroma jahe

segar. Kopi disodorkan kepada Ilham.

“Kopi apa ini kok terasa segar dan

wangi?” cetus ilham.

“sedap sekali rasa kopi ini!”

“Tentu saja!” sahut ule bangga.

“Kopi itu buatan istriku. Khas long

buang. Kau tahu, aku sekarang mengajar

Sekolah Dasar di kampung ini.”

“Oh begitu. Apa muridmu pintar-pintar

kaya gurunya?”

“Muridku sangat cerdas dan kreatif yah

tidak kalah dengan anak-anak di kota sana

lah!”

Dan perbincangan itu terus melaju.

Seperti tak kenal waktu. Itulah kisah Ule,

guru dari Long Buang. Esok, bila kau

ketemu banyak orang, bilang: itulah Ule,

Si Guru dari pedalaman Long Buang.

Pejuang tangguh tak mengeluh. Bekerja

tak kira-kira. Tanpa berharap tanda jasa.

***

Tentang Penulis : Syamsul Bahri. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo Tarakan. Sedang belajar keras menulis karya-karya sastra, baik puisi maupun prosa. Salah satu naskah novelnya berjudul Romantic Telepati telah selesai dikerjakan. Kini masih menunggu proses diterbitkan. Selain kuliah, ia bergabung menjadi redaktur majalah sastra GERBANG dan mengikuti berbagai lomba penulisan sastra.

Cerpen 2

Gerbang20 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 21

Page 21: Majalah gerbang

Ule mulai membuat ribuan lubang di

tanah berbukit. Anak dan istri menabur

benih ke dalam lubang. Agar padi harum

dan enak. Alam membuat bibit subur.

Beda dengan menanam padi di sawah.

Mereka harus menyemai padi lebih dulu.

Di kampung Ule cukup membersihkan dan

membakar dedaunan dan pohon yang

sudah kering serta tumbang. Tempatnya

daerah perbukitan menjadi pupuk alam.

Ule dan istri sering menunggui benih padi

agar tidak dimakan hewan liar.

Semakin lama padi itu sudah siap untuk

dipanen. Ule dan istri senang kerena

panennya memuaskan. Tak lupa Ule

bersedekah kepada orang yang tidak

mempunyai lading. Ule membagi hasil

panen dengan tulus ikhlas. Inilah cara

tuhan membagikan rezeki untuk

umatnya. Dari tangan Ule membagi rezeki

yang berlimpah dari tuhan.

Usai bercocok tanam, Ule menjadi

guru. Ule mengajar anak anak seperti

biasa. Dengan semangat. Dengan canda

tawa. Anak-anak riang gembira. Itu

mewakili rasa haru beriak dalam jiwa ule.

Pulang mengajar, Ule bertemu teman

lama dari kota. Dia mengadakan

penelitian budaya suku dayak di Long

Buang. Teman ule bernama Ilham.

Sepontan Ule mengajak Ilham berbincang

masa sekolah dulu. Tentang kenakalan.

Sering bolos. Sering ngerjain guru. Semua

membuat Ule tertawa lepas. Seakan

beban bertumpuk hilang.

Ule mengajak ilham berbincang di

rumah. Sambil berjalan mereka bercerita.

Di rumah Ule, mereka duduk lesehan. Ule

berteriak, “uwe… oh we…”

Itu panggilan Ule terhadap istri. Bahasa

dayak artinya Ibu.

Istrinya keluar. Katanya, “Inu iko

mengin-mengin ake?”

Ada apa kamu pangil-panggil saya?

Ule menyahut, “Uyan sungai areng”.

Buat air minum dulu untuk tamu.

Istrinya bergegas membuatkan kopi

khas dayak. Diolah sendiri menjadi bubuk

kopi yang dasyat enaknya. Beraroma jahe

segar. Kopi disodorkan kepada Ilham.

“Kopi apa ini kok terasa segar dan

wangi?” cetus ilham.

“sedap sekali rasa kopi ini!”

“Tentu saja!” sahut ule bangga.

“Kopi itu buatan istriku. Khas long

buang. Kau tahu, aku sekarang mengajar

Sekolah Dasar di kampung ini.”

“Oh begitu. Apa muridmu pintar-pintar

kaya gurunya?”

“Muridku sangat cerdas dan kreatif yah

tidak kalah dengan anak-anak di kota sana

lah!”

Dan perbincangan itu terus melaju.

Seperti tak kenal waktu. Itulah kisah Ule,

guru dari Long Buang. Esok, bila kau

ketemu banyak orang, bilang: itulah Ule,

Si Guru dari pedalaman Long Buang.

Pejuang tangguh tak mengeluh. Bekerja

tak kira-kira. Tanpa berharap tanda jasa.

***

Tentang Penulis : Syamsul Bahri. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo Tarakan. Sedang belajar keras menulis karya-karya sastra, baik puisi maupun prosa. Salah satu naskah novelnya berjudul Romantic Telepati telah selesai dikerjakan. Kini masih menunggu proses diterbitkan. Selain kuliah, ia bergabung menjadi redaktur majalah sastra GERBANG dan mengikuti berbagai lomba penulisan sastra.

Cerpen 2

Gerbang20 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 21

Page 22: Majalah gerbang

Beberapa hari sebelumnya saya juga mengikuti tulisan beliau di koran yang sama tanggal 1 September 2007 berjudul Mencari Akar Kebudayaan Kalimantan dan di Tribun Kaltim pada waktu yang sama berjudul Provinsi Borneo Raya. Hal itu menunjukkan kepedulian beliau terhadap kebudayaan Kalimantan, termasuk juga sastranya.

Sekitar tahun 2003, Korrie juga menulis tentang Peningkatan Kualitas Penulisan Seni Sastra di Kaltim yang dimuat Kaltim Post sebanyak tiga seri dari tanggal 15 Juni 2003. Korrie mengawali tulisan dengan Lintasan Sejarah sastra di Kaltim dan mengatakan

bahwa peran media massa cukup besar. Pada tulisan kedua, Korie menyebut bahwa Sastra di Kaltim tidak menampakkan pembaharuan dan pada tulisan ketiga menyoroti bahwa pemerintah daerah kurang menghargai karya sastra.

Sebelum ini belum pernah saya jumpai tulisan lengkap seperti dituliskan oleh Korrie. Bahwa banyak nama-nama sastrawan Kaltim yang disebutkan Korrie tetapi sedikitpun saya tak mengenal karyanya. Hanya sedikit saja yang dapat saya jumpai tulisannya. Di antaranya Djumrie Obeng (ada beberapa bukunya yang beredar di toko buku), Mugni Baharuddin (Pernah bertemu pada acara Sastra Purnama di Bontang), Syafril Teha Noer (karena menjadi wartawan di

enarik sekali artikel dari sastrawan nasional asal Kaltim, M

Korrie Layun Rampan di Kaltim Post, 5 September 2007 berjudul Segitiga Sastra di Wilayah Borneo. Segitiga sastra yang dimaksud adalah tumbuh dan berkembangnya eksistensi sastra di wilayah Borneo dan Kalimantan. Istilah Borneo dalam kaca mata Korrie meliputi Negara Brunei Darussalam, Malaysia Timur (Labuan, Serawak dan Sabah) dan wilayah Kalimantan mencakup empat provinsi, termasuk Kaltim (Kalimantan Timur).

Menanti Tumbuhnya Kantong Sastra di Kaltim

Sunaryo Broto

Esai

Gerbang22 Sastra Menyatukan Bangsa

Kaltim Post), Tatang Dino Hero (karena harian Suara Kaltim) dll. Selebihnya sangat jarang saya jumpai tulisannya. Semua terjadi mungkin karena keterbatasan saya membaca beberapa karya sastra di Kaltim dan juga intensitas pergaulan dengan kalangan sastrawan Kaltim.

Dari tulisan Korrie tersebut saya menjadi tahu bahwa sudah lama sekali kepedulian terhadap perkembangan sastra di Borneo-Kalimantan dihembuskan. Salah satunya dalam Dialog Borneo-Kalimantan di Miri, Serawak, 27-29 November 1987. Dialog tersebut merupakan kegiatan independent yang berada di bawah payung Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara). Ada hal yang menggembirakan. Dalam Dialog Borneo-Kalimantan IX, Agustus 2007 di Brunei Darussalam pada Dialog Borneo-Kalimantan X di Kaltim, tahun 2009 akan diberikan Hadiah Sastra Sultan Hassanah Bolkiah untuk para penulis sastra di wilayah segitiga sastra.

Saya memang belum pernah bertemu langsung dengan bapak Korrie yang sekarang menjadi politikus tersebut. Tapi jauh sebelumnya sewaktu masih kuliah di Yogyakarta saya sudah mengenal tulisannya. Dan belakangan setelah bermukim di Bontang saya jadi tahu ternyata beliau asli Kaltim. Hal ini memberi harapan saya akan bisa tumbuhnya kantong sastra di Kaltim. Sebelumnya saya agak pesimis kalau hal itu bisa tumbuh.

Karya Sastra di KaltimUntuk mendukung harapan Korrie

akan tumbuhnya karya sastra yang berkualitas di Kalimantan -khususnya Kaltim- perlu membuat iklim yang kondusif untuk tumbuhnya sastra di Kaltim.

Iklim yang kondusif itu apa? Sebenarnya banyak hal tetapi yang utama adalah dukungan apresiasi dan publikasi. Apresiasi bisa melalui kompetisi dan hadiah-hadiah atau perhatian yang signifikan pada pelaku sastra. Diadakan beberapa lomba atau penerbitan untuk antologi sastra. Penerbitan ditandai dengan penerbitan buku atau adanya tempat atau kapling lembaran sastra di koran setempat.

Sebuah kenyataan, sebatas publikasi di media bahwa hampir tak ada karya sastra di Kaltim. Media massa yang ada –Kaltim Post, Tribun Kaltim, Swara Kaltim, Balikpapan Post, Samarinda Post-- belum memberikan ruangan khusus untuk pemuatan karya sastra dari penulis Kaltim. Kaltim Post belakangan menyediakan sedikit ruangannya tetapi nampaknya belum optimal. Tidak seperti media massa nasional yang biasanya mempunyai ruang khusus sastra dan

Esai

Edisi01/tahun I/2012 23

Page 23: Majalah gerbang

Beberapa hari sebelumnya saya juga mengikuti tulisan beliau di koran yang sama tanggal 1 September 2007 berjudul Mencari Akar Kebudayaan Kalimantan dan di Tribun Kaltim pada waktu yang sama berjudul Provinsi Borneo Raya. Hal itu menunjukkan kepedulian beliau terhadap kebudayaan Kalimantan, termasuk juga sastranya.

Sekitar tahun 2003, Korrie juga menulis tentang Peningkatan Kualitas Penulisan Seni Sastra di Kaltim yang dimuat Kaltim Post sebanyak tiga seri dari tanggal 15 Juni 2003. Korrie mengawali tulisan dengan Lintasan Sejarah sastra di Kaltim dan mengatakan

bahwa peran media massa cukup besar. Pada tulisan kedua, Korie menyebut bahwa Sastra di Kaltim tidak menampakkan pembaharuan dan pada tulisan ketiga menyoroti bahwa pemerintah daerah kurang menghargai karya sastra.

Sebelum ini belum pernah saya jumpai tulisan lengkap seperti dituliskan oleh Korrie. Bahwa banyak nama-nama sastrawan Kaltim yang disebutkan Korrie tetapi sedikitpun saya tak mengenal karyanya. Hanya sedikit saja yang dapat saya jumpai tulisannya. Di antaranya Djumrie Obeng (ada beberapa bukunya yang beredar di toko buku), Mugni Baharuddin (Pernah bertemu pada acara Sastra Purnama di Bontang), Syafril Teha Noer (karena menjadi wartawan di

enarik sekali artikel dari sastrawan nasional asal Kaltim, M

Korrie Layun Rampan di Kaltim Post, 5 September 2007 berjudul Segitiga Sastra di Wilayah Borneo. Segitiga sastra yang dimaksud adalah tumbuh dan berkembangnya eksistensi sastra di wilayah Borneo dan Kalimantan. Istilah Borneo dalam kaca mata Korrie meliputi Negara Brunei Darussalam, Malaysia Timur (Labuan, Serawak dan Sabah) dan wilayah Kalimantan mencakup empat provinsi, termasuk Kaltim (Kalimantan Timur).

