lk polycistyc disease

63
LAPORAN KASUS WANITA 45 TAHUN DENGAN BENJOLAN DI HEPAR Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Radiologi di RSUD Tugurejo Semarang Diajukan kepada : dr.Zakiyah, Sp.Rad Disusun oleh : La Ode Rinaldi H2A008026

Upload: idha-kurniasih

Post on 03-Jan-2016

37 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

JJJ

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

WANITA 45 TAHUN DENGAN BENJOLAN DI HEPAR

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Radiologi

di RSUD Tugurejo Semarang

Diajukan kepada :

dr.Zakiyah, Sp.Rad

Disusun oleh :

La Ode Rinaldi

H2A008026

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2013

DAFTAR MASALAH

No. Tanggal Masalah Aktif Masalah Pasif

1 20 Februari 2013 Obs. Multiple Kista Hepar

2 22 Februari 2013 Polycystic Disease

IDENTITAS PENDERITA

Nama : Catiwen, Ny

Umur : 45 tahun

Alamat : Bojang Boja Rt 5 Rw X Pemalang

Jenis Kelamin : Wanita

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

JPK : Umum

No. RM : 40 84 34

Tanggal Masuk : 19 – 02 – 2013

Tanggal Periksa : 20 – 02 – 2013

Ruangan : Bangsal Dahlia, 33

I. ANAMNESIS (Auto dan Alloanamnesis 8 Februari 2013 pukul 10.00 WIB )

Keluhan Utama Nyeri perut

Riwayat Penyakit Sekarang ± 4 tahun yang lalu pasien pertama kali merasakan

nyeri di perut sebelah kanan, nyeri terus menerus,

tidak mengganggu aktivitas, pasien masih bisa

menahan rasa sakitnya sehingga tidak diobati,

hanya diminumkan jamu dan dipijat. BAB dan

BAK lancar, mual (-), muntah (-)

± 4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien

merasakan nyeri di perut sebelah kanan dan kiri,

terus menerus sampai mengganggu aktivitas

karena sangat nyeri. BAB dan BAK lancar, mual

(-), muntah (-)

Saat datang ke rumah sakit pasien mengeluh nyeri

di perut sebelah kanan dan kiri terus menerus,

lemas (+), pusing (+), mual (-), muntah (-), BAB

dan BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu Menderita Penyakit yang sama : disangkal

Penyakit Hipertensi : disangkal

Penyakit DM : disangkal

Penyakit Jantung : disangkal

Alergi : disangkal

Asma : disangkal

Trauma : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga Menderita penyakit yang sama : disangkal

Penyakit Hipertensi : disangkal

Penyakit DM : disangkal

Penyakit Jantung : disangkal

Alergi : disangkal

Riwayat Pribadi Merokok : disangkal

Alkohol : disangkal

Makanan bergizi : cukup

Konsumsi obat-obatan : disangkal

R. Sosial Ekonomi Pasien menggunakan Jamsostek

Anamnesis Sistem

Keluhan Utama Nyeri di perut

Kepala Sakit kepala (-), pusing (+), nggliyer (-), jejas (-), leher kaku

(-)

Mata Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-),

Nyeri pada mata (-)

Hidung Pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-)

Telinga Pendengaran berkurang (-/-), berdenging (-/-), keluar cairan

(-/-), keluar darah (-/-)

Mulut Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah-pecah (-),

gusi berdarah (-), mulut kering (-), sakit gigi (-)

Tenggorokan Sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)

Leher benjolan di leher (-)

Sistem Respirasi Sesak nafas (-), batuk (-), dahak (-), warna kekuningan (-),

Riwayat batuk disertai bercak darah (-), mengi (-), tidur

mendengkur (-)

Sistem Kardiovaskuler nyeri dada (-), berdebar-debar (-), terasa ada yang menekan (-)

Sistem Gastrointestinal Mual (+), muntah (-), perut mules (-), diare (-), ,nyeri ulu hati

(-), nafsu makan menurun (-), BB turun (-), sulit BAB (-),

BAB berdarah (-).

Sistem Muskuloskeletal Nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku sendi (-), badan cepat

capek (-), badan terasa lemas (+).

Sistem Genitourinaria Sering kencing (-), nyeri saat kencing (-), keluar darah (-),

kencing nanah (-), sulit memulai kencing (-), warna kencing

kuning jernih, anyang-anyangan (-), berwarna seperti teh (-).

Sistem Ekstremitas Atas :

Luka (-/-), kesemutan (-/-), bengkak(-/-), sakit sendi (-/-),

panas (-/-), ujung jari terasa dingin(-/-).

Bawah :

Luka (-/-), kesemutan (-/-), bengkak(-/-), sakit sendi (-/-),

panas (-/-), ujung jari terasa dingin(-/-).

Sistem Neuropsikiatri Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-), mengigau (-), emosi

tidak stabil (-)

Sistem Integumentum Kulit kuning (-), Radang kulit (-), pucat (-), gatal (-), bercak

merah kehitaman di bagian dada, punggung, tangan dan kaki

(-),ulkus

II. PEMERIKSAAN FISIK (8 Februari 2013 pukul 10.15)

Keadaan Umum Tampak lemas

Kesadaran Compos Mentis

Tanda Vital TD : 100/70

N : 92 x/menit

RR : 21 x/menit

T : 370C

TB 156 cm

BB : 60 kg

BMI : 24.69 Kesan Gizi baik

Kepala Mesocephal

Mata Conjungtiva anemis -/-, Sianosis -/-

Hidung Darah -/-, Sekret -/-, Deviasi Septum -

Telinga Darah -/-, Sekret -/-, Nyeri tekan tragus -/-

Mulut Sianosis -, lidah kotor -, Stomatitis -

Leher Deviasi trachea -, pembesaran kelenjar limfe -/-

Thoraks :

Cor I : Ictus cordis tampak (-), kuat angkat (-), melebar (-)

P : Nyeri tekan (-), massa (-), kuat angkat (-)

Pe:

- Batas Atas : ICS II Para Sternalis Sinistra

- Pinggang Jantung : ICS III Linea Parasternalis

sinistra

- Kiri Bawah : ICS V 1-2 cm arah medial linea mid

clavicula sinistra

- Kanan Bawah : ICS V linea sternalis dextra

Konfigurasi Jantung dalam batas normal

A : Bunyi jantung I-II regular (+), gallop (-)

Pulmo Depan

I : bentuk dada normal, simetris statis dinamis

P : nyeri tekan (-),

Pe : sonor seluruh lapang paru

A : suara dasar vesikuler, suara tambahan ronchi -/-,

wheezing -/-

Belakang

I : bentuk dada normal, simetris statis dinamis

P : nyeri tekan (-),

Pe : sonor seluruh lapang paru

A : suara dasar vesikuler, suara tambahan ronchi -/-,

wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi Bentuk perut cembung, supel

Auskultasi Bising Usus (+) Normal

Perkusi Pekak sisi (-)

Pekak Alih (-)

Palpasi Nyeri Tekan (+)

Hepar teraba

Lien teraba

Ginjal tidak teraba

Tes undulasi (-)

Ekstremitas Superior Inferior

Akral dingin

Oedem

Sianosis

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

-/-

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (19 Februari 2013)

PARAMETER HASIL NILAI NORMALDarah Rutin (WB EDTA)

Leukosit 6.26 3.6 – 11 103 / uLEritrosit 4.18 3.8 – 5.2 106 /uLHemaglobin 12.30 11.7 – 15.5 g/dLHematokrit 38.10 35 – 47 %

MCV 91.10 80 – 100 fLMCH 29.40 26 – 34 pgMCHC 32.30 32 – 36 g/dLTrombosit 166 150 – 440 103 /ulRDW 13.50 11.5 – 14.5 %

