lpkas lupuss gmo
DESCRIPTION
gmo adalah salah satu gannguan pada saraf yang mempengaruhi kegiatan sehari hari tepatnya menggangguTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma lupus eritematosus (SLE) merupakan prototipe penyakitotoimun
yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen inti sel yangberhubungan
dengan manifestasi klinis yang luas. SLE terutama menyerangwanita muda dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masareproduksi dengan ratio wanita:
laki-laki 5:1. Etiologinya tidak jelas, didugaberhubungan dengan gen respon imun
spesifik kompleks histokompatibilitasmayor kelas II, yaitu HLA (Human Leucocyte
Antigent ) DR-2 dan HLA-DR3.
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di
dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensipada berbagai
populasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih seringditemukan pada ras
tertentu seperti bangsa negro, China, dan mungkin jugaFilipina. Terdapat juga
tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi
penyakit.
Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen IlmuPenyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 %kasus pada
tahun 1998-1990. Diagnosis SLE ditentukandengan beberapa kriteria seperti kriteria
Dubois, criteria American College of Rheumatology atau criteria American
Rheumatic Association. Prinsip umum dalam penatalaksanaan SLE berupa
penyuluhan danintervensi psikologis. Penatalaksanaan dilaksanakan secara
komprehensif meliputinon medika mentosa dan medika mentosa.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS
Nama : Nn. zy
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 16 Tahun
Alamat : s.bayu
Pekerjaan : siswa
Status : Belum menikah
Agama : Islam
No. MR : 30.37.61
TMRS : November 2014
Tanggal Pemeriksaan : 25 November 2014
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Gatal – gatal dan terasa perih pada
daerah pipi dan kepala
Keluhan Tambahan : demam, kaku sendi bawah, mual,
tenggerokan perih
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia dengan keluhan gatal dibibir dan dipipi sejak
3 bulan yang lalu. Pasien merasa gatal, perih di dada kepala dan ditangan. Gatal-gatal
dan terasa panas bila terpapar sinar matahari. Pasien merasa demam, merasa pusing,
mual, dan tambah gatal pada malam hari. Dan juga mengeluh tungkai bawahnya
terasa lemas. Pasien belum pernah merasakan keluhan yang serupa. Sebelumnya
pasen sudah pernah berobat ke salah satu rumah sakit yang ada di kota lhokseumawe
dan dokter dirumah sakit tersebut mendiagnosanya dengan SLE,
Dari allo anamnesis diketahui, pasien mencari tahu tentang penyakitnya melalui
media onlie, setelah pasien memahami bagaimana penyakit SLE tersebut pasien
sering berbicara sendiri, tidak mau makan, dan pasien juga mengalami gangguan
mental, selama dirawat dirumah sakit cut meutia dokter spesialis jiwa mendiagnosa
dengan GMO.
Riwayat penyakit dahulu :
Tidak ada
Riwayat Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit apapun
Riwayat Pengobatan
Os belum pernah dirawat sebelumnya
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Riwayat Antenatal
Ibu rajin periksa kehamilan ke Puskesmas dan, selama kehamilan ibu penderita tidak
mengalami sakit apapun. Riwayat terpapar bahan kimia seperti insektisida juga tidak
ada.
2. Riwayat Natal
Lahir spontan ditolong oleh bidan di kampung, berat badan lahir, nilai APGAR,
panjang badan lahir dan lingkar kepala lahir ibu lupa.
3. Riwayat Neonatal
Os lahir langsung menangis dengan gerakan aktif dan warna seluruh badan
kemerahan. Selama periode ini penderita tidak pernah sakit.
