lupus eritematosus sistemik

36
Lupus Eritematosus Sistemik Prima Magdalena Desiyanthi* 10-2011-393 / F2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA *Alamat Korespendensi: Prima Magdalena Desiyanthi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: [email protected] Pendahuluan Reumatologi merupakan ilmu yang relatif muda di Indonesia dibandingkan dengan sejawatnya Ilmu Bedah Ortopedi. Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit artitis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainya yang menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan. Reumatologi mencakup penyakit autoimun, artritis dan kelainan muskuloskeletal. Jenis, berat dan penyebaran penyakit reumatik dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti faktor umur, jenis kelamin, genetik dan faktor lingkungan. Saat ini telah dikenal lebih dari 110 jenis penyakit reumatik yang sering menunjukkan gambaran klinik yang hampir sama. 1,2

Upload: primamagdalenadmanurung

Post on 18-Jan-2016

40 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lupus Eritematosus Sistemik

Lupus Eritematosus Sistemik

Prima Magdalena Desiyanthi*

10-2011-393 / F2

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

*Alamat Korespendensi:

Prima Magdalena Desiyanthi

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: [email protected]

Pendahuluan

Reumatologi merupakan ilmu yang relatif muda di Indonesia dibandingkan dengan sejawatnya

Ilmu Bedah Ortopedi. Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk

penyakit artitis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainya yang menimbulkan nyeri somatik

dan kekakuan. Reumatologi mencakup penyakit autoimun, artritis dan kelainan muskuloskeletal.

Jenis, berat dan penyebaran penyakit reumatik dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti

faktor umur, jenis kelamin, genetik dan faktor lingkungan. Saat ini telah dikenal lebih dari 110

jenis penyakit reumatik yang sering menunjukkan gambaran klinik yang hampir sama. 1,2

Dari sekian banyak penyakit reumatik tersebut salah satu penyakin yang cukup banyak dijumpai

adalah lupus eritematosus sistemik. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit

autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Penyakit ini ditandai dengan

adanya inflamasi tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.

Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga

mengakibatkan kerusakan jaringan. 3-5

Page 2: Lupus Eritematosus Sistemik

Anamnesis

Penyakit sistem muskuloskeletal bisa bermanifestasi sebagai nyeri (khususnya pada sendi),

deformitas, pembengkakan, berkurangnya mobilitas, penurunan fungsi, dan gambaran sistemik

seperti ruam atau demam. 6

1. Riwayat penyakit terdahulu

Adakah riwayat kelainan sendi atau tulang sebelumnya?

Pernahkah pasien menjalani operasi seperti penggantian sendi?

2. Obat-obatan

Tanyakan juga pada pasien mengenai obat-obat yang pernah dikonsumsi sebelum datang

ke dokter, seperti analgesic, AINS, kortikosteroid, imunosupresan lain, penisilamin,

garam emas, dan klorokuin.

3. Penyelidikan fungsional

Tanyakan secara khusus mengenai gambaran sistemik penyakit, seperti demam,

penurunan berat badan, dan ruam. Tanyakan pula adakah penyakit genitourinarius atau

saluran cerna.

4. Riwayat sosial

Temukan akibat fungsional seperti pasein tidak dapat berjalan, makan, dan sebagainya,

dan alat bantu apa yang dipakai pasien, seperti kursi roda, tongkat, dan lainnya.

Page 3: Lupus Eritematosus Sistemik

SLE merupakan gangguan autoimun sistemik. Penyakit ini ditandai oleh adanya antibodi

antinuklear. Manifestasinya bisa ditemukan pada berbagai organ sehingga gejala dan tandanya

sangat banyak. Presentasi klinisnya termasuk ruam malar, artralgia, alopesia, perikarditis, gagal

ginjal, defisit neurologis, atau bahkan gangguan psikiatrik. Prevalensinya 100/100.000. 3,6

1. Gejala apa yang pernah dialami pasien? Misalnya ruam malar yaitu ruam kemerahan

pada pipi, fotosensitivitas yang mengakibatkan ruam kulit yang timbul akibat terkena

sinar matahari, ruam diskoid yaitu bintik-bintik eritematosa menimbul, artralgia, artritis

tidak erosif pada dua atau lebih sendi-sendi perifer, demam, kelelahan, nyeri dada

pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus di mulut.

