longsor jemblung,clapar banjarnegara

39
Longsor Jemblung Banjarnegara Banjarnegara sedang kehujanan. Titik-titik air hujan yang sangat deras meredam segenap kabupaten tersebut sejak sehari sebelumnya. Stasiun geofisika kelas III Banjarnegara yang dioperasikan oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) mencatat curah hujan sepanjang Kamis 11 Desember 2014 TU mencapai 112,7 milimeter. Dan sehari kemudian curah hujannya masih sebesar 101,8 milimeter. Dalam dua hari saja saja intensitas hujan yang mengguyur seantero Banjarnegara telah sebesar 214,5 milimeter., hujan sepanjang 11 hingga 12 Desember 2014 di Banjarnegara berkualifikasi hujan sangat deras atau hujan ekstrim. Gambar 1. Wajah dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) antara sebelum dan sesudah bencana tanah longsor dahsyat 12 Desember 2014 TU. Citra sebelum bencana diambil dari sisi utara jalan raya Banjarnegara-Dieng menghadap ke barat laut-utara. Nampak masjid al-Iman di latar belakang. Sementara citra sesudah bencana diambil dari lokasi yang lebih tinggi namun tidak

Upload: alfino-wahyu-s

Post on 09-Jul-2016

23 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

longsoran

TRANSCRIPT

Page 1: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Longsor Jemblung Banjarnegara

Banjarnegara sedang kehujanan. Titik-titik air hujan yang sangat deras meredam segenap

kabupaten tersebut sejak sehari sebelumnya. Stasiun geofisika kelas III Banjarnegara yang

dioperasikan oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) mencatat curah hujan

sepanjang Kamis 11 Desember 2014 TU mencapai 112,7 milimeter. Dan sehari kemudian curah

hujannya masih sebesar 101,8 milimeter. Dalam dua hari saja saja intensitas hujan yang

mengguyur seantero Banjarnegara telah sebesar 214,5 milimeter., hujan sepanjang 11 hingga 12

Desember 2014 di Banjarnegara berkualifikasi hujan sangat deras atau hujan ekstrim.

Gambar 1. Wajah dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) antara sebelum dan sesudah

bencana tanah longsor dahsyat 12 Desember 2014 TU. Citra sebelum bencana diambil dari sisi

utara jalan raya Banjarnegara-Dieng menghadap ke barat laut-utara. Nampak masjid al-Iman di

latar belakang. Sementara citra sesudah bencana diambil dari lokasi yang lebih tinggi namun

tidak seberapa jauh dari lokasi pengambilan citra sebelum bencana, dengan arah pandang yang

sama. Nampak semua sudah berubah menjadi timbunan lumpur. Sumber: Nurmansyah, 2014.

meluapnya Sungai Serayu, sungai utama di kabupaten ini, sembari mengalirkan arusnya

demikian deras pun menyebar kemana-mana. Sedemikian berlimpah air sungai ini sehingga

tinggi genangan di Waduk Panglima Besar Sudirman (Mrica), yang ada di aliran sungai Serayu,

pun mencapai maksimum dalam waktu singkat. Akibatnya pengelola dipaksa membuka pintu-

pintu pelimpas air (spillway)-nya untuk tetap menjaga keamanan bendung. Air Serayu pun

Page 2: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

menderas ke hilir dan sempat menenggelamkan sejumlah rumah. Kabar tak berkeruncingan pun

menyebar kemana-mana, mewartakan waduk telah bobol dan menenggelamkan hilir sungai

meski hal ini segera dibantah oleh pengelola bendungan. Titik-titik tanah longsor pun

bermunculan dimana-mana di kabupaten ini.

Gambar 2. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dari langit dalam citra

Google Earth pra bencana. Nampak bentangan jalan raya Banjarnegara-Dieng/Banjarnegara-

Pekalongan, sungai Petir dan masjid al-Iman. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google

Earth.

lereng sisi utara Gunung Telagalele yang persis ada di hadapan dusun ini mendadak longsor.

Materialnya mengalir deras tak tertahankan ke kaki gunung. Hampir segenap dusun beserta

penduduknya kontan terkubur di bawah timbunan lumpur tebal. Longsor dahsyat ini juga

menimbun jalan raya beserta kendaraan apapun yang sedang melintasinya saat itu. Luas kawasan

yang terkena hantaman longsor dalam bencana dahsyat ini mencapai tak kurang dari 15 hektar

dan sebagian menyumbat Sungai Petir, salah satu anak sungai Merawu dalam DAS (daerah

aliran sungai) Serayu. Hingga Minggu 13 Desember 2014 TU, tim evakuasi yang kini sudah

beranggotakan lebih dari 2.000 orang dari segenap eksponen relawan telah menemukan 42 jasad

korban. Dari perkiraan 108 jasad yang terkubur, maka masih ada 66 orang yang belum

ditemukan. Ribuan penduduk baik dari desa Sampang maupun desa-desa sekitarnya telah

diungsikan ke tempat-tempat pengungsian sementara, seiring Gunung Telagalele dan bukit-bukit

Page 3: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

lainnya di sini yang masih labil. Nama Jemblung dan Sampang pun sontak menjadi episentrum

perhatian hingga skala nasional.

Skala kedahsyatan bencana longsor Jemblung (Sampang) 2014 ini menggamit kembali ingatan

akan sejumlah bencana sejenis yang menerpa Banjarnegara. Misalnya bencana longsor

Gunungraja (Sijeruk) 2006, yang terjadi pada 4 Januari 2006 TU dan merenggut 90 nyawa

dengan 76 jasad korban berhasil ditemukan dan 14 sisanya tetap hilang. Atau bencana longsor

Legetang (Kepakisan) 1955 yang spektakuler, yang terjadi pada 16 April 1955 TU akibat

ambrolnya lereng Gunung Pengamun-amun di Dataran Tinggi Dieng dan menimbun tak kurang

dari 351 orang. Mengapa bencana tanah longsor seakan jadi penyakit kambuhan bagi

Banjarnegara?

Gambar 3. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dalam citra Google Earth

pra bencana ke arah timur-timur laut. Tanda panah kuning menunjukkan arah gerakan tanah saat

bencana longsor dahsyat 12 Desember 2014 TU. Sementara garis putus-putus menandakan

perkiraan batas daerah yang tertimbun tanah dalam bencana tersebut. Sumber: Sudibyo, 2014

dengan basis Google Earth.

