lp cva plus ich

22
LAPORAN PENDAHULUAN DEPARTEMEN MEDIKAL RUANG 26 STROKE “Cerebrovascular Accident : Intracerebral Hemorrhage” Oleh : Nurul Ardlianawati 0910720063

Upload: ina-karania-widhi

Post on 27-Oct-2015

834 views

Category:

Documents


87 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN

DEPARTEMEN MEDIKAL RUANG 26 STROKE

“Cerebrovascular Accident : Intracerebral Hemorrhage”

Oleh :

Nurul Ardlianawati

0910720063

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2013

“Cerebrovascular Accident : Intracerebral Hemorrhage”

1. Definisi dan Klasifikasi

Cerebrovascular accident (CVA) atau biasa dikenal sebagai stroke,

merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan pada suplai oksigen di

otak. Gangguan suplai oksigen ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu iskemik (85%

kasus) dan hemoragik (15% kasus). Stroke iskemik terjadi akibat pembuluh

darah mengalami sumbatan, sehingga mengakibatkan hipoperfusi pada

jaringan otak. Sedangkan stroke hemoragik terjadi akibat adanya

ekstravasasi darah/perdarahan pada otak (Smeltzer and Barre, 2010).

Tabel 1. Klasifikasi Stroke dan Penyebabnya (Smeltzer and Barre,

2010)

Intracerebral Hemorrhage (ICH)

Adalah suatu keadaan perdarahan yang terjadi dalam substansi otak,

seringkali terjadi pada pasien hipertensi dan atherosclerosis serebral karena

perubahan degenaratif kedua penyakit tersebut menyebabkan ruptur pada

pembuluh darah. Perdarahan/hemoragi yang terjadi juga dapat diakibatkan

oleh keadaan patologi pada arteri, tumor otak, dan penggunaan medikasi

seperti antikoagulan oral, amfetamin, dan obat-obatan narkotik (kokain).

Perdarahan yang terjadi biasanya pada pembuluh darah arteri dan

berada pada lobus serebral, ganglia basalis, thalamus, batang otak

(terutama pons), serta serebelum. Hemoragik yang terjadi mengakibatkan

rupture pada dinding ventrikel lateral dan menyebabkan hemoragi

intraventrikular, yang sering bersifat fatal pada penderitanya.

Gambar 1. Intracerebral Hemoragik (kanan atas)

2. Etiologi dan Faktor Resiko

Faktor Resiko yang Dapat dimodifikasi

Faktor Resiko yang Tidak Dapat dimodifikasi

- Tekanan darah tinggi

- Merokok

- Diabetes Mellitus

- Aterosklerosis

- Atrial fibrilasi

- Penyakit jantung lain

- Transient ischemic attack

- Anemia bulan sabit

- Kolesterol tinggi

- Obesitas

- Intake alkohol yang tinggi

- Penggunaan obat-obatan

ilegal

- Usia tua

- Jenis kelamin (banyak terjadi

pada laki-laki)

- Herediter/genetik

- Riwayat stroke atau

serangan jantung

sebelumnya

Table 2. Faktor Resiko CVA ICH

3. Manifestasi Klinis

Gejala CVA sesuai dengan Area arteri yang terkenahemiparesis dysphasia Perubahan

visualPenurunan

level kesadaran

ataksia

karotid v v v vCerebral tengah

v v v v

vertebrobasilar v v

Tabel 2. Gejala CVA berdasarkan Area yang Terkena serangan

Keterangan:

- Hemiparesis : paralisis/kelumpuhan otot pada salah satu sisi tubuh

Gambar 2. Bagian otak yang mengalami stroke berlawanan dengan

kelumpuhan yang terjadi

- Dysphasia : kesulitan dalam mengucapkan atau menyusun kata-kata

- Perubahan visual : perubahan lapang pandang penderita. Contoh

lapang pandang penderita stroke tergantung pada area otak yang

mengalami gangguan. Berikut adalah perubahan lapang pandang yang

dapat terjadi:

Gambar 3. Gambaran perubahan visual pada penderita stroke

- Penurunan level kesadaran : penurunan Glasgow coma scale

- Ataksia : kegagalan otak untuk mengontrol pergerakan tubuh,

sehingga gerakan tubuh menjadi tidak terkendali

manifestasi jangka pendek manifestasi jangka panjang

- Deteriorasi neurologic- Resiko kegagalan respirasi

- Fungsi motorik terganggu- Apasia- Emosi labil- Ketidakmampuan dalam

memenuhi ADL- Pengabaian unilateral- Homonymous hemianopsia

Hipertensi tidak

terkontrol

Aterosklerosis serebral

Ruptur pembuluh darah

Peningkatan tekanan pada

sistem vaskular serebral

Kelainan pada struktur pembuluh darah otak

Jenis kelamin laki2

Penggunaan obat-obatan

narkotik, antikogulan

oral

Penumpukan blood clot pada

pembuluh darah dalam jangka waktu

lama

Riwayat merokok, konsumsi lemak tinggi

↑ kekakuan vaskuler

Darah masuk ke dalam jaringan serebral

Hemoragik serebral

Metabolisme otak terganggu

↑ tekanan intracranial

vasospasme

↑ tahanan vaskuler

ketidakefektifan perfusi jaringan

serebral

Rembesan darah mengenai lobus

motorik

Gangguan mobilitas

fisik

darah mengenai lobus

speech

Gangguan komunikasi

verbal

Resiko injuri

Deficit perawatan

diri

4. Pohon Masalah dan Diagnosa Keperawatan

5. Pemeriksaan Penunjang

Berikut adalah beberapa pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan

untuk menentukan status stroke (CVA) (Smeltzer and Barre, 2010; Williams

and Hopkins, 2003):

- CT-scan : dapat mengetahui ukuran dan lokasi arteri yang

mengalami hemoragik.

