madrasah dan transmisi ilmu pengetahuan (jadi)
DESCRIPTION
CekidotTRANSCRIPT
MADRASAH DAN TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN
A. Pendahuluan
I. Kebangkitan Institusi Madrasah
Pendidikan Islam, merupakan tema yang cukup luas. Ia mempunyai sejarahnya yang
panjang, karena muncul dan berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri.
Pendidikan Islam juga merupakan tema yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan
tema dakwah Islamiah, karena pada dasarnya ia merupakan bagian dari upaya dakwah
Islamiah itu sendiri. Makanya jelas, tidak cukup hanya membatasinya dengan satu atau
dua jenis pendidikan.
Dalam konteks keberagamaan, pendidikan Islam terjadi atas dasar dua hal yang menjadi
titik tolak (orientasi) nya. Kedua hal itu adalah pertama, pandangan bahwa Islam harus
dibumisasikan. Pandangan ini berangkat dari keyakinan bahwa Islam merupakan “bahasa
Tuhan” yang masih “melangit”, dan harus diturunkan. Artinya Islam sebagai agama,
diyakini mengandung ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan, dan karenanya bersifat
absolut dan mutlak yang harus diterima oleh pemeluknya.1 Makanya, –seperti
ditunjukkan– tugas kenabian, antara lain, adalah “membacakan ayat-ayat Kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah, serta
mengajarkan kamu apa-apa yang belum kamu ketahui”.2 Dan yang kedua, pandangan
bahwa manusia membutuhkan Islam. Kita dapat mengingat betapa Nabi Ibrahim
1 Prof. DR. Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pikiran, (Bandung ; Mizan, IV/1996), p. 88
2 Al Qur an Surat 2 ; 151
1
bersusah-payah mencari Tuhan-nya.3 Pandangan kedua ini lebih menempatkan persoalan
manusia dan kemanusian pada posisi sentral.
Berkaitan dengan upaya dakwah Islamiah, sebagaimana digambarkan di atas, pada masa
awal perkembangan Islam, proses pendidikan berlangsung, meski lebih bersifat informal
(dalam arti, belum bersifat formal). Maka di sini, bisa dimengerti, jika proses pendidikan
Islam pada awalnya berlangsung di rumah sahabat tertentu (yaitu rumah al-Arqam,
misalnya). Baru setelah masyarakat Islam terbentuk, pendidikan diselenggarakan di
masjid, dalam halaqah, majlis al-tadris, dan kuttab.4 Sementara pendidikan dalam arti
formal baru muncul pada masa lebih belakangan, yaitu dengan kebangkitan madrasah.
Madrasah pertama, sebagaimana diakui para sejarawan, adalah didirikan di Baghdad pada
tahun 459/1067, yaitu oleh Nidzam al-Mulk, seorang wazir (‘Perdana Mentri’)
pemerintahan Saljuk. Madrasah, yang tipikal Sunni dengan komitmen pada doktrin
Asy’ariyah dalam kalam dan ajaran Syafi’I dalam fiqh itu kemudian dikenal dengan
madrasah Nidzamiyah.5 Tidak begitu lama setelah itu, di beberapa wilayah seperti di
Basrah, Mosul, Isfahan, dan lain-lain didirikan juga madrasah serupa. Bahkan langkah ini
juga diikuti oleh penguasa muslim lain.6 Madrasah-madrasah ini berfungsi tidak hanya
sebagai institusi bagi transmisi keilmuan, tetapi juga sebagai locus utama reproduksi
ulama. Sampai akhir abad ke-13, madrasah-madrasah ini menjadi wahana utama bagi
kebangkitan Sunni.