2. Organ apa lagi yang terkena?

3. Pernahkan ada peristiwa tromboembolik atau aborsi spontan (Pertimbangkan sindrom

anti-fosfolipid yang terkait)?

4. Tanyakan penyakit ginjal dan neurologis karena memiliki kepentingan khusus.

Riwayat penyakit dahulu.

Adakah riwayat penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius? Pertimbangkan riwayat

kejadian tromboembolik. Adakah riwayat kondisi autoimun lain? Misalnya hipotiroidisme. 6

Obat-obatan

Apakah pasien mendapat terapi dengan imunosupreasan? Misalnya kortikosteroid, azatioprin.

Apakah pasien mengkonsumsi antikoagulan? Misalnya warfarin, aspirin? Hati-hati terhadap

lupus akibat obat. 6

Riwayat keluarga.

Adakah riwayat lupus atau penyakit autoimun lain dalam keluarga? 6

Page 4: Lupus Eritematosus Sistemik

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik secara umum dokter dapat melihat dan mencari adanya deformitas yang

terlihat jelas, postur tubuh abnormal, pengecilan otot yang terlihat jelas dan apakah masa otot

tampak normal pada bagian bahu, pantat, tangan, dan otot kuadriseps, kelainan terkait, misalnya

nodul rheumatoid, tofi gout, psoriasis, atau tanda-tanda penyakit reumatologis sistemik.

Pemeriksa sendi juga perlu dilakukan untuk mencari adanya pembengkakan, deformitas, efusi,

eritema, dan nilai kisaran gerak aktif dan pasif pasien. 1,2,6

Secara khusus perlu diperhatikan apakah muncul gejala-gejala seperti berikut. 6

Ruam.

Demam.

Anemia.

Alopesia.

Limfadenopati.

Ulkus mulut.

Bengkak sendi: efusi dan nyeri tekan.

Takipnea: pertimbangkan hipertensi pulmonal, emboli paru, gagal ginjal disertai

kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru.

TD: periksa adanya hipertensi.

Gesekan perikard/pleural.

Edema pergelangan kaki.

Neuropati.

Defisit neurologis, termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif.

Gangguan psikiatrik, khususnya psikosis.

Urin: proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder.

Page 5: Lupus Eritematosus Sistemik

Gambar 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik SLE 6

Pemeriksaan Penunjang

ANA positif pada lebih dari 95% pasien SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui

adanya antibodi yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi

adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibodi spesifik. Pola ANA

dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa dibawah lampu ultraviolet. Suatu

pemeriksaan banding untuk mengetahui tipe ANA spesifik saat ini sudah dapat dilakukan, dan

pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lain. Dengan

pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE menunjukkan pemeriksaan yang positif. 1-3

Page 6: Lupus Eritematosus Sistemik

Antibodi terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif

(double stranded DNA). Antibodi terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Anti

dsDNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada73% SLE dan mepunyai arti diagnostik

dan prognostik. Peingkatan kadar anti dsDNA menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit.

Pada SLE, anti dsDNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktivitas

penyakit SLE. Gangguan reumatologik lain dapat juga menyebabkan ANA positif, tertapi

antibody anti-DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE. 1-3

Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel small nuclear ribocleoprotein dari

RNA. Anti-Sm dan anti u1 snRNP termasuk golongan anti snRNP. Anti U1 snRNP dijumpai 30-

40% pasien SLE. Anti SM mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap SLE (spesifisitas 99%)

walaupun hanya ditemukan pada 20-30% pasien SLE. 1

Laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk

mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. 3

Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai sampai

sekarang adalah uji faktor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien,

sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan

kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE dapat juga ditemukan

pada gangguan sistemik lain dari penyakit golongan reumatik yang juga diperantari oleh

imunitas. 3

Urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit, dan silinder. Uji ini

dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan

penyakit ini. 3

Page 7: Lupus Eritematosus Sistemik

Diagnosis Kerja

Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American

College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE,

dimana bila didapatkan empat kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut

adalah sebagai berikut. 1

1. Ruam malar.

2. Ruam diskoid.

3. Fotosensitifitas.

4. Ulserasi di mulut atau nasofaring.

5. Artritis.

6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis.