Faktor utamanya terletak pada geologi Banjarnegara yang unik, khususnya kawasan

Karangkobar-Merawu yang menjadi bagian sub-DAS Merawu. Kawasan ini merupakan bagian

dari mandala Pegunungan Serayu Utara yang topografinya relatif bergelombang yang lereng-

lerengnya setengah terjal hingga terjal. Segenap kecamatan Karangkobar terletak di dalam

pegunungan ini, dengan gunung-gunungnya memiliki kemiringan lereng antara 15 hingga 40 %.

Page 4: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Kawasan Karangkobar-Merawu ini dialasi oleh batuan sedimen lempung dan napal hasil

rombakan gunung berapi jauh di masa silam. Permukaannya ditutupi tanah hasil pelapukan yang

cukup tebal. Kekhasan ini masih ditambah dengan terus bergeraknya kawasan Karangkobar-

Merawu akibat desakan dari dalam dari arah selatan. Desakan yang masih terus berlangsung

membuat lempung dan napal seakan diremas-remas. Sejumlah gunung batu relatif padat, yang

adalah sisa intrusi magmatik nun jauh di masa silam dan relatif tahan terhadap pengikisan oleh

cuaca, pun turut terdorong oleh desakan tersebut hingga terputus dari akarnya. Situasi ini kian

menambah rapuh lempung dan napal di segenap kawasan Karangkibar-Merawu. Tak heran jika

tingkat erosi di sini demikian tinggi, bahkan meskipun vegetasi (tumbuhan) berkayu yang rapat

masih menutupi lereng-lerengnya dengan baik. Tanah pucuk (topsoil) yang dihanyutkan air

lantas mengalir ke sungai-sungai kecil yang menjadi bagian sub-DAS Merawu.van Bemmelen

menyebut Sungai Merawu adalah sungai paling berlumpur di Indonesia. Tingginya erosi di sub-

DAS Merawu memberikan kontribusi cukup besar bagi sedimentasi Waduk Panglima Besar

Sudirman.. Tak heran jika PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi)

menempatkan mayoritas kecamatan Karangkobar ke dalam zona kerentanan gerakan tanah

menengah (zona kuning) dan tinggi (zona merah).

Page 5: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Gambar 4. Peta zona kerentanan gerakan tanah untuk kecamatan Karangkobar dan sekitarnya

dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Lingkaran merah menunjukkan lokasi

bencana tanah longsor dahsyat Jemblung (Sampang) 2014. Nampak lokasi bencana dan

sekitarnya didominasi oleh zona rentan gerakan tanah menengah (zona kuning) dan zona rentan

gerakan tanah tinggi (zona merah). Sumber: PVMBG, t.t.

Bencana tanah longsor dahsyat di kawasan Karangkobar-Merawu umumnya disebabkan

akumulasi air hujan dalam lereng setengah terjal hingga terjal sampai mencapai titik jenuh.

Selain menambah bobot lereng, akumulasi air juga membuat bagian bawah tanah lereng tersebut

seakan dilumasi sehingga menciptakan bidang gelincir. Begitu lereng tak lagi sanggup menahan

bobotnya sendiri, bidang gelincir membuat proses melorotnya lereng menjadi lebih mudah. Jika

bidang gelincirnya berbentuk cekung, maka tanah longsor bertipe rotasional pun terjadilah.

Longsor rotasional cukup khas karena mengandung energi besar sehingga saat segenap lereng

merosot, ia mampu meloncatkan kaki lereng (lidah longsor) hingga beberapa puluh atau bahkan

beberapa ratus meter dalam kecepatan cukup tinggi sebelum menyentuh tanah. Sementara

puncak lereng (mahkota longsor) mungkin hanya beringsut beberapa meter hingga beberapa

puluh meter. Loncatan ini sangat sulit dihindari. Namun bencana tanah longsor dalam skala besar

tidaklah terjadi sekonyong-konyong. Selalu terdapat gejala pendahuluan sebelum peristiwa

utamanya terjadi, dalam rupa terbentuk retakan-retakan di bagian atas lereng yang kemudian

terus berkembang memanjang dan kian dalam menjadi retakan lengkung/retakan bulan

sabit/retakan tapal kuda. Dari retakan inilah air hujan lebih mudah memasuki lereng dan

terakumulasi. Tatkala hal ini sudah terjadi, bencana tanah longsor tinggal menunggu waktu.

Page 6: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Gambar 5. Tiga lokasi dalam Kabupaten Banjarnegara yang pernah dilanda bencana tanah

longsor dahsyat hingga melenyapkan hampir segenap dusun. Masing-masing adalah dusun

Legetang desa Kepakisan (kecamatan Batur), dusun Gunungraja desa Sijeruk (kecamatan

Banjarmangu) dan dusun Jemblung desa Sampang (kecamatan Karangkobar). Sumber: Sudibyo,

2014 dengan basis Google Earth.

Legetang dan Gunungraja

Hal tersebut teramati dalam bencana tanah longsor dahsyat Legetang 1955. 70 hari sebelum

bencana terjadi, retakan sudah mulai terlihat di dekat puncak Gunung pengamun-amun (elevasi

2.000 meter dpl) yang berjarak sekitar 500 meter sebelah timur dusun Legetang, desa Kepakisan.

Para pencari rumput dan kayu bakar di gunung yang saat itu tertutupi hutan lebat pun telah

mengetahuinya. Kian lama retakan tersebut kian melebar dan juga kian dalam, mengarah ke sisi

tenggara. Retakan yang terus berkembang ini sering menjadi bahan obrolan sehari-hari penduduk

dusun Legetang, yang terletak pada elevasi sekitar 1.800 meter dpl. Namun tak ada yang merasa

khawatir atau menduga terlalu jauh.

Situasi berubah dramatis pada pertengahan April 1955 TU. Setelah diguyur hujan lebat selama

berhari-hari, lereng sisi tenggara Gunung Pengamun-amun telah demikian berat dan terlumasi

dasarnya sehingga merosot ambrol dalam volume sangat besar. Penyelidikan geolog MM Purbo

dari Jawatan Geologi (kini Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI)

memperlihatkan kombinasi longsor bertipe rotasional dengan halangan bukit kecil dihadapannya

membuat membuat lidah longsor meloncat jauh. Ia membentur bukit dihadapannya. Hingga

akhirnya material longsor pun terbelokkan ke dusun Legetang setelah meloncati sebatang sungai

kecil jelang tengah malam 16 April 1955 TU. Segenap dusun ini pun terkubur di bawah

tumbunan tanah yang sangat tebal beserta 332 penduduknya dan 19 orang dari desa lain yang

sedang bertamu ke dusun tersebut.