Menanti Tumbuhnya Kantong Sastra di Kaltim

Sunaryo Broto

Esai

Gerbang22 Sastra Menyatukan Bangsa

Kaltim Post), Tatang Dino Hero (karena harian Suara Kaltim) dll. Selebihnya sangat jarang saya jumpai tulisannya. Semua terjadi mungkin karena keterbatasan saya membaca beberapa karya sastra di Kaltim dan juga intensitas pergaulan dengan kalangan sastrawan Kaltim.

Dari tulisan Korrie tersebut saya menjadi tahu bahwa sudah lama sekali kepedulian terhadap perkembangan sastra di Borneo-Kalimantan dihembuskan. Salah satunya dalam Dialog Borneo-Kalimantan di Miri, Serawak, 27-29 November 1987. Dialog tersebut merupakan kegiatan independent yang berada di bawah payung Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara). Ada hal yang menggembirakan. Dalam Dialog Borneo-Kalimantan IX, Agustus 2007 di Brunei Darussalam pada Dialog Borneo-Kalimantan X di Kaltim, tahun 2009 akan diberikan Hadiah Sastra Sultan Hassanah Bolkiah untuk para penulis sastra di wilayah segitiga sastra.

Saya memang belum pernah bertemu langsung dengan bapak Korrie yang sekarang menjadi politikus tersebut. Tapi jauh sebelumnya sewaktu masih kuliah di Yogyakarta saya sudah mengenal tulisannya. Dan belakangan setelah bermukim di Bontang saya jadi tahu ternyata beliau asli Kaltim. Hal ini memberi harapan saya akan bisa tumbuhnya kantong sastra di Kaltim. Sebelumnya saya agak pesimis kalau hal itu bisa tumbuh.

Karya Sastra di KaltimUntuk mendukung harapan Korrie

akan tumbuhnya karya sastra yang berkualitas di Kalimantan -khususnya Kaltim- perlu membuat iklim yang kondusif untuk tumbuhnya sastra di Kaltim.

Iklim yang kondusif itu apa? Sebenarnya banyak hal tetapi yang utama adalah dukungan apresiasi dan publikasi. Apresiasi bisa melalui kompetisi dan hadiah-hadiah atau perhatian yang signifikan pada pelaku sastra. Diadakan beberapa lomba atau penerbitan untuk antologi sastra. Penerbitan ditandai dengan penerbitan buku atau adanya tempat atau kapling lembaran sastra di koran setempat.

Sebuah kenyataan, sebatas publikasi di media bahwa hampir tak ada karya sastra di Kaltim. Media massa yang ada –Kaltim Post, Tribun Kaltim, Swara Kaltim, Balikpapan Post, Samarinda Post-- belum memberikan ruangan khusus untuk pemuatan karya sastra dari penulis Kaltim. Kaltim Post belakangan menyediakan sedikit ruangannya tetapi nampaknya belum optimal. Tidak seperti media massa nasional yang biasanya mempunyai ruang khusus sastra dan

Esai

Edisi01/tahun I/2012 23

Page 24: Majalah gerbang

budaya pada hari Minggu dengan redaktur budayanya yang mengulasnya. Di Republika ada pemuatan cerpen, puisi dan kritik sastra pada satu halaman penuh. Di Kompas, ada rubrik Bentara yang memuat karya sastra seperti essay, puisi, cerpen dll. Di Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Karya, Suara Pembaharuan, Jawa Pos begitu juga. Di beberapa koran daerah seperti Suara Merdeka dari Jawa Tengah, Bernas, Kedaulatan Rakyat dari Jogjakarta, Pikiran Rakyat dari Bandung juga menyediakan halamannya untuk ruang sastra. Di beberapa daerah lain saya kira juga begitu.

Kenapa di Kaltim belum? Ada dua kemungkinanya. Pertama, tak ada tulisan berbau sastra yang masuk. Kedua, redaktur tak ada yang concern pada masalah sastra sehingga tak menyisakan ruang. Bila kemungkinan pertama yang ada, kita wajib prihatin terhadap perkembangan sastra di Kaltim. Siapa yang salah? Para calon sastrawan atau media massa? Tak perlu diperdebatkan.

Yang utama adalah saling mendorong untuk membuat iklim berkarya di Kaltim. Senimannya harus mempunyai semangat berkarya yang tinggi. Media massa sebaiknya memberi ruang dengan pemuatan karya sastra pada halamannya. Lembaga atau institusi harus menciptakan iklim bersastra di Kaltim dengan berbagai lomba atau memanfaatkan even-even tertentu membuat iklim berkarya. Tanpa itu, akan perlu waktu yang lebih lama untuk menikmati sastra Kaltim yang bernas. Nama Kaltim pun tak akan ada dan mewarnai perkembangan sastra nasional.

Bila media massa tak ada dukungan

biasanya dari institusi pendidikan. Meskipun bukan sebuah kepastian, tetapi pada beberapa daerah perkembangan sastra biasanya seiring dengan adanya institusi perguruan tinggi yang ikut mendorong perkembangan sastra.

Mungkin tidak secara langsung, tetapi biasanya ada semacam apresiator dari perguruan tinggi yang ada fakultas sastranya. Di Jogja misalnya, ada Fakultas Sastra UGM dan FKIP di Universitas Negeri Jogjakarta. Dari situ memungkinkan munculnya “provokator” pembuat iklim bersastra. Di Jogja ada nama-nama Umar Kayam (alm), Bakdi Sumanto, Rahmat Djoko Pradopo, Faruk HT, Iman Budi Santosa, Darmanto Jatman (pindah ke Semarang), Rendra, Putu Wijaya dll. Di Jakarta ada nama Sapardi Djoko Damono.

Di beberapa kota yang disebutkan di atas, rata-rata mempunyai perguruan tinggi yang ada fakultas sastranya. Sedang di Kaltim, dengan Universitas Mulawarman-nya belum ada Fakultas Sastra. Yang ada hanya Fakultas FKIP jurusan Bahasa Indonesia yang sampai sekarang belum terdengar gaung sastranya.

Tetapi bila kemungkinan kedua yang muncul, kita hanya bisa menghimbau pada media massa untuk peduli pada perkembangan sastra di Kaltim. Siapa yang dapat mengapresiasikannya selain para redaktur media. Siapa yang dapat mempublikasikan karya-karya sastra selain redaktur media?

Bisa saja media lain seperti pementasan, lomba, penerbitan buku dll tetapi yang paling jelas dan luas dampaknya adalah pemuatan di media

Esai

Gerbang24 Sastra Menyatukan Bangsa

massa.

Penulis merasa mendapat ruang geraknya dan pembaca lain dapat mengapresiasikannya. Lebih baik lagi kalau disertai ulasan seperti pengantarnya Sutardji C Bachri di Kompas atau HB Yasin di Majalah Indonesia sewaktu awal-awal mengapresiasi karya sastra. Bahkan saat itu saya andaikan seperti tumbuhnya

kantong-kantong sastra di daerah dengan dukungan koran daerah.

Seperti di Yogya yang sangat monumental pada tahun 70-an dengan adanya Persada Study Club di Harian Pelopor dengan “Presiden Penyair Malioboro” Umbu Landu Paranggi sebagai pengasuhnya. Saat itu sangat kondusif untuk iklim bersastra hingga ada –apa yang disebut Emha Ainun

Nadjib- poros Malioboro-Gampingan-Bulaksumur untuk mengatakan ada link antara ketiga tempat tersebut dalam iklim bersastra. Malioboro mewakili para seniman jalanan, Gampingan mewakili lokasi Sekolah Tinggi Seni dan Bulaksumur mewakili UGM. Saat itu keluar nama-nama anak muda yang akhirnya menjadi wakil–wakil iklim bersastra. Nama-nama seperti Emha Ainun Nadjib, Darmanto Djatman, Ragil Suwarno, Linus Suryadi (juga Ebiet G Ade) menemukan popularitasnya juga diawali dengan publikasi tulisannya di media massa setempat.

Pada tahun 1990-an ada kantong-kantong sastra di daerah yang biasanya nge-link dengan peran koran daerah. Di Yogya, Bandung, Tegal, Tangerang. Ada yang cukup fenomenal seperti KSI (Komunitas Sastra Indonesia) yang dimotori Wowok Hesti Prabowo yang rajin mengadakan forum apresiasi sastra.

Adakah hal itu terasa di Kaltim? Sepengetahuan saya setelah bermukim di Bontang, Kaltim sejak tahun 1992, geliat bersastra belum nampak. Yang saya rasakan -sekedar memantau dari media massa- sangat jarang ada karya sastra muncul di koran daerah. Juga

Esai

Edisi01/tahun I/2012 25

Page 25: Majalah gerbang

budaya pada hari Minggu dengan redaktur budayanya yang mengulasnya. Di Republika ada pemuatan cerpen, puisi dan kritik sastra pada satu halaman penuh. Di Kompas, ada rubrik Bentara yang memuat karya sastra seperti essay, puisi, cerpen dll. Di Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Karya, Suara Pembaharuan, Jawa Pos begitu juga. Di beberapa koran daerah seperti Suara Merdeka dari Jawa Tengah, Bernas, Kedaulatan Rakyat dari Jogjakarta, Pikiran Rakyat dari Bandung juga menyediakan halamannya untuk ruang sastra. Di beberapa daerah lain saya kira juga begitu.

Kenapa di Kaltim belum? Ada dua kemungkinanya. Pertama, tak ada tulisan berbau sastra yang masuk. Kedua, redaktur tak ada yang concern pada masalah sastra sehingga tak menyisakan ruang. Bila kemungkinan pertama yang ada, kita wajib prihatin terhadap perkembangan sastra di Kaltim. Siapa yang salah? Para calon sastrawan atau media massa? Tak perlu diperdebatkan.

Yang utama adalah saling mendorong untuk membuat iklim berkarya di Kaltim. Senimannya harus mempunyai semangat berkarya yang tinggi. Media massa sebaiknya memberi ruang dengan pemuatan karya sastra pada halamannya. Lembaga atau institusi harus menciptakan iklim bersastra di Kaltim dengan berbagai lomba atau memanfaatkan even-even tertentu membuat iklim berkarya. Tanpa itu, akan perlu waktu yang lebih lama untuk menikmati sastra Kaltim yang bernas. Nama Kaltim pun tak akan ada dan mewarnai perkembangan sastra nasional.

Bila media massa tak ada dukungan

biasanya dari institusi pendidikan. Meskipun bukan sebuah kepastian, tetapi pada beberapa daerah perkembangan sastra biasanya seiring dengan adanya institusi perguruan tinggi yang ikut mendorong perkembangan sastra.

Mungkin tidak secara langsung, tetapi biasanya ada semacam apresiator dari perguruan tinggi yang ada fakultas sastranya. Di Jogja misalnya, ada Fakultas Sastra UGM dan FKIP di Universitas Negeri Jogjakarta. Dari situ memungkinkan munculnya “provokator” pembuat iklim bersastra. Di Jogja ada nama-nama Umar Kayam (alm), Bakdi Sumanto, Rahmat Djoko Pradopo, Faruk HT, Iman Budi Santosa, Darmanto Jatman (pindah ke Semarang), Rendra, Putu Wijaya dll. Di Jakarta ada nama Sapardi Djoko Damono.

Di beberapa kota yang disebutkan di atas, rata-rata mempunyai perguruan tinggi yang ada fakultas sastranya. Sedang di Kaltim, dengan Universitas Mulawarman-nya belum ada Fakultas Sastra. Yang ada hanya Fakultas FKIP jurusan Bahasa Indonesia yang sampai sekarang belum terdengar gaung sastranya.

Tetapi bila kemungkinan kedua yang muncul, kita hanya bisa menghimbau pada media massa untuk peduli pada perkembangan sastra di Kaltim. Siapa yang dapat mengapresiasikannya selain para redaktur media. Siapa yang dapat mempublikasikan karya-karya sastra selain redaktur media?

Bisa saja media lain seperti pementasan, lomba, penerbitan buku dll tetapi yang paling jelas dan luas dampaknya adalah pemuatan di media

Esai

Gerbang24 Sastra Menyatukan Bangsa

massa.