Diff CountEosinofil Absolute 0.24 0.045 – 0.44 103 /ulBasofil Absolute 0.02 0 – 0.2 103 / ulNetrofil Absolute 4.20 1.6 – 8 103 / ulLimfosite Absolute 1.28 0.9 – 5.2 103 / ulMonosit Absolute 0.46 0.16 – 1 103 / ulEosinofil 3.90 2 – 4 %Basofil 0.30 0 – 1 %Neutrofil 67.80 50 – 70 %Limfosit 25.60 25 – 40 %Monosit 7.40 2 – 8 %

KLINIK (SERUM) BGlukosa Sewaktu 91 < 125 mg/dLSGOT 21 0 – 35 U/LSGPT 17 0 – 35 U/LUreum 17.0 10.0 – 50.0 mg/dLCreatinin 0.76 0.69 – 0.90 mg/dLAlbumin 4.2 3.2 – 5.2 g/dL

IV. DAFTAR ABNORMALITAS

1. Lemas

2. Pusing

3. Nyeri Perut

4. Teraba massa di perut

5. Hepar teraba

V. ASSESMENT

A. Assesment Polycystic Disease

1. Ass. Etiologi

- Kongenital

2. Ass. Faktor Risiko

- Genetik

- Usia

3. Ass. Komplikasi

- Portal Hypertention

- Cholelithias

4. Ass. Penatalaksanaan

- Rawat inap

- Perbaikan Keadaan Umum

5. Initial Plan Diagnosis

- USG

6. Initial Plan Terapi

- Infus RL 20 tpm

- Inj. Ceftriaxone 2 x 1

- Inj. Ranitidine 2 x 1

- Inj. Ondansentron 2 x 1

- Hepagard 3 x 1

- Livercare 2 x 1

- Omeprazole 1 x 1

7. Initial Plan Monitoring

- Keadaan umum

- Vital sign

8. Initial Plan Edukasi

- Penjelasan tentang penyakit pasien

- Istirahat yang cukup

VI. PROGRESS NOTE (FOLLOW UP)

Tanggal Catatan Perkembangan Pasien Terapi

21-2-2013 S : Mual (+), Pusing (+)

O :

- KU : Cukup, Compos Mentis

- TV : TD : 120/80 mmHg

RR : 20 x/menit

HR : 91 x/menit

T : afebris

Kepala : mesocephal

Mata : Ca -/- Si -/-

Thorak : Cor BJ I-II Reguler

Pulmo SDV +/+

Abdomen : Cembung, supel BU (+)

Normal, H/L teraba, nyeri tekan (+)

Infus RL 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2 x 1

Inj. Ondansentron 2 x 1

Hepagard 3 x 1 tab

Livercare 2 x 1 tab

Omeprazole 2 x 1 tab

Ekstremitas : sianosis (-/-)/(-/-)

22-2-2013 S : Pusing (+)

O :

- KU : Baik, Compos Mentis

- TV : TD : 120/80 mmHg

RR : 17 x/menit

HR : x/menit82

T : afebris

Kepala : mesocephal

Mata : Ca +/+ Si -/-

Thorak : Cor BJ I-II Reguler

Pulmo SDV +/+

Abdomen : Cembung, supel, BU

(+) Normal, H/L teraba, Nyeri

tekan +

Ekstremitas : sianosis (-/-)/(-/-)

Infus RL 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2 x 1

Inj. Ondansentron 2 x 1

Hepagard 3 x 1 tab

Livercare 2 x 1 tab

Omeprazole 2 x 1 tab

USG ulang

- Polikistik disease

23-02-2013 S : Pusing (+), Mual (+)

O :

- KU : Baik, Compos Mentis

- TV : TD : 110/80 mmHg

RR : 16 x/menit

HR : 83 x/menit

T : afebris

Kepala : mesocephal

Mata : Ca -/- Si -/-

Thorak : Cor BJ I-II Reguler

Pulmo SDV +/+

Abdomen : Cembung, supel, BU

(+) Normal, H/L teraba, nyeri tekan

(+)

Boleh Pulang

R/

Cefixime 3 x1

Vit B1 3 x 1

Ultracef 3 x 1

Ekstremitas : sianosis (-/-)/(-/-)

VII. ALUR KETERKAITAN MASALAH

Anamnesis : Lemes (+)Pusing (+)Riwayat sakit seperti ini (-)

Pemeriksaan FisikHepar & lienterabaNyeri tekan perut

Periksa PenunjangDarah lengkap normalUSG banyak kistik di hepar, lien dan kedua ginjal

Faktor RisikoGenetik

Terapi

DiagnosisPolikistik Hepar

VIII.PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN

Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah rongga yang dilapisi

sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang terdilatasi yang biasanya disebabkan

oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi struktural.

Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epitel ektopik atau sebagai hasil nekrosis di

tengah-tengah massa epitel.(1)

Kista dapat bersifat kongenital atau didapat. Cairan kista biasanya bening

dan tidak berwarna namun dapat juga viskous atau mengandung kristal kolesterol

sebagai hasil dari nekrosis jaringan. True cysts atau kista yang sesungguhnya

harus dibedakan dari false cysts atau pseudokista, dimana pseudokista ini

merupakan timbunan cairan yang terkandung dalam kavitas yang tidak

mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini biasanya berasal dari suatu proses

inflamasi atau degeneratif.(2)

Penyakit kistik hepar sering diidentifikasi saat laparotomi dan selama

pemeriksaan gejala abdominal yang tidak berhubungan dengan kista. Dalam

banyak kasus, penemuan kista hepar yang tidak terduga baik soliter maupun

multipel, tidak memiliki arti klinis bila tidak bergejala, walaupun kista hepar ini

juga dapat diasosiasikan sebagai proses patologis yang cukup serius.(3)

II. ANATOMI HEPAR

Hepar terletak pada kuadran kanan atas abdomen, intraperitoneal tepat di

bawah sisi kanan diafragma yang dilindungi oleh costa. Berat hepar kurang lebih

1400 gram pada orang dewasa dan dibungkus oleh sebuah kapsul fibrous.(4)

Gambar 1. Posisi hepar dalam tubuh(5)

Hepar memiliki facies diaphragmatica dan facies visceralis (dorsokaudal)

yang dibatasi oleh tepi kaudal hepar. Facies diaphragmatica bersifat licin dan

berbentuk kubah, sesuai dengan cekungan permukaan kaudal diafragma, tetapi

untuk sebagian besar terpisah dari diafragma karena recessus subphrenicus

cavitas peritonealis. Hepar tertutup oleh peritoneum, kecuali di sebelah dorsal

pada area nuda, tempat hepar bersentuhan langsung pada diafragma. Area nuda

hepar ini dibatasi oleh melipatnya peritoneum dari diafragma ke hepar sebagai

lembar ventral (cranial) dan lembar dorsal (kaudal) ligamentum coronarium.

Kedua lembar tersebut bertemu di sebelah kanan untuk membentuk ligamentum

triangulare. Ke arah kiri lembar-lembar ligamentum coronarium tercerai dan

membatasi area nuda hepar yang berbentuk segitiga. Lembar ventral ligamentum

di sebelah kiri bersinambungan dengan lembar kanan ligamentum falciforme, dan

lembar dorsal bersinambungan dengan lembar kanan omentum minus. Lembar

kiri ligamentum falciforme dan omentum minus bertemu untuk membentuk

ligamentum triangulare sinistrum.(6)

Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dekstra dan lobus hepatis sinistra yang

masing-masing berfungsi secara mandiri. Masing-masing lobus memiliki

pendarahan sendiri dan arteria hepatica dan vena portae hepatis, dan juga

penyaluran darah venosa dan empedu bersifat serupa.(3,6,7)

Lobus hepatis dekstra dibatasi terhadap lobus hepatis sinistra oleh fossa

vesicae biliaris dan sulcus vena cava pada facies visceralis hepatis, dan oleh

sebuah garis khayal pada permukaan diaphragmatika yang melintas dari fundus

vesicae biliaris ke vena cava inferior.(6)

Gambar 2. Anatomi Hepar(5)

Lobus hepatis sinistra mencakup lobus caudatus dan hampir seluruh lobus

quadratus. Lobus hepatis sinistra terpisah dari lobus caudatus dan lobus quadratus

oleh fissure ligament teretis dan fissura ligamenti venosi pada facies visceralis,

dan oleh perlekatan ligamentum teres hepatis pada facies diaphragmatica.(6,7)

Hepar menerima darah dari dua sumber: arteri hepatica propria (30%) dan

vena porta hepatis (70%). Arteri hepatica propria membawa darah yang kaya akan

oksigen dari aorta, dan vena porta hepatis mengantar darah yang miskin akan

oksigen dari saluran cerna, kecuali dari bagian distal canalis analis. Di porta

hepatis arteri hepatica propria dan vena porta hepatis berakhir dengan membentuk

ramus dekstra dan ramus sinistra, masing-masing untuk lobus hepatis dekstra.