2.3 PMERIKSAAN FISIK
A. Status Present
Keadaan umum : Lemah os juga berbicara ngaur
Kesadaran : Compos mentis
Pengukuran Tanda vital
Tekanan Darah : 11/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Suhu : 38,2° C
Respirasi : 22 kali/menit
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 153 cm
Gizi : Baik
B. Status Generalis
Kulit : Warna : normal
Sianosis : ujung kuku
Turgor : cepat kembali
Kelembaban : cukup
Pucat : tidak ada
Lain-lain : daerah wajah berflek berbentuk seperti kupu2
Kepala : Bentuk : normal
Lain-lain : -
Rambut : Warna : hitam
Tebal/tipis : tipis
Distribusi : merata
Lain-lain : tidak ada
Mata : Palpebra : edem (-/-)
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : pucat (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Produksi air mata : cukup
Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm
Simetris : isokor, normal
Reflek cahaya : (+/+)
Kornea : jernih/jernih
Telinga : Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : ada
Sekret : tidak ada
Mulut : Bentuk : simetris
Bibir : mukosa bibir kering, bibir udema
Gusi : pembengkakan (+), berdarah (-)
Gigi-geligi : normal
Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : kotor
Faring : Hiperemi : ada
Edema : ada
Tonsil : Warna : kemerahan
Pembesaran : tidak ada
Abses/tidak : tidak ada
Leher :
Vena Jugularis, Pulsasi : tidak terlihat
Pembesaran kelenjar : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
Masa : tidak ada
Tortikolis : tidak ada
Toraks :
Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk : simetris
Retraksi : tidak ada
Dispneu : ada
Pernafasan : thorakal
Palpasi : Fremitus fokal : simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : Suara Napas Dasar : Vesikuler
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Apeks teraba di ICS V II jari medial linea midklavikula sinistra,
intensitas normal, pelebaran (-),irama reguler dan thrill (-)
Perkusi : Batas Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan : ICS IV linea parasternal dekstra
Batas Kiri : ICS V 2 jari medial linea midklavikula
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung : M1 > M2, A2 >A1, P2 >P1, A2>P2
Suara Tambahan : Tidak Ada
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk : datar, simetris, benjolan (-)
Palpasi : Hati : normal
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa : tidak ada
Perkusi : Timpani/pekak : timpani
Asites : (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Umum : akral dingin, edem tidak ada, kuku tangan membiru
Neurologis
Tanda
Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Refleks
Fisiologis
BPR (+)
TPR (+)
BPR (+)
TPR (+)
KPR (+)
APR (+)
KPR (+)
APR (+)
Refleks patologis Hoffman (-)
Tromner (-)
Hoffman (-)
Tromner (-)
Babinsky (-)
Chaddok (-)
Babinsky (-)
Chaddok (-)
Sensibilitas Normal Normal Normal Normal
Tanda meningeal (-) (-) Tidak ada Tidak ada
C. Status Urologis:
Flank : I: simetris
P: ballotement -/-; Nyeri tekan -/-
P: Nyeri ketok CVA -/-
Symphisis : Buli: bulging(-) kesan = Kosong, nyeri tekan (-)
Genitalia : Wanita, BAK spontan.
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
28-11-2014
HEMATOLOGI KLINIK
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 8,2 g% 12-16
LED - <20
Eritrosit 2,9 x 103/mm3 3,8-5,8 x 103/mm3
Leukosit 7,7 x 103/mm3 4-11
Hematokrit 12,0 % 37-47
MCV 90 fl 76-96
MCH 28,1 pg 27-32
MCHC - 30-35
RDW 15,1 % 11-15
Trombosit 180 x 103/mm3 150-450
Malaria Negatif Negatif
28-11-2014
Urinalisa
Makroskopis Hasil Nilai Normal
Kekeruhan Keruh Jernih
Warna Kuning muda Kuning muda
Berat Jenis 1,005 1,010-1,035
pH 7 4,6-8
Protein 75 mg/dl (+2) Negatif
Glukosa (Reduksi) Negatif Negatif
Billirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Blood dan Hb 150/UI (+4) Negatif
Leukosit 25/UI (+) Negatif
30-11-2014
KIMIA KLINIK
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Fungsi Hati
Total protein 4,8
Albumin 2,3
Globulin 2,5
Fungsi Ginjal
Ureum 29 mg/dl 20 – 40
Creatinin 0,27 mg/dl 0,6 – 1,6
Urin acid 3,2 mg/dl 6,8
Metabolism lemak
Total kolesterol 172 mg/d
HDL cholesterol 45 mg/dl
LDL cholesterol 67 mg/dl
Trigliserida 191 mg/dl
28-11-2014
SEROIMMUNOLOGI KLINIK
Pemeriksaan
Widal Test Slide O H
S. Typhi 1/160 1/80
S. Typhi A 1/160 1/320
S. Typhi B 1/40 1/40
S. Typhi C 1/320 1/160
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menegakkan diagnosis
American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982 mengajukan 11kriteria untuk
klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, makadiagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria
tersebut adalah:
1. Ruam malar (+)2. Ruam discoid3. Fotosensitivitas 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring (+)5. Artritis (+)6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis (+)7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gram/hari, atau adanyasilinder
sel (+)8. Kelaianan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis (+)9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau leukopenia,
ataulimfopenia, atau trombositopenia (+)
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti smpositif atau tes serologic untuk sifilis yang positif palsu
#Anti-DS DNA : Reaktif > 236 IUS11. Antibodi antinuklear (ANA) positif
DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : SLE
Diagnosis banding :
RENCANA TERAPI
Secara umum terapi SLE untuk pasien diatas adalah sebagai berikut:
Mencegah perluasan kelainan kulit pada lupus, dengan mencegah paparan dari sinar
matahari
Pengobatan simptomatik dan supportif
Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) : untuk pengobatan simptomatik
Obat anti malaria (chloroquine, hydroxychloroquine) : Untuk mengobati rash, artritis
dan malaise.
