luka bakar

Upload: puangka-istam-rustam

Post on 09-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Trauma Termal

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUANTrauma termal menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Menguasai prinsip-prinsip dasar resusitasi awal pada penderita trauma dan menerapkan tindakan sederhana pada saat yang tepat dapat mengurangi mobiditas dan mortalitas. Prinsip yang dimaksud adalah kewaspadaan yang tinggi akan terjadinya gangguan jalan napas pada trauma inhalasi, serta mempertahankan hemodinamik dalam batas normal melalui resusitasi cairan. Dokter penolong juga harus waspada dalam melaksanakan tindakan untuk mencegah dan mengobati penyulit trauma termal, seperti misalnya rhabdomiolosis dan gangguan irama jantung yang sering, terjadi pada trauma listrik. Kontrol suhu tubuh dan menyingkirkan penderita dari lingkungan yang berbahaya juga merupakan prinsip utama pengelolaan trauma termal.II. TINDAKAN PENYELAMATAN SEGERA PADA LUKA BAKARa. AirwayLaring dapat melindungi subglottis dari trauma panas langsung, tetapi supraglottis sangat mudah mengalami obstruksi akibat trauma panas. Diperlukan kewaspadaan adanya obstruksi yang mengancam jalan napas pada trauma panas karena tanda-tanda terjadinya obstruksi napas pada saat-saat awal tidak jelas dalam menangani penderita luka bakar di rumah sakit, dokter harus waspada kemungkinan terjadinya gangguan jalan napas dan segera mulai tindakan penanggulangannya. Indikas klinis adanya trauma inhalasi antara lain:1. Luka bakar yang mengenai wajah dan/ atau leher2. Alis mata dan bulu hidung hangus3. Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut orofaring4. Sputum yang mengandung karbon/arang5. Suara serak6. Riwayat gangguan mengunyah dan/ atau terkurung dalam api7. Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan8. Kadar karboksihemoglobin lebih dari 10% setelah berada ditempat kebakaranBila ditemukan salah satu dari keadaan diatas, sangat mungkin terjadi trauma inhalasi yang memerlukan penanganan dan terapi definitif, termasuk pembebasan jalan napas. Trauma inhalasi merupakan indikasi untuk merujuk ke pusat luka bakar. Bila perjalanan ke pusat rujukan memakan waktu lama, sebelum dirujuk harus dilakukan intubasi lebih dahulu untuk menjamin jalan napas. Selain itu adanya stridor juga merupakan indikasi untuk segera melakukan intubasi. Luka bakar yang melingkari leher mengakibatkan pembengkakan jaringan sekitar jalan napas, sehingga pada keadaan seperti ini juga merupakan indikasi untuk memasang intubasi secara dini. b. Menghentikan proses trauma bakarSegera tanggalkan pakaian untuk menghentikan proses trauma bakar. Bahan pakaian sintesis, mudah dan cepat terbakar pada suhu tinggi akan meleleh meninggalkan residu panas yang akan terus membakar penderita. Pakaian yang mengandung bahan kimia harus ditanggalkan secara hati-hati. Bubuk kimia kering dibersihkan dengan cara menyapu dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya kontak langsung. Permukaan tubuh yang terkena dicuci dengan air bersih dan selanjutnya penderita diselimuti dengan kain hangat yang bersih dan kering untuk menghindari terjadinya hipotermi.c. Pemberian cairan intravenaSetiap penderita luka bakar lebih dari 20% luas permukaan tubuh memerlukan cairan infus. Setelah jalan napas bebas dan pengenalan (identifikasi) serta penanganan cedera yang mengancam jiwa selesai dilakukan, pemasangan infus segera dilakukan. Kateter vena ukuran besar (minimal #16) dipasang pada vena perifer. Sebaiknya infus dipasang pada daerah yang tidak terkena luka bakar, namun dalam keadaan terpaksa vena pada daerah