loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut...
TRANSCRIPT
LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN
MENURUT AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memenuhi persyaratan Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Rifko Handayani
(106045201540)
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN
MENURUT AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memenuhi persyaratan Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Rifko Handayani
(106045201540)
Di Bawah Bimbingan
Dr. Asmawi, M.Ag
NIP. 197210101997031008
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: “Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Al-Mawardi
dan Hasan AL-Banna” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juli
2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan
Islam (Siyasah Syar’iyyah).
Jakarta, 21 Juli 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH
1. Ketua : Dr. Asmawi M.Ag
NIP 19721010 199703 1008
2. Sekretaris : Afwan Faizin M.Ag
NIP 19721026 200312 1001
3. Pembimbing I : Dr. Asmawi M.Ag
NIP 19721010 199703 1008
4. Penguji I : Iding Rosyidin, S.Ag, M,Si
NIP 19701013 200501 1003
5. Penguji II : Atep Abdurofiq, M.Si
NIP 197703172005011010
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
yang telah memberikan banyak nikmat dan senantiasa memebeikan hidayah-Nya.
Sehingga dengan izinnya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan
judul: “Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Al-Mawardi dan Hasan Al-
Banna”. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda besar Nabi
Muhammad Saw, yang telah membawa umatnya dari kegelapan menuju cahaya dan
kesejahteraan semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabat-
sahabatnya, tabi’in, tabi’uttâbî’in, dan kita sebagai umatnya semoga mendapat
syafaatnya kelak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih jauh dari sempurna,
baik dalam proses maupun isinya. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing,
membantu dan memotivasi penulis, antara lain:
1. Prof. Dr. Drs. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum, dan beserta staf-stafnya.
2. Dr. Asmawi M.Ag selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan
sekaligus sebagai dosen pembimbing, yang telah banyak meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya disela-sela kesibukan untuk membantu dan
ii
memberikan bimbingan, pengarahan, dan dorongan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada Bapak Afwan
Faizin, M.Ag selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah
banyak membantu penulis selama masih dalam masa kuliah, serta kepada
ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah
terdahulu yang memberikan semangat kepada penulis untuk segera
menyelesaikan tugas akhir.
3. Dr. Abdurrahman Dahlan sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang
selama ini telah memberikan nasehat serta dukungan kepada penulis
selama menjadi mahasiswa.
4. Kepada orang tuaku tercinta, Abi H. Jayadi dan Ummi Hj. Maswanih,
yang sangat berperan dalam mendidik, mengasuh, dan membimbing
penulis dengan kesabaran dan pengertian serta tiada henti memberikan doa
dan dukungan secara moril dan materil, sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
membekali penulis dengan ilmu yang berharga, nasehat-nasehat
penyemangat yang memberikan motivasi kepada penulis, kesabaran dalam
mendidik penulis selama penulis melakukan studi.
6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu
memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian
prosedur kemahasiswaan, serta pimpinan dan segenap karyawan
iii
Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya
Perpustakaan FSH, terima kasih atas penyediaan buku-buku penunjang
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada para sahabat-sahabat dan teman-teman angkatan 2006 Siyasah
syar’iyyah, Dian Kemala Sari, Esa Mariyani, Mufti Aulia, Yudha Septian,
Ragil Sapto Wibowo, Supardi, dan Asriyah yang telah memberikan
semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir dan menemani
proses menuju kelulusan, dan semua teman-teman yang tidak bisa
disebutkan satu persatu. Terima kasih kebersamaannya selama ini.
8. Kepada teman-teman dan adik-adik di Lembaga Dakwah Kampus, terima
kasih telah mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
Jakarta, 14 Juni 2011
Rifko Handayani
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................ 7
E. Metode Penelitian .......................................................................... 10
F. Sistematika Penelitian .................................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LOYALITAS RAKYAT
TERHADAP PEMIMPIN ............................................................... 13
A. Pengertian Loyalitas ...................................................................... 13
B. Kewajiban Rakyat Untuk Loyal Terhadap Pemimpin ................... 14
C. Batasan Taat Kepada Pemimpin .................................................... 24
D. Ruang Lingkup Ketaatan Kepada Pemimpin dan Penguasa ......... 32
BAB III SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA
A. Biografi Al-Mawardi ..................................................................... 36
1. Riwayat Hidup ........................................................................... 36
2. Latar Belakang Pendidikan ........................................................ 37
v
3. Kiprah Al-Mawardi di Kancah Politik ...................................... 39
4. Karya-karya Al-Mawardi .......................................................... 42
B. Biografi Hasan Al-Banna .............................................................. 48
1. Riwayat Hidup ........................................................................... 48
2. Latar Belakang Pendidikan ........................................................ 50
3. Kiprah Hasan Al-Banna di Kancah Politik ................................ 52
4. Karya-karya Hasan Al-Banna .................................................... 57
BAB IV LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN MENURUT
AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA ................................. 61
A. Loyalitas Rakyat terhadap Pemimpin menurut Al-Mawardi......... 61
B. Loyalitas Rakyat terhadap Pemimpin menurut Hasan Al-Banna .. 67
C. Perbedaan Pendapat Antara Al-Mawardi dan Hasan Al-Banna
Mengenai Loyalitas Terhadap pemimpin ...................................... 75
D. Implementasi Penerapan Konsep Loyalitas Rakyat Terhadap
Pemimpin Pada Masa Kini ............................................................ 78
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 86
A. Kesimpulan .................................................................................... 86
B. Saran .............................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menggariskan bahwa dalam suatu negara harus ada pemimpin
sebagai penerus fungsi kenabian, hal ini untuk menjaga terselenggaranya ajaran
agama, mengatur negara, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang
dilandasi. Syariat agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang
tunggal. Imamah (kepemimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya
dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan
ummat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera atau kemudian,
dari kepemimpinan itu dibuat departemen-departemen dan pemerintahan daerah
yang mengurus bidang-bidang dan wilayah tersendiri secara khusus, dengan
berpedoman pada tuntunan hukum dan ajaran agama, sehingga departemen dan
pemerintahan daerah itu mempunyai keseragaman yang solid dibawah
kepemimpinan kepala negara1.
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal:
كلكم را ع و كلكم مسؤو ل عن ر عيتو
1 Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 14.
2
Artinya:
“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya
tentang kepemimpinannya” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim).
Terdapat pula sebuah hadits yang diriwayaktan dari Abu Daud yang
menyatakan:
(رواه ا بودود )وا ذا كنتم ثال ثة فا مروا عليكم رجال
Artinya:
“Dan jika kalian bertiga, maka hendaklah salah seorang (di antara kalian)
memimpin” (HR. Abu Dawud).
Adapun secara „aqli, suatu tatanan tanpa kepemimpinan pasti akan rusak
dan porak poranda. Ketaatan manusia (rakyat) kepada penguasa dan pemerintah
merupakan suatu keharusan untuk memberi kuasa kepada negara melaksanakan
dan mewujudkan tujuan-tujuan yang terdahulu. Sebagai balasan atas ke-iltizam-
annya kepada syariah, pengikatan dirinya kepada syura, dan penanggung
jawabannya terhadap anak-anak rakyat, maka rakyat wajib mentaati pemerintah
agar ia dapat mewujudkan hak, menjamin keamanan, menegakkan keadilan, serta
membela umat, tanah air dan agama mereka. Hak yang dimilikinya ini dan rakyat
wajib melaksanakannya adalah ketaatan kepada perintah-perintah penguasa dalam
batas-batas syar‟iah dan kepentingan umum.
Ketika seorang muslim memiliki loyalitas yang tinggi kepada agama,
maka darinya harus ada ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin yang
memiliki komitmen terhadap Islam. Sungguh ironi, jika seseorang yang telah
menyatakan dirinya muslim tidak memiliki ketaatan kepada pemimpinnya.
3
Sangat wajar dan manusiawi, jika pemimpin menginginkan orang yang
dipimpinnya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap dirinya. Posisi yang
diterimanya mempunyai konsekuensi bahwa ia mempunyai hak untuk didengar,
dipatuhi oleh yang dipimpinnya.
Karena itu, kepatuhan kepada kepala negara terikat oleh suatu keadaan
bahwa dia mematuhi perintah Tuhan, yakni penguasa yang melaksanakan
kebenaran dan keadilan.2 Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan
hukum-hukum Islam di dalam pemerintahannya, meskipun zalim dan merampas
hak-hak rakyat, selama tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan dan tidak
nampak kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh kaum
muslimin.
Al-Zarqani mengutip pendapat Imam Malik dan Jumhur ahli Sunnah
mengatakan bahwa bila seorang pemimpin berbuat zalim terhadap yang
dipimpinnya, maka ketaatan lebih utama dari pada menentangnya. Tindakan
menentang berimplikasi munculnya rasa takut, terjadinya pertumpahan darah,
berkobarnya peperangan dan menyebabkan kerusakan, dalam hal ini dituntun
kesabaran terhadap ketidakadilan dan kefasikan.
Bahkan Rasul dalam hadits lain mewajibkan taat dan patuh kepada
pemimpin walaupun ia hanya memikirkan kepentingannya dan tidak menjalankan
2 Qamaruddin Khan, kekuasaan Pengkhianatan dan Otoritas Agama, Telaah Kritis Teori Al-
Mawardi Tentang Negara, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), h. 7,81.
4
tugasnya terhadap masyarakat dengan baik. Dengan alasan mereka akan
menanggung akibat dari pelalaian tanggung jawab. Hak imam yang harus
dipenuhi oleh rakyat adalah untuk ditaati dan mendapatkan bantuan serta
partisipasi secara sadar dari rakyat, maka kewajiban dari rakyat untuk taat dan
membantu serta dalam program-program yang digariskan untuk kemaslahatan
bersama. Jadi, loyalitas kepada imam adalah penting dan wajib selagi imam itu
mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta tidak menyuruh kepada
kemaksiatan.
Loyalitas yang diberikan kepada orang-orang mukmîn merupakan
perwujudan wala` (ketaatan) kepada Allah dan Rasulnya. Islam telah melarang
kaum muslimin untuk memberikan wala` (ketaatan) nya kepada orang-orang
selain mereka.
Sesungguhnya loyalitas adalah sifat dasar yang harus ada dalam setiap
manusia, apalagi bila ia adalah seorang muslim. Loyalitas bisa mengarah kepada
komitmen dan teguh pendirian. Adapun mengenai komitmen akan berorientasi
kepada sikap maka loyalitas cenderung mengarah kepada objek. Apakah itu
lembaga (korps), kepercayaan (religion), maupun terhadap seseorang.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik dan menganggap perlu
untuk pengkaji tentang loyalitas terhadap pemimpin menurut pemikiran politik
Hasan al-Banna dan al-Mawardi sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk
skripsi yang berjudul: “LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN
MENURUT AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA”.
5
B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka diantara rumusan
masalahnya yaitu:
1. Bagaimanakah konsepsi politik Islam tentang loyalitas rakyat terhadap
pemimpin?
2. Bagaimanakah pendapat al-Mawardi mengenai loyalitas rakyat terhadap
pemimpin?
3. Bagaimanakah pendapat Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat
terhadap pemimpin?
4. Bagaimanakah perbedaan pendapat antara al-Mawadi dan Hasan al-Banna
mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin?
5. Bagaimanakah penerapan konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin pada
masa kini?
Pembahasan mengenai loyalitas sering kita dengar, seperti loyalitas
kepada Allah, Rasul dan Ulil amri. Maka sudah barang tentu penelitian
tentang loyalitas tidak bisa diuraikan dalam penelitian yang sederhana
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka penulis terfokus pada
loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut pemikir Islam al-Mawardi dan
Hasan al-Banna. Masalah pokok dalam perbahasan ini adalah bagaimana
pandangan al-Mawardi dan Hasan al-Banna tentang loyalitas rakyat terhadap
pemimpin.
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun bermaksud untuk menjelaskan loyalitas rakyat
terhadap pemimpin menurut al-Mawardi dan Hasan al-Banna. Secara rinci
penelitian ini bertujuan untuk:
a) Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep dan pengertian dari loyalitas
rakyat terhadap pemimpin dalam politik Islam.
b) Untuk mengetahui dan menjelaskan pendapat al-Mawardi tentang loyalitas
rakyat terhadap pemimpin.
c) Untuk mengetahui dan menjelaskan pendapat Hasan al-Banna tentang
loyalitas rakyat terhadap pemimpin.
d) Untuk mengetahui implementasi penerapan konsep loyalitas rakyat
terhadap pemimpin pada masa kini.
2. Manfaat Penelitian
Salah satu hal yang penting di dalam kegiatan penelitian ini adalah
mengenal manfaat dari penelitian tersebut, baik manfaat akademis maupun
manfaat praktisnya. Jadi, manfaat yang hendak dipakai adalah:
a) Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu
ketatanegaraan Islam dalam hal loyalitasnya rakyat terhadap pemimpin
khusunya pendapat dari al-Mawardi dan Hasan al-Banna dan relevansinya
pada masa kini.
7
b) Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
bagi mahasiswa, pelajar serta masyarakat luas yang merupakan bagian
daripada pemerintahan, karena loyalitas atau ketaatan kepada pemimpin
itu wajib dilakukan kepada pemimpin yang telah menjalankan
kewajibannya dengan baik, barulah haknya untuk dipatuhi kita berikan.
namun tidak menjadi wajib ketika pemimpin itu menyuruh kepada
kemaksiatan.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam proses skripsi ini, peneliti melakukan proses pembelajaran serta
pemahaman terhadap skripsi sebelumnya yang memiliki keterkaitan dengan judul
skripsi ini, hal ini agar memberikan hasil yang lebih baik pada hasil penelitian.
Diantaranya beberapa buku dan skripsi sebagai bahan tinjauan pustaka penulis:
Pertama, karya al-Mawardi3 yang berjudul Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah.
Dalam kitab ini, pemikiran dan gagasan al-Mawardi tentang politik tercurah
dengan begitu jelas, yaitu berisi pengangkatan imamah (kepala
negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi
kemaslahatan umum, jabatan hakim, hingga jabatan wali pidana. Kitab Al-Ahkâm
Al-Shulthâniyyah juga mengkaji masalah imam shalat, zakat, fa‟i, ghanimah
3 Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah fi al-wilâyat ad-dinîyyah, (Beirut: Dâr el-Kitab al-
Araby, t.th).
8
(rampasan perang) dan lain lain, justru pembahasan mengenai ketaatan kepada
pemimpin sedikt sekali pembahasannya.
Kedua, karya Hasan Al-Banna4 yang berjudul Risalah Pergerakan
Ikhwanul Muslimin. Dalam buku ini menjelaskan tentang karakter dakwah
Ikhwânul Muslimîn dan dasar pemikiran yang membuatnya 'berbeda' dengan
metode-metode dakwah yang lainnya, masalah-masalah nasional Mesir dan
pentingnya memiliki pemimpin yang berpegang pada al-Qur'an dan As-Sunnah,
beberapa 'modifikasi' yang harus dilakukan dalam dakwah sesuai tuntutan jaman
dll.
Ketiga, karya Hadari Nawawi5 yang berjudul Kepemimpinan Menurut
Islam. Dalam buku ini menjelaskan tentang kepemimpinan menurut Islam. Ciri-
ciri, persyaratan menjadi pemimpin dalam Islam, pemimpin yang wajib ditaati
dengan dalil-dalil Qur‟annya.
Keempat, karya Mochtar Effendi,6 judul buku Kepemimpinan Menurut
Ajaran Islam. Di dalam buku ini menjelaskan tentang hukum Islam mengenai
kepemimpinan, tipe-tipe kepemimpinan, macam-macam dan tingkat
kepemimpinan, sifat-sifat dan kualitas kepemimpinan, fungsi dan serta kewajiban
pemimpin, hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin, tehnik
4 Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Solo: Era Intermedia, 2008).
5 Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2001). 6 Muhctar Efendi, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, (Palembang: al-mukhtar, 1997).
9
kepemimpinan, pembentukan kepemimpinan, wanita dan kepemimpinan, serta
kepemimpinan umat Islam di anatara manusia.
Kelima, karya Taqiyuddin al-Nabhani7 yang berjudul Sistem
Pemerintahan. Di dalam buku ini menjelaskan tentang bentuk pemerintahan
Islam, pilar-pilar pemerintahan Islam, struktur daulah Islam, khalifah,
kepempinan Islam, Islam wajib diterapkan secara menyeluruh dan sekaligus,
Islam dan pemerintahan militer, taat pada penguasa muslim yang memerintah
berdasarkan Islam fardu, melakukan koreksi terhadap penguasa, fadu bagi kaum
muslimin, serta mendirikan partai polotik fardu kifayah.
Keenam, karya Abdul Muin Salim8 yang berjudul Fiqh Siyasah Konsepsi
Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. Buku ini berisi tentang konsep kekuasaan
dalam al-Qur‟an yang pada pembahasan mengenai prinsip-prinsip kekuasaan
terdapat poin tentang perintah ketaatan kepada pemimpin.
Ketujuh, karya Farid Abdul Khaliq9 yang berjudul Fikh Politik Islam.
Buku ini berisi tentang prinsip dan cabang musyawarah, ahlul halli wal aqdi yang
di poin keenamnya terdapat ketaatan kepada ahlul hilli wal aqdi tergantung pada
bersihnya pemilihan mereka dari tipu muslihat.
7Taqiyuddin Al-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996).
8 Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002). 9Farid Abdul Khalik, Fikh politik Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
10
Kedelapan, karya Ridwan HR10
yang berjudul Fiqih Politik. Buku ini
berisikan tentang siyasah syar‟iyyah, sejarah ketatanegaraan Islam dan
pembentukan negara dan penyelenggaraan pemerintahan Islam yang salah
satunya membahas tentang tugas, hak dan kewajiban kepala negara.