3 Al Qur an Surat 6 ; 75-804 Munir ud-Din Ahmed, Muslin Education and the Scholars’ Social Status up the 5th centuri
Muslim Era (11th Century Christian Era), Zurich: Verlag der Islam, 1968, p. iv-vii, 52-84; A.S. Tritton, Materials on Muslim Education in the Midle Ages, (London: Luzac, 1957), p. 98-129
5 George Makdisi, “Muslim Institution of Learning in Eleventh Century Baghdad”, BSOAS, 24, 1961, p. 1-64
6 Bayard Dodge, Muslim Education in Medievel Times, (Washington, D.C.: The Midle East Institut, 1962), hal 19-24
2
II. Madrasah dan Problem Dikotomi Ilmu
Perlu dicatat bahwa madrasah-madrasah itu dibangun oleh penguasa (pemerintah!) atau
atas harta waqaf dari para dermawan. Inilah yang kemudian sebagian sejarawan
menyimpulkan bahwa kecuali motivasi keagamaan, pendirian madrasah itu didorong oleh
motivasi sosial-ekonomi dan politik. Mehdi Nakosteen misalnya menyatakan, dengan
berdirinya madrasah, pendidikan Islam memasuki periode baru yaitu menjadi fungsi
negara; sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi
politik.7 Namun Fazlur Rahman adalah orang yang pesimis terhadap teori ini, dia
menyatakan, adalah tidak benar bahwa madrasah itu sebagai kontra-propaganda terhadap
syi’isme,8 bahkan kemenangan Islam Sunni bukan berkat dukungan negara, sebaliknya
kebijakan negara selalu mendukung kecendrungan yang sudah berakar di antara
mayoritas masyarakat.9
Memang secara konseptual, umat Islam sudah sangat akrab dengan persoalan
(kepedulian) sosial dan pendistribusian kekayaan, karena dengan amal sosial itu, mereka
memperoleh kedudukan terhormat, di samping memang sebagai rasa syukur mereka
terhadap Tuhan.10 Menurut catatan Makdisi, para dermawan (yang juga wâqif) itu bebas
memilih dan menentukan apa corak lembaga yang diberi harta waqaf itu.11 Bahkan pada
tingkat tertentu, berkaitan dengan suatu madzhab tertentu, lembaga tersebut dapat
7 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Jakarta; Risalah Gusti, 1996), p. 50
8 Fazlur Rahman, Islam, (New York; Anchor Books, 1968), p. 1849 Ibid, hal 18610 Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, The Classical Period A.D. 700-1300,
(USA; Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 1990), p. 3411 George Makdisi, The Rise of Colleges of Learning in Islam and the West., (Endinburgh;
Endinburgh University Press, 1992), p. 35
3
digunakan untuk menyebarluaskan paham yang diakuinya. Dengan demikian para wâqif
mempunyai andil besar untuk mengendalikan lembaga yang bersangkutan.12
Sepanjang sejarah Islam, menurut Azyumardi Azra, madrasah (dan juga al-jâmiah) selalu
diabdikan terutama kepada al-‘ulûm al-dîniyyah dengan penekanan khusus pada bidang
fiqh, tafsir dan hadits.13 Meski ilmu-ilmu seperti ini memberikan peluang kepada akal
untuk melakukan ijtihad, namun dalam prakteknya hanyalah sekedar memberikan
penafsiran baru dalam kerangka atau prinsip-prinsip doktrin yang mapan dan disepakati.
Dengan demikian, ilmu-ilmu “non agama” (profan), khususnya ilmu-ilmu alam dan
eksakta, sejak awal perkembangan madrasah sudah berada pada posisi yang marjinal.
Memang sebelum keruntuhan teologi Mu’tazilah pada masa al-Makmun (198-218/813-
833), mempelajari ilmu-ilmu umum bukan tidak ada sama sekali dalam kurikulum
madrasah. Tetapi dengan ‘pemakruhan’ (atau bahkan ‘pengharaman’) penggunaan nalar,
ilmu-ilmu umum ini dicurigai dan dihapuskan dari kurikulum madrasah.14 Meskipun
harus dicatat juga, bahwa ini bukan berarti tidak ada lagi yang mempelajari ilmu umum
ini. Mereka yang cendrung dan masih berminat, terpaksa mempelajarinyanya secara
individu, atau bahkan “dibawah tanah”, karena mereka dipandang ‘subversif’ yang dapat
menggugat kemapanan doktrin Sunni, terutama dalam bidang kalam dan fiqh. Memang
ada madrasah al-thibb, namun madrasah kedokteran ini tidak dapat mengembangkan
ilmu kedokteran dengan layak, karena sering terbentur dengan gugatan para ahli fiqih
yang misalnya, tidak memperkenankan penggunaan organ mayat sekalipun, untuk
dibedah dan diselidiki.15 Dengan demikian, jika pada masa al-Makmun perkembangan
12 Charles Michael Stanton, Op. Cit., p. 35-3613 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellinium Baru, (Jakarta:
Logos, 1999), p. ix14 Ibid.15 Isma’il R. al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York, 1986), p.
324-325
4
ilmu (barangkali juga teknologi) mencapai puncaknya, maka hampir dapat dipastikan
tidak lahir dari madrasah.