luka bakarpun bisa dipergunakan bila mudah dilakukan. Vena ekstremitas atas menjadi pilihan, karena bila dipasang pada ekstremitas inferior komplikasi terjadinya flebitis pada vena safena cukup tinggi. Cairan yang diberikan dimulai dengan ringer laktat, sedangkan jumlah cairan akan diuraikan kemudian. III. PENILAIAN PENDERITA LUKA BAKARa. AnamnesisAnamnesis riwayat trauma sangat penting dalam penanganan luka bakar. Sewaktu menyelamatkan diri dari tempat kebakaran, mungkin terjadi cedera penyerta. Ledakan dapat melemparkan penderita, mengakibatkan misalnya cedera otak, jantung, paru-paru, trauma abdomen dan fraktur. Catat waktu terjadinya trauma. Luka bakar yang terjadi pada ruangan tertutup harus dicurigai terjadinya trauma inhalasiAnamnesis dari penderita sendiri atau keluarga, hendaknya juga mencakup riwayat singkat penyakit-penyakit yang diderita sekarang: (!) diabetes; (2) hipertensi; (3) jantung, paru-paru dan/ atau ginjal; dan obat yang sedang dipakai untuk terapi. Penting pula diketahui riwayat alergi dan status imunisasi tetanusb. Luas luka bakarThe Rule of Nines merupakan cara praktis untuk menentukan luas luka bakar. Tubuh manusia dewasa dibagi menurut pembagian anatomis yang bernilai 9% atau kelipatan dari 9% dari keseluruhan luas tubuh. Berbeda dengan orang dewasa, kepala bayi dan anak merupakan bagian terbesar dari luas permukaan tubuh, sedangkan ekstremitas bawah merupakan bagian yang lebih kecil. Persentase luas permukaan kepala anak adalah dua kali orang dewasa. Untuk luka bakar yang distribusinya tersebar, rumus luas permukaan telapak tangan (tidak termasuk jari-jari) penderita sama dengan 1% luas permukaan tubuhnya dapat membantu memperkirakan luas luka bakar.c. Kedalaman luka bakarKedalaman luka bakar penting untuk menilai beratnya luka bakar, merencanakan perawatan luka, dan memprediksi hasil dari segi fungsional maupun kosmetik. Luka bakar derajat I (mis. Sengatan listrik) ditandai dengan adanya eritema, nyeri, dan tidak ada bulla. Karena tidak berbahaya dan tidak memerlukan pemberian cairan intravena, luka bakar derajat 1 selanjutnya tidak akan dibahas dalam bab ini.Luka bakar derajat II atau partial-thickness burns ditandai dengan warna kemerahan atau campuran disertai pembengkakan dan bulla. Permukaannya basah, berair serta nyeri hebat meskipun hanya tersapu aliran udara.Luka bakar derajat III atau full-thickness burns menyebabkan luka kehitaman dan kaku. Warna kulit bisa terlihat putih seperti lilin, merah sampai kehitaman. Warna kulit merah ini tidak berubah menjadi pucat dengan penekanan, tidak merasa nyeri dan kering.IV. PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI PENDERITA LUKA BAKARa. AirwayAdanya riwayat terkurung api atau terdapat tanda-tanda trauma jalan napas, memerlukan pemeriksaan jalan napas dan tindakan pemasangan jalan napas definitif. Trauma bakar faring menyebabkan edema hebat jalan napas bagian atas, karenanya memerlukan pembebasan jalan napas segera. Manifestasi klinis trauma inhalasi perlahan-lahan dan mungkin belum nampak dalam 24 jam pertama. Bila dokter menunggu hasil pemeriksaan radiologis untuk memastikan adanya kelainan paru-paru atau menunggu hasil analisa gas darah, edema jalan napas yang akan terjadi menyebabkan intubasi sulit dilakukan dan diperlukan tindakan krikotirodotomi untuk pemasangan pipa endotrakheal.b. Breathing Penanganan awalnya didasarkan atas tanda dan gejala yang ada, yang timbul akibat trauma, sebagai berikut:1. Trauma bakar langsung, menyebabkan edema dan/atau obstruksi jalan napas bagian atas2. Inhalasi hasil pembakaran (partikel karbon) dan asap beracun menyebabkan trakheobronkhitis