madura secara umum

16
Legitimasi Carok Dalam Budaya Masyarakat Madura A. Pendahuluan Madura merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang termasuk dalam cakupan wilayah provinsi Jawa Timur. Letak pulau tersebut berada di sebelah timur pulau Jawa. Kondisi geografis pulau Madura dengan topografi yang relatif datar di bagian selatan dan semakin ke arah utara tidak terjadi perbedaan elevansi ketinggian yang begitu mencolok. Selain itu juga merupakan dataran tinggi tanpa gunung berapi dan tanah pertanian lahan kering. Menurut Alwi (2001), masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik lain (Pogolamum, 2013). Keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografis hidraulis dan lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus sehingga cara mempertahankan kehidupannya lebih banyak melaut sebagai mata pencaharian utamanya. Masyarakat Madura dibentuk oleh kehidupan bahari yang penuh tantangan dan resiko sehingga memunculkan keberanian jiwa dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak dasar bentukan iklim 1

Upload: khamim-fariyanto

Post on 02-Feb-2016

14 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pulau madura

TRANSCRIPT

Page 1: Madura Secara Umum

Legitimasi Carok Dalam Budaya Masyarakat Madura

A. Pendahuluan

Madura merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang termasuk dalam

cakupan wilayah provinsi Jawa Timur. Letak pulau tersebut berada di sebelah timur

pulau Jawa. Kondisi geografis pulau Madura dengan topografi yang relatif datar di

bagian selatan dan semakin ke arah utara tidak terjadi perbedaan elevansi ketinggian

yang begitu mencolok. Selain itu juga merupakan dataran tinggi tanpa gunung berapi

dan tanah pertanian lahan kering.

Menurut Alwi (2001), masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang

khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada

pengertian bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak

serupa dengan etnografi komunitas etnik lain (Pogolamum, 2013). Keunikan budaya

Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan

topografis hidraulis dan lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus sehingga

cara mempertahankan kehidupannya lebih banyak melaut sebagai mata pencaharian

utamanya. Masyarakat Madura dibentuk oleh kehidupan bahari yang penuh

tantangan dan resiko sehingga memunculkan keberanian jiwa dan fisik yang tinggi,

berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur,

serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak dasar bentukan iklim bahari yang

demikian, kadangkala diekspresikan secara berlebihan sehingga memunculkan

konflik dan tindak kekerasan fisik. Perilaku penuh konflik disertai tindak kekerasan

tersebut dikukuhkan dan dilekatkan sebagai keunikan budaya pada tiap individu

kelompok atau sosok komunitas etnik Madura.

Penghormatan yang berlebihan atas martabat dan harga diri etniknya itu

seringkali menjadi akar penyebab dari berbagai konflik dan kekerasan. Seringkali

keunikan budaya melahirkan perilaku absurd berupa sikap defensif sebagian

kelompok etnik Madura. Misalnya, orang Madura dikenal mudah tersinggung harga-

dirinya dan kemudian marah-marah, kemudian memilih alternatif solusi atas

ketersinggungannya itu melalui kekerasan fisik, berupa carok.

Sikap orang Madura yang dengan mudah dapat tersinggung harga dirinya,

dan melampiaskannya dengan melakukan tindak kekerasan, oleh etnik lain dinilai

1

Page 2: Madura Secara Umum

sebagai stereotipe negatif. Penggunaan istilah stereotipe dalam etnografi diartikan

sebagai konsepsi mengenai sifat atau karakter suatu kelompok etnik berdasarkan

prasangka subjektif yang tidak tepat oleh kelompok etnik lainnya (Alwi, 2001).

Perilaku dan pola kehidupan kelompok etnik Madura tampak sering dikesankan atas

dasar prasangka subjektif oleh orang luar Madura. Kesan demikian muncul dari suatu

pencitraan yang tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun negatif. Mustofa (2001)

memberikan contoh stereotip etnis Madura di Kalimantan diantaranya

bertemperamen keras dan kasar (kecuali yang dari Sumenep), arogan, keras, mudah

tersinggung, angkuh, pendendam, suka carok karena balas dendam (Pogolamum,

2013).