7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuriapersisten > 0,5 gr/ hari atau ada silinder sel.

8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis.

9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau lekopenia atau limfopenia atau

trombositopenia.

10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, taua anti Sm positif atau

tes serologik untuk sifilis yang positif palsu

11. Antobodi antnuklear ( Antinuclear antibody, ANA) positif.

Keterlibatan akan penyakit SLE bila dijumpai dua atau lebih keterlibatan organ sebagaimana

tercantum dibawah ini. 1

1. Gender wanita pada rentang usia reproduksi

2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi), dan penurunan berat badan

3. Muskuloskeletal: artritis, arthralgia, myositis

4. Kulit: ruam kupu-kupu (Butterfly Rash), fotosensitifitas, SLEi membrane mukosa,

alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis

5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindroma nefrotik

6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

7. Paru-paru: pleuritis, hipertensi pulmonal, SLEi parenkim paru

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

Page 8: Lupus Eritematosus Sistemik

9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)

10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, myelitis, transversa, neuropati

kranial dan perifer

Diagnosis Banding

1. Arthritis Rheumatoid

Artritis rheumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik

kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi klinik klasik AR adalah

poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain

lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit,

jantung, paru-paru, dan mata. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin dapat

menurunkan progresifitas AR. Metode terapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piramida

terbalik (reverse pyramid), yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat

perburukan penyakit. Bila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi,

deformitas, dan diabilitas. 1,2

Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan

rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, shingga diduga hormon sex berperan

dalam perkembangan penyakit ini. Beberapa virus dan bakteri juga diduga sebagai agen

penyebab penyakit ini, walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti

sebagai penyebab AR. Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat faktor yang

kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap

kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen HLA-

DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA

juga berhubungan dengan AR. Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor

genetik juga berperan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti

methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltrasferase untuk metabolisme

methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. 1,2

Page 9: Lupus Eritematosus Sistemik

Kerusakan sedi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblast synovial setelah adanya

factor pencetus berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan

terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada

sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi

pertumbuhan yang ireguler pada jaringan synovial yang mengalami inflmasi, sehingga

membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak tulang dan tulang rawan sendi.

Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase, dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga

mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. 1,2

Artritis pada penderita AR seringkali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang

berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala

konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan demam. Penderita AR pada

umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi. Walaupun tanda kardinal

inflamasi mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan, namun kemerahan

dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR kronik. 1,2

Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran synovial yang

membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian tangan, kaki, dan

vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga dapat terkena. Sendi yang

terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal tidak simetris. Sinovitis akan

menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. 1,2

Page 10: Lupus Eritematosus Sistemik

Tabel 1. Bentuk-Bentuk Deformitas pada Artritis Reumatoid 1

Bentuk Deformitas Keterangan

Deformitas leher angsa

(swan neck)

Hiperekstensi PIP dan flesi DIP

Deformitas boutonniere Fleksi PIP dan hiperekstensi DIP

Deviasi ulnar Deviasi MCP dan jari-jari ke arah ulnar

Deformitas kunci piano

(piano key)

Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan

naik turun dari ulnar styloid yang disebabkan

rusaknya sendi radioulnar

Deformitas Z-thumb Fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan hiperekstensi

sendi IP

Arthritis mutilans Sendi MCP, PIP, tulang carpal, dan kapsul sendi

mengalami kerusakan, sehingga terjadi instabilitas

sendi dan tangan tampak mengecil (operetta glass

hand)