Penulis merasa mendapat ruang geraknya dan pembaca lain dapat mengapresiasikannya. Lebih baik lagi kalau disertai ulasan seperti pengantarnya Sutardji C Bachri di Kompas atau HB Yasin di Majalah Indonesia sewaktu awal-awal mengapresiasi karya sastra. Bahkan saat itu saya andaikan seperti tumbuhnya

kantong-kantong sastra di daerah dengan dukungan koran daerah.

Seperti di Yogya yang sangat monumental pada tahun 70-an dengan adanya Persada Study Club di Harian Pelopor dengan “Presiden Penyair Malioboro” Umbu Landu Paranggi sebagai pengasuhnya. Saat itu sangat kondusif untuk iklim bersastra hingga ada –apa yang disebut Emha Ainun

Nadjib- poros Malioboro-Gampingan-Bulaksumur untuk mengatakan ada link antara ketiga tempat tersebut dalam iklim bersastra. Malioboro mewakili para seniman jalanan, Gampingan mewakili lokasi Sekolah Tinggi Seni dan Bulaksumur mewakili UGM. Saat itu keluar nama-nama anak muda yang akhirnya menjadi wakil–wakil iklim bersastra. Nama-nama seperti Emha Ainun Nadjib, Darmanto Djatman, Ragil Suwarno, Linus Suryadi (juga Ebiet G Ade) menemukan popularitasnya juga diawali dengan publikasi tulisannya di media massa setempat.

Pada tahun 1990-an ada kantong-kantong sastra di daerah yang biasanya nge-link dengan peran koran daerah. Di Yogya, Bandung, Tegal, Tangerang. Ada yang cukup fenomenal seperti KSI (Komunitas Sastra Indonesia) yang dimotori Wowok Hesti Prabowo yang rajin mengadakan forum apresiasi sastra.

Adakah hal itu terasa di Kaltim? Sepengetahuan saya setelah bermukim di Bontang, Kaltim sejak tahun 1992, geliat bersastra belum nampak. Yang saya rasakan -sekedar memantau dari media massa- sangat jarang ada karya sastra muncul di koran daerah. Juga

Esai

Edisi01/tahun I/2012 25

Page 26: Majalah gerbang

rubrik semacam agenda budaya. Kedua koran harian besar di Kaltim juga belum secara khusus menyediakan lembarannya untuk karya-karya sastra Kaltim. Satu-dua muncul tetapi masih belum terasa gregetnya. Ada beberapa nama tetapi seperti Shantined (Balikpapan) malah muncul di koran nasional.

Sekedar informasi, sekitar tahun 1993, menyambut kedatangan Emha Ainun Nadjib ke Bontang, saya bersama teman-teman menerbitkan Antologi Puisi Bontang yang berisi beberapa puisi karya sendiri secara terbatas. Puisi-puisi tersebut dibaca oleh penyairnya sendiri mengiringi Emha Baca Puisi. Puisi-puisi tersebut lalu saya kirim ke Harian Republika dan dimuat pada rubrik Oase dan diberi judul oleh redakturnya, Puisi dari Kalimantan. Dan puisi saya dimuat pada tulisan Puisi dari Kaltim bersama dengan puisi lain dari provinsi lain Kalimantan. Tak ada yang lain.

Hal ini menunjukkan betapa minimnya sastra Kaltim berpartisipasi pada Harian Nasional. Setelah itu beberapa kali baik puisi atau artikel sastra saya dimuat Suara Kaltim atau Kaltim Post tetapi tetap tak ada kelanjutan atau sambutan tulisan dari penulis lain. Tulisan langsung hilang tak berbekas. Tak ada sedikitpun gemanya.

Sewaktu Rendra ke Bontang, Kaltim dalam pentas drama mini kata Rambateraterata sekitar tahun 2001, saya menulis di Kaltim Post yang berjudul Rendra dan Perkembangan Sastra Kaltim. Pementasan Rendra tersebut atas inisiatif wartawan Kaltim Post Safriel Teha Noer dengan partisipasi Pupuk Kaltim. Saya sendiri –saat itu- sebagai karyawan Pupuk Kaltim yang

berkontribusi terhadap dukungan Pupuk Kaltim akan pentasnya Rendra.

Tulisan saya tak beda jauh dengan keprihatinan Korrie tentang kondisi sastra di Kaltim. Saat itu saya menulis bahwa kedatangan Rendra di Kaltim yang mendapat publisitas hebat di Kaltim Post sebisa mungkin harus dimanfaatkan untuk mendongkrak kondisi sastra (berkesenian?) di Kaltim.

Saat itu saya juga menyoroti peran media massa yang tak memberikan ruang pada perkembangan sastra Kaltim, bahkan saya menyontohkan kondisi Jogja sebagai salah satu kantong sastra daerah bisa berkembang sangat baik berkat dukungan sekian media massanya. Setelah tulisan saya dimuat, saya mendapat undangan dari Dewan Kesenian Kaltim melalui ketuanya A Rizani Asnawi untuk menghadiri diskusi sastra di Samarinda. Tetapi karena waktunya belum tepat saya tidak bisa menghadiri undangan tersebut. Saya berharap ada dokumentasi hasil diskusi yang dimuat di harian Kaltim, tetapi ternyata setelah saya cari tak ada liputannya.

Memang saya pernah terlibat sedikit dengan nuansa bersastra di Kaltim, sewaktu sekitar Juli 1994 dalam tajuk Sastra Purnama. Saat itu bertemu dengan Hamdani (wartawan Suara Kaltim), Mugeni Baharuddin (PNS dan penyair), Rendy (Pernah jadi kontributor Tempo) dll dan kami berdiskusi sambil baca puisi di Bontang. Setelah itu belum terdengar gemanya. Satu dua penerbitan antologi puisi terdengar tetapi publikasinya kecil dan distribusinya belum merata ke daerah lain.

Mungkin ada kantong sastra yang

Esai

Gerbang26 Sastra Menyatukan Bangsa

tumbuh di daerah di Kaltim tetapi gemanya belum seperti tumbuhnya kantong sastra di Jawa.

Ada beberapa catatan yang terjadi di Bontang. Beberapa penerbitan buku yang dimotori oleh Muthi Masfuah dari Lingkar Pena Kaltim juga perlu dicatat. Bidang yang dekat dengan sastra juga telah tumbuh dengan adanya Teater Timur dan Teater Kronis. Satu dua penulis juga lahir tetapi belum menjadi seperti kantong karya. Ada nama Maya Wulan (Bontang) yang sudah menerbitkan beberapa novel juga layak dicatat meskipun kiprah dia juga tidak melalui Kaltim tetapi lewat Yogya karena dia kuliah di sana. Sebagai pribadi-pribadi mungkin puisi itu sudah tertulis tetapi sebagai penerbitan belum menemukan apresiasinya. Sekedar berusaha –untuk menyebut salah satu contoh-, penulis dengan beberapa teman dalam waktu dekat juga akan menerbitkan buku Antologi Puisi di Bontang.

Kantong Sastra Kaltim, Mungkinkah?Pertanyaan selanjutnya adalah

terbentuknya kantong sastra Kaltim, mungkinkah? Sangat mungkin. Bibit penyair saya rasa dimana pun berada pasti ada. Hanya berbeda skalanya. Dengan penduduk sekitar 2,5 jutaan dan ada komunitas perguruan tinggi rasanya akan lahir beberapa penulis. Juga kehadiran beberapa industri yang menyertakan karyawannya sebagai salah seorang pecinta sastra

Hal yang sangat penting adalah tempat publikasi. Dua koran besar dan banyak terbitan daerah dapat mendukung adanya iklim bersastra dengan memuat karya-karya mereka. Yang lebih penting lagi adalah semacam

pembimbing untuk membuat iklim berkarya. Bapak Korrie Layun Rampan yang reputasi dan karyanya telah dikenal luas dapat berperan sebagai pembimbing. Mungkin dapat seperti Umbu di Yogya atau Ahmadun Yosi Herfanda di Republika atau Sutardji Colsum Bachri or Radhar Panca Dahana di Kompas.

Ada harapan lain, dibuka Penerbitan bersama berupa media massa sejenis Horison dari Mastera dan penerbitan buku-buku sastra yang dikelola para sastrawan di dalam wilayah “segitiga sastra”. Hadiah Sultan Brunei Hasanah Bolkiah juga bisa sebagai pemicu. Yang lebih penting adalah dukungan koran daerah sehingga jejak sastra sebagai sebuah karya dapat diapresiasi. Dengan adanya karya sastra –terlebih dengan setting daerah- maka daerah tersebut akan bisa dikenang oleh kalayak pembaca.

Kapan harus dimulai? Apa menunggu karya-karya hanya tersimpan di lipatan-lipatan buku atau tak ada geliat karya sastra dan yang ada hanya tumbuhnya industri yang menggantikan hutan-hutan yang dulu lebat. Rasanya hidup perlu keseimbangan.

Tentang PenulisSunaryo Broto. Karyawan Pupuk Kaltim dan penikmat sastra. Aktif di komunitas Club Buku CB33 dan Studio Kata, Bontang. Alamat rumah Jl. Aster No14 PC VI Komplek Pupuk Kaltim, Bontang. Email: [email protected], HP 0 8 1 1 5 5 1 4 5 1 , s i t u s : sbroto.multiply.com

Esai

Edisi01/tahun I/2012 27

Page 27: Majalah gerbang

rubrik semacam agenda budaya. Kedua koran harian besar di Kaltim juga belum secara khusus menyediakan lembarannya untuk karya-karya sastra Kaltim. Satu-dua muncul tetapi masih belum terasa gregetnya. Ada beberapa nama tetapi seperti Shantined (Balikpapan) malah muncul di koran nasional.

Sekedar informasi, sekitar tahun 1993, menyambut kedatangan Emha Ainun Nadjib ke Bontang, saya bersama teman-teman menerbitkan Antologi Puisi Bontang yang berisi beberapa puisi karya sendiri secara terbatas. Puisi-puisi tersebut dibaca oleh penyairnya sendiri mengiringi Emha Baca Puisi. Puisi-puisi tersebut lalu saya kirim ke Harian Republika dan dimuat pada rubrik Oase dan diberi judul oleh redakturnya, Puisi dari Kalimantan. Dan puisi saya dimuat pada tulisan Puisi dari Kaltim bersama dengan puisi lain dari provinsi lain Kalimantan. Tak ada yang lain.

Hal ini menunjukkan betapa minimnya sastra Kaltim berpartisipasi pada Harian Nasional. Setelah itu beberapa kali baik puisi atau artikel sastra saya dimuat Suara Kaltim atau Kaltim Post tetapi tetap tak ada kelanjutan atau sambutan tulisan dari penulis lain. Tulisan langsung hilang tak berbekas. Tak ada sedikitpun gemanya.

Sewaktu Rendra ke Bontang, Kaltim dalam pentas drama mini kata Rambateraterata sekitar tahun 2001, saya menulis di Kaltim Post yang berjudul Rendra dan Perkembangan Sastra Kaltim. Pementasan Rendra tersebut atas inisiatif wartawan Kaltim Post Safriel Teha Noer dengan partisipasi Pupuk Kaltim. Saya sendiri –saat itu- sebagai karyawan Pupuk Kaltim yang

berkontribusi terhadap dukungan Pupuk Kaltim akan pentasnya Rendra.

Tulisan saya tak beda jauh dengan keprihatinan Korrie tentang kondisi sastra di Kaltim. Saat itu saya menulis bahwa kedatangan Rendra di Kaltim yang mendapat publisitas hebat di Kaltim Post sebisa mungkin harus dimanfaatkan untuk mendongkrak kondisi sastra (berkesenian?) di Kaltim.

Saat itu saya juga menyoroti peran media massa yang tak memberikan ruang pada perkembangan sastra Kaltim, bahkan saya menyontohkan kondisi Jogja sebagai salah satu kantong sastra daerah bisa berkembang sangat baik berkat dukungan sekian media massanya. Setelah tulisan saya dimuat, saya mendapat undangan dari Dewan Kesenian Kaltim melalui ketuanya A Rizani Asnawi untuk menghadiri diskusi sastra di Samarinda. Tetapi karena waktunya belum tepat saya tidak bisa menghadiri undangan tersebut. Saya berharap ada dokumentasi hasil diskusi yang dimuat di harian Kaltim, tetapi ternyata setelah saya cari tak ada liputannya.