- EEG (elektro enchepalografi)

- Arteriogram

- MRI

6. Penatalaksanaan Medis

- Terapi farmakologis

- Terapi pembedahan, bisa dilakukan kraniotomi untuk menghilangkan

thrombus atau aneurisma yang terbentuk.

7. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian fokus pada neurologik harus dilakukan, seperti pengkajian:

- Ada tidaknya penurunan level kesadaran

- Reaksi pupil

- Disfungsi motorik dan sensorik

- Defisit saraf kranial (pergerakan mata ekstraokular, kecenderungan/

kemencengan muka, adanya prolapse/ terkulainya organ)

- Kesulitan berbicara dan gangguan visual

- Sakit kepala dan kaku kuduk

Karena perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling lama kontak

dengan pasien, maka monitoring status mental GCS oleh perawat

merupakan hal krusial pada pasien-pasien stroke.

8. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

2. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan kognitif-motorik akibat

hemoragik serebral

3. Gangguan komunikasi verbal b.d penurunan sirkulasi ke otak

4. Resiko injuri

5. Deficit perawatan diri : mandi, makan, berpakaian, toileting b.d

gangguan kognitif-motorik akibat hemoragik serebral

6. Tujuan Rencana Intervensi (NOC)

1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

a. Tissue perfusion : cerebral (tekanan intakranial dalam batas normal,

tekanan darah dalam batas normal (90-120/60-80) mmHg, MAP

antara 30-40 mmHg, penurunan level kesadaran tidak terjadi,

gangguan kognitif tidak terjadi)

2. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan kognitif-motorik akibat

hemoragik serebral

a. Immobility consequences : physiological ( tidak ada decubitus, tidak

terjadi kontraktur sendi, tidak ada thrombosis vena )

3. Gangguan komunikasi verbal b.d penurunan sirkulasi ke otak

a. Communication (klien mampu menggunakan bahasa verbal, klien

mampu menggunakan bahasa non-verbal, klien mengerti bahasa

yang disampaikan orang lain, klien mampu melakukan komunikasi

dua arah dengan orang lain)

4. Resiko injuri

a. Falls prevention behavior (terdapat tepi pengaman pada bed klien,

dilakukan asistensi terhadap mobilisasi klien)

5. Deficit perawatan diri : mandi, makan, berpakaian, toileting b.d

gangguan kognitif-motorik akibat hemoragik serebral

a. Self care : ADL (klien mendapat bantuan untuk makan, berpakaian,

toileting, mandi, oral hygiene)

6. Intervensi Keperawatan (NIC)

1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

a. Cerebral perfusion promotion

- Monitor status neurologi

- Monitor protrombine time dan parsial thrombin time

- Lakukan plebotomi untuk memantau level analisa darah lengkap

- Hindari hiperfleksi pada leher

- Kolaborasikan dengan tim medis tentang pemberian posisi head of

bed antara 15-30°, dan monitor respon pasien terhadap posisi kepala

- Kolaborasi pemberian antikoagulan

- Monitor tanda-tanda perdarahan

2. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan kognitif-motorik akibat hemoragik