Kortikosteroid : Untuk flare yang parah dan untuk terapi maintenance (dalam dosis
rendah)
Obat-obat imunosupresif (azathioprine,methotrexate,cyclophosphamide, etc) : untuk
flare yang parah (kombinasi dengan kortikosteroid)
Terapi tambahan :
Pengobatan hipertensi
Pengobatan infeksi
Pengobatan cerebral lupus (seperti antikonvulsan)
Pengobatan trombosis
Pengobatan gangguan hematologi (seperti splenectomi)
Monitoring terapi
Monitoring terhadap komplikasi SLE terhadap organ-organ lain
Monitoring terhadap terjadinya infeksi
Monitoring efek samping obat
Pemeriksaan ureum dan kreatinin serum
2.8 PROGNOSIS
Dilaporkan bahwa survival rates pada pasien SLE adalah
- Survival rates 5 tahun : 86 – 88 %
- Survival rates 10 tahun : 76 – 87 %
Kebanyakan pasien SLE meninggal bukan karena penyakitnya, tapi karena
komplikasi lain seperti infeksi dan iskemic heart desease
Terapi yang didapatkan selama dirumah sakit
IFVD RL 20gtt/i
Injeksi Cefotaxime 1 gr/12 jam
Injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam
Injeksi Ondansetron 1 amp/12 jam
Oral
Resperidon 2mg 1x1
THp 2mg 1x1
Kalxetin 10 mg 1x1
OMZ 1x1
PCT 3x1
STATUS FOLLOW UP
Tanggal S O A P
26/11/2014
H+1
Nyeri pada
leher (+),
Demam (+),
Batuk
berdahak (+),
Dahak hijau
(+),
Nyeri perut
(+),
Kesadaran
CM,
TD: 120/80
RR: 23x/i
HR: 80x/i
TEM: 38,7 C
SLE , GMO
thyphoi
RL 20gtt/i
Oral
Resperidon 2mg 1x1
THp 2mg 1x1
Kalxetin 10 mg 1x1
OMZ 1x1
PCT 3x1
Pland U/D rutine,
Lemas (+),
Lidah kotor
(+),
Halusinasi (+),
gatal2 dimuka
(+)
Sensitive
terhadap sinar
matahari (+)
widal tes
Anti dengue tes
Methyl prednisolon
2x1
27/11/2014
H+2
Pusing (+),
BAB cair (+)
Sariawan(+)
Muka udema
(+)
Batuk
berdahak (+)
Halusinasi (+)
Ada flek
diwaah
Kesadaran
CM,
TD: 120/70
RR: 20x/i
HR: 82x/i
TEM: 37,3 C
SLE , GMO
Thyphoi
RL 20gtt/i
Inj. Ondansetron
1amp/12 jam
Inj.Ranitidine
1amp/12 jam
oral
Diaform 3x1
Resperidon 2mg 1x1
THp 2mg 1x1
Kalxetin 10 mg 1x1
OMZ 1x1
PCT 3x1
Methyl prednisolon
2x1
28/11/201
4H+3
BAB cair (+),
Lemas (+),
Batuk (+),
Pusing(+),
Muka udema,
ada flek
diwajah
Kesadaran
CM,
TD: 110/80
RR: 22x/i
HR: 79x/i
TEM: 37,8 c
SLE , GMO
Thyphoi
RL 20gtt/i
