magmatisme

20
MAGMATISME Busur magmatisme atau zona erupsi magma pada dasarnya dikontrol oleh pergerakan lempeng/ permukaan bumi. Pada awalnya sekitar tahun 1960 an berkembanglah teori lempeng tektonik. Tektonik adalah ilmu yang memepelajari pergerakan dan deformasi lapisan luar bumi dalam skala besar. Tektonik lemepeng mempelajari hubungan antara deformasi ini dengan keberadaan dan pergerakan lempeng atau plates di atas selubung atas yang plastis. Kunci utama tektonik lempeng adalah adanya lempeng litosfer yang padat dan kaku ‘terapung’ di atas selubung bagian atas yang bersifat plastis. Kerak bumi dan selubung teratas bersifat padat disebut litosfer. Di bawah samudra tebalnya sekitar 50 km dan dibawah benua sampai 100 km. Lapisan di bawah litosfer adalah astenosfer yaitu lapisan lentur, tidak kaku atau plastis. Lapisan ini sampai pada kedalamn 500 km di dalam selubung. Litosfer terdiri dari lempeng-lempeng yang besar dan kecil ‘terapung’ di atas astenosfer sebagai lempeng benua dan lempeng samudra. Oleh karena tiap lempeng bergerak sebagai uit tersendiri di permukaan bumi yang bulat, maka interaksi antar lempeng terjadi pada batas-batas lempeng. Batas-batas lempeng dapat berbentuk : a. Divergen ; di mana lempeng – lempeng bergerak saling

Upload: ira-suprapto

Post on 27-Jan-2016

250 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

geologi

TRANSCRIPT

Page 1: MAGMATISME

MAGMATISME

Busur magmatisme atau zona erupsi magma pada dasarnya dikontrol oleh

pergerakan lempeng/ permukaan bumi. Pada awalnya sekitar tahun 1960 an berkembanglah

teori lempeng tektonik. Tektonik adalah ilmu yang memepelajari pergerakan dan deformasi

lapisan luar bumi dalam skala besar. Tektonik lemepeng mempelajari hubungan antara

deformasi ini dengan keberadaan dan pergerakan lempeng atau plates di atas selubung atas

yang plastis.

Kunci utama tektonik lempeng adalah adanya lempeng litosfer yang padat dan kaku

‘terapung’ di atas selubung bagian atas yang bersifat plastis. Kerak bumi dan selubung

teratas bersifat padat disebut litosfer. Di bawah samudra tebalnya sekitar 50 km dan

dibawah benua sampai 100 km. Lapisan di bawah litosfer adalah astenosfer yaitu lapisan

lentur, tidak kaku atau plastis. Lapisan ini sampai pada kedalamn 500 km di dalam

selubung.

Litosfer terdiri dari lempeng-lempeng yang besar dan kecil ‘terapung’ di atas

astenosfer sebagai lempeng benua dan lempeng samudra. Oleh karena tiap lempeng

bergerak sebagai uit tersendiri di permukaan bumi yang bulat, maka interaksi antar

lempeng terjadi pada batas-batas lempeng. Batas-batas lempeng dapat berbentuk :

a. Divergen ; di mana lempeng – lempeng bergerak saling menjauh, mengakibatkan

material dari dari selubung naik ke atas memebentuk lantai samudra yang baru.

b. Konvergen ; di mana lempeng- lempeng bertemu,menyebabkan salah satu lempeng

menyusup di bawah yang lain, masuk ke selubung

c. Transform ; di mana lempeng saling bergesekan, tanpa membentuk atau merusak litosfer

Produk divergen erat kaitannya dengan pemekaran lempeng dan pemekaran

lempeng sering terjadi pada punggungan samudra. Disini, di mana lempeng saling menjauh

sumbu punggungan samudra , terbentuk celah yang segera terisi oleh lelehan batuan yang

terinjeksi dari astenosfer di bawahnya. Material- material ini perlahan mendingin dan

membentuk lantai samudra baru.