Lobus-lobus ini berfungsi secara terpisah, dalam masing-masing lobus cabang

primer vena porta hepatis dan arteri hepatica propria teratur secara konsisten

untuk membatasi segmen vascular. Bidang horizontal melalui masing-masing

lobus membagi hepar menjadi delapan segmen vascular. Antara segmen-segmen

terdapat vena hepatica untuk menyalurkan darah dari segmen-segmen yang

bertetangga.(3,4,6,7)

Gambar 3. Distribusi vaskular dan duktus hepatikus(5)

Vena hepatica yang terbentuk melalui persatuan vena centralis hepatis,

bermuara dalam vena cava inferior, tepat kaudal dari diaphragm. Hubungan vena

ini dengan vena cava inferior membantu memantapkan kedudukan hepar.(6)

Gambar 4. Sistem duktuli dan vaskular intrahepatik(5)

Hepar memiliki vasa lymphaticum superficial dan vasa lymphaticum

profundum. Vasa lymphaticum superficial terbanyak bergabung dengan pembuluh

limfe di porta hepatis dan ditampung oleh nodi lymphoidei hepatici.(6)

Pembagian anatomi menurut nomenklatur Couinaud sangat penting dalam

mempertimbangkan reseksi segmen hepar. Hal ini memungkinkan kita melakukan

reseksi pada segmen tertentu atau kombinasi beberapa segmen dengan tetap

mempertahankan vaskularisasi dan kontinuitas aliran bilier pada segmen yang

tertinggal.(3)

Gambar 5. Segmen fungsional hepar – Couinaud’s nomenclature(5)

Anatomi hepar dapat dideskripsikan menggunakan dua aspek yang

berbeda : anatomi morfologis dan anatomi fungsional. Anatomi morfologis

tradisional berdasarkan pada penampakan eksternal hepar, dan tidak

mempertimbangkan vaskularisasi dan percabangan duktus biliaris, yang

sebenarnya penting dalam reseksi hepar.(8)

Klasifikasi Couinaud

C. Couinaud (1957) membagi hepar menjadi delapan segmen fungsional

yang independen. Setiap segmen memiliki aliran vaskular masuk dan keluar

masing-masing, demikian pula dengan duktus biliaris. Di tengah tiap segmen

terdapat cabang dari vena porta, arteri hepatis, dan duktus biliaris. Di daerah

perifer tiap segmen terdapat aliran darah keluar melalui vena hepatica.(8)

Gambar 6. Segmen fungsional hepar – Couinaud’s nomenclature(8)

Vena hepatica dekstra membagi lobus kanan menjadi segmen anterior dan

posterior. Vena hepatica media membagi hepar menjadi lobus kiri dan kanan (atau

hemilever kiri dan kanan). Aliran ini berasal dari vena cava inferior hingga fossa

buli-buli. Vena hepatica sinistra membagi lobus kiri menjadi segmen medial dan

lateral.(8)

Vena porta membagi hepar menjadi segmen atas dan bawah. Vena porta

kiri dan kanan bercabang di superior dan inferior dan kemudian terbagi ke pusat

tiap segmen.(8)

Karena pembagian menjadi unit yang berdiri sendiri seperti ini, tiap

segmen dapat direseksi tanpa mengganggu segmen yang ditinggalkan. Agar hepar

dapat tetap berfungsi, reseksi harus dilakukan sepanjang pembuluh darah yang

memperdarahi perifer dari segmen, yang berarti garis reseksi berjalan paralel

dengan vena hepatica. Vena porta di sentral segmen, duktus biliaris, dan arteri

hepatica tetap dipertahankan.(8)

Segmentasi Hepar

Gambar 7. Segmentasi hepar secara clockwise(8)

Terdapat delapan segmen dari hepar. Segmen 4 biasanya dibagi lagi

menjadi segmen 4a dan 4b (menurut klasifikasi Bismuth). Penomoran segmen

hepar ini diatur searah jarum jam (clockwise). Segmen 1 (lobus caudatus) terletak

posterior, yang tidak tampak dalam proyeksi frontal.(8)

Couinaud membagi hepar menjadi lobus fungsional kiri dan kanan

(gauche et droite foie) oleh vena hepatica media, yang dikenal sebagai Cantlie’s

line. Cantlie’s line berawal dari pertengahan buli-buli fossa anterior hingga

postero-inferior dari vena cava.(8)

Pada gambar di atas, tampak seolah bagian medial dari lobus kiri

dipisahkan dari bagian lateral oleh ligamentum falciforme. Sebenarnya bagian

medial (segmen 4) dan lateral (segmen 2 dan 3) ini dipisahkan oleh vena hepatica

sinistra yang terletak di sebelah kiri, sangat dekat dengan ligamentum falciforme.(8)

Anatomi Transversal

Gambar 8. Potongan transversal segmen superior hepar(8)

Gambar di atas menunjukkan potongan transversal segmen superior hepar,

yang dipisahkan oleh vena hepatica. Gambar di sebelah kanan menunjukkan

potongan transversal setinggi vena porta sinistra. Pada tingkat ini vena porta

membagi lobus kiri hepar menjadi segmen superior (2 dan 4a) dan segmen

inferior (3 dan 4b). Vena porta sinistra terletak sedikit lebih tinggi daripada vena

porta dekstra.(8)

Gambar 9. Potongan transversal segmen inferior hepar(8)

Pada gambar di atas, gambar di sebelah kiri adalah potongan setinggi vena

porta dekstra. Pada tingkat ini vena porta dekstra membagi lobus kanan hepar

menjadi segmen superior (7 dan 8) dan segmen inferior (5 dan 6). Pada potongan

setinggi vena lienalis di gambar sebelah kanan, hanya segmen inferior hepar yang

terlihat.(8)

Klasifikasi Bismuth

Gambar 10. Segmentasi hepar menurut Klasifikasi Bismuth(9)

Klasifikasi ini sebenarnya mirip dengan klasifikasi Couinaud, dengan

sedikit perbedaan. Klasifikasi Bismuth sering digunakan di Amerika, sedangkan

klasifikasi Couinaud lebih populer di Asia dan Eropa.(8)

Menurut Bismuth, tiga cabang vena hepatica membagi hepar menjadi

empat bagian, yang lalu dibagi lagi menjadi segmen yang lebih kecil. Segmen ini

dinamakan portal sectors, sebab masing-masing disuplai oleh pedikel vena porta

di bagian tengahnya. Garis pemisah antarsektor mengandung sebuah vena

hepatica. Oleh karena itu klasifikasi ini dapat digambarkan sebagai vena hepatica

dan pedikel vena porta yang saling mengisi, seperti halnya jari-jari tangan yang

saling ditautkan.(8)

Vena porta sinistra membagi lobus kiri hepar menjadi dua sektor : anterior

dan posterior. Sektor anterior kiri terbagi atas dua segmen : segmen IV yaitu lobus

quadratus, dan segmen III, yang merupakan bagian anterior dari lobus hepar kiri.

Kedua segmen ini dipisahkan oleh fissura hepatica sinistra (fissura umbilicalis).