Semua karya ilmiah atau penelitian yang disebutkan di atas, terdapat
beberapa kesamaan mengenai pembahasan–pembahasan yang sama dengan
loyalitas atau ketaata rakyat terhadap pemimpin, namun sangat sedikit sekali dan
terbatas pembahasannya.
Dan dalam hal ini, jauh berbeda pada penelitian penulis yang berjudul:
Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Al-Mawardi dan Hasan Al-
Banna, yang membahas konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-
Mawardi dan Hasan al-Banna serta implementasinya pada masa kini.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dilihat dari sifat datanya, penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif, karena memaparkan data kualitatif. Dilihat dari segi tujuannya,
penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena bertujuan menjelaskan
satu variabel penelitian yaitu loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-
Mawardi dan Hasan al-Banna.
Adapun ditinjau dari segi metodologi penelitian hukum pada
umumnya, studi ini merupakan studi hukum Islam dengan menggunakan
10
Ridwan HR, Fiqih Politik, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007).
11
pendekatan normatif doktriner yaitu menurut al-Quran, Sunnah dan pemikiran
ulama tentang pandangan al-Mawardi dan Hasan al-Banna.
2. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan studi dokumenter.
Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan-bahan
pustaka yaitu mencakup karya Hasan al-Banna dan al-Mawardi. Karya al-
Mawardi yang berjudul al-Ahkâm al-Shulthâniyyah dan karya Hasan al-Banna
yang berjudul Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, serta jurnal politik dan
makalah-makalah yang berkaitan dengan loyalitas kepada pemimpin.
3. Analisis Data
Setelah pengumpulan data selesai, maka proses selanjutnya adalah
melakukan analisis data dengan menggunakan tekhnik analisis isi secara
kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data
tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content
analysis (analisis isi). Kemudian melakukan bongkar pasang dan menata
kembali secara sistematis data-data yang telah terkumpul sebelumnya dengan
menggambarkan satu kesatuan yang utuh. Penulis menginterpretasikan
dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak
rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
12
4. Teknik Penulisan
Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai
berikut:
Bab pertama berjudul pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab kedua berjudul tinjauan umum tentang loyalitas rakyat terhadap
pemimpin menurut konsep politik Islam. Dalam bab ini penulis menguraikan
tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin dan mengantarkan pembaca
memahami lebih dalam isi bab dua diantaranya: pengertian loyalitas, kewajiban
mentaati pemimpin, taat kepadada pemimpin tidak mutlak, dan bidang taat
terhadap pemimpin.
Bab ketiga ini berjudul sketsa biografi al-Mawardi dan Hasan al-Banna,
yang terdiri dari latar belakang pendidikan al-Mawardi dan Hasan al-Banna,
13
kiprah politik al-Mawardi dan Hasan al-Banna, karir intelektual al-Mawardi dan
Hasan al-Banna dan karya-karyanya.
Bab keempat ini berjudul tentang pemikiran dari kedua tokoh tersebut
yaitu al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat terhadap
pemimpin sebagai inti dari hasil peneliti serta relevansi pemikiran politik kedua
tokoh tersebut pada masa sekarang. Maka penulis menyajikan tentang loyalitas
rakyat terhadap pemimpin menurut al-Mawardi dan Hasan al-Banna.
Bab kelima merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan yang
berisi kesimpulan dan saran-saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG LOYALITAS RAKYAT
TERHADAP PEMIMPIN
A. Pengertian Loyalitas
Loyalitas dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah kesetiaan, ketaatan,
kepatuhan1. Istilah dari kata loyalitas sebenarnya lebih dekat dengan ketaatan.
Sedangkan istilah loyalitas dalam bahasa Arab secara etimologi disebut juga
walâyah yang artinya pertolongan dan al-wala’2 artinya pemuliaan, pembelaan,
cinta, dukungan, penghormatan, dan bersama-sama orang yang dicintai lahir dan
batin.
Beberapa kata yang terkait dengan wala’ adalah al-muwâlah (seseorang
yang memberi dukungan kepada satu pihak), maula (memiliki banyak arti,
semuanya berasal dari al-nusrah (dukungan) dan al-mahabbah (cinta)), walâyah
(dukungan), al-walyu (kedekatan) dan wali (dapat diartikan orang yang mengurus
orang lain).3
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989) cet. 2, h. 533. 2 Sa‟id Hawaa dan Sayyid Qutb, Al-Wala`, (Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001), h. 1.
3 Irwan Prayitno, Al-Haq wal Bâthil, (Bekasi: Pustaka Tarbiatuna, 2002), h. 97.
15
B. Kewajiban Rakyat Taat Kepada Pemimpin
Para pemimpin harus mampu mengembalikan manusia kepada ketentuan-
ketentuan yang dibawa oleh Rasul, seperti pendapat al-Mawardi bahwa tugas
pemimpin adalah salah satunya diproyeksikan untuk mengambil alih peran
kenabian dalam menjaga agama.4 Dalam seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan
yang menyeluruh. Apabila ulil amri telah bermufakat menentukan suatu
peraturan, rakyat wajib untuk mentaatinya, dengan syarat mereka itu bisa
dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, yang
telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan menentukan kesepakatan diantara
mereka.5
Loyalitas adalah satu pilar pemerintahan dalam Islam dan menjadi salah
satu landasan sistem politiknya. Tidak terbetik dalam bayangan siapapun jika
terdapat suatu sistem yang baik, negara yang kuat, dan tentram tanpa adanya
keadilan dari penguasa dan loyalitas dari rakyat kepada umara. Umar bin Khattab
menjelaskan tentang pentingnya taat dalam agama ini dengan mengatakan: “Tidak
ada arti Islam tanpa jamaah, tidak ada arti jamaah tanpa amîr, dan tidak ada arti
amîr tanpa kepatuhan”. Sebab Islam bukanlah agama individu melainkan agama
4 Lihat kitab Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. 1.
5 Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h.
93.
16
komunitas dan Islam tidak dapat diwujudkan secara paripurna kecuali dengan
adanya komunitas.6
Dari sini dapat dipahami mengapa redaksi perintah atau larangan agama
sering kali dengan mengajak berbicara secara kelompok atau jamaah, bukan
individu. Jamaah tidak memiliki arti jika mereka hidup sendiri-sendiri tanpa
adanya ikatan sistem dan tidak disatukan oleh amîr yang mengatur urusan
mereka. Meskipun amîr memiliki sifat-sifat mulia dan prestasi yang baik,
kecerdasan dan penalaran yang hebat dan mental yang kuat, akan tetapi semua itu
tidak mempunyai makna bagi jamaah, kecuali jamaah itu memberikan loyalitas,
tidak menentang, mematuhi peraturan, dan menjauhi larangan-Nya.
Maka tidak mengherankan apabila ditemukan dalam al-Qur‟an dan sunnah
Rasulullah saw yang berbicara mengenai kepatuhan dan ketaatan yang
menyangkut pengertian, hukum dan batas-batasan serta sisi negatifnya, apabila
nilai kepatuhan dan ketaatan telah menghilang dari kehidupan jamaah. Maka
syariat memerintahkan agar mematuhi para umara muslim dan melarang
menentang mereka, kecuali dalam kondisi tertentu, yang diizinkan syariat agar
umat tidak hidup dalam kekacauan berkelanjutan yang menggangu ketentraman.7
Loyalitas kepada penguasa merupakan salah satu rukun aqidah ulama
salaf, yang tertuang hampir disemua kitab mereka. Yang demikian itu sangat
penting, karena loyalitas terhadap mereka (para penguasa, dalam konteks ini
6 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h.
45. 7 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 46.
17
adalah penguasa yang adil) berdampak positif terhadap kemaslahatan agama dan
dunia, sementara ketidakloyalan terhadap mereka baik secara ucapan maupun
perbuatan berujung kepada kehancuran agama dan dunia.
Unsur pertama dalam pembentukan negara adalah pemerintahan atau
kepemimpinan. Dalam hal “kepemimpinan”, Imam Hasan Basri mengatakan
“yang menjadi perwalian kita ada lima perkara, yaitu: jum‟at, jamaah, hari raya,
peperangan dan saksi hukum. Demi Allah agama tidak akan tegak tanpa mereka,
walaupun mereka bertindak zalim. Demi Allah, Allah akan memberikan
kemaslahatan lewat mereka yang lebih daripada kehancuran yang mereka
lakukan. Ketaatan kepada mereka adalah sumber kebahagiaan, sementara
ketidaktaatan kepada mereka merupakan kufur nikmat.”8
Unsur kedua dari pada unsur-unsur yang membentuk negara adalah rakyat,
dimana kekuasaan (pemerintahan) menangani urusan-urusan mereka dan
mengatur kepentingan-kepentingan serta memutuskan segala perkara yang timbul
diantara anggota-anggotanya. Bahkan dari segi keutamaan dan prioritasnya,
rakyat merupakan unsur pertama, di mana para penguasa bisa berdiri tegak.
Tidak ada artinya eksistensi seorang penguasa, baik ia raja, kepala negara,
imam maupun khalifah, tanpa adanya rakyat atau jama‟ah atau umat. Ketaatan
manusia (rakyat) kepada penguasa dan pemerintah merupakan suatu keharusan
untuk memberi kuasa kepada negara agar melaksanakan dan mewujudkan tujuan-
tujuan yang terdahulu. Sebagai balasan atas ke-iltizâm-annya kepada syariah,
8 Abdus Salam bin Barjas al-Abd Karîm, Etika Pengkritik Penguasa, (Surabaya: Pustaka
Assunnah, 2002), h. 1.
18
pengikatan dirinya kepada syura, dan penanggungjawabannya terhadap anak-anak
rakyat, maka rakyat wajib mentaati pemerintah agar ia dapat mewujudkan hak,
menjamin keamanan, menegakkan keadilan, serta membela umat, tanah air dan
agama mereka, serta ketaatan kepada perintah-perintah penguasa dalam batas-
batas syariah dan kepentingan umum. 9
Jika ditelaah dari nash-nash agama, maka dapat diketahui bahwa Islam
mewajibkan umat Islam mentaati umara dan melarang menentang mereka.
Mengenai hal ini Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taati pulalah
Rasul serta pemegang kekuasaan dari kalanganmu. Kalau kamu berbeda
pendpat entang sesuatu, kembalilah kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul,
jika benar-benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang
demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS:An-Nisa:59).
Sebagaimana yang diketahui bahwa ketetapan yang dijadikan kaidah oleh
para fuqaha adalah bahwa bentuk inperatif (amr) memberi konsekuensi hukum
wajib, selama tidak ada indikasi yang didukung oleh keterangan yang mengubah
status wajib menjadi sunah. Dalam ayat ini terdapat perintah mentaati Allah SWT
9 Muhammad al-Mubarak, Sisem Pemeritahan Dalam Perspektif Islam, (Solo: Pustaka
Mantiq, 1995), h. 58.
19
dan Rasulullah saw serta khalîfah, para amîr, komandan pasukan, gubernur, qadi,
dan menteri serta orang yang mengemban tanggung jawab mengurusi urusan
umat Islam.
Kita memahami bahwa taat kepada Rasulullah saw wajib dengan
ketetapan al-Qur‟an maka menjadi keharusan, dengan demikian, mentaati amîr
juga wajib. Dapat dipahami juga bahwa menentang Rasulullah saw haram
hukumnya, begitu pula menentang amîr haram pula hukumnya.
Menurut akal sehat tidak masuk akal jika pemimpin melaksanakan
kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirinya dan hak umat Islam, kemudian ia
tidak didengarkan kata-katanya, tidak ditaati perintah dan larangannya oleh rakyat
di negri yang membutuhkan pembelaan dan kekuasaannya.10
Telah menjadi
hukum keadilan, bahwa disamping ada kewajiban yang dijalankam imam, ada
pula hak imam yang harus dipenuhi rakyatnya. Mengenai masalah ini, Sayyid
Muhammad Rasyid Rido menulis sebagai berikut: Apabila telah selesai
pelantikan dan pembai‟atan terhadap imam, maka wajiblah sekalian umat
mentaati imam dan membantunya dalam hal tidak mendurhakai Allah;
membunuh orang yang mendurhakai khalîfah.11
Prinsip ketaatan mengandung makna bahwa seluruh rakyat tanpa kecuali
berkewajiban mentaati pemerintah, selama penguasa atau pemerintah tidak
10
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 47.
11
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Banda Aceh: Bina Ilmu, 1984), h. 210.
20
bersikap zalim (tiran atau diktator) selama itu pula rakyat wajib taat dan tunduk
kepada penguasa atau pemerintah.12
Dalam banyak hadits, Rasul menempatkan kepatuhan kepada pemimpin
pada posisi kepatuhan kepada diri Rasul dan kepatuhan terhadap Allah. Imam
Bukhâri dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abi Salamah bin Abdirrahman,
bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata, Bahwa Rasulullah bersabda:
Artinya: “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah. Dan
barang siapa yang berbuat maksiat kepadaku, maka dia telah berbuat
maksiat kepada Allah. Dan siapa saja yang telah mentaati pemimpinku,
maka dia telah mentaati aku. Sedangkan siapa saja yang tidak taat
kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiat kepadaku”
(HR. Al-Bukhâri dan Muslim)13
.
Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di
dalam pemerintahannya, sekalipun zalim dan merampas hak-hak rakyat, selama
tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan dan tidak menampakkan
kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh kaum muslimin.
Ketaatan tersebut hukumnya wajib. Karena Allah SWT telah
memerintahkan ketaatan kepada penguasa, amîr atau imam. Perintah dengan
12
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, cet. 3, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h.
155.
13 Taqiyudin al-Nabhani , Sistem Pemerintahan Islam, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996), h. 335-
336.
21
sebuah indikasi (Qarînah) yang menunjukkan adanya suatu keharusan (jazman)
yaitu Rasulullah menjadikan ketidaktaatan kepada pemimpin itu seabagai sebuah
kemaksiatan kepada Allah dan Rasul. Serta dengan adanya penegasan (ta’kîd)
dalam perintah ketaaan tersebut, sekalipun yang menjadi penguasa budak hitam
legam. Semuanya itu merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu
menuntut dengan tegas agar dilaksanakan (jazim), maka taat pada pemimpin itu
hukumnya fardu.
Allah telah mewajibkan kita untuk mentaati ulil amri dan mereka adalah
para imam yang menjadi pemerintah kita. Seperti hadits di bawah ini, dari Anas
bin Malik ra. Katanya: Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: “Hendaklah kamu mendengarkan dan mematuhi perintah, biarpun yang
diangkat untuk memerintahi kamu seorang hamba sahaya bangsa
Habsyi, rambutnya bagai anggur kering.” (HR. Al-Bukhâri)14
Sekiranya kita diperdaya oleh hawa nafsu untuk mengingkari perintah dan
syariat yang mulia ini, tidak lagi taat kepada penguasa, tentu kita akan menuai
dosa dan terpuruk dalam ke-mudarat-an, ketetapan Nabi ini merupakan cerminan
dari kesempurnaan Islam, umat yang terpukul sekiranya tidak tepat taat, akan
14
Muhammad Ibn Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhâri Al-Ja‟fi, Al-Jami’ Al-Sohih Al-
Mukhtasor, (Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 1987), no.6723
22
mengakibatkan terganggunya roda kemaslahatan dunia dan agama, kezaliman
akan meluas ke segenap lapisan masyarakat, keadilan akan sirna dari muka bumi
dan kita akan terjerumus ke dalam bencana sistematis.
Berbeda ketika orang yang teraniaya itu sabar dan tawakal, memohon
kepada Allah agar diberikan jalan keluar, tetap loyal dan taat, maka kemaslahatan
akan tetap kokoh, haknya tidak hilang dari sisi Allah. Boleh jadi Allah
menggantikannya dengan yang lebih baik, setidaknya dijadikan saham kebajikan
baginya di akhirat kelak. Inilah wujud sisi kemurnian Islam, loyalitas dan
ketaatan tidak dikaitkan dengan keadilan penguasa. Sekiranya tidak demikian,
maka hancurlah tatanan keduniaan.
Adapun jika keluar dari ketaatan kepada penguasa akan menimbulkan
kerusakan yang besar dan hilangnya keamanan, menzalimi masyarakat,
terbunuhnya orang-orang yang tidak bersalah, dan lain sebagainya, maka hal ini
tidak boleh dilakukan. Dalam kondisi seperti ini wajib bersabar, mendengar dan
taat dalam kebaikan serta menasihati para pemimpin dan mendoakan mereka
dengan kebaikan.15
Kepatuhan individu kepada negara yang direpresentasikan dengan
perintah para pejabatnya, merupakan hak syar‟i negara atas dirinya. Setiap
individu wajib melaksanakan perintah-perintah, peraturan-peraturan dan rencana-
rencana yang telah ditetapkan negara untuk merealisasikan kepentingan umum
15
Abdul Aziz bin Baz, dkk, Fatwa-Fatwa Terlengkap, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 169.
23
dan tujuan-tujuan negara. Karena pentingnya kepatuhan serta pengaruhnya yang
sangat besar pada kejayaan negara, Islam memerintahkan setiap orang untuk
patuh kepada negara dalam hal yang dia senangi ataupun tidak. Negara tidak
mungkin menjadikan semua warga negara setuju dengan kebijakan-kebijakan,
perintah-perintahnya juga tidak mungkin bisa disepakati oleh semua pihak, apa
yang dilakukan negara pasti ada yang menyukainya, adapula yang tidak.
Oleh sebab itu hawa nafsu tidak boleh menjadi patokan untuk patuh (apa
yang disenanginya, secepatnya dipatuhi, sedangkan yang tidak disenanginya
lambat dipatuhi atau dilanggarnya) kepatuhan semacam ini tidak cukup untuk
mengelakkan tanggung jawab individu atas kewajiban patuh terhadap negara.