Pemilahan secara ketat antara ilmu agama dan ilmu umum (secara dikhotomis dan
antagonis), bahkan supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama, pada gilirannya
berdampak cukup luas, tidak hanya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di dalam
Islam tetapi juga pada peradaban Islam secara umum. Inilah barangkali yang menjadi
alasan kenapa problem klasifikasi (dan herarki) ilmu menjadi concern para ilmuwan
Islam kala itu. Yang adalah untuk mempertemukan dan pada akhirnya –diharapkan-
menghilangkan supremasi satu ilmu atas yang lain. Tetapi, seperti yang sekarang kita
alami, rupanya usaha tidak membuahkan hasil.
III. Madrasah dan Dominasi Ilmu Fiqih
Pendidikan Islam yang dilaksanakan melalui sistem madrasah, berjalan seiring dengan
perkembangan yang telah mencetak dan melahirkan berbagai bentuk intelektualisme. Di
mana pada awalnya ‘ilmu’ kalam dan fiqih telah ‘bersatu’ sebagai materi utama
madrasah, disusul ilmu Hadits dan Tafsir. Namun orientasi syari’ah, sebagaimana
ditampilkan para fuqaha’ tampaknya lebih dominan.16 Sementara kalam ortodoks,
sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman, hanyalah sebagai reaksi balik atas faham
Khawarij dan lebih khusus lagi faham Mu’tazilah.17 Karenanya, kata Rahman, meskipun
awalnya kedua ilmu itu mengaku sebagai pembela hukum, dalam rangka bersaing
‘memperebutkan’ kedudukan puncak dalam skema ilmu pengetahuan Islam, ia justru
16 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998/viii). P. 67
17 Fazlur Rahman, “Trend Baru Kajian Islam”, Jurnal PESANTREN, No.4/ Vol. III/1986, p. 5
5
tampil sebagai pengganti filsafat-rasional.18 Dan akhirnya menjadi suatu disiplin
tersendiri.
Sementara mistisisme juga tidak pernah menemukan jalan masuk ke dalam sistem
pendidikan resmi dan karena itu mencari tempatnya sendiri dalam pusat-pusat sufisme,
meskipun bukan tidak lazim para calon ulama yang belajar di madrasah, juga terlibat
sebagai murid seorang Syekh Sufi, baik selama maupun setelah pendidikan madrasah
mereka. Tradisi keilmuan sufistik kemudian ‘ditampung’ dalam apa yang disebut ribath.
Keberadaan ribath ini dimaksudkan tidak saja sebagai pusat praktik sufi, tetapi juga
terlibat dalam proses keilmuan Islam,19 bahkan proses pendidikannya lebih “bebas”
ketimbang di madrasah, meskipun memang muatan materinya ada terdapat perbedaan.20
Munculnya ‘institusi’ ribath ini, menjadikan tradisi keilmuan yang berorientasi syari’ah
sebagaimana dikembangkan para fuqaha’ dan tradisi keilmuan sufistik seperti dipahami
kaum sufi sebagai ‘mitra’ yang saling mengisi. Kenyataan ini mengindikasikan, sufisme
mulai diterima sebagai bagian dari doktrin sunni, meskipun baru sepenuhnya diterima ke
dalam pelukan ortodoksi sunni, menjelang abad ke-15.21
Kecuali ilmu berhitung dasar, ulama sunni tampak mengesampingkan pengajaran filsafat,
dan matematika. Menurut Fazlur Rahman, sikap ini dipilih adalah untuk memberikan
kedudukan yang utama bagi ilmu hukum fiqih.22 Hanya terdapat beberapa madrasah saja,
khususnya di Persia, yang mengajarkan beberapa bidang ilmu-ilmu yang diharamkan
pada madrasah-madrasah Sunni, seperti filsafat dan ilmu pasti.23 Demikianlah, jika
18 Fazlur Rahman, Islam.. Op. Cit. p. 18719 Tentang peranan ribath dan institusi sufi lainnya dalam proses keilmuan, lihat Sa’id Isma’il ‘Ali,
Ma’ahid al-Ta’lim al-Islam, (Kairo: Dar al-Tsaqafah, 1978), p. 249-25720 A.S. Tritton, Op. Cit. p. 108, 110-11221 George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West.,
(Endinburgh: Endinburgh University Press, 1990), p. 59, 7422 Fazlur Rahman, Islam.. Op. Cit, p. 18723 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, (London: 1976), p. 17-19
6
selama ini kita mengenal ilmu Fiqh, Tasawuf, Falsafah, dan Ilmu Kalam, sebagaimana
disebutkan Nurcholish Madjid, merupakan empat keilmuan klasik yang telah tumbuh dan
menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam,24 maka sebenarnya ilmu fiqihlah
yang diberikan kedudukan paling dominan.