Page 7: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Gambar 6. Bagaimana bencana tanah longsor dahsyat Legetang (Kepakisan) 1955 terjadi, dalam

ilustrasi berbasis citra Google Earth. Saat lereng tenggara Gunung Pengamun-amun hingga

hampir ke puncaknya merosot dengan tipe rotasional (panah kuning tak terputus), materialnya

segera membentur bukit dihadapannya. Sehingga berbelok arah menjadi mengubur dusun

Legetang (panah kuning putus-putus). 351 orang tewas dan hanya 1 jasad yang berhasil

dievakuasi. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth dan Abdrurrahman, 2013.

Bentang lahan Legetang pun berubah dramatis dari semula cekungan di sebuah lembah menjadi

gundukan sedikit membukit. Dari 351 korban jiwa itu, hanya jasad kepala dusun yang berhasil

dievakuasi. Sisanya terlalu sulit untuk digali akibat tebalnya timbunan tanah. Bencana dahsyat

ini sontak menggemparkan masyarakat Banjarnegara khususnya di Dataran Tinggi Dieng.

Penduduk segera menghubung-hubungkan bencana ini dengan sikap warga dusun Legetang,

yang jauh dari kehidupan religius. Kini di ‘bukit’ yang menimbun Legetang terdapat sebuah tugu

beton sebagai pengingat akan bencana yang paling mematikan di Dataran Tinggi Dieng dan

Banjarnegara.

Hal serupa juga terjadi jelang bencana longsor dahsyat Gunungraja. Bahkan retakan di lereng

bukit Pawinihan sudah terdeteksi semenjak 2004, atau dua tahun sebelumnya. Retakan tersebut

terus berkembang dan melebar akibat erosi parit. Hingga dua minggu jelang bencana, retakan ini

telah sepanjang 25 meter dengan lebar 1 hingga 2 meter sedalam 4 meter. Lebih tak

menguntungkan lagi, erosi parit juga membuat ujung parit ini terbendung oleh material erosi

Page 8: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

sehingga air tak leluasa mengalir. Namun sepanjang waktu itu tidak ada langkah antisipasi.

Meski demikian hingga November 2005 TU bencana relatif terhindarkan seiring masih

seimbangnya arus keluaran air (lewat kemampuan tanah bukit untuk menyerap air) dengan arus

masukan air (dari air hujan).

Situasi berubah dramatis pada November 2005 TU saat tanah di kaki bukit diperkeras dengan

aspal sebagai jalan raya lokal yang menghubungkan dusun Gunungraja Wetan dengan dusun

Kendaga, keduanya dalam wilayah desa Sijeruk. Pengaspalan jalan lokal ini jelas bertujuan baik,

untuk memperlancar arus transportasi setempat dengan efek multidimensinya. Namun dalam

analisis pascabencana yang dilakukan tim Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah,

pengaspalan jalan di kaki bukit membuat keseimbangan terganggu. Kini arus masukan air

menjadi lebih besar dari arus keluarannya. Puncaknya terjadi pada selang waktu antara 27

Desember 2005 hingga 4 Januari 2006 TU, saat Banjarnegara diguyur hujan lebat. Masukan air

di lereng bukit Pawinihan itu pun meningkat hebat tanpa diimbangi oleh peningkatan

kemampuan keluaran air. Lereng yang jenuh air membuat bobotnya bertambah besar sembari

menciptakan bidang gelincir didasarnya. Maka bencana tanah longsor dahsyat pun terjadilah, tak

peduli bahwa lereng bukit itu masih tertutupi tumbuh-tumbuhan berakar tunggang dengan baik.

Sebagian dusun Gunungraja pun lenyap di bawah timbunan tanah, yang merenggut nyawa 90

orang dari sekitar 600 orang penduduknya.

Page 9: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Gambar 7. Bagaimana bencana tanah longsor dahsyat Gunungraja (Sijeruk) 2006 terjadi, dalam

ilustrasi berbasis citra Google Earth. Saat lereng timur Bukit Pawinihan merosot dengan tipe

rotasional (panah kuning)materialnya segera meloncat dan mengubur dusun Gunungraja. 90

orang tewas dan 76 jasad yang berhasil dievakuasi. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google

Earth dan data dari Sutopo & Wilonoyudho, 2006.

Gambar 8. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dan Gunung Telagalele

dalam ilustrasi berbasis citra Google Earth dengan arah pandang ke selatan. Garis putus-putus

menunjukkan perkiraan posisi asal material longsor. Tanda panah kuning menunjukkan arah

gerakan tanah dalam bencana longsor dahsyat tersebut. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis

Google Earth dan keterangan Azizah, 2014.

Pasca bencana, tim kaji cepat yang beranggotakan UGM, BMKG, PVMBG, LIPI (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia), BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan lainnya

memperlihatkan potensi bencana masih tetap membayangi dusun Jemblung ke depan. Potensi

pertama datang dari material longsoran yang sebagian membendung sungai Petir. Jika hujan

deras, bendungan ini akan menghalangi air sungai untuk beberapa saat sebelum kemudian jebol

menjadi banjir bandang. Sementara potensi kedua datang dari mahkota longsor. Di sini terdapat

telaga sepanjang 30 meter yang digenangi air hingga sedalam 1 meter. Bila hujan deras kembali

mengguyur, air dalam telaga ini dapat menekan tanah dibawahnya yang telah demikian lunak

dan rapuh sehingga longsor dapat kembali terjadi. Bahkan dalam prediksi terburuk, skala

bencananya bisa melampaui apa yang barusan dusun Jemblung alami

Page 10: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Antisipasi

Dalam bencana tanah longsor pada umumnya, sedikitnya ada tiga faktor yang berkontribusi.