Sektor posterior kiri hanya terdiri atas segmen II, yang berada di bagian posterior

dari lobus kiri hepar.(8)

III. FISIOLOGI HEPAR

Hepar memiliki banyak fungsi, termasuk fungsi pengambilan,

penyimpanan, dan distribusi nutrisi dari darah atau traktus gastrointestinal,

sintesis, metabolism, dan eliminasi berbagai substrat endogen, eksogen, dan

berbagai macam toksin. Hepar menerima suplai darah ganda dengan 75% dari

vena porta, dan 25% dari arteri hepatica. Terdapat autoregulasi dari aliran arteri

hepatica, namun tidak dari sistem vena porta. Aliran vena porta meningkat seiring

dengan asupan makanan, garam empedu, sekretin, pentagastrin, polipeptida

intestinal vasoaktif (VIP), glucagon, isoproterenol, prostaglandin E1 dan E2, dan

papaverin. Aliran porta diperlambat oleh serotonin, angiotensin, vasopressin,

nitrat, dan somatostatin.(3)

Secara umum, hepar memiliki empat unit anatomic-fisiologik yang saling

berhubungan dalam membentuk fungsi hepar, yaitu(7) :

1. Sistem sirkulasi

Suplai darah ganda berfungsi membawa nutrisi bagi hepar dan berguna sebagai

pembawa material yang diabsorbsi dari traktus intestinalis untuk digunakan

dalam proses metabolisme. Pembuluh darah yang diikuti dengan sistem

limfatik dan serat saraf berkontribusi untuk mengatur aliran darah dan tekanan

intrasinusoidal.

2. Saluran empedu

Saluran ini berfungsi untuk mengalirkan material yang disekresikan oleh sel-

sel hepar, termasuk bilirubin, kolesterol, dan obat-obat yang telah

terdetoksifikasi. Sistem ini berasal dari apparatus Golgi, yang melewati

mikrovili dari kanalis biliaris dan berakhir pada common bile duct.

3. Sistem retikouloendotelial

Sistem ini memiliki 60% elemen pada hepar, termasuk pula sel Kupffer dan

sel-sel endothelial.

4. Sel fungsional hepar (hepatosit)

Sel ini memiliki aktifitas yang sangat bervariasi. Fungsi metabolik dari hepar

membantu menyediakan kebutuhan tubuh. Sel-sel ini membantu proses

anabolik maupun katabolik, fungsi sekresi dan penyimpanan.

Empedu dibentuk pada membrana kanalikuli hepatosit dan duktuli

empedu, dan disekresikan melalui sebuah proses aktif yang relative tidak

tergantung pada aliran darah. Komponen organik utama dari empedu adalah asam

empedu terkonjugasi, kolesterol, fosfolipid, pigmen empedu, dan protein. Dalam

kondisi normal, 600 hingga 1000 mL empedu diproduksi setiap harinya.(3)

Bilirubin, sebuah produk degradasi dari heme, dieliminasi hampir

seluruhnya pada empedu. Bilirubin bersikulasi terikat pada albumin dan

dikeluarkan dari plasma oleh hepar melalui sistem transpor termediasi. Di dalam

hepatosit, bilirubin terikat pada asam glukuronat sebelum disekresikan pada

empedu.(3)

Hepar mensintesis protein plasma utama, termasuk albumin, gamma-

globulin, dan beberapa protein koagulasi. Disfungsi hepar akan memberikan efek

koagulasi dengan menurunnya produksi protein koagulasi, atau dalam kasus

ikterus obstruktif, terdapat penurunan aktifitas dari faktor II, V, VII, IX dan X,

sebagai akibat dari kurangnya modifikasi post-translasi yang bergantung pada

vitamin K.(3)

Tes Fungsi Hepar

Beberapa tes biasanya sering dilakukan untuk menganalisa kondisi hepar,

disebut sebagai tes fungsi hepar. Serum aspartate aminotransferase (AST) dan

alanine aminotransferase (ALT) adalah pengukuran level enzim yang normal

terdapat di dalam hepatosit. Selain itu dapat pula dilakukan pengukuran kadar

albumin, faktor pembekuan, dan bilirubin dari sampel darah.(4,7)

Jenis tes Nilai normal

Serum albumin 3,5 – 4,6 g/dL

Total protein 6,0 – 7,4 g/dL

Kolesterol 135 – 300 mg/dL

Alkali fosfatase 24 – 100 IU/dL

AST 10 – 36 unit/dL

ALT 10 – 48 unit/dL

GGT 0 – 48 unit/dL (pria)4 – 26 unit/dL (wanita)

LDH 180- 225 unit/dL

PT 90 – 100% control Lab

Total bilirubin < 1,4 mg/dL

Bilirubin direk < 0,3 mg/dL

Bilirubin indirek < 1,1 mg/dL

Tabel 1. Nilai normal tes fungsi hepar(7)

Fungsi Normal Hepar

Metabolisme energi dan interkonversi substratProduksi glukosa melalui glukoneogenesis dan glikogenolisisKonsumsi glukosa melalui jalur sintesis glikogen, sintesis asam lemak, glikolisis,

dan siklus asam trikarboksilatSintesis kolesterol dari asetat, sintesis trigiliserida dari asam lemak, dan sekresi

keduanya pada partikel VLDL Pengambilan kolesterol dan trigliserida melalui endositosis partikel HDL dan LDL

dengan ekskresi kolesterol pada empedu, beta-oksidasi asam lemak, dan konversi dari asetil-KoA berlebih menjadi keton

Deaminasi asam amino dan konversi ammonia menjadi urea melalui siklus ureaTransaminasi dan sintesis de novo asam amino non esensialFungsi sintesis proteinSintesis berbagai macam protein plasma, termasuk albumin, faktor pembekuan,

protein pengikat, apolipoprotein, angiotensinogen, dan insulin-like growth factor I

Fungsi solubilisasi, transport, dan penyimpananDetoksifikasi obat dan racun melalui reaksi biotransformasi fase I dan fase II dan

ekskresi melalui empeduSolubilisasi lemak dan vitamin larut lemak pada empedu untuk diambil oleh

enterositSintesis dan sekresi dari partikel VLDL dan lipoprotein pre-HDL, dan pembersihan

sisa HDL, LDL, dan kilomikronSintesis dan sekresi berbagai macam protein pengikat, termasuk transferin,

globulin pengikat hormone steroid, globulin pengikat hormone tiroid, seruloplasmin, dan metalotionein

Pengambilan dan penyimpanan vitamin A, D, B12, dan folatFungsi proteksi dan pembersihanDetoksifikasi ammonia melalui siklus ureaDetoksifikasi obat melalui oksidasi mikrosomal dan sistem konjugasiSintesis dan pengantaran glutathionePembersihan sel-sel yang rusak dan protein, hormone, obat-obatan, dan faktor

pembekuan teraktivasi dari sirkulasi portalPembersihan bakteri dan antigen dari sirkulasi portal

Tabel 2. Fungsi normal hepar(4)

EPIDEMIOLOGI

Kista hidatid bersifat endemik di negara-negara berkembang maupun

negara maju seperti negara Mediterania, Amerika Selatan, Australia dan New

Zealand. Insidens penyakit kista hidatid di kawasan endemik berkisar dari 1-220

kasus per 100. 000 orang penduduk. Tidak terdapat predileksi dari jenis kelamin

namun biasanya kista hidatid terjadi pada umur antara 30-40 tahun.(3,7)

Insidens kista hepar non-parasitik yang pasti tidak diketahui karena

biasanya penderita asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala hingga terjadi

komplikasi. Namun diperkirakan kista hepar diderita oleh 5% dari populasi

umum. Tidak lebih dari 10-15% dari jumlah penderita ini mengalami simptom

secara klinis. Kista hepar biasanya dijumpai secara tidak sengaja pada

pemeriksaan radiologik abdominal atau pada prosedur laporotomi untuk kelainan

lain yang dialami penderita, yang tidak berkaitan dengan gangguan fungsi hepar.(3,10)