Memang saya pernah terlibat sedikit dengan nuansa bersastra di Kaltim, sewaktu sekitar Juli 1994 dalam tajuk Sastra Purnama. Saat itu bertemu dengan Hamdani (wartawan Suara Kaltim), Mugeni Baharuddin (PNS dan penyair), Rendy (Pernah jadi kontributor Tempo) dll dan kami berdiskusi sambil baca puisi di Bontang. Setelah itu belum terdengar gemanya. Satu dua penerbitan antologi puisi terdengar tetapi publikasinya kecil dan distribusinya belum merata ke daerah lain.

Mungkin ada kantong sastra yang

Esai

Gerbang26 Sastra Menyatukan Bangsa

tumbuh di daerah di Kaltim tetapi gemanya belum seperti tumbuhnya kantong sastra di Jawa.

Ada beberapa catatan yang terjadi di Bontang. Beberapa penerbitan buku yang dimotori oleh Muthi Masfuah dari Lingkar Pena Kaltim juga perlu dicatat. Bidang yang dekat dengan sastra juga telah tumbuh dengan adanya Teater Timur dan Teater Kronis. Satu dua penulis juga lahir tetapi belum menjadi seperti kantong karya. Ada nama Maya Wulan (Bontang) yang sudah menerbitkan beberapa novel juga layak dicatat meskipun kiprah dia juga tidak melalui Kaltim tetapi lewat Yogya karena dia kuliah di sana. Sebagai pribadi-pribadi mungkin puisi itu sudah tertulis tetapi sebagai penerbitan belum menemukan apresiasinya. Sekedar berusaha –untuk menyebut salah satu contoh-, penulis dengan beberapa teman dalam waktu dekat juga akan menerbitkan buku Antologi Puisi di Bontang.

Kantong Sastra Kaltim, Mungkinkah?Pertanyaan selanjutnya adalah

terbentuknya kantong sastra Kaltim, mungkinkah? Sangat mungkin. Bibit penyair saya rasa dimana pun berada pasti ada. Hanya berbeda skalanya. Dengan penduduk sekitar 2,5 jutaan dan ada komunitas perguruan tinggi rasanya akan lahir beberapa penulis. Juga kehadiran beberapa industri yang menyertakan karyawannya sebagai salah seorang pecinta sastra

Hal yang sangat penting adalah tempat publikasi. Dua koran besar dan banyak terbitan daerah dapat mendukung adanya iklim bersastra dengan memuat karya-karya mereka. Yang lebih penting lagi adalah semacam

pembimbing untuk membuat iklim berkarya. Bapak Korrie Layun Rampan yang reputasi dan karyanya telah dikenal luas dapat berperan sebagai pembimbing. Mungkin dapat seperti Umbu di Yogya atau Ahmadun Yosi Herfanda di Republika atau Sutardji Colsum Bachri or Radhar Panca Dahana di Kompas.

Ada harapan lain, dibuka Penerbitan bersama berupa media massa sejenis Horison dari Mastera dan penerbitan buku-buku sastra yang dikelola para sastrawan di dalam wilayah “segitiga sastra”. Hadiah Sultan Brunei Hasanah Bolkiah juga bisa sebagai pemicu. Yang lebih penting adalah dukungan koran daerah sehingga jejak sastra sebagai sebuah karya dapat diapresiasi. Dengan adanya karya sastra –terlebih dengan setting daerah- maka daerah tersebut akan bisa dikenang oleh kalayak pembaca.

Kapan harus dimulai? Apa menunggu karya-karya hanya tersimpan di lipatan-lipatan buku atau tak ada geliat karya sastra dan yang ada hanya tumbuhnya industri yang menggantikan hutan-hutan yang dulu lebat. Rasanya hidup perlu keseimbangan.

Tentang PenulisSunaryo Broto. Karyawan Pupuk Kaltim dan penikmat sastra. Aktif di komunitas Club Buku CB33 dan Studio Kata, Bontang. Alamat rumah Jl. Aster No14 PC VI Komplek Pupuk Kaltim, Bontang. Email: [email protected], HP 0 8 1 1 5 5 1 4 5 1 , s i t u s : sbroto.multiply.com

Esai

Edisi01/tahun I/2012 27

Page 28: Majalah gerbang

Puisi-puisi Amien Wangsitalaja:

Puisi - Puisi

Mendirikan Malam 1

aku yang pertama mendengar dendang dindapada malamyang kita ingat ia pernah dibagi tiga

ini mungkin pada sepertiga yang keduasaat jam beranjak dari angka kosongnyaaku mengaduk tasawuf akhlaqdi dalam tiris nafasmu yang membasahi ceruk rindu

kemarilah kubisiki, sayangada hasrat berundan-undansemizan syariat seribu bulan

ini mungkin pada sepertiga yang terakhirkuseduh dzikir kuramu syi'irdi palung mahabbahmu

di palung mahabbahmulaut asin mengingatkanku pada khidziraku berjanjiaku tidak akan banyak bertanya padamusenyampang malam saat kita sepakat melubangi sampan

kemarilah sayang, kubisiki

Mendirikan Malam 2

The Spirit of Mecca

aku meminangmu untuk menjadi 'aisyahsehabis khadijah

o sayangku, yang kemerah-merahantertunduk diam

kita menghitung detak jamderit daun pintudan desah yang disapukan

kita merundingkan bilangan raka'atdi sepertiga terakhir malamdan dengan manjaengkau menawar bilangan dzurriyyatmelebihi 'aisyah melebihi khadijahsepadan angan

o kurasa aku ingin memukulmu bertubi-tubimenggemaskan

--kutandai, inilah ranah sufi

di kota tempat kita menangkarasmaraaku berhasil mengukur kerudungmu yang lebarmengukur rahasia

aku melamunkan kiswah dan hitam hajar

Gerbang28 Sastra Menyatukan Bangsa

aku melamunkan hatimuyang sejak dari ruknul yamanisudah kuincar

inilahranah sufibisikku pada gamismu yang besarsaat hujan membuat sadarada syahdu datang berdenyar

(saat ituaku teringat pada sejarahdi kota haramgerimis pun jarang tumpah)

ssst, ini rahasia”aku menemukan marwah””aku menemukan mar-ah”lihatlahkepalaku tersungkurdi jabal nurdi jabal rahmah

dan di ghari hirainilah

Pesona Ruhui Rahayu

Hentak gantar menyebar senyum manispersada negeri Odah EtamAyunan kusak menyapa lembutteriakan angkuh modernisasi zamanNafas sahaja cermin kearifanadat tua MahakamBilah mandausiratkan benteng kokoh peradaban

Riwat elegi di Lamin dan Upacara BelianDamai raga dalam cinta abadi, selalu

Gemulai pesut melukis elokriam-riam hulu pedalamanOrang utan membelai manjadi sela rimbun keperkasaan ulin dan rotanKicauan enggang mencumbu mesra

semesta jamrud kathulistiwaDiri perut bumi Ruhui Rahayumasih suci perawan Senandung panorama eksotisHarmoni dalam jejak kebesaran nadianak-anak Dayak

Semoga lestari sampai akhir fana nanti, AminBukan nostalgia emas dan dongeng cucu kesayangan

KutelusuriKerajaan Bukit Pinang menjijikkanSinggasana kumuh dinasti sampahMerdeka dengan kasta buanganBergulat waktuBercengkrama bauTerasing Penuh ketimpangan

Tepian oh Tepian

Pengantin (1)

aku gemas pada hud hudyang gemetar mengabarkan pesonamu

aku gemas pada pemilik ilmuyang berhasil menyatakan singgasana kecantikanmulebih cepat dari kedip bola mataku

danaku lebih gemas padamukerana engkau 'lah sudi mengunjungirelung istanaku

makakutawarkan lantai hatiyang sejernih kolamsehingga betis asmaramutersingkap

Puisi-puisi Heri Sucipto (Den Cipto):

Puisi - Puisi

Edisi01/tahun I/2012 29

Page 29: Majalah gerbang

Puisi-puisi Amien Wangsitalaja:

Puisi - Puisi

Mendirikan Malam 1

aku yang pertama mendengar dendang dindapada malamyang kita ingat ia pernah dibagi tiga

ini mungkin pada sepertiga yang keduasaat jam beranjak dari angka kosongnyaaku mengaduk tasawuf akhlaqdi dalam tiris nafasmu yang membasahi ceruk rindu

kemarilah kubisiki, sayangada hasrat berundan-undansemizan syariat seribu bulan

ini mungkin pada sepertiga yang terakhirkuseduh dzikir kuramu syi'irdi palung mahabbahmu

di palung mahabbahmulaut asin mengingatkanku pada khidziraku berjanjiaku tidak akan banyak bertanya padamusenyampang malam saat kita sepakat melubangi sampan

kemarilah sayang, kubisiki

Mendirikan Malam 2

The Spirit of Mecca

aku meminangmu untuk menjadi 'aisyahsehabis khadijah

o sayangku, yang kemerah-merahantertunduk diam

kita menghitung detak jamderit daun pintudan desah yang disapukan

kita merundingkan bilangan raka'atdi sepertiga terakhir malamdan dengan manjaengkau menawar bilangan dzurriyyatmelebihi 'aisyah melebihi khadijahsepadan angan

o kurasa aku ingin memukulmu bertubi-tubimenggemaskan

--kutandai, inilah ranah sufi

di kota tempat kita menangkarasmaraaku berhasil mengukur kerudungmu yang lebarmengukur rahasia

aku melamunkan kiswah dan hitam hajar

Gerbang28 Sastra Menyatukan Bangsa

aku melamunkan hatimuyang sejak dari ruknul yamanisudah kuincar

inilahranah sufibisikku pada gamismu yang besarsaat hujan membuat sadarada syahdu datang berdenyar

(saat ituaku teringat pada sejarahdi kota haramgerimis pun jarang tumpah)

ssst, ini rahasia”aku menemukan marwah””aku menemukan mar-ah”lihatlahkepalaku tersungkurdi jabal nurdi jabal rahmah

dan di ghari hirainilah

Pesona Ruhui Rahayu

Hentak gantar menyebar senyum manispersada negeri Odah EtamAyunan kusak menyapa lembutteriakan angkuh modernisasi zamanNafas sahaja cermin kearifanadat tua MahakamBilah mandausiratkan benteng kokoh peradaban

Riwat elegi di Lamin dan Upacara BelianDamai raga dalam cinta abadi, selalu

Gemulai pesut melukis elokriam-riam hulu pedalamanOrang utan membelai manjadi sela rimbun keperkasaan ulin dan rotanKicauan enggang mencumbu mesra

semesta jamrud kathulistiwaDiri perut bumi Ruhui Rahayumasih suci perawan Senandung panorama eksotisHarmoni dalam jejak kebesaran nadianak-anak Dayak

Semoga lestari sampai akhir fana nanti, AminBukan nostalgia emas dan dongeng cucu kesayangan

KutelusuriKerajaan Bukit Pinang menjijikkanSinggasana kumuh dinasti sampahMerdeka dengan kasta buanganBergulat waktuBercengkrama bauTerasing Penuh ketimpangan

Tepian oh Tepian

Pengantin (1)

aku gemas pada hud hudyang gemetar mengabarkan pesonamu

aku gemas pada pemilik ilmuyang berhasil menyatakan singgasana kecantikanmulebih cepat dari kedip bola mataku

danaku lebih gemas padamukerana engkau 'lah sudi mengunjungirelung istanaku

makakutawarkan lantai hatiyang sejernih kolamsehingga betis asmaramutersingkap

Puisi-puisi Heri Sucipto (Den Cipto):

Puisi - Puisi

Edisi01/tahun I/2012 29

Page 30: Majalah gerbang

Jauh dari mapan

Dari Bukit PalaranTampak jejak Mahakam penuh historiJalan tambal sulamLaksana rombeng pasar malam Sarat lalu lalangTunggangan kuda besiApatis tanpa etika sapaGorong-gorong penuh dosa nistaPeradaban kaum hedonis

Dari Bukit BerambaiTerperangaBelantara hijau nan perawanKini hanya fatamorganaDirampas kehormatannyaJadi rimbun hutan-hutan betonUlah kongkalikong cukong ompongAnak-anak benanga murkaTanpa permisiMengembara liar ke pusat kota

Dari Bukit SeliliHatiku miris dan ironisBerjuta keringatKolong Karang MumusDininabobokan janji surga penguasa

Senyiur, Borneo dan VictoriaRamayana, Lembuswana serta Plasa MuliaCermin pasungan sadis