serebral

a. Pressure ulcer prevention

- Observasi keadaan kulit setiap hari, terutama area yang memiliki

resiko tinggi luka tekan

- Lakukan perubahan posisi 1-2 jam sekali

- Hindari kerutan pada linen

- Gunakan air hangat dan sabun lembut saat memandikan

- Gunakan pengganjal/bantal pada area-area resiko tinggi luka tekan

seperti sacrum, siku, tungkai

- Edukasi keluarga untuk melaporkan adanya kerusakan integritas kulit

b. Exercise therapy : joint mobility

- Kaji keterbatasan gerak sendi klien

- Buatkan jadwal melaksanakan range of motion

- Ajarkan range of motion

- Ajarkan keluarga untuk melakukan latihan ROM pada pasien

- Kaji adanya nyeri pada saat melakukan exercise

3. Gangguan komunikasi verbal b.d penurunan sirkulasi ke otak

a. Communication enhancement : speech deficit

- Ajak keluarga untuk menerjemahkan maksud verbal klien jika

diperlukan

- Dengarkan klien dengan seksama

- Gunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti

- Jangan berteriak kepada klien

- Beri dukungan kepada klien untuk melafalkan kata-kata dengan

benar

- Gunakan bahasa non verbal/gestur jika diperlukan

4. Resiko injuri

a. Fall prevention

- Kaji adanya gangguan lingkungan yang berpotensi meningkatkan

resiko jatuh klien

- Identifikasi perilaku klien yang menimbulkan resiko jatuh

- Monitor adanya kelianan mobilisasi, keseimbangan, dan level

kelemahan klien

- Asistensi klien pada saat ambulasi/mobilisasi

- Gunakan bedside rails untuk mencegah klien jatuh dari tempat tidur

- Ajarkan klien untuk meminta bantuan kepada orang lain jika ingin

melakukan ambulasi/mobilisasi

5. Defisit perawatan diri : mandi, makan, berpakaian, toileting b.d gangguan

kognitif-motorik akibat hemoragik serebral

a. Self care assistance

- Kaji batasan kemampuan klien dalam melakukan ADL dan perawatan

diri

- Fasilitasi peralatan hygiene klien

- Bantu klien memenuhi ADL dan perawatan diri

- Tetapkan jadwal melakukan ADL perawatan diri untuk klien seperti

sistensi mandi, makan, dll.

- Mandirikan klien sesuai dengan kemampuannya dalam

melaksanakan ADL dan perawatan diri, bantu jika diperlukan

Daftar Pustaka

- Bulechek GM, Butcher HW, Dochterman JM. 2008. Nursing Intervention

Classification (NIC) ed5. St Louis: Mosby Elsevier.

- Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi ed 3. Jakarta: EGC.

- Davey, P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

- Herdman H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions

and Classifications 2012-2014. Oxford: Wiley Blacwell.

- Mitchell, et al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit ed.7. Jakarta:

EGC.

- Morrhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2008. Nursing

Outcomes Classification (NOC) ed4. St Louis: Mosby Elsevier.

- Smeltzer, S., and Barre, B. 2010. Medical Surgical Nursing.

Philadelphia : Davis Comp.

- Williams, SH., Hopper. 2003. Understanding Medical Surgical Nursing.

Philadelphia: Davis Comp.

Saraf-saraf Kranial

Cara Pemeriksaan Saraf Kranial

Mengkaji Kekuatan Otot

Mengkaji Refleks

1. Reflex bisep

Reflex bisep ditimbulkan melalui memberikan pukulan refleks pada siku

yang difleksikan seperti pada gambar. Pemeriksa memegangsiku bagian

bawah dengan satu tangan, kemudian menaruh ibu jari melawan tendon

klien dan memukulkan refleks hammer pada area bisep. Respon normal

adalah klien akan memfleksikan sikunya dan bisep berkontraksi.

2. Reflex trisep

Refleks dilakukan dengan cara memfleksikan lengan klien pada siku dan

diposisikan di depan dada. Pemeriksa memegang lengan pasien dan

mengidentifikasi tendon trisep dengan mempalpasi 2,5-5 cm di atas siku.

Pukulan langsung pada siku secara normal dapat menghasilkan kontraksi

otot trisep dan ekstensi siku.

3. Reflex brakioradialis

Lengan atas klien diletakkan pada pangkuan abdomen, dan dilakukan

pukulan lembut menggunakan refleks hammer 2.5-5 cm di atas

pergelangan tangan. Respon normal akan menghasilkan fleksi pada

pergelangan tangan dan supinasi lengan atas.

4. Reflex patella

Reflex patella dikaji dengan memukulkan tendon patellar di bawah

patella. Klien bisa duduk atau berbaring. Jika klien berbaring, pemeriksa

memegang kaki agar kaki klien relaksasi. Kontraksi otot kuadriseps dan

ekstensi tungkai adalah normal respon yang dihasilkan.

5. Reflex ankle

To elicit an ankle (Achilles) reflex, the foot is dorsiflexed at the ankle and the hammer strikes the stretched Achilles tendon (see Fig. 60-15D). This reflex normally produces plantar flexion. If the examiner cannot elicit the ankle reflex and suspects that the patient cannot relax, the patient is instructed to kneel on a chair or similar elevated, flat surface. This position places the ankles in dorsiflexion and reduces any muscle tension in the gastrocnemius. The Achilles tendons are struck in turn, and plantar flexionis usually demonstrated.

6. Klonus

When reflexes are very hyperactive, a phenomenon called clonus may be elicited. If the foot is abruptly dorsiflexed, it may continue to “beat” two or three times before it settles into a position of rest. Occasionally with central nervous system disease this activity persists and the foot does not come to rest while the tendon is being stretched but persists in repetitive activity. The unsustained clonus associated with normal but hyperactive reflexes is not considered pathologic. Sustained clonus always indicates the presence of central nervous system disease and requires further evaluation.

7. Reflex Babinski

A well-known reflex indicative of central nervous system disease affecting the corticospinal tract is the Babinski reflex. In someone with an intact central nervous system, if the lateral aspect of the sole of the foot is stroked, the toes contract and are drawn together (see Fig. 60-15E ). In patients who have central nervous system disease of the motor system, however, the toes fan out and are drawn back. This is normal in newborns but represents a serious abnormality in adults. Several other reflexes convey similar information. Many of them are interesting but not particularly informative.