Tidak ada keistimewaan apapun bagi seorang dengan kepatuhan semacam ini,
karena setiap orang biasa melakukannya. Dan juga tidak akan bertahan lama,
karena didasarkan atas hawa nafsu dan individu sendiri tidak akan sanggup
bertahan dan konsisten, jika seseorang keberatan untuk patuh dalam hal yang
tidak dia senangi, tentu akan menyeretnya kepada pelanggaran dan kemudian
pengingkaran terbuka.
Dalam keadaan seperti itu negara mungkin diam saja dan pemberontak
pun merajalela, kekacauan menyebar, sehingga runtuhlah negara. Mungkin juga
negara menggunakan kekuatannya untuk memaksa para pembangkang agar patuh.
Keadaan ini menimbulkan friksi dan perpecahan dan negarapun siap
mengacungkan pedang. Akibatnya sudah sama maklum penguasaan negara
sendiri atas warganya sehingga tidak ada yang tersisa kecuali permusuhan.
24
Demikianlah setiap individu harus mengingat akibat pelanggaran, membiasakan
diri patuh terhadap negara dengan dasar pilihan yang tumbuh dari lubuk hatinya.
Dan seyogyanya dia mengetahui bahwa kepatuhannya kepada Allah harus ditaati
selama untuk tujuan baik. Jadi, setiap individu menjalankan kepatuhannya seperti
orang patuh terhadap imamnya dalam sholat berjamaah.16
Keabsahan kekuasaan ulil amri mengandung makna bahwa hukum-hukum
dan kebijaksanaan politik yang mereka putuskan, sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, mempunyai kekuatan yang mengikat
seluruh rakyat. Karena itu seluruh rakyat yang menjadi subyek hukum wajib
mentaatinya. Keberadaan hukum ini, disamping hukum Tuhan, sebagai hukum
positif memperlihatkan wajah dari tata hukum yang menjadi bagian dari sistem
politik dan pemerintahan. Dalam hal ini dikenal dua hukum yang berlaku dalam
negara: Hukum Allah (syariah) yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah, dan
hukum negara yang bersumber dari keputusan ulil amri.17
Jika pada pemimpin sudah terlihat padanya kemungkaran tetapi pemimpin
tersebut masih menjalankan shalat lima waktu maka wajib bagi rakyat
mentaatinya seperti hadits berikut ini, dari „Auf bin Malik ra, dia bercerita,
Rasulullah Saw bersabda:
16
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Islam, (Jakarta: Al-Amin, 1984), h. 90. 17
Abd.Mu‟in Salim, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 242.
25
Artinya: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan ia mencintai
kalian, yang kalian doakan dan mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk
pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan ia membenci kalian, yang
kalianm kutuk dan mengutuk kalian. “ „Auf berkata:”kami pun
bertanya:”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka?‟
Beliau menjawab: ‟Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di
tengah-tengah kalian.” (HR. Muslim)18
C. Batasan Taat Kepada Pemimpin
Meskipun Islam menjadikan taat kepada pemimpin wajib bagi rakyat,
akan tetapi ketaatan ini tidak bersifat mutlak dan bebas dari ikatan, sebab ketaatan
mutlak menyebabkan lahirnya pemerintahan individu yang otoriter dan diktator.
Dari sana, akibatnya, jati diri umat Islam menghilang. Oleh sebab itu, ketaatan
rakyat kepada ulil amri di sini dibatasi oleh persyaratan-persyaratan tertentu dan
cangkupan-cangkupan tertentu pula, persyaratn-persyaratan dan cangkupan itu
antara lain:
1. Pemimpin yang dimaksud mempunyai komitmen pada syariah Islam dengan
menerapkannya dalam kehidupan, apabila pemimpin tidak menerapkan
syariah maka tidak wajib ditaati sesuai dengan ayat al-Qur‟an dalam surat
Annisa ayat 59, tentang ketaatan kepada pemimpin atau dalam sebuah hadits,
18
Salîm bin Ied Al-Hilal Bahjatun Nadirin, Syarah Riyâdus Sâlihin, (t.t. Pustaka Imam
Syafi‟i, t.th), h. 377.
26
Abu Ubaidah al-qasim bin Salâm meriwayatkan dalam kitab al-am wâl dari
Ali bin Abi Talib ra (”Wajib bagi imam (pemimpin) menghukum (memerintah
dengan hukum yang diturunkan oleh Allah dan menyampaikan amanat.
Apabila ia melaksanakan yang demikian maka wajib bagi rakyat
mentaatinya”).19
Kekuasaan pemimpin itu senantiasa dibatasi dengan ketaatan
kepada Zat Yang Maha Kuasa.
2. Ketaatan juga dibatasi dengan pertimbangan keadilan dan kebenaran
Apabila pemimpin menegakkan keadilan, maka rakyat wajib mentaati. Akan
tetapi apabila berlaku zalim dan menindas serta jahat maka tidak wajib
mentaatinya. Dalam hadits dikatakan bahwa:
Artinya: ”tidak ada keharusan untuk mematuhi perbuatan dosa, ingatlah
ketaatan hanya wajib bagi prilaku yang benar” (HR. Al-Bukhâri),20
Dan Allah Swt. berfirman,
19
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 48. 20
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang
Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 86.
27
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS An-Nisa`: 58)
3. Tidak menyuruh manusia melakukan maksiat
Pemimpin ditaati karena ia mentaati Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa
diantara pemimpin itu menyuruh dengan apa yang sesuai dengan yang
diturunkan Allah dan Rasul-Nya, wajiblah umat menaatinya. Tetapi
barangsiapa yang menyuruh dengan menyalahi apa yang dibawa Rasul
(menyuruh kepada maksiat), perintah itu tidak boleh ditaati dan diikuti.21
Pada prinsipnya penguasa Muslim berkewajiban melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar dan menyebarluaskan perbuatan terpuji serta memerangi
perbuatan tercela. Jika demikian yang dilakukan maka ia wajib ditaati dan
tidak dibenarkan ditentang. Sedangkan apabila penguasa mengajak,
membiarkan kemaksiatan yang nyata seperti riba, zina, minuman keras, dan
korupsi maka tidak dibenarkan ditaati. Sebab tidak ada kewajiban taat kepada
makhluk dalam hal maksiat kepada Sang Khalik. Seandainya dibolehkan taat
dalam hal kemaksiatan, maka berarti terdapat kontradiksi. Sebab tidak
mungkin Allah mengharamkan sesuatu kemudian mewajibkannya.
21
Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h.101.
28
Dalam hadits dari Abdullah bin Umar ra dari Nabi Saw, beliau
bersabda:
Artinya: “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang
disukainya dan yang tidak disukainya, selama tidak disuruh
mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh
mengerjakan kejahatan, tidak boleh didengar dan tidak boleh
dipatuhi.”(HR. Al-Bukhâri dan Muslim).22
Taat, sebagaimana yang sudah diketahui, tidak boleh pada hal-hal
kemaksiatan, dan apa yang ditetapkan oleh Ahlul Hilli Wal Aqdi itu harus
berdasarkan musyawarah. Ulama Ahlu Sunnah wa al-Jamâ’ah sepakat bahwa
ketaatan kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat merupakan
kewajiban. Ini merupakan salah satu yang membedakan mereka dengan ahli
bid‟ah dan hawa nafsu.
Syeikh Abdurrahman al-Sa‟adi berkata: Allah memerintah umat untuk
mentaati ulil amri, yakni para penguasa dari kalangan pemimpin, hakim, ahli
fatwa. Urusan agama dan dunia mereka tidak akan terbina dengan sempurna
22
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang
Pemerintahan Islam, h. 86.
29
kecuali dengan ketaatan kepadanya yang berarti juga taat kepada Allah, cinta
kepada-Nya.
Hadits-hadits yang menunjukkan kewajiban taat kepada pemimpin yang
tidak dalam katagori kemaksiatan antara lain:
Pertama Hadits Abdullah bin Umar ra,
Artinya: “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang
disukainya dan yang tidak disukainya, selama tidak disuruh
mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh
mengerjakan kejahatan, tidak boleh didengar dan tidak boleh
dipatuhi.”(HR. Al-Bukhâri dan Muslim).23
Perkataan hal yang ia “sukai atau benci” maksudnya yang sesuai dengan
kehendaknya atau menyelisih dari kehendaknya. Al-Mubârak Furi dalam bukunya
Syarah Tirmidzi mengatakan: sekiranya pemimpin memerintahkan hal yang
sunnah dan mubah, maka wajib ditaati. Al-Mutakhir mengomentari hadits ini:
”mendengar ucapan hakim dan mentaatinya hukumnya wajib bagi setiap muslim،
apakah perintah itu sesuai dengan kehendaknya atau tidak, dengan syarat tidak
23
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang
Pemerintahan Islam, h. 86.
30
memerintahkan dalam hal kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan, namun ia tidak
boleh memerangi pemimpin.24
Perkataan “tidak ada ketaatan” dimaksudkan dalam hal-hal kemaksiatan
saja, semisal diperintah memakan riba atau membunuh sesama muslim, tanpa hak
dan sejenisnya. Maka perintah itu justru wajib dihindari dan diingkari. Bukan
dipahami apabila penguasa memerintahkan maksiat, maka seluruh perintahnya
tidak wajib ditaati. Yang tidak wajib ditaati hanyalah pada lingkup perintah
kemaksiatan saja.
Kedua Hadits Abu Hurairah ra tentang loyalitas dan ketaatan bukan pada
hal yang kamu senangi saja, bila kamu membencinya kamu tidak taat lagi, akan
tetapi loyal dan taat pada semua hal yang kamu senangi maupun yang kamu
benci: “orang yang mendengar dan taat tidak ada jalan baginya, sedangkan orang
yang mendengar dan maksiat tidak memiliki hujjah baginya”.
Imam Nawawi mengatakan: “wajib taat kepada para penguasa saat hati
tidak pas dan saat lainnya, selagi bukan dalam masalah kemaksiatan. Apabila
dalam lingkup kemaksiatan maka tidak ada ketaatan. Perkataan “atsârâtun”,
berarti kerakusan urusan dunia, dan tidak memberikan hak kamu yang ada pada
mereka.25
Yang ketiga hadits Imam Muslim dari Wail bin Juhri ra:
24
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang
Pemerintahan Islam, h.87
25 Abdus Salam bin Barjas Al-Abd Karim, Etika Pengkritik Penguasa, hal. 69.
31
Artinya: “Salâmah bin Yazid bertanya kepada Nabi Saw: Wahai Nabi,
bagaimana pendapat tuan sekiranya ada penguasa yang menuntut
haknya dari kami, namun mereka menghalangi hak kami. Apa
perintah tuan kepada kami? Nabi menghindar. Ia bertanya lagi, dan
nabi menghindar lagi. Ketika sampai yang kedua atau ketiga
kalinya, dan dia ditarik tangannya oleh Al-Asy‟at bin Qais, maka
Nabi Saw, bersabda: Taatilah sesungguhnya bagi mereka dosa yang
mereka pikul dan bagi kalian kewajiban yang terbeban. Dalam
riwayat lain: Taatilah, bagi mereka dosa yang mereka pikul, dan
bagi kalian kewajiban yang terbebani.” (HR. Muslim)26
Islam telah menetapkan bahwa taat adalah suatu kewajiban seorang
muslim dalam hal yang disukai maupun yang tidak disukai selama tidak
diperintahkan untuk melakukan maksiat. Selain hadits diatas, Imam al-Bukhâri
meriwayatkan dari Ali bin Abi Talib ra berkata bahwa:
26
Abdus Salam bin Barjas Al-Abd Karim, Etika Pengkritik Penguasa, hal. 70.
32
Artinya: “Rasulullah Saw mengirim pasukan perang dan mengangkat seorang
Anshar menjadi komandan. Beliau memerintahkan agar beliau
ditaati, komandan ini marah terhadap mereka, dan berkata:
”Tidakkah Rasulullah saw telah memerintahkan agar kalian
mentaatiku?” mereka menjawab:”Benar.” Ia berkata lagi: “aku ingin
anda sekalian mengumpulkan kayu bakar dan menyalahkan api
kemudian anda masuk kedalamnya”. Mereka semua bingung, sebab
taat macam apa yang sebenarnya dikehendaki komandan semacam
ini. Mereka tidak menuruti apa yang diperintahkan lalu mengadukan
masalah ini kepada Nabi saw, kemudian beliau bersabda:
“Seandainya mereka benar-benar masuk ke dalam api, mereka tidak
akan dapat keluar lagi selamanya. Kepatuhan hanya berlaku pada
hal yang ma‟ruf”. (HR. Al-Bukhâri) 27
Maksud kata-kata Nabi saw tersebut adalah bahwa seandainya mereka
masuk ke dalam api yang mereka nyalakan dengan anggapan bahwa mereka
melakukan demikian karena mentaati amir mereka, maka mereka tidak akan
keluar lagi yakni, meninggal dunia dan tidak keluar selamanya. Dengan demikian,
Rasulullah Saw mengarahkan agar mereka tidak melakukan perintah seperti ini,
sebab taat itu hanya wajib dalam hal yang baik, bukan hal yang buruk. Sebagian
ulama memandang bahwa kata-kata Rasulullah Saw tersebut merupakan
pengungkapan Zajr (nada menegur dengan keras), tarhib (mendorong agar
27
Muhammad Ibn Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhari Al-Ja‟fi, Al-Jami’ Al-Sohih Al-
Mukhtasor, no. 6729.
33
meninggalkan) dan Takhwif ( menakut-nakuti). Sedangkan Zamhsyari dan
Baidawi berpendapat bahwa batasan taat kepada pemimpin yaitu pemerintah
hendaknya berasal dari kalangan mereka, yaitu kaum Muslimin. Bahkan sebagian
ahli tafsir berpendapat “diantara kamu” (minkum) maksudnya para pemimpin
kebenaran. Adapun ketaatan seorang Muslim yang berdiam di negara non Muslim
adalah suatu permasalahan lain yang diputuskan dan ditetapkan pertimbangan-
pertimbangan lain, seperti menempati janji dan tuntutan politik syariah, atau
pertimbangan-pertimbangan selain ini tentang keberadaan seorang individu atau
kelompok umat Islam yang berada dalam naungan negara bukan Islam, baik para
penguasa maupun mayoritas rakyatnya.
Dengan demikian, al-Qur‟an dan Sunah telah memastikan bahwa taat
kepada ulil amri menjadi wajib selama berada dalam ketaatan kepada Allah.
Siapapun tidak boleh ditaati selama bertentangan dengan kitabullah dan sunah
Rasul-Nya.28
4. Ruang Lingkup Ketaatan Kepada Pemimpin dan Penguasa
Berdasarkan pada teks-teks agama (nusus) terdahulu dapat dipahami
bahwa rakyat berkewajiban mentaati penguasa dan pemimpin mereka hanya
apabila syari‟ah Allah diterapkan dan keadilan ditegakkan dalam kehidupan
masyarakat, tidak menentang Allah dan tidak pula mengajak rakyat melakukan
maksiat terhadap Allah SWT. Dengan demikian jelas bagi kita, bahwa hanya
28
Sa‟id Hawwa, Al-Islam, (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2002), h. 98.
34
boleh bagi penguasa memerintahkan rakyat atau individu, masyarakat hal-hal
yang wajib, mustahab (yang disukai menurut syara‟), hal-hal yang mubah (boleh
dilakukan menurut syara‟) serta masalah-masalah ijtihadiah ketika tidak
diketemukan nashnya dari al-Quran maupun sunnah Nabi saw atau pemahaman
nash yang memungkinkan adanya pentakwilan. Seperti kasus mengenai para
personil pasukan yang dikemukakan terdahulu yakni mereka mentaati komandan
mereka mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api dan ini adalah urusan
yang mubah hukumnya. Akan tetapi perintah mencampakkan diri ke dalam api
tidak dapat mereka patuhi sebab yang demikian haram hukumnya jika ditaati.
Jika dicermati kata-kata Ibnu Hajar dalam keterangannya mengenai hadits
Ubadah bin ash Shâmit, “kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata
yang terdapat keterangannya dari Allah,” yakni nash ayat al-Quran atau berita
sahih yang tidak dimungkinkan dapat di takwil. Maka konsekuensi hukumnya
adalah bahwa tidak boleh menentang penguasa selama perbuatannya mengandung
kemungkinan dapat di takwil. Dengan demikian maka haram bagi rakyat atau
individu masyarakat menentang pemerintah pemimpin Muslim apabila masalah
ini bersifat ijtihadiah meskipun bertentangan dengan pendapatnya. Dan tidak
sepatutnya memberi peluang bagi godaan setan agar tidak mempengaruhi
kebenaran pendapatnya, dan kesalahan pendapat imam serta wajib atau boleh
menentang perintahnya, lalu keluar dari jamaah umat Islam dan dengan demikian
menempatkan diri pada posisi yang rawan kemurkaan Allah SWT.
35
Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: “Barangsiapa menemukan pemimpinnya sesuatu yang ia tidak sukai
maka hendaklah ia bersabar sebab barangsiapa yang meninggalkan
jama‟ah satu jengkal saja kemudian meninggalkan dunia, maka
matinya mati jahiliyah”. (Muttafaq „alaih)29
Apabila setiap orang membiarkan untuk dirinya hak meremehkan
komitmen pada pendapat imam dan penentang fanatik pada pendapatnya serta
berusaha menghimpun massa disekelilingnya maka yang demikian adalah benih-
benih yang menimbulkan keretakan dalam kesatuan umat Islam serta konflik
antara individu masyarakat. Dengan demikian kekuatannya menjadi pudar dan
wibawanya dihadapan musuh menyusut. Allah SWT berfirman dalam surat Al-
Anfal ayat 46:
Artinya: “Dan janganlah saling berbantah-bantahan yang menyebabakan
kamu gentar dan hilang kekuatan”. (QS. Al-Anfal : 46)
Islam dengan sungguh-sungguh melakukan terapi terhadap masalah-
masalah penting seperti ini, dimana tindakan keras diambil terhadap siapa pun
29
Salîm bin Ied Al-Hilal Bahjatun Nadirin, Syarah Riyâdus Sâlihin, no. 672
36
yang mencoba mengahancurkan loyalitas pada pemimpin dan memecah belah
jama‟ah. Imam Muslim meriwayatkan dari „Arjafah berkata bahwa (“Sungguh
akan ada keburukan dan keburukan. Maka barangsiapa hendak memecah belah
urusan umat ini dalam keadaan menyatu, maka penggallah dengan pedang siapa
pun orangnya”)
Secara singkat Islam memandang bahwa loyalitas dari rakyat kepada
pemimpin adalah suatu kewajiban dan prinsip pemerintahan dalam Islam yang
mana kehidupan politik tidak dapat tegak kecuali dengannya. Akan tetapi
kewajiban taat kepada para pemimpin tidak bersifat mutlak melainkan terkait
dengan penerapan syariah Islam dan penegakkan keadilan di tengah kehidupan
manusia dan tidak mengajak rakyat mereka melakukan kemaksiatan.30
30
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 52.