Hallux valgus MTP I terdesak ke arah medial dan jempol kaki

mengalami deviasi ke arah luar yang terjadi secara

bilateral

Walaupun artritis merupakan manifestasi utama, tetapi AR merupakan penyakit sistemik

sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekstra articular. Manifestasi ekstra

articular pada umumnya didapat pada pasien yang mempunyai titer RF serum tinggi. Nodul

rheumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai. 1

Page 11: Lupus Eritematosus Sistemik

Tabel 2. Manifestasi Ekstraartikular Artritis Reumatoid 1

Sistem Organ Manifestasi

Konstitusional Demam, anoreksia, fatigue, kelemahan, limfadenopati

Kulit Nodul reumatoid, accelerated rheumatoid nodulosis,

rheumatoid vasculitis, pyoderma gangernosum, intersitial

granulomatosus dermatitis with arthritis, palisaded

neutrophillic dan granulomatosis dermatitits, dan adul-

onset still disease

Mata Sjogren syndrome (keratoconjunctivitis sicca), skleritis,

episkleritis, skleromalacia

Kardiovaskular Perikarditis, efusi perikardial, endokarditis, valvulitis

Paru-paru Pleuritis, efusi pleura, intesitial fibrosis, nodul reumatoid

paru, Caplain's syndrome (infiltrat nodular pada paru

dengan pneumoconiosis)

Hematologi Anemia penyakit kronik, trombositosis, eosinofilia, Felty

syndrome (AR dengan neutropenia dan splenomegali)

Gastrointestinal Sjogren syndrome (xerostomia), amyloidosis, vaskulitis

Neurologi Entrapment neuropathy, myelopathy/ myositis

Ginjal Amyloidosis, renal tubular acidosis, intersitial nephritis

Metabolik Osteoporosis

2. Anemia defisiensi besi (Fe)

Page 12: Lupus Eritematosus Sistemik

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari

normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang dipengaruhi oleh pola

makanan, social ekonomi keluarga, lingkungan dan status kesehatan. Selain itu penyebab anemia

gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap penyakit kronis

dan kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit (cacing). Kekurangan zat besi dapat

menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak.

Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat

lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu

anemia gizi besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah,

artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-

sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Diagnosis anemia defisiensi besi

ditegakkan berdasarkan adanya anemia dan penurunan kadar besi di dalam serum.7

Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi

SLE di berbagai negara bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda, bervariasi

antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa

negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan

geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia,

tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita

dibandingkan pada pria berkisar antara 5,5-9 : 1. 1

Etiologi dan Patogenesis.

Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti, tetapi adanya antibodi (terhadap antigen-

antigen diri) yang jumlahnya seperti tidak terbatas pada para pasien ini menunjukkan bahwa

kelainan mendasar pada SLE adalah kegagalan mekanisme yang mempertahankan toleransi diri.

Terdapat antibodi terhadap beragam komponen nukleus dan sitoplasma sel yang tidak spesifik

Page 13: Lupus Eritematosus Sistemik

terhadap organ atau spesies. Selain itu, terdapat kelompok ketiga dari antibodi yang ditujukan

pada antigen permukaan sel darah. 1,3,7

Etiopatologi SLE diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktoral antara variasi

genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predisposisi

penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik,

berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab. 1,3,7

Interaksi antara sex, status hormonal, dan aksis hypothalamus-hipofise-adrenal (HPA)

mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme

pengaturan imun merupakan kontributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini.

Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban antigenik (antigenic load), bantuan sel T yang

berlebihan, gangguan supresi sel B, dan peralihan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan

hiperaktivitas sel B dan memproduksi antibody patogenik. Respon imun yang terpapar faktor

eksternal atau lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi virus dalam periode yang cukup

lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun. 1,3,7

1. Faktor Genetik

SLE adalah suatu sifat genetik yang kompleks dengan kontribusi paling banyak pada gen

dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi menunjukkan

bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (Human

Leucocyte Antigen) kelas II. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen

komplemen C2 dan C4, memberikan risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Sebagian

pasien lupus mewarisi defisiensi komponen-komponen awal komplemen. Ketiadaan

komplemen dapat mengganggu pembersihan kompleks imun dalam darah oleh sistem

fagosit mononukleus sehingga kemungkinan pengendapan kompleks imun di jaringan

lebih besar. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap penyakit

oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik terhadap antigen

diri sendiri maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan

dari sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi. 1,3,7

2. Faktor Hormonal

Page 14: Lupus Eritematosus Sistemik

SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan pertama kali

SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause. Metabolisme estrogen

yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin. Perempuan dengan SLE juga

mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah. Konsentrasi androgen berkorelasi