Orang Madura yang melakukan tindakan kekerasan, dalam bentuk carok

untuk membela harga diri dan kehormatan akan dinilai dan dipandang memiliki

keberanian sebagai seorang blater. Orang Madura yang mengambil jalan ‘toleran’,

bukan tindakan carok ketika dihadapkan dengan kasus-kasus pembelaan harga diri

seperti di atas akan dipandang oleh masyarakat Madura sebagai orang atau keluarga

yang tidak memiliki jiwa keblateran.

Banyak kasus menunjukkan di dalam masyarakat, yakni seseorang yang

sebelumnya dipandang bukan sebagai golongan blater, disebut sebagai blater oleh

warga lainnya karena berani melakukan carok. Apalagi menang dalam adu kekerasan

carok itu. Jadi penyebutan masyarakat atas sosok blater dalam hal ini sangat erat

kaitanya dengan keberanian melakukan carok dalam menghadapi konflik dan

permasalahan di dalam lingkungan masyarakat.

Di sini carok dijadikan sebagai arena legitimasi untuk mengukuhkan status

sosial seseorang sebagai seorang blater. Jadi identitas keblateran dapat merujuk pada

sifat pemberani, angkuh dan punya nyali menempuh jalur kekerasan dalam

penyelesaian konflik harga diri. Meskipun carok bukanlah satu-satunya arena untuk

melegitimasi status seseorang menjadi blater. Masih banyak arena sosial lainnya

yang membentuk dan memproses seseorang menjadi blater. Misalnya, kedekatan

seseorang dengan tradisi kerapan sapi, sabung ayam, jaringan kriminalitas dan remoh

blater. Seseorang sudah memiliki identitas dan status sosial sebagai seorang blater

eksistensinya memiliki posisi sosial tertentu di dalam masyarakat Madura. Sosok

2

Page 3: Madura Secara Umum

blater selalu disegani dan dihormati secara sosial. Sangat jarang sekali ditemukan

seseorang yang sudah dikategorikan sebagai blater dipandang rendah secara sosial.

B. Pembahasan

Carok oleh masyarakat madura dianggap semata-mata sebagai urusan laki-

laki bukan urusan perempuan karena semua pelaku carok adalah laki-laki sehingga

pembunuhan terhadap perempuan tidak disebut sebagai carok tetapi sebagai

pembunuhan biasa atau mate’e oreng.

Pengertian carok adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan

menggunakan senjata tajam pada umunya celurit yang dilakukan oleh orang laki-laki

dewasa terhadap laki-laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap

harga diri, terutama berkaitan dengan masalah kehormatan istri sehingga membuat

malo.

Carok adalah sebuah bentuk pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh

orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah demi

kehormatan.

1. Pandangan tentang carok

Kasus carok kebanyakan bersumber dari perasaan malo atau perasaan terhina

karena harga dirinya dilecehkan. Sebelumnya kita bedakan arti dari malo dan todus

terlebih dahulu. Todus muncul dari dalam diri seseorang sebagai akibat dari tindakan

dirinya sendiri yang menyimpang dari aturan-aturan normatif. Malo muncul sebagai

akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas

dirinya sehingga yang bersangkutan merasa menjadi tada’ ajhina yang berarti

eksistensi diri yang dianggap sudah tidak mempunyai arti atau makna lagi. Bagi

orang Madura, tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari

peran sosial pada gilirannya akan menimbulkan perasaan malo. Dengan demikian,

ada tidaknya tindakan pelecehan harga diri merupakan indikator penting untuk

membedakan antara malo dan todus.

Orang Madura yang malo karena dilecehkan harga dirinya kemudian

melakukan carok disebut sebagai pelaku carok. akan tetapi, ketika carok benar-benar

terjadi, yang dimaksud dengan pelaku carok adalah kedua belah pihak, baik pihak

yang merasa harga dirinya dilecehkan (yang menyerang) maupun pihak yang

3

Page 4: Madura Secara Umum

dianggap melakukan pelecehan itu (yang diserang). Apabila seorang laki-laki yang

dilecehkan harga dirinya, namun kemudian ternyata tidak berani melakukan Carok,

orang Madura akan mencemoohnya sebagai tidak laki-laki (lo’lake). Bahkan,

beberapa masyarakat justru menyebutnya sebagai bukan orang Madura.