Mengapa ilmu fiqih bisa begitu dominan dalam lembaga pendidikan Islam? menurut
Azyumardi Azra, hal itu terjadi setidaknya ada tiga alasan.25 Pertama, ini berkaitan
dengan pandangan tentang ketinggihan syariah dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya dalam
hirarki keilmuan Islam. Kedua, secara institusional, lembaga-lembaga pendidikan Islam
memang dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang-bidang agama. Mereka, bahkan
berhasil membangun struktur akademis yang cukup canggih dan elaborate. Karena itu
dalam kelembagaan madrasah yang baik, misalnya, terdapat masyyakhat al-Qur’an
(professorship – kegurubesaran al-Qur’an), masyyakhat al-Hadits, masyyakhat al-Nahwu
dan sebagainya. Sebaliknya, tidak dikenal, misalnya masyyakhat al-kimiyya, masyyakhat
al-thibb dan seterusnya dalam struktur akademis madrasah. Lebih jauh, sebagai sebuah
kelompok fungsional, para fuqaha’ terbentuk menjadi kelompok cukup padu karena
dukungan institusional lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri, sehingga siap menangkis
kemunculan –yang dipandang sebagai tantangan- kaum ilmuwan (saintis) muslim yang
tidak punyai dukungan institusional; mereka yang disebut terakhir ini terorganisir hanya
sebagai kelompok informal yang sangat longgar, seperti Dar al-‘Ilm (Akademi Sains).
Karena itulah para saintis Muslim tidak berdaya menghadapi kaum fuqaha’ yang
mengklaim legimitasi religius sebagai the guardian of God’s given law.
24 Nurcholish Madjid menyebut keempat disiplin itu sebagai keilmuan klasik Islam. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), p. 201
25 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,……, p. ix-x
7
Faktor ketiga, berkenaan dengan kenyataan, bahwa hampir seluruh madrasah atau al-
jamiah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf baik dari dermawan kaya atau
penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan
madrasah bergerak dalam lapangan ilmu-ilmu agama yang dipandang akan lebih
mendatangkan banyak pahala, ketimbang ilmu-ilmu umum yang mempunyai aura
“profan” –dan karena itu tidak terkait begitu jelas dengan soal pahala. Pada pihak lain,
para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, apakah karena didorong
kepentingan-kepentingan politik tertentu atau motivasi murni untuk menegakkan
“orthodoksi” Sunni, sering mendikte madrasah atau al-jami’ah untuk tetap berada dalam
kerangka “orthodoksi” itu sendiri, tegasnya dalam kerangka syari’ah.
Dengan demikian, maka tidak mengherankan jika madrasah menjadi lembaga pendidikan
yang memang khas bagi ilmu syari’ah. Atau dengan kata lain, para fuqaha menggunakan
madrasah sebagai sarana bagi proses pengembangan dan transmisi keilmuannya. Berbeda
dengan para failasuf, mutashawwifin, syi’iyyin, dan mutakallimin, yang tidak
menggunakan madrasah sebagai pusat studi mereka 26
IV. Peran Madrasah dalam dalam pengembangan Ilmu
26 Hassan Muhammad dan Nadiyah Jamaluddin misalnya menggambarkan: failasuf menggunakan Dar al-Hikah, al-Muntadiyat, Hawanit dan Warraqi’in; mutashawwifin menggunakan al-Zawaya, al-Masjid, dan Halaqat al-dzikr; syi’iyyin menggunakan Dar al-Hikmah, al-Masajid, dan mutakallimin menggunakan al-Masajid, al-Maktabat, Hawanit, al-Warraqi’in dan al-Muntadiyat; Fuqaha menggunakan al-Katatib, al-Madaris, al-Masajid. Lihat Hassan Muhammad dan Nadiyah Jamaluddin, Madaris al-Tarbiyah fi al-Hadarah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1988), p. 16-23
8
Sistem pengajaran yang digunakan di madrasah adalah perpaduan antara sistem pada
pondok pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern. Penilaian
untuk kenaikan tingkat ditentukan dengan penguasaan terhadap sejumlah bidang
pengajaran.tertentu.
Pada perkembangan selanjutnya sistem pondok mulai ditinggal, dan berdirilah madrasah-
madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun
demikian pada tahap awal madrasah tersebut masih bersifat diniyah, di mana mata
pelajaran hanya agama dengan penggunaan kitab-kitab bahasa arab.