negatif dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron plasma yang rendahdan

meningkatnya konsentrasi luteinizing hormon ditemukan pada beberapa penderita SLE

laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang tdak

adekuat baik pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggungjawab terhadap

perubahan respon imun. 1,3,7

3. Faktor Lingkungan

Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisi untuk SLE,

tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan

lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epsteinn-Barr (EBV) mungkin menginduksi

respon spesifik melalui kemiripan molekular dan gangguan terhadap regulasi imun. Diet

mempengaruhi mediator inflamasi. Toksin atau obat-obatan memodifikasi respon selular

dan imunogenisitas dari self antigen. Agen fisik atau kimia seperti sinar ultraviolet dapat

menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan.

Radiasi ultraviolet bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada

SLE, juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang

menyebabkan terbentuknya autoantibodi. Pengaruh faktor lingkungan terhadap faktor

predisposisi individual sangat bervariasi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas

dan adanya periode bergantian antara remisi dan kekambuhan dari penyakit ini. 1,3,7

4. Faktor Imunologi

Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi. Antibodi

ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma, permukaan

sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Antibodi

antinuklear (ANA) adalah antibodi yang paling banyak banyak ditemukan pada penderita

SLE (lebih dari 95%). Anti ds-DNA dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang

spesifik untuk SLE sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE. Titer

Page 15: Lupus Eritematosus Sistemik

antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas penyakit,

sedangkan titer antibodi anti-Sm biasanya konstan. Meskipun telah ditemukan hubungan

yang jelas antara gambaran klinis tertentu dari SLE dengan autoantibodi, patogenisitas

dari antibodi ini belum diteliti secara adekuat. Sehingga mekanisme imunologis yang

pasti dari kelainan ini masih belum jelas. 1,3,7

Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali

sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik SLE seringkali tidak terjadi secara

bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang

berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya

seperti fotosensitifitas dan manifestasi lainnya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE.

Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE,

walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. 1,2

Gejala Konstitusional.

1. Kelelahan

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE, biasanya

mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena

banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan, seperti anemia, meningkatnya

beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan

disebabkan oleh SLE, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3

serum yang rendah. Kelelahan akibat SLE ini memberikan respon terhadap pemberian

steroid atau latihan. 1,2

2. Penurunan Berat Badan

Page 16: Lupus Eritematosus Sistemik

Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita SLE dan terjadi dalam beberapa bulan

sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh

menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal. 1,2

3. Demam

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti

infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40o C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti

leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil. 1,2

4. Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita SLE dapat terjadi sebelum

ataupun seiring aktifitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan,

pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah. 1,2

Manifestasi Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada

penderita SLE. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia), atau

merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali

dianggap sebagai manifestasi RA (Rheumatoid Arthritis) karena keterlibatan sendi yang banyak

dan simetris. Untuk itu, perlu dibedakan dengan RA dimana pada umumnya SLE tidak

menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit. 1

Manifestasi Kulit

Ruam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit yang telah lama dikenal oleh para ahli. Lesi

mukokutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE

(DLE), subacute cutaneous lupus erythematous (SCLE), lupus profundus/ paniculitis, alopecia,

lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo retricularis, teleangiectasia, fenomena raynaud’s

atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula berupa bercak

eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir. 1

Page 17: Lupus Eritematosus Sistemik

Manifestasi Paru

Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim

paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung

syndrome. Penumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut hingga kronik. Pada keaaan

akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial. Apabila terjadi keraguan, dapat dilakukan

tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk

kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Hemoptisis merupakan keadaan serius yang merupakan

bagian dari perdarahan paru akibat SLE, dan memerlukan penanganan yang tepat. 1

Manifestasi Kardiologis

Baik perikardium, endokardium, miokardium, ataupun pembuluh darah koroner dapat terlibat

pada penderita SLE, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium. Perikarditis

harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran

silhouette sign pada foto dada, maupun melalui gambaran EKG. Apabila dijumpai adanya

aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali, bahkan takikardia yang tidak jelas penyebabnya,

maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan. Penyakit jantung koroner dapat pula