Dalam kasus Banjarnegara khususnya di kawasan Karangkobar-Merawu, faktor pertama adalah

kondisi geologi yang unik. Faktor kedua adalah hujan deras hingga hujan ekstrim. Dan faktor

ketiga adalah tersumbatnya drainase sehingga air tidak bisa terbebas dengan leluasa dari lereng

yang berpotensi longsor. Faktor pertama dan kedua adalah faktor yang terberi (given), atau sudah

dari sononya demikian. Sehingga tak bisa dikendalikan manusia. Namun berbeda dengan faktor

ketiga. Manusia dapat mengelola drainase lereng, sehingga tingkat kejenuhan airnya dapat

direduksi. Saluran-saluran drainase sederhana dapat dibangun untuk keperluan itu. Di samping

itu retakan yang sudah terbentuk harus segera ditimbuni lagi hingga rata. Juga tak boleh ada

penggalian baik di lereng maupun kaki lereng, baik kecil-kecilan apalagi besar, atas alasan

apapun.

Gambar 9. Citra medan pandang lebar (wide-field) lokasi bencana tanah longsor dahsyat

Jemblung (Sampang) 2014, diambil Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi per 13

Desember 2014 TU. Arah pandang ke selatan-tenggara. Nampak posisi mahkota longsor dan

telaga/genangan air tepat dibawahnya. Sumber: PVMBG, 2014.

Page 11: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Longsor Clapar (Banjarnegara) yang Membuat Hati Bergetar

Pada Kamis 24 Maret 2016 Tarikh Umum (TU) lalu kala sebuah peristiwa menggetarkan terjadi:

bencana tanah longsor Clapar.

Page 12: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Gambar 1. Jembatan kecil yang menjadi saksi bisu bencana longsor Clapar pada hari-hari awal

bencana itu. Jalan yang semula melintasi jembatan ini nampak sudah mulai terputus. Di hari-hari

berikutnya penggal jalan raya ini kian jauh beringsut sekaligus tertimbuni lumpur oleh longsor

rayapan yang terjadi. Sumber: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB, 2016.

yang secara administratif terletak di Rukun Warga (RW) 01 Desa Clapar Kecamatan Madukara,

mendadak meliuk. Tak sekedar merusak jalan raya, gerakan tanah yang sama membuat banyak

rumah dibikin berantakan.

Mujurnya bencana longsor Clapar berjenis longsor rayapan (soil creep) yang secara alamiah

terjadi secara perlahan-lahan. Sehingga pada satu sisi memberikan kesempatan bagi masyarakat

yang bertempat tinggal di lokasi bencana dan sekitarnya untuk menyelamatkan diri. Inilah yang

membedakan bencana longsor Clapar dengan bencana longsor dahsyat yang mendera

Banjarnegara sepanjang sejarahnya.

Gambar 2. Salah satu rumah permanen yang menjadi korban bencana longsor Clapar di hari-hari

awal. Nampak ia rusak parah, telah retak separuh. Pada hari-hari berikutnya rumah ini kian rusak

Page 13: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

dan akhirnya runtuh sepenuhnya seiring gerakan tanah yang terus terjadi dalam longsor rayapan

ini. Sumber: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB, 2016.

Saat gerakan tanah diawali pada 24 Maret 2016 TU pukul 19:00 WIB, yang disusul pada 25

Maret 2016 TU pukul 01:30 WIB dan pukul 06:00 WIB, luas area longsornya masih sebatas 5

hektar dengan keliling area 1,2 kilometer. Dampak yang diakibatkannya meliputi 9 rumah rusak

berat, 3 rumah rusak sedang dan 2 rusak ringan dengan 29 rumah lain didekatnya pun dalam

kondisi terancam. Jumlah pengungsi mencapai 158 orang. Tetapi berselang seminggu kemudian,

yakni Kamis 31 Maret 2016 TU, gerakan tanah yang terus terjadi selama seminggu tersebut

menyebabkan luas area longsor membengkak menjadi 35 hektar. Jumlah pengungsi pun

melonjak menjadi 296 jiwa yang terbagi ke dalam 85 keluarga.

Gambar 3. Lokasi bencana longsor Clapar dalam citra Google Earth tiga dimensi. Area longsor

ditandai dengan daerah berbayang putih, khususnya pada hari-hari pertama, yang luasnya 5,3

hektar dengan keliling 1,2 kilometer. Nampak alur jalan raya Madukara-Banjarnegara yang

melintasi area longsor. Di latar belakang terlihat kota Banjarnegara. Di hari-hari berikutnya area

longsor Clapar kian meluas seiring terus terjadinya gerakan tanah dalam longsor rayapan.

Sumber: Sudibyo, 2016 dengan basis Google Earth serta data dari Nurmansyah & Andri.

Kemiringan dan Kondisi

Sebagai daerah yang bertempat di kawasan Pegunungan Serayu dan tepat di sisi utara daerah

Karangsambung (Kebumen). Akibatnya lempung dan napal yang mengalasi sebagian

Banjarnegara seakan diremas-remas dengan sangat kuat, membuatnya rapuh. Tak hanya itu,

Page 14: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

tanah Banjarnegara pun tidak terlepas dengan aktivitas tektonik. Proses serupa juga dialami

Kebumen bagian utara, yang bahkan lebih kompleks sehingga membentuk daerah

Karangsambung yang khas.

Desa Clapar dan sekitarnya berdiri di atas bebatuan sedimen formasi Rambatan yang terdiri atas

serpih, napal dan batupasir mengandung gamping (karbonat). Dengan ketebalan sekitar 370

meter, formasi Rambatan dibentuk oleh pengendapan di lingkungan dasar laut yang terbuka.

Pengendapan terjadi pada masa Miosen Awal hingga Miosen Tengah (23 hingga 16 juta tahun

silam), menjadikannya satuan batuan tertua di Banjarnegara. Evaluasi oleh Fadlin, geolog

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, di lokasi bencana Clapar, menguak kekhasan lain.

Batuan formasi Rambatan di Clapar telah cukup lapuk akibat dipanasi secara terus-menerus

dalam periode yang cukup lama pada waktu tertentu, kemungkinan di kala Pleistosen (antara 2,5

hingga 0,1 juta tahun silam).