Kista hepar lebih banyak dijumpai pada kaum wanita dibanding laki-laki,

dengan perbandingan 4-10:1, pada rentang usia 50-60 tahun. Gejala klinis terjadi

akibat pembesaran secara progresif kista, atau karena komplikasi yang timbul

akibat kista tersebut. Komplikasi yang bisa terjadi di antaranya perdarahan

intrakistik, torsi, infeksi pada kista, transformasi kista ke arah proses malignansi,

kompresi pada organ-organ sekitar yang juga dapat menyebabkan ikterus

obstruktif, kista ruptur spontan serta reaksi alergi akibat kebocoran cairan kista.(3,7,11)

IV. KLASIFIKASI KISTA HEPAR

Kista intrahepatik kongenital

Parenkimal

Soliter

Penyakit polikistik hepar

Anak

Dewasa

Fibrosis hepatis kongenital

Dilatasi fokal duktus biliaris intrahepatik (Caroli’s disease)

Kista intrahepatik didapat (acquired)

Inflamatorik

Piogenik

Amebik

Echinococcal (hydatid)

Neoplastik

Benigna

Maligna

Traumatik

Tabel 3. Klasifikasi Kista pada Hepar(12)

Kista Intrahepatik Kongenital

Kista ini dapat tunggal, multipel, difus, terlokalisasi, unilokular, atau

multilokular. Kejadian ditemukan kista pada autopsi dilaporkan dalam 0,15%

kasus, 1 % pada pemeriksaan CT-scan. Kista soliter maupun penyakit polikistik

hepar lebih banyak ditemukan pada wanita usia 40 hingga 60 tahun.(7)

Kista non-parasitik soliter biasanya terletak pada lobus kanan hepar. Isi

kista berupa material yang bening, dan memiliki karakteristik tekanan internal

yang rendah – tidak seperti kista parasitik yang memiliki tekanan tinggi. Biasanya

cairan kista ini berwarna kuning kecokelatan, yang diduga berasal dari parenkim

yang nekrosis. Penyakit polikistik hepar menunjukkan gambaran honeycomb

appearance dengan kavitas yang multipel, dengan lesi yang tersebar merata di

seluruh hepar.(7)

Baik lesi soliter maupun polikistik tumbuh secara perlahan dan relatif tidak

bergejala. Sebuah massa di kuadran kanan atas yang tidak nyeri adalah keluhan

yang paling sering, dan ketika gejala muncul, biasanya dihubungkan dengan

penekanan pada organ yang berdekatan. Nyeri abdominal yang akut dapat

mengikuti komplikasi torsi, hemoragik intrakistik, atau rupturintraperitoneal.

Pemeriksaan klinis dapat mengidentifikasi massa, dan ginjal juga dapat teraba.

Ikterus jarang ditemukan. Fungsi hepar biasanya tidak menunjukkan abnormalitas.

CT scan, USG, dan arteriografi dapat digunakan untuk menentukan posisi

intrahepatik dari massa, dan peritoneoskopi dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosis.(12)

Kista soliter yang asimtomatik dan penyakit polikistik hepar biasanya

tidak membutuhkan penanganan khusus. Kista yang besar, soliter, dan simtomatik

dapat ditangani secara elektif kecuali bila terjadi ruptur, hemoragik intrakistik,

atau torsi. Pasien dengan kista hepar telah dapat ditangani dengan baik melalui

percutaneus cathether drainage yang dikontrol secara radiologik, pada waktu

yang bersamaan dengan injeksi cairan yang menyebabkan sklerosis seperti

alkohol. Prosedur ini sering dikaitkan dengan kasus rekurensi. Resolusi permanen

diperoleh melalui operasi yang sederhana dengan pembukaan atap kista secara

luas dan dihubungkan kembali seperti halnya parenkim hepar yang normal.

Prosedur ini dapat dilakukan secara laparoskopik. Pada kasus hemoragik

intrakistik yang signifikan, cystectomy mungkin dibutuhkan. Drainase internal ke

intestinum mungkin dibutuhkan hanya bila terdapat erosi di dalam duktus

hepatikus major yang tidak dapat diperbaiki kembali.(7)

Simple Liver Cyst

Simple hepatic cyst muncul dalam jumlah besar dengan ukuran yang

bervariasi, permukaan rata, mengkilat, berwarna biru-keabuan dan sering

ditemukan pada lobus kanan. Dindingnya terdiri atas 3 lapisan : lapisan terdalam

menyerupai epitel duktus biliaris, lapisan tengah yang berupa jaringan ikat padat,

dan lapisan luar yang mengandung jaringan ikat longgar dan duktus biliaris serta

pembuluh darah yang terkompresi.(3)

Kista soliter dapat berasal dari duktus yang tumbuh abnormal sebagai

akibat dari hiperplasia inflamatorik atau obstruksi kongenital. Kista ini dapat

mengenai semua usia. 90% dari kista jenis ini unilokular, dan memiliki ukuran

yang bervariasi. Sebuah kista yang mengandung 2,5 liter cairan telah dilaporkan

pada pasien berusia 2 tahun.(1)

Penyebab dari kista jenis ini tidak diketahui, namun diduga muncul secara

congenital. Kista ini memiliki epitel tipe bilier, dan mungkin berasal dari dilatasi

progresif mikrohemartroma bilier. Kista ini jarang mengandung empedu, hipotesis

yang paling diterima adalah kegagalan mikrohemartroma untuk membentuk

hubungan normal dengan saluran empedu. Secara khas, cairan yang terkandung di

dalam kista ini memiliki komposisi elektrolit yang menyerupai plasma. Empedu,

amylase, dan sel darah putih tidak ditemukan. Cairan kista ini disekresikan secara

terus-menerus oleh sel-sel epitel di tepi kista. Karena alasan inilah, aspirasi cairan

dari simple cyst tidak bersifat kuratif.(10)

Apabila ukuran kista besar, mungkin terdapat keluhan yang berhubungan

dengan penekanan organ akibat massa yang besar di kuadran kanan atas. Sebagian

besar kista soliter tidak membutuhkan penanganan, namun bila diindikasikan,

ekstirpasi seluruh kista dipertimbangkan. Bila ukuran kista besar, reseksi dari

bagian dindingnya saja yang dilakukan. Lobektomi hepatik jarang dilakukan.(1,2)

Policystic Liver Disease

Insidens kista hepar congenital sulit ditentukan oleh karena sebagian besar

individu dengan lesi ini tidak mengeluhkan gejala. Penyakit polikistik ini biasanya

disubklasifikasikan sebagai varian pada anak dan dewasa, karena memiliki

perbedaan pada pola pewarisan, status penampilan dan konsekuensi klinis.

Penyakit polikistik pada anak diwariskan secara resesif autosomal dengan 4

subtipe secara umum : perinatal, neonatal, infantile, dan juvenile. Semua varian

dari polikistik pada anak ini mengenai hepar dan ginjal dengan peningkatan

absolut dari duktus biliaris intrahepatik.(12)

Sebuah kelainan genetik yang jarang pada anak, infantile polycystic

disease of the kidneys and liver, biasanya fatal pada anak-anak. Kista hepatik yang

berukuran mikroskopik dapat terlihat, anak-anak ini dapat mengalami hipertensi

portal, atau hipertensi arteri renalis dan gangguan renal yang progresif.(1)

Penyakit polikistik hepar pada orang dewasa diwariskan secara dominan

autosomal. Hepar tampak kistik difus secara makroskopik, walaupun dapat

tampak pola yang berbeda dari penyakit ini, seperti kista yang unilobar dan

ukuran kista yang bervariasi. Kista dapat ditemukan pada lien, pancreas, ovarium,

paru-paru, dan ginjal. Insidens meningkat seiring usia dan lebih sering pada

wanita dibandingkan pria.(1)

PCLD pada dewasa bersifat kongenital dan biasanya berhubungan dengan

autosomal dominant polycystic kidney disease (AD-PKD). Pada pasien ditemukan

mutasi dari gen PKD1 dan PKD2. Namun dalam beberapa kasus, PCLD

ditemukan tanpa adanya PKD. Pada dengan PKD, kista ginjal biasanya lebih

dominan dibandingkan kista pada hepar. PKD sering menyebabkan gagal ginjal,

sedangkan kista hepar sangat jarang menyebabkan fibrosis hepar dan kegagalan

fungsi hati.(10)

