lingkungan dan bentuk kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa indonesia dipandang perlu tidak...

67
Modul 1 Lingkungan dan Bentuk Kehidupan Prof. Dr. Ir. Djoni Prawira Rahardja, M.Sc. odul 1 mata kuliah Lingkungan Ternak ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dasar mengenai pentingnya pengetahuan tentang lingkungan tempat hewan ternak dapat hidup, berkembang-biak, dan berproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Setelah membaca Modul 1 ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang asal-muasal kehidupan yang diuraikan dalam Kegiatan Belajar 1 sebagai berikut. Asal muasal kehidupan Vertebrata purba: pada bagian ini diuraikan secara singkat tentang karakteristik lingkungan hidup dan karakteristik bentuk-bentuk kehidupan para penghuninya. Sesuai dengan dugaan bahwa perkembangan evolusi moyang hewan ternak vertebrata purba - kehidupan berawal dari kehidupan di perairan laut yang bermigrasi ke perairan tawar dan ke terestrial (daratan); sebagian dari mereka ada yang tetap tinggal dan atau kembali ke lingkungan asal. Kenyataan menunjukkan bahwa lingkungan hidup yang berbeda menuntut kelengkapan mekanisme adaptif yang berbeda yang harus dimiliki hewan-ternak. Selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat menjelaskan tentang Satwa dan Ternak di Indonesia yang mencakup sejarah, pemanfaatan dan potensinya yang diuraikan pada Kegiatan Belajar 2 sebagai berikut. Satwa Indonesia: pada bagian ini diuraikan mengenai kelimpahan dan keanekaragaman satwa di Indonesia, sejarah, dan pemanfaatannya. Di samping untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan tentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia diperlukan untuk mempertahankan plasma nutfah kekayaan alamnya. M PENDAHULUAN

Upload: phamphuc

Post on 08-Aug-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

Modul 1

Lingkungan dan Bentuk Kehidupan

Prof. Dr. Ir. Djoni Prawira Rahardja, M.Sc.

odul 1 mata kuliah Lingkungan Ternak ini bertujuan untuk

memberikan pemahaman dasar mengenai pentingnya pengetahuan

tentang lingkungan tempat hewan ternak dapat hidup, berkembang-biak, dan

berproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Setelah membaca Modul 1 ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan

tentang asal-muasal kehidupan yang diuraikan dalam Kegiatan Belajar 1

sebagai berikut.

Asal muasal kehidupan – Vertebrata purba: pada bagian ini diuraikan

secara singkat tentang karakteristik lingkungan hidup dan karakteristik

bentuk-bentuk kehidupan para penghuninya. Sesuai dengan dugaan bahwa

perkembangan evolusi moyang hewan ternak – vertebrata purba - kehidupan

berawal dari kehidupan di perairan laut yang bermigrasi ke perairan tawar

dan ke terestrial (daratan); sebagian dari mereka ada yang tetap tinggal dan

atau kembali ke lingkungan asal. Kenyataan menunjukkan bahwa lingkungan

hidup yang berbeda menuntut kelengkapan mekanisme adaptif yang berbeda

yang harus dimiliki hewan-ternak.

Selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat menjelaskan tentang Satwa

dan Ternak di Indonesia yang mencakup sejarah, pemanfaatan dan

potensinya yang diuraikan pada Kegiatan Belajar 2 sebagai berikut.

Satwa Indonesia: pada bagian ini diuraikan mengenai kelimpahan dan

keanekaragaman satwa di Indonesia, sejarah, dan pemanfaatannya. Di

samping untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan

tentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang

terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia diperlukan untuk

mempertahankan plasma nutfah kekayaan alamnya.

M

PENDAHULUAN

Page 2: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.2 Lingkungan Ternak

Kegiatan Belajar 1

Lingkungan Hidup, Kehidupan, dan Zoogeografi

A. ASAL MUASAL KEHIDUPAN – VERTEBRATA PURBA

Bukti-bukti paleontologi memberikan petunjuk bahwa kehidupan

moyang hewan-ternak (vertebrata purba) bermula dari lingkungan perairan

laut. Dalam perkembangan evolusionernya, bentuk kehidupan yang sangat

primitif mengalami perubahan dari yang sederhana menjadi bentuk

kehidupan yang semakin kompleks. Sementara ada organisme yang masih

tetap tinggal di lingkungan perairan laut, ada sebagian organisme yang

berangsur-angsur pindah ke lingkungan hidup baru, yaitu ke perairan tawar

setelah melalui lingkungan perairan payau. Bahkan ada juga yang pindah ke

lingkungan terestrial (daratan). Perpindahan ke lingkungan hidup yang baru

tersebut mengandung makna yang memberi petunjuk perihal kemampuan

migran-migran untuk bertahan hidup di lingkungan yang baru berkat

perkembangan seperangkat mekanisme adaptif ke pola kehidupan yang baru.

Perubahan lingkungan hidup mutlak memerlukan dan harus disertai dengan

banyak perubahan pada pola hidup. Perubahan-perubahan ini disebut

perubahan adaptif atau adaptasi. Adaptasi ini dapat berupa perubahan

perilaku, fungsional atau perubahan struktural, namun dapat pula berupa

perubahan perilaku, perubahan fungsional, struktural, dan pola hidup

sekaligus.

Jika kita telaah lebih mendalam, akan tampak bahwa perubahan-

perubahan adaptif tersebut didasari dan dimulai oleh perubahan-perubahan

kimiawi. Di bawah ini akan dibahas modifikasi-modifikasi yang terjadi dan

ditemukan sehubungan dengan atau yang menyertai perubahan atau

pergantian lingkungan hidup. Perlu disadari bahwa modifikasi-modifikasi

tersebut tidak dilakukan secara sadar dan sengaja oleh organisme yang

bermigrasi. Hendaknya dihindari anggapan bahwa ada hewan yang dengan

sadar bersusah payah melakukan adaptasi ke lingkungan hidup yang berbeda

dari lingkungan hidupnya sendiri. Seekor hewan dapat atau tidak dapat hidup

di suatu lingkungan baru adalah semata-mata bergantung pada kemampuan

hewan tersebut untuk bertahan hidup di lingkungan barunya. Sebagai contoh,

hal ihwal perpindahan hewan perairan laut ke perairan tawar. Hanya hewan

Page 3: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.3

yang mempunyai kemampuan untuk memantapkan segala sesuatu yang ada

dalam tubuhnya dan tidak bergantung pada lingkungannya yang dapat

bertahan hidup. Kemampuan pemantapan ini di antaranya ialah

mempertahankan kadar garam dalam cairan tubuhnya agar tekanan

osmotiknya tetap lebih tinggi dibandingkan tekanan osmotik air tawar di

lingkungan barunya. Jika kemampuan tersebut tidak dimilikinya dan susunan

cairan tubuhnya terombang-ambing oleh perubahan air di lingkungannya

maka dapat dipastikan bahwa hewan tersebut tidak akan dapat bertahan hidup

walau usaha apa pun ia lakukan dengan sadar dan sengaja.

Dapat kita bayangkan betapa sulitnya hidup pada permulaan penghunian

perairan tawar oleh para migran asal perairan laut. Banyak sekali

penyesuaian dan modifikasi yang harus terjadi sebelum hewan perairan laut

dapat menerobos daerah estuarin, yaitu daerah perairan payau, atau daerah

yang memisahkan perairan laut dan perairan tawar. Penghunian daerah

daratan (terestrial) tidak kalah sulitnya pada tahap-tahap permulaan karena

penghunian daratan memerlukan perubahan adaptif yang sangat lanjut.

Sampai sekarang, masih ada daerah-daerah yang belum dapat dihuni oleh

suatu bentuk kehidupan.

Page 4: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.4 Lingkungan Ternak

Sumber: Rahardja, 2010

Gambar 1.1 Skema kemungkinan kemunculan hewan-hewan vertebrata dan migrasinya

dari satu lingkungan ke lingkungan yang berbeda dalam kurun waktu evolusi.

B. LINGKUNGAN DAN BENTUK KEHIDUPAN

1. Lingkungan Hidup

Bumi diperkirakan telah berumur 4,5 juta tahun dan memiliki luas

permukaan 509.712.000 km2 yang terdiri atas ± 29% lingkungan terestrial,

± 70% lingkungan perairan laut, dan hanya ± 1% lingkungan perairan tawar.

Berdasarkan lingkungan hidupnya, hewan-hewan dapat dibagi menjadi 3

kelompok besar, yaitu penghuni perairan laut, penghuni perairan tawar, dan

Page 5: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.5

penghuni terestrial. Selain itu, sesungguhnya ada bentuk-bentuk peralihan

yang jelas, misalnya yang habitatnya daerah litoral, yaitu daerah yang

memisahkan lingkungan perairan dan terestrial, dan yang hidup di

lingkungan estuarine yaitu daerah yang memisahkan perairan laut dan

perairan tawar sungai. Dan masih ada kelompok hewan yang hidup di daerah

rawa dan daerah genangan air yang berbeda dari lingkungan perairan sungai

ataupun terestrial.

Menurut kaidah dan teori evolusi, perubahan adaptif terjadi sangat

lamban dan bertahap, dan mungkin sekali melalui proses mutasi genetik

berkali-kali. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa migrasi atau perubahan

habitat tidaklah terjadi secara drastis. Dalam hal ini, bentuk-bentuk habitat

peralihan mempunyai peranan yang sangat penting dalam perwujudan

kelompok-kelompok hewan yang hidup dan menetap di lingkungan perairan

laut, di perairan tawar, dan di daerah terestrial. Sebagai contoh, siput air

tawar (Hydrobia jenkinsi) pada awal abad XIX masih merupakan hewan

perairan payau atau estuarin. Dalam kurun waktu yang cukup lama, pada

akhirnya hewan tersebut memperoleh perubahan adaptif terakhir yang

diperlukan untuk dapat hidup di lingkungan perairan tawar. Kalau perubahan

adaptif terakhir ini saja yang kita tinjau, maka seolah-olah telah terjadi

perubahan adaptif yang dramatis secara mendadak.

Untuk memahami kejadian-kejadian tersebut di atas, di bawah ini akan

diuraikan tentang perbandingan tiga habitat, yaitu perairan laut, perairan

tawar, dan terestrial.

Sifat-sifat pokok ketiga habitat tersebut menentukan jenis-jenis

organisme yang dapat hidup wajar di dalamnya. (1) Massa. Lautan

mempunyai massa yang sangat besar sehingga perubahan yang dapat terjadi

karena pengaruh alam dapat dikatakan sangat kecil secara keseluruhan.

Sebagai contoh, gunung yang meletus hanya memberikan dampak lokal

untuk waktu yang singkat dan tidak mempengaruhi keadaan laut secara

keseluruhan. Selain itu, air memiliki (2) Panas Jenis yang tinggi sehingga

paparan terhadap panas yang banyak hanya akan mengubah suhu air sedikit

saja dan tidak berarti. (3) Viskositas yang tinggi menjamin terjadinya

gangguan yang minim walau ada pengaruh mekanik yang hebat, seolah-olah

terjadi peredaman pengaruh mekanik. Hal demikian tentunya tidak berlaku

bagi perairan yang sangat dangkal.

Di daerah atau wilayah terestrial terjadi hal yang sebaliknya. Perubahan

suhu sepanjang hari sangat terasa sekali. Ditambah viskositas udara yang

Page 6: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.6 Lingkungan Ternak

sangat kecil, guncangan klimatik akan dirasakan cukup hebat. Sehubungan

dengan sifat-sifat tersebut di atas maka perairan, terlebih perairan laut,

merupakan lingkungan hidup yang jauh lebih mantap dibandingkan terestrial,

walaupun ada juga sifat yang lebih menguntungkan di lingkungan terestrial.

Udara mengandung oksigen dengan kadar yang jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan yang terkandung di air. Ruang udara di atas daratan

memiliki viskositas yang minim sehingga memberi peluang gerakan yang

jauh lebih cepat dibandingkan dengan di dalam air yang viskositasnya tinggi.

Namun, dipandang dari segi kemantapan sifat-sifatnya, lingkungan perairan

jauh lebih baik daripada lingkungan terestrial.

Di samping itu, dapat pula dipahami bahwa lingkungan perairan tawar

kurang stabil dibandingkan dengan perairan laut. Keadaan ini dapat dilihat

dari massa perairan tawar yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan massa

perairan laut. Selain itu, masih ada sifat-sifat lain yang menjadikan perairan

tawar lebih inferior dibandingkan dengan perairan laut, yaitu (4) Sifat-sifat

Fisikokimiawi yang sangat berbeda antara kedua lingkungan tersebut.

Perairan laut mempunyai kadar garam yang 100-1000 kali kadar garam air

tawar. Perbedaan kadar garam yang menonjol tersebut merupakan hambatan

utama bagi calon-calon migran dari kehidupan di perairan laut ke kehidupan

di perairan tawar.

Sebagai ilustrasi, sel merupakan unit fungsional terkecil bagi organisme

multiseluler. Oleh karenanya, kehidupan organisme pada hakikatnya

merupakan resultante fungsi dari sel-sel yang menyusun jaringan tubuh

organisme tersebut, dan fungsi tersebut sangat bergantung pada dan

ditentukan oleh cairan tubuh yang melingkunginya. Suatu cairan hayati

buatan yang dapat digunakan sebagai pengganti cairan tubuh, misalnya

larutan ringer, dapat menjamin jantung tetap berdenyut untuk beberapa jam.

Jika larutan Ringer tersebut diubah sedikit saja komposisi bahan yang

menyusunnya maka hal itu sudah cukup untuk menyebabkan jantung berhenti

berdenyut. Sel-sel jantung mungkin dapat bertahan hidup lebih lama, namun

fungsinya sebagai bagian integral jantung telah menjadi kacau.

Di dalam tubuh hewan, cairan hayati yang melingkungi organ-organ

tubuh ialah darah dan cairan ekstra-sel lainnya, termasuk cairan interstitial.

Dalam cairan-cairan tubuh tersebut segala sesuatunya mengalami

pemantapan yang diatur secara osmotik untuk menjamin kemantapan susunan

kimiawi dan sifat-sifat fisikanya. Kadar garamnya, ragam dan rasio berbagai

ion yang terdapat di dalamnya, pH-nya, tekanan osmotiknya, suhunya, dan

Page 7: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.7

sifat-sifat fisikokimiawi lainnya dibuat mantap sepanjang kehidupan hewan.

Salah satu aspek Ilmu Faal yang secara khas mempelajari mekanisme

pemantapan cairan-cairan tubuh tersebut disebut homeostasis.

Organisme yang paling primitif tidak memiliki mekanisme pengaturan

kemantapan yang kompleks, akan tetapi organisme tersebut ternyata

memiliki ketahanan terhadap variasi lingkungan yang lebih luas

dibandingkan dengan hewan-hewan yang organisasinya telah sempurna.

Namun, organisme primitif tersebut juga memerlukan suatu kisaran

kemantapan lingkungan bagi hidupnya untuk bertumbuh dan berkembang

biak, dan ini lebih mudah diperoleh jika ia hidup hanya di lingkungan

perairan laut saja.

Selama suatu organisme hidup di lingkungan perairan laut, mekanisme

pengaturan kemantapan yang kompleks kurang begitu diperlukan. Keadaan

ini disebabkan karena perairan laut merupakan lingkungan hidup yang relatif

sangat mantap sehingga cairan tubuh organisme tidak mengalami guncangan

dalam susunan kimiawi dan sifat-sifat fisiknya. Jika organisme tersebut

bermigrasi ke lingkungan baru maka mulai diperlukan sarana pengaturan

supaya susunan kimia dan sifat-sifat cairan tubuhnya tidak menghambat

fungsi serta aktivitas normal sel-sel dan jaringannya. Perihal yang menarik

untuk penelusuran lebih mendalam adalah tahapan-tahapan evolusi

mekanisme penyangga/pembufferan, pengaturan kemantapan suhu, sampai

terwujudnya sistem osmotik yang kompleks yang dimiliki oleh manusia.