Bagi pelaku carok yang menang dan tergolong sebagai orang jago, ada

kecenderungan akan selalu menyimpan celurit yang pernah digunakan ketika

membunuh musuhnya sebagai bukti atas kemenangannya itu. Celurit ini disimpan

dan dirawat dengan baik, tanpa mengusik sedikit pun sisa-sisa darah yang masih

melekat, meskipun akhirnya menjadi kering dan terlihat sebagai bercakbercak hitam.

Bercak-bercak darah inilah yang menjadi tanda bukti kepada semua orang bahwa

celurit itu pernah dipakai untuk membunuh musuhnya. Dengan demikian, celurit

tersebut menjadi simbolisasi kemenangannya.

Rasa kultural yang menimbulkan rasa maloh dapat menimbulkan tindakan

kekerasan atau carok di dalam pengalaman orang Madura berkaitan dengan kasus-

kasus berikut ini; 1) gangguan atas istri. Orang Madura akan mudah terpancing dan

melakukan pembelaan dalam bentuk carok kalau istrinya diganggu. Begitu juga

dengan adanya sikap cemburu, kalau kemudian terjadi perselingkuhan sang istri

dengan orang lain. Lelaki yang berselingkuh dengan istri orang itulah yang akan

menjadi sasaran dari sang suami. 2) Balas dendam. Upaya melakukan pembalasan

bila terdapat diantara salah satu anggota keluaraga yang terbunuh. 3)

Mempertahankan martabat dan 4) Mempertahankan harta warisan (Wiyata, 2002).

Jadi dalam peristiwa carok motif dan sasarannya sangat jelas, yakni individu yang

sedang saling berselisih paham yang sulit didamaikan karena sudah menyangkut

harga diri yang terluka.

Tindakan mengganggu istri orang atau perselingkuhan merupakan bentuk

pelecehan harga diri paling menyakitkan bagi laki-laki Madura. Oleh karena itu,

tidak ada cara lain untuk menebusnya kecuali membunuh orang yang

mengganggunya. Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang

banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa yang mengganggu

istri saya, oleh karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan manifestasi dari

martabat dan kehormatan suami saya, oleh dari martabat dan kehormatan suami,

karena istri adalah bhantalla pate (landasan kematian) (Wiyata, 2002).

4

Page 5: Madura Secara Umum

Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai aghaja’

nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau

mempermainkan nyawa. Dalam kehidupan sosial di antara hak-hak dan kewajiban

itu, boleh jadi hak-hak dan kewajiban masyarakat, misalnya dalam konteks carok,

perlindungan terhadap perempuan (istri), menjadi bagian dari kewajiban masyarakat,

sehingga tindakan mengganggu kehormatan mereka selalu dimaknai sebagai

tindakan arosak atoran (merusak tatanan sosial).

Tindakan mengganggu kehormatan istri, selain dianggap tindakan yang

melecehkan harga diri suaminya, juga dianggap merusak tatanan sosial. Oleh karena

itu, menurut pandangan orang Madura, pelakunya tidak bisa diampuni dan harus

dibunuh. Jika terjadi permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada dua alternatif

yang akan dilakukan oleh seorang suami. Pertama, alternatif ini sudah merupakan

suatu keharusan yang tidak boleh ditawar lagi (membunuh laki-laki yang telah

mengganggu itu). Kedua, membunuh dua-duanya, yaitu laki-laki yang dianggap telah

mengganggu sekaligus dengan istrinya. Alternatif pertama biasanya diambil jika

suami menyadari bahwa tindakan laki-laki pengganggu istrinya sudah diyakini

terjalin hubungan cinta maka alternatif kedua yang akan dipilihnya. Lebih lebih jika

suami mengetahui atau menyaksikan sendiri secara langsung adanya persetubuhan

antara keduanya (Harry, 2008).