Tidak seperti kista non-parasitik soliter, penyakit polikistik hepar sering

diasosiasikan dengan kista pada organ lain; 51,6% polikistik hepar diasosiasikan

dengan polikistik ginjal. Polikistik hepar juga diimplikasikan sebagai penyebab

yang jarang dari hipertensi portal, dan juga diasosiasikan dengan atresia duktus

biliaris, kolangitis, dan hemangioma. Pada pasien dengan gejala yang signifikan

terkait efek massa dari polikistik hepar, terapi paliatif dapat dicapai dengan

reseksi non-anatomik dan fenestrasi yang lebar pada kista yang lebih besar.(7)

Prognosis dari penyakit polikistik hepar biasanya bergantung pada

penyakit ginjal yang menyertainya. Kegagalan fungsi hati, ikterus, dan

manifestasi hipertensi portal jarang ditemukan. Tingkat mortalitas dari kista non-

parasitik yang ditangani secara operatif mendekati angka nol.(7)

Kista Intrahepatik Acquired (didapat)

Echinococcal/Kista Hydatid

Kista jenis ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah

peternakan biri-biri. Daerah ini termasuk Mediterania (terutama Yunani),

Australia, dan New Zealand, serta negara di Timur Tengah seperti Iran. Infeksi

Echinococcal disebabkan oleh Echinococcus granulosa, yang dapat asimptomatis

selama bertahun-tahun dan menunjukkan hasil yang efektif dengan pembedahan,

atau E. multilocularis, yang lebih virulen dan menyebabkan kista invasif yang

multipel dan lebih sulit ditangani secara operatif. Dua pertiga dari kasus kista

echinococcal ditemukan pada hepar, dan 75% di antaranya berlokasi pada lobus

kanan.(7)

Pada hepar host intermediate, terbentuk hydatid unilocular yang tumbuh

perlahan dan tidak bergejala selama bertahun-tahun. Dinding hydatid ini memiliki

dua lapisan yang terdiri atas ektokista, yang berupa cangkang fibrous non-selular

yang berfungsi proteksi, dan sebuah endokista, yang merupakan bagian yang aktif

dari kista tersebut. Endokista mensekresi cairan bening yang mengisi kista dan

memproduksi kapsul-kapsul (yang dikenal dengan hydatid sand) dan kista anakan.

Selama bertahun-tahun kemudian, hydatid ini membesar dengan beberapa liter

cairan dan kista anakan yang tak terhitung jumlahnya.(12)

Pasien dengan kista multivesikular yang simpel atau belum berkompliasi

biasanya tidak bergejala. Gejala hanya timbul bila terjadi tekanan pada organ di

sekitarnya. Nyeri tumpul abdomen adalah keluhan yang paling sering ditemukan

(80%). Ikterus, demam, pruritus, nausea, dan vomitus ditemukan pada kurang dari

sepertiga pasien. Fungsi hepar ditemukan abnormal dan pembesaran hepar yang

dapat dipalpasi pada pemeriksaan fisis ditemukan pada 50% pasien, dan

eosinofilia hanya ditemukan pada 5-15% individu yang terinfeksi.(12)

Komplikasi dari kista hidatid di antaranya(7,12) :

Ruptur intrabilier, yang mengenai 5% hingga 10% kasus.

Ruptur intraperitoneal, yang sangat jarang namun dapat menyebabkan

pembentukan kista baru pada rongga peritoneal.

Infeksi bakteri sekunde, yang menyebabkan pembentukan abses.

Ekstensi transdiafragmatika ke rongga pleura.

Kista hidatid berukuran besar yang menimbulkan gejala dapat ditangani

secara laparoskopik maupun dengan open surgery. Langkah-langkah manajemen

kista ini meliputi(12) :

Isolasi kista dari rongga peritoneal untuk meminimalisasi tumpahan cairan

kista.

Aspirasi isi kista sedapat mungkin, dibutuhkan pengalaman yang memadai

sebab cairan dalam kista biasanya bertekanan rendah.

Instilasi agen skolekoidal ke dalam rongga kista seperti cairan saline hipertonik

maupun alkohol.

Eksisi kista hidatid dengan memisahkan kista dari hepar melalui pemisahan di

antara lapisan germinal dan adventitia.

Sebagai alternatif, kista dapat dikeluarkan melalui reseksi hepar, atau bila

cukup ekstensif, dapat dilakukan marsupialisasi dan pengisian dengan

omentum.

Kista Neoplastik

Lesi kistik neoplastik hepar, jarang merupakan kistadenoma bilier primer

atau kistadenokarsinoma. Lesi ini lebih sering merupakan metastasis dari tumor

kistik dari organ lain, seperti pancreas atau ovarium, atau sekunder dari degenerasi

kistik tumor hepar solid primer atau metastatik.(11)

Kistadenoma (benigna) atau kistadenokarsinoma (maligna) hepar lebih

sering terjadi pada wanita (lebih dari 75%) dan biasanya muncul sebagai nyeri

tumpul dan rasa penuh di perut bagian atas. Lesi ini biasanya dapat didiagnosis

dengan USG dan CT scan, yang menunjukkan sebuah massa kistik dengan

dinding yang tebal bertepi rata dan septa internal. Sebuah massa solid yang

berhubungan dengan dinding kista biasanya dideskripsikan sebagai komponen

maligna yang membutuhkan reseksi yang lebih radikal. Angiografi akan

menunjukkan SOL yang avaskular dan bayangan tumor pada perifer yang

disebabkan oleh proyeksi dinding tumor. Tumor ini tidak berhubungan dengan

duktus biliaris, sehingga cholangiografi preoperatif tidak memiliki nilai

diagnostik.(11)

Setelah didiagnosis, sebuah lesi kistik primer hepar dengan gambaran

radiografi berupa kistadenoma harus dieksisi secara utuh walaupun tidak

bergejala. Operasi yang kurang defenitif akan menyebabkan rekurensi tumor,

pembesaran, atau infeksi, hingga dapat bertransformasi menjadi malignansi.

Apabila gambaran kista tampak benigna, kadang dapat dibuang seluruhnya dan

memisahkannya dari parenkim hepar. Dinding kista yang menebal di sekitarnya

atau penyebaran pada parenkim hepar di sekitarnya menunjukkan malignansi, dan

eksisi yang lebih lebar dengan evaluasi histologik melalui frozen section harus

dipertimbangkan. Tumor ini, seperti neoplasma kistik di tempat lain, memiliki

potensi malignansi yang cukup rendah dan jarang rekuren bila dieksisi secara

adekuat.(11)

Kista Traumatik

Tipe kista hepatis ini dibentuk dari resolusi hematoma subscapular atau

intraparenkimal yang berasal dari trauma abdominal, di mana peristiwa trauma itu

sendiri dapat diingat maupun tidak diingat oleh pasien. Perdarahan di dalam

parenkim hepar dapat timbul pada trauma tumpul maupun tajam. Kista traumatic

mengandung darah, empedu, dan jaringan hepar yang nekrotik. Lapisan epithelial

yang sedikit menggambarkan bahwa sebenarnya kista traumatik adalah

pseudokista. Bila riwayat trauma tidak jelas, kista ini biasanya tidak dapat

dibedakan dari kista kongenital soliter, dan memiliki penanganan yang sama.