Bila dua lempeng bertemu atau bertumbukan, ujung salah satu tertekuk

( melengkung ) kebawah dan menyusup di bawah yang lain. Dan terus turun sampai ke

astenosfer. Karena masuk dalam astenosfer yang suhunya tinggi ia menjadi panas dan

Page 2: MAGMATISME

kehilangan kekakuannya. Meskipun pada dasarnya semua zona konvergen sama, akan

tetapi tumbukan lempeng ini dipengaruhi dipengaruhi oleh tipe material kerak yang terlibat.

Tumbukan dapat terjadi antar lempeng benua dan lempeng samudra, tumbukan dua

lempeng samudra, dan tumbukan lempeng benua dan lempeng benua. Hasil dari pergerakan

lempeng ini pun di kemas sebagai zona atau busur magmatisme. Busur magmatisme

tersebut adalah :

1. Back Arc Basin

Terbentuk sebagai hasil sampingan dari zona subduksi,yaitu pertemuan lempeng

benua dan lempeng samudra dimana lemepeng samudra tertekuk ke bawah menyusup di

bawah lempeng benua menuju astenosfer. Gejala ini diperlihatkan oleh menipisnya kerak

dan suatu bukaan cekungan yang melengkung. Oleh karena itu disebut sebagai cekungan

belakang zona subduksi. Sehingga jenis magma yang di hasilkan pada busur ini adalah

magma basaltis.

2. Volcanic Arc/Continental Arc

Selain back arc basin produk lain dari zona subduksi sebagai busur magmatisme

adalah volcanic arc atau disebut juga continental arc. Terbentuk dari pertemuan lempeng

benua dengan lempeng samudra dimana lempeng samudra menyusup ke bawah menuju

astenosfer. Gejala ini biasanya di perlihatkan oleh jajaran gunung api di atas lempeng benua

sebagai akibat dari dorongan arus konveksi dari selubung. Produk magma yang dihasilkan

adalah magma intermediet.

Page 3: MAGMATISME

3. MOR

Mid Oceanic Ridge atau disingkat mor merupakan salah satu busur magmatisme

dari pola divergen yaitu pola pergerakan lempeng yang saling menjauh. Dalam hal ini

lempeng yang saling menjauh adalah dua lempeng samudra di mana gejala yang di

timbulkan oleh pergerakan lempeng ini adalah terbentuknya gunung api di dasar samudra

sebagai akibat dari dorongan arus konveksi yang mendorong lapisan di atasnya . Jenis

magma yang di hasilkan di busur magmatisme ini adalah magma basaltis.

4. Island Arc

Sama halnya dengan proses yang terjadi pada pembentukan busur magmatis

volcanic arc yaitu pertemuan anatara dua lempeng. Bedanya pada island arc lempeng yang

bertumbuk adalah dua lempeng samudra dimana salah salah satu lempeng mununjam ke

Page 4: MAGMATISME

bawah menuju astenosfer kemudian meleleh pada suhu tertentu yang menyebabkab arus

konveksi ke atas yang mendorong lapisan di atasnya. Sehingga gejalanya diperlihatkan oleh

terbentuknya pulau-pulau di tengah samudra dan juga gunung api kecil. Jenis magma yang

di hasilkan di busur magmatisme ini adalah magma bertipe basaltis.

5. Continental Rift Zone

Proses yang terjadi pada zona ini mirip dengan proses pada busur MOR yaitu

pembentukan yang dikontrol oleh pergerakan divergen. Bedanya pada mor pergerakan

lempenng yang saling menjadi antara dua lempeng samudra sedangkan pada zona ini

pergerakan lempenng yang saling menjauh adalah dua lempeng benua. Gejala yang di

perlihatkan adalah terbentuknya gunung-gunung api muda dan kecil-kecil di atas dataran

benua. Jenis magma yang di hasilkan adalah jenis magma asam.

Page 5: MAGMATISME

6. Oceanis Island ( hotspot )

Merupakan busur magmatisme dimana magma menerobos ke atas melalui arus

konveksi tanpa pergerakan lempeng yang terjadi di lantai samudra. Di interpretasikan

bahwa zona magmatisme ini termasuk zona lemah sehingga magma dapat menerobos ke

atas membentuk rangkaian struktur vulkanik ataupun gunung api. Jenis magma yang

dihasilkan adalah magma basaltis.