Sebagai pengaruh dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan
kebangkitan bangsa Indonesia , sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam
kurikulum madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan
tingkatan madrasah, sebagai halnya buku-buku pengetahuan umum yang belaku di
sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti
sistem perjenjangan dalam bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah
untuk tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama, dan
adapula Kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang disebut normal Islam.
Pada tahap selanjutnya penyesuaian tersebut semakin meningkat dan terpadu dengan baik
sehingga sukar untuk dipisahkan dan dibedakan antara keduanya, kecuali madrasah yang
langsung ditulis predikat Islamiyah. Kurikulum madrasah atau sekolah-sekolah agama,
mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun dengan persentase yang
berbeda. Pada waktu pemerintahan RI dalam hal ini oleh Kementerian Agama mulai
mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan madrasah.
Melalui Kementerian Agama, madrasah perlu menentukan kriteria madrasah. Kriteria
9
yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah yang berada di dalam
wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok,
paling sedikit enam jam seminggu.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sistem pendidikan
dan pengajaran di madrasah merupakan perpaduan antara sistem yang berlaku di pondok
pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern.
Dalam Kontens Pendidikan nasional, setelah proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia tahun 1945, kebutuhan akan tenaga terdidik dan terampil untuk menangani
administrasi pemerintahan sangat mendesak. Untuk itu pemerintah memperluas
pendidikan model Barat yang dikenal dengan sekolah umum, sedangkan umat Islam
santri berkeinginan untuk mempermodern lembaga pendidikan mereka dengan
mendirikan madrasah umum, lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah
umum yang lebih tinggi, dan siswa madrasah boleh pindah kesekolah umum yang sama
jenjangnya. Demikian pula sebaliknya.Kompensasi dari kesetaraan itu adalah bahwa 70%
dari kurikulu madrasah harus berisi mata pelajaran umum. Bahkan, berdasarkan
kurikulum madrasah 1994, kurikulum madrasah harus memuat100% kurikulum sekolah
umum. Sehingga madrasah dikategorikan sebagai Sekolah Umum yang Berciri Islam27[2].
Meskipun kurikulum 1994 telah diperbarui dengan orientasi kepada target hasil belajar,
dan bukan pada proses pembelajarannya, sehingga guru diberi wewenang untuk
berimprovisasi dengan kurikulum yang sudah disusun, mengatur alokasi waktu
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, menentukan metode, penilaian, dan sarana
pembelajaran.Dengan dimasukkannya madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional,
maka ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang samadengan ijazah umum yang
27 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996)
10
setingkat, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan
siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat, makamadrasah
sebetulnya dapat dijadikan sebagai pendidikan alternative dalam menjawab persoalan dan
kebutuhan masyarakat muslim di Indonesia.
V. Relasi Umara’ dan Ulama’
Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekedar penyajian matapelajaran agama.Artinya,ciri
khas tersebut bukan hanya sekedar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam
lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislamandi
dalam totalitas kehidupan madrasah. Suasana lembaga madrasah yang melahirkan ciri
khas tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perwujudan nilai-nilai keislaman di dalamkeseluruhan kehidupan lembaga
madrasah;
2. Kedidupan moral yang beraktuaisasi,
3. Manajemen yang profesional, terbuka,dan berperan aktif dalam masyarakat
(Tilaar, 2004: 179).
Dengan suasana madrasah yang demikian melahirkan budaya madrasah yang merupakan
identitas lembaga pendidikan madrasah. Otonomi lembaga pendidikan madrasah hanya
dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan basisnya sebagai
pendidikan yang berbasiskan masyarakat Keberadaan madrasah sebagai sub-sistem
pendidikn nasional perlu dipertahankan dan dikembangkan. Untuk itu diperlukan guru
yang mampu mendidik dan mengajar dengan metodologi yang sesuai dengan tantangan
zaman peserta didik28[3].
28 Ibid
11
Masuknya madrasah sebagai sub-sistem pendidikan nasional mempunyai berbagai
konsekuensi antara lain dimulainya suatu pola pembinaan mengikuti satu ukuran yang
mengacu pada sekolah sekolah pemerintah. Keuntungan positif yang diperoleh melalui
UUNo. 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional serta PPNo. 28 Tahun 1990
telah melahirkan berbagai kendala Dualismepembinaan antara Departemen Agama dan
Departemen Pendidika dan Kebudayaan terus berlangsung.