Pembedahan dianjurkan bagi pasien yang mengeluhkan gejala. Pada saat

laparotomi, kista traumatik biasanya dapat dibedakan dari kista congenital dengan

adanya dinding yang sangat fibrotik dan mengandung hemosiderin. Kista yang

simptomatik harus dieksisi secara utuh apabila dimungkinkan. Apabila sebagian

dinding kista tidak dapat direseksi dengan mudah, evaluasi frozen section harus

dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak akan terjadi proses neoplastik

setelahnya. Walaupun kista traumatic dapat terinfeksi sekunder, kista ini dapat

diharapkan memiliki hasil penanganan yang baik. (3,11)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Pasien dengan kista hepar tidak banyak memerlukan pemeriksaan

laboratorium. Hasil pemeriksaan faal hati seperti transaminase atau alkali

fosfatase mungkin sedikit abnormal, namun kadar bilirubin, prothrombin time

(PT) dan activated prothrombin times (APTT) biasanya berada dalam batas

normal.(4,10)

Pada Polycystic Liver Disease (PCLD), dapat dijumpai abnormalitas yang

lebih banyak pada pemeriksaan fungsi faal hati, namun gagal fungsi hati jarang

dijumpai. Tes fungsi ginjal termasuk kadar urea dan kreatinin darah biasanya

abnormal. Pada tumor kistik hepar, tes fungsi hati juga dapat normal seperti pada

simple cyst namun bisa terdapat abnormalitas pada sebagian pasien.(4)

Terdapat peningkatan kadar Carbohydrate antigen (CA) 19-9 pada

sebagian pasien. Cairan kista dapat diambil untuk pemeriksaan CA 19-9 pada saat

pembedahan sebagai pemeriksaan marker untuk kistadenoma dan

kistadenokarsinoma. Pasien dengan abses hepar dapat dikenal pasti dari gejala

klinis. Pada pemeriksaan darah sering ditemukan leukositosis.(4)

Jika terdapat kista hidatid, dijumpai eosinophilia pada sekitar 40% pasien,

dan titer antibody echinococcal positif pada hampir 80% dari pasien. Pemeriksaan

immunoassay enzim (enzyme immunoassay, EIA) dapat digunakan untuk

mendeteksi antibodi spesifik untuk E. histolytica.(4)

Pemeriksaan histologik dari kista dilakukan dengan tujuan untuk

menyingkirkan kemungkinan suatu keganasan, seperti kistadenokarsinoma.

Secara histopatologik kista hepar yang benigna mengandung cairan yang bersifat

serosa dan dindingnya terdiri dari selapis sel epitel kuboidal dan stroma fibrosa

yang tipis.(4)

Pemeriksaan Radiologik

Sebelum tersedia modalitas pencitraan abdominal secara luas termasuk

ultrasonografi (USG) dan CT scan, kista hepar didiagnosa hanya apabila ia sudah

sangat membesar dan bisa dilihat sebagai massa di abdomen atau sebagai

penemuan tidak sengaja saat melakukan laparotomy. Saat ini, pemeriksaan

radiologik sering menemukan lesi yang asimptomatik secara tidak sengaja.

Terdapat beberapa pilihan pemeriksaan radiologik pada pasien dengan kista hepar,

seperti USG yang bersifat non-invasif namun cukup sensitif untuk mendeteksi

kista hepar. CT scan juga sensitif dalam mendeteksi kista hepar, dan hasilnya

lebih mudah untuk diinterpretasikan dibanding USG. MRI, nuclear medicine.

scanning dan angiografi hepatik mempunyai penggunaan yang terbatas dalam

mengevaluasi kista hepar.(4,10)

Secara umum simple cysts mempunyai gambaran radiologik yang tipikal

yaitu mempunyai dinding yang tipis dengan cairan yang berdensitas rendah dan

homogenous. PCLD harus dikonfirmasi dengan USG atau CT scan dengan

menemukan kista-kista multiple pada saat evaluasi.(4,10)

Kista hidatid bisa diidentifikasi dengan ditemukannya daughter cyst yang

terkandung dalam rongga utama yang berdinding tebal. Kistadenoma dan

kistadenokarsinoma umumnya terlihat multilokuler dan mempunyai septa internal,

densitas yang heterogeneus dan dinding kista yang irregular. Tidak seperti tumor

lain pada umumnya, jarang dijumpai kalsifikasi pada kistadenoma dan

kistadenokarsinoma.(4,10)

Satu masalah yang sering ditemui dalam mengevaluasi pasien dengan lesi

kistik pada hepar adalah untuk membedakan kista neoplasma dan simple cyst.

Namun secara umum, neoplasma kistik mempunyai dinding yang tebal, irregular

dan hipervaskular, sedangkan dinding kista pada simple cyst tipis dan uniform.

Simple cyst memiliki tendensi memiliki bagian interior yang homogenous dan

berdensitas rendah, sedangkan neoplasma kistik biasanya mempunyai bagian

interior yang heterogenous dengan septasi-septasi.(4)

VI. PENATALAKSANAAN

Penanganan Medikamentosa

Pengobatan secara medikamentosa untuk penanganan kista hepar non-

parasitik maupun kista parasitik mempunyai manfaat yang terbatas. Tidak ada

terapi konservatif yang ditemui berhasil untuk menangani kista hepar secara

tuntas.(4)

Aspirasi perkutaneous dengan dibantu oleh USG atau CT scan secara

teknis mudah untuk dilaksanakan namun sudah ditinggalkan karena mempunyai

kadar rekurensi hampir 100%. Tindakan aspirasi yang dikombinasikan dengan

sklerosan dengan menggunakan alkohol atau bahan lain berhasil pada sebagian

pasien namun mempunyai tingkat kegagalan dan kadar rekurensi yang tinggi.

Sklerosis akan berhasil hanya terjadi dekompresi sempurna dari dinding kista. Hal

ini tidak mungkin terjadi jika dinding kista menebal atau pada kista yang sangat

besar. Tidak terdapat pengobatan medikamentosa untuk PCLD dan

kistadenokarsinoma.(4)

Kista hidatid dapat diobati dengan agen antihidatid yaitu albendazole dan

mebendazole, namun biasanya tidak efektif. Obat-obatan ini digunakan sebagai

terapi adjuvan dan tidak dapat menggantikan peran penanganan bedah atau

pengobatan perkutaneus dengan teknik PAIR (Puncture, Aspiration, Injection,

Reaspiration). Pengobatan medikamentosa dimulai 4 hari sebelum pembedahan

dan dilanjutkan 1 hingga 3 bulan setelah operasi sesuai panduan dari Organisasi

Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO).(4)

Penanganan Operatif

Secara umum tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruh

lapisan epithelial kista karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkan

terjadinya rekurensi. Secara ideal, kista direseksi keluar secara utuh tanpa

melubangi kavitas kista tersebut. Jika ini terjadi, kista akan kolaps dan ditemukan

kesukaran untuk mengenal secara pasti dan mengeluarkan lapisan epitel.(4)

1. Teknik PAIR (Puncture, Aspiration, Injection, Reaspiration)

Teknik PAIR untuk penanganan kista hepar dilakukan dengan dibantu

oleh USG atau CT scan yang melibatkan aspirasi isi kista melalui sebuah

kanula khusus, diikuti dengan injeksi agen yang bersifat skolisidal selama 15

menit, kemudian isi kista direaspirasi lagi. Proses ini diulang hingga hasil

aspirasi jernih. Kista kemudian diisi dengan solusi natrium klorida yang

isotonik. Tindakan ini harus diikuti dengan pengobatan perioperatif dengan

obat benzimodazole 4 hari sebelum tindakan hingga 1-3 bulan setelah tindakan.

2. Marsupialisasi (dekapitasi)

Dekapitasi atau unroofing kista dilakukan dengan cara mengeksisi bagian

dari dinding kista yang melewati permukaan hepar. Eksisi seperti ini

menghasilkan permukaan kista yang lebih dangkal pada bagian kista yang

tertinggal hingga cairan yang disekresi oleh epitel yang masih tertinggal

merembes kedalam rongga peritoneal dimana ia diabsorbsi. Sisa epitel dapat

juga diablasi dengan menggunakan sinar koagulator argon atau elektrokauter.