37
BAB III
SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA
A. Biografi Al-Mawardi
1. Al-Mawardi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-
Mawardi al-Basri al-Syafi‟i. Ia lahir di Basra Iraq pada tahun 364 H/975 M dari
keluarga Arab yang membuat dan menjual air mawar, sehingga diberi nama „al-
Mawardi‟ berasal dari kata ma’ (air), dan ward (mawar)1, pada saat itu pula
kebudayaan Islam mencapai masa-masa keemasannya di tangan para khalîfah
daulah Abasiyah. Dia seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkenal
madzhab Syafi‟i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan
Abasiyah.2
Al-Mawardi mendapatkan kedudukan tinggi di mata raja-raja, Bani
Buwaih menjadikan al-Mawardi sebagai mediator antara mereka dengan orang-
orang yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka puas dengan perannya
sebagai mediator, dan menerima seluruh keputusannya. Al-Mawardi hidup pada
1 Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 21. 2 Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 58.
38
masa pemerintahan dua khalîfah; al-Qâdir Billah (381-422H) dan al-Qâimu Billah
(422-467H).3
2. Latar Belakang Pendidikan al-Mawardi
Al-Mawardi menerima pendidikan di Basra dan belajar yurisprudensi dari
hukum Syafi‟i, lalu dia melanjutkan ke Bagdad untuk pendidikan tinggi,
terutama mempelajari yurisprudensi, tata bahasa dan sastra, ia memutuskan untuk
berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syeikh Abdul Hamid al-Isfraini
dan Abdullah al-Bafi,4 di sini pula anak penyuling dan penjual mawar ini belajar
hadits dan fiqh pada al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali, seorang pakar
hadits dan bahasa di zamannya, dan Abi al-Qasim Abdul Wahid bin Muhammad
al- Sumairi, seorang hakim di Basra pada saat itu. Dia segera menjadi ahli studi
Islam, termasuk hadits, yurisprudensi, tata bahasa dan sastra, dan wafat di Bagdad
pada tahun 450 H/1058 M. Ia dikenal sebagai tokoh terkemuka madzhab Syafi‟i,
pada abad ke-10, dan pejabat tinggi pada pemerintahan dinasti Abasiyah.
Masa kekhalîfahan Abasiyah adalah masa keemasan peradaban Islam.
Kekhalîfahan Abasiyah yang gemilang telah memberikan suasana paling cocok
bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Cendekiawan Muslim dari seluruh dunia
berkumpul di istana Abasiyah dan menyumbangkan pengetahuan mereka untuk
3 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara
Dalam Syari’at Islam, edisi Indonesia, (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. xxvi. 4 Hari, Republika online, Al-Mawardi: Pemikir Termasyhur Di Zaman Kekhalifahan, diakses
pada hari Jum‟at, 18 Maret 2011 pukul 20.00 WIB.
39
memperkaya dunia ilmu pengetahuan. Saat itu cendekiawan yang memberi
sumbangan terbesar bagi ahli politik dan ekonomi adalah al-Mawardi, yang
sekarang dianggap sebagai ilmuan besar dalam politik dan ilmu politik.
Perkembangan intelektualitas selama era ini sangat luar biasa dan yang termaju
selama sejarah Islam. Sebagai salah satu tokoh intelektual besar di masanya, al-
Mawardi terkenal sebagai ahli politik Islam pertama, dan sejajar dengan ahli
politik besar abad pertengahan, yakni Nizam al-Mulk, Ibn khaldun dan
Machiavelli.5
Imam al-Mawardi diusia dewasa menjadi qadi (hakim agung) pada masa
pemerintahan khalîfah Abasiyah (berkuasa pada tahun 381 H/991 H-423 H/1031
M). Ia menjabat qadi di berbagai tempat, kemudian dingkat sebagai hakim agung
(qadi al-qudat) di Ustuwa dan penasihat khalîfah.6 Pada 429 H, ia dinaikkan ke
jabatan kehakiman yang paling tinggi, Aqb al-qudat (qadi agung) di Bagdad,
jabatan yang dipegangnya dengan hormat sampai pada saat wafatnya.7
Guru-guru al-Mawardi, saat al-Mawardi belajar hadits di Bagdad,yaitu:
1. Al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali (sahabat Abu Hanifah al-
Jumahi)
2. Muhammad bin Adi bin Zuhar al-Manqiri
3. Muhammad bin al-Ma‟alli al-Azdi
5 Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 22.
6 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve), h. 276. 7 Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 163.
40
4. Ja‟far bin Muhammad bin al-Fadhl al-Bagdadi
5. Abu al-Qasim al-Qusyairi.
Ia belajar Fiqh pada:
1. Abu al-Qasim al-Sumairi di Basra
2. Ali Abu al-Asfarayini (imam madzhab imam Syafi‟i di Bagdad)
dan lain sebagainya.
Murid-muridnya:
1. Imam besar, al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Khatib al-Bagdadi.
2. Abu al-Izzi Ahmad bin Kadasy.8
3. Kiprah Politik Al-Mawardi
Dari jabatan qadi (hakim), al-Mawardi mendapat promosi sebagai duta
besar untuk khalifah dan menyelesaikan banyak masalah politik di negaranya.
Setelah menjabat menjadi qadi diberbagai tempat, dia ditunjuk sebagai qadi al-
qudat (Hakim Agung) Ustuwa, sebuah distrik di Nishapur. Tahun 1049, dia
mendapat kenaikan jabatan sebagai qab al-qudat (ketua Mahkamah Agung) di
Bagdad, posisi yang dijabatnya sampai kematiannya tahun 1058 M. Selain
keputusannya dibanyak kasus menjadi contoh untuk hakim-hakim lain didekade
8 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxvi.
41
berikutnya, keputusan yang tegas untuk banyak masalah hukum dipakai sebagai
petuah selama beberapa abad.9
Situasi politik di dunia Islam pada masa al-Mawardi, yakni sejak
menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari
pada zaman Farabi,dan bahkan lebih parah. Semula Bagdad merupakan pusat
peradaban Islam dan poros negara Islam. Khalîfah di Baghdad merupakan otak
peradaban itu, dan sekaligus jantung negara serta dengan kekuasaan dan wibawa
yang menjangkau semua penjuru dunia Islam. 10
Tetapi kemudian lambat laun cahaya yang gemerlap itu pindah dari
Bagdad ke kota-kota lain. Kedudukan khalîfah mulai melemah , dan dia harus
membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan
Turki atau Persia serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama
kekuasaan para pejabat tunggu dan panglima non Arab itu makin meningkat,
waktu itu belum tampak adanya usaha dipihak mereka untuk mengganti khalîfah
Arab itu dengan khalîfah yang berkebangsaan Turki atau Persia.
Namun demikian mulai terdengar tuntutan dari sementara golongan agar
jabatan itu dapat diisi oleh orang bukan Arab dan tidak dari suku Quraisy.
Tuntutan itu sebagaimana yang dapat diperkirakan kemudian menimbulkan reaksi
dari golongan lain, khusunya dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan
syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat
9 M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglossia,
2007), h. 143. 10
Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 58.
42
kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir tafwidh atau
penasihat dan pembantu utama khalîfah dalam menyusun kebijaksanaan. Mawardi
adalah salah satu tokoh utama dari golongan terakhir ini.11
Al-Mawardi juga penulis yang cakap mengenai beragam topik seperti
agama, etika, satra, dan politik. Khalîfah al-Qadirbillah memberinya penghargaan
tinggi dan khalîfah Qa‟im bin Amirullah (391-560 H), khalîfah Abasiyah ke-26,
menunjukkan sebagai duta besar untuk beberapa misi diplomatik ke negara-
negara satelit disekitarnya. Kebijaksanaannya sebagai negarawan berhasil
mempertahankan prestise kekhalîfahan Bagdad padahal lebih kecil diantara amîr-
amîr Saljuk dan Buyid yang terlalu kuat dan hampir independen, dan dia sering
menerima hadiah berharga dari amir-amir tersebut, sehingga kekayaannya
melebihi orang lain di kelas sosialnya. Walaupun dituduh oleh banyak orang
menganut kepercayaan theologies Mu‟tazilah, tetapi penulis-penulis selanjutnya
menyangkalnya12
.
Sebenarnya kondisi politik pada saat itu jika kita amati secara sekilas
ketika itu dunia Islam terbagi ke dalam tiga negara yang tidak akur dan saling
mendendam terhadap yang lain, di Mesir terdapat negara Fatimiyyah. Di
Andalusia terdapat negara Bani Umayyah. Di Irak Khurasan, dan daerah-daerah
Timur secara umum terdapat negara Bani Abasiyah, hubungan antara khalîfah-
khalîfah Bani Abasiyah dengan negara Fatimiyyah di Mesir didasari permusuhan
11
Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 59. 12
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, h. 164.
43
sengit, sebab masing-masing dari keduanya berambisi untuk menghancurkan
yang lain. Hubungan Bani Abasiyah dengan khalîfah-khalfîah Bani Umaiyyah di
Andalusia juga dilandasi permusuhan sejak Bani Abasiyah meruntuhkan sendi-
sendi negara Bani Umaiyyah, dan untuk itu darah tercecer di sana sini.
Itulah kondisi eksternal negara Bani Abasiyah, adapun kondisi internal
khalifah di Bagdad dan sekitarnya, sesungguhnya pemegang kekuasaan yang
sebenarnya di Bagdad adalah Bani Buwaih, mereka adalah orang-orang Syiah
fanatik dan radikal. Mereka berkuasa dengan menekan ummat, dan khalîfah
sendiri tidak mempunyai peran penting yang bisa disebutkan disini, bahkan ia
adalah barang mainan di tangan mereka. Mereka melemparkannya seperti bola,
jika mereka tidak menyukai khalîfah, mereka langsung memecatnya.13
4. Karya-karya Al-Mawardi
Al-Mawardi adalah termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya
tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, dari ilmu bahasa sampai sastra, hadits,
tafsir, fikh dan ketatanegaraan.14
Salah satu bukunya yang paling terkenal,
termasuk di Indonesia adalah Adab al-Dunyâ wa al-Din (Tata Krama Duniawi
dan Agamawi).
Secara garis besar, karya-karya al-Mawardi dapat dikelompokkan dalam
tiga cabang, yaitu keagamaan, sosio-politik, dan kebahasaan dan kesastraan,
berikut diterakan sejumlah karyanya baik yang sudah pernah dicetak maupun
13
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxiv. 14
Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 59.
44
yang masih dalam bentuk manuskrip yang disimpan disejumlah perpustakaan atau
museum.15
a. Bidang Keagamaan
1) Kitab al-Tafsir, juga dikenal dengan nama al-Nukat wa al-‘Uyun fi Tafsir
al-Quran al-karim. Buku ini belum pernah diterbitkan, naskah
manuskripnya berserakan diberbagai perpustakaan di dunia. Yang
lengkap, dengan menambahkan beberapa kopinya dari sejumlah
perpustakaan, terdapat di perpustakaan Kubriely Istambul Turki. Naskah
manuskrip lainnya yang juga agak lengkap disimpan di perpustakaan
Universitas al-Qurawiyin, Fas Maroko, perpustakaan Istambul Turki dan
Rambur India.
Kitab al-Tafsir ini termasuk kitab induk di bidang tafsir al-Quran.
Itulah sebabnya para mufassir sesudah al-Mawardi misalnya al-Qurtubi
dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran dan Ibnu al-Juzi dalam Zad
al-Masir nya mengutip panjang lebar pendapat-pendapat al-Mawardi
dalam kitab itu.
2) Adab al-Dîn wa al-Dunya. Nama buku ini semula adalah al-Bughyah al-
‘Ulya fi Adab al-Dîn wa al-Dunya. Judul yang disebut pertama itu
diduga, adalah pemberian oleh penyunting (muhaqqiq)nya pada terbitan
edisi pertama, namun tidak diketahui siapa namanya. Nama kedua itulah
yabg diberikan al-Mawardi sendiri. Penerbit memberikan nama lain lagi,
15
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 24.
45
dengan membaliknya menjadi Adab al-dunyâ wa al-Din. Di Indonesia
nama yang terakhir inilah yang kita kenal. Pada buku ini al-Mawardi
menggabungkan antara ketajaman analisa para fuqaha dengan ketajaman
hati para satrawan.16
Kitab Adab al-Dîn wa al-Dunya ini dirujuk dan dipergunakan di
hampir seluruh dunia Islam, termasuk di pesantren-pesantren Indonesia.
Di mesir, kitab ini diringkas sedemikian rupa kerena dijadikan buku wajib
bagi pelajar-pelajar tingkat pertama. Seperti tersurat dari namanya, buku
Adab al-Dunyâ bertopik seputar etika dan moral keagamaan murni, dan
tentang etika bermasyarakat.
3) Al-Hawi al-Kabîr. Kitab ini secara khusus membahas persoalan-persoalan
fiqh madzhab Syafi‟i. tetapi juga dibicarakan pandangan-pandangan
pendiri madzhab lain, terutama Abu Hanifah, pendiri madzhab Fiqh
Hanafi, terutama jika dipertentangkan dengan pendapat-pendapat Syafi‟i.
menurut Mustafa al-Saqo, Profesor pada Fakultas Sastra Universitas
Kairo, al-Hawi al-kabîr, adalah ensiklopedi besar di bidang fiqh Islam.
Al-Mawardi sendiri menyatakan, “Aku gelar pembahasan fiqh di sini
dalam empat ribu lembar kertas”. Maksudnya al-Hawi al-Kabîr ini adalah
buku fiqh yang amat luas. Sebagai bandingan, buku fiqh tulisan al-
Mawardi yang tipis al-Iqna’, digelar hanya di atas 40 lembar kertas. al-
Hawi terdiri dari lebih 20 jilid besar.
16
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxxi.
46
Sampai pada 1955 al-Hawi al-Kabîr baru pada tahap persiapan
percetakan yang diprakarsai oleh Liga Arab. Dan hingga kini, belum
pernah mendapatkan informasi tentang sudah atau belum terbitnya kitab
ensiklopedi fikih klasik tersebut.
4) Kitab al-Iqna’. Buku ini adalah ringkasan kecil dari kitab al-Hawi al-
kabîr yang ditulis atas permintaan Khalîfah al-Qadir Billah. Para peneliti
kutub al-Turats menduga bahwa nama al-Hawi al-Kabîr adalah
bandingan bagi nama lain kitab ringkasannya itu, yakni al-Iqna‟ (Al-Iqba‟
juga disebut al-Hawi al-sagîr).
5) Kitab A’lam al-Nubuwwah. Pada buku ini, al-awardi menjelaskan
aqidahnya tentang ketuhanan dan kenabian.17
Sampai kini kitab tentang
bukti-bukti kenabian Muhammad saw ini belum pernah diterbitkan, ia
masih tersimpan dalam bentuk manuskrip di perpustakaan Dâr al-Kutub
al-Misriyyah. Mustafa al-Saqo menyatakan. A’lam al-Nubuwwah adalah
buku teologi yang membicarakan ide-ide Ahl al-Sunnah dan Mu‟tazilah.
Kabar terakhir menyebutkan bahwa A’lam al-nubuwwah telah diterbitkan
di Kairo.
6) Kitab Adab al-qadi. Belum pernah diterbitkan, kini menuskripnya
tersimpan di perpustakaan Sulaimaniyah di Istambul Turki. Seperti
namanya, buku ini membicarakan tata tertib penanganan perkara dan
persidangan pengadilan yang harus dipegang oleh para hakim. Tetapi
17
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxxii.
47
kabar terakhir menyatakan buku ini telah terbit bahkan sudah ada yang
memiliki satu eksemplar.18
b. Bidang sosial-politik
1) Kitab al-Ahkam al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Diniyyah (peraturan-
peraturan kerajaan atau pemerintahan). Ini adalah tulisan al-Mawardi
yang paling awal diterbitkan dan paling dikenal di dunia Islam. Buku ini
disusun khusus tentang pemikiran politik Islam.
2) Nasîhat al-Mulk (nasihat kepada para raja). Belum pernah diterbitkan.
Anskah tulisan tangannya terdapat di perpustakaan Nasional Paris.
3) Tashil al-Nadzâr wa Ta’jil al-Dzafr. Masih dalam bentuk manuskrip, di
perpustakaan Gothe Jerman.
4) Kitab Qawânin al-Wizâroh wa Siyasah al-Mulk. Diterbitkan pertama kali
oleh penerbit Dar al-„Ushur, Kairo pada tahun 1902 dengan judul adab al-
Wazir (pedoman untuk para mentri).
Bagi pengamat dan teoritisi politik dan sosiologi, al-Mawardi dengan
empat buku sosial dan politik tersebut memiliki kedudukan tersendiri, bahkan jika
dibandingkan dengan kapasitasnya sebagai cendekiawan keagamaan. Empat buku
al-Mawardi di bidang politik dan sosial tersebut juga telah diterbitkan dalam edisi
bahasa-bahasa Eropa, seperti Prancis, Jerman, Latin. Edisi Inggris al-Ahkam al-
Sulthâniyyah (the Laws of Islamic Governance) baru terbit pada tahun 1996 lalau,
18
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 27.