2. Pelaksanaan Carok

Pembahasan mengenai pelaksanaan Carok ini akan difokuskan pada siapa

yang melakukan (termasuk siapa yang menjadi sasaran), bagaimana cara melakukan,

kapan waktu melaklukan, di mana lakukan, dan alat apa yang dipergunakan.

Mengenai siapa yang melakukan Carok, semua data empiris secara jelas menunjuk

semua orang yang merasa harga dirinya telah dilecehkan sehingga merekalah yang

selalu berinisiatif melakukannya. Akan tetapi, ketika Carok terjadi, pengertian Carok

adalah kedua pihak yang terlibat dalam Carok itu.

Jika Carok dilakukan oleh lebih satu orang, pasti pelaku Carok dibantu oleh

kerabat dekatnya (taretan dalem) yang memiliki sifat sebagai orang jago. Bahkan,

bisa juga kerabat yang ikut membantu Carok, meskipun termasuk kerabat dekat. Jika

terjadi Carok balasan oleh pihak yang kalah terhadap pihak yang menang,

kemungkinan yang akan melakukannya pertama-tama adalah orang tua; jika orang

5

Page 6: Madura Secara Umum

tua tidak mampu karena alasan usia telah tua atau alasan tertentu, maka kemungkinan

yang lain adalah saudara kandung (kakak atau adik) atau kerabat dekatnya, seperti

saudara sepupu. Incaran atau sasaran utama dalam Carok balasan adalah orang yang

menang dalam Carok sebelumnya (musuhnya). Agustinus, (2008) mengungkapkan

bahwa biasanya Carok balasan tidak dapat segera dilakukan karena musuh sedang

menjalani hukuman di penjara yang rata-rata di pidana antara tiga sampai lima tahun

(Henry & Krishna, 2012).

Pihak Kepolisian menerapkan metode ilmiah (melalui laboratorium forensik)

dalam pemeriksaan darah korban Carok. Kebiasaan menyimpan celurit yang pernah

dipakai untuk Carok (yang secara hukum positif merupakan tindakan menghilangkan

barang bukti) tidak pernah terjadi lagi. Sebab, melalui metode ilmiah tersebut, pihak

kepolisian dapat membedakan secara pasti apakah darah yang masih menempel di

celurit itu darah manusia atau bukan. Sebelum metode ilmiah itu diterapkan, pelaku

Carok dapat dengan mudah memanipulasi barang bukti tersebut dengan cara

mengganti cerulit yang dipakai untuk membunuh dengan celurit yang telah dilumuri

oleh darah hewan (biasanya ayam, karena dianggap lebih mudah diperoleh). Celurit

sebagai barang bukti yang asli disimpan, sedangkan celurit yang telah dimanipulasi

diserahkan kepada aparat Kepolisian untuk dijadikan barang bukti.

Pandangan tentang adanya tekanan stuktur sosial ini setidaknya akan

memberikan pandangan baru dalam melihat kasus kekerasan dalam suatu etnis

tertentu. Termasuk adanya kemungkinan nilai-nilai kultural yang dilestarikan oleh

lembaga sosial tertentu. Atau jaga dalam perkembangan jaman modern ini ada faktor

lain yang lebih berpengaruh. Misalkan tekanan ekonomi dan persaingan tidak sehat

yang menjadikan individu sulit mencapai stuktur social tertentu. Sehingga sikap

mental suka menerobos yang menjadi cap popular Bangsa kita, harus kembali

menampakkan hidungnya. Hal ini bisa terungkap kalau kita dapat memahami makna

Carok pada awalnya dengan peristiwa Carok yang terjadi saat ini.

3. Legitimasi Carok

Penghormatan yang berlebihan atas martabat dan harga diri etniknya itu

seringkali menjadi akar penyebab dari berbagai konflik dan kekerasan. Seringkali

keunikan budaya melahirkan perilaku absurd berupa sikap defensif sebagian

kelompok etnik Madura. Misalnya, orang Madura dikenal mudah tersinggung harga-

6

Page 7: Madura Secara Umum

dirinya dan kemudian marah-marah, kemudian memilih alternatif solusi atas

ketersinggungannya itu melalui kekerasan fisik, berupa carok.