2. Kehidupan di Lingkungan Perairan

Suatu fakta yang sangat menarik ialah bahwa jumlah spesies hewan yang

hidup di lingkungan perairan tawar jauh lebih sedikit dibandingkan dengan

spesies yang hidup di lingkungan perairan laut. Lingkungan perairan tawar

tidak dihuni oleh jenis hewan yang tergolong ke dalam Echinodermata dan

Cephalopoda. Keadaan ini menunjukkan bahwa migrasi ke kehidupan di

perairan tawar terjadi secara selektif karena berbagai sebab:

a. Suhu perairan tawar yang massanya relatif kecil mudah berfluktuasi oleh

pengaruh klimatik. Keadaan ini tentu merupakan penghambat bagi

perpindahan hewan-hewan yang peka terhadap variasi suhu.

b. Pada umumnya, hewan perairan laut menetas dari telurnya dalam bentuk

larva yang secara morfologis sering sangat berbeda dari bentuk

dewasanya. Pada umumnya, larva tersebut bukanlah perenang yang baik,

Page 8: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.8 Lingkungan Ternak

dan nasibnya akan terombang-ambing dan hanyut oleh aliran air yang

selalu ada jika hidup di perairan tawar.

c. Di perairan laut, larva hewan laut akan melayang di lapisan atas di

bawah permukaan laut serta memperoleh pakan dari alga atau diatome

yang jumlahnya melimpah di lapisan tersebut. Di perairan tawar, niscaya

larva-larva tersebut akan tenggelam karena bobot jenis air tawar yang

rendah, dan akibatnya larva akan kekurangan pakan. Bagaimanapun dan

apa pun sebabnya, kenyataan menunjukkan bahwa jarang sekali hewan

perairan tawar berkembang melalui masa larva, kecuali untuk insekta.

Pada umumnya, hewan perairan tawar yang masih sangat muda tetap

tinggal di dalam telur sampai tahap larva berakhir sehingga pada waktu telur

menetas yang keluar ialah bentuk miniatur hewan dewasa dengan berbagai

perlengkapannya dan dapat berenang menentang arus. Karena masa larva

hewan perairan tawar tersebut sebagian besar dilalui di dalam telur maka

hewan tersebut tidak mandiri selama massa larva tersebut, dan pakannya

diperoleh dari telur itu juga. Secara logis dapat diduga bahwa hewan perairan

tawar menghasilkan telur yang kandungan nutrisinya relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan telur hewan perairan laut.

Keadaan ini sangat jelas ditunjukkan pada udang Palaemonetes varians

yang terdiri atas 2 jenis, yaitu varietas Microgenitor yang hidup di perairan

laut dan varietas Macrogenitor yang hidup di perairan tawar. Varietas

Microgenitor bertelur sekitar 320 butir per tahun dengan penampang ± 0.5

mm, sedangkan varietas Macrogenitor bertelur hanya 25 butir per tahun

dengan ukuran penampang 1.5 mm. Siput perairan laut, Buccinum, bertelur ±

12.000 butir per tahun, sedangkan gastropoda perairan tawar hanya 20 – 100

butir per tahun. Kerang laut, Ostrea, telurnya berjumlah 1.8 juta per tahun

sedangkan Anodonta, saudara Ostrea yang hidup di perairan tawar, hanya

bertelur 18.000 butir per tahun. Keadaan ini tampaknya menjadi kelaziman

bahwa jenis-jenis hewan perairan tawar bertelur dalam jumlah yang lebih

sedikit dengan ukuran penampang yang lebih besar dibandingkan dengan

hewan-hewan perairan laut.

Hewan perairan tawar memiliki kemampuan menyediakan cadangan

pakan bagi keturunannya selama periode larva. Tahap larva tersebut telah di-

“padat”-kan menjadi periode pratetas. Selain itu masih disediakan pula

cadangan mineral dan pakan organik yang sangat diperlukan oleh larva.

Sebagai contoh, telur Sepia pada tahap awal perkembangan larva

Page 9: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.9

mengandung 0.8 mg abu, dan pada akhir perkembangan larvanya

mengandung tidak kurang dari 3.3 mg abu. Ini menunjukkan bahwa 3.3–0.8

mg abu berasal dari air laut. Telur Landak Laut juga memperoleh sebagian

besar kadar abunya dari air laut. Air tawar mengandung sedikit sekali mineral

dibandingkan air laut (< 1% air laut) dan terutama terdiri atas kalsium

bikarbonat. Dengan demikian, bagi perkembangan larvanya diperlukan

garam-garam yang harus diperoleh dari 100 × volume air laut jika hal ini

terjadi di perairan tawar. Oleh karena itu dapat disebutkan persyaratan bagi

telur hewan perairan tawar adalah sebagai berikut.

a. terjadi pemadatan bentuk larva;

b. tersedia cadangan pakan organik dan mineral yang cukup di dalam telur.

Telah diketahui bahwa tidak dikenal Cephalopoda air tawar. Seperti

diketahui bahwa Cephalopoda menetas dalam bentuk miniatur dewasanya. Ia

menyediakan cukup banyak cadangan pakan organik bagi perkembangan

larvanya dalam telur, namun ia gagal dalam menyediakan cukup banyak

mineral. Oleh karena itu, jika perkembangan larva dalam telur terjadi di

perairan tawar, maka larvanya tidak akan dapat hidup.

Beberapa jenis hewan tidak berhasil dalam menyediakan nutrien organik

dan terutama mineral bagi keturunannya. Udang Leander yang dapat hidup di

perairan air tawar dan di perairan laut, harus pergi ke perairan laut setiap

musim bertelur karena larvanya tidak dapat hidup di air tawar setelah

menetas. Demikian pula belut Anguilla yang umumnya merupakan penghuni

perairan tawar, setiap musim bertelur selalu pindah ke perairan laut.

Kadar garam perairan tawar pada umumnya dapat bervariasi sangat luas.

Keadaan ini akan menyebabkan perbedaan nilai osmotik secara nyata dan

dapat menjadi sebab perbedaan karakteristik hewan-hewan penghuninya.

Tabel 1.1 menunjukkan kadar padatan terlarut di beberapa perairan tawar dan

perairan laut.

Page 10: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.10 Lingkungan Ternak

Tabel 1.1 Kadar padatan terlarut di beberapa sumber air

No. Sumber Kadar padatan terlarut

(mg/l) Pustaka

1. Perairan laut (umum) 35.000 1 2. Danau Air asin (Utah – USA) 254.000 1 3. Mata air tanah (Nevada – USA) 36 1

4. Danau Maninjau (Sumatera Barat – Indonesia)

26 2

5. Perairan Pantai Selat Bali (Indonesia) 3580 3 6. Air hujan (Gunung Kidul – Indonesia) 90 – 208 4

Pustaka : 1. Drever, 1997; 2. Tim LIPI, 2008; 3. Poppo, dkk., 2008; 4. Danang, 2008.

Jelaslah bahwa jenis penghuni berbagai lingkungan perairan tersebut di

atas sangat berbeda-beda. Terlebih jika dijabarkan lebih lanjut susunan

padatan yang terdapat dalam berbagai padatan tersebut. Dengan demikian,

dapat dipahami mengapa perairan tertentu sangat langka penghuninya atau

hanya jenis tertentu saja penghuninya.

3. Kehidupan di Lingkungan Terestrial

Sekalipun banyak dugaan menyebutkan bahwa awal dari kehidupan

adalah dari lingkungan perairan laut, mayoritas dari bentuk-bentuk kehidupan

di terestrial yang ada sekarang ini kemungkinan besar berasal dari moyang

penghuni perairan tawar. Migrasi langsung dari perairan laut ke terestrial

jarang terjadi, namun demikian kepiting dan beberapa jenis siput

kemungkinan bermigrasi langsung dari perairan laut ke terestrial mengikuti

rute ini.

Perpindahan para migran dari kehidupan di lingkungan perairan ke

kehidupan di terestrial memerlukan perkembangan seperangkat mekanisme

adaptif baik struktural, fungsional, maupun pola hidup yang harus

dipersiapkan sebelum menjadi penghuni tetap terestrial.

Beberapa prasyarat yang mutlak diperlukan untuk kehidupan di terestrial

adalah kemampuan sistem respirasi memanfaatkan oksigen langsung dari

udara dan kemampuan mengatasi kehilangan air, terutama melalui evaporasi

yang terus menerus karena kandungan air yang rendah di atmosfer,

dibandingkan dengan tingkat jenuh air di dalam tubuh. Di samping itu,

keterbatasan ketersediaan air memerlukan modifikasi dalam metabolisme

nitrogen, yaitu dalam eliminasi hasil sisa metabolisme dalam urine.

Page 11: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.11

Berdasarkan penelaahan paleontologi terdapat 3 kelompok ikan yang

diduga menjadi moyang bangsa-bangsa hewan bertulang belakang di

terestrial, yaitu Lungfish, Bichir (Polypterus), dan Crossopterygian.

Ketiganya memiliki paru-paru, akan tetapi bukti-bukti fosil lebih mendukung

Crossopterygian sebagai moyang dari kelas hewan amfibia, dan amfibia

inilah yang kemudian dianggap sebagai hewan peralihan antara ikan yang

hidup di lingkungan perairan (tawar) dengan tetrapoda yang hidup di

terestrial.

Gambar 1.2 Ilustrasi skematis migrasi dan remigrasi hewan mulai dari lingkungan

perairan laut, perairan tawar, dan lingkungan terestrial

Anuran (katak dan sejenisnya) merupakan ordo terbesar kelas hewan

Amfibia, yang meliputi lebih dari 200 genus yang hidup tersebar mulai dari

lingkungan perairan tawar, beranjak ke terestrial, dan bahkan di antaranya

ada yang remigrasi kembali ke lingkungan perairan laut, seperti Rana

cancrivora. Pada katak, fase kehidupan larva umumnya merupakan masa

kehidupan di lingkungan perairan tawar, dan setelah mengalami

metamorfosis, katak memiliki kemampuan hidup di terestrial. Ditinjau dari

sisa metabolisme nitrogennya, masa larva merupakan hewan amoniotelism

yang mengeleminasi sisa metabolisme N dalam bentuk amonia, seperti

moyang pendahulunya. Setelah mengalami metamorfosis, hewan ini berubah

menjadi hewan ureotelism yang mengeliminasi sisa metabolisme N dalam

bentuk urea.

Sesuai dengan perkembangan evolusinya, kelas-kelas hewan selanjutnya

yang mengembangkan seperangkat mekanisme adaptif dan berhasil

menghuni lingkungan terestrial adalah Reptilia, Aves, dan Mamalia. Di

Page 12: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.12 Lingkungan Ternak

antara kelas-kelas hewan tersebut ada pula yang kini didapati beremigrasi

kembali ke lingkungan perairan tawar dan bahkan perairan laut.

Sebagai mana telah diuraikan bahwa migrasi dari satu lingkungan ke

lingkungan lain berlangsung secara bertahap melalui lingkungan-lingkungan

peralihan sampai dicapai bentuk kehidupan yang mantap menjadi penghuni

tetap atau bermigrasi lebih lanjut ke lingkungan lain. Gambar 1.2 secara

skematis memberikan ilustrasi tentang migrasi tersebut. Studi tentang

lingkungan dan bentuk kehidupan peralihan sering kali digunakan untuk

menjelaskan bagaimana proses migrasi tersebut terjadi perubahan mendasar

yang diperlukan untuk hidup di lingkungan baru.

C. ZOOGEOGRAFI DUNIA DAN INDONESIA

Pemahaman tentang cakupan mata kuliah Lingkungan Ternak masih

banyak memiliki kesenjangan sekalipun telah banyak penelitian dilakukan

atas berbagai fenomena fisiologis yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Oleh karenanya, sebelum sampai pada uraian tentang fenomena-fenomena

tersebut, pada bagian ini dipandang perlu untuk menguraikan sejarah

kemunculan, perkembangan, dan distribusi atau penyebaran hewan-ternak

(zoogeografi) yang berlangsung secara alami dalam kurun waktu yang

domestikasi-evolusi. Pada bagian ini diuraikan beberapa teori tentang asal-

muasal kemunculan bangsa-bangsa hewan-ternak sejalan dengan terjadinya

lempeng-lempeng benua dan samudera di muka bumi ini.

1. Zoogeografi Dunia

Zoogeografi pada dasarnya mempelajari tentang distribusi dan

pergerakan hewan-hewan yang berlangsung secara alami dalam kurun waktu

evolusi, ribuan-jutaan tahun. Dalam kaitan dengan Ilmu Lingkungan Ternak,

pengetahuan ini dipandang perlu untuk lebih mengetahui bagaimana

mekanisme adaptif yang harus dimiliki dan ditempuh hewan dalam

perpindahannya dari satu tempat ke tempat lain yang merupakan lingkungan

barunya.

Sebelum Darwin (1859) dan Wallace (1858) mengemukakan teori

Seleksi Alami, para ahli lingkungan telah meyakini bahwa suatu lingkungan

tempat setiap spesies hewan dan tanaman dapat hidup dan berkembang di

dalamnya merupakan lingkungan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan

organisme tersebut karena spesies tersebut memiliki kelengkapan mekanisme

Page 13: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.13

adaptif yang sesuai dengan tuntutan di lingkungan tersebut. Scalter, dalam

publikasinya tahun 1858, membagi daratan di bumi ini atas 6 daerah

berdasarkan distribusi bangsa-bangsa burung, dan dikenal sebagai teori

Center of Creation atau pusat penciptaan atau pusat asal-usul. Terdapat

anggapan bahwa lingkungan yang sesuai harus ada mendahului organisme

yang dapat hidup di dalamnya. Akan tetapi, penjelasan-penjelasan yang

diberikan oleh teori ini tidak didukung oleh bukti yang cukup, sekalipun ide

tentang pembagian daratan di bumi ini masih tetap digunakan dengan sedikit

modifikasi.

Jauh sebelum Sclater, seorang Inggris bernama Charles Lyell (1797-

1815) mengemukakan teori tentang Kekekalan Benua-Benua atau

Permanence Of Continents. Teori ini beranggapan bahwa benua-benua selalu

ada dalam bentuk dan tempat seperti yang ada sekarang. Akan tetapi, pada

180 juta tahun terakhir telah terjadi perubahan, yaitu penyusutan laut Tethys,

pembentukan dan pemutusan daratan antara benua-benua di belahan bumi

utara dengan Afrika dan Amerika Selatan, pembentukan pegunungan-

pegunungan, dan perubahan-perubahan lain yang disebabkan oleh

mencairnya es di belahan bumi utara.

Teori lain tentang penyebaran hewan ini sejalan dengan berlangsungnya

Drifting Continent atau pemisahan benua. Teori yang dilontarkan oleh Alfred

Wegener (1912) beranggapan sebaliknya dari pada teori Kekekalan Benua

bahwa pada satu saat 200 jutaan tahun yang lalu semua benua yang ada

sekarang merupakan satu massa daratan yang besar, yang disebut sebagai

Pangea. Pada akhir zaman Triassic (180 juta tahun yang lalu) benua besar

Pangea ini terbagi menjadi dua daratan, yaitu Laurasia di bagian utara dan

Gondwana di bagian selatan. Sampai pada zaman Kreta (135 juta tahun yang

lalu), bagian benua Asia, Eropa, dan Amerika Utara masih bersatu dan

merupakan belahan bumi bagian utara (Laurasia), demikian pula Amerika

Selatan dan benua Afrika yang ada sekarang masih bersatu sebagai

Gondwana, sedangkan benua Antartika dan Australia tetap masih bersatu

tetapi memisahkan diri dari Gondwana. Pemisahan massa benua terus

berlanjut dan pada zaman Tersier (65 juta tahun yang lalu), bagian Amerika

Selatan terpisah dari daratan benua Afrika, sedangkan Amerika Utara dan

Eropa masih berhubungan, sedangkan India terpisah. Setelah zaman tersebut,

pemisahan terus berlanjut sampai akhirnya terbentuk benua-benua yang kita

kenal sekarang ini; Amerika Utara dan Amerika Selatan semakin mendekat

dan hanya dipisahkan oleh laut Karibia yang semakin sempit, kepingan-

Page 14: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.14 Lingkungan Ternak

kepingan benua Afrika, Indo-Australia, kepingan Eurasia, dan kepingan

Afrika.