dijumpai pada penderita SLE dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard, atau

gagal jantung kongestif, terutama pada penderita SLE usia muda dengan jangka penyakit yang

panjang serta penggunaan steroid jangka panjang. Valvulitis, gangguan konduksi, dan hipertensi

merupakan komplikasi lain yang juga sering dijumpai pada penderita SLE. 1

Manifestasi Renal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah lima

tahun menderita SLE. Rasio wanita dibandingkan dengan pria adalah 10 : 1 dengan puncak

insidensi pada usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak

tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk mendapatkan suatu

diagnosis pasti, mungkin perlu dilakukan biopsi ginjal. 1

Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita SLE, karena dapat merupakan

cerminan keterlibatan berbagai organ atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis tampak

Page 18: Lupus Eritematosus Sistemik

adanya keluhan penyakit pada esophagus (disfagia dan dispesia), mesenteric vasculitis,

inflammatory bowel disesase (IBS), pankreatitis, dan penyakit hati (hepatomegaly). Nyeri

abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum yang dibuktikan dengan

pemeriksaan autopsi. 1

Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu

luas. Kelainan ini dikelompokan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Keterlibatan

susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi saraf kranial, lesi

batang otak, meningitis aseptik, atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan saraf tepi

akan bermaifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis, atau mononeuritis multiplex.

Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik maupun non-organik. 1

Manifestasi Hemik-Limfatik

Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita SLE.

Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan karakteristik

tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm. Organ limfoid lain yang sering

dijumpai pada penderita SLE adalah splenomegali yang biasanya disertai dengan pembesaran

hati (hepatomegali). Anemia dapat dijumpai pada suatu periode perkembangan penyakit SLE.

Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses imun dan non-imun. Pada anemia yang

bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi

besi, sickle cell anemia, dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantarai proses imun

dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun,

dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan dengan proses autoimun seperti anemia pernisiosa dan

acute hemophagocytic syndrome. 1

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi obat yang

kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat

penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE. 1,2,4,5

Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE:

Page 19: Lupus Eritematosus Sistemik

1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.

2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.

3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan

pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet,

megatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.

4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi

rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat

kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.

5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian, dan sebagainya. Perlukah

suplementasi mineral dan vitamin? Obat-obatan yang dipakai jangka panjang.

6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah kelompok

pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE.

Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus ditentukan terlebih dahulu apakah penderita

tergolong yang memerlukan terapi konservatif atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya,

penderita SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ

dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-ogan

mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi

dan imunosupresan lainnya. 1,2,4,5

Terapi Konservatif

1. Artritis, arthralgia, dan myalgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita

SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat

antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada peggunaan obat-obat ini adalah

efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Bila obat analgetik

dan antiiflmasi non steroid tidak memberikan respon yang baik, dapat dipertimbangkan

pemberian obat antimalaria misalnya hidroksiklorokuin 400mg/hari. Bila dalam waktu 6

bulan obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera di stop. Pemberian

Page 20: Lupus Eritematosus Sistemik

klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan

evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. 1,4,5

Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat terhadap obat

analgetik atau obat antiinflamasi nonsteroid atau obat antimalria, dapat dipertimbangkan

pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15mg setiap pagi.

Metotreksat dosis rendah (7,5-15mg/ minggu) juga dapat dipertimbangkan untuk

mengatasi artritis pada penderita SLE. 1,4,5

2. Sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE dapat

timbul bila penderita terpapar oleh sinar UV, sinar inframerah, panas, dan kadang-kadang

juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan sinar-

sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela digelapkan,

menghindari paparan langsung, dan menggunakan sunscreen. Sunscreen ini harus selalu

dipakai ulang setelah mandi atau bila berkeringat. Glukokortikoid lokal seperti krem,

salep, atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis lupus. 1,4,5

Pemilihan preparat topikal harus hati-hati karena glukokortikoid topikal, terutama yang

bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan

fragilitas. Penggunaan krem glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi harus dibatasi

selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang lebih rendah. Untuk kulit muka

dianjurkan penggunaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi,

misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid

topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid. 1,4,5

Obat-obat antimalaria sangat baik digunakan untuk lupus kutaneus karena antimalaria

mempunyai efek sunblocking, antiinflamasi, dan imunosupresan. Antimalaria juga

mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen. Pada penderita yang resisten terhadap

antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid sistemik dan obat

eksperimental lainnya. 1,4,5

3. Fatigue merupakan keluhan utama yang sering didapatkan pada penderita SLE, demikian

juga penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi

glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan fever dapat juga diakibatkan oleh