Injeksi
Ranitidine 1ampl/12
jam
Cefotaxim 1amp/12
jam
Oral
Resperidon 2mg 1x1
THp 2mg 1x1
Kalxetin 10 mg 1x1
OMZ 1x1
PCT 3x1
29/11/2014
H+4
Demam (+)
batuk (+)
halusinasi (+)
Kesadaran
CM,
TD: 110/80
RR: 23x/i
SLE , GMO
Thyphoi
RL 20gtt/i
Injeksi
Ranitidine 1ampl/12
jam
HR: 79x/i
TEM: 37,8 C
Cefotaxim
1amp/12jam
Ondan 1amp/12jam
Oral
Resperidon 2mg 1x1
THp 2mg 1x1
Kalxetin 10 mg 1x1
PCT 3x1
Mucogard 3x1
Methyl prednisolon
2x1
30-2014
H+5
Pusing(+)
Nyeri kuduk
(+)
BAK warna
teh (+)
Demam (+)
Sendi lemas
(+)
Mata perih kiri
dan kanan (+)
Kesadaran
CM,
TD: 130/80
RR: 23x/i
HR: 79x/i
TEM: 37,8 C
TD 130/80
SLE , GMO
Thyphoi
RL 20gtt/i
Injeksi
Ranitidine 1ampl/12
jam
Cefotaxim
1amp/12jam
Ondan 1amp/12jam
Oral
Resperidon 2mg 1x1
Sariawan (+) THp 2mg 1x1
Kalxetin 10 mg 1x1
PCT 3x1
Mucogard 3x1
Methyl prednisolon
2x1
01-11-2014
H+6
Demam (+)
Pusing (+)
Batuk
berdahak (+)
os merasa
perut terasa
penuh (+)
Kesadaran
CM,
TD: 110/80
RR: 23x/i
HR: 79x/i
TEM: 37,6 C
SLE , GMO
thyphoi
RL 20gtt/i
Injeksi
Ranitidine 1ampl/12
jam
Cefotaxim
1amp/12jam
Ondan 1amp/12jam
Oral
Resperidon 2mg 1x1
THp 2mg 1x1
Kalxetin 10 mg 1x1
PCT 3x1
Mucogard 3x1
Sohobion 2x1
Methyl prednisolon
2x1
02-11-2014
H+7
Sendi lemas
(+)
Pasien demam
(+)
Pusing (+)
Batuk
berdahak (+)
os merasa
perut terasa
penuh (+)
Kesadaran
CM,
TD: 110/80
RR: 20x/i
HR: 78x/i
TEM: 38,6 C
SLE , GMO
Thyphoi
Ranitidine 1ampl/12
jam
Cefotaxim
1amp/12jam
Novalgin 1 ampul/8
jam
Ondan 1amp/12jam
Oral
Resperidon 2mg 1x1
THp 2mg 1x1
Kalxetin 10 mg 1x1
PCT 3x1
Mucogard 3x1
Sohobion 2x1
Foransi 1x1
Methyl prednisolon
2x1
03-11-2014
H+8
Sakit kepala
(+)
Nyeri ulu hati
(+)
Sesak sekali-
sekali
Tidak bisa
tidur malam
Lemas tungkai
bawah
Sariawan (+)
Batuk
berdahak (+)
Kesadaran
CM,
TD: 110/80
RR: 23x/i
HR: 79x/i
TEM: 37,8 C
SLE , GMO
Thyphoi
RL 20gtt/i
Injeksi
Ranitidine 1ampl/12
jam
Cefotaxim
1amp/12jam
Ondan 1amp/12jam
Oral
Resperidon 2mg 1x1
THp 2mg 1x1
Methyl prednisolon
2x1
pasien PBJ
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Epidemiologi
Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di
seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus.
Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak
dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara
usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun.1
Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat
prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan.
Insidens SLE pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar
15-17%. Penyakit SLE jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang
remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga
meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit SLE di kalangan
penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk
berkulit putih.2
SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia,
Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi
melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang
per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras
Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri
epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.1
Definisi Lupus Erythematosus
Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan
dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus
eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh
menyerang jaringannya sendiri.1
Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata “lupus”
dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa yunani yang berarti
merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi,
yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Tetapi pendapat lain menyatakan
istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin, melainkan dari istilah topeng perancis
dimana dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng
ini dinamakan ”Loup”,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau ”wolf” dalam
bahasa Inggris.3
Sejarah lupus eritematosus
Sejarah penyakit lupus eritmatosus dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu (3) :
1.Periode Klasik
Dimulai ketika penyakit ini ditemukan pada zaman abad pertengahan dan
memperlihatkan gambaran adanya gangguan pada manifestasi kulit. Istilah lupus
muncul pada abad 13 yaitu pada masa Rogerius, seorang tenaga medis yang
mendeskripsikan classic malar rash, yaitu lesi berupa erosi pada kulit wajah yang
menyerupai gigitan serigala. Sejarah lupus pada zaman klasik berdasarkan atas
gambaran klinis berupa lesi di kulit yang meliputi lupus vulgaris, lupus profundus,
lupus diskoid, dan fotosensitivitas pada ruam malar/ butterfly rash.1,4
Gambaran klasik penampakan kulit lupus dideskripsikan juga oleh beberapa
penemu, yaitu: Thomas Bateman, seorang murid ahli kulit berkebangsaan Inggris
Robert William, pada awal abad XIX, kemudian oleh Cazenave, seorang murid ahli
kulit berkebangsaan Perancis Laurent Biett, pada tengah abad XIX, dan oleh Moriz
Kaposi (Moriz Kohn), seorang murid dan menantu ahli kulit berkebangsaan Austria
bernama Ferdinand von Hebra, pada akhir abad XIX Lesi berupa ruam diskoid
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1833 oleh Cazenave dengan nama eritema
sentrifugum, sedangkan ruam yang sekarang dikenal sebagai ruam malar pertama kali
diperkenalkan oleh Hebra pada tahun 1846. Gambaran lupus eritematosus yang
pertama kali dipublikasikan berasal dari tulisan von Hebra yang berjudul Atlas
Penyakit Kulit, dipublikasikan pada tahun 1856.1
2. Periode Neoklasikal
Dimulai oleh Moric Kaposi pada tahun 1872 yang menemukan manifestasi
penyakit sistemik. Kaposi mengemukakan dua tipe lupus eritematosus, yaitu tipe
diskoid dan tipe disseminated. Kaposi juga menyebutkan beberapa tanda/gejala yang
menggambarkan tipe disseminated, yaitu : nodul subkutan, artritis dengan hipertrofi,
sinovial pada sendi kecil maupun besar, limfadenopati, demam, berat badan
berkurang, anemia, keterlibatan SSP.1
3.Periode Modern
Mulai tahun 1984 ditemukan sel lupus eritematosus (sel LE) oleh Hargraves
dkk. yang meneliti sel yang berasal dari sumsum tulang penderita lupus eritematposus
tipe disseminated akut. Dua penanda imunologik pada penyakit lupus ditemukan pada
tahun 1950, yaitu tes false-positif biologis untuk sifilis dan tes imunofluoresen untuk
antinuclear antibodi. Ada dua kemajuan utama pada periode modern yaitu
perkembangan studi lupus pada binatang, dan pengenalan aturan predisposisi genetik
pada perkembangan lupus. 1
Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik
Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi
diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor
lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang
menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte
Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus
eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T
yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody. 4
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus
bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor
lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa
molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.3,
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis
Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of
Rheumatology, 6th ed 2001)
Ultraviolet B light
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1
Faktor diet
Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;
Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.
Faktor Infeksi
DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu :
Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa;
D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a; Interferon-a.
Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :
Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari
gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi
menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak
diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang
mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi
menyerang selnya sendiri.
Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan (anti-DNA).
Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi
komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit
dan ginjal. 2
Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan lanjutan dari
reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA. 2
2.4 Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik
Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu :
faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor
genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens)
yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex)
mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi
defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA),
atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik
yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan
komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q
menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen
nuklear akan menimbulkan respon imun. 3,4
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra
violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi
karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan
pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase
induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada
inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus,
yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen
infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis. 3,4
Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B
menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi
ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang
berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan. 3,4
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling
sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi
terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya
titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. 4
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat
sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah
destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc
imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia
autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat
berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga
dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula
sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab
vaskulitis.4
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai
sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan
pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu
penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat
ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.4
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya
kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan
dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di
jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen
dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada
dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. 2
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti
anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper menyatakan bahwa
menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang
menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk
mendapat LES. 2,4
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar
hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan
prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar
16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester
ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat
perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas
akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.2,4
Klasifikasi SLE
Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American
College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997.
Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut mempunyai sensitivitas
96% dan spesifisitas 100%. Meskipun sebagian besar penderita LES mempunyai
ANA, namun titer yang rendah atau moderat mempunyai spesifisitas yang rendah.
Sedangkan penderita yang mempunyai antibodi terhadap dsDNA dan Sm hampir
pasti juga mempunyai ANA.2
Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat
juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala
terkenanya sistem imun.1
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah
5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan
sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. 1
Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling sering adalah
anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable.
Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus. 4
Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia
(90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena
adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. 4
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi
pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat
menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis
umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid
dan vaskulopati. 4
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak
proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis
menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA
polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan
mekanisme arthritis pada SLE.4
Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-
kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua
pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan
bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. 4
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena
sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat
bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang
tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.5
Lesi Kulit Sub Akut
Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.5
Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun.
Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di
monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi
antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni
ringan.5
Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada,
punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10
mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema,
hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang
meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau
sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.5
Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih
sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis
(DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak. 5
Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit
dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga
tampak perdarahan dan eritema periungual.4,5
Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang
secara klinis dan serologis.5
Kelainan pada Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis.
Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya
LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah :
Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
Kelas III: focal lupus nephritis
Kelas IV: diffuse lupus nephritis
Kelas V: membranous lupus nephritis
Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu
nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan
kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta
gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang
ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta
perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.2,3,4
Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering
unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.2,3,4
Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak
dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.4
Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut
abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis.
Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan
yang adekuat. 2,3,4
Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali
normal. 2,3,4
Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya
berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis
membesar pada 60% kasus SLE. 2,3,4
Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.
Biasanya bersifat sementara. 6
Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan
kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan
memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan
psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait
dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan
perlu dilakukan.6
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis
organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan
dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala
delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak.6
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain
yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal,
hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit
kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang
memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus
koroideus. 6
Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-
positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia, dan lekopenia. 2,3,4
Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan
aktivasi komplemen lokal. 2,3,4
Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis SLE
Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah Analisis
darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi antinuclear (ANA), Anti-
dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolipid, antihiston,
dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50, Titer IgM, IgG, IgA, krioglobulin, masa
pembekuan, serologi sifilis (VDRL), Uji Coombs, Elektroforesis protein, Kreatinin
dan ureum darah, Protein urin (total protein dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama
dalam urin dan foto rontgen dada. 4
Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat
berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat
dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung jenis,
trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds DNA. 4
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi
yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of
Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari
11 kriteria ACR tersebut. 2,3,4
Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology).
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)
No Kriteria Definisi
1 Bercak malar
(butterfly rash)
Eritema datar atau menimbul yang menetap di
daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan
nasolabial
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular plugging, pada
lesi lama dapat terjadi parut atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar
matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian
perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak
atau efusi
6 Serositif a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural
friction rub atau terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisik.