Jika satu spesies baru berhasil hidup dan berkembang maka populasinya

akan bertambah dan akan meluaskan daerah yang dihuninya sampai bertemu

barier (rintangan) yang tidak dapat dilampauinya. Barier tersebut dapat

berupa:

a. barier fisik, seperti samudera-lautan, pegunungan atau gurun pasir yang

panas, atau berupa,

b. barier lingkungan klimatik, atau

c. barier biologis, seperti ketersediaan pakan, kehadiran predator, dan

persaingan ruang hidup dengan spesies lain.

Samudera merupakan barier yang sangat efektif untuk spesies hewan

terestrial yang tidak dapat terbang, akan tetapi bagaimana spesies hewan-

hewan itu sampai ke sana? Sebagai ilustrasi, kepulauan Britania di waktu

yang lampau bersatu dengan daratan utama benua Eropa, akan tetapi dalam

kurun waktu geologis/evolusi, kepulauan Britania kini terpisah. Kedua

daratan tersebut (Britania dan daratan Eropa) mempunyai banyak spesies

yang sama. Akan tetapi, pulau-pulau terpencil di tengah perairan samudera

luas, seperti Kepulauan Galapagos yang terletak di Samudra Pasifik, 900 Km

sebelah barat Equador, terbentuk oleh aktivitas gunung berapi dan menurut

sejarah geologisnya tidak pernah berhubungan dengan Benua Amerika.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika sebagian besar spesies yang ada

di kepulauan itu hanya terdapat di daerah geografis yang terbatas ini. Spesies

demikian disebut spesies endemik, dan bahkan banyak yang endemik untuk

tiap-tiap pulau di Kepulauan Galapagos ini.

Terdapat dugaan bahwa kepulauan Galapagos dihuni secara kebetulan.

Sebagai contoh, pohon dan tumbuhan lain terbawa arus sungai ke laut.

Beberapa di antaranya dibawa arus samudera jauh ke tengah laut. Kepulauan

Galapagos terletak pada persimpangan arus Humboldt yang mengalir ke utara

dari Amerika Selatan, dan arus Panama yang mengalir ke selatan dari

Amerika Tengah. Suatu kemungkinan bahwa leluhur spesies yang ada

sekarang tiba di kepulauan itu dengan menaiki pohon-pohon yang hanyut

tersebut. Katak dan hewan lain yang tidak tahan terhadap perjalanan laut

yang jauh, tidak terdapat di kepulauan ini. Hewan-hewan yang mampu

sampai di pulau akan mengalami spesiasi lebih lanjut dan berkembang biak.

Penelitian yang saksama mengenai distribusi – penyebaran hewan dan

tumbuh-tumbuhan mengungkapkan suatu pola yang jelas. Oleh karenanya,

Page 15: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.15

Scalter (1858) dapat dianggap merupakan orang pertama yang membagi 6

wilayah atau daerah hewan atau Zoogeografi di bumi ini berdasarkan

distribusi bangsa-bangsa burung. Pembagian tersebut dikonfirmasi oleh

Alfred Russel Wallace (1895) untuk bangsa burung (aves) dan hewan

menyusui (mamalia). Masing-masing wilayah ditandai dengan kehadiran

spesies hewan-hewan unik. Daerah-daerah tersebut dianggap merupakan

pusat asal-usul spesies dan migrasi mereka di masa lampau, serta barier yang

ditemuinya meliputi barier hasil penyatuan dan atau pemisahan benua di

masa lampau.

Telah diungkapkan bahwa Amerika Utara, Eropa, dan Asia dahulu

menyatu sebagai Laurasia dan terpisah dari belahan bumi bagian selatan.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika terdapat banyak spesies yang

sama di ketiga bagian benua Laurasia itu, seperti rubah (Kugar), serigala

(Ajak), berang-berang, dan rusa besar (Karibau). Laurasia ini terkadang

disebut daerah holartik. Dalam perkembangan geologis selanjutnya, Amerika

Utara memisahkan diri dan hewan-hewan asli mengalami divergensi.

Sumber: Sugiri, 1988

Gambar 1.3 Zoogeografi Dunia dengan beberapa hewan khasnya

a. Kawasan Neartika; Kawasan ini terbentang dari daerah yang beriklim

ugahari (warm temperate) di bagian selatan sampai kutub utara di bagian

utara, atau dari bagian tengah benua Amerika sampai di bagian utara

benua Amerika, termasuk Kanada sekarang. Hasil pencacahan

Page 16: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.16 Lingkungan Ternak

menunjukkan bahwa di kawasan ini terdapat 24 famili hewan mamalia

endemik, tiga di antaranya adalah hasil introduksi. Famili Artiodacrtyla,

hewan berteracak genap, yang endemik di kawasan ini adalah

Antilocapridae (pronghorn, sebangsa rusa besar), terutama tersebar di

sebelah barat benua Amerika bagian utara. Hewan ini berbeda dari famili

Bovidae (bangsa sapi, bison) dan Cervidae (bangsa rusa) yang juga

ditemukan di kawasan ini.

b. Kawasan Neotropika; Bagian terbesar kawasan ini beriklim tropis yang

membentang dari bagian tengah Benua Amerika sampai di bagian

selatan Benua Amerika, dan dataran rendah tropika. Kawasan ini juga

mencakup India bagian barat. Pegunungan Andes membentang

sepanjang batas bagian barat Amerika Selatan dan Sungai Amazon dan

anak-anak sungainya dikelilingi hutan hujan yang sangat luas, sementara

di bagian selatan-timur Amerika Selatan ditemukan banyak luasan

padang rumput. Sampai akhir zaman tertier, Benua Amerika bagian

selatan masih terpisah dari bagian utaranya, dan sampai saat itu banyak

terdapat hewan-hewan unik, seperti Marsupialia dan Euteria primitif.

Pada akhir zaman tertier, ketika belahan benua bagian selatan bersatu

dengan bagian utara, terjadi banyak pertukaran fauna. Armadilo dan

Oposum pergi ke bagian utara, sebaliknya banyak kucing dan karnivora

lain pergi ke selatan, dan banyak menyebabkan hewan asli Amerika

Selatan mengalami kepunahan. Akan tetapi, perbedaan iklim tampaknya

tidak memungkinkan pertukaran fauna berlanjut terus dan Benua

Amerika bagian selatan tetap merupakan daerah tersendiri yang dihuni

oleh hewan-hewan endemik, seperti Ilama, kera berekor prehensil,

kukang, tapir, pemakan semut, dan sejenis burung betet yang tidak

ditemukan di daerah lain. Saat sekarang, tidak kurang dari 41 famili

hewan mamalia yang hidup dan berkembang di kawasan ini.

c. Kawasan Paleartika; Kawasan ini mencakup sebagian besar benua

Eropa, Asia, dan ujung utara benua Afrika. Umumnya, kawasan ini

beriklim ugahari (temparate). Jumlah famili dari kelas hewan mamalia di

kawasan ini adalah ± 33, lebih sedikit dibandingkan yang terdapat di

kawasan lain, termasuk keluarga hewan campuran asal kawasan

Neartika, Ethiopia, dan Oriental. Keluarga rusa (Cervidae) dan sapi

(Bovidae) yang terdapat di kawasan ini juga merupakan anggota

keluarga dari yang terdapat di kawasan Neartika, Neotropoka, dan

Oriental. Kemungkinan hanya 2 famili mamalia yang merupakan hewan

Page 17: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.17

asli kawasan ini dan tidak ditemukan di kawasan lain, yaitu famili

Splacidae dan Seleviniidae (keduanya merupakan sejenis tikus).

d. Kawasan Ethiopia (Afrika); Kawasan ini mencakup sebagian besar

benua Afrika, Madagaskar, dan ujung barat daya Arabia. Bagian terbesar

kawasan ini beriklim tropis, tetapi ujung selatan Afrika beriklim ugahari

panas (warm temperate). Penghuni kawasan ini yang amat mencolok

adalah mamalia bertubuh besar, terutama yang termasuk hewan-hewan

ungulata (hewan berteracak), termasuk ordo Proboscidae (gajah), ordo

Perrisodactyla (ungulata berteracak tunggal, seperti Zebra), dan ordo

Artiodactyla (ungulata berteracak genap). Terdapat 5 famili endemik dari

ordo Artiodactyla ini, yaitu, yang termasuk (1) famili Suidae: babi hutan

besar, (2) famili Giraffidae : jerapah, (3) famili Hippopotamidae (kuda

nil), (4) famili Tragulidae, dan (5) famili Bovidae di antaranya adalah

kerbau Afrika, Blue and Black wildebeest, Blasbok, Impala, dan masih

banyak lagi (> 60 spesies) (Leuthold, 1977). Di samping itu, beberapa

famili yang termasuk dalam ordo karnivora merupakan hewan-hewan

pemangsa, di antaranya adalah singa, cheetah, dan leopard. chimpanzee

dan gorila adalah termasuk ordo primata yang juga merupakan hewan

endemik benua Afrika.

e. Kawasan Oriental (India Dan Asia Tenggara, Termasuk Indonesia);

Kawasan ini mencakup banyak daerah beriklim tropis Asia, termasuk

India, Indochina, bagian selatan China, Malaya, Sumatera, Jawa,

Kalimantan, dan pulau-pulau Filipina. Bentangan Pegunungan Himalaya

menjadi batas di bagian utara Kawasan Oriental; sedangkan Samudera

Hindia dan Pasifik menjadi batas di kedua sisi, akan tetapi sulit membuat

batas di bagian timur laut kawasan ini. Hewan-hewan yang terdapat di

Kawasan Oriental sangat berbeda dari yang menghuni Kawasan

Australia. Garis batas imajiner pertama digambarkan oleh Wallace

(1860) dan sering disebut sebagai Garis Wallace. Garis ini memberikan

petunjuk bahwa fauna penghuni pulau-pulau di bagian barat Indonesia

berbeda (termasuk kawasan Oriental) dari fauna penghuni pulau-pulau di

bagian timur Indonesia (termasuk Kawasan Australia: mulai dari Pulau

Sulawesi sampai Irian-Papua). Perbedaan tersebut terutama terlihat pada

bangsa-bangsa burung.

f. Kawasan Australia Dan Pulau Di Sekitarnya; Kawasan ini mencakup

Benua Australia keseluruhan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, New

Guinea (Papua), Tasmania, dan beberapa pulau kecil yang termasuk

Page 18: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.18 Lingkungan Ternak

wilayah Indonesia. Bagian dalam Benua Australia merupakan daerah

kering (padang pasir), dan ini merupakan bagian terbesar dari Kawasan

Australia. Sementara Tasmania beriklim ugahari dingin. Hewan utama

penghuni Kawasan Australia ini adalah termasuk dalam Ordo

Marsupialia (mamalia berkantung). Beberapa di antaranya juga termasuk

dalam Ordo Carnivora (pemakan daging) dan Insectivora (pemakan

serangga), yaitu Famili Dasyuridae dari yang bertubuh kecil:

Sminthopsis, sampai yang bertubuh besar: Tasmanian Devil (Sarcophilus

sp.), Serigala marsupial (Thylacinus sp.), dan kucing marsupial besar

(Dasyurus sp.), dan marsupial pemakan semut (anteater), Myrmecobius

sp. Marsupial pemakan serangga lainnya adalah yang termasuk dalam

Famili Paramelidae (memiliki ukuran tubuh yang besar). Famili lainnya

dari Ordo Marsupialia asal Australia ini termasuk Famili Phalangeridae

(seperti Phascolarctus sp. atau Koala atau Teddy Bear, Petaurus sp.,

atau flying phalanger), Famili Phascolomyidae dan Macropodidae dari

yang memiliki ukuran tubuh kecil (Wallabi), bertubuh sedang (Wallaros)

sampai yang bertubuh besar (kangaroo). Ketiga famili tersebut terakhir

merupakan hewan-hewan herbivora. Di samping marsupialia, kawasan

ini secara endemik dihuni pula oleh Ordo Monotremata (egg-laying

mammal atau mamalia bertelur), di antaranya yang termasuk dalam

Famili Tachiglossidae (mamalia pemakan semut) dan

Ornithorhynchidae (platypus atau sosor bebek). Beberapa bangsa

kelelawar (mamalia berplasenta) juga merupakan penghuni endemik di

Kawasan Australia. Penghuni pendatang yang kini hidup secara liar

adalah Famili Leporidae (kelinci), Muridae (tikus), dan Canidae (dingo,

hampir mengalami kepunahan).

Indonesia termasuk dalam Kawasan Oriental yang terbentang sepanjang

± 6000 Km dari ujung Barat sampai di ujung timur, yang merupakan daerah

yang beriklim tropis, dan dihuni oleh banyak jenis mamalia dan jenis burung.

2. Zoogeografi Indonesia dan Garis Wallace

Di Indonesia, nama Charles Darwin tidak asing di telinga sebagai

seorang yang merumuskan Teori Evolusi melalui seleksi alamnya, bahkan

memakai namanya – Darwin. Dibandingkan dengan Darwin, nama Wallace

yang bernama lengkap Alfred Russel Wallace (1858) kurang dikenal, padahal

Page 19: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.19

dari hasil penelusuran beberapa sumber menunjukkan bahwa keduanya

memiliki gagasan yang kurang-lebih sama.

Sebuah surat dari Wallace yang berisi sebuah Naskah yang dikirimkan

dari Indonesia kepada Darwin, telah mendorong menuliskan gagasannya;

Dari Naskah yang ada itu, jelas bahwa Wallace dan Darwin sampai pada

kesimpulan yang kurang lebih sama. Keduanya mendapat semangat dari

tempat yang berbeda yang mereka lihat selama perjalanannya keliling dunia,

tetapi interpretasi pengamatan mereka tidak sesuai dengan kepercayaan di

dunia Barat tentang penciptaan dunia. Wallace, khususnya, sangat terpesona

dalam kunjungannya di Sulawesi, dan naskah pertama yang ia kirimkan

kepada Darwin ditulisnya di Ternate setelah meninggalkan Manado. Gagasan

kedua orang ini pada dasarnya adalah tentang agihan (wilayah penyebaran)

dan Evolusi (terutama) jenis hewan.

Bila Darwin memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan berasal

dari keluarga yang kaya, Wallace meninggalkan sekolahnya pada usia 14

tahun di tahun 1837, dan memperoleh penghasilan dari mengumpulkan

hewan (specimen) dari banyak tempat jauh yang dikunjunginya, untuk dijual

ke museum-museum. Selama 8 tahun Wallace menghabiskan waktu

perjalanannya di Serawak dan Indonesia (dari Sumatera sampai Irian), dan

laporan perjalanannya sejauh 22.000 Km sampai saat ini menjadi bacaan

yang menarik sekali, terutama bagi orang yang berminat mempelajari

zoogeografi – kelimpahan satwa asli Indonesia – Lingkungan Ternak

(Wallace, 1869 – The Malay Archipelago, The Land of Orang Utan and The

Bird of Paradise).

Wallace mengemukakan pandangannya bahwa berdasarkan agihan

fauna, terutama jenis-jenis burung, kepulauan Indonesia dapat dibagi menjadi

2 bagian, yaitu bagian Barat dan bagian Timur, dan menetapkan batas-

batasnya, yaitu:

a. antara pulau Lombok dan pulau Bali,

b. antara pulau Kalimantan dan pulau Sulawesi.