Gambar 4. Penampang melintang lereng bukit yang mengalami longsor rayapan dalam bencana

longsor Clapar, di hari-hari pertama. Penampang melintang ini berimpit dengan sumbu area

longsor yang berarah barat-barat daya ke timur-tenggara. Nampak posisi mahkota longsor dan

lidah longsor serta jalan raya Madukara-Banjarnegara. Panah tebal putus-putus menunjukkan

arah gerakan tanah. sementara tanda persen (%) menunjukkan persentase kemiringan lereng pada

suatu titik. Sumber: Sudibyo, 2016 dengan basis Google Earth serta data dari Nurmansyah.

Sumber panasnya adalah magma, yang melesapkan cairan hidrotermal ke dalam lapisan batuan

formasi Rambatan disekelilingnya. Sehingga terjadi proses alterasi hidrotermal yang kuat. Jejak

magma tersebut masih terlihat di kecamatan Pagentan sebagai batuan beku terobosan (intrusi)

sejarak 4 kilometer sebelah utara-timur laut Clapar. Batuan beku dalam intrusi tersebut

Page 15: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

merupakan diorit, terbentuk saat magma panas membeku secara berangsur-angsur jauh di dalam

tanah sehingga menghasilkan bekuan gelap dengan butir-butir sedang hingga kasar. Apabila

magma panas tersebut sempat keluar ke paras Bumi, maka ia akan membentuk batuan beku

andesit. Intrusi diorit di Pagentan bisa saja merupakan fosil gunung berapi, yakni gunung berapi

yang telah mati dan tererosi demikian brutal seiring waktu sehingga tinggal menyisakan bagian

terkerasnya. Namun untuk itu dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Yang jelas saat batupasir

formasi Rambatan dikukus magma panas secara terus-menerus untuk jangka waktu yang lama, ia

pun melapuk. Terbentuklah butir-butir lempung yang terkenal licin sehingga berperan menjadi

bidang gelincir dalam banyak bencana tanah longsor.

Selain batuan yang lapuk dan penuh lempung, kekhasan lainnya yang diduga turut berkontribusi

dalam bencana Clapar adalah adanya sesar (patahan). Sebuah sesar geser dengan arah utara-

selatan melintas di sini. Aktivitasnya tidak diketahui dan kemungkinan besar tak aktif di masa

kini. Namun keberadaan sebuah sesar apapun senantiasa diiringi eksisnya zona hancuran. Yakni

sebentuk zona selebar beberapa meter hingga beberapa kilometer yang terbentuk sebagai akibat

penghancuran batuan akibat gerakan sesar hingga berkumpul di jalur tertentu tepat di mana sesar

tersebut melintas. Zona hancuran senantiasa menjadi zona lemah nan rapuh di paras Bumi.

Lokasi bencana longsor Clapar nampaknya terletak di sekitar zona hancuran sesar geser tersebut.

Gambar 5. Peta zona kerentanan gerakan tanah sebagian Kabupaten Banjarnegara khususnya

kecamatan Madukara dan sekitarnya. Lokasi bencana longsor Clapar ditandai dengan lingkaran

Page 16: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

merah. Area bencana terletak di zona rentan menengah (untuk lereng bagian atas) dan zona

rentan rendah (untuk lereng bagian bawah). Sumber: PVMBG, 2014.

Dengan kekhasan tersebut, bagaimana longsor Clapar mengambil bentuk yang berbeda

dibandingkan kejadian di Legetang, Sijeruk dan Jemblung?

Salah satu faktornya mungkin terletak pada kemiringan lereng di Clapar. Mahkota longsor

Clapar terletak di elevasi 837 meter dpl (dari paras laut rata-rata) dengan kemiringan 23 %.

Sementara ujung lidah longsor Clapar terletak pada elevasi 705 meter dpl dengan kemiringan

12%. Maka terdapat selisih elevasi 132 meter. Sebagai pembanding mari gunakan kejadian

bencana longsor dahsyat Jemblung. Mahkota longsor Jemblung terletak pada elevasi 1.056 meter

dpl sementara bagian terendahnya pada elevasi 931 meter dpl. Sehingga selisih elevasi longsor

Jemblung adalah 125 meter, sedikit lebih kecil dibanding selisih elevasi longsor Clapar. Akan

tetapi kemiringan lereng Jemblung jauh lebih besar, yakni mencapai 47 % di mahkota longsor.

Sehingga kemiringan lereng Jemblung terkategori sangat curam. Sebaliknya kemiringan lereng

Clapar masih dikategorikan sebagai agak curam. Perbedaan kemiringan lereng ini mungkin

menjadi faktor kunci mengapa bencana longsor Clapar bersifat rayapan. Tak mengambil bentuk

yang sama dengan bencana longsor Jemblung, walaupun selisih elevasi keduanya relatif mirip.

Kemiringan lereng yang lebih rendah ini pula yang nampaknya mendasari Pusat Vulkanologi dan

Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM RI menempatkan area

di sekitar lokasi longsor Clapar dalam zona rentan menengah (untuk lereng bagian atas) dan

zona rentan rendah (untuk lereng bagian bawah). Bagi zona rentan rendah, potensi terjadinya

gerakan tanah akan timbul manakala terjadi gangguan pada lereng tersebut. Sementara bagi

zona rentan menengah, potensi gerakan tanahnya adalah lebih besar dibanding zona rentan

rendah. Selain gangguan pada lereng, potensi gerakan tanah di zona rentan menengah bisa terjadi

pada lereng yang berbatasan dengan lembah sungai, tebing jalan maupun gawir. Terutama saat

terjadi hujan deras.

Page 17: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Gambar 6. Peta geologi Kabupaten Banjarnegara bagian timur, yang telah dilekatkan ke citra

Google Earth tiga dimensi. Nampak lokasi bencana Clapar terletak di batuan formasi Rambatan,

batuan tertua di Banjarnegara. Sedikit ke utara-timur laut dalam jarak sekitar 4 kilometer terdapat

intrusi diorit Pagentan, magma yang menelusup di masa silam dan kemudian membeku. Intrusi

ini mungkin melesapkan cairan hidrotermal ke batuan disekelilingnya hingga menciptakan

fenomena alterasi hidrotermal. Di latar belakang nampak Gunung Telagalele, lokasi bencana

longsor dahsyat Jemblung pada 2014 TU silam. Sumber: Sudibyo, 2016 dengan peta geologi dari

P3G, 1998.