Secara hukum dalam pemerintah, carok dikategorikan sebagai tindakan

kriminal yang mengacu pada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Sesuai dengan Pasal-Pasal tersebut, carok dikategorikan sebagai

pembunuhan (pasal-pasal 338 dan 340) atau penganiayaan berat (pasal-pasal 351,

353, 354, dan 355).

Dalam konteks hukum formal, carok merupakan manifestasi keberanian

pelakunya dalam hal melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam KUHP,

sehingga mereka harus menjalani sanksi hukuman penjara selama bertahun-tahun

sebagai pelaku tindakan kriminal berat. Menurut KUHP, mereka dincam sanksi

pidana berupa hukuman penjara maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup,

atau hukuman penjara selama-lamanya 20 tahun. Akan tetapi, ancaman sanksi

hukum ini dalam prakteknya cenderung tidak diterapkan secara konsisten, bahkan

terkesan sangat ringan, karena para pelaku carok biasanya hanya menjalani hukuman

penjara tidak lebih dari sepuluh tahun (Wiyata, 2002).

Menurut (Mien, 2007) referensi-referensi yang berasal dari peribahasa-

peribahasa Madura atau yang biasa disebut ca’-oca’an dapat memberikan gambaran

secara umum mengenai kebiasaan-kebiasaan, perilaku, stereotipe dan karakteristik

orang Madura, selain itu ca’-oca’an ini dijadikan pegangan hidup bagi orang

Madura. Terdapat berbagai peribahasa Madura terkait perilaku carok diantaranya

adalah:

Ungkapan yang menyatakan mon lo’ bangal acarok jha’ ngako oreng

Madhura yang artinya jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai

orang Madura. Jadi, orang Madura melakukan carok bukan karena semata-mata tidak

mau dianggap sebagai penakut meskipun sebenarnya takut mati melainkan juga agar

dia tetap dianggap sebagai orang Madura. Bila demikian halnya, Carok juga berarti

salah satu cara orang Madura untuk mengekspresikan identitas etnisnya. Itu semua

semakin memperkuat anggapan bahwa Carok bukan tindakan kekerasan pada

umumnya, melainkan tindakan kekerasan yang sarat dengan makna-makna sosial

budaya sehingga harus dipahami sesuai dengan konteksnya (Harry, 2008).

7

Page 8: Madura Secara Umum

Ungkapan yang berbunyi oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’

yang artinya laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan semakin

mempertegas anggapan tersebut. Ungkapan ini mengindikasikan bahwa orang

Madura memaknai carok sebagai sesuatu hal yang mempunyai kesamaan dengan

melahirkan, karena keduanya sama-sama mengandung resiko kematian. Bagi orang

Madura sudah pada tempatnya jika seorang laki-laki mati terbunuh dalam peristiwa

carok. Begitu pula dengan orang perempuan, sudah pada tempatnya jika mati ketika

melahirkan anak (Wiyata, 2002).

Ungkapan yang menyatakan, ango’an poteya tolang etembang poteya mata

atau “lebih baik mati-putih tulang, daripada menanggung perasaan malu-putih mata”.

Bahkan, ungkapan yang lebih tegas adalah tambhana todus, mate (obatnya malu

adalah mati). Makna ungkapan-ungkapan dalam budaya Madura tersebut adalah

bahwa tindakan pembunuhan perlu dilakukan untuk membela atau mempertahankan

harga diri dan kehormatan. Oleh karena itu, tindakan tersebut selain dibenarkan

secara kultural juga mendapat persetujuan atau legitimasi sosial.

Ungkapan yang menyatakan lokana daghing bisa ejhai’, lokana ate tada’

tambhana kajhabhana ngero’ dara yang artinya adalah “daging yang terluka masih

bisa dijahit, namun jika hati yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah.

Ungkapan tersebut mengindikasikan bahwa luka secara fisik masih dapat

disembuhkan akan tetapi luka hati akibat pelecehan terhadap harga diri orang

Madura harus diobati dengan membunuh orang yang melecehkan yaitu melalui

carok.