Sebelumnya penanganan kista seperti ini memerlukan tindakan laparotomi

(open unroofing) namun seiring dengan perkembangan alat dan teknik, ia bisa

dilakukan secara laparoskopik.(13)

Gambar 11. Liver Fenestration(13)

Dari hasil penelitian yang dijalankan, didapatkan bahwa unroofing kista

secara laparoskopik mempunyai tingkat morbiditas yang rendah, waktu

reokupasi yang lebih singkat dan bisa kembali ke aktivitas normal lebih cepat

dibandingkan open unroofing secara laparotomi. Faktor-faktor yang mungkin

mempengaruhi terjadi rekurensi dengan teknik ini adalah deroofing yang

adekuat, kista yang terletak dalam atau berada di segmen posterior dari hepar,

penggunaan sinar argon untuk sisa epitel dinding kista, tindakan omentoplasty

untuk cavitas residual, dan tindakan laparoskopi atau laparotomi yang pernah

dilakukan sebelumnya yang menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis di hepar.(13)

3. Reseksi Hepar dan Tranplantasi Hati

Prosedur yang lebih radikal seperti reseksi hepar dan transplantasi hati

telah digunakan dalam penanganan kista hepar non-parasitik. Walaupun

prosedur ini bisa mendapatkan hasil terbaik dari segi kadar rekurensi yang

sangat rendah, namun ia mempunyai kadar morbiditas yang tinggi, yang

mungkin tidak dapat diterima untuk suatu penyakit yang benigna. Penelitian

Martin dkk. menemukan kadar morbiditas 50% pada 16 pasien yang menjalani

prosedur reseksi hepar untuk penanganan kista hepar non-parasitik. Di antara

komplikasi yang terjadi pada tindakan reseksi hepar, termasuk infeksi paru-

paru, efusi pleura, infeksi pada luka operasi, drainase cairan peritoneal dan

empedu yang lama dan hematoma subphrenikus.(4)

Tranplantasi hepar diindikasikan untuk penyakit polikistik dengan

simptom yang menetap setelah pendekatan terapeutik medikamentosa dan

operatif yang lain gagal, atau pada keadaan gagal ginjal.(4,11)

Reseksi hepar layak untuk diaplikasikan pada pasien dengan kista

multipel yang rekuren atau terdapat kemungkinan suatu tumor kistik hepar.

Anatomi segmental hepar yang pertama dijelaskan oleh Couinaud pada tahun

1957 membagi hepar menjadi delapan segmen dimana setiap segmen

mempunyai cabang arteri hepatikum, vena porta dan traktus biliaris yang

tersendiri. Hal ini memungkinkan untuk mereseksi setiap segmen ini secara

individual apabila diperlukan, dan mengurangi pemotongan tidak perlu dari

jaringan hepar yang normal. Kehilangan darah bisa dikurangi dengan

menggunakan teknik oklusi vaskular (manoeuvre Pringle).(4,11)

Tujuan dari teknik oklusi vaskular adalah untuk mereseksi hepar dengan

perdarahan seminimal mungkin. Penting untuk diperhatikan bahwa dibutuhkan

fungsi hepar residual yang cukup setelah dilakukan reseksi, untuk mencegah

insufisiensi hepatik post-operatif. Kehilangan darah yang banyak diasosiasikan

dengan peningkatan morbiditas peri-operatif.(9)

Dalam prakteknya, lebih mudah untuk mereseksi segmen hepar secara

keseluruhan. Walaupun pemisah antarsegmen tidak dapat terlihat melalui

permukaan hepar, segmen dapat diidentifikasi dengan melakukan oklusi

terhadap aliran inflow terhadap segmen yang dituju, maka akan terjadi iskemik

dan akan terlihat pembagian fungsional hepar dari permukaan.(9)

Gambar 12. Segmentasi hepar menurut Couinaud(9)

Glisson’s capsule diketahui merupakan kondensasi dari fascia yang

mengelilingi cabang biliovaskular hepar. Couinaud menerangkan bahwa fascia

ini berlanjut dari parenkim hepar hingga segmentasi hepar. Implikasi

operatifnya adalah, apabila suplai dari segmen individual dilakukan dari dalam

hepar, ligasi dari fascia ini akan menyebabkan devaskularisasi segmen. Teknik

ini kemudian dipermudah dengan penggunaan stapler.(9)

Beberapa insisi abdominal dapat digunakan untuk reseksi hepar. Insisi

subkostal bilateral memberikan akses yang baik dan biasanya dilakukan

dengan memperluas insisi eksploratif subkostal kanan untuk menjamin tidak

terdapat penyakit peritoneal yang tidak diharapkan. Ekstensi ke arah atas

hingga tepi bawah sternum (insisi Mercedes-Benz) juga dapat dilakukan untuk

mendapatkan akses yang lebih lebar.(9)

Setelah dilakukan laparotomi eksplorasi, hepar dimobilisasi dari

peritoneal. Ligamentum falciforme dipisahkan dengan perhatian khusus pada

identifikasi lokasi dimana vena hepatika memasuki vena cava inferior.

Ligamentum koronaria dekstra, dipisahkan untuk mobilisasis lobus kanan

hepar. Ligamentum triangulare sinistra dipisahkan untuk mobilisasi lobus kiri

hepar.(9)

VII. PROGNOSIS

Pasien dengan kista non-parasitik yang menjalani teknik dekapitasi kista

secara laparoskopik untuk kista hepar benigna mengalami kadar penyembuhan

lebih dari 90%, sedangkan pada pasien dengan PCLD (Policystic Liver Disease)

mempunyai presentase kesembuhan yang lebih rendah dengan teknik yang sama.

Penanganan yang paling efisien untuk PCLD dan kista neoplastik adalah dengan

reseksi hepar, sedangkan efisiensi penanganan kista hidatid dengan teknik PAIR

berbanding penganan operatif lain masih kontroversial.(10,11,12)

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, VC., McKay RJ., Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics. Liver

and bile ducts. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 2007. h.1131-2.

2. Doherty, GM., Way, LW. Current surgical diagnosis & treatment 11 th ed. Benign

tumor & cysts of the liver. India : McGraw-Hill. 1994. h.576-7.

3. Norton, JA., et al. Essential practice ofsurgery : basic science and clinical

evidence. Liver. New York : Springer-Verlag. 2003. h.235-41.

4. McPhee, SJ., Lingappa, VR., Ganong, WF. Pathophysiology of disease : an

introduction to clinical medicine 4th ed. New York : Lange Medical

Books/McGraw-Hill. 2003. h. 380-92.

5. Netter. The Human Body Atlas of Netter [e-book]

6. Moore, KL., Agur, AM. Anatomi klinis dasar. Abdomen. Editors : Vivi S. & Virgi

S. Jakarta : Hipokrates. 2002. h. 117-25.

7. Schwartz, SI., et al. Principles of surgery 7th ed. Liver. New York : McGraw-Hill.

1999. h. 1395-405.

8. Smithuis, R. Liver : segmental anatomy [online]. 2006 [dikutip April 2010].

Tersedia pada URL http://www.radiologyassistant.nl/en/4375bb8dc241d

9. Heriot AG., Karanjia ND. A review of techniques for liver resection [online].

2002 [dikutip April 2010]. Tersedia pada URL

http://www.rsmpress.co.uk/arcsam.pdf

10. Jackson, HH., Mulvihill, SJ. Hepatic cyst [online]. September 2009 [dikutip April

2010]. Tersedia pada URL http://emedicine.medscape.com/article/190818-

overview

11. Cady, B. The surgical clinics of north America vol. 69 : Liver surgery.

Management of cystic disease of the liver. Philadelphia : W.B. Saunders

Company. 1989. h. 285-95.

12. Debas, HT. Gastrointestinal surgery : pathophysiology and management. Liver

cyst. San Fransisco : Springer-Verlag. 2004. h.180-1.

13. Chan. CY., Tan CHJ., Chew, SP, Teh CH. Laparoscopic fenestration of a simple

hepatic cyst [online]. 2001 [dikutip April 2010]. Tersedia pada URL

http://www.pkdiet.com/pdf/liver%20lapRx.pdf