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar
pericardial friction rub atau terdapat efusi
perikardial pada pemeriksaan fisik
7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau
pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif
tidak dapat dilakukan.
atau
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular
atau campuran
8 Gangguan saraf Kejang
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
atau
Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah
Anemia hemolitik à dengan retikulositosis
Leukopenia à < 4000/mm3 pada > 1
pemeriksaan
Limfopenia à < 1500/mm3 pada > 2
pemeriksaan
Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya
intervensi obat
10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan
Anti ds-DNA diatas titer normal
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang
abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes
standar
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan ditemukannya
Treponema palidum atau antibodi treponema
11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100% spesifisitas
Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus aktif. Ini adalah
alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat ditemukan tanpa penyakit
atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan lainnya. Tingkat anti-DNA rantai
ganda, yang lebih spesifik untuk lupus, mencerminkan tingkat aktivitas penyakit.
Tingkat serum dari total hemolitik komplemen (CH50), C3, dan C4 akan menurun
pada penyakit aktif dan memberikan ukuran kedua aktivitas penyakit. 4
Komplikasi
Komplikasi LES pada anak meliputi: 2,3
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)
Gejala neuropsikiatri (22%)
Kerusakan muskuloskeleta (9%)
Gangguan fungsi gonad (3%).
Penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ
yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari
pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter
laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit. SLE yang tidak diobati
dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat menjadi penyakit menahun, atau
kematian yang cepat. 4
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps.
Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting
dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling
memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem
pada anak dan remaja. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk
pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan
dermatologis dan nutrisionis. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan
sejak remaja. 1
Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya kenaikan berat
badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan “junk
food” atau makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari kenaikan berat
badan berlebih.
Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada anak
jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB.
Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat
pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis dihindari dan hanya
diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat beberapa patokan untuk
penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu ;
diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi bakterial
sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit >10.000)
harus dianggap sebagai gejala infeksi,
gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai infeksi
bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan
setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis. 1
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid
5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan
hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien. 2,3,4
Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal),
antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah. 2,3,4
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan
ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia
dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin). 2,3,4
Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison dosis 1-2
mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal,
dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun sampai mencapai dosis efektif
terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian
harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5
mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine. 2,3,4
Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1
adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat. 2,3,4
Lupus nefritis
Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO
Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan
terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan
perubahan status penyakit menjadi lebih parah.
Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama
agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal necrotizing.
Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena
ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison. Siklofosfamid
intravena telah digunakan secara luas baik untuk DPGN maupun bentuk lain dari
lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk
tipe DPGN. Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar
komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati selama
4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari
pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan
dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-
4.000/ml).
Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan
kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A, (3).
sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil. Proteinuria sering bisa diturunkan
dengan ACE inhibitor. Pada Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya
adalah dialisis dan transplantasi renal. 2,3,4
Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah
kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol dan
splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik, terapi yang dipertimbangkan adalah
kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi. 2,3,4
Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena. 2,3,4
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena. 2,3,4
Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES
Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat (maksimal
400 mg/hari)
Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate
yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah
harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone dosis tinggi
intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu.
Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3
minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan
dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit
dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari.
Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari
Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari
Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
5. Suplemen Kalsium dan vitamin D
Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
6. Anti-hipertensi
Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap
4-8 jam.
Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila
perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari
Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap
dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari 2,3,4
Prognosis
Masa kanak-kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit fatal
seragam. Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr survival rate lebih
besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien dengan lupus saat ini
termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru-paru, dan infark miokard;
yang terakhir mungkin komplikasi akibat administrasi kortikosteroid kronis dalam
pengaturan kekebalan penyakit kompleks. 1
LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa
penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%.
Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun,
sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya
secara jangka panjang dan menetap. 4
BAB IV
KESIMPULAN
Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem
tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi penyakit LES masih belum terungkap
dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang
didapat dan faktor lingkungan. Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila
membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem
imun dan hormon.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang
paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of Rheumatology
(ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR
tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak discoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis,
serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan
gangguan antinuclear.
Komplikasi LES pada anak meliputi: hipertensi, gangguan pertumbuhan, gangguan
paru-paru kronik, abnormalitas mata, kerusakan ginjal permanen, gejala
neuropsikiatri, kerusakan muskuloskeleta dan gangguan fungsi gonad.
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ
yang sudah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Last update: 1
Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org
Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 16 Mei, 2009.
Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com.
Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 14
Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com.
Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Last update : February, 2007. Available at
htttp://www.emedicine.com.
Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.