4. Respon Masyarakat

Respon masyarakat terhadap peristiwa carok dapat dibagi menjadi respon dari

pihak keluarga pemenang, respon dari pihak keluarga yang kalah dan respon atau

tanggapan dari masyarakat. Tanggapan dari keluarga yang menang merasa bangga

dan puas. Tanggapan dari keluarga yang kalah akan merasa dendam terlebih jika

carok dilakukan dengan nyelep dianggap sebagai pengecut. Mengenai tanggapan

masyarkat luas terhadap carok, pada umumnya mereka tidak menyalahkan para

pelaku yang membunuh lawan-lawannya, baik dengan cara berhadap-hadapan

maupun nyelep.

8

Page 9: Madura Secara Umum

Tanggapan negatif datang dari paramedis, jika mereka kebetulan sedang

menangani korban-korban carok mereka tidak pernah melakukan pembiusan ketika

luka-luka parah yang dideritanya harus dijahit atau dioperasi. Selain itu, cara

menjahit luka-luka tersebut dilakukan dengan sembarangan sehingga para pelaku

carok selalu berteriak kesakitan selama pengobatan berlangsung. Semua ini

dimaksudkan agar pelaku carok menjadi jera dan tidak melakukan carok lagi.

Tanggapan negatif dalam bentuk penyiksaan seperti ini tampaknya tetap tidak efektif

untuk membuat para pelaku carok jera.

Biasanya orang yang berdekatan dengan mereka dan melihat bekas-bekas

luka itu kemudian selalu cenderung menunjukkan sikap dan perilaku yang terkesan

menghormatinya, sikap dan perilaku ini dapat ditafsirkan sebagai pemberian

legitimasi atas carok yang dilakukan oleh orang-orang jagoan tersebut. Sikap dan

perilaku hormat tersebut akan lebih ditunjukkan, jika para jagoan menunjukkan juga

sikap sopan dan menghargai orang lain. Tetapi pada kenyataannya para jagoan

tersebut malah menunjukkan sikap dan perilaku yang sombong. Bila ini terjadi,

justru akan lebih mudah memancing konflik yang berakibat pada terjadinya carok.

C. Kesimpulan:

Berdasarkan beberapa temuan dari beberapa studi tentang carok dan

kekerasan, sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada

beberapa kebudayaan termasuk kebudayaan Madura, tindakan kekerasan

(pembunuhan), selain mendapat pembenaran secara kultural, juga dilegitimasi dan

selalu memperoleh persetujuan sosial apabila tindakan kekerasan (pembunuhan) itu

bertujuan untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan.

Orang Madura yang malo karena dilecehkan harga dirinya kemudian

melakukan Carok disebut sebagai pelaku Carok. Akan tetapi, ketika Carok

benarbenar terjadi, yang dimaksud dengan pelaku Carok adalah kedua belah pihak,

baik pihak yang merasa harga dirinya dilecehkan (yang menyerang) maupun pihak

yang dianggap melakukan pelecehan itu (yang diserang).

Mengenai siapa yang melakukan Carok, semua data empiris secara jelas

menunjuk semua orang yang merasa harga dirinya telah dilecehkan sehingga

9

Page 10: Madura Secara Umum

merekalah yang selalu berinisiatif melakukannya. Akan tetapi, ketika Carok terjadi,

pengertian pelaku Carok adalah kedua pihak yang terlibat dalam Carok itu.

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III.

Jakarta: Depdiknas RI Dan Balai Pustaka.

Arianto, Henry., & Krishna. 2012. Tradisi Carok Dalam

Masyarakat Adat Madura. Jakarta: Universitas Esa Unggul.

Harry, Purwanto.“Tidak Terima Istri Diselingkuhi, Clurit

Bicara”. (www.detiknews.com) diakses 15 September 2015.

Pogolamum, Liberatus. 2013. Tradisi Carok Pada Masyarakat

Madura Menurut Perspektif Teori Relativisme Moral. Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada.

Rifai, Mien A. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media.

Wiyata, A. Latief. 2002. Carok; Konflik Kekerasan dan Harga

Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS.

10