48
diterjemahkan oleh Dr. Asadullah Yate, diterbitkan oleh Ta-Ha Publisher
Ltd.London.19
Dari empat karyanya tentang politik, buku yang pertama yang paling
terkenal. Sudah berkali-kali dicetak di Mesir dan telah disalin ke dalam banyak
bahasa. Buku ini sedemikian lengkap dan dapat dikatakan sebagai “konstitusi
umum” untuk negara, berisikan pokok-pokok kenegaraan seperti tentang jabatan
khalîfah dan syarat-syarat bagi mereka yang dapat diangkat menjadi pemimpin
atau kepala negara dan para pembantunya, baik di pemerintahan pusat maupun di
daerah, dan tentang perangkat-perangkat pemerintah yang lain.
Yang menjadi pusat perhatian kita mengenai karya-karya tulis al-Mawardi
adalah bagian-bagian yang mengupas tentang jabatan kepala negara, cara
pengangkatan dan persyaratannya, serta hubungan antara negara dan warganya.20
Namun jarang sekali dilakukan pengkajian yang mendalam tentang kandungan
buku itu. Kenapa buku itu ditulis, sumber yang digunakan al-Mawardi dalam
menulis buku serta pengaruhnya terhadap masanya dan masa berikutnya, adalah
hal yang jarang dimasalahkan. Buku ini hendak memperlihatkan kepada orang
Islam bagaimana seharusnya sistem politik itu, dan siapa yang seharusnya
memegang kekuasaan efektif dalam sistem itu.21
Al-Mawardi cukup istimewa sebagai ahli politik pertama dalam Islam
yang berpengaruh, pengaruhnya bisa dibandingkan dengan Siyâsat Nama oleh
19
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 28. 20
Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 60. 21
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, h. 277.
49
Nizam al-mulk atau Muqaddimah oleh Ibn Khaldun. Sebagai ahli politik utama
dalam Islam, tulisan-tulisannya serta pengalamannya praktisnya dalam politik
terserap dalam perspektif politik penulis-penulis sesudahnya.
c. Bidang bahasa dan Kesasteraan
Meskipun para penulis biografi sepakat bahwa al-Mawardi adalah juga
pakar bahasa dan sastra terbukti, misalnya, ada seratusan syair yang dimuat dalam
al-akam ini dan ratusan dalam Adab al-Bunyâ wa al-Dîn, tetapi hanya dua
bukunya yang nyata-nyata bertitel keabsahan dan kesastraan, yakni:
1) Kitab fi al-Nahwu (gramatika bahasa Arab). Buku ini tidak diketahui
“nasibnya”.
2) Al-Amtsal wa al-hikam. Dalam kitab ini, al-Mawardi mengumpulkan
berbagai pribahsa Arab, kata-kata mutiara dan syair-syair pilihan. Ada
300 motto, 300 bait sajak, dan 300 hadits pilihan. Kini, masih dalam
bentuk manuskrip, tersimpan di perpustakaan universitas Leiden Belanda.
B. Biografi Hasan Al-Banna
1) Riwayat Hidup Hasan Al-Banna
Hasan al-Banna dianggap banyak ilmuwan dan pemikir Islam sebagai
Mujadid abad ke 20. Dia adalah unik, dikaruniai dengan pemahaman Islam yang
benar dan mendalam dan kepercayaan yang kuat, dan seseorang yang terus
50
bekerja tanpa henti sampai tujuannya tercapai, satu-satunya cara
menghentikannya adalah menyingkirkannya, dan itulah yang terjadi.22
Pada tahun 1906 di kota kecil Mahmudiyah, Mesir, lahirlah seorang bayi
yang kelak ditakdirkan Tuhan menjadi pembela agama paling gigih,
memperjuangkan Islam sepanjang sejarah dunia Arab, dialah Syekh Hasan al-
Banna.23
Lingkungan tempat tumbuh berkembang Hasan al-Banna sangat
sederhana. Ia tinggal disebuah kota kecil yang berdiri ditepi cabang sungai
Rasyid, yag terhubung dengan sungai Nil. Nama kota tersebut adalah „al-
Mahmudiyyah Buhayrah‟. Ia tepat berada di tengah-tengah antara jalan utara
menju Iskandaria, dan jalan selatan menuju Kairo. Di kota inilah Syaikh
Abdurrahman al-Banna (ayah dari Hasan al-Banna), yang banyak dikenal dengan
as-sati‟i (si tukang jam) tinggal besama keluarga. Mereka menjadi pendatang
untuk bekerja sebagai pembuat dan tukang memperbaiki jam. Ayahnya selain
bekerja sebagai tukang reparasi jam, juga ulama. Seperti lazimnya masyarakat
Mesir, Hasan mengikuti jejak ayahnya. Hasan belajar reparasi jam dan
mendapatkan pendidikan agama dasar.24
22
M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, h. 375. 23
Maryam Jamîlah, Para Mujahid Agung, (Bandung: Mizan, 1989), h. 125. 24
Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia, cet. 3,
(Bandung: Mizan, 1998), h. 129.
51
Setiap hari ia belajar hadits dan menelusuri musnad-musnadnya. Sejak
saat itu dia mulai cendrung mencurahkan perhatiannya kepada musnad Ahmad
bin Hanbal, yang dianggapnya sebagai ensiklopedi Sunnah Rasul terbesar. 25
Abdurrahman al-Banna mengisahkan diusia muda Hasan al-Banna ia
sudah mempertanyakan soal bumi dan bulan serta penciptaannya. Pertanda
kejeniusan akalnya sudah tampak kelihatannya sejak ia masih kecil. Oleh sebab
itulah maka sang ayah menyuruh Hasan al-Banna menghafal al-Qur‟an, belajar
hadits, juga diajari adab dan sopan santun yang baik. Pada umur 14 tahun Hasan
al-Banna berhasil menghafal al-Qur‟an, hal ini berkat kedisiplinannya dalam
membagi waktu26
.
2) Latar Belakang Pendidikan Hasan al-Banna
Ayahnya, Syeikh Abdurrahman al-Banna pernah belajar sebagai
mahasiswa di al-Azhar pada waktu Muhammad Abduh mengajar di lembaga itu.
Oleh karenanya dari ayahnya Hasan waktu kecil tidak hanya mendapatkan
pelajaran murni saja, tetapi juga gagasan-gagasan pembaharuan.27
Pada usia dua
belas tahun, Hasan masuk sekolah dasar negri. Pada waktu ini juga, Hasan masuk
25
Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, (Solo: Media Insani Press, 2003), h. 24. 26
Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), h. 201. 27
Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 147.
52
sebuah kelompok Islam, himpunan perilaku bermoral dan masuk himpunan
pencegahan kemungkaran.28
Ketika Hasan al-Banna belajar di Madrasah al-Mu‟allimîn al-Awâliyyah,
di sana ia menorehkan prestasi yang sangat gemilang. Ia berkembang dengan
baik, penuh zuhud dan memperhatikan ibadah. Inilah pertama kali ayahnya
melepaskan marhalah pendidikannya. Hasan al-Banna adalah orang yang sangat
gemar membaca, hal ini dipengaruhi: pertama adanya perpustakaan sang ayah
dan motivasi yang diberikan ayahnya untuk terus belajar dan membaca. Tidak
jarang ia diberi hadiah beberapa buku, buku-buku yang memberinya pengaruh
yang sangat berarti diantaranya adalah; al-Anwar al-Muhammadiyah karya al-
Nabhani, Mukhtasar al-Mawahib al-Ladunniyah karya al-Qastalani, dan Nur al-
Yaqîn fi Sirât Sayyid al-Mursalin karya Syaikh al-Khudri. Kedua, Madrasah al-
Mu‟alaimîn berhasil mengumpulkan sejumlah ulama terkenal, pada marhalah ini
Hasan al-Banna menghapal banyak matan dari ilmu yang bermacam-macam, dan
semua itu dilakukan diluar kurikulum pelajarn sekolah.29
Hasan al-Banna lulus sekolah dengan predikat terbaik di sekolahnya dan
kelima terbaik di Mesir. Di usia 16 tahun ia telah menjadi mahasiswa di
Perguruan Tinggi Dâr al-„Ulûm, Universitas Kairo. Ia juga memiliki bakat
kepemimpinan yang cemerlang. Hasan al-Banna selalu terpilih menjadi ketua
organisasi siswa di sekolahnya. Pada usia 21 tahun, Hasan al-Banna menamatkan
28
Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia, cet. 3,
h. 130. 29
Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 42.
53
studinya di Dâr al-Ulûm30
dan mendapatkan reduksi masa belajar selama empat
tahun, yaitu masa-masa tajîziyyah (persiapan). Selanjutnya ia berangkat ke Kairo
dan ia tinggal di daerah dekat Universitas al-Azhar.
Setelah keluar dari Dâr al-‘Ulûm ia menempuh ujian diploma. Mentri
pendidikan (Wizârah al-Ma’rif) bermaksud mengutusnya ke Eropa, tapi Hasan al-
Banna menolak, ia memilih dan memutuskan diri untuk belajar di Madrasah al-
Islâmiyyah. Di sanalah ia menelorkan benih benih dakwah. Di sana pulalah ia
menggagas terbentuknya Ikhwânul Muslimîn.31
3) Kiprah Politik Hasan Al-Banna
Selama abad kesembilan belas, nasib baik politik Mesir semakin erat
dengan Eropa, selama awal tahun 1800-an hubungannya semakin dekat karena
para investor Eropa mendukung berbagai proyek untuk mengembangkan
infrastruktur Mesir, proyek terpenting adalah pembangunan Terusan Suez, yang
selesai pada tahun 1869, selain memodernisasikan ekonomi Mesir, berbagai
proyek ini juga membuat Mesir berhutang kepada kreditor Eropa. Hingga abad
dua puluh Inggris masih tetap bertahan dan mendominasi seluruh sektor yang ada
di Mesir. Hasan al-Banna yang baru berusia tiga belas tahun, ikut berdemonstrasi
menuntut kepergian Inggris, Inggris menghadapi badai protes nasioanalis, dengan
30
Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h. 202. 31
Anwar al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 23.
54
demikian, iklim politik diseputar tahun-tahun awal kesadaran sosial Hasan al-
Banna ditandai dominasi asing dan perlawanan terhadap dominasi asing.32
Pada marhalah Dâr al-Ulûm telah terjadi banyak peristiwa denotatis,
diantaranya peristiwa runtuhnya dinasti Kamal dan posisi dunia Islam diambang
kehancuran, dengan mata kepalanya sendiri Hasan al-Banna menyaksikan
pergolakan yang mahadahsyat antara masyarakat tak bersenjata dengan kaum
kolonial yang durjana, Hasan al-Banna menilai hal ini bukan hanya sekedar
masalah invasi Inggris terhadap Mesir, tetapi lebih dari itu merupakan
pencaplokan Barat terhadap dunia Islam.33
Posisi al-Azhar pada saat itu sangat lemah. Kekuatan Islam baru bisa
digalang dan disatukan dalam wadah yang diberi nama Asy-Syubban al-
Muslimîn, atau jamaah-jamaah yang lain. Akan tetapi Hasan al-banna bermaksud
menghadapi masalah tersebut dengan serius dan berbeda. Ia memulainya dengan
wacana persatuan Islam (al-Jami‟yyat al-Islamiyyah), tetapi untuk tahap pertama
ia konsentrasikan pada bidang sejarah gerakan kebangkitan Islam, juga
pembangunan pemuda dan penggalangan kekuatan.34
Beberapa bulan setelah kepindahannya ke Ismâiliyyah tempat ia bekerja
sebagai guru pada sekolah lanjutan milik pemerintah, pada tahun 1928 ia secara
resmi mendirikan himpunan persaudaraan Muslim (Ikhwânul Muslimîn) diantara
32
Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia, cet. 3,
h.127. 33
Anwar al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 39. 34
Anwar al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 41.
55
berbagai aspek perjuangan di dalam pergerakannya itu, Hasan al-Banna paling
mementingkan aspek pendidikan bagi generasi yang sedang tumbuh. Dengan
didukung enam orang pengikut dan murid-muridnya yang setia. Pada tahun 1933,
Hasan al-Banna memindahkan markas besar Ikhwân dari Ismâiliyyah ke Kairo.
Selama tiga tahun berikutnya pergerakan tersebut memusatkan kegiatan-
kegiatannya dalam mendidik masyarakat agar mereka hidup secara Islamis, dan
memantapkan rencana kerja masjid-masjid, sekolah-sekolah dan lembaga-
lembaga kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Mesir. Pada tahun 1949
Ikhwânul Muslimîn sudah memiliki lebih dari dua ratus ribu cabang yang tersebar
di seluruh pelosok Mesir dengan anggota sekitar lima ratus ribu ditambah
simpatisan yang banyaknya diperkirakan sama dengan anggotanya. Lambat laun
Ikhwânul Muslimîn berkembang menjadi suatu organisasi keagamaan dan politik
yang amat tangguh.35
Akhirnya Ikhwânul Muslimîn terlibat secara langsung dalam pergolakan
politik di Mesir lewat kegiatan-kegiatannya menentang kekuasaan pendudukan
Inggris dan berdirinya negara Israel di atas bumi Palestina. Aspirasi politiknya
juga makin terkristalisasi, yakni secara jelas mendambakan negara Islam.36
Surat
kabar, pamflet majalah dan buku-buku yang mereka terbitkan sirkulasinya
semakin hari semakin meningkat, kini pengaruh Ikhwân mulai menembus batas-
batas negara, karena para remaja di negara-negara tetangga semakin banyak yang
35
Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 145. 36
Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 146.
56
mengharapkan bimbingan dari Hasan al-Banna. Didirikanlah cabang-cabang di
Siria, Libanon, Yordania, Palestina, Maroko dan Sudan. Seperti halnya
Jamaluddin al-Afgani, syekh Hasan al-Banna menyadari bahwa tidak mungkin
bagi suatu masyarakat Islam untuk mendapatkan kemajuan di bawah kekuasaan
asing yang memusuhinya. Karena itu ia menyerukan agar memasang bendera
jihad sampai titik darah penghabisan melawan imperealisme Inggris, baik secara
politis maupun ekonomis.
Ia menuntut kepada kerajaan Inggris Raya agar melepaskan Terusan
Zues. Karena popularitasnya dan pengaruhnya semakin lama semakin besar,
golongan penguasa yang sedang memerintah mulai menganggap Ikhwân sebagai
suatu ancaman subversive yang paling berbahaya. Tahun 1941, Perdana Mentri
dan pemerintahan Mesir sangat terpengaruh oleh Inggris. Pemerintah Mesir, di
bawah kepemimpinan perdana mentri, bergabung dalam pasukan Inggris di
perang dunia II. Hasan al-Banna menentang aliansi ini, tetapi dia tidak didengar,
dia kemudian ditangkap dan surat kabarnya ditutup.
Akan tetapi rakyat bangkit dalam pemberontakan dan pemerintah terpaksa
membebaskannya. Tahun 1942, Nasha Pasha menutup semua kantor Ikhwânul
Muslimîn, kecuali kantor pusatnya di Ismâiliyyah, tetapi rakyat memberontak dan
Nasha Pasha digulingkan. Di tahun 1945, Perdana Mentri baru disumpah dan
diadakan pemilihan umum. Dalam pemilu ini, Hasan al-Banna dan rekan-
rekannya mengambil bagian, tetapi akibat campur tangan pemerintah, kandidat
57
ikhwan tidak terpilih dan Hasan al-Banna ditangkap lagi, tetapi protes menyebar
luas dan dia dibebaskan.
PBB pada tahun 1947, dibawah pengaruh Amerika Serikat memutuskan
untuk membentuk negara Israel di Palestina. Mengenai hal ini, Hasan al-Banna
dan rekan-rekannya mendeklarasikan Jihad melawan agresi dan mulai
mengorganisir dari menjadi pasukan mujahidin yang kuat. Mereka berpartisipasi
dalam jihad ini dan berjuang menentang pembentukan negara baru Yahudi, tetapi
seluruh Barat berada dibelakang mereka.
Pilihan Pada bulan Desember 1948, pemerintah melakukan penekanan ala
Inggris dan menyatakan bahwa pergerakan tersebut dianggap tidak sah. Beribu-
ribu Ikhwân dijebloskan kepenjara dan harta kekayaan mereka disita negara, juga
pada tahun ini Perdana Mentri Mahmud yang melihat popularitas Ikhwânul
Muslimîn merasa cemas dan dia menangkap semua pendukung partai ketika
mereka berperang melawan Israel. Ribuan pejuang ikhwân di seluruh Mesir
dimasukan ke dalam penjara.
Karena alasan politik, Syekh Hasan al-Banna tidak ditangkap, tetapi
partainya dilarang dan dia mendapat pengawasan ketat. Pada 12 Februari 1949,
ketika dia pulang dari sebuah pertemuan Young Muslim Association, dia
ditembak mati. Peristiwa pembunuhan itu sangat kejam dan mengejutkan, tak ada
yang mengizinkan mendekati tubuhnya kecuali ayahnya, jenazahnya
diperbolehkan pulang dengan kawalan polisi, tidak ada yang boleh menyalatkan
58
Hasan al-Banna kecuali ayahnya.37
Polisi tidak memperbolehkan masyarakat
umum mendekati peti matinya. Semua saudaranya berada dipenjara, sedang ibu
dan dua saudara perempuan, putri-putrinya dan putranya Ahmed Saif al-Islâm di
rumah.38
4) Karya-karya Hasan Al-Banna
Di sepanjang hidup al-Banna di tengah gejolak perubahan Mesir pada
umumnya dan Ikhwân al-Muslimîn pada khususnya, ia melakukan berbagai
ceramah dan menulis banyak makalah. Kebanyakan karya-karyanya
dipublikasikan semasa hidupnya dan dicetak-ulang berkali-kali setelah ia
meninggal dunia. Majmu`ah al-Rasail adalah buku yang berisi sebagian besar
surat-surat al-Banna, yang masing-masing setara dengan buku catatan kecil.