Dalam hasil pengamatannya, ia terpesona mengamati mengapa burung-

burung penghuni Pulau Kalimantan dan Sulawesi demikian berbeda, padahal

kedua pulau besar itu tidak terpisahkan oleh perintang fisik dan iklim yang

berarti. Ia meyakini bahwa pulau Kalimantan bersama-sama dengan pulau

Jawa dan pulau Sumatera merupakan bagian dari Asia – Kawasan Oriental;

sedangkan pulau Timor, Maluku, Irian, dan Sulawesi termasuk kawasan

Page 20: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.20 Lingkungan Ternak

Australia. Fauna di pulau Sulawesi tampak demikian khas sehingga terdapat

dugaan bahwa pada ribuan tahun yang lalu, pulau Sulawesi pernah menjadi

bagian dari benua Asia maupun benua Australia (Wallace, 1859);

Berdasarkan hasil pengamatannya ini, Wallace menarik Garis Imajiner mulai

dari sebelah timur Filipina melalui Selat Makassar, dan antara pulau Bali dan

pulau Lombok (Wallace 1863), yang kemudian dikenal sebagai Garis

Wallace.

Pada tahun 1910, tiga tahun sebelum ia meninggal, Wallace menentukan

bahwa keunggulan bentuk-bentuk Asia di Sulawesi dapat dicerminkan

dengan menggeser garis tadi ke sebelah timur Sulawesi; Terdapat beberapa

analisis lain yang telah dilakukan mengenai agihan jenis-jenis hewan lain,

termasuk satwa perairan laut, dan menghasilkan garis yang berbeda-beda

(Simpson, 1977).

Garis Weber berusaha menentukan batas imbangan fauna Asia dan

Australia 50:50; Weber menggunakan dasar agihan aves dan mamalia dalam

analisisnya. Agihan reptilia dan kupu-kupu Asia lebih jauh ke arah timur dari

pada aves.

Garis Lydekker menentukan batas barat fauna Australia yang

sesungguhnya dengan cara yang hampir sama seperti garis Wallace dalam

menentukan batas timur fauna Asia. Kedua garis ini secara efektif mengikuti

kontur (garis kedalaman) laut 180-200 m sekitar Paparan Sahul dan

Paparan Sunda. Wilayah antara kedua garis ini diusulkan sebagai daerah

peralihan, dan dinamakan Wallacea; pertama-tama usulan ini dikecam keras

karena tidak dihuni oleh fauna yang homogen dan melintasi wilayah itu

secara berangsur-angsur terdapat perubahan komposisi fauna, bahkan

terdapat jenis-jenis satwa endemik (Simpson, 1977). Sampai saat ini, nama

Wallacea dapat dipertahankan, tetapi lebih untuk memisahkan zona Oriental

dan Zona Australia daripada sebagai nama zona zoogeografi tersendiri.

Sejalan dengan zoogeografi yang dirintis oleh Wallace, Veevers-Carter

(1978) membagi Indonesia atas 3 zona zoogeografis berdasarkan hewan

mamalia penghuni di ketiga zona, yaitu:

ZONA 1: Zona Indo-Malaya meliputi pulau-pulau yang pada waktu

sebelumnya diperkirakan pernah bersatu dengan benua Asia

karena adanya daratan Sunda, meliputi: Sumatera, Jawa,

Kalimantan, dan pulau-pulau kecil sekitarnya, termasuk Bali.

ZONA 2: Zona Peralihan merupakan daerah di mana terjadi percampuran

antar hewan-hewan di Zona Indo-Malaya dengan yang hidup di

Page 21: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.21

Zona Australia sehingga banyak di antaranya merupakan hewan

endemik (seperti yang terdapat di Pulau Sulawesi: Anoa, Babi

rusa, kera Sulawesi, kuskus dsb.). Termasuk dalam zona ini

adalah P. Sulawesi, Maluku, Seram dan pulau-pulau Nusa Kecil

mulai dari Lombok sampai Timor.

ZONA 3: Zona Australia meliputi daerah-daerah Kepulauan Kai, Aru,

dan Papua. Hewan-hewan (aves dan mamalia) penghuni zona ini

memiliki banyak kesamaan dengan hewan-hewan penghuni

Benua Australia dan tidak ada lagi hewan dari Zona Indo-

Malaya. Penghuni khas Zona Australia ini terutama mamalia-

marsupialia (mamalia berkantung), dan mamalia monotremata

(mamalia bertelur).

Satwa mamalia yang hidup di Zona 1 (Zona Indo-Malaya) mencakup

jenis:

a. Satwa Primata, di antaranya Mawas atau Orang Hutan (Pongo

pygmeaus), Siamang (Symphalangus syndactylus), Bekantan atau kera

hidung panjang (Nasalis larvatus), dan Kukang (Nycticebus coucang).

b. Satwa Karnivora, seperti Harimau (Panthera tigris), Macan tutul

(Panthera pardus), Kucing Bakau (Felis viverrina), Binturong – sejenis

musang (Arcticus binturong), Musang Tenggalong (Viverra tangalunga),

dan Beruang madu (Helarctos malayanus).

c. Satwa Proboscidae atau binatang berbelalai – Gajah Sumatera (Elephas

maximus sumateranus).

d. Satwa Perisssodactyla – binatang berkuku ganjil, – Badak (Rhinoceros

sondaicus), Tapir.

e. Satwa Artiodactyla atau binatang berkuku genap – Babi hutan (Sus

scrofa), Babi janggut (Sus barbatus), Rusa sambar (Cervus unicolor),

Kancil (Tragalus javanicus), dan Banteng (Bos javanicus).

f. Satwa Logomorpha atau jenis kelinci – Arnab Sumatera (Nesolagus

netscheri).

Kelimpahan keragaman satwa mamalia yang hidup di Zona 2 (Zona

Peralihan) tidak sebanyak yang hidup di Zona 1; di antaranya yang menjadi

satwa mamalia endemik adalah:

a. Satwa Artiodactyla – Rusa Timor (Cervus timorensis), Babi rusa

(Babyrousa babirussa), dan Anoa (Bubalus depressicornis);

Page 22: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.22 Lingkungan Ternak

b. Satwa Primata – Kera hitam Yaki (Macaca nigra);

c. Satwa Marsupialia – satwa mamalia berkantung – Walabi semak

(Thylogale bruijni)

d. Satwa Monotremata atau mamalia bertelur – Nokdiak moncong panjang

(Zaglossus bruijni).

Satwa mamalia yang hidup di Zona 3 (Zona Australia) hampir tidak ada

lagi mamalia dari Zona Indo-Malaya dan sebagai penggantinya adalah satwa

marsupialia atau mamalia berkantung. Kelimpahan satwa ini terutama

ditemukan di Papua, New Guinea, Australia dan pulau-pulau sekitarnya.

Gambar 1.4 (1) Zona Indo-Malaya; (2) Zona Peralihan; (3) Zona Australia

Sesuai dengan namanya, karakteristik yang paling menarik dari Satwa

Marsupialia adalah caranya berkembang biak. Berbeda dari mamalia

plasentalia (kebanyakan dari mamalia di Zona1), anaknya hanya sebentar saja

tinggal dalam rahim induk; sekalipun lahir sangat lemah, kecil dan hampir

menyerupai ulat, dengan instingnya anak yang lahir itu merayap memasuki

kantung atau marsupium di bagian depan perut induknya. Kantung ini

semacam lipatan kulit yang menutupi puting susu; Sambil berkembang, anak

itu menempel pada puting susu selama beberapa minggu, di samping

berfungsi juga sebagai sarang yang aman, hangat, dan dapat berpindah-

Page 23: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.23

pindah sekalipun sebenarnya anak-anak tersebut dapat keluar dari kantung

dan berjalan sendiri.

Banyak satwa marsupialia di Zona 3 ini telah mengalami evolusi; Seperti

mamalia berplasenta, terdapat marsupialia pemakan serangga, pemakan

tanaman, dan pemakan daging; dan berdasarkan ukuran tubuhnya ada

kelompok tikus berkantung, kucing berkantung, bajing berkantung, dan

beruang berkantung. Kelompok Satwa mamalia berkantung ini juga ada yang

hidup di pohon-pohon, di tanah, di bawah tanah dan air, akan tetapi

tampaknya sulit hidup berdampingan dengan satwa mamalia berplasenta.

1) Jelaskan tentang teori Permanence Continents!

2) Jelaskan tentang daerah Holartik dan binatang khas penghuninya!

3) Jelaskan tentang Garis Wallace!

Petunjuk Jawaban Latihan

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, bacalah dengan teliti

penjelasan tentang:

1) Asal muasal kehidupan vertebrata purba.

2) Zoogeografi dunia.

3) Zoogeografi dunia.

4) Zoogeografi Indonesia dan Garis Wallace.

1. Sesuai bukti paleontologi kehidupan moyang ternak vertebrata

purba bermula dari lingkungan perairan laut, yang kemudian

bermigrasi ke daerah lingkungan payau, perairan air tawar, menuju

daerah terestrial (daratan) melalui serangkaian mekanisme adaptif.

2. Terdapat tiga habitat hidup organisme yaitu habitat perairan laut,

perairan tawar, dan terestrial. Sifat pokok dari tiga habitat yang

RANGKUMAN

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

Page 24: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.24 Lingkungan Ternak

dapat menentukan organisme hidup di dalamnya adalah: (a) Massa,

(b) Panas Jenis, (c) Viskositas, dan (d) sifat-sifat fisikokimiawi.

3. Kehidupan di lingkungan perairan sangat bervariasi tergantung pada

susunan yang terdapat dalam padatan di lingkungan tersebut.

4. Kehidupan di lingkungan terestrial memiliki prasyarat mutlak yaitu

kemampuan sistem respirasi memanfaatkan oksigen langsung dari

udara dan kemampuan mengatasi kehilangan air terutama melalui

evaporasi karena kandungan air yang rendah di atmosfer.

5. Zoogeografi ilmu yang mempelajari tentang distribusi dan

pergerakan hewan-hewan yang berlangsung secara alami dalam

kurun waktu evolusi yaitu ribuan sampai jutaan tahun.

a. Sclater membagi daratan bumi menjadi 6 daerah berdasarkan

distribusi bangsa burung yang disebut dengan teori Center of

Creation (Pusat Penciptaan atau Pusat Asal Usul) yang

dikonfirmasi oleh Alfred Russel Wallace dengan berdasarkan

pada distribusi burung (Aves) dan binatang menyusui

(Mamalia).

b. Charles Lyell mengemukakan teori tentang Permanence of

Continents (Kekekalan Benua-benua).

c. Teori Drifting Continent (Pemisahan Benua) menyatakan

daratan yang ada sekarang merupakan satu massa daratan besar

(Pangea) dan kemudian dibagi menjadi dua yaitu Laurasia

(Holartik) di bagian Utara dan Gondwana di bagian Selatan.

d. Daerah Laurasia (Holartik) dibagi menjadi kawasan Neartika

(iklim ugahari atau warm temperate), Neotropika (iklim tropis),

Paleartika (iklim ugahari/temperate), Ethiopia/Afrika (berikilim

tropis dan ugahari), Oriental (India dan Asia Tenggara), dan

Kawasan Australia dan pulau di sekitarnya (iklim ugahari).

6. Zoogeografi Indonesia, berdasarkan wilayah penyebaran (agihan)

fauna terutama burung Indonesia dibagi menjadi dua yaitu (1)

Antara pulau Lombok dan Pulau Bali, dan (2) antara pulau

Kalimantan dan pulau Sulawesi. Dari perbedaan yang ada Wallace

menarik garis imajiner yang disebut dengan Garis Wallace.

7. Pada zoogeografi Indonesia terdapat juga Garis Weber, Garis

Lydekker, dan daerah peralihan yang disebut Wallacea. Sedangkan

Veevers-Carter membagi Indonesia menjadi 3 zona geografis yaitu

Zona Indo-Malaya, Zona Peralihan dan Zona Australia.

Page 25: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.25

1) Yang tidak merupakan penyebab perbedaan karakteristik hewan di

perairan adalah ....

A. Kadar garam

B. Nilai osmotic

C. Kadar padatan terlarut

D. Kadar asam amino

2) Teori penyebaran hewan berdasarkan Permanence of Continents

bertentangan dengan Drifting Continent. Teori ini dikemukakan oleh ....

A. Harles Darwin dan Charles Lyell

B. Charles Lyell dan Alfred Wegener

C. Alfred Wegener dan Sclater

D. Charles Darwin dan Sclater

3) Batas imbangan fauna Asia dan Australia yang menggunakan garis

kedalaman laut di sekitar paparan Sahul dan paparan Sunda disebut garis

A. Wallace

B. Weber

C. Lydekker

D. Veevers - Carter

Jawablah soal dibawah ini dengan memilih:

A. Bila jawaban 1 dan 2 benar

B. Bila jawaban 1 dan 3 benar

C. Bila jawaban 2 dan 3 benar

D. Bila jawaban 1, 2, dan 3 benar

4) Kemunculan ikan perairan air tawar yang pertama diperkirakan berasal

dari ...

1. Moyang Agnatha

2. Ikan tak berahang dari perairan laut

3. Ikan yang berasal dari perairan laut

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 26: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.26 Lingkungan Ternak

5) Sifat habitat yang sangat berpengaruh terhadap organisme yang hidup di

suatu daerah adalah ...

1. Massa

2. Panas jenis

3. Viskositas

6) Sesuai dengan bukti paleontologi yang diduga sebagai nenek moyang

hewan terestial bertulang belakang adalah ...

1. Lungfish

2. Bichir

3. Crossopterygian

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang

terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.

Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan

Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat

meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,

Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang

belum dikuasai.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 27: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.27

Kegiatan Belajar 2

Satwa dan Ternak Di Indonesia

A. SATWA DI INDONESIA

Pada Kegiatan Belajar 2 – Modul 1 ini akan diuraikan tentang Satwa dan

Ternak di Indonesia mencakup sejarah, pemanfaatan dan potensi satwa dan

ternak di Indonesia.

1. Sejarah dan Pemanfaatan Satwa

Dua pertanyaan sederhana berikut ini mengajak Anda untuk berpikir

tentang keadaan fauna Indonesia. Pertanyaan pertama: Mengapa tidak

terdapat Anoa pada hutan-hutan di Pulau Jawa? Pertanyaan kedua: Mengapa

tidak terdapat badak di Sulawesi? Dengan perkataan lain, mengapa terdapat

wilayah-wilayah di bumi ini yang dihuni oleh biota yang berbeda-beda?

Kunci dari serangkaian jawaban pertanyaan itu terletak pada geologi dan

iklim di bumi kita yang terus berubah. Ternyata, dalam kurun waktu jutaan

tahun sampai saat ini, sebaran maupun letak daratan dan lautan selalu

mengalami pergeseran dan pergerakan. Hal tersebut berdampak pada iklim

yang juga turut berubah-ubah. Sebagai gambaran, di zaman Pleistosen atau

sekitar 100.000 sampai 1.5 juta tahun yang lalu, suhu bumi telah mengalami

perubahan sebanyak 20 kali. Di saat suhu global turun drastis, es menutupi

hampir seluruh permukaan bumi dan membekukan air laut sehingga

permukaan air laut di daerah tropis jauh lebih rendah dari permukaan pada

masa sekarang. Pada zaman es terakhir di masa Pleistosen, sekitar 18.000

tahun yang lalu, permukaan air laut di daerah tropis turun hingga mencapai

120 meter. Hal itu menyebabkan dasar laut dangkal terpapar dan berfungsi

sebagai jembatan darat (land bridge) yang memungkinkan berlangsungnya

percampuran antara fauna khas Asia dan fauna khas Australia di Kepulauan

Indonesia.

Sebagai contoh, dipostulasikan bahwa pada masa ini, suatu jenis babi

yang khas Asia telah mencapai Sulawesi melalui Kalimantan dan akhirnya

berevolusi sebagai apa yang kita kenal sebagai Babirusa, yang merupakan

satwa endemik Sulawesi.

Petunjuk lain berasal dari pendekatan paleontologi. Sebagai contoh, di

Sulawesi Selatan telah ditemukan empat mamalia Asia yang kini telah punah,

Page 28: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.28 Lingkungan Ternak

yaitu tiga spesies gajah (Stegodon Triginicephalus yang berukuran besar,

Stegodon Sompoensis, dan Elephas Celebensis yang berukuran kecil) serta

satu spesies babi berukuran raksasa (Celebochoerus Heekerenii).