Glamoritas budak metropolisSerba praktis dan matrealistis

Kemegahan Bandara Samarinda Baru dan Universitas MulawarmanIslamic Center serta Stadion Utama Palaran Ikon etalase keangkuhan benua etam

Romansa indah antara Samarinda dan Sendawar

Ditemani sorak sorai gulita angin malamDisambut nyanyian gemericik air nan

merduAlunan mesin kapal yang selaras nan

syahdu

Kemeriahan koloni pesutYang ikut bergoyang mesra

Di kedalam arus belantara Ruhui RahayuPanggung dunia bahari

Liak-liuk Sang Kapal PrimadonaBintang semalam hulu Mahakam

Lekuk lekak menyayat ombakGemulai membelah arus sungai

Pesona gemerlap lampu angkasaYang bertaburan membahana

Di jagad langit rayaDalam pentas harmoni semesta

Kapal Kayu

Untuk Anak-anakku

Tak ada yang dapatku berikan kepadamu, anak-anakkuSelain hanya nasehat demi kemajuanmuTak ada yang dapatku wariskan kepadamuWahai putra-putri bangsakuSelain hanya ilmu pengetahuan yang ku milikiTak banyak yang ku minta darimu, permata bangsakuSelain hanya keteguhan jiwamu

meneruskan perjuanganku

Tekadmu, semangatmuDoa dan harapanku

Teruskan anak-anakkuMenjadi putra-putri bangsa yang sejatiPutra-putri yang dapat membangun negeriMajulah generasi bangsaku Negeri ini menanti senyum pertiwi

Puisi Eka Haditia:

Puisi - Puisi

Gerbang30 Sastra Menyatukan Bangsa

Puisi Asri Rubianto:

Puisi Ariani:

HITAM_PUTIH

Biar hati yang bicaraDengar suara itu dan ikutiBiar hati yang membawaPasti kau kan damai

Hati itu hitam dan putihBahagia kau menghapus hitamnyaMerugilah kau tak membersihkannya

Peka kan hatimumelihat sekitarmumendengar disampingmerasakan disekeliling

Jika kau mampu ituMaka ikutilah diaPenuntun hidupmuSuara hati

Pangeran Hatiku

Hanya dirimu yang aku sayanghanya dirimu yang aku cintadan… hanya dirimu didalam hatiku..Cinta ku yang dulu hilangkini telah kembali lagituhan mengirimkan kuseorang pria yang menjadi

penjaga hatiku…Terima kasih tuhanengkau telah mengirimkandia didalam hidup ku

semoga hari-hari kupenuh dengan cintacinta yang membahagiakandiriku dan dirimu…

Kehidupan Anak Jalanan

Bersanding pelangi ku berdiriMenatap harapan nan tiada pastiSetiap kata hanya air mataMenghapus luka diantara derita

Ku terbuangKu tersingkirSebagian makna dari gelandanganBukan itu yang aku inginkan

Ku hanya sebagai alas anBeribu penjelasan keadilan dan

perikemanusiaanTerbingkai kesewenangan

Ku ingin kepeduluanTak hanya harapan dalam khayalan

Terbuai mimpiKokoh berdiri dalam negeri ini

Ironis yang pastiBerjuta aku… calon pemimpin negeri

Puisi Rusli Badi:

Puisi - Puisi

Edisi01/tahun I/2012 31

Page 31: Majalah gerbang

Jauh dari mapan

Dari Bukit PalaranTampak jejak Mahakam penuh historiJalan tambal sulamLaksana rombeng pasar malam Sarat lalu lalangTunggangan kuda besiApatis tanpa etika sapaGorong-gorong penuh dosa nistaPeradaban kaum hedonis

Dari Bukit BerambaiTerperangaBelantara hijau nan perawanKini hanya fatamorganaDirampas kehormatannyaJadi rimbun hutan-hutan betonUlah kongkalikong cukong ompongAnak-anak benanga murkaTanpa permisiMengembara liar ke pusat kota

Dari Bukit SeliliHatiku miris dan ironisBerjuta keringatKolong Karang MumusDininabobokan janji surga penguasa

Senyiur, Borneo dan VictoriaRamayana, Lembuswana serta Plasa MuliaCermin pasungan sadis

Glamoritas budak metropolisSerba praktis dan matrealistis

Kemegahan Bandara Samarinda Baru dan Universitas MulawarmanIslamic Center serta Stadion Utama Palaran Ikon etalase keangkuhan benua etam

Romansa indah antara Samarinda dan Sendawar

Ditemani sorak sorai gulita angin malamDisambut nyanyian gemericik air nan

merduAlunan mesin kapal yang selaras nan

syahdu

Kemeriahan koloni pesutYang ikut bergoyang mesra

Di kedalam arus belantara Ruhui RahayuPanggung dunia bahari

Liak-liuk Sang Kapal PrimadonaBintang semalam hulu Mahakam

Lekuk lekak menyayat ombakGemulai membelah arus sungai

Pesona gemerlap lampu angkasaYang bertaburan membahana

Di jagad langit rayaDalam pentas harmoni semesta

Kapal Kayu

Untuk Anak-anakku

Tak ada yang dapatku berikan kepadamu, anak-anakkuSelain hanya nasehat demi kemajuanmuTak ada yang dapatku wariskan kepadamuWahai putra-putri bangsakuSelain hanya ilmu pengetahuan yang ku milikiTak banyak yang ku minta darimu, permata bangsakuSelain hanya keteguhan jiwamu

meneruskan perjuanganku

Tekadmu, semangatmuDoa dan harapanku

Teruskan anak-anakkuMenjadi putra-putri bangsa yang sejatiPutra-putri yang dapat membangun negeriMajulah generasi bangsaku Negeri ini menanti senyum pertiwi

Puisi Eka Haditia:

Puisi - Puisi

Gerbang30 Sastra Menyatukan Bangsa

Puisi Asri Rubianto:

Puisi Ariani:

HITAM_PUTIH

Biar hati yang bicaraDengar suara itu dan ikutiBiar hati yang membawaPasti kau kan damai

Hati itu hitam dan putihBahagia kau menghapus hitamnyaMerugilah kau tak membersihkannya

Peka kan hatimumelihat sekitarmumendengar disampingmerasakan disekeliling

Jika kau mampu ituMaka ikutilah diaPenuntun hidupmuSuara hati

Pangeran Hatiku

Hanya dirimu yang aku sayanghanya dirimu yang aku cintadan… hanya dirimu didalam hatiku..Cinta ku yang dulu hilangkini telah kembali lagituhan mengirimkan kuseorang pria yang menjadi

penjaga hatiku…Terima kasih tuhanengkau telah mengirimkandia didalam hidup ku

semoga hari-hari kupenuh dengan cintacinta yang membahagiakandiriku dan dirimu…

Kehidupan Anak Jalanan

Bersanding pelangi ku berdiriMenatap harapan nan tiada pastiSetiap kata hanya air mataMenghapus luka diantara derita

Ku terbuangKu tersingkirSebagian makna dari gelandanganBukan itu yang aku inginkan

Ku hanya sebagai alas anBeribu penjelasan keadilan dan

perikemanusiaanTerbingkai kesewenangan

Ku ingin kepeduluanTak hanya harapan dalam khayalan

Terbuai mimpiKokoh berdiri dalam negeri ini

Ironis yang pastiBerjuta aku… calon pemimpin negeri

Puisi Rusli Badi:

Puisi - Puisi

Edisi01/tahun I/2012 31

Page 32: Majalah gerbang

Dipasung Sunyi

Malam ini dukuRembulan mengasingkan diri dari ratapan malam

Kecewa,Cahaya yang kala itu purnamaDibalas dengan lolongan serigala

Jadi tak perlu kau bawa tangismuYang air matanya dustaAku bukan pangeranmu…!

Singkirkan ratapanYang isinya kebohongan ituJauh dari telingaku

Aku muak…Aku benci ini…!

Wajahmu yang rupawanMenjadikanmu elok dan menawanTapi aku terlanjur luka, bidadari !Sejak ituKubiarkan hati dipasung sunyi

Puisi Yusriadi Hasan Basri:

“CUCURAN KERINGAT”

Tertutup dan mungkin tiada yang tahuRuntuh dan berguguran kian tak tampak Terlihat terbit, Juga terbenam,Entah esokEntah senja…..

Rindu… seakan ingin ada di antara dua bahu !!! Ingin rasanya ada yang memangku dan memikulBeberapa butir mulai bercucuranTak terhitung …Juga tak dapat dihitung…

Puisi Yeyen Purwiyanti:

Pernah membacakan puisi di Sandakan, Sabah, Malaysia dalam rangkaian acara pertemuan sastrawan antarnegara “Dialog Borneo-Kalimantan VIII” (2005). Menghadiri dan menjadi pembentang kertas kerja dalam pertemuan sasterawan antarnegara “Dialog Borneo-Kalimantan VIII” pada Juli 2005 di Sandakan, Sabah, Malaysia. Menjadi pemakalah dalam “Seminar Kritik Sastra” Pusat Bahasa Depdiknas pada September 2005 di Jakarta. Blog: www.amienwangsitalaja.blogspot.com. Alamat e-mail: [email protected]. HP: +628164282866 atau +6285348859414.

HERI SUCIPTO, S.Pd. Lebih dikenal dengan panggilan den cipto. Bekerja sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMK Negeri 11 Samarinda. Untuk komunikasi bisa berhubungan dengan HP. 081346536100, email: [email protected], akun facebook: Heri Sucipto. Alamat rumah: Jalan Banggeris nomor 17 RT. 3 Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda, Kalimantan Timur, kode pos 75127.

EKA HADITIA. Ia merupakan Guru SMPN 4 Tarakan. Di sela kesibukan mengajar, ia rajin menulis, khususnya menulis karya-karya sastra.

ASRY RUBIANTO. Adalah mahasiswa Universitas Borneo Tarakan. Sedang berusaha keras menyelesaikan kuliahnya.

ARIANI adalah Siswi SMA Muhammadiyah Tarakan.

RUSLI BADI adalah Siswa SMPN 4 Tarakan.

YUSRIADI HASAN BASRI adalah Siswa SMPN 4 Tarakan

YEYEN PURWIYANTI adalah …………..

Puisi - Puisi

Tentang Penyair

AMIEN WANGSITALAJA. Buku kumpulan puisi tunggalnya adalah Seperti Bidadari Aku Meminangmu Buyung (1995), Kitab Rajam (Indonesiatera, Magelang, 2001), dan Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2004). Sementara itu, puisi-puisinya juga tersebar dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Serayu (CV Harta Prima, Purwokerto: 1995), Oase (Titian Ilahy Press, Yogyakarta: 1996), Fasisme (Kalam Elkama, Yogyakarta: 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, Jakarta: 1996), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa, Bandung: 1997), Tamansari (DKY, Yogyakarta: 1998), Embun Tajalli (DKY, Yogyakarta: 2000), Malam Bulan (MSJ, Jakarta: 2002), Bentara: Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, Jakarta: 2003), Mahaduka Aceh (PDS H.B. Jassin, Jakarta: 2005), Ziarah Ombak (Lapena, Aceh, 2005), Perkawinan Batu (DKJ, Jakarta, 2005), Yogya 5,9 Skala Richter (Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, Kalimatan Selatan, 2006), Kenduri Puisi (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2008), Tanah Pilih (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Jambi, Jambi, 2008), Antologia de Poeticas Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, Malaysia (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008), Antologi Puisi Penyair Nusantara Musibah Gempa Padang (eSastera Enterprise, Kuala Lumpur, Malaysia, 2009), Percakapan Lingua Franca (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Kepri, 2010), Akulah Musi (Dewan Kesenian Sumatera Selatan, 2011), dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia (Pustaka Spirit, Samarinda, 2011).Tiga kali diundang membaca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yaitu pada acara “Mimbar Penyair Abad 21” (1996), “Baca Puisi Tiga Kota” bersama alm. Hamid Jabbar dan Iverdixon Tinungki (2003), dan “Cakrawala Sastra Indonesia” (2005).

Gerbang32 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 33

Page 33: Majalah gerbang

Dipasung Sunyi

Malam ini dukuRembulan mengasingkan diri dari ratapan malam

Kecewa,Cahaya yang kala itu purnamaDibalas dengan lolongan serigala

Jadi tak perlu kau bawa tangismuYang air matanya dustaAku bukan pangeranmu…!