Berikut ini adalah sebagian judul makalah dan risalah yang ditulis Hasan al-
Banna:
1) Ahâdits al-Jum`ah.
2) Al-Ikhwân al-Muslimûn tahta Râyat al-Quran (bulan Safar 1358H/ April
1839 M).
3) Illâ Ayyi Syai-in Nad`û al-Nas (1936 M).
4) Bâ’in al-Ams wa al-Yaûm (1942 M yang juga dinamakan dengan Risâlat al-
Nabiyyil Amin atau Min Tatawwuril Fikratil Islamiyah).
37
Ahmad Isya „Asyur, Ceramah-Ceramah Hasan Al-Banna, Hadits Tsulatsa’, Cet. V, (Solo:
Era Intermedia, 2005), h. 9. 38
M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, h. 378.
59
5) Risâlat Da`watunâ (1936 M).
6) Risâlat Mursyid yang pertama pada bulan Ramadhan 1349 H/ Januari 1931
M.
7) Risâlat al-Ta`lîm (1943 M).
8) Risâlat al-Jihâd.
9) Risâlat al-Mu`tamâr al-Khâmis (1938 M).
10) Risâlat al-Mu`tamâr al-Sâdis (Majlis Syura Am, pada bulan Dzulhijjah
1359 H/ Januari 1941 M)
11) Risâlat Aqîdatuna (1350 H/ 1931 M)
12) Risâlat al-`Aqâid
13) Risâlat al-Mu’tamar al-Awwal (Majlis Syura Aam) yang pertama pada
bulan Shafar 1350 H/ 1931 M.
14) Risâlat Mursyid (yang kedua pada bulan Ramadhan 1351 H/ 1932 M)
15) Risâlat al-Mu’tamar al-Tsani’ (Majlis Syura Aam) yang kedua pada bulan
Syawal tahun 1350H/ Februari 1932 M.
16) Risâlat al-Mu’tamar al-Tsalits (Majlis Syura Aam) yang ketiga pada bulan
Dzulhijjah 1353 H/ Maret 1935 M.
17) Risâlat al-Mu’tamar al-Râbi’ (Majlis Syura Aam) yang keempat pada bulan
Dzulhijjah 1354 H/ Maret 1936 M.
18) Risâlat Nahwan Nûr (1936 M)
19) Risâlat Ilasy Syabbab (1357 H/ 1936 M)
20) Dokumen al-Matâlib al-Khamsun (1357 H/ 1936M).
60
21) Risâlat Ila al-Mu’tamar Tullabil Ikhwânil Muslimîn (1938 M).
22) Risâlat al-Manhaj al-Tsaqafi (1359 H/ 1940M).
23) Risâlat Nidamul Usar (1943 M).
24) Risalah kepada para pemimpin cabang, markas jihad dan wilayah pada
tahun 1364 H/ 1945 M.
25) Risâlat Musykilatuna fi Dau’in Nidamil Islami (1947 M).
26) Risâlat Hal Nahnu Qaumun ‘Amâliyyun.
27) Risâlat Allah fil ‘Aqidah al-Islamiyah (1367 M).
28) Risâlat al-Munajah
29) Risâlat al-Ma’tsurat.
30) Ila Ikhwânil Kata’ib.
31) Nadârat fi Kitâbillah.
32) Nadârat fi Sirah.
33) Muqaddimah fi al-Tafsir.
34) Majmu’ah Maqalâtul Banna.
35) Ahadits al-Tsulatsa’
36) Mudzakkirat al-Da’wah Wa al-Da’iyyah.
37) Dusturuna.39
39
Ali Abdul Hamid Mahmud, Rukun Jihad Fiqh Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut Hasan
Al-Banna, (Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001), h. 187.
61
Semua karya Hasan al-Banna ini belum mencangkup keseluruhan dari apa
yang ditulis olehnya, karena masih banyak karyanya yang membutuhkan upaya
pencarian.
62
BAB IV
LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN MENURUT
AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA
1. Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Al-Mawardi
Al-Mawardi menegaskan beberapa hal terkait teori politik mengenai
imam, yang salah satunya tentang hak imam atau khalîfah. Menurut al-Mawardi,
jika imam telah menjalankan kewajibannya dan memenuhi hak rakyat, rakyat
wajib mematuhi dan mendukung kebijaksanaannya1. Jika kepala negara telah
menjalankan hak-hak umat, lalu ia telah menunaikan hak-hak Allah SWT baik
yang berkenaan dengan hak-hak manusia maupun kewajiban yang harus mereka
emban. Saat itu kepala negara mempunyai dua hak atas rakyatnya, yaitu: taat
kepada pemerintahnya dan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan
dengan baik, selama ia tidak berubah keadaannya.2
Perubahan sifat kepala negara yang membuatnya keluar dari kompetensi
sebagai kepala negara ada dua hal:
1. Kredibilitas pribadinya rusak
2. Terjadi ketidaklengkapan anggota tubuh.
1 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, h. 278.
2 T.M. HAsbi Ash Shiddiqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), h. 117.
63
Rusaknya kredibilitas pribadinya dapat terjadi karena ia melakukan
perbuatan yang fasik. Hal itu disebabkan dua macam yaitu ia mengikuti
syahwatnya dan mengikuti syubhat. Hal yang pertama berkaitan dengan
perbuatan tubuh, yaitu dengan melakukan kemungkaran, mengikuti dorongan
syahwat, dan menuruti hawa nafsunya. Ini adalah kefasikan yang menghalangi
untuk menjabat kepala negara dan meneruskan jabatannya.3
Hal yang kedua adalah berhubungan dengan akidah, yaitu ia melakukan
takwil terhadap sesuatu masalah yang subhat sehingga ia menghasilkan takwil
yang menyalahi kebenaran.
Hak imam yang juga telah disebutkan di atas yaitu:
1. Haqq al-Tha‟ah, yaitu hak untuk memperoleh kepatuhan dari
rakyatnya terhadap pemerintah (penguasa).
2. Haqq al-Nashrah, yaitu hak untuk mendapatkan bantuan dari
rakyat dalam pelaksanaan tugas imam.4
Hak yang pertama menunjukkan bahwa ketika seseorang telah di baiat
menjadi seorang imam atau pemimpin, maka dengan sendirinya segala titah yang
dikeluarkannya menjadi kewajiban masyarakat untuk ditaati.5 Menurut al-
Mawardi mengenai pengangkatan kepala negara, salah satu tugas terpenting
anggota lemabaga pemilih (ahl al-„aqd wa al-halli atau ahl al-ikhtiyar) adalah
3 Al-Mawardi, Hukum Tata-Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h. 39.
4 Rusdji Ali Muhammmad, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Ar-Raniry Press, 2004), h. 47.
5 Moh. Mufid, Politik Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h.40.
64
mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap kandidat kepala negara, apakah
ia memenuhi persyaratan. Jika syarat telah dipenuhi, maka diminta kesediaan si
calon lalu ia ditetapkan sebagai kepala negara dengan ijtihad atas rida dan
pemilihan yang diikuti dengan pembaiatan.
Dalam pembaiatan tidak ada paksaan. Rakyat yang telah membaiat harus
mentaatinya. Pendapat al-Mawardi menunjukkan bahwa proses pengangkatan
kepala negara merupakan persetujuan antara kedua belah pihak, yakni pihak
pemilih dan pihak yang dipilih sebagai satu hubungan dua pihak dalam
mengadakan perjanjian atas dasar sukarela. Konsekuensinya, kedua belah pihak
mempunyai kewajiban dan hak secara timbal balik.6 Oleh karenanya syarat
menjadi imam adalah kecerdasan intelektual, pintar, dan peka terhadap kondisi
masyarakat. Ketika ada masalah yang mengharuskan seorang pemimpin
mengeluarkan undang-undang atau aturan, maka dengan sendirinya rakyat harus
patuh terhadap undang-undang tersebut.7
Menurut al-Mawardi, dari segi politik itu terdapat enam sendi utama:
agama yang dihayati, penguasa yang berwibawa, keadilan yang menyeluruh yang
di dalamnya menjelaskan keadilan terhadap atasannya, seperti rakyat terhadap
kepala negaranya, dan pengikut terhadap kepalanya, yang dimanifestasikan
melalui ketaatan yang tulus, kesiapan membantu dan membela serta loyalitas
6 Ensiklodesi Tematis Dunia Islam, Ajaran, h. 216.
7 Moh Mufid, Politik Dalam Perspektif Islam, h. 40.
65
yang utuh, keamanan yang merata, kesuburan tanah yang berkesinambungan dan
harapan kelangsungan hidup.8
Pada bab 4 buku karya al-Mawardi yaitu Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan dalam takaran Islam pada sub bab kewajiban yang harus dipenuhi
oleh para Mujahidin dalam berjihad, di sana dijelaskan kewajiban tentara terhadap
panglima perang, yaitu:
1. Selalu taat kepada pemimpin dan tunduk dalam kekuasaannya karena
kekuasaaanya atas mereka sah serta mereka harus taat kepadanya sesuai
status jabatannya itu, dan taat kepada pemimpin adalah wajib9. Allah SWT
berfirman:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taati pulalah Rasul serta
pemegang kekuasaan dari kalanganmu. Kalau kamu berbeda pendpat entang
sesuatu, kembalilah kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul, jika benar-benar
kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih utama
dan lebih baik akibatnya.” (An-nisaa‟:59)
Pengertian ulil amri ini ada dua penakwilan berikut ini.
8 Munawir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 62.
9 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara
Dalam Syari‟at Islam, edisi Indonesia, h. 86.
66
a) Mereka adalah para pejabat. Ini adalah pendapat Ibn Abbas r.a.
b) Mereka adalah para ulama. Ini adalah pendapat Jabir bin Abdullah,
Hasan, dan Ata‟.
2. Menyerahkan wewenang dan mandat itu kepadanya untuk mengatur
strategi perang mereka sehingga tidak banyak pendapat yang saling
berbenturan, yang mengakibatkan persatuan mereka menjadi hilang dan
mereka menjadi terpecah belah. Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara meraka
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri), kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (diantaramu).”
(An-nisaa‟:83)
Penyerahan masalah itu kepada ulil amri adalah sebab bagi tercapainya
ilmu dan kebijakan yang tepat. Jika ada sesuatu kebenaran yang tidak
terlihat oleh panglima mereka, mereka hendaknya menjelaskannya
kepadanya dan menunjukkannya. Oleh karena itu, dianjurkannya untuk
67
melakukan musyawarah sehingga dapat tercapai suatu keputusan yang
tepat.
3. Segera menjalankan instruksinya dan menaati larangannya karena kedua
hal itu adalah dimensi utama ketaatan terhadapnya. Jika mereka tidak
menjalankan apa yang ia instruksikan dan menjalankan apa yang ia larang,
ia dapat menghukum dan memberi pelajaran kepada mereka sesuai kadar
pelanggaran itu, namun jangan sampai bertindak kasar. Allah SWT
berfirman:
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka ; mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.” (Ali Imran:159)
4. Tidak menentangnya dalam pembagian ghanimah jika ia telah
menetapkan pembagiannya dan secara rela menerima pembagian yang
dilakukan olehnya. Ini karena Allah telah menyamaratakan ghanimah
68
antara kalangan terhormat dan orang biasa dan antara orang yang kuat dan
yang lemah.
Al-Mawardi memberikan indikasi tidak bolehnya rakyat taat kepada
kepala negara, yaitu tidak berlaku adil dalam pemerintahan dan hilang
kemmapuan fisiknya, sikap tidak adil kepala Negara dapat terlihat dari
kececndrungannya memperturutkan hawa (nafsu) seperti melakukan hal-hal
yang subhat.10
2. Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Hasan Al-Banna
Hasan al-Banna berkata, “yang saya maksudkan dengan taat adalah
menunaikan perintah dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun
mudah, saat bersemangat maupun malas.11
Imam Hasan al-Banna menganggap ketaatan dan loyalitas seorang
anggota terhadap pimpinannya sebagai salah satu rukun baiat. (Beliau memaknai
taat ibarat pelaksanaan semua perintah dengan sesegera mungkin dalam segala
kondisi baik senang, susah, sukarela maupun sedikit terpaksa). Beliau
melanjutkan bahwa taat pun terbagi pada beberapa klasifikasi yang diukur dari
sejauhmana tahapan pengkaderan seorang anggota, adapun tahapan-tahapannya,
yakni:
10
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media, 2001), h. 211. 11
Sa‟id Hawwa, Membina Angkatan Mujahid, Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan
Al-Banna Dalam Risalah Ta‟alim, (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 171.
69
1. Takrif
Pada tahap ini dakwah dilakukan dengan menyebarkan fikrah islam di
tengah masyarakat. Adapun sistem dakwah untuk tahap ini adalah
sistem kelembagaan. Urgensinya adalah kerja sosial bagi kepentingan
umum. Medianya adalah memberikan nasehat dan bimbingan (sekali
waktu) dan membangun berbagai tempat yang berguna (di waktu yang
lain), serta berbagai media aktivitas lainnya. Semua syu‟bah (nama
satuan kelompok) Ikhwan yang ada sekarang adalah representasi dari
tahapan ini dalam kehidupan dakwahnya. Ia terkoordinir dalam
“undang-undang pokok” yang telah dijabarkan melalui berbagai
risalah dan penerbitan Ikhwan. Dakwah pada tahapan ini bersifat
umum.
Jamaah menjalin hubungan dengan orang yang ingin
memberikan kontribusi bagi aktivitasnya dan ikut menjaga prinsip-
prinsip ajarannya. Ketaatan yang tanpa reserve pada tahapan ini
tidaklah dituntut, bahkan tidak lazim. Tingkatannya seiring dengan
kadar penghormatannya kepada sistem dan prinsip-prinsip umum
Jamaah.
2. Takwin
Dalam tahapan ini dakwah ditegakkan dengan melakukan
seleksi terhadap anasir positif untuk memikul beban jihad dan untuk
menghimpun berbagai bagian yang ada. Sistem dakwah pada tahapan
70
ini bersifat militer dalam tataran operasional. Slogan untuk kedua
aspek ini adalah: “perintah dan taat”, tanpa keraguan. Semua katibah
(nama satuan kelompok militer) Ikhwan yang ada kini adalah
representasi dari tahapan ini dalam kehidupan dakwahnya. Ia
terhimpun dalam risalah manhaj yang telah lalu.
Dakwah pada tahapan ini bersifat khusus. Ia tidak dapat
dikerjakan oleh seseorang kecuali yang telah memiliki kesiapan secara
benar untuk memikul beban jhad yang lama masanya dan berat
tantangannya. Slogan utama dalam persiapan ini adalah: “totalitas
ketaatan”.
3. Tanfidz
Dakwah dalam tahapan ini adalah jihad dengan tanpa kenal
sikap plin-plan, kerja terus-menerus untuk menggapai tujuan akhir,
dan siap menanggung segala cobaan yang tidak mungkin bersabar
atasnya kecuali orang-orang yang tulus. Dakwah ini tidak mungkin
meraih keberhasilan kecuali dengan “ketaatan yang total” juga.
Untuk itulah shaf pertama Ikhwanul Muslimin berbaiat pada bulan Rabi‟ul
Awal 1359 H. Dengan bergabungnya kalian dalam katibah ini, dengan sikap
menerima kalian akan risalah ini, dan dengan kesetiaan kalian pada baiat ini
berarti kalian telah berada pada tingkatan kedua menuju tingkatan ketiga.
71
Tunaikan tanggung jawab yang telah dipikulkan kepadamu dan siapkan dirimu
umtuk setia kepadanya.12
Hasan al-Banna menulis pada bukunya yaitu pada bab pemerintahan
mengenai tanggung jawab pemerintahan (kabinet) Perihal tanggung jawab
pemerintah menurut Islam, pada dasarnya yang memilikinya adalah presiden
(kepala pemerintahan) betapapun keadaanya. Dia punya hak untuk melakukan apa
saja untuk kemudian menyerahkan penilaian perilakunya kepada masyarakat. Jika
ia baik, rakyat wajib mendukungnya. Namun sebaliknya, jika ia tidak baik, maka
rakyat harus meluruskanya. Islam tidak melarang seorang presiden melimpahkan
wewenang eksekutifnya kepada yang lain untuk megemban tanggung jawab ini,
sebagaimana dalam pemerintahan Islam masa lalu dikenal dengan “wizâratut
tafwid” (maksudnya kurang lebih sama dengan sistem kabinet parlementer yang
dipimpin oleh seorang perdana mentri sekarang ini dan membolehkannya
sepanjang tetap dalam kerangka menegakkan maslahat.13
Hasan al-Banna juga menuliskan “dulu umat bersatu dalam kata dengan
berpegang teguh kepada tali agama, yakin akan keutamaan hukum-hukumnya,
memelihara perintah Rasulullah saw., dan peringatan beliau untuk menjaga
persatuan. Demikian pentingnya arti jamaah dan persatuan di bawah naungannya,
12
Said Hawwa, Membina Angkatan Mujahid, Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan Al-
Banna Dalam Risalah Ta‟alim, h. 171. 13
Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Solo: Era Intermedia, 2008), h.
306.
72
sampai-sampai Rasul memerintahkan untuk membunuh siapa saja, yang
memisahkan diri dari jamaah dan keluar dari ketaatan.
Beliau bersabda:
ا يفزق ا كم ص يزيد ا ن يشك ع عل رجل ا حدمه ا ذا كم ا مز كم جميع
فا لرل ه جما عركم
Artinya:
“Siapa yang dating kepadamu, sedang seluruh urusanmu telah sepakat
diserahkan kepada seorang laki-laki, untuk memecah kekuasaanmu dan
merusak jamaahmu maka bunuhlah dia” (HR. Muslim).