Evaluasi Fadlin memperlihatkan area lereng di sekitar mahkota longsor Clapar telah berubah

menjadi kebun dengan tanaman budidaya berupa salak. Sebagai tumbuhan monokotil, salak

memiliki sistem akar serabut. Ia membuat tanah tempatnya tumbuh menjadi gembur. Maka

perkebunan salak yang ada pada sebuah lereng menyebabkan lereng tersebut menjadi gembur,

sebuah gangguan bagi lereng tersebut. Terletak di zona rentan menengah, maka curahan hujan

Page 18: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

deras pada lereng yang telah terganggu tersebut akan meningkatkan potensi terjadinya gerakan

tanah.

Faktor lainnya yang juga mungkin berperan adalah kondisi tanah. Terkait hal ini ada penelitian

menarik dari Purwanto & Listyani (2008), dua geolog dari UPN Veteran dan STTNAS

Yogyakarta. Di bawah tajuk tinjauan hidrogeologi dan evaluasi gerakan tanah Kabupaten

Banjarnegara, Purwanto & Listyani memperlihatkan bahwa dari 18 titik di 18 desa (pada 11

kecamatan yangberbeda) di Kabupaten Banjarnegara, hampir seluruhnya terkategori sebagai

daerah yang labil dan kritis dalam hal keamanan lereng. Dari ke-18 titik tersebut, tujuh

diantaranya berada di sekitar Desa Clapar yakni di kecamatan Pagentan dan Wanayasa. Dan

dari ketujuh titik tersebut, hanya dua desa yang lebih baik karena tergolong daerah kritis untuk

keamanan lereng. Masing-masing desa Pandansari (kecamatan Wanayasa) dan desa Larangan

(kecamatan Pagentan). Sisa lima desa lainnya seluruhnya tergolong daerah labil untuk keamanan

lereng, sehingga lebih buruk. Yakni desa Karangnangka, Metawana, Sokaraja, Gumingsir

(seluruhnya di kecamatan Pagentan) dan desa Suwidak (kecamatan Wanayasa).

Gambar 7. Distribusi rumah-rumah yang mengalami kerusakan dalam aneka tingkatan pada

bencana longsor Clapar, hingga Sabtu 26 Maret 2016 TU. Sumber: JejakData.id, 2016.

Page 19: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Mayoritas dari ketujuh tempat tersebut memiliki sifat fisik-mekanik tanah yang dipicu oleh

airtanah. Beberapa juga memiliki sifat fisik-mekanik litologi yang dapat berubah jika terkena air

yang cukup banyak, membuat terjadinya penambahan kadar air yang berlebihan dan tiba-tiba di

kala hujan terjadi. Seluruhnya juga memiliki pengaliran air permukaan yang kurang baik,

sehingga luapan air pada saat hujan tak bisa segera dibuang. Situasi ini menjadikan tanah

tersebut mudah jenuh air. Dan dengan keamanan lereng yang rendah (karena terkategori sebagai

daerah kritis atau bahkan labil), potensi terjadinya bencana longsor di musim hujan menjadi

sangat besar.

Catatan distribusi curah hujan sepanjang Februari 2016 TU dari Badan Meteorologi Klimatologi

dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang memperlihatkan Kabupaten Banjarnegara

bagian timur menerima curah hujan yang tinggi, yakni antara 301 hingga 400 milimeter untuk

bulan itu. Sehari sebelum bencana longsor Clapar terjadi, hujan deras pun masih mendera

kawasan ini. Kombinasi lereng yang telah terganggu (akibat berkembangnya perkebunan salak),

kondisi tanah yang pengaliran air permukaannya kurang baik sehingga luapan air saat hujan tak

bisa segera hilang dan akumulasi hujan deras yang mungkin menjenuhkan kadar air dalam tanah

nampaknya menjadi faktor-faktor yang berkontribusi dalam bencana ini.

Gambar 8. Dinamika curah hujan berdasarkan citra satelit pada Rabu 23 Maret 2016 TU antara

pukul 15:00 hingga 20:00 WIB, sehari sebelum bencana longsor Clapar mulai terjadi.

Page 20: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Dibangkitkan dengan kanal Hydro Estimator Rainfall pada laman RealEarth. Sumber: RealEarth,

2016.

Page 21: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

Gambar 9. Akumulasi curah hujan di propinsi Jawa Tengah sepanjang Februari 2016 TU.

Nampak lokasi bencana longsor Clapar berada di kawasan yang mengalami curah hujan

akumulatif tinggi, yakni antara 301 hingga 400 milimeter dalam bulan itu. Sumber: BMKG,

2016.

Relokasi para korban ke tempat pemukiman yang baru menjadi kebutuhan mutlak untuk jangka

pendek. Demikian halnya relokasi sepenggal jalan raya Madukara-Banjarnegara yang terputus

dalam bencana ini. Dalam jangka panjang, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara nampaknya

musti berbenah. Pemukiman-pemukiman yang terletak di area rawan musti dipetakan. Sistem

peringatan dini bencana longsor sebaiknya juga dipasang di tempat-tempat rawan. Dan yang

lebih penting lagi, bagaimana mengupayakan rekayasa teknik untuk meminimalkan potensi

gerakan tanah. Kita memang tak dapat berbuat apa-apa dengan kondisi tanah dan curah hujan.

Namun pengaliran air permukaan di area yang rawan dapat diperbaiki dengan pembuatan dan

pemeliharaan sistem drainase secara rutin.

MITIGASI BANJARNEGARA

Upaya mitigasi struktural yang telah dilakukan oleh Pemebrintah Kabupaten

Banjarnegara, dalam hal ini melalui BPBD Kabupaten Banjarnegara diantaranya :

1. Penyusunan data base daerah potensi bahaya

Data base daerah potensi bencana merupakan koleksi data-data yang

saling berhubungan mengenai suatu potensi kerawanan. Melalui penyusunan

data base daerah potensi bahaya longsor. Pada tahun 2015, sebanyak 46

desa/dusun/dukuh dengan total 803 rumah masuk dalam ketegori rawan longsor.

Selain itu, terdapat beberapa peta wilayah Kabupaten Banjarnegara dengan

fokus wilayah rawan longsor. Peta tersebut termasuk dalam data base yang telah

disusun oleh BAPPEDA Kabupaten Banjarnegara. Peta merupakan salah satu

bagian terpenting dalam upaya mitigasi structural.