kimiawi, edema, dan pneumonia3. Keracunan karbon monoksida (CO)Diagnosis terjadinya keracunan CO ditegakkan bila seseorang berada dilingkungan yang mengandung gas CO, sehingga penderita yang mengalami luka bakar pada ruangan tertutup selalu dianggap mengalami keracunan CO. Penderita dengan kadar CO kurang dari 20% biasanya belum menunjukkan gejala. Kadar CO yang lebih tinggi menimbulkan (1) sakit kepala dan mual (20% sampai 30%), (2) kebingungan (30% sampai 40%), (3) koma (40% sampai 60%), dan akhirnya kematian (>60%). Kulit yang berwarna merah anggur (cherry-red) jarang ditemukan. Akibat tingginya afinitas CO dengan hemoglobin (240 kali dibanding oksigen), CO akan menggantikan oksigen pada molekul hemoglobin dan menyebabkan kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri. Pelepasan CO sangat lambat, waktu paruhnya 250 menit atau 4 jam bila penderita bernapas dengan udara ruangan, tetapi bila bernapas dengan oksigen 100% waktu paruhnya menjadi 40 menit. Penderita keracunan CO diberikan oksigen konsentrasi tinggi melalui sungkup muka yang memiliki katup (nonrebeathing mask).Penanganan awal trauma inhalasi sering memerlukan intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanis. Sebelum intubasi, penderita diberikan oksigen dengan pelembab. Intubasi dilakukan lebih awal pada penderita dengan kemungkinan terjadi trauma jalan napas. Kemungkinan besar penderita luka bakar trauma jalan napas akan memerlukan tindakan bronkhoskopi, karenanya pipa endotrakheal untuk jalan napas definitif diusahakan ukurannya sesuai untuk itu. c. Volume sirkulasi darahPenilaian volume sirkulasi sering tidak mudah pada penderita luka bakar berat. Lagipula, penderita luka bakar berat sering disertai dengan trauma lain yang menyebabkan syok hipovolemik. Penanganan syok dilakukan sesuai dengan prinsip resusitasi. Resusitasi cairan intravena untuk luka bakarnya juga harus segera dimulai. Tekanan darah kadang sulit diukur dan hasilnya kurang dapat dipercaya. Pengukuran produksi urin tiap jam merupakan alat monitor yang baik untuk menilai volume sirkulasi darah; asalkan tidak ada diuresis osmotik (mis. Glikosuri). Oleh karena itu pasang kateter urin untuk mengukur produksi urin. Pemberian cairan cukup untuk dapat memepertahankan produksi urin 1.0 mL perkilogram berat badan perjam pada anak-anak dengan berat badan 30 kg atau kurang, dan 0.5 sampai 1.0 mL per kilogram berat badan perjam pada orang dewasa.Pada 24 jam pertama penderita luka bakar derajat II dan III memerlukan cairan Ringer Laktat 2-4 mL perkilogram berat badan tiap persen luka bakar untuk mempertahankan volume darah sirkulasi dan fungsi ginjal. Separuh cairan diberikan dalam 8 jam pertama setelah terjadinya trauma, separuh sisanya diberikan waktu 16 jam berikutnya. Luka bakar derajat III dan adanya komplikasi pada paru-paru memerlukan resusitasi cairan cepat dan dalam jumlah banyak, sehingga sebaiknya resusitasi dimulai dengan 4mL/kg sambil dinilai respons penderita sesering mungkin. Anak-anak dengan berat badan 30 kg atau kurang, selain memperhitungkan formula luka bakar perlu ditambahkan glukosa untuk mempertahankan produksi urin 1mL/kg/jam.Formula cairan resusitasi ini hanyalah perkiraan kebutuhan cairan, dan perhitungan kebutuhan cairan berdasarkan pada waktu terjadinya luka bakar, bukan pada waktu dimulainya resusitasi. Selain itu, perhitungan cairan harus disesuaikan dengan respons penderita, seperti produksi urin, tanda vital dan keadaan umum. Gangguan irama jantung mungkin merupakan tanda awal terjadinya hipoksia, gangguan elektrolit dan keseimbangan asam-basa, karenanya monitor EKG perlu dipasang.