7. Continental intraplate ( hotspot )

Sama seperti pada proses pembentukan busur magmatisme pada oceanic island pada

busur continental drift juga terbentuk akibat erupsi langsung oleh magma yang naik ke atas

akibat arus konveksi dari selubung. Bedanya pada busur ini terjadi di lempeng benua.

Gejala yang ditimbulkan juga sama yaitu berupa struktur vulkanik dan gunung api.

Sedangkan magma yang dihasilkan adalah magma asam.

MAGMATISME PADA ZONA SUBDUKSI

Magmatisme Pada Zona Subduksi

Konsep tektonik lempeng menjelaskan bahwa kulit bumi terdiri dari beberapa

bagian lempeng yang kaku (rigid), yang bergerak satu sama lain diatas massa astenosfer

yang plastis dengan kecepatan rata-rata 10cm/tahun atau 100 km/10 juta tahun (Morgan,

1968; Hamilton, 1970 dalam Alzwar dkk., 1988). Berdasarkan konsep tersebut, maka

pergerakan lempeng bumi dapat dibagi menjadi tiga yaitu konvergen (saling bertumbukan),

Page 6: MAGMATISME

divergen (saling menjauh) dan transform (saling berpapasan) (Lockwood & Hazlett, 2010),

dimana kegiatan magmatisme akan terjadi pada batas-batas lempeng ini.

Gambar 1.1. Lokasi-lokasi terbentuknya magma dalam konteks tektonik lempeng. Pada

ilustrasi diatas terlihat jelas bahwa punggungan tengah samudera (MOR) menempati urutan

pertama sebagai penghasil magma terbesar, diikuti oleh zona subduksi, oceanic intraplate

dan continental intraplate(Schmincke, 2003)

Batas lempeng konvergen salah satunya berupa zona subduksi. Zona subduksi

adalah bagian dari permukaan bumi yang dibentuk oleh penenggelaman (subduksi)

dari lempeng litosfer yang dingin dan tebal sampai ke mantel bumi (Tatsumi &

Eggins, 1995). Zona subduksi dicirikan oleh pembentukan palung-palung laut

dalam, rantai gunung api (Perfit & Davidson, 2000) serta konsentrasi hiposenter

gempa bumi yang tinggi (kebanyakan pada kedalaman 100 km sampai > 600 km)

pada zona Wadati-Benioff (Schmincke, 2003). Subduksi ini akan membawa batuan

dengan komposisi kimia beragam  ke dalam  mantel seperti kerak samudera

basaltik, peridotit dan sedimen laut dalam (Tatsumi & Eggins, 1995). Proses

subduksi biasanya akan termanifestasi dalam bentuk magmatisme dan vulkanisme

seperti pada Ring of Fire di Samudera Pasifik (Tatsumi & Eggins, 1995). Proses

magmatisme ini terutama dipengaruhi oleh  volatil (H2O) yang terbawa oleh kerak

samudera yang menunjam dimana akan mendorong terjadinya pelelehan sebagian

Page 7: MAGMATISME

(partial melting). Pelelehan sebagian ini disebabkan oleh dehidrasi mineral-mineral

pembawa air pada kerak samudera yang menunjam seperti amfibol (d=110 km) dan

plogophit (d=200 km) (Tatsumi & Eggins, 1995).

Gambar 1.2. Vulkanisme diatas zone subduksi. Penunjaman dari kerak samudera yang dingin

menyebabkan upwelling dari mantel panas dibawah busur vulkanik. Senyawa volatil seperti H2O dilepaskan

dari kerak samudera ke mantel diatasnya sehingga menyebabkan pelelehan (Sigurdsson, 2000)

Pembentukan Magma pada Zona Subduksi

Proses pembentukan magma diperoleh modelnya menggunakan titik leleh batuan

peridotit. Peridotit dipilih karena merupakan penyusun mantel sebagai sumber asal magma.