Melihat kondisi Kabupaten Banjarnegara yang sebagian besar wilayahnya

rawan terhadap bencana, memang perlu data base yang akurat sehingga

Page 22: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

masyarakat mengerti dan memahami kondisi lingkungan yang ditinggali. Peta

lainnya yang diperlukan sebagai bagian data base penting dalam upaya mitigasi

bencana struktural ini adalah peta curah hujan dan peta daerah rawan bencana.

Melalui peta ini, BPBD Kabupaten Banjarnegara melakukan upaya mitigasi

structural lainnya, yaitu dengan adanya pemasangan alat pendeteksi dini

bencana longsor.

2. Pemasangan Early Warning System (EWS)

Pemasangan alat peringatan dini (early warning system/EWS) harus

terpasang di semua zona yang diindikasikan memiliki kerentanan terhadap

bencana alam. Melalui alat ini, warga disekitar lokasi rawan akan mendapat

peringatan ketika terjadi pergeseran tanah. Ironisnya saat ini pemasangan EWS

di beberapa daerah rawan lonsor hanya sedikit dan terbatas di beberapa lokasi

saja.

EWS yang terpasang merupakan EWS sederhana, menggunakan tali nilon

yang dikaitkan dengan megaphone dengan harga berkisar Rp300 ribu.

Sementara itu, EWS canggih biasanya dilengkapi dengan wirelessekstensometer, tiltmeter,

penakar hujan, repeater, lampu peringatan, tower antena, dan server

lokal serta pemetaan,ditambah denga pelatihan kesiapsiagaan masyarakat

lainnya yang membutuhkan biaya banyak kurang lebih Rp300 juta. Cara kerja

EWS sederhana ini adalah dengan adanya tali nilon yang dikatikan dalam 2 tiang.

Apabila terjadi pergeseran tanah, maka tali nilon akan tertarik sehingga

menyebabkan megaphone berbunyi.

EWS merupakan piranti, namun hal yang perlu menjadi fokus utama

implementasi EWS dilapangan adalah budaya sadar dari masyarakat dan

komitmen pemerintah daerah. Permasalahan dilapangan saat ini adalah adanya

penolakan dari masyarakat, karena sering terjadi alarm berbunyi namun tidak

terjadi longsor. Sebagai contoh adalah adanya burung yang bertengger di tali

nilon yang mengakibatkan tali nilon tertarik sehingga alarm berbunyi. Hal inilah

yang menjadi salah satu ketidaknyamanan masyarakat karena menimbulkan

Page 23: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

kepanikan yang luar biasa dengan adanya pengalaman longsor besar di Dusun

Sijemblung yang mengakibatkan satu desa hilang.

Selain EWS sederhana ini, terdapat pula EWS canggih Extensometer yang

merupkaan bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Extensometer ini

semula niatannya diperuntukan untuk Kabupaten Wonogiri, namun karena

potensi longsor di Banjarnegara cukup besar maka alat dipindahkan ke

Banjarnegara. Cara kerja Extensometer sedikit berbeda dengan alat canggih EWS

yang sebelum ini ada karena hasil pelaporan alat canggih ini dikirimkan dalam

bentuk Short Message Sevice (SMS) kepada sejumlah nomor tertentu.

Melalui alat ini, begitu terdapat gerakan atau tanda-tanda gerakan tanah,

extensometer secara otomatis akan mengirimkannya kepada nomor penting yang

telah dipilih seperti Kepala RT, Kadus, Satgas SAR desa, Camat, kepala BPBD,

Komandan SAR Kabupaten, dan Bupati. Karena melalui sarana Handphone maka

dimana ada sinyal setiap waktu pesan bisa dikirimkan, sehingga apabila kondisi

gerakan tanah masuk tanda bahaya dapat cepat diambil tindakan.

Akan tetapi, alat ini hanya satu jumlahnya karena nilainya sampai Rp.100

juta. Extensometer ini, merupakan satu-satunya yang dimiliki oleh Balai

Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Balitek DAS)

Jawa Tengah. Hingga sampai saat ini di Banjarnegara telah terpasang 5 alat

EWS. Kelima alat tersebut terpasang di desa Kertosari, Wanayasa; Kalitlaga,

Pagentan; Si Jeruk, Banjarmangu; Pandansari, Wanayasa; dan, Slimpet, Desa

Tlaga, Punggelan. EWS Extensometer ini akan dipasang di daerah Slimpet, Tlaga,

Punggelan.

Mitigasi Non Struktural Bencana Tanah Longsor

Mitigasi Non Strktural lebih menekankan kepada peningkatan kapasitas

masyarakat. Upaya mitigasi ini dapat dilakukan melalui penyebaran informasi

dilakukan antara lain dengan cara: memberikan poster dan leaflet kepada

masyarakat yang bermukim yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali,

mencegah dan penanganan bencana.

Page 24: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

1. Pemberian Informasi

Pemberian informasi yang sudah dilakukan oleh BPBD Kab. Banjarnegara

adalah dengan pemasangan poster bahaya longsor serta tanda daerah rawan

longsor. Hal ini dimaksudkan agar setiap masyarakat menyadari bahaya tanah

longsor yang sering terjadi.Pemberian informasi berupa poster atau rambu turut

membantumemberikan kesadaran akan pentingnya upaya mitigasi bencana. Poster danrambu ini

perlu diperbanyak dan dipelihara sehingga masyarakat luas, baik yangtinggal di pemukiman

rawan maupun tidak mampu secara sadar mengertitentang bahaya bencana tanah longsor.

2. Sosialisasi

Sosialisi secara aktif telah dilakukan oleh BPBD Kabupaten Banjarnegardibeberapa lokasi

tertentu. Diantaranya adalah di wilayah rawan bencana serta disekolahsekolah. Hal ini

bermaksud untuk dapat memberikan kesadaran secaradini kepada masyarakat tentang pentingnya

mitigasi bencana. Materi sosialisasi yang diberikan diantaranya adalah pengenalan mengenai

bencana, upayamitigasi bencana, dan apa yang dilakukan oleh masyarakat sebelum

terjadibencana, saat terjadi bencana maupun pasca bencana.

Kegiatan sosialisasi secara aktif dilakukan setiap bulan di lokasi yangberbeda-beda, baik itu di

wilayah rawan bencana maupun di wilayah non rawanbencana. Sosialisasi yang dilakukan juga

melibatkan beberapa stakeholders,diantaranya Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan

Perlindungan Masyarakat, DinasSosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bagian Kesejahteraan

Rakyat, sertadibantu TNI dan Polri.