Gambar 1. Rule of Nines

Gambar 2. Kedalaman luka bakar

V. SECONDARY SURVEY DAN PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Pemeriksaan fisikUntuk dapat merencanakan dan menangani penderita dengan baik, lakukan hal-hal sebagai berikut:1. Tentukan luas dan dalamnya luka bakar2. Periksa apakah ada cedera ikutan3. Timbang berat badan penderitab. Catatan penderitaCatatan tentang penanganan harus dibuat dalam catatan penderita begitu penderita masuk ke unit gawat darurat. Catatan penderita ini harus disertakan bila penderita dirujuk ke pusat luka bakar.c. Pemeriksaan penunjang untuk penderita luka bakar1. DarahAmbil contoh darah untuk pemeriksaan darah lengkap, golongan darah dan crossmatch, kadar karboksihemoglobin, gula darah, elektrolit, dan tes kehamilan pada wanita usia subur. Darah arteri juga diambil untuk analisa gas darah.2. RadiologiPemeriksaan foto thoraks bisa dilakukan secara seri beberapa kali bila diperlukan, sedangkan pemeriksaan radiologi lain dilakukan bila dicurigai adanya cedera ikutan.d. Luka bakar melingkar pada ekstremitas: menjamin sirkulasi perifer1. Lepaskan seluruh perhiasan2. Nilai keadaan sirkulasi distal, apakah ada sianosis, berkurangnya pengisian kapiler atau gangguan nerologis yang progresif (mis. paretesi dan nyeri dalam). Pemeriksaan denyut nadi perifer pada penderita luka bakar lebih baik dilakukan dengan doppler ultrasonic flowmeter.3. Bila ada gangguan sirkulasi pada luka bakar ekstremitas yang melingkar segera konsultasikan kepada ahli bedah untuk dilakukan eskarotomi, tetapi tindakan eskarotomi biasanya belum diperlukan pada 6 jam pertama luka bakar.4. Fasciotomi kadang perlu dilakukan, misalnya untuk memperbaiki sirkulasi penderita luka bakar dengan fraktur, crush injury, trauma listrik tegangan tinggi, atau luka bakar yang mengenai jaringan dibawah fascia.e. Pemasangan pipa lambungPemasangan pipa lambung dan dihubungkan dengan alat pengisap bila penderita mengalami mual, muntah, perut kembung, atau luas luka bakarnya melebihi 20% permukaan tubuh. Demikian pula bila penderita akan dirujuk, sebaiknya pipa lambung dipasang.f. Obat narkotik, Analgesik dan SedativaPenderita luka bakar sering gelisah yang disebabkan oleh hipoksemia dan hipovolemia, bukan oleh rasa nyeri. Pemberian oksigen dan resusitasi cairan akan memberikan respons yang lebih memuaskan dibandingkan dengan pemberian analgesik narkotik atau sedativa yang dapat malahan dapat mengaburkan tanda-tanda terjadinya hipoksemia dan hipovolemia. Bila memang diperlukan narkotik, analgesik, dan sedativa sebaiknya diberikan dalam dosis kecil, diulang dan hanya diberikan intravena.g. Perawatan lukaKarena luka derajat II terasa nyeri hanya dengan aliran udara ruangan ke atas luka, maka menutup luka dengan kain bersih dapat mengurangi nyeri. Jangan pecahkan bulla atau memberikan antiseptik. Obat-obat yang sebelumnya telah diberikan pada luka harus dibersihkan dahulu sebelum memberikan antibakteri topikal. Kompres dingin pada luka bakar dapat mengakibatkan hipotermia apalagi pada penderita dengan luka bakar luas.h. AntibiotikaPemberian antibiotika profilaksis tidak dianjurkan pada luka bakar yang baru terjadi. Antibiotika ditujukan untuk terapi bila terjadi infeksi. i. TetanusStatus imunisasi tetanus perlu ditanyakan pada penderita untuk menentukan perlu tidaknya pemberian anti tetanus.VI. INTUBASIa. Pengertian IntubasiIntubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.VII. TUJUAN INTUBASIIntubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :a. Mempermudah pemberian anesthesia.b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernapasan.c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.f. Mengatasi obstruksi laring akutVIII. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI INTUBASIIndikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.IX. KESULITAN INTUBASISehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.

Klasifikasi Mallampati :Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsilMallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvulaMallampati 3 : Palatum mole, dasar uvulaMallampati 4 : Palatum durum sajaSelain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat badan, kepala dan gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke dalam sistem penilaian yang diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada kriteria risiko = 2. Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :Lidah besarGerak sendi temporo-mandibular terbatasMandibula menonjolMaksila atau gigi depan menonjolMobilitas leher terbatasPertumbuhan gigi tidak lengkapLangit-langit mulut sempitPembukaan mulut kecilAnafilaksis saluran napasArthritis dan ankilosis cervicalSindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin (micrognathia, belahan langit-langit, glossoptosis),Treacher Collins (mandibulofacialdysostosis)Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok)Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses, retropharyngeal abses,epiglottitis)Massa pada mediastinumMyopati menunjukkan myotonia atau trismusJaringan parut luka bakar atau radiasiTrauma dan hematomaTumor dan kistaBenda asing pada jalan napasKebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah dan kepala, Kumis, jenggotNasogastrik tubeKurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru.

Gambar 3. Kesulitan intubasi trakea

Kelas 1: sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis dan epiglotis tampak; kelas 3: tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis terlihat; Kelas 4: tidak bahkan epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai 'mudah' dan kelas 3 dan 4 sebagai 'sulit'.X. KOMPLIKASITatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat dibagi menjadi :Faktor pasien:1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.Faktor yang berhubungan dengan anestesia:1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi selama tatalaksana jalan napas.2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.Faktor yang berhubungan dengan peralatan1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak tepat.Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau hipoksia otak.Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannotintubation (CVCI).

DAFTAR PUSTAKA

1. Longnecker D, Brwon D, Newman M, Zapol W. Anesthesiology. USA. The McGraw-Hill Companies. 20082. American Collage of Surgeons Committe on Trauma. Advanced Trauma Life Support For Doctors edisi 7. USA 20043. Dorland,Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29,Jakarta:EGC,1765.4. Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256.5. Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation,http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html6. Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation: A retrospective study. Anaesthesia. 1987;42:487-4907. Endotracheal Tube (Breathing Tube). Available at: http://www.suru.com/endo.htm. Accessed: 8th July 20148. Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in Intubated Neonatal in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-528. Available at: http://www.archoto.com. Accessed: 8th July 20141