Pada batuan ini, pelelehan dapat terjadi karena perubahan 3 parameter dasar :tekanan (P),

temperatur (T) dan komposisi kimia (X), yaitu (Schmincke,  2003):

Page 8: MAGMATISME

Gambar 1.3. Tiga model pembentukan magma basa oleh pelelehan sebagian (partial melting) peridotit dimana

a= penambahan temperatur, b=pengurangan tekanan c=penambahan H2O dan CO2(Schmincke, 2003)

Kenaikan temperatur (T) pada kondisi P dan X yang konstan

Penurunan tekanan P pada T dan X yang konstan

Perubahan X pada P dan T yang konstan (terutama penambahan fluida khususnya

H2O dan CO2)

Kombinasi antara satu faktor dengan faktor yang lain (Lockwood & Hazlett, 2010)

Atom yang menyusun kristal/mineral mempunyai nomor proton dan elektron

tertentu, dan atom yang bermuatan sering disebut ion. Jika energi panas mengenai

ion tersebut, maka akan menyebabkan ikatannya melemah sehingga akhirnya terjadi

pelelehan (Lockwood & Hazlett, 2010). Jika terjadi fluxing atau percampuran antara

mineral dengan mineral/senyawa lainnya, titik pelelehannya bisa menjadi lebih

rendah (Lockwood & Hazlett, 2010)

·         Kenaikan temperatur pada P&X yang konstan

Berdasarkan percobaan pada peridotit, kenaikan temperatur pada tekanan dan

komposisi kimia konstan dapat menyebabkan suatu batuan mengalami pelelehan sebagian.

(Schimnke, 2003).

Page 9: MAGMATISME

Ada beberapa teori yang menyebutkan tentang sumber panas penyebab kenaikan

temperatur, salah satunya adalah peluruhan dari unsur-unsur radioaktif seperti U, Th dan K

yang jumlahnya melimpah sejak pembentukan bumi pada 4,6 milyar tahun yang lalu

(Schimnke, 2003) menjadi mineral-mineral yang lebih stabil dan ringan (Lockwood &

Hazlett, 2010). Panas ini terlepas secara konstan dengan cara bermigrasi ke permukaan

bumi yang lebih dingin dan akhirnya teradiasi ke atmosfer. Selain itu, sumber panas juga

bisa berasal dari proses friksi mekanik yang menghasilkan pelelehan sebagian contohnya

pada bagian dasar lempeng litosfer yang bergerak di sepanjang zona Wadati Benioff.

Tabel 1.1. Kontribusi relatif dari panas yang dihasilkan oleh peluruhan radioaktif berdasarkan studi

geonutrino (Araki et al (2005) dalam Lockwood & Hazlett (2010))

Penurunan Tekanan pada Suhu dan Komposisi Kimia yang tetap

Ketika temperatur dari suatu batuan mantel konstan, maka penurunan tekanan bisa

menyebabkan pelelehan sebagian (Schminke, 2003) karena tekanan akan menjaga ikatan

antar ion  tetap kuat  sehingga strukturnya tetap kristalin (Lockwood & Hazlett, 2010).

Dengan kata lain, panas internal dari batuan yang naik selama penurunan tekanan cukup

untuk memicu terjadinya pelelehan. Proses ini sangat tepat untuk sistem padatan kering,

contohnya ketidakhadiran fluida (Schminke, 2003)

            Proses penurunan tekanan dari material mantel yang naik merupakan mekanisme

pembentukan magma yang paling penting (Schminke, 2003) karena kebanyakan aktivitas

gunung api di dunia dihasilkan dari pelelehan karena penurunan tekanan ini (Lockwood &

Hazlett, 2010)

Penambahan unsur kimia pada suhu dan tekanan yang tetap

Page 10: MAGMATISME

Pada proses pembentukan magma yang ketiga, tekanan (P) dan temperatur (T)

adalah dalam kondisi konstan, akan tetapi dengan adanya penambahan fase fluida seperti

H2O dan CO2 maka akan menyebabkan titik pelelehan batuan menjadi lebih rendah.

Gambar 2.4. Grafik yang menunjukkan penurunan titik leleh akibat penambahan H2O dan CO2 pada magma.