Kesemuanya diperkirakan hidup pada masa Holosin, namun hal (tentang

masa hidup keempat mamalia) ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang

masih berlangsung hingga sekarang.

Sejarah pemanfaatan satwa di Indonesia diperkirakan mengikuti proses

domestikasi beberapa spesies mamalia dan unggas yang bermula di Eurasia,

sekitar perbatasan Eropa bagian tenggara dan Asia barat, sekitar 10.000

sampai 15.000 tahun yang lalu. Menurut catatan satwa yang didomestikasi

pertama kali adalah kelompok ruminansia (kambing, domba, dan sapi), yang

kemudian diikuti dengan babi dan kuda. Sementara itu, unggas dilaporkan

baru didomestikasi masyarakat di China pada sekitar 3.400 tahun yang lalu.

Pada saat masyarakat purba itu bermigrasi ke berbagai penjuru bumi, mereka

membawa serta satwa dan teknik domestikasi untuk dicobakan di tempat

yang baru. Tidak semua satwa dapat didomestikasi untuk menyuplai

kebutuhan protein manusia. Dari 148 herbivora dan omnivora yang ada di

dunia, hanya sekitar 14 spesies yang telah didomestikasi dengan 5 spesies

mendominasi kegiatan ekonomi global, yaitu kuda, sapi, domba, kambing,

dan babi. Meskipun memang tidak semua satwa dapat didomestikasi untuk

menyuplai kebutuhan pangan protein manusia, pemetaan potensi satwa yang

berkerabat dengan ternak seharusnya tetap menjadi upaya strategis untuk

mengantisipasi kebutuhan protein yang semakin meningkat. Upaya pemetaan

potensi satwa liar juga diperlukan untuk mengetahui sumber plasma nutfah

yang dapat digunakan untuk memperkaya ragam genetika ternak dan menjadi

modal dasar pemanfaatan berkelanjutan satwa-satwa tersebut. Sebagai salah

satu pusat keanekaragaman hayati dunia, Indonesia seharusnya juga menjadi

pusat inovasi pemanfaatan dan pelestarian satwa.

Manfaat satwa dapat dikategorikan ke dalam beberapa bentuk dan

fungsi, tetapi sering kali melihat satwa hanya bagi kepentingan manusia.

Kategori yang umum adalah satwa untuk pangan, obat-obatan, wisata

hidupan liar, layanan ekosistem seperti penyerbukan, ornamental, dan

lainnya. Satwa sebagai sumber pangan umumnya untuk sumber protein

hewani. Satwa yang sering menjadi bahan sumber protein hewani berasal dari

kelas avertebrata (tripang, moluska, serangga, dan lainnya), dan vertebrata

(ikan, amfibia, reptil, burung, dan mamalia).

Page 29: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.29

Pemanfaatan satwa avertebrata sudah berkembang dengan

membudidayakan berbagai jenis moluska. Satwa vertebrata, sebaliknya sudah

banyak didomestikasi menjadi satwa sumber protein. Khusus budi daya ikan,

bandeng, ternyata sejak Kerajaan Majapahit kita telah berhasil

membudidayakannya. Hanya setelah itu, dari lebih seribu spesies ikan, hanya

sedikit sekali spesies lokal yang berhasil dibudidayakan. Banyak ikan

konsumsi kita berasal dari luar Indonesia, seperti ikan Mujair (Oreochromis

Mossambicus) dan Nila (Oreochromis Niloticus) dari Afrika, ikan Gurame

(Osphronemus gouramy), ikan Mas (Cyprinus carpio), ikan Tambakan

(Helostoma teminckii) dari daratan Asia, bahkan ikan lele pun yang populer

adalah lele dari Thailand. Dari 6 jenis lele (Claris spp), yang ada di

Indonesia, sekarang berada dalam keadaan yang sulit berkembang karena

kalah dalam kompetisi makan dengan lele impor.

Kita sangat beruntung mempunyai cukup banyak jenis dan galur ayam,

itik, dan burung lainnya dari hutan dan yang dibudidayakan oleh masyarakat

baik sebagai sumber protein, peliharaan, ataupun untuk ornamental/hiasan

rumah dan berbagai acara adat – kearifan lokal (local wisdom). Begitu juga

kambing, khusus kambing hutan Sumatra (Capricornis sumatraensis), kita

belum pernah mencoba untuk membudidayakannya. Namun masyarakat kita

sudah berhasil mendomestikasi satwa banteng (Bos javanicus) menjadi sapi

Bali.

Pada tahun 1950‐1970-an, Indonesia merupakan negara yang mampu

mengekspor sapi potong ke Singapura dan Hong Kong, bahkan sampai ke

negeri Cina. Sapi yang diekspor adalah sapi Bali atau sapi lokal lainnya

dalam kondisi hidup dengan bobot badan cukup bagus. Sejak tahun 1990-an

Indonesia justru menjadi importir sapi; hal ini disebabkan karena kebutuhan

daging sapi di Indonesia pada tahun 1970-an kecil sehingga Indonesia dapat

mencukupi kebutuhan pasar domestik dan bahkan mampu mengekspor.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan perkembangan

ekonomi, permintaan daging sapi terus meningkat, namun tidak dapat

dibarengi dengan peningkatan produksi daging di dalam negeri yang

memadai. Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 ketergantungan Indonesia

pada impor daging dapat mencapai 70%. Hal ini terjadi karena

kecenderungan permintaan daging yang terus meningkat, dan diperkirakan

pada tahun 2020 akan melonjak tiga kali lipat dibanding rata‐rata konsumsi

tahun 2000.

Page 30: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.30 Lingkungan Ternak

Ternak kerbau yang ada di Indonesia berasal dari kerbau liar atau kerbau

domestikasi yang berasal dari spesies Bubalis bubalis. Ada 2 kerbau

domestikasi, yaitu kerbau sungai dan kerbau rawa atau kerbau lumpur.

Kerbau kalang dari Kalimantan dan kerbau belang dari Toraja merupakan

keturunan dari dua kerbau domestikasi itu dan termasuk kerbau rawa.

Sementara itu, kerbau liar lainnya adalah anoa pegunungan (Bubalis quarlesi)

dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis).

Terdapat beberapa rumpun kambing di Indonesia; kambing Kacang yang

merupakan kambing asli Indonesia; sedangkan kambing Etawa sudah lama

dikenal di negeri ini. Kambing Gembrong (asal Karang Asem Bali) dan

kambing Kosta (kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing

Kasmir di Serang Banten). Kambing dimanfaatkan terutama sebagai

penghasil bahan pangan sumber protein hewani, penghasil daging, dan susu.

Sumber protein hewani lainnya adalah domba; dikenal ada domba Ekor

Tipis (DET) dan domba Ekor Gemuk (DEG). Di samping penghasil daging,

domba dan kambing juga menghasilkan bahan baku untuk kerajinan kulit

(jaket, sepatu dll.); di Jawa Barat, khususnya Garut, budaya seni adu domba

merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang masih dipertahankan

sampai saat ini.

Babi yang dimanfaatkan di Indonesia terdiri atas beberapa spesies

dengan daerah persebaran berbeda. Babi yang dikembangkan di Indonesia

sebagai penghasil daging adalah babi impor, seperti babi rumpun Landrace,

Large White, Duroc, dan Berkshire yang berasal dari Sus scrofa. Sementara

itu, babi di Indonesia adalah Babi Bali, Nias, Tangerang Jambi, Babi hutan,

Batak, Sulawesi, dan Babirusa.

Di Indonesia, ayam adalah sumber lain penghasil bahan pangan sumber

protein hewani (daging dan telur) yang lebih umum dimanfaatkan

masyarakat, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Indonesia mempunyai

ayam lokal, yaitu ayam Hutan Merah (Gallus gallus). Tidak kurang dari 31

rumpun ayam lokal Indonesia hasil domestikasi, yang disebut ayam Buras,

singkatan ayam bukan ras. Di samping pemanfaatannya sebagai ayam

pedaging dan ayam petelur, ayam buras juga dibudidayakan karena

keindahan suaranya; ayam Pelung, ayam Bekisar, ayam Gaok, dan ayam

Ketawa. Untuk persembahan dalam upacara adat yang digunakan adalah

ayam Cemani, ayam Kedu Hitam, ayam Kedu Putih; ayam hias

dibudidayakan karena keindahan warnanya, seperti ayam Kapas, ayam

Page 31: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.31

Mutiara; sedangkan contoh ayam aduan adalah ayam Bali, ayam Bangkok,

dan lain-lain.

Jika pemanfaatan dan pengelolaan kelimpahan keanekaragaman satwa

dilakukan secara bijak dengan menerapkan prinsip-prinsip pemanfaatan

berkelanjutan, kekayaan hayati Indonesia merupakan modal pembangunan

untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, keterbatasan informasi

tentang potensi ekonomi keragaman hayati menyebabkan hanya sebagian

kecil saja spesies tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan masyarakat. Hal

itu menjadikan spesies-spesies yang sudah diketahui manfaatnya sebagai

target eksploitasi berlebih, sementara sebagian besar spesies lainnya

dianggap tidak mempunyai nilai ekonomi sehingga terabaikan dalam

kebijakan pengelolaan sumber daya alam hayati.

Manfaat lain yang sangat penting dari satwa liar adalah wisata alam atau

lebih spesifik lagi adalah wisata hidupan liar. Wisata hidupan liar saat ini

sangat populer di dunia. Pada dasarnya kegiatan wisata ini adalah menikmati

alam secara non-konsumtif melalui kegiatan seperti berjalan kaki, menyelam,

fotografi, mengamati ikan paus, burung, dan lainnya. Nilai moneter kegiatan

tersebut sering kali disebut dengan nilai amenitas dan berjumlah cukup besar.

Sebagai contoh, 84% penduduk Kanada ternyata melakukan kegiatan wisata

yang berhubungan dengan alam dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Banyak sekali yang mengelompokkan jenis wisata seperti Ekowisata

alami (wildlife tourism). Ekowisata demikian adalah wisata untuk melihat

kehidupan alami dari flora dan fauna-satwa, baik perilaku, habitat, maupun

populasinya. Ekowisata merupakan industri yang populer di negara

berkembang di seluruh dunia. Wisatawan mendatangi negara-negara tropis

dan membelanjakan uangnya untuk melihat keanekaragaman hayati dan

spesies tertentu (flagship species). Dengan membebankan karcis masuk yang

tinggi, Rwanda mengembangkan pariwisata yang mengeksploitasi gorila,

yang merupakan sumber devisa ketiga bagi negara tersebut.

Ekowisata di kehidupan alami merupakan industri kunci di negara-

negara Afrika Timur seperti Kenya dan Tanzania dan berkembang pesat di

negara-negara Amerika dan Asia. Pada awal tahun 1970-an, nilai seekor

singa di Taman Nasional Emboseli sebesar US$ 27.000 per ekor dan gajah

US$ 610.000 per ekor. Nilai tersebut tentunya menjadi lebih tinggi lagi pada

saat sekarang. Di Indonesia, ekowisata demikian belum berkembang,

walaupun saat ini sangat populer turis untuk melihat komodo, orangutan,

gajah, harimau, dan satwa karismatik lainnya. Di laut, banyak turis melihat

Page 32: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.32 Lingkungan Ternak

biota laut mulai dari terumbu karang, berbagai jenis ikan, penyu, ular laut

sampai mamalia seperti lumba-lumba dan paus.

Menyadari potensi keanekaragaman fauna yang sangat besar di

Indonesia, walaupun dibalik itu terjadi penyusutan keanekaragaman yang

sangat tinggi di semua tingkatan taksa flora maupun fauna, maka masalah

yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita memprioritaskan komponen

dasar dari upaya konservasi yang terintegrasi, yaitu penelitian,

pemanfaatan, dan pelestarian. Bagaimana hubungan ketiga komponen itu

dan juga potensi keanekaragaman hayati Indonesia perlu menjadi perhatian.

a. Tampaknya kekurangan yang mencolok dari hasil riset mengenai

keanekaragaman hayati adalah kurang teridentifikasinya potensi, baik

ekonomi maupun sosiokultural sehingga yang diperlukan bukan hanya

inventarisasi jenis dan kandungan bahan alamnya tetapi juga bagaimana

pemanfaatannya. Karakterisasi jenis biota perlu dilakukan dengan segera

sebelum terjadi kepunahan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan,

kebakaran hutan, dan perubahan iklim global. Teknik dan kebijakan

mengenai biological prospecting harus direkomendasikan sehingga

upaya pencarian materi genetika dari jenis biota untuk pemanfaatannya

tidak merusak dan tidak menjadi bumerang di masa depan.

b. Penelitian keanekaragaman hayati yang sudah menjadi komoditas

pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, kesehatan, industri, dan

lainnya perlu lebih diprioritaskan dan ditingkatkan. Selain itu,

penangkaran spesies yang mempunyai potensi pertanian harus digali

lebih jauh dengan teknik rekayasa lanjut.

c. Domestikasi biota Indonesia baik melalui cara-cara tradisional oleh

masyarakat maupun yang lebih canggih, seperti genetika molekuler dan

teknik propagasi modern, perlu ditingkatkan, khususnya teknologi yang

berhubungan dengan propagasi/reproduksi, teknologi rekayasa, teknologi

panen, teknologi pascapanen, teknologi konservasi, dan teknologi

industri.

d. Oleh karena potensi lahan, status keanekaragaman hayati dan ekologi

dari setiap kawasan baik di tingkat provinsi maupun pulau sangat

berbeda, maka pengembangan keanekaragaman hayati tidak seharusnya

seragam untuk setiap daerah, tetapi menyesuaikan dengan keadaan sosio-

ekonomi dan iklim kawasan tersebut.

e. Diharapkan adanya penelitian yang dapat mengungkap daya lentur

ekosistem, resiliensi ekosistem dan spesies sehingga kita dapat

Page 33: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.33

memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkesinambungan, baik

untuk pemanfaatan tidak langsung, seperti jasa ekosistem dan

ekoturisme, maupun pemanfaatan langsung dari alam, seperti

pemanenan.

2. Kelimpahan dan Keanekaragaman Satwa

Sekalipun sejauh ini pengertian Ternak umumnya terbatas pada bangsa

hewan menyusui atau mamalia dan burung atau aves, untuk memahami

kelimpahan dan keanekaragaman fauna Indonesia, Prof. DTH. Sihombing

(2008) dalam Modul Lingkungan Ternak menggunakan istilah Satwa

Harapan sebagai ungkapan sementara untuk spesies-spesies fauna yang

diprediksi memiliki potensi manfaat dan nilai ekonomi, namun belum

dibudidayakan atau diternakkan. Fauna-fauna tersebut termasuk ke dalam

kelas-kelas hewan invertebrata (hewan tidak bertulang belakang : Moluska,

Arthropoda, dan Nematoda) dan lima kelas hewan vertebrta (ikan, amfibia,

reptilian, aves, dan mamalia). Mendukung pemikiran tersebut, uraian di

bawah ini diharapkan akan membantu Anda untuk mendapatkan wawasan

tentang kekayaan alam Indonesia, terutama faunanya.

Kelimpahan Keanekaragaman atau Biodiversitas adalah keseluruhan

gen, spesies, dan ekosistem di suatu kawasan (totality of genes, species and

ecosystems in a region) (Behera dan Das 2008). Biodiversitas merupakan

bidang kajian yang sangat menarik karena memiliki banyak aspek kajian.

Dalam diskusi biodiversitas dunia, Indonesia adalah negara yang tidak dapat

ditinggalkan. Indonesia sangat kaya biodiversitas, baik di daratan maupun di

lautan. Selama ini, diskusi mengenai kekayaan biodiversitas umumnya hanya

didasarkan pada spesies daratan. Akan tetapi, dengan semakin banyaknya

penelitian maritim maka biodiversitas di lautan juga mulai terungkap. Hal ini

berdampak pada rangking Indonesia sebagai salah satu negara utama

biodiversitas karena negeri ini adalah negara kepulauan terbesar di dunia

(Schroeder 2011).