Page 21: Lupus Eritematosus Sistemik

pemberian quinakrin. Pada keadaan yang berat menunjukkan peningkatan aktifitas SLE

dan pemberian glukokotikoid sistemik dapat dipertimbangkan. 1,4,5

Terapi Agresif

Terapi agresif dapat dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai

bila timbul manifestasi serius SLE yang mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus

yang berat, poliartritis, poliserosits, miokardistis pneumonitis lupus, glomerulonefritis, anemia

hemolitik, trombositopneia, isndrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati,

neuropati perifer dan krisis lupus. Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan

dibandingkan jenis yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek

panjang seperti deksametason sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai

karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan

dalam dosis tunggal pada pagi hari. Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian

glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan

untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. 1,4,5

Bolus sikofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti

dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas

pada terapi SLE. Siklofosfamid diindikasikan pada:

1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi.

2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi

3. Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang.

4. Glomerulonefritis difus awal.

5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.

6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-

faktor ekstrarenal lainnya.

Page 22: Lupus Eritematosus Sistemik

7. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat.

Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2

tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan

memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea dan vomitus,

alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia. 1,4,5

Obat sitotoksik lain yang toksisitas dan efektifitasnya lebih rendah dari sikolofosfamid adalah

azatioprin. Diberikan dengan dosis 1-3 mg/ kgBB/ hari secara peroral. Obat ini dapat diberikan

selama 6-12 bulan pada penderita SLE. Setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid

sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan

setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik. 1,4,5

Komplikasi

Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada pengidap LES. Dapat terjadi perikarditis.

Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernapasan. sering terjadi

bronkitis. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh otak dan perifer. Komplikasi susunan saraf

pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat

terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya. 5

Prognosis

Prognosis SLE bervariasi tergantung pada keparahan gejala, organ-organ yang terlibat, dan lama

waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan. Penatalaksanaan ditujukan

untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi. 3

Kesimpulan

Kelemahan, nyeri pada jari-jari kedua tangan serta kaku pada pagi hari, banyak rambut yang

rontok, dan wajah yang seringkali memerah bila sebentar saja terpapar sinar matahari merupakan

manifestasi klinis dari penyakit lupus eritematosus sistemik. Etiologi dan patogenesis dari

penyakit ini belum jelas. Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paring

sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan yang muncul dapat berupa mialgia, artralgia, atau

artritis sehingga harus dapat dibedakan dengan manifestasi dari penyakit arthritis rheumatoid.

Page 23: Lupus Eritematosus Sistemik

Pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas dan kaku sendi hanya berlangsung

beberapa menit. Untuk memastikan diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk

memeriksa antinuklear antibodi atau anti dsDNA. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan namun

dapat diberikan terapi untuk menekan penyakit ini sehingga SLE dalam keadaan remisi. Terapi

yang diberikan dapat berupa terapi konservatif untuk menekan gejala-gejala yang ada dan terapi

imunosupresif yang agresif apabila penderita SLE telah mengalami kerusakan organ-organ

mayor yang mengancam nyawa.

Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Edisi ke-5, Jilid 3. Jakarta: Internal Publishing; 2010.h.2353-2579.

2. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, FAuci AS, Kasper DL. Harrison

prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13, Volume 4. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2000 bab 285.

3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6,

Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.1392-5.

4. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & Cotran dasar patologis penyakit. Edisi ke-7.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.h.235-43.

5. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;

2001.h.75-8.

6. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;

2005.h.40-197.

7. Daniel A. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan anemia defisiensi besi. Sari Pediatri.

Vol. 4, No. 2, September 2002: 74 – 77.

8. Pringgoutomo S, Himawan S, Tjarta A. Buku ajar patologi I. Jakarta: Sagung Seto;

2006.h.267-70.