Suhu pada saat magma belum terkena penambahan unsur kimia disebut dry solidus (Sigurdsoon, 2000)

Komposisi Magma

Magma merupakan istilah yang diberikan untuk campuran material padat dan cair 

yang bersifat mudah bergerak. Pada bumi, material cair (liquid)  ini merupakan campuran

dari silikat kompleks dan gas-gas terlarut seperti air, karbondioksida dan senyawa-senyawa

lainnya (Rogers & Hawkesworth, 2000). Karena batuan beku merupakan manifestasi

magma yang paling mudah diidentifikasi, maka komposisi magma biasa ditentukan

menggunakan komposisi batuan beku. Komposisi batuan beku diuraikan dalam bentuk

unsur mayor, unsur minor dan unsur jarang (Rogers & Hawkesworth, 2000). Unsur-unsur

tersebut menurut Rogers & Hawkesworth (2000) antara lain:

a. Unsur mayor adalah unsur yang mempunyai kelimpahan oksida > 1wt.%,

mengontrol sifat magma serta merupakan penyusun utama mineral esensial.

Contoh: SiO2,  Al2O3, FeO, Fe2O3, CaO, MgO dan Na2O

b. Unsur minor mempunyai kelimpahan oksida 0,1-1 % , sebagai pengganti dari

unsur mayor pada mineral esensial atau bisa membentuk sejumlah kecil mineral

aksesoris.

Page 11: MAGMATISME

Contoh: K2O, TiO2, MnO  dan P2O5

c. Unsur jarang mempunyai kelimpahan oksida < 0,1 % berat serta sebagai pengganti

dari unsur mayor maupun unsur minor pada mineral esensial maupun aksesoris.

Contoh: LILE (Cs, Rb, K, Ba, Sr, Pb), HFSE (Sc, Y, Th, U, Pb, Zr)

d. Unsur volatil dan oksida, pada bagian bumi yang dalam semua unsur volatil akan

larut dalam magma, tetapi ketika tekanan berkurang karena pergerakan magma

keatas maka gas akan membentuk fase uap yang terpisah dari magma (Nelson,

2012)

Contoh: H2O, CO2, SO2, F, Cl, etc.

I.1.3 Diferensiasi Magma

Proses Fraksinasi Kristalisasi Magma

Diferensiasi adalah proses dimana terbentuk magma turunan yang secara kimia dan

mineralogi berbeda dari magma asal (parental magma) (Schmincke, 2003). 

                   

Gambar 2.5. Ilustrasi proses fraksinasi kristalisasi pada dapur magma (Tarbuck & Lutgens, 2004)

Diferensiasi diperkirakan terjadi pada dapur magma dengan kedalaman lebih dari 10

kilometer di kerak bumi, ketika magma dalam kondisi stagnan, mendingin secara perlahan

dan mulai mengkristal (Schmincke, 2003). Proses diferensiasi meliputi dua hal yaitu

fraksinasi kristalisasi (mekanisme utama) dan asimilasi (Schmincke, 2003).

Page 12: MAGMATISME

Selama proses fraksinasi kristalisasi, kristal-kristal mineral yang lebih berat (berat jenis

tinggi) akan tenggelam dalam magma yang berkomposisi lebih asam membentuk timbunan

kristal (cumulates) (Schmincke, 2003).

Proses Asimilasi dan Magma Mixing

Proses diferensiasi yang lain yakni asimilasi dan percampuran magma (magma

mixing). Asimilasi ini merupakan perubahan komposisi magma, sebagai akibat adanya

reaksi antara magma dengan batuan dinding yang berkomposisi berbeda (Schmincke,

2003). Proses asimilasi ini bisa mengubah komposisi kimia magma secara lebih jauh

(Schmincke, 2003). Sedangkan percampuran magma (magma mixing) ini terjadi ketika

magma dari dua dapur magma yang berbeda menyatu sehingga membentuk magma baru

dengan komposisi campuran antara keduanya.

Gambar 2.6. Ilustrasi proses asimilasi dan proses percampuran magma yang terjadi pada dapur magma

(Tarbuck & Lutgens, 2004)

Selanjutnya, proses diferensiasi ini akan menyebabkan perubahan komposisi kimia

pada magma menjadi lebih asam (felsic) pada perjalanannya keatas sebelum mencapai

permukaan bumi. Magma yang sudah mengalami perubahan komposisi kimia akibat proses

diferensiasi ini disebut magma turunan (Schminke, 2003).

Page 13: MAGMATISME
Page 14: MAGMATISME

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Teknik Geologi.2005.Geologi Fisik.Bandung : ITB

www.google.com/gambarbusurmagmatisme ( diakses pada hari selasa 9 April 2013 pukul

11.00 )