Sebagaimana beliau juga besabda:
مه خز ج مه الطا عح فا رق ا لجما عح فما خ ما خ ميرح جا ىليح مه لا ذل ذحد
را يد عميح يغضة لعصثح ا يدع ال عصثح ا ينصز عصثح فمرل فمرلح جا ىليح
مه خزج عل ا مر يضز ب تز ىا فا جز ىا ال يرحا ش مه مؤ منيا ال يفي لذ
(راه ا ت ىزيزج )ععد عيده فليس مني لسد منو
Artinya:
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan menentang jamaah, kemudian ia
meninggal, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah. Dan barangsiapa
yang berperang di bawah bendera ashabiyah, marah karena ashabiyah,
menyeru kepada ashabiyah, atau menghidupkan ashabiyah, kemudian ia
tebunuh, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah. Barangsiapa keluar dari
umatku, mencela yang baik maupun yang buruknya, tidak mau berhati-hati
73
terhadap orang mukmin, dan tidak menepati janji maka dia bukan dari
golonganku dan aku pun bukan bagian darinya.” 14
(HR. Abu Hurairah)
Hasan al-Banna menerangkan tentang hak-hak dari pemerintahan Islam
yang baru terlaksana jika kewajibannya telah ditunaikan. Ini merupakan salah satu
bukti pemahaman fiqih Imam Hasan al-Banna yang sangat cermat. Hasan al-
Banna berkata: “Di antara hak-hak pemerintahan Islam adalah: wala` (loyalitas)
serta sokongan baik dengan harta bahkan nyawa”.
Al-Qur`an juga telah menjelaskan bahwa hak baru diterima setelah
kewajiban ditunaikan. Firman Allah dalam Qur‟an surah An-Nisa 58-59:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman
taatilah Allah dan taati pulalah Rasul serta pemegang kekuasaan dari
kalanganmu. Kalau kamu berbeda pendpat entang sesuatu, kembalilah
kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul, jika benar-benar kamu beriman
14
Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, h. 304.
74
kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik
akibatnya.” (QS:An-Nisa ayat 58-59)
Ayat pertama menjelaskan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan
seorang pemimpin terhadap dirinya, yaitu supaya ia berlaku adil dalam
penyerahan wewenang dan jabatan tertentu pada orang yang tepat dan memang
ahli di bidang tersebut serta kewajiban menegakkan keadilan antara dua pihak
yang mengadukan permasalahan mereka kepadanya untuk diselesaikan secara
hukum dengan adil. Sedangkan ayat kedua mengindikasikan tentang hak-hak
yang bakal diterima seorang pemimpin dari rakyatnya yaitu berupa loyalitas serta
kewajiban rakyat untuk selalu menjalankan instruksinya selama instruksi tersebut
sejalan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.15
Hasan Al-Banna menjelaskan karakter pemerintahan Islam sebagai berikut:
“Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang para anggotanya orang-
orang muslim, melaksanakan kewajiban, tidak bermaksiat secara terang-
terangan, dan melaksanakan hukum-hukum Islam. Tidak mengapa menggunakan
orang-orang non muslim sepanjang hanya menduduki jabatan umum. Bentuk dan
jenis pemerintahannya tidak menjadi persoalan sepanjang sesuai dengan kaidah-
kaidah umum dalam pemerintahan Islam. Di antara sifat-sifatnya adalah rasa
tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat, bersikap adil sesama manusia,
menahan diri dari harta rakyat dan menghemat penggunaanya. Sedangkan
15
Usepsaefurohman.wordpress.com mengutip dari Era Muslim, Agenda Politik dan
Pemerintahan Islam, diakses pada hari Rabu, 02 Maret 2011 pukul 16.00 WIB.
75
kewajiban-kewajibannya antara lain, memelihara keamanan, melaksanakan
undang-undang, menyebarkan pengajaran, mempersiapkan kekuatan, menjaga
kesehatan masyarakat, memelihara kepentingan umum, mengembangkan
kekayaan negara, menjaga keselematan harta benda, meninggikan akhlak, dan
menyampaikan dakwah”.
Baiat ibarat kontrak politik antara pemimpin dan yang dipimpin berupa
sumpah setia untuk loyal terhadap pimpinan dalam segala kondisi senang, susah,
sukarela maupun sedikit terpaksa serta menyerahkan seutuhnya urusan
kepemimpinan jamaah terhadapnya. Adapun hak-haknya setelah menjalankan
semua kewajiban antara lain: kesetiaan, ketaatan, dan dukungan jiwa raga yang
diberikan oleh rakyat. Apabila pemerintah lalai melaksanakan kewajibannya,
maka berilah nasehat dan bimbingan. Jika itu pun tidak berarti, maka dicabutlah
ketaatan dan kesetiaan kita lalu disingkirkan, karena tiada kewajiban untuk taat
kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq (Allah).”16
Tiada seorang Rasul pun yang tidak mengharuskan kaumnya agar
melaksanakan dua hal: taqwa dan taat. Allah SWT berfirman:
16
Said Hawwa, Membina Angkatan Mujahid , Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan Al-
Banna Dalam Risalah Ta‟alim, h. 63.
76
Artinya:
”Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku,
dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu,
dan aku datang kepadamu dengan membawa satu tanda (mukjizat) dari
Tuhanmu. Karena itu bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.”
(al-Imran:50)
Tanpa ketaatan, maka tidak ada jamaah, tidak ada gerakan, tidak ada
sistem, tidak ada keridaan Allah, tidak ada jihad, dan tidak ada tujuan yang dapat
tercapai. Akan tetapi ketaatan tanpa yang sempurna tidak dapat terwujud tanpa
ilmu dan tsiqoh. Oleh karena itu Hasan al-Banna tidak menuntut ketaatan secara
penuh kepada anggota yang masih berada pada tingkatan takrif. Keharusan taat
secara penuh pada peringkat itu tidaklah realistis, bahwa pada tingkatan takrif kita
dituntut untuk memperkenalkan anggota kepada jamaah agar ia mengenal dan
percaya penuh. Jika ia telah mengenal dan percaya penuh, maka ia telah siap
memasuki peringkat takwin untuk dibina dan diambil perannya nanti diperingkat
tanfidz. Ketaatan di peringkat ini mutlak adanya.17
3. Perbedaan Pendapat Antara Al-Mawardi dan Hasan Al-Banna Mengenai
Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin.
Perbedaan pendapat al-Mawardi dan Hasan al-Banna tentang loyalitas rakyat
terhadap pemimpin adalah:
17
Said Hawwa, Membina Angkatan Mujahid, Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan Al-
Banna Dalam Risalah Ta‟alim, h. 172.
77
a) Menurut al-Mawardi, jika imam telah menjalankan kewajibannya dan
memenuhi hak rakyat, rakyat wajib mematuhi dan mendukung kebijaksanaannya.
Jika kepala negara telah menjalankan hak-hak umat, lalu ia telah menunaikan
hak-hak Allah SWT baik yang berkenaan dengan hak-hak manusia maupun
kewajiban yang harus mereka emban. Saat itu kepala negara itu mempunyai dua
hak atas rakyatnya, yaitu: taat kepada pemerintahnya dan membantunya dalam
menjalankan roda pemerintahan dengan baik, selama ia tidak berubah
keadaannya.
Perubahan sifat kepala negara yang membuatnya keluar dari kompetensi
sebagai kepala negara ada dua hal yaitu: Kredibilitas pribadinya rusak dan terjadi
ketidaklengkapan anggota tubuh. Rusaknya kredibilitas pribadinya dapat terjadi
karena ia melakukan perbuatan yang fasik. Hal itu disebabkan dua macam yaitu
ia mengikuti syahwatnya dan mengikuti syubhat. Hal yang pertama berkaitan
dengan perbuatan tubuh, yaitu dengan melakukan kemungkaran, mengikuti
dorongan syahwat, dan menuruti hawa nafsunya. Ini adalah kefasikan yang
menghalangi untuk menjabat kepala negara dan meneruskan jabatannya. Hal
yang kedua adalah berhubungan dengan akidah, yaitu ia melakukan takwil
terhadap sesuatu masalah yang subhat sehingga ia menghasilkan takwil yang
menyalahi kebenaran. Terjadi ketidaklengkapan tubuh terbagi dalam tiga bagian,
yaitu: cacat indera, cacat organ tubuh, dan cacat tindakan.
b) Menurut Hasan al-Banna: taat adalah menunaikan perintah dengan serta
merta, baik dalam keadaan sulit. Taat pun terbagi pada beberapa klasifikasi yang
78
diukur dari sejauhmana tahapan pengkaderan seorang anggota, adapun tahapan-
tahapannya, yakni:
Takrif
Pada tahap ini dakwah dilakukan dengan menyebarkan fikrah islam di
tengah masyarakat. Dakwah pada tahapan ini bersifat umum. Ketaatan yang
tanpa reserve pada tahapan ini tidaklah dituntut, bahkan tidak lazim.
Tingkatannya seiring dengan kadar penghormatannya kepada sistem dan
prinsip-prinsip umum Jamaah.
Takwin
Dalam tahapan ini dakwah ditegakkan dengan melakukan seleksi
terhadap anasir positif untuk memikul beban jihad dan untuk menghimpun
berbagai bagian yang ada. Slogan untuk kedua aspek ini adalah: “perintah
dan taat”, tanpa keraguan. Dakwah pada tahapan ini bersifat khusus. Ia tidak
dapat dikerjakan oleh seseorang kecuali yang telah memiliki kesiapan secara
benar untuk memikul beban jhad yang lama masanya dan berat
tantangannya. Slogan utama dalam persiapan ini adalah: “totalitas ketaatan”.
Tanfidz
Dakwah dalam tahapan ini adalah jihad dengan tanpa kenal sikap
plin-plan, kerja terus-menerus untuk menggapai tujuan akhir, dan siap
menanggung segala cobaan yang tidak mungkin bersabar atasnya kecuali
79
orang-orang yang tulus. Dakwah ini tidak mungkin meraih keberhasilan
kecuali dengan “ketaatan yang total” juga.
Hasan al-Banna mengatakan bahwa kewajiban rakyat untuk selalu
menjalankan instruksi pemimpin selama instruksi tersebut sejalan dan tidak
bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, Apabila pemerintah lalai
melaksanakan kewajibannya, maka berilah nasehat dan bimbingan. Jika itu pun
tidak berarti, maka dicabutlah ketaatan dan kesetiaan kita lalu disingkirkan,
karena tiada kewajiban untuk taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Khaliq (Allah).
Jadi, perbedaan pendapat al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai konsep
loyalitas atau ketaatan rakyat terhadap pemimpin adalah pertama, ada pada
konsep Hasan al-Banna mengenai klasifikasi ketaatan, sedangkan al-Mawardi
tidak menggunakannya; yang kedua al-Mawardi mengatakan bahwa taat pada
pemimpin selama tidak berubah keadaanya (kredibilitas pribadinya rusak dan
terjadi ketidaklengkapan anggota tubuh), sedangkan Hasan al-Banna memberi
batasan taat pada pemimpin jika selama instruksi tersebut sejalan dan tidak
bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
4. Implementasi Penerapan Konsep Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin
Pada Masa Kini.
Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam
yang agung. Namun di tengah carut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri
80
muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan
pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana
seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil maupun
yang zalim.18
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya
pemimpin sedangkan di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya
pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat
berjamaah hanya bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai
imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus
mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini
semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu
masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan
memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak
dari tugas kepemimpinan. Dalam kehidupan keseharian, ada dua hal yang akan
membawa masyarakat pada keteraturan. Pertama adalah adanya seperangkat
sistem, tata tertib, atau ketentuan yang mengatur kehidupan manusia. Kedua
adanya sikap ketaatan manusia atau sistem atau ketentuan tersebut. Dua hal
18
Muhammad Umar as-Sewed , “Taat Kepada Pemerintah”, artikel diakses pada 06 Mai 2011
pukul 16.48, dari http://www.asysyariah.com/kajian-utama/24-kajian-utama-edisi-5/678-kewajiban-
taat-kepada-pemerintah-kajian-utama-edisi-6.html.
81
tersebut sesungguhnya merupakan persyaratan umum agar tercipta keteraturan
dalam berkehidupan.19
Sebuah sistem sekuat dan sebagus apapun tidak pernah memberikan
pengaruh apabila tidak ada kedisiplinan untuk mentaatinya. Rambu-rambu lalu
lintas baru akan membawa maslahat apabila ditaati oleh pengguna jalan.
Peraturan sekolah baru akan bermanfaat bila ditaati oleh seluruh masyarakat
sekolah. Aturan perekonomian di pasar atau dalam dunia usaha pada umumnya
baru akan bermanfaat apabila dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat di
dalamnya.
Akan tetapi sebuah aturan baru layak dipatuhi, apabila aturan tersebut
membawa kemaslahatan bagi kehidupan secara umum. Jika aturan tersebut
cenderung menguntungkan satu kelompok yang sempit, dengan memberikan
kemudaratan atau bahkan memunculkan kezaliman bagi sebagian besar
masyarakat, aturan tersebut tidak layak ditaati. Itulah sebabnya beberapa aturan
pemerintah orde baru banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas karena
dianggap merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan sekelompok kecil
konglomerat.
KKN, represivitas penguasa, kedekatan pemerintah dengan Barat (kaum
kafir), seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan pembenaran
untuk melawan pemerintah. Dari yang „sekadar‟ demonstrasi, hingga yang
19
http://saga-islamicnet.blogspot.com/2011/02/telaah-hadits-pemimpin-yang-egois.htmls,
diakses pada Selasa, 8 Maret 2011, pukul 15.00 WIB.
82
berwujud pemberontakan fisik. Meski terkadang isu-isu itu benar, namun
sesungguhnya syari‟at yang mulia ini telah mengatur bagaimana seharusnya
seorang Muslim bersikap kepada pemerintahnya, sehingga diharapkan tidak
timbul kerusakan yang jauh lebih besar. Yang paling menyedihkan, Islam atau
jihad justru yang paling laris dijadaikan tameng untuk melegalkan gerakan-
gerakan perlawanan ini. 20
Ketaatan kepada Rasulullah merupakan konsekuensi dari keimanan dan
ikrar syahadat “saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Dengan demikian setiap muslim dituntut untuk mentaati ajaran-ajaran kenabian,
dalam berbagai macam aspek kehidupan.
Kewajiban mentaati pemerintah adalah selama pemerintah tersebut berada
dalam keadaan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada kewajiban bagi kaum
muslimin untuk mentaati pemerintah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini disebabkan oleh karena pemerintah telah kehilangan legitimasi dan sebab
untuk diberikan kepercayaan kepada mereka.
Representasi dari pemerintahan Islam di zaman kenabian adalah sebuah
sistem kekuasaan yang dipimpin oleh Nabi saw, sedangkan sepeninggal Nabi
pemerintahan Islam diwujudkan dalam bentuk kekhilafahan yang dipimpin oleh
seorang khalîfah atau Amîrul Mu‟minîn. Di zaman sekarang, pemerintah yang
20
Muhammad Umar as-Sewed , “Taat Kepada Pemerintah”, artikel diakses pada 06 Mai 2011
pukul 16.48 WIB, dari http://www.asysyariah.com/kajian-utama/24-kajian-utama-edisi-5/678-
kewajiban-taat-kepada-pemerintah-kajian-utama-edisi-6.html.
83
mengurusi kepentingan kaum muslimin wajib ditaati selama pemimpin tersebut
taat kepada Allah dan rasul-Nya.
Ibn Umar ra menceritakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
Artinya:
“Setiap muslim wajib mendengar dan taat pada pemimpinnya dalam hal yang
disenangi maupun tidak disenangi, kecuali jika diperintah untuk maksiat.
Apabila diperintah melakukan maksiat maka tidak ada mendengar dan taat.”
(HR. Al-Bukhâri dan Muslim)
Dalam aplikasi di zaman sekarang, kepemimpinan tersebut bisa dalam
bentuk kepemimpinan organisasi Islam, atau partai Islam, atau harakah Islamiyah
yang melandaskan diri pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin sektoral
seperti ini wajib ditaati, selama berada dalam kebenaran sesuai petunjuk al Qur‟an
dan sunnah Rasul-Nya. Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang harus
dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta‟ala. Allah ta‟ala telah
memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan) agar
menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya :
84
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-
amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS: al-
Anfal:27)
Jika kita menemui pemimpin yang zalim lagi menyia-nyiakan amanat
Allah kepada rakyatnya sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada al-
Qur‟an, as-Sunnah ash-Shahîhah, serta pengamalan para shahabat dan para ulama
setelahnya. Fenomena tentang munculnya para pemimpin zalim ini sebenarnya
telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw, semenjak empat belas abad silam.
Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20 saja, melainkan telah ada
dalam sejarah perjalanan daulah Islam. Sikap pertama yang diperintahkan oleh
Rasulullah saw, ketika menghadapi penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar
dengan tetap mendengar dan taat.
Beliau shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda :
على الحوض إنكم ستلقون بعدي أثرة فاصبروا حتى تلقون
Artinya:
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu :
pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat‟). Maka bersabarlah hingga
kalian menemuiku di haudl” (HR. Al-Bukhâri no.7075 dan Muslim no.1845)
Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita meninggalkan
amar ma‟ruf nahi munkar. Kita tetap diwajibkan untuk beramar ma‟ruf nahi
85
munkar kepada siapapun, termasuk kepada penguasa atau pemimpin sesuai
dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan
mengatasnamakan amar ma‟ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan penguasa
di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa kita
ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah terpengaruh
pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat rakyat sengsara; Para
pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat; dan yang semisalnya.21
Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan nasihat dan amar
ma‟ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar. Antara pemimpin dan
rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari‟at untuk mendengar dan
taat pada perkara yang mubah dan ma‟ruf pun akhirnya ditinggalkan karena
kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila ini berlanjut, api fitnah
semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan akhirnya tumpahlah darah,
imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengkafirkan
negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum muslimin secara
umum.