Singkirkan ratapanYang isinya kebohongan ituJauh dari telingaku

Aku muak…Aku benci ini…!

Wajahmu yang rupawanMenjadikanmu elok dan menawanTapi aku terlanjur luka, bidadari !Sejak ituKubiarkan hati dipasung sunyi

Puisi Yusriadi Hasan Basri:

“CUCURAN KERINGAT”

Tertutup dan mungkin tiada yang tahuRuntuh dan berguguran kian tak tampak Terlihat terbit, Juga terbenam,Entah esokEntah senja…..

Rindu… seakan ingin ada di antara dua bahu !!! Ingin rasanya ada yang memangku dan memikulBeberapa butir mulai bercucuranTak terhitung …Juga tak dapat dihitung…

Puisi Yeyen Purwiyanti:

Pernah membacakan puisi di Sandakan, Sabah, Malaysia dalam rangkaian acara pertemuan sastrawan antarnegara “Dialog Borneo-Kalimantan VIII” (2005). Menghadiri dan menjadi pembentang kertas kerja dalam pertemuan sasterawan antarnegara “Dialog Borneo-Kalimantan VIII” pada Juli 2005 di Sandakan, Sabah, Malaysia. Menjadi pemakalah dalam “Seminar Kritik Sastra” Pusat Bahasa Depdiknas pada September 2005 di Jakarta. Blog: www.amienwangsitalaja.blogspot.com. Alamat e-mail: [email protected]. HP: +628164282866 atau +6285348859414.

HERI SUCIPTO, S.Pd. Lebih dikenal dengan panggilan den cipto. Bekerja sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMK Negeri 11 Samarinda. Untuk komunikasi bisa berhubungan dengan HP. 081346536100, email: [email protected], akun facebook: Heri Sucipto. Alamat rumah: Jalan Banggeris nomor 17 RT. 3 Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda, Kalimantan Timur, kode pos 75127.

EKA HADITIA. Ia merupakan Guru SMPN 4 Tarakan. Di sela kesibukan mengajar, ia rajin menulis, khususnya menulis karya-karya sastra.

ASRY RUBIANTO. Adalah mahasiswa Universitas Borneo Tarakan. Sedang berusaha keras menyelesaikan kuliahnya.

ARIANI adalah Siswi SMA Muhammadiyah Tarakan.

RUSLI BADI adalah Siswa SMPN 4 Tarakan.

YUSRIADI HASAN BASRI adalah Siswa SMPN 4 Tarakan

YEYEN PURWIYANTI adalah …………..

Puisi - Puisi

Tentang Penyair

AMIEN WANGSITALAJA. Buku kumpulan puisi tunggalnya adalah Seperti Bidadari Aku Meminangmu Buyung (1995), Kitab Rajam (Indonesiatera, Magelang, 2001), dan Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2004). Sementara itu, puisi-puisinya juga tersebar dalam beberapa antologi bersama, di antaranya Serayu (CV Harta Prima, Purwokerto: 1995), Oase (Titian Ilahy Press, Yogyakarta: 1996), Fasisme (Kalam Elkama, Yogyakarta: 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, Jakarta: 1996), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa, Bandung: 1997), Tamansari (DKY, Yogyakarta: 1998), Embun Tajalli (DKY, Yogyakarta: 2000), Malam Bulan (MSJ, Jakarta: 2002), Bentara: Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, Jakarta: 2003), Mahaduka Aceh (PDS H.B. Jassin, Jakarta: 2005), Ziarah Ombak (Lapena, Aceh, 2005), Perkawinan Batu (DKJ, Jakarta, 2005), Yogya 5,9 Skala Richter (Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, Kalimatan Selatan, 2006), Kenduri Puisi (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2008), Tanah Pilih (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Jambi, Jambi, 2008), Antologia de Poeticas Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, Malaysia (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008), Antologi Puisi Penyair Nusantara Musibah Gempa Padang (eSastera Enterprise, Kuala Lumpur, Malaysia, 2009), Percakapan Lingua Franca (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Kepri, 2010), Akulah Musi (Dewan Kesenian Sumatera Selatan, 2011), dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia (Pustaka Spirit, Samarinda, 2011).Tiga kali diundang membaca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yaitu pada acara “Mimbar Penyair Abad 21” (1996), “Baca Puisi Tiga Kota” bersama alm. Hamid Jabbar dan Iverdixon Tinungki (2003), dan “Cakrawala Sastra Indonesia” (2005).

Gerbang32 Sastra Menyatukan Bangsa Edisi01/tahun I/2012 33

Page 34: Majalah gerbang

apak bekerja sebagai guru. Ibu bekerja di kantor pemerintah. BKeduanya berangkat pagi. Lalu

pulang sore hari. Hasna sering merasa sedih. Ia jarang dapat bermain bersama bapak dan ibu. Saat sore, bapak dan ibu terlalu capek. Sehingga tidak sempat diajak bermain. Begitu pun saat hari Sabtu dan Minggu.

Bapak memiliki banyak acara di hari libur. Kerja bakti membersihkan kampung, membangun masjid, rapat RT, ronda, mencuci baju, membersihkan rumah, dan sebagainya. Begitu pun dengan ibu. Harus berbagi pekerjaan dengan bapak. Ibu harus memasak, atau menyetrika baju. Semua selalu sibuk. Dan Hasna sering merasa sendirian.

Hasna sering iri dengan Alang. Bapak Alang seorang pengarang. Jadi sering tinggal di rumah. Alang sering dapat bermain dengan bapaknya. Ibu Alang juga di rumah. Ibu Alang berjualan kue. Jadi mereka bekerja di rumah sendiri. Hasna menjadi sedih bila melihat keluarga Alang. Hasna mengeluh bapak

dan ibu sering tidak di rumah.”Huh, betapa enaknya jadi Alang!

Setiap hari bersama bapak dan ibu. Bisa bermain petak umpet, main kuda-kudaan, juga menggambar. Sedangkan aku? Aku selalu sendiri. Apa enaknya? Nonton televisi, tidur, makan. Selalu seperti ini. Apa asyiknya?” keluh Hasna.

Hasna ingin pergi bermain ke luar rumah. Tapi, bapak dan ibu berpesan untuk istirahat sepulang sekolah. Sore hari adalah waktu mengerjakan PR. Malam hari belajar pelajaran esok hari. Begitu terus-menerus. Hasna pun menjadi sedih. Di sekolah ia juga murung. Ia menjadi sulit bermain bersama. Ia lebih suka menyendiri.

Di rumah, Hasna sering merenung. Hasna tidak ingin menyalahkan bapak dan ibu. Mereka bekerja mencari uang. Juga mengabdi pada masyarakat. Hasna sering berpikir, apa yang bisa dilakukannya seorang diri? Suatu hari, ia melongok jendela rumah. Di luar tidak ada orang. Semua penghuni perumahan bekerja. Yang tersisa adalah para pembantu rumah tangga. Para pembantu sibuk dengan pekerjaan

Hasna dan Bebek KecilM. Thobroni

Cerita Anak

Gerbang34 Sastra Menyatukan Bangsa

masing-masing. Bapak dan ibu tidak memiliki pembantu. Karena itu Hasna tetap sendirian.

Hasna termangu di dekat jendela. Ia sedikit terhibur dengan warna-warni bunga. Kupu-kupu hinggap untuk menyerap madu. Capung berkejaran tiada henti. Lalu kupu dan cabung terbang jauh. Hasna kembali sedih.

Hasna mencari-cari mainan di keranjang mainan. Dibongkarnya seluruh mainan. Ia mengeluh lagi. Tidak ada satupun mainan yang menarik hati. Semua mainan sudah pernah digunakan. Bosan.

”Kwek-kwek-kwek.”Hasna terkejut. Mengapa ada suara

bebek di dalam rumah? Apakah bapak dan ibu hendak beternak bebek? Tetapi, dimana hendak beternak? Rumah ini begitu sempit. Halaman rumah juga tidak luas. Dimanakah bebek hendak diternakkan? Juga, dimana mereka hendak mencari makan. Perumahan ini jauh dari sungai. Juga tidak terdapat sawah. Mengapa ada bebek di dalam rumah? Hasna memandang kesana-kemari. Ia coba mencari sumber suara bebek. Beberapa lama ia mencari. Tetap

tidak ditemukannya bebek.”Kwek-kwek-kwek.”Hasna tergagap. Suara bebek berada

persis di belakangnya. Ia berbalik. Ia memandang cermat. Bebek itu tetap tidak ditemukan. Tetapi, ada sebuah boneka kecil. Boneka bebek. Hasna terkesiap. Bebek itu tersenyum manis. Hasna ikut tersenyum. Rupanya ”bebek” itulah yang bersuara. Hasna mendekati ”bebek” itu.

”Apakah kamu yang bersuara tadi?””Ya, kamu tidak perlu takut.”Hasna tersenyum. Ia tidak takut.

Justeru senang ada yang mengajaknya berbicara.

”Maukah kamu menjadi temanku?” tanya Hasna.

”Bebek” kecil itu mengangguk-angguk. Lucu sekali. Hasna girang bukan main. Kini saatnya ia bermain dengan riang. Menghilangkan kesedihan.

Siang itu, mereka bermain tebak-tebakan. Bernyanyi bersama. Menari bersama. Hingga Hasna terlihat lelah. Hasna meminta istirahat dulu.

”Sudahlah. Hari ini kita cukupkan bermain.”

”Baik. Tapi sediakah engkau merahasiakan ini semua?” pinta ”bebek”.

Hasna menyanggupi permintaan itu. ”Bebek” pun segera ”tertidur”. Seperti semula. Ia tak lagi bergerak. Juga tidak bersuara. Hasna pun menyusul. Ia berbaring di ranjang. Lalu tertidur. Hasna tidur dengan tersenyum manis. Mulai saat itu, Hasna tidak sedih lagi. Ia tidak sendirian lagi. Ia sudah punya teman bermain.

Cerita Anak

Edisi01/tahun I/2012 35

Page 35: Majalah gerbang

apak bekerja sebagai guru. Ibu bekerja di kantor pemerintah. BKeduanya berangkat pagi. Lalu

pulang sore hari. Hasna sering merasa sedih. Ia jarang dapat bermain bersama bapak dan ibu. Saat sore, bapak dan ibu terlalu capek. Sehingga tidak sempat diajak bermain. Begitu pun saat hari Sabtu dan Minggu.

Bapak memiliki banyak acara di hari libur. Kerja bakti membersihkan kampung, membangun masjid, rapat RT, ronda, mencuci baju, membersihkan rumah, dan sebagainya. Begitu pun dengan ibu. Harus berbagi pekerjaan dengan bapak. Ibu harus memasak, atau menyetrika baju. Semua selalu sibuk. Dan Hasna sering merasa sendirian.

Hasna sering iri dengan Alang. Bapak Alang seorang pengarang. Jadi sering tinggal di rumah. Alang sering dapat bermain dengan bapaknya. Ibu Alang juga di rumah. Ibu Alang berjualan kue. Jadi mereka bekerja di rumah sendiri. Hasna menjadi sedih bila melihat keluarga Alang. Hasna mengeluh bapak

dan ibu sering tidak di rumah.”Huh, betapa enaknya jadi Alang!

Setiap hari bersama bapak dan ibu. Bisa bermain petak umpet, main kuda-kudaan, juga menggambar. Sedangkan aku? Aku selalu sendiri. Apa enaknya? Nonton televisi, tidur, makan. Selalu seperti ini. Apa asyiknya?” keluh Hasna.

Hasna ingin pergi bermain ke luar rumah. Tapi, bapak dan ibu berpesan untuk istirahat sepulang sekolah. Sore hari adalah waktu mengerjakan PR. Malam hari belajar pelajaran esok hari. Begitu terus-menerus. Hasna pun menjadi sedih. Di sekolah ia juga murung. Ia menjadi sulit bermain bersama. Ia lebih suka menyendiri.

Di rumah, Hasna sering merenung. Hasna tidak ingin menyalahkan bapak dan ibu. Mereka bekerja mencari uang. Juga mengabdi pada masyarakat. Hasna sering berpikir, apa yang bisa dilakukannya seorang diri? Suatu hari, ia melongok jendela rumah. Di luar tidak ada orang. Semua penghuni perumahan bekerja. Yang tersisa adalah para pembantu rumah tangga. Para pembantu sibuk dengan pekerjaan

Hasna dan Bebek KecilM. Thobroni

Cerita Anak

Gerbang34 Sastra Menyatukan Bangsa

masing-masing. Bapak dan ibu tidak memiliki pembantu. Karena itu Hasna tetap sendirian.