3. Pelatihan dan Simulasi Bencana

Pelatihan kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat mengerti danmemahami apa yang

harus dilakukan ketika terjadi bencana. Pelatihan yangdilakukan tidak hanya melibatkan

masyarakat, namun juga SKPD terkait besertarelawan. Kegiatan utama pada pelatihan yang

dilakukan oleh BPBD Kab.Banjarnegara adalah gladi evakuasi atau simulasi bencana.Gladi

evakuasi atau simulasi bencana dibuat untuk lebih mempersiapkanmasyarakat kepada kondisi

nyata apabila terjadi bencana tanah longsor yangsesungguhnya. Apa yang akan dilakukan,

barang-barang apa saja yang akandibawa dan ke arah mana harus menyelamatkan diri serta siapa

yangdiselamatkan terlebih dahulu dan lain sebagainya. Simulasi bencana dilakukanuntuk lebih

Page 25: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

kepada mempersiapkan kondisi masyarakat dalam menghadapibencana dan mengurangi situasi

panik sebagai dampak ikutan dari bencana yang

dapat menambah jatuhnya korban.

Analisa Efektifitas Mitigasi Bencana Tanah Longsor yang sudah dilakukan

Beberapa hal terkait upaya mitigasi structural maupun non structural masihmemiliki beberapa

celah yang perlu dilakukan pembenahan. Hal ini dikarenakanrendahnya pemahaman masyarakat

sehingga pelru dilakukan mitigasi yangterfokus pada public education yaitu dengan mengadakan

sosialisasi dan pelatihan tentang bencana alam, perbaikan lingkungan dan jalan yang

berfungsisebagai jalur evakuasi, gladi evakuasi, pembuatan peta rawan bencana,pemasangan alat

sistem peringatan dini yang murah dan sederhana sertarelokasi.Pemasangan alat sistem

peringatan dini yang merupakan bagian darimitigasi bencana dilakukan dengan melibatkan

masyarakat sehingga akan timbulkepedulian dan rasa memiliki alat yang dipasang, disamping

mengetahui sistemkerja dari alat. Sistem peringatan dini gerakan tanah (landslides early

warningsystem) yang dipasang di Desa Sampang yaitu dengan menggabungkanbeberapa alat

seperti extensometer, alat penakar curah hujan, dan peralatanlainnya yang dihubungkan dengan

sirene.Tujuan utama dipasangnya alat deteksi pergerakan tanah adalah untukmemantau adanya

pergerakan tanah hingga batas kondisi kritis sirene berbunyi.Saat sirene (I) berbunyi, berarti

hujan kritis terjadi. Kondisi hujan kritisditentukan berdasarkan angka curah hujan yang telah

ditetapkan pada alat yaitu80 mm per jam. Sirene (I) dibuat untuk mengkondisikan warga untuk

SIAGA(siap evakuasi). Apabila sirene (II) berbunyi, berarti air hujan telah meresap kedalam

tanah dan mengakibatkan retakan tanah melebar hingga mencapai bataskritis yang telah

ditetapkan pada alat yaitu 5 cm. Saat sirene (II) berbunyi, makawarga yang sudah SIAGA harus

segera meninggalkan lokasi tinggal mereka.Untuk membedakan sumber suara sirene, bunyi

sirene (I) dengan bunyi sirene(II) dibuat tidak sama. Dengan sistem peringatan dini ini maka

diharapkan lokasirawan telah bebas dari hunian saat longsor terjadi.Sosialisasi yang dilakukan

harus dilakukan sebelum upaya mitigasi dilaksanakan dengan maksud sebagai pemberitahuan

awal kepada masyarakat

setempat, sehingga tidak terjadi kesalahfahaman akibat tidak adanya komunikasi. Sosialisasi

selanjutnya dilakukan dalam rangka public education yang bertujuan untuk meningkatkan

wawasan dan pemahaman masyarakat serta dapat dilakukan dalam berbagai kesempatan baik

Page 26: Longsor Jemblung,Clapar Banjarnegara

dalam forum resmi dengan melibatkan unsurpemerintah serta pihak terkait lainnya maupun

dalam forum tidak resmi seperti dalam perkumpulan masyarakat (seperti dalam acara dakwah

dan arisan ibu-ibu), hingga kepada anak-anak sekolah dasar dan juga kepada anak-anak usia dini.

Hal inilah yang belum dilakukan oleh BPBD Kab.Banjarnegara.

Upaya Peningkatan Efektifitas Mitigasi Bencana Tanah Longsor

Menurut Yanuarko, (Profil PUM, Majalah Direktorat Jenderal PemerintahanUmum, 2007),

upaya pengurangan bencana harus ditingkatkan. Konferensipengurangan risiko bencana sedunia

(World Conference for DisasterReduction/WCDR) di Kobe, Jepang, pada tanggal 18-25 Januari

2005 dankonferensi asia (Asian Conference fot Disaster Reduction/ACDR) di Beijing,

China,pada tanggal 27-29 September 2005 tentang pengurangan risiko bencana adalah dasar

tekad dan program kerja masyarakat sedunia dalam mengurangi risiko bencana, yang melahirkan

Hyogo Framework for Action/HFA (Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015) yaitu membangun

ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana (Building the Resilience of nation and

communities todisasters).Hasil ini memahami bahwa sasaran pembangunan tidak akan tercapai

tanpa pertimbangan risiko bencana dan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai

kalau pengurangan risiko bencana tidak diarusutamakan kedalam kebijakan, perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan. Jelasnya, perspektif pengurangan risiko bencana harus dipadukan

kedalam perencanaan pembangunan setiap negara dan dalam strategi pelaksanaannya yang

terkait.Pada pelaksaannya, hal ini sudah didukung perangkat teknologi yang sudah ada dalam

kemampuan untuk mengambil tindakan proaktif untuk mengurangi risiko kerugian akibat

bencana sebelum terjadi.Selanjutnya bencana yang terjadi secara berulang-ulang menjadi suatu

tantangan bagi pembangunan disetiap negara. Dampak bencana semakin meningkat, bantuan

terhadap keadaan darurat juga semakin bertambah, juga