Indonesia adalah salah satu dari 17 negara yang disebutkan sebagai

negara mega biodiversitas. Negara-negara tersebut adalah Afrika Selatan,

Amerika Serikat, Australia, Brasil, Cina, Ekuador, Filipina, India, Indonesia,

Kolombia, Kongo, Madagaskar, Malaysia, Meksiko, Papua Nugini, Peru, dan

Venezuela (CI 1997; Mittermeier et al. 2005). Hutan tropis Indonesia beserta

Brazil dan Kongo adalah wilayah dengan kelimpahan keanekaragaman

spesies darat tertinggi di dunia.

Page 34: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.34 Lingkungan Ternak

Negara mega biodiversitas dihuni oleh sedikitnya 2/3 dari semua spesies

vertebrata non-ikan dan 3/4 dari semua spesies tumbuhan tinggi. Konsep

negara megabiodiversitas disusun atas 4 alasan, yaitu:

a. Keanekaragaman hayati setiap negara sangat penting bagi kelangsungan

hidup negara itu, dan harus menjadi komponen dasar setiap strategi

pembangunan nasional atau regional.

b. Keanekaragaman hayati tidak merata di bumi, dan beberapa negara,

terutama di daerah tropis, memiliki konsentrasi biodiversitas yang jauh

lebih besar daripada negara-negara lain.

c. Beberapa negara yang paling kaya spesies dan keanekaragaman hayati

juga memiliki ekosistem yang berada di bawah ancaman paling parah.

d. Untuk mencapai dampak maksimum dari sumber daya yang terbatas ini,

upaya konservasi harus dikonsentrasikan (tapi tidak eksklusif) di negara-

negara yang memiliki tingkat kelimpahan biodiversitas dan endemisme

tinggi namun paling parah kerusakannya.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di kawasan Asia

Tenggara, di antara benua Asia dan Australia, Samudra Pasifik dan Samudra

Hindia. Jumlah pulau yang dimiliki Indonesia mencapai 17.000 buah, 13.466

pulau sudah diberi nama dan 11.000 pulau sudah berpenghuni. Secara

keseluruhan, luas daratan Indonesia mencapai 1.919.440 km2 dan luas

perairan 3.257.483 km2 dengan garis pantai sepanjang 54.716 km

(Bakosurtanal. 2012). Indonesia terletak di antara 6°LU-11°LS dan 95°BT-

141°BT, karena itu Indonesia termasuk daerah tropis. Secara geologis,

Indonesia dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia, yaitu Pegunungan

Mediterania di sebelah Barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di sebelah

Timur. Adanya dua jalur pegunungan tersebut menyebabkan Indonesia

memiliki banyak gunung api yang aktif dan sering disebut sebagai the pacific

ring of fire (Gambar 1.5), serta rawan terjadi gempa bumi. Gunung berapi di

Indonesia dibentuk oleh 3 lempengan tektonik aktif, yaitu lempengan

Eurasia, Pasifik, dan Indo‐Australia.

Page 35: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.35

Sumber: LIPI., KEMEN PPN/BAPENAS., dan KLH, 2014)

Gambar 1.5

Cincin Api (Ring of Fire) – kawasan (garis biru) gempa dan letusan gunung berapi di cekungan Samudra Pasifik (termasuk sepanjang pantai selatan

Indonesia) berbentuk seperti tapal kuda mencakup wilayah sepanjang 40.000 km; disebut juga Sabuk Gempa Pasifik.

Letusan gunung berapi yang sangat dahsyat yang pernah terjadi di

Indonesia adalah Gunung berapi di Toba yang menghasilkan kaldera Danau

Toba yang terjadi 74.000 SM, dan G. Krakatau tahun 1883. Meletusnya G.

Tambora pada tahun 1815 menyebabkan kegagalan panen di Eropa Utara,

Timur Laut Amerika dan Timur Kanada di tahun 1816 yang dikenal dengan

istilah “Year without summer”. Saat ini gunung paling aktif di Indonesia

adalah G. Kelud dan G. Merapi di Pulau Jawa. G. Kelud setidaknya tercatat

sudah lebih dari 30 kali meletus sehingga termasuk tingkat ke-5 dari Indeks

eksplosif gunung berapi (Volcanic Explosivity Index). Sementara itu G.

Merapi telah mengalami erupsi setidaknya 80 kali.

Maryanto (2012) membagi Indonesia menjadi tujuh biogeografi

berdasarkan pengelompokan pulau besar, yaitu Sumatera (1), Jawa dan Bali

(2), Kalimantan (3), Sulawesi (4), Kepulauan Sunda Kecil (lesser sunda

island) (5), Maluku (6), dan Papua (7).

Page 36: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.36 Lingkungan Ternak

Bio-geografi adalah kawasan yang memiliki bentang alam luas serta

kekayaan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) yang tinggi yang

mempengaruhi fungsi ekosistemnya. Menurut Berg dan Rasmann (1977)

biogeografi ditentukan berdasarkan informasi klimatologi, fisiografi,

geografi, flora dan fauna, sejarah alami, dan aspek alami lainnya.

Sumber : KPPN-BAPPENAS, 2016.

Gambar 1.6

Keanekaragaman Fauna Indonesia

Dengan keadaan Indonesia tersebut maka menjadi beralasan bahwa

Indonesia memiliki kelimpahan keanekaragaman hayati tertinggi kedua

setelah Brazil untuk flora maupun fauna darat dan bahkan tertinggi untuk

keanekaragaman hayati lautnya. Kekayaan ini harus dapat dimanfaatkan dan

dikelola dengan optimal sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat,

negara secara khusus, dan dunia secara umum. Hal ini mengingat dampak

yang terjadi di satu negara akan berperilaku seperti efek domino dengan

rentetannya ke seluruh wilayah di dunia, yang umum dikenal sebagai efek

global.

Kelimpahan keanekaragaman fauna Indonesia dibedakan dalam dua

kelompok, yaitu Vertebrata dan Invertebrata. Kelompok hewan dari filum

Vertebrata-Chordata adalah kelas hewan Mamalia, Aves (burung), Reptilia,

Amphibia, dan Ikan; Kelompok hewan dari filum Invertebrate-Chordata

Page 37: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.37

adalah Moluska, Athropoda, Porifera, Cnidaria, Platyhelmintes, Nematoda,

Annelida, dan Echinodermata. Kelompok-kelompok hewan tersebut

didapatkan hidup tersebar di lingkungan perairan laut, perairan tawar,

maupun terestrial.

Tabel 1.2 Perbandingan Keanekaragaman dan Endemisitas Fauna Dunia dan Indonesia

FAUNA DUNIA(1) INDONESIA(1) %

DUNIA ENDEMISITAS

(%)

VERTEBRATA MAMALIA 5.416 720 13 26,6 Burung 10.140 1.605 16 9,1 Reptilia 9.084 723 8 21 Amfibia 6.433 385 6 31,4 +Ikan Perairan Tawar 14.000 2.616 14 -

INVERTEBRATA MOLUSKA

- Gastropoda – Siput 181.525 4.000 2 -

- Bivalvia – Kerang 9.947 1.000 10 -

- Scaphopoda – Siput Gading

- 70 - -

- Cephalopoda – Cumi cumi 952 100 11 -

- Amphineura – Kiton - - - -

ARTHROPODA

- Crustasea – Decapoda Udang Air Tawar Kepiting Air tawar Kepiting Bakau

- Arachinoidea – Octopoda – Laba laba

- Insecta – Hexapoda Apis sp. – Lebah Madu Lepidoptera – Kupu-kupu Collembola – Sebangsa Rayap

66.900 - - -

57.228 - 7

17.775 -

1200 122 120 99

2.489

151.87 6

1.900 461

5 - - - - -

86 11 -

- - - - - - - -

Sumber : KPPN-BAPPENAS, 2016.

Memahami keadaan geografis Indonesia sebagai rangkaian dari ribuan

pulau-pulau yang membentang sepanjang Khatulistiwa, telah menginspirasi

Alfred Russel Wallace, seorang penjelajah Inggris abad ke-18, untuk

mengembangkan teori evolusi bersama Charles Darwin. Jika Darwin

Page 38: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.38 Lingkungan Ternak

memperoleh inspirasinya dari Kepulauan Galapagos di Pasifik, Wallace

mengembangkan gagasan serupa tentang seleksi alam dan pola distribusi

satwa dari penjelajahannya di pulau-pulau Nusantara.

Perbedaan komposisi fauna yang mencolok antara Kalimantan dan

Sulawesi, begitu pula antara Bali dan Lombok, yang dilaporkan Wallace

menjadi titik tolak lahirnya garis biogeografi yang paling dikenal dunia

sampai saat ini. Garis imajiner yang kemudian disebut sebagai Garis Wallace

itu memisahkan fauna Kawasan Sunda (Semenanjung Malaysia, Sumatera,

Jawa, Bali, dan Kalimantan) yang diwakili oleh burung merak, barbet,

kucing besar, badak, kijang, kera, dan bajing pohon, dari fauna Kawasan

Australasia yang diwakili oleh kakatua, cendrawasih, dan hewan berkantung .

Sementara itu, pulau-pulau yang berada di antara Garis Wallace dan Papua,

yaitu Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, merupakan daerah transisi

yang dikenal sebagai Wallacea. Di dalam daerah transisi ini terkandung

kekayaan satwa endemik yang sangat khas, seperti babi rusa, anoa, burung

paruh bengkok, kuskus, dan monyet Sulawesi. Tidak hanya kaya spesies

endemik (khas untuk satu lokasi geografi tertentu) di kawasan itu dapat

ditemukan primata dan burung rangkong dari Kawasan Sunda hidup di hutan

yang sama dengan hewan berkantung dan burung kakatua dari Australasia.

Semua pulau di bagian Barat Indonesia, yang mewarisi kekayaan biologi

dan budaya dari Semenanjung Malaysia, sebagian Kalimantan, Kepulauan

Palawan di Filipina, Selatan Thailand, terletak di kawasan yang disebut

Sundaland. Kawasan ini terletak di atas Lempeng Sunda yang dangkal,

dengan kedalaman kurang dari 40 m, dan merupakan bagian dari Benua

Asia. Pada masa lalu, ketika Lempeng Sunda belum tergenang air terjadi

migrasi fauna antarpulau yang berada di Indonesia bagian barat dan Benua

Asia. Tidak seperti di Barat, pulau-pulau di Timur Indonesia tidak bersatu

dengan benua manapun, kecuali Papua yang merupakan bagian dari Lempeng

Sahul, dan merupakan bagian dari Benua Australia.

Geologi kepulauan Indonesia serta Filipina pada umumnya, dan

Indonesia Timur pada khususnya, termasuk yang paling rumit di dunia.

Sejarah pembentukan kepulauan Indonesia telah bermula semenjak 200 juta

tahun silam. Ketika itu, di dunia ini hanya terdapat dua benua berukuran

raksasa, yaitu Laurasia (yang terdiri atas Amerika Utara, Eropa, dan sebagian

besar benua Asia) di belahan bumi utara, dan Gondwana (terdiri atas

Antartik, Australia, India, Amerika Selatan, Selandia Baru, dan Kaledonia

Baru serta sebagian Asia timur dan tenggara) di belahan bumi selatan. Sekitar

Page 39: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.39

160 juta tahun yang lalu, pada akhir masa Jura, terjadi fenomena pelebaran

dasar lautan sehingga fragmen Asia tenggara (termasuk Sumatera,

Semenanjung Malaysia, Birma/Myanmar, Kalimantan, dan Sulawesi barat)

terdorong ke utara, terpecah dari Australia dan Papua-Nugini di ujung timur

laut Gondwana. Semenjak masih bergabung dengan Gondwana sampai

sekarang, fragmen Asia tenggara tersebut selalu berada di permukaan laut

sehingga berfungsi sebagai kapal Nabi Nuh yang membawa flora dan fauna

khas Gondwana. Di antara 160 juta sampai 100 juta tahun yang lampau,

fragmen Asia Tenggara ini “mengapung” dan terisolasi di Samudera Tethys,

lautan kuno yang luas, yang terletak di antara Laurasia dan Gondwana.

Kemudian, sekitar 70 juta tahun yang lampau, lempeng yang membawa

Australia, Papua, Sulawesi Timur, Seram, Timor, dan Tanimbar terpecah

dari lempeng Antartika (bagian yang tersisa dari Gondwana) dan berlayar

menuju utara. Sebagian Australia pada awalnya berada di bawah laut, namun

dalam proses pergerakannya ke utara lempengan itu muncul ke permukaan

laut dengan kecepatan 10 cm per tahun. Dari Gondwana, Australia telah

membawa bentuk-bentuk primitif satwa mamalia dan burung serta tumbuhan

berbunga, Selanjutnya, sekitar 40 juta tahun yang lalu, fragmen Asia

Tenggara telah mencapai wilayah khatulistiwa. Pada masa itu, Indonesia

bagian barat telah berada dalam posisi yang relatif sama dengan masa kini.

Ketika itu semenanjung Malaysia telah bersatu dengan Laurasia. Pada posisi

ini diperkirakan fragmen tersebut mulai berfungsi sebagai batu loncatan yang

efektif, yang memungkinkan perpindahan dua arah antara biota benua Asia

dan Australia, khususnya yang mampu melewati lautan pemisah.

Sekitar 40 juta tahun yang lalu juga terjadi pertemuan antara lempengan

yang membawa benua Australia dan Papua-Nugini dengan suatu lempengan

laut yang menyebabkan sebagian Papua terangkat dari bawah permukaan

laut. Peristiwa itu menambah luas pulau tersebut. Pertumbukan yang masih

berlangsung hingga kini itulah yang membentuk pegunungan tengah Papua.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Lempengan Australia, yang

bertumbukan dengan Lengkungan Banda, mengalami subduksi (proses

pengimpitan) sehingga di kawasan sekitar Pulau Banda muncul dua jejeran

pulau-pulau, yaitu jejeran pulau vulkanik dan jejeran pulau yang berasal dari

lempeng benua yang terangkat.

Pertumbukan langsung antara kepingan Asia Tenggara dari Gondwana

dengan Asia diperkirakan terjadi 15 juta tahun lalu. Pada masa ini, Sulawesi

Timur (yang membawa flora dan fauna khas Gondwana) menumbuk

Page 40: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.40 Lingkungan Ternak

Sulawesi Barat (yang telah banyak dikolonisasi biota Laurasia). Seperti

tombak yang mematahkan sasarannya di bagian tengah, tumbukan itu

membuat Sulawesi Barat terputar sedemikian sehingga bagian utara pulau

Sulawesi terputar 90 derajat searah jarum jam. Inilah asal muasal bentuk

Sulawesi yang mirip huruf “K”.

Proses geologis yang rumit akhirnya menciptakan keanekaragaman

ekosistem Indonesia sebagai suatu fenomena yang luar biasa. Topografinya,

dengan berbagai ketinggian, membentuk berbagai ekosistem mulai dari hutan

dataran rendah, rawa-rawa, kawasan pesisir, gua yang sangat panjang, hingga

hutan pegunungan dan puncak gunung es. Setidaknya tercatat 50 tipe

ekosistem di Indonesia yang menempatkan Indonesia menjadi negara dengan

ekosistem terlengkap, jauh menandingi negara-negara yang terkenal dengan

keanekaragaman biogeografinya, seperti Peru, Kolombia, Meksiko, Cina,

India, dan Amerika Serikat.

B. TERNAK DI INDONESIA

1. Ternak dan Pemanfaatannya di Indonesia

Kata ternak sering kali digunakan untuk semua jenis hewan peliharaan,

padahal tidak semua hewan peliharaan tergolong ternak dan dengan

sendirinya tidak semua hewan peliharaan dapat diusahakan sebagai ternak.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 2014 hasil perbaikan/perubahan

dari undang-undang sebelumnya (UU RI No. 6 Tahun 1967 dan UU RI No.

41 Tahun 2009), tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mendefinisikan

beberapa istilah yang selanjutnya menjadi rujukan dan digunakan dalam mata

kuliah ini.

Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai

penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang

terkait dengan pertanian. Hewan peliharaan adalah hewan yang sebagian

atau seluruh kehidupannya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu.

Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus

hidupnya berada di lingkungan perairan, daratan dan/atau udara, baik yang

dipelihara maupun yang hidup di habitatnya. Definisi Satwa Liar adalah

semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih

mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh

manusia.

Page 41: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.41

Berdasarkan definisi di atas, terutama dikaitkan dengan perbedaan

peruntukannya, dapat diinterpretasikan bahwa keseluruhan pengelolaan

kehidupan ternak, mencakup perkandangan, ketersediaan pakan,

perkembangbiakan, dan kesehatan diatur dan diarahkan oleh dan untuk

memenuhi kebutuhan manusia.

Jajaran kepulauan Indonesia berada di antara dua benua besar (Asia dan

Australia) yang memiliki keanekaragaman sumber daya hayati, dan

karenanya dikenal sebagai kawasan mega-biodiversitas. Keanekaragaman

tersebut juga dipandang sebagai sumber daya kehidupan dan penghidupan

manusia. Keanekaragaman ini juga membuat satwa nusantara memiliki

endemisme yang tinggi dan dipengaruhi oleh keragaman hayati dari dua

benua tersebut. Sejarah geologi pembentukan masing-masing pulau di

Indonesia yang bervariasi mempengaruhi pembentukan ekosistem dan jenis-

jenis satwa penghuninya, termasuk terbentuknya berbagai spesies endemik di

Indonesia. Oleh karena itu, sekalipun luas wilayah Indonesia hanya sekitar

1.916.000 km2 atau 1.3% luas daratan dunia, akan tetapi dihuni oleh 17% dari

seluruh spesies burung dunia, 12% dari seluruh spesies mamalia, 16% dari

seluruh spesies reptilian, dan amphibian. Hanya beberapa negara, seperti

Brazilia, Colombia di Amerika Selatan, dan Kongo di Afrika yang dapat

menyaingi tingkat keanekarangam hayati yang dimiliki Indonesia.

Berdasarkan National Report on Animal Genetic Resources Indonesia

(Director General of Livestock Services, Agricultural Departement, 2003),

beberapa jenis ternak saat ini berkembang, baik hasil domestikasi hewan asli

dan atau telah lama menjadi pendatang dan telah beradaptasi di Indonesia

adalah:

a. Sapi: Aceh, Bali, Ongole-grade, Sumba-Ongole, Madura, Java, Pesisir,

Grati.

b. Kerbau: Rawa atau swamp buffalo, Kalang, Belang atau Spotted-

buffalo, dan Murrah.

c. Kambing: Kacang, Gembrong, Kosta, Persilangan Etawah, Merica.

d. Domba: Priangan, Ekor Gemuk, Ekor Tipis, dan Komposite.

e. Babi: Bali, Nias, Tangerang, Jambi, Babi hutan, Batak, Sulawesi,

Babirusa.

f. Kuda: Gayo, Batak, Priangan, Java, Bali, Lombok, Sumbawa, Sandel,

Timor, Flores, Sumbar, Kuda Pacu Indonesia.

g. Rusa: Timorensis, Sambar, Bawean, Totol (Spotted-deer), Muncak atau

Menjangan.

Page 42: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.42 Lingkungan Ternak

h. Kelinci: Gekbrong.

i. Ayam; Publikasi Nataamijaya mengungkapkan bahwa ayam lokal

Indonesia banyak memiliki keragaman dan karakteristik morfologis yang

berbeda dan tidak kurang dari 31 rumpun yang telah dapat diidentifikasi,

seperti: Ayam Kedu (hitam dan putih), Nunukan, Pelung, Kuning,

Merawang, Merawas, dan lain-lain.

j. Itik: Tegal, Mojosari, Alabio, dan lain-lain.

Sejarah tentang kehadiran dan peranan ternak di Indonesia sejak masa

lalu dapat dilihat dari relief dinding candi Borobudur yang dibuat pada

pertengahan abad ke-8. Relief tersebut menunjukkan berbagai jenis ternak

dan hewan lainnya, seperti gajah, sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, dan

unggas yang tergambar bersama manusia pemeliharanya bahkan cara

pemanfaatannya (Martoyo, 1992). Walaupun sebagian besar sejarah

perkembangan peternakan di Indonesia itu tidak banyak tercatat dan

terdokumentasi dengan baik, namun ada beberapa informasi penting

mengenai upaya meningkatkan produktivitas ternak lokal Indonesia yang

dilakukan pemerintah Hindia Belanda, khususnya pada ternak sapi. Pada

zaman penjajahan tersebut, sapi pejantan Zebu (sapi Benggala) diimpor ke

Indonesia untuk disilangkan dengan sapi lokal pada tahun 1806 dan 1812 di

wilayah Jawa Timur (Markens, 1926). Sapi dari India tersebut makin banyak

diminati, terutama oleh para pemilik perkebunan di Jawa Timur dan Jawa

Tengah untuk menghasilkan sapi silangan yang lebih besar yang digunakan

sebagai tenaga tarik. Impor sapi Zebu semakin meningkat dan dihentikan

pada tahun 1897. Impor sapi dari India dibuka kembali pada tahun 1905

dengan persyaratan lebih ketat, khususnya terkait dengan pencegahan

masuknya penyakit (Martoyo, 1992). Perkembangan peternakan setelah

masa kemerdekaan berawal pada tahun 50-an. Selain mempertahankan

kemurnian rumpun ternak lokal yang sudah ada di Indonesia, salah satu

kebijakan pemerintah Indonesia waktu itu adalah mengimpor beberapa

rumpun ternak, terutama dari komoditas babi, ayam, dan sapi perah ke

Indonesia. Berbagai rumpun asing tersebut disilangkan dengan rumpun

ternak lokal dalam upaya meningkatkan produktivitasnya sebagai penghasil

telur, daging, dan susu. Proses perkembangan peternakan di Indonesia hingga

saat ini akan terus berlanjut dan telah menghasilkan sumber daya genetika

ternak yang lebih beragam (Martoyo, 1992).

Page 43: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.43

Setelah mengalami rangkaian proses domestikasi, selanjutnya

dikembangkan dan dibudidayakan untuk memenuhi berbagai kegunaan; dan

spesies atau jenis-jenis ternak tersebut dapat dibagi menjadi 4 kelompok,

yaitu:

a. Ternak Unggas (Kelas Aves: tipe pedaging dan petelur) antara lain

Ayam (Gallus domesticus), Itik (Anas planthyrynchos), Entog (Cairina

moschata), Angsa (Anser anser), Kalkun (Melegris galopavo), dan

Tiktok (itik x entog).

b. Ternak Potong (Kelas : Mamalia biasanya tipe pedaging) antara lain

Ternak Potong Besar : Sapi (Bos sp.), Kerbau (Buballus bubalis), Kuda

(Equs caballus), Keledai (Equs asinus), Zebra (Equs hipotigris), dan

Unta (Camell dromedarius). Ternak Potong Kecil: Kambing (Capra sp.),

Domba (Ovis sp.), dan Babi (sus sp.).

c. Ternak Perah (Kelas : Mamalia biasanya tipe perah) antara lain Sapi

Perah, Kerbau Perah, Kuda Perah, Kambing Perah, dan Unta Perah.

d. Aneka Ternak adalah ternak-ternak yang tidak dalam satu kelas antara

lain : Kelinci (Lepus cuniculus), Lebah (Apis species), Puyuh (Coturnix

coturnix), Bekicot, Walet, Katak dan lain-lain.

Beragam pemanfaatan ternak di Indonesia

a. Sebagai Sumber Gizi; Produksi ternak, seperti telur, daging, dan susu

merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena banyak

mengandung protein, mudah dicerna, dan lezat. Bahkan air susu

merupakan komponen penyempurnaan dari pemenuhan 4 sehat 5

sempurna.

b. Sebagai Sumber Tenaga; Keberadaan ternak besar dimanfaatkan untuk

sumber tenaga menarik alat-alat pertanian dan alat transportasi.

Keberadaan sumber tenaga ternak sebagai pembajak sawah masih

dipertahankan karena topografi tanah pertanian yang berbukit-bukit

sehingga sangat sulit penerapan mekanisasi pertanian modern.

c. Sebagai Sumber Pupuk dan Biogas; Pengelolaan kotoran ternak (padat

– feses dan cair – urine) merupakan hasil sampingan yang memiliki nilai

ekonomis yang tinggi sebagai pupuk organik dan biogas.

d. Sebagai Sumber Penghasilan; Dengan memelihara ternak maka dapat

merupakan sumber untuk memperoleh uang. Bagi kebanyakan petani di

pedesaan, kehadiran ternak merupakan peluang sebagai sumber tabungan

dan menambah penghasilannya di samping usaha tani tanaman.

Page 44: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.44 Lingkungan Ternak

e. Sebagai Sumber Bahan Industri; Hasil utama dan hasil samping dari

ternak dapat digunakan untuk bahan baku industri. Telur, daging dan

susu dapat digunakan dalam berbagai industri makanan. Kulit, bulu,

tulang, dan lainnya dapat digunakan untuk industri kerajinan.

f. Sebagai Sumber Lapangan Kerja; Dengan semakin berkembangnya

usaha peternakan maka akan membutuhkan tenaga kerja yang lebih

banyak. Industri peternakan adalah industri biologis sehingga campur

tangan manusia mutlak diperlukan.

g. Sebagai Materi Pengembangan Ilmu dan Teknologi; Bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, maka ternak merupakan sarana

penelitian yang efektif bagi pemenuhan kebutuhan manusia.

h. Sebagai Sumber Pariwisata; Dari segi sosial, ternak memiliki daya

tarik wisata tersendiri, khususnya terkait dengan hobi atau kesenangan

(Funcy).

i. Sebagai Sumber Status Sosial; Kepemilikan ternak dapat

meningkatkan status sosial bagi seseorang atau sekelompok orang,

khususnya kepemilikan ternak-ternak pilihan.

j. Sebagai Sumber Sosial Budaya; Di Indonesia masih sangat banyak

dibutuhkan ternak-ternak sebagai kelengkapan dalam sesaji, kepercayaan

yang berkaitan dengan tata cara atau adat daerah.

2. Potensi Ternak di Indonesia

Berdasarkan data dalam Buku Statistika Peternakan dan Kesehatan

Hewan tahun 2016, populasi ternak di Indonesia dapat dikelompokkan

menjadi Ternak besar (sapi potong, sapi perah, kerbau, dan kuda), Ternak

kecil (kambing, domba, dan babi), Ternak unggas (ayam buras, ayam ras

petelur, ayam ras pedaging, itik, dan itik manila), dan Aneka ternak (kelinci,

puyuh, dan merpati).

Tinjauan biogeografis dari 34 provinsi menunjukkan bahwa bagian

terbesar dari populasi ternak utama terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau

Bali, berdampingan dengan populasi penduduk terpadat di Indonesia.

Proporsi tersebut: 99% sapi perah, 50% sapi potong/pedaging, 24-25%

kerbau, 44-45% ayam buras, 60-61% ayam ras petelur, dan 67-68% ayam ras

pedaging. Keadaan ini tentunya menimbulkan pertanyaan tentang persaingan

kebutuhan lahan yang layak untuk kehidupan ternak dan manusia di Pulau

Jawa dan Pulau Bali dibandingkan pulau lainnya di Indonesia.

Page 45: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.45

a. Sapi Potong/Pedaging; Terdapat tiga spesies sapi di Indonesia, yaitu

Bos indicus, Bos taurus, dan Bos javanicus. Kebanyakan sapi Bos

indicus berasal dari India, Bos taurus dari negara subtropis, dan hanya

Bos javanicus atau Banteng yang asli dari Indonesia, dan menjadi tetua

sapi Bali. Beberapa rumpun sapi keturunan Bos indicus yang dikenal di

Indonesia di antaranya adalah: (1) sapi Madura, yang diduga merupakan

hasil silangan antara Banteng atau sapi Bali dengan sapi Zebu (Nijman,

dkk. 2003); (2) sapi Aceh yang diduga kuat juga merupakan hasil

silangan sapi Bali atau Banteng dengan sapi Zebu (Abdullah, dkk. 2008);

(3) sapi Ongole yang aslinya diimpor dari wilayah Madras-India ke

pulau Jawa dan Madura, serta ke pulau Sumba. Adapun sapi Peranakan

Ongole (PO) merupakan Sumba – Ongole yang disilangkan dengan sapi

Jawa; (4) Sapi pesisir yang merupakan sapi berbobot badan terkecil

dibandingkan dengan sapi-sapi lain di Indonesia. Dari spesies Bos

taurus, beberapa rumpun yang sangat populer saat ini adalah sapi

Limousin dan sapi Simmental.

Lebih dari 99% sapi potong di Indonesia dikelola oleh peternak berskala

kecil dengan skala kepemilikan 1-3 ekor per peternak. Tidak jarang pula

ternak sapi yang dipelihara adalah milik orang lain, sedangkan peternak

hanya memelihara saja sehingga keuntungan dari penjualan sapi dibagi

dua atau dibagi secara proporsional berdasarkan kesepakatan awal.

Pemeliharaan sapi juga dilakukan secara tradisional dengan pemberian

pakan yang sering kali tidak optimal dan tidak berkualitas. Hal ini

membuat performa sapi jauh di bawah potensi genetiknya.

Sejak pemerintah mendirikan Balai Inseminasi Buatan, persilangan antar

rumpun sapi banyak dilakukan dalam rangka meningkatkan

produktivitasnya (bukan meningkatkan mutu genetika) sehingga

diharapkan dapat menghasilkan daging lebih banyak. Pada umumnya,

peternak memilih menggunakan semen yang berasal dari pejantan

Simmental atau Limousin.

Pejantan tersebut biasanya diimpor dari luar negeri, sedangkan semennya

diproduksi di balai inseminasi buatan. Namun, pada tanggal 1 September

2012 lalu, Menteri Pertanian RI telah mencanangkan tekad swasembada

sapi pejantan unggul pada tahun 2013 dengan harapan semua sapi

pejantan unggul tidak akan diimpor lagi dari luar negeri, tetapi

dihasilkan sendiri. Ini dilakukan karena peternak lebih suka memilih

menggunakan semen rumpun atau bangsa sapi exotic (sapi unggul hasil

Page 46: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.46 Lingkungan Ternak

pemuliabiakan – umumnya rumpun sapi import) daripada sapi lokal

karena hasil persilangan dengan sapi exotic lebih besar daripada rumpun

sapi lokal.

Walaupun persilangan sapi terbukti meningkatkan produktivitas ternak

sapi yang ditunjukkan dengan bobot badan yang lebih besar, penerapan

inseminasi buatan secara besar-besaran tanpa perencanaan berpotensi

mengancam eksistensi sapi lokal yang telah beradaptasi sangat baik

dengan kondisi alam Indonesia. Selain perencanaan yang baik,

diperlukan juga upaya melestarikan sebagian populasi ternak sapi lokal

dalam wilayah sumber bibit yang dilindungi dengan perangkat hukum

yang kuat. Oleh karena itu, upaya pemerintah pusat atau pemerintah

daerah yang telah menetapkan beberapa sentra ternak menjadi wilayah

sumber bibit ternak perlu diapresiasi. Sebagai contoh, pulau Bali yang

hanya digunakan untuk pengembangbiakan rumpun sapi Bali. Demikian

juga pulau Sapudi yang tidak boleh kemasukan sapi rumpun apa pun

selain sapi Madura. Wilayah lain yang berpotensi dapat digunakan

sebagai wilayah sumber bibit perlu segera ditetapkan pemerintah. Segera

setelah penetapan wilayah sumber bibit, program seleksi terarah dalam

rangka meningkatkan mutu genetikanya perlu dilakukan secara

berkelanjutan. Di luar wilayah sumber bibit, sapi dapat dikawin

silangkan tanpa memperhatikan mutu genetikanya sepanjang sapi hasil

persilangan menghasilkan produktivitas tinggi.