Hasna termangu di dekat jendela. Ia sedikit terhibur dengan warna-warni bunga. Kupu-kupu hinggap untuk menyerap madu. Capung berkejaran tiada henti. Lalu kupu dan cabung terbang jauh. Hasna kembali sedih.

Hasna mencari-cari mainan di keranjang mainan. Dibongkarnya seluruh mainan. Ia mengeluh lagi. Tidak ada satupun mainan yang menarik hati. Semua mainan sudah pernah digunakan. Bosan.

”Kwek-kwek-kwek.”Hasna terkejut. Mengapa ada suara

bebek di dalam rumah? Apakah bapak dan ibu hendak beternak bebek? Tetapi, dimana hendak beternak? Rumah ini begitu sempit. Halaman rumah juga tidak luas. Dimanakah bebek hendak diternakkan? Juga, dimana mereka hendak mencari makan. Perumahan ini jauh dari sungai. Juga tidak terdapat sawah. Mengapa ada bebek di dalam rumah? Hasna memandang kesana-kemari. Ia coba mencari sumber suara bebek. Beberapa lama ia mencari. Tetap

tidak ditemukannya bebek.”Kwek-kwek-kwek.”Hasna tergagap. Suara bebek berada

persis di belakangnya. Ia berbalik. Ia memandang cermat. Bebek itu tetap tidak ditemukan. Tetapi, ada sebuah boneka kecil. Boneka bebek. Hasna terkesiap. Bebek itu tersenyum manis. Hasna ikut tersenyum. Rupanya ”bebek” itulah yang bersuara. Hasna mendekati ”bebek” itu.

”Apakah kamu yang bersuara tadi?””Ya, kamu tidak perlu takut.”Hasna tersenyum. Ia tidak takut.

Justeru senang ada yang mengajaknya berbicara.

”Maukah kamu menjadi temanku?” tanya Hasna.

”Bebek” kecil itu mengangguk-angguk. Lucu sekali. Hasna girang bukan main. Kini saatnya ia bermain dengan riang. Menghilangkan kesedihan.

Siang itu, mereka bermain tebak-tebakan. Bernyanyi bersama. Menari bersama. Hingga Hasna terlihat lelah. Hasna meminta istirahat dulu.

”Sudahlah. Hari ini kita cukupkan bermain.”

”Baik. Tapi sediakah engkau merahasiakan ini semua?” pinta ”bebek”.

Hasna menyanggupi permintaan itu. ”Bebek” pun segera ”tertidur”. Seperti semula. Ia tak lagi bergerak. Juga tidak bersuara. Hasna pun menyusul. Ia berbaring di ranjang. Lalu tertidur. Hasna tidur dengan tersenyum manis. Mulai saat itu, Hasna tidak sedih lagi. Ia tidak sendirian lagi. Ia sudah punya teman bermain.

Cerita Anak

Edisi01/tahun I/2012 35

Page 36: Majalah gerbang

ada mulanya adalah larangan. Agama dan etika datang mengiring Phidup manusia. Agama dan etika

pula yang mula-mula mengenalkan larangan pada manusia. Adam dan Hawa adalah sosok awal yang merasakan, betapa buah larangan kelak akan mengirim mereka ke dunia. Setelah surga, dunia adalah jalan lain Adam dan Hawa dalam menyusuri anugerah hidup dari Tuhan mereka. Adam dan Hawa, juga anak cucunya, harus menentukan: Apakah dunia akan menjadi surga atau neraka bagi mereka?

Rustam memang bukan Adam dan Hawa, tapi ia adalah buah dari kenekadan Adam dan Hawa sekian abad silam. Tanpa keberanian Adam dan Hawa menciptakan takdir kehidupan mereka, Rustam dan juga kita, entah akan hidup di mana. Rustam, dengan demikian,

seperti mengenalkan kembali bagaimana kita musti memandang dan menghayati hidup ini. Meski Rustam hidup dalam dunia imajinasi; Lakon yang bergerak menyusuri cerita dalam novel Lelaki dari Selatan karya Tan Tjin Siong.

Sebuah novel –seperti halnya puisi, drama, atau cerpen- terlahir dan tercipta tidak dari ruang yang vakum. Ia berkomunikasi, bertegursapa, dan dibidani oleh denyut nadi kehidupan. Gerak laju kehidupan, seperti kita tahu, tak lepas dari jalin-kelindan keberadaan Tuhan, alam dan manusia. Sastra, demikian sabda Abrams, dapat mencerminkan apa yang patut dipotret dari lingkungan di mana (sastra) kelak dilahirciptakan.

Sastra pula yang bertanggungjawab untuk mengantar manusia –sebagai pembacanya- untuk menyusuri lorong-lorong sunyi; Dimana ruang-ruang itu

Seksualitas dalam Lelaki dari Selatan

Judul : Lelaki dari SelatanPengarang : Tan Tjin SiongPenerbit : Grasindo, JakartaCetakan I : 2004Tebal : 149 halaman

Ulasan

Gerbang36 Sastra Menyatukan Bangsa

boleh jadi dianggap keramat atau angker. Tarikh telah menorehkan segala peristiwa dalam lembar-lembar mushaf sejarah hidup manusia, berapa banyak korban jatuh karena keberanian melawan tirani. Darah dan air mata tumpah-ruah, membanjiri bumi di mana manusia melakoni kehidupannya. Dan, sastra akan mengajarkan, bagaimana manusia dapat arif dan bijaksana menempuh itu semua.

Tak terhitung lagi, sastra membongkar tabu, tirani, dan angkara murka. Bungkus-bungkus apapun, kelak akan gagal membendung kewiraan sastra. “Bila politik bengkok, puisi akan meluruskannya!” ujar John F Kennedy, dari negeri luar sana. Para sastrawan dalam negeri meneguhkan ujaran itu, kata mereka: “Bila politik bengkok, sastra akan meluruskannya!”

Demikianlah. Novel Lelaki dari Selatan ini adalah cerita tentang petualangan. Sastra menyebutnya dengan ziarah kehidupan. Dominasi seksualitas, baik dalam dialog maupun peran, yang gencar dimunculkan di dalamnya, tidaklah kemudian mampu menutup begitu saja, betapa novel ini bercerita tentang banyak hal: Anak yang bengal, kesabaran orang tua, kedermawanan, persahabatan, iri-dengki, hingga santet. Pembaca tak saja harus menggeleng-gelengkan kepala gara-gara disuguhi aneka problema masyarakat, tapi juga harus menghela napas karena memasuki gaya hidup sebuah suku.

Daerah Tapal Kuda, di mana cerita ini dibuatkan setting-nya, sebagian besar penghuninya termasuk dari suku tersebut. Suku Osing, demikian para pakar menyebutnya, terbiasa menyelesaikan masalah dengan banyak cara. Syukur-syukur bila sebuah masalah terselesaikan lewat jalan kasat mata,

alias lahiriah. Namun, bila kurang berhasil apalagi gagal, tidak ada cara yang lebih afdhol selain menggunakan 'dunia lain'. Novel ini mengajarkan kita untuk lebih peka melihat segalanya, bahwa tidak semua yang di dunia ini tertangkap indera. Ada wilayah-wilayah tertentu di mana manusia harus belajar untuk mengenal, mengakrabi, dan bersikap lebih takdzim kepadanya. Itulah 'dunia lain'. (halaman 110-116)

Membaca novel ini seperti mengenal dan mengakrabi model konseling keluarga. Kita secara terpaksa, disuguhi berbagai persoalan keluarga, mulai dari masalah hutang hingga persoalan ranjang. Novel ini seakan mencibir fenomena masyarakat modern dari dua sisi sekaligus. Di satu sisi, novel ini seperti memandang sinis perilaku keluarga-keluarga kelas menengah yang gagap dalam memandang seksualitas, sehingga seksualitas menjadi masalah serius dalam hidup mereka.

Adalah rahasia umum, bila saat ini orang telah sangat gila kerja, sehingga tak jarang mengabaikan pasangannya. Lalu, kita mengenal apa yang disebut sebagai PIL atau Pria Idaman Lain, dan WIL alias Wanita Idaman Lain. Itu pula yang meneguhkan tesis hingga kini, bahwa banyak tante girang, tidur siang bareng, wanita simpanan, dan sebagainya. Selebihnya, penuh-sesaknya kompleks lokalisasi dan kamar hotel dengan eksekutif muda, dan lelaki separuh baya.

Namun di sisi lain, novel ini juga ingin mengingatkan, bahwa seksualitas dalam sebuah keluarga bukanlah segalanya. Keluarga membutuhkan banyak hal: perhatian, kasih sayang, kepekaan, kerjasama, komunikasi, dan tentu saja generasi penerus di masa mendatang. Hubungan seks dan keharmonisan jelas

Ulasan

Edisi01/tahun I/2012 37

Page 37: Majalah gerbang

ada mulanya adalah larangan. Agama dan etika datang mengiring Phidup manusia. Agama dan etika

pula yang mula-mula mengenalkan larangan pada manusia. Adam dan Hawa adalah sosok awal yang merasakan, betapa buah larangan kelak akan mengirim mereka ke dunia. Setelah surga, dunia adalah jalan lain Adam dan Hawa dalam menyusuri anugerah hidup dari Tuhan mereka. Adam dan Hawa, juga anak cucunya, harus menentukan: Apakah dunia akan menjadi surga atau neraka bagi mereka?

Rustam memang bukan Adam dan Hawa, tapi ia adalah buah dari kenekadan Adam dan Hawa sekian abad silam. Tanpa keberanian Adam dan Hawa menciptakan takdir kehidupan mereka, Rustam dan juga kita, entah akan hidup di mana. Rustam, dengan demikian,

seperti mengenalkan kembali bagaimana kita musti memandang dan menghayati hidup ini. Meski Rustam hidup dalam dunia imajinasi; Lakon yang bergerak menyusuri cerita dalam novel Lelaki dari Selatan karya Tan Tjin Siong.

Sebuah novel –seperti halnya puisi, drama, atau cerpen- terlahir dan tercipta tidak dari ruang yang vakum. Ia berkomunikasi, bertegursapa, dan dibidani oleh denyut nadi kehidupan. Gerak laju kehidupan, seperti kita tahu, tak lepas dari jalin-kelindan keberadaan Tuhan, alam dan manusia. Sastra, demikian sabda Abrams, dapat mencerminkan apa yang patut dipotret dari lingkungan di mana (sastra) kelak dilahirciptakan.

Sastra pula yang bertanggungjawab untuk mengantar manusia –sebagai pembacanya- untuk menyusuri lorong-lorong sunyi; Dimana ruang-ruang itu

Seksualitas dalam Lelaki dari Selatan

Judul : Lelaki dari SelatanPengarang : Tan Tjin SiongPenerbit : Grasindo, JakartaCetakan I : 2004Tebal : 149 halaman

Ulasan

Gerbang36 Sastra Menyatukan Bangsa

boleh jadi dianggap keramat atau angker. Tarikh telah menorehkan segala peristiwa dalam lembar-lembar mushaf sejarah hidup manusia, berapa banyak korban jatuh karena keberanian melawan tirani. Darah dan air mata tumpah-ruah, membanjiri bumi di mana manusia melakoni kehidupannya. Dan, sastra akan mengajarkan, bagaimana manusia dapat arif dan bijaksana menempuh itu semua.

Tak terhitung lagi, sastra membongkar tabu, tirani, dan angkara murka. Bungkus-bungkus apapun, kelak akan gagal membendung kewiraan sastra. “Bila politik bengkok, puisi akan meluruskannya!” ujar John F Kennedy, dari negeri luar sana. Para sastrawan dalam negeri meneguhkan ujaran itu, kata mereka: “Bila politik bengkok, sastra akan meluruskannya!”