Keamburadulan manajemen pendidikan dasar terbias juga dalam pembinaan madrasah
dibawah Departemen Agama. Selama 10 tahun lebih sejak lahirnya UU No. 2 Tahun
1989. Penegasan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 30
(2) dinyaatakan: PendidikanKeagamaan berfungsi empersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Ternyata tidak secara otomatis dapat mengangkat citra madrasah sebagai lembaga
pendidikan alternatif, kecuali beberapa madrasah khusus berkualitas tinggi binaan
masyarakat. Madrasah yang pada umumnya lahir dari strata masyarakat miskin
menyebabakan suatu keinginan untuk menegerikan madrasah-madrasah. Hal tersebut
dapat dimaklumi, karena mempunyai segi-segi positif antara lain adanya kucuran dana
pemerintah antara lain melalui INPRES SD , INPRES Wajib Belajar.
Demikian juga manajemen madrasah mendapat bantuan pemerintah dan mungkin pula
memperoleh tenaga guru negeri yang diperbantukan. Banyak perkembangan baru baik
dalam system maupun kelembagaan madrasah dalam hubungannya dengan system
pendidikan nasional secara keseluruhan. Termasuk di sini, misalnya eksperimen
Madrasah Aliyah Program khusus MA-PK (Azra, 1999:89)
12
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur an Surat 2 ; 151
Al Qur an Surat 6 ; 75-80
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellinium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), p. ix
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998/viii). P. 67
Bayard Dodge, Muslim Education in Medievel Times, (Washington, D.C.: The Midle East Institut, 1962), hal 19-24
Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, The Classical Period A.D. 700-1300, (USA; Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 1990), p. 34
Fazlur Rahman, Islam, (New York; Anchor Books, 1968), p. 184
Fazlur Rahman, “Trend Baru Kajian Islam”, Jurnal PESANTREN, No.4/ Vol. III/1986, p. 5
George Makdisi, “Muslim Institution of Learning in Eleventh Century Baghdad”, BSOAS, 24, 1961, p. 1-64
George Makdisi, The Rise of Colleges of Learning in Islam and the West., (Endinburgh; Endinburgh University Press, 1992), p. 35
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Jakarta; Risalah Gusti, 1996), p. 50
Munir ud-Din Ahmed, Muslin Education and the Scholars’ Social Status up the 5th centuri Muslim Era (11th Century Christian Era), Zurich: Verlag der Islam, 1968, p. iv-vii, 52-84; A.S. Tritton, Materials on Muslim Education in the Midle Ages, (London: Luzac, 1957), p. 98-129
George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West., (Endinburgh: Endinburgh University Press, 1990), p. 59, 74
Hassan Muhammad dan Nadiyah Jamaluddin misalnya menggambarkan: failasuf
13
menggunakan Dar al-Hikah, al-Muntadiyat, Hawanit dan Warraqi’in; mutashawwifin menggunakan al-Zawaya, al-Masjid, dan Halaqat al-dzikr; syi’iyyin menggunakan Dar al-Hikmah, al-Masajid, dan mutakallimin menggunakan al-Masajid, al-Maktabat, Hawanit, al-Warraqi’in dan al-Muntadiyat; Fuqaha menggunakan al-Katatib, al-Madaris, al-Masajid. Lihat Hassan Muhammad dan Nadiyah Jamaluddin, Madaris al-Tarbiyah fi al-Hadarah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1988), p. 16-23
Isma’il R. al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York, 1986), p. 324-325
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996)
Nurcholish Madjid menyebut keempat disiplin itu sebagai keilmuan klasik Islam. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), p. 201
Prof. DR. Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pikiran, (Bandung ; Mizan, IV/1996), p. 88
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, (London: 1976), p. 17-19
Tentang peranan ribath dan institusi sufi lainnya dalam proses keilmuan, lihat Sa’id Isma’il ‘Ali, Ma’ahid al-Ta’lim al-Islam, (Kairo: Dar al-Tsaqafah, 1978), p. 249-257
14
MADRASAH DAN TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Pendidikan IslamPada Program Pasca Sarjana (PPs) Institut Agama Islam Negeri Raden Intan
Bandar Lampung
Oleh :
AK. FITRIO ATMAJANPM : 200920854
Dosen : Dr. Wan Jamaluddin, M.AgDr. Hasan Mukmin, M.Ag
PROGRAM STUDI ILMU TARBIYAH
PENGEMBANGAN KURIKULUMPROGRAM PASCA SARJANA (PPs)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTANBANDAR LAMPUNG
2010
15
MAKALAH