Selama ini upaya perbaikan mutu genetika belum dilakukan pada ternak

lokal Indonesia dan justru terjadi seleksi negatif karena sapi yang baik

banyak dipotong atau dijual keluar wilayah sumber bibit. Terbukti

hingga saat ini, tidak ada sapi lokal Indonesia dapat diklasifikasikan

sebagai bibit, yaitu sapi yang memiliki catatan asal-usul dan

produktivitas secara jelas, serta bersertifikat bibit. Perilaku seperti ini

lambat laun akan mendegradasi mutu genetika sapi lokal. Oleh karena

itu, kebijakan pemerintah untuk lebih meningkatkan pengadaan pejantan

sapi lokal sebagai penghasil semen harus didukung oleh para peternak.

Melalui pengadaan pejantan sapi lokal yang terseleksi, maka semen dari

pejantan bermutu genetika tinggi dapat diinseminasikan ke sapi betina

rumpun yang sama sehingga akan meningkatkan mutu genetika anaknya.

Pada skala yang lebih kecil, teknologi alih janin (embrio transfer/ET)

juga digunakan dalam konteks meningkatkan produktivitas ternak karena

selama ini teknologi ET lebih banyak dimanfaatkan untuk memindahkan

Page 47: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.47

janin yang dihasilkan dari perkawinan ternak sapi eksotik (impor) ke

dalam sapi lokal sebagai resipien. Di sini, sekali lagi, ternak impor yang

menjadi fokusnya, sedangkan ternak betina lokal hanya digunakan

sebagai media bertumbuh kembangnya janin sapi impor yang

dipindahkan tadi. Dengan demikian, teknologi ET ini belum berperan

maksimal dalam meningkatkan mutu genetika ternak lokal, tetapi sangat

berperan dalam menghasilkan ternak sapi eksotik (sapi asing) secara

lebih cepat tanpa harus mengimpor lagi.

Untuk pembuatan ternak sapi transgenik dalam rangka peningkatan

produktivitas ternak, tampaknya belum mendesak untuk dilakukan.

Namun, teknik molekuler yang secara efektif dapat memanfaatkan

berbagai macam sekuens DNA sebagai penciri genetika dalam program

seleksi dapat membantu upaya peningkatan mutu genetika ternak lokal

melalui seleksi dini untuk sifat yang diinginkan.

Terkait dengan penggunaan semen dan embrio untuk peningkatan

produksi daging sapi, pada tahun 2012, pihak swasta telah mendirikan

perusahaan perbenihan dan perbibitan sapi Red Wagyu yang berorientasi

ekspor. Ini adalah perusahaan swasta pertama di Indonesia di bidang

benih ternak sapi. Salah satu target yang diinginkan melalui pendirian

industri tersebut adalah menghasilkan Red Wagyu Indonesia melalui

persilangan antara ternak sapi lokal Indonesia dan sapi Red Wagyu yang

dirancang secara sistematis, terstruktur, dan terukur. Dengan dihasilkan

rumpun baru Red Wagyu Indonesia, maka pengadaan genetika sapi Red

Wagyu di suatu saat nanti tidak bergantung lagi pada negara lain.

Sepanjang memberi makna dalam peningkatan keanekaragaman hayati,

kesejahteraan peternak, dan peluang lapangan pekerjaan di dalam negeri,

kita perlu mengapresiasi pemerintah yang telah memberikan izin

pendirian usaha perbenihan oleh sektor swasta. Yang perlu diperhatikan

pemerintah adalah pengawasan atas penggunaan semen sapi Red Wagyu

untuk disilangkan ke sapi lokal secara serampangan agar eksistensi sapi

lokal tetap terlindungi. Satu hal penting lainnya adalah bahwa orientasi

ekspor produk sapi Red Wagyu ke luar negeri akan mendorong

pemerintah Indonesia untuk lebih serius lagi mengamankan wilayahnya

dari ancaman penyakit menular, seperti Penyakit Mulut dan Kuku

sehingga produk ternak dari Indonesia dapat diterima masyarakat global.

Sapi Bali di Pulau Bali; Rumpun atau bangsa sapi potong yang

berkembang di Provinsi Bali hanya sapi Bali murni. Pemerintah Provinsi

Page 48: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.48 Lingkungan Ternak

Bali mengambil kebijakan bahwa tidak ada kegiatan persilangan dengan

bangsa sapi lainnya, baik secara kawin alam maupun inseminasi buatan

(IB). Oleh karena itu Provinsi Bali merupakan satu-satunya provinsi

yang diakui hanya melestarikan dan mengembangkan sapi Bali secara

murni. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa Provinsi Bali dapat

dijadikan sebagai salah satu sumber bibit murni sapi Bali bagi

pembangunan peternakan sapi potong nasional menuju swasembada

daging sapi yang berkelanjutan.

Pada tahun 1980, telah dinyatakan bahwa mutu sapi Bali mengalami

kemunduran, rata-rata bobot badannya hanya mencapai 336 kg

(Darmadja, 1980). Hal tersebut terjadi karena telah terjadi over stocking,

karena populasi sudah mencapai 334 ribu ekor dan padang pangonan

umum sudah tidak ada. Peringatan “lampu kuning” yang dilontar kan 36

tahun yang lalu tersebut ternyata tidak terbukti karena berdasarkan hasil

sensus tahun 2011 populasi sapi masih mencapai 637 ribu atau dua kali

lipat dibanding kondisi tahun 1980. Sementara itu bobot badan sapi Bali

juga masih cukup bagus, dan di BPTU Sapi Bali bobot badan sapi bali

jantan dewasa masih dapat mencapai lebih dari 700-800 kg.

Populasi sapi tersebar di seluruh kabupaten, namun ada tiga kabupaten

yang memiliki populasi sangat tinggi, yaitu Buleleng, Karangasem, dan

Bangli. Sementara itu, tingkat kepadatan sapi per km2 terpadat berada di

Kabupaten Bangli, Karangasem, dan Gianyar (Gambar 1.6).

Berdasarkan data di ketiga Kabupaten tersebut di atas maka kepadatan

sapi per satuan luas wilayah di Provinsi Bali sangat padat (1,18 ekor/ha)

dan mungkin terpadat di Indonesia. Bila tingkat kepadatan ini dihitung

berdasarkan luas lahan pertanian/perkebunan yang saat ini merupakan

kawasan yang menyediakan biomassa untuk pakan, maka tingkat

kepadatannya sudah sangat tinggi, yaitu 3,09 ekor/ha. Dengan kondisi

tersebut di atas sering terlontar pertanyaan apakah masih ada peluang

untuk meningkatkan populasi sapi di Bali.

Page 49: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.49

Sumber BPTP Bali, 2011

Gambar 1.7 Tingkat kepadatan sapi Bali di 3 Kabupaten dan seluruh Provinsi Bali

Berdasarkan hasil simulasi (BPTP Bali, 2011) diketahui bahwa, pada

tahun 2014, ketersediaan pakan mencapai maksimum untuk memenuhi

kebutuhan pakan sapi Bali terus meningkat. Diperkirakan bahwa pada

tahun 2018 pasokan pakan (rumput, pohon legum, limbah pertanian, dan

sebagainya) hanya akan memenuhi kebutuhan 97% populasi sapi, ketika

itu populasi diperkirakan mencapai 880 ribu ekor bila pertumbuhannya

seperti perkiraan saat ini.

Berdasarkan Statistika Peternakan dan Kesehatan Hewan, data Populasi

Sapi di Pulau Bali dari tahun 2011 sd. 2015 menunjukkan dinamika yang

menarik; antara tahun 2011 sd. 2013 populasi menunjukkan penurunan

dari 637.473 menjadi 478.146 ekor (- 24.9%), dan antara tahun 2013 sd.

2015 menunjukkan peningkatan kembali menjadi 543.642 (+13.7%);

Sementara itu, data sebelumnya dari Dinas Peternakan Provinsi Bali

menunjukkan bahwa antara tahun 2006 sd. 2011, jumlah pemotongan

mencapai 36 ribu ekor per tahun (6 ribu ton daging per tahun), dan

pengeluaran ternak mencapai 60-70 ribu ekor per tahun, dan selama

periode tersebut tidak ada pemasukan sapi hidup dari luar Bali, dan

populasi hanya meningkat 2.78%.

b. Sapi Perah; Untuk tipe perah di Indonesia, mayoritas sapi yang

dipelihara peternak adalah rumpun sapi Friesian Holstein (FH) atau

peranakannya atau sering disebut Peranakan Friesian Holstein (PFH).

Sapi FH termasuk dalam spesies Bos taurus. Pada awalnya sapi FH

Page 50: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.50 Lingkungan Ternak

murni didatangkan dari West Fries land, kemudian juga dari Australia,

New Zealand, USA, Jepang, dan Kanada. Sapi perah lainnya dalam

jumlah yang tidak terlalu banyak adalah sapi Grati. Sapi ini merupakan

sapi perah hasil silangan antara sapi PFH, PO, dan rumpun lainnya.

Penyebaran sapi perah hanya padat di Pulau Jawa saja, sedangkan di

pulau lain sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Umumnya, sapi perah

dipelihara di kawasan dataran tinggi yang berhawa udara agak sejuk.

Pada tahun 2012, dalam jumlah terbatas, sapi rumpun Jersey yang juga

termasuk dalam spesies Bos Taurus dimasukkan ke Indonesia.

Penggunaan inseminasi buatan pada sapi perah lebih intensif karena

secara teknis lebih mudah mengingat pola pemeliharaan sapi perah

dilakukan secara intensif dan ternak dikandangkan sepanjang waktu.

Tingkat reproduksi harus tinggi sehingga melalui teknik IB diharapkan

dapat menaikkan tingkat kebuntingan dan interval beranak. Dalam hal

ini, peran inseminasi buatan sangat signifikan. Namun, kondisi di

lapangan menunjukkan bahwa service per conception (S/C) masih tinggi.

Selain itu penggunaan semen yang berasal dari satu pejantan tertentu

dengan frekuensi tinggi sangat berpengaruh pada peningkatan derajat

inbreeding pada populasi sapi perah. Apabila fenomena “pejantan

favorit” tidak dihentikan, produksi susu sapi perah tidak mustahil akan

menurun.

Uji Zuriat telah pula dilakukan pada sapi perah untuk menentukan

pejantan paling unggul di dalam populasi sapi perah di masyarakat. Jika

hasilnya baik, usaha ini juga mendukung tekad pemerintah dalam

swasembada sapi pejantan unggul sehingga dapat mengurangi atau

bahkan menghentikan ketergantungan pada impor benih atau impor sapi

pejantan dari luar negeri. Namun, kebijakan ini bukan berarti melarang

impor benih atau sapi pejantan unggul secara total. Ketika produksi susu

cenderung menurun yang kemungkinan disebabkan oleh peningkatan

derajat inbreeding, maka salah satu alternatif solusinya adalah

mendatangkan pejantan baru atau semen dari pejantan baru.

c. Kerbau; Ternak kerbau di Indonesia hanya terdiri atas kerbau

domestikasi dan kerbau liar dan keduanya termasuk dalam spesies

Bubalus bubalis. Kerbau domestikasi ada dua, yaitu kerbau sungai (river

buffalo) atau Bubalus bubalis bubalis dan kerbau rawa atau kerbau

lumpur (swamp buffalo) atau Bubalus bubalis carabanesisAdapun

kerbau liar terdiri atas anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan anoa

Page 51: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.51

dataran rendah (Bubalus depressicornis). Secara genetika, perbedaan

antara kerbau rawa dan kerbau sungai terdapat pada jumlah

kromosomnya. Kerbau rawa memiliki 48 kromosom, sedangkan kerbau

sungai memiliki 50 kromosom. Kerbau lainnya yang berkembang di

beberapa wilayah di Indonesia merupakan keturunan dari dua kerbau

domestikasi tersebut, seperti kerbau Kalang yang berkembang biak di

Kalimantan (Hamda dkk. 2010) atau kerbau Belang (spotted buffalo)

yang banyak terdapat di Toraja. Biasanya, kerbau Belang digunakan

untuk kegiatan keagamaan bagi masyarakat Toraja Timur. Keduanya

termasuk kerbau rawa. Adapun yang termasuk ke dalam kerbau sungai

adalah kerbau Murrah yang merupakan kerbau tipe perah.

Keberadaan kerbau yang umumnya digunakan untuk membajak sawah

hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan Statistik

Peternakan dan Kesehatan Ternak 2016, terdapat 8 provinsi yang

memiliki populasi ternak kerbau lebih dari 100.000 ekor pada tahun

2015, yaitu: (1) Daerah Istimewa Aceh (171 ribu ekor), (2) Provinsi

Nusa Tenggara Timur (141ribu ekor), (3) Provinsi Nusa Tenggara Barat

(125 ribu ekor), (4) Provinsi Sumatera Barat (122 ribu ekor), (5) Provinsi

Sumatera Utara (115 ribu ekor), (6) Provinsi Jawa Barat (110 ribu ekor),

(7) Provinsi Sulawesi Selatan (108 ribu ekor), dan (8) Provinsi Banten

(123 ribu ekor). Populasi kerbau di provinsi lain kurang dari 100.000

ekor bahkan ada provinsi yang tidak memiliki kerbau di wilayahnya,

yaitu Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Papua.

Tidak seperti pada sapi (potong maupun perah), penggunaan inseminasi

buatan pada kerbau tidak populer karena kesulitan mendeteksi berahi

pada ternak ini. Fenomena silent heat (berahi yang tak tampak) pada

kerbau sangat jamak terjadi. Namun, bukan berarti tidak dapat digunakan

kawin suntik. Bagi inseminator berpengalaman, pelaksanaan kawin

suntik pada kerbau tidak menimbulkan masalah dan berhasil juga.

Karena lebih mengandalkan kawin alam, pengaturan penggunaan

pejantan secara proporsional dan rotasional menjadi sangat penting

untuk diperhatikan dalam rangka mencegah peningkatan derajat

inbreeding.

d. Kambing; Kambing berasal dari pegunungan Asia Barat dan

domestikasi terjadi sekitar 7000-8000 tahun sebelum Masehi. Kambing

hasil domestikasi (Capra aegagrus hircus) berasal dari kambing liar

Eropa (Capra aegagrus), kambing liar India (Capra aegagrus blithy),

Page 52: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.52 Lingkungan Ternak

dan kambing dari pegunungan Himalaya (Capra falconery). Hasil

domestikasi kemudian menyebar ke berbagai tempat dan beradaptasi

dengan lingkungan setempat sehingga menghasilkan berbagai rumpun

yang dikenal saat ini termasuk yang berkembang di Indonesia.

Pada tahun 2015, populasi kambing di Indonesia sekitar 19 juta ekor

dengan populasi terbesar di Jawa Tengah sebanyak 4,1 juta ekor, Jawa

Timur sebanyak 3,2 juta ekor, Jawa Barat sebanyak 2,6 juta ekor, dan

Lampung sebanyak 1,2 juta ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan

Hewan, 2015). Jika dilihat dari angka tersebut, populasi kambing di

Pulau Jawa mencapai 58% dari total populasi kambing di Indonesia.

Rumpun kambing yang banyak dijumpai di Indonesia meliputi (1)

kambing Kacang yang merupakan kambing asli Indonesia, (2) kambing

Peranakan Etawa yang merupakan hasil persilangan antara kambing

Etawa dan kambing Kacang. (3) kambing Jawa Randu atau disebut juga

Bligon atau Gumbolo atau Koplo atau Kacukan. Kambing ini sebenarnya

juga merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Etawa

dengan kambing Kacang, dengan warna dominasi hitam; (4) kambing

Gembrong yang merupakan plasma nutfah endemik Bali. Keunikan

kambing ini ialah rambutnya berukuran panjang sekitar 15-25 cm; (5)

kambing Kosta yang diduga terbentuk dari persilangan kambing Kacang

dan kambing Khasmir (kambing impor); (6) kambing Merica juga

berstatus langka, dengan sebaran wilayahnya meliputi Kabupaten Maros