Demikianlah. Novel Lelaki dari Selatan ini adalah cerita tentang petualangan. Sastra menyebutnya dengan ziarah kehidupan. Dominasi seksualitas, baik dalam dialog maupun peran, yang gencar dimunculkan di dalamnya, tidaklah kemudian mampu menutup begitu saja, betapa novel ini bercerita tentang banyak hal: Anak yang bengal, kesabaran orang tua, kedermawanan, persahabatan, iri-dengki, hingga santet. Pembaca tak saja harus menggeleng-gelengkan kepala gara-gara disuguhi aneka problema masyarakat, tapi juga harus menghela napas karena memasuki gaya hidup sebuah suku.

Daerah Tapal Kuda, di mana cerita ini dibuatkan setting-nya, sebagian besar penghuninya termasuk dari suku tersebut. Suku Osing, demikian para pakar menyebutnya, terbiasa menyelesaikan masalah dengan banyak cara. Syukur-syukur bila sebuah masalah terselesaikan lewat jalan kasat mata,

alias lahiriah. Namun, bila kurang berhasil apalagi gagal, tidak ada cara yang lebih afdhol selain menggunakan 'dunia lain'. Novel ini mengajarkan kita untuk lebih peka melihat segalanya, bahwa tidak semua yang di dunia ini tertangkap indera. Ada wilayah-wilayah tertentu di mana manusia harus belajar untuk mengenal, mengakrabi, dan bersikap lebih takdzim kepadanya. Itulah 'dunia lain'. (halaman 110-116)

Membaca novel ini seperti mengenal dan mengakrabi model konseling keluarga. Kita secara terpaksa, disuguhi berbagai persoalan keluarga, mulai dari masalah hutang hingga persoalan ranjang. Novel ini seakan mencibir fenomena masyarakat modern dari dua sisi sekaligus. Di satu sisi, novel ini seperti memandang sinis perilaku keluarga-keluarga kelas menengah yang gagap dalam memandang seksualitas, sehingga seksualitas menjadi masalah serius dalam hidup mereka.

Adalah rahasia umum, bila saat ini orang telah sangat gila kerja, sehingga tak jarang mengabaikan pasangannya. Lalu, kita mengenal apa yang disebut sebagai PIL atau Pria Idaman Lain, dan WIL alias Wanita Idaman Lain. Itu pula yang meneguhkan tesis hingga kini, bahwa banyak tante girang, tidur siang bareng, wanita simpanan, dan sebagainya. Selebihnya, penuh-sesaknya kompleks lokalisasi dan kamar hotel dengan eksekutif muda, dan lelaki separuh baya.

Namun di sisi lain, novel ini juga ingin mengingatkan, bahwa seksualitas dalam sebuah keluarga bukanlah segalanya. Keluarga membutuhkan banyak hal: perhatian, kasih sayang, kepekaan, kerjasama, komunikasi, dan tentu saja generasi penerus di masa mendatang. Hubungan seks dan keharmonisan jelas

Ulasan

Edisi01/tahun I/2012 37

Page 38: Majalah gerbang

penting untuk membangun keluarga bahagia, namun ketiadaan anak juga diperlukan. Lagi-lagi, novel ini ingin berbisik pada kita: Bersabarlah meniti bahtera keluarga!

Buku ini cocok dibaca siapa saja, kecuali anak-anak TK atau SD yang masih memerlukan pendampingan orang tua. Para remaja perlu membaca novel ini, sebagai alternatif dan jalan lain mengasah hati dan emosi mereka. Sastra akan membiasakan remaja untuk melembutkan hati, dan meningkatkan ketajaman otak kiri. Kekuatan otak kanan yang menghasilkan pemikiran cemerlang, harus diimbangi dengan otak kiri yang mumpuni sehingga daya estetisnya tajam. Wawasan yang berbasis intelektual, harus diiringi akal budi, dan pekerti. Sastra, adalah jalan lain untuk mengasah akal budi dan pekerti.

Bagi remaja, membaca novel ini sungguh penting. Dengan mengenal jalan hidup Rustam, respon bapak, ibu, istri, dan kakak, begitu penting bagi remaja untuk menyiapkan segalanya di masa mendatang. Novel ini menyediakan gambaran alternatif bagi remaja, bagaimana sesungguhnya dunia yang dihadapinya, kini dan mendatang.

Orang tua, guru, konselor, psikolog, seksolog, atau siapapun yang mengaku dewasa, harus merasa perlu membaca novel ini sebagai referensi penting: Bahan kajian, referensi persoalan, pembanding hidup, dan melayani orang-orang di sekitarnya.

Inilah jalan lain Lelaki dari Selatan. Ia bukan fiksi klangenan, yang lahir dari sekadar angan-angan. Lelaki dari Selatan adalah jalan lain kita untuk menikmati dan menghayati kehidupan. “Engkau harus menemukan kelelakianmu!” pesan Pak Misto pada Rustam, dalam novel ini.

Pesan itu seperti tidak saja tertuju pada Rustam, tapi juga beribu-ribu dan berjuta-juta anak muda yang harus membacanya.

Barangkali, dominasi seksualitas yang ditampilkan hampil vulgar, sekaligus yang menjadi kelemahan novel ini. Orang akan membanding-bandingkan novel ini dengan novel-novel populer yang digemari para remaja, atau cerpen-cerpen romantis di majalah remaja. Tapi, inilah pilihan. Seperti halnya Fredy S, Mira W, Nasjah Djamin, dan Motinggo Busye pernah melakukannya.

Dan Tan Tjin Song, harus diacungi jempol! Keberaniannya memilih novel ber-style macam Lelaki dari Selatan ini, akan menunjukkan pada semua, bahwa sastra adalah ruang tanpa batas. Sekaligus mengajarkan, bahwa hidup haruslah saling menghormati dan menghargai, bukan saling menihilkan dan mematikan. (urotul aliyah)

Ulasan

Gerbang38 Sastra Menyatukan Bangsa

Mengapa Anda Harus Pasang Iklan di Sini?

Karena Majalah Sastra Gerbang adalah pintu masuk …..

üMajalah ini dibaca dosen dan mahasiswa Universitas Borneo Tarakan, khususnya di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

üMajalah ini dibaca guru dan siswa SMP/MTs, SMA/SMK/MA di Tarakan, Bulungan, Nunukan (Nunukan, Sebatik, Sembakung, Krayan, Sebuku, Lumbis), Malinau, Kabupaten Tana Tidung, Berau, dan Kabupaten/kota di Kalimantan Timur.

üMajalah ini dibaca pegawai pemerintah daerah, anggota DPRD, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Sosial Keagamaan, Perusahaan Swasta dan Masyarakat luas di Kota Tarkan dan sekitarnya.

üMajalah ini dibaca mahasiswa dan dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Perguruan Tinggi di Indonesia.

üMajalah ini dibaca para penulis dan sastrawan Indonesia. üMajalah ini dibaca para pengusaha, karyawan, dan pemilik perusahaan di

Indonesia.

COVER BELAKANG (FULL COLOUR) a. 1 HALAMAN 10.000.000 b. 1/2 HALAMAN 6.000.000 c. ¼ HALAMAN 4.000.000 d. 1/8 HALAMAN 2.500.00

Halaman Cover Dalam (depan dan belakang, hitam putih)a. 1 halaman 7.000.000b. ½ halaman 4.000.000c. ¼ halaman 2.500.000d. 1/8 halaman 1.500.000

Halaman Isi (hitam putih)a. 1 halaman 5.000.000b. ½ halaman 3.000.000c. ¼ halaman 2.000.000Pemasangan Logo Perusahaan di Cover depana. 1/8 halaman 7.500.000

TARIF IKLAN

Hubungi: 085247848611 (Muhammad Azni)

Siapa Pembaca Majalah Ini?

Edisi01/tahun I/2012 39

Page 39: Majalah gerbang

penting untuk membangun keluarga bahagia, namun ketiadaan anak juga diperlukan. Lagi-lagi, novel ini ingin berbisik pada kita: Bersabarlah meniti bahtera keluarga!

Buku ini cocok dibaca siapa saja, kecuali anak-anak TK atau SD yang masih memerlukan pendampingan orang tua. Para remaja perlu membaca novel ini, sebagai alternatif dan jalan lain mengasah hati dan emosi mereka. Sastra akan membiasakan remaja untuk melembutkan hati, dan meningkatkan ketajaman otak kiri. Kekuatan otak kanan yang menghasilkan pemikiran cemerlang, harus diimbangi dengan otak kiri yang mumpuni sehingga daya estetisnya tajam. Wawasan yang berbasis intelektual, harus diiringi akal budi, dan pekerti. Sastra, adalah jalan lain untuk mengasah akal budi dan pekerti.

Bagi remaja, membaca novel ini sungguh penting. Dengan mengenal jalan hidup Rustam, respon bapak, ibu, istri, dan kakak, begitu penting bagi remaja untuk menyiapkan segalanya di masa mendatang. Novel ini menyediakan gambaran alternatif bagi remaja, bagaimana sesungguhnya dunia yang dihadapinya, kini dan mendatang.

Orang tua, guru, konselor, psikolog, seksolog, atau siapapun yang mengaku dewasa, harus merasa perlu membaca novel ini sebagai referensi penting: Bahan kajian, referensi persoalan, pembanding hidup, dan melayani orang-orang di sekitarnya.

Inilah jalan lain Lelaki dari Selatan. Ia bukan fiksi klangenan, yang lahir dari sekadar angan-angan. Lelaki dari Selatan adalah jalan lain kita untuk menikmati dan menghayati kehidupan. “Engkau harus menemukan kelelakianmu!” pesan Pak Misto pada Rustam, dalam novel ini.

Pesan itu seperti tidak saja tertuju pada Rustam, tapi juga beribu-ribu dan berjuta-juta anak muda yang harus membacanya.

Barangkali, dominasi seksualitas yang ditampilkan hampil vulgar, sekaligus yang menjadi kelemahan novel ini. Orang akan membanding-bandingkan novel ini dengan novel-novel populer yang digemari para remaja, atau cerpen-cerpen romantis di majalah remaja. Tapi, inilah pilihan. Seperti halnya Fredy S, Mira W, Nasjah Djamin, dan Motinggo Busye pernah melakukannya.

Dan Tan Tjin Song, harus diacungi jempol! Keberaniannya memilih novel ber-style macam Lelaki dari Selatan ini, akan menunjukkan pada semua, bahwa sastra adalah ruang tanpa batas. Sekaligus mengajarkan, bahwa hidup haruslah saling menghormati dan menghargai, bukan saling menihilkan dan mematikan. (urotul aliyah)

Ulasan

Gerbang38 Sastra Menyatukan Bangsa

Mengapa Anda Harus Pasang Iklan di Sini?

Karena Majalah Sastra Gerbang adalah pintu masuk …..

üMajalah ini dibaca dosen dan mahasiswa Universitas Borneo Tarakan, khususnya di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

üMajalah ini dibaca guru dan siswa SMP/MTs, SMA/SMK/MA di Tarakan, Bulungan, Nunukan (Nunukan, Sebatik, Sembakung, Krayan, Sebuku, Lumbis), Malinau, Kabupaten Tana Tidung, Berau, dan Kabupaten/kota di Kalimantan Timur.

üMajalah ini dibaca pegawai pemerintah daerah, anggota DPRD, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Sosial Keagamaan, Perusahaan Swasta dan Masyarakat luas di Kota Tarkan dan sekitarnya.

üMajalah ini dibaca mahasiswa dan dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Perguruan Tinggi di Indonesia.

üMajalah ini dibaca para penulis dan sastrawan Indonesia. üMajalah ini dibaca para pengusaha, karyawan, dan pemilik perusahaan di

Indonesia.

COVER BELAKANG (FULL COLOUR) a. 1 HALAMAN 10.000.000 b. 1/2 HALAMAN 6.000.000 c. ¼ HALAMAN 4.000.000 d. 1/8 HALAMAN 2.500.00

Halaman Cover Dalam (depan dan belakang, hitam putih)a. 1 halaman 7.000.000b. ½ halaman 4.000.000c. ¼ halaman 2.500.000d. 1/8 halaman 1.500.000

Halaman Isi (hitam putih)a. 1 halaman 5.000.000b. ½ halaman 3.000.000c. ¼ halaman 2.000.000Pemasangan Logo Perusahaan di Cover depana. 1/8 halaman 7.500.000

TARIF IKLAN

Hubungi: 085247848611 (Muhammad Azni)

Siapa Pembaca Majalah Ini?

Edisi01/tahun I/2012 39

Page 40: Majalah gerbang

Gerbang40 Sastra Menyatukan Bangsa