Bahkan Rasulullah Saw mengukuhkan, walaupun kemudian yang
memimpin itu boleh jadi mungkin dari status sosialnya lebih rendah, tetap bahwa
dia adalah pemimpin kita, sesuai dengan kewenangannya, sesuai dengan
wilayahnya yang menjadi tanggung jawabnya kita harus taat kepadanya. Ini yang
21
http://saga-islamicnet.blogspot.com/2011/02/telaah-hadits-pemimpin-yang-egois.htmls.
diakses pada Senin, 7 Maret 2011 pukul 08.00 WIB.
86
harus dipahami oleh kita bersama bahwa apabila menjadi anggota sebuah
organisasi, sebuah kelompok, rakyat sebuah negara, menjadi bagian dari sebuah
masyarakat, maka kita harus taat kepada pemimpin.
Meskipun tentu saja ada pemimpin yang tidak layak untuk didengar dan
ditaati. Ketaatan itu memang wajib, namun ada batasannya sebagaimana
Rasulullah Saw mengatakan,
معصيت الخالق إنما الطاعت ف المعروف ال طاعت لمخلوق فArtinya:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah,
sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.”
(HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari shahabat „Ali bin Abi Thalib ra).
Maka jika ada pemimpin yang menyuruh berbuat maksiat atau berbuat
zalim, berbuat salah, maka tidak ditaati. Jika kita cermati wasiat Rasulullah ini,
ternyata memang dimasa sekarang banyak kelompok atau partai yang mengaku
Islam, atau yang mayoritas Islam, namun bertengkar satu sama lain, saling
menjatuhkan, dan saling melecehkan dan ini menjadi bermasalah dalam kaitannya
sebagai contoh teladan yang baik bagi masyarakat.
Sehingga akhirnya banyak orang yang menjadi tidak suka kepada Islam,
karena ulah beberapa kelompok Islam, partai Islam, ormas Islam yang tidak
mencerminkan adanya persatuan, kesatuan, ketaatan, kepatuhan yang seharusnya
dilakukan oleh para pengikutnya kepada pemimpin, padahal bagi kita umat Islam
sangat jelas bahwa mendengar dan mentaati pemimpin adalah kewajiban yang
diwasiatkan Rasulullah saw kepada kita semua.
87
Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan, baik yang
berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya, maka kita diperintahkan
untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma‟ruf), serta dilarang
mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah,
radio, atau media-media lainnya). Rasulullah saw, telah melarang mencela
penguasa atau pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu
hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa
merendahkan kedudukan pemimpin atau penguasa di mata umat. Mendengar dan
taat kepada penguasa yang zalim atau jahat bukan berarti rida dengan
kemaksiatan yang ia lakukan.
Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin atau penguasa
terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara
pribadi (empat mata). Itulah petunjuk Rasulullah saw, yang banyak ditinggalkan
oleh sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdo‟a kepada Allah
agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali
pada kebenaran dan istiqamah di atasnya.
Namun amat sangat berbahaya jika loyalitas hanya diartikan secara
parsial, apa yang akan diberikan kontituen lambat laun akan timbul sifat fanatisme
terhadap wadah yang menaungi mereka. Harus ditegaskan bahwa loyalitas yang
kita berikan untuk organisasi bukanlah untuk menjauhkan kita dari amanah yang
lain. Itulah loyalitas sempit yang mana menimbulkan fanatisme berlebih.
88
Banyak kasus yang sudah terjadi, ambilah contoh seorang kritikus negara.
Berbicara terus menerus ketika kebijakan pemerintah menodai rakyat, namun
begitu ia masuk dalam jajaran pemerintahan suara yang keluar pun berbeda. Itu
dikarenakan loyalitasnya pada negara atau wadah yang menaunginya. Amanah
yang diberikan rakyat ia tinggalkan demi membela jabatan yang diberikan oleh
pemimpinnya.
Itulah yang banyak terjadi saat ini, memang loyalitas sangat diperlukan
dalam suatu organisasi, namun terkadang banyak yang salah mengartikannya.
Loyalitas yang dibutuhkan adalah loyalitas natural yang memang timbul karena
adanya sense organisasi yang mana adanya rasa ingin bersama-sama mencapai
cita-cita dengan bantuan semua aspek, artinya tidak mengesampingkan amanah
lain, apalagi sampai terbentuknya fanatisme.22
Rasa ini dapat timbul dengan salah satunya adalah ikatan emosional yang
terjadi antara sesama kontituen dan antara kontituen dan pemimpinnya. Pemimpin
pun sangat berperan ketika memang loyalitas yang diberikan adalah loyalitas
sempit, maka disinilah peran terbesarnya dalam mengawasi, mengarahkan dan
mengayomi mereka. Ketika loyalitas yang ada bukanlah loyalitas sempit, bukan
tidak mungkin totalitas pun akan mereka berikan sampai terwujudnya cita-cita
bersama.
22
Eko Wardhaya, kaderisasikammibgr.multiply.com, diakses pada tanggal 08 Maret 2011
pukul 19.00 WIB.
89
Penguasa pada hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat. Bila
umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid‟ah, dan maksiatan maka,
terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan
mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu Bakar
Ash-Siddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan bagian dari
ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka ia akan
selamat dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian di bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut konsep Islam adalah kesetiaan,
ketaatan, kepatuhan rakyat terhadap pemerintahan dalam Islam. Ketaatan
manusia (rakyat) kepada penguasa dan pemerintah merupakan suatu
keharusan untuk memberi kuasa kepada negara melaksanakan dan
mewujudkan tujuan-tujuan yang terdahulu. Sebagai balasan atas
keiltizamannya kepada syariah, pengikatan dirinya kepada syura, dan
penanggung jawabannya terhadap anak-anak rakyat, maka rakyat wajib
mentaati pemerintah agar ia dapat mewujudkan hak, menjamin keamanan,
menegakkan keadilan, serta membela umat, tanah air dan agama mereka.
Rakyat wajib melaksanakan ketaatan kepada perintah-perintah penguasa
dalam batas-batas syariah dan kepentingan umum.
Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di
dalam pemerintahannya, sekalipun zalim dan merampas hak-hak rakyat,
selama tidak memerintah untuk melakukan kemaksiat dan tidak
91
menampakkan kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh
kaum muslimin.
Secara singkat Islam memandang bahwa loyalitas dari rakyat kepada
pemimpin adalah suatu kewajiban dan prinsip pemerintahan dalam Islam
yang mana kehidupan politik tidak akan tegak kecuali dengannya. Akan tetapi
kewajiban taat kepada pemimpin tidak bersifat mutlak melainkan terikat
dengan penerapan syariah Islam dan penegakkan keadlan di tengah kehidupan
manusia dan tidak mengajak rakyat kepada kemaksiatan.
2. Loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-Mawardi adalah rakyat wajib
mematuhi dan mendukung kebijaksanaan pemimpin jika ia telah menjalankan
kewajibannya dan memenuhi hak rakyat. Jika pemimpin telah menjalankan
hak-hak umat, lalu ia telah menunaikan hak-hak Allah SWT baik yang
berkenaan dengan hak-hak manusia maupun kewajiban yang harus mereka
emban. Saat itu pemimpin mempunyai dua hak atas rakyatnya, yaitu: taat
kepada pemerintahnya dan membantunya dalam menjalankan roda
pemerintahan dengan baik, selama ia tidak berubah sifatnya.
Dalam buku al-Mawardi kewajiban yang harus dipenuhi oleh para
Mujahidin dalam berjihad dijelaskan kewajiban tentara terhadap panglima
perang, yaitu:
a. Selalu taat kepada pemimpin dan tunduk dalam kekuasaannya karena
kekuasaaanya atas mereka sah serta mereka harus taat kepadanya sesuai
status jabatannya itu, dan taat kepada pemimpin adalah wajib.
92
b. Menyerahkan wewenang dan mandat itu kepadanya untuk mengatur
strategi perang mereka sehingga tidak banyak pendapat yang saling
berbenturan, yang mengakibatkan persatuan mereka menjadi hilang dan
mereka menjadi terpecah belah.
c. Segera menjalankan instruksinya dan menaati larangannya karena kedua
hal itu adalah dimensi utama ketaatan terhadapnya.
d. Tidak menentangnya dalam pembagian ghanimah jika ia telah
menetapkan pembagiannya dan secara rela menerima pembagian yang
dilakukan olehnya
3. Menurut Hasan al-Banna, loyalitas adalah ketaatan. Yaitu, menunaikan
perintah dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, saat
bersemangat maupun malas. Hal demikian itu karena tahapan dakwah ini ada
tiga, yakni :
a. Takrif, dakwah dalam tahapan ini dilakukan dengan menyebarkan fikrah
islam di tengah masyarakat. Adapun sistem dakwah untuk tahap ini
adalah sistem kelembagaan. Urgensinya adalah kerja social bagi
kepentingan umum. Medianya adalah memberikan nasehat dan
bimbingan (sekali waktu) dan membangun berbagai tempat yang berguna
(di waktu yang lain), serta berbagai media aktivitas lainnya.
b. Takwin, dakwah dalam tahapan ini ditegakkan dengan melakukan seleksi
terhadap anasir positif untuk memikul beban jihad dan untuk
menghimpun berbagai bagian yang ada. Sistem dakwah pada tahapan ini
93
bersifat militer dalam tataran operasional. Slogan untuk kedua aspek ini
adalah: “perintah dan taat”, tanpa keraguan.
c. Tanfidz, dakwah dalam tahapan ini adalah jihad dengan tanpa kenal sikap
plin-plan, kerja terus-menerus untuk menggapai tujuan akhir, dan siap
menanggung segala cobaan yang tidak mungkin bersabar atasnya kecuali
orang-orang yang tulus. Dakwah ini tidak mungkin meraih keberhasilan
kecuali dengan “ketaatan yang total” juga.
Hasan al-Banna menulis pada bukunya mengenai tanggung jawab
pemerintahan (kabinet) Perihal tanggung jawab pemerintah menurut Islam,
pada dasarnya yang memilikinya adalah presiden (kepala pemerintahan)
betapapun keadaanya. Dia punya hak untuk melakukan apa saja untuk
kemudian menyerahkan penilaian perilakunya kepada masyarakat. Jika ia
baik, rakyat wajib mendukungnya.
Namun sebaliknya, jika ia tidak baik, maka rakyat harus meluruskanya.
Islam tidak melarang seorang presiden melimpahkan wewenang eksekutifnya
kepada yang lain untuk megemban tanggung jawab ini, sebagaimana dalam
pemerintahan Islam masa lalu dikenal dengan “wizâratut tafwid” (maksudnya
kurang lebih sama dengan sistem kabinet parlementer yang dipimpin oleh
seorang perdana mentri sekarang ini dan membolehkannya sepanjang tetap
dalam kerangka menegakkan maslahat).
4. Perbedaan pendapat antara al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai
loyalitas rakyat terhadap pemimpin:
94
perbedaan pendapat al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai konsep
loyalitas atau ketaatan rakyat terhadap pemimpin adalah pertama, ada pada
konsep Hasan al-Banna mengenai klasifikasi ketaatan, sedangkan al-Mawardi
tidak menggunakannya; yang kedua al-Mawardi mengatakan bahwa taat pada
pemimpin selama tidak berubah keadaanya (kredibilitas pribadinya rusak dan
terjadi ketidaklengkapan anggota tubuh), sedangkan Hasan al-Banna memberi
batasan taat pada pemimpin jika selama instruksi tersebut sejalan dan tidak
bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
5. Implementasi penerapan konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin pada
masa kini.
Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam
yang agung. Namun di tengah carut-marutnya kehidupan politik di negeri-
negeri muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian
dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah
mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap
pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim
Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan-baik yang
berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya, maka kita
diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma’ruf),
serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-
buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah saw,
telah melarang mencela penguasa atau pemimpin secara khusus dalam
95
haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran
harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin atau penguasa
di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang zalim atau jahat
bukan berarti rida dengan kemaksiatan yang ia lakukan.
B. Saran
1. Bahwa loyalitas rakyat terhadap pemimpin hukumnya wajib bagi rakyat,
namun demikian bukan berarti mutlak, tetapi ada batasannya juga. Ketika
pemimpin menyuruh kita kepada kemaksiatan, maka jangan diikuti, maka dari
itu jika kita menemui pemimpin yang mengajak kemaksiatan, perintah Allah
dan Rasul-Nya dilanggar.
2. Tetap sabar terhadap pemimpin yang dzalim, tetap menasihatinya dsn
mendoakannya. karena kalau tidak, akan timbul berbagai macam
pemberontakan tehadap pemerintahan akibatnya sangat merugikan sekali.
3. Dari pendapat dua tokoh Islam ini yaitu al-Mawardi dan Hasan al-Banna yang
berbeda zaman tetapi pemikirannya mengenai loyalitas ini tidak jauh berbeda,
kita dapat mengambil dan mengikuti pendapat keduanya karena menurut
penulis pendapat keduanya sesuai dengan Syariah Islam.
96
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Mahmud, Ali, Rukun Jihad Fiqh Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut Hasan
Al-Banna, Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001.
Abdul Khaliq, Farid, Fikh Politik Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Abdul Qadir Abu Faris, Muhammad, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press,
1999.
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.
Ali Muhammmad, Rusdji, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Ar-Raniry Press, 2004.
Al-Banna, Hasan, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Solo: Era Intermedia, 2008.
Al-Jundi, Anwar, Biografi Hasan Al-Banna, Solo: Media Insani Press, 2003.
Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah Fi Al-Wilâyat Ad-Dinîyyah, Beirut: Dâr el-
Kitab al-Araby, t.th.
Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, Jakarta: Darul Falah, 2007
Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Jakarta:
Gema Insani Press, 2000.
Al-Mubarak, Muhammad, Sistem Pemeritahan Dalam Perspektif Islam, Solo:
Pustaka Mantiq, 1995.
Al-Nabhani, Taqiyudin, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996.
Al-Salam bin Barjas al-Abd Karîm, Abdu, Etika Pengkritik Penguasa, Surabaya:
Pustaka Assunnah, 2002.
97
Atiqul Haque, M., 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Jogjakarta: Diglossia,
2007.
Aziz bin Baz, Abdul, dkk, Fatwa-Fatwa Terlengkap, Jakarta: Darul Haq, 2006.
Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Kariem, Bandung: J-ART, 2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
Dzajuli, H.A., Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003.
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Hasbi Ash Shiddiqy, T.M., Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1991.
Hasjmy, A., Di Mana Letaknya Negara Islam, Banda Aceh: Bina Ilmu, 1984.
Hawwâ, Sa‟id, dan Sayyid Qutb, Al-Wala`, Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001.
Hawwâ, Sa‟id, Al-Islam, Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2002.
----- . Membina Angkatan Mujahid, Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan Al-Banna
Dalam Risalah Ta’alim, Solo: Era Intermedia, 2002.
HR, Ridwan, Fiqih Politik, Yogyakarta, FH UII Pres, 2007.
Ibrahim Jindan, Khalid, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang
Pemerintahan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Ibn Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhâri Al-Ja‟fi, Muhammad, Al-Jami’ Al-Sohih Al-
Mukhtasor, Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 1987.
98
Ied Al-Hilal Bahjatun Nadirin, Salîm bin, Syarah Riyâdus Sâlihin, t.t.: Pustaka Imam
Syafi‟i, t.th.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya
Media, 2001.
Isya „Asyur, Ahmad, Ceramah-Ceramah Hasan Al-Banna, Hadits Tsulatsa’, Cet. 5, Solo:
Era Intermedia, 2005.
Jamilah, Maryam, Para Mujahid Agung, Bandung: Mizan, 1989.
Karim Zaidan, Abdul, Masalah Kenegaraan dalam Islam, Jakarta: Al-Amin, 1984.
Kencana Syafi‟i, Inu, Ilmu Pemerintahan dan al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara,
2005.
Khan, Qamaruddin, Kekuasaan Pengkhianatan dan Otoritas Agama Telaah kritis
Teori Al-Mawardi Tentang Negara, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Mohammad, Herry, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema
Insani Press, 2006.
Mufid, Moh., Politik Dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004.
Mufid, Nur, dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000.
Mu‟in Salim, Abdul, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an ,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
------ . Fiqh Siyasah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Nawawi, Hadari, Kepemimpinan menurut Islam, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2001.
99
Prayitno, Irwan, Al-Haq wal Bâthil, Bekasi: Pustaka Tarbiatuna, 2002.
Qadir Jaelani, Abdul, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: Bina Ilmu,
1995.
Rahman, Fazlur, Konsep Negara Islam, Yogyakarta: UII press, 2006.
Sjazdali, Munawwir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993.
Tahir Azhary, Muhammad, Negara Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Taimiyah, Ibn, Siyasah Syar’iyyah (Etika Poloik Islam), Risalah Gusti, Surabaya,
2005.
Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia,
Bandung: Mizan, 1998.
Referensi dari Internet:
http://saga-islamicnet.blogspot.com/2011/02/telaah-hadits-pemimpin-yang-
egois.htmls,
Harian Republika online, Al-Mawardi: Pemikir Termasyhur Di Zaman Kekhalifahan.
Wardhaya, Eko, kaderisasikammibgr.multiply.com.
Usepsaefurohman.wordpress.com, mengutip dari Era Muslim, Agenda Politik dan
Pemerintahan Islam.
Umar as-Sewed, Muhammad, “Taat Kepada Pemerintah”, dari
http://www.asysyariah.com/kajian-utama/24-kajian-utama-edisi-5/678-
kewajiban-taat-kepada-pemerintah-kajian-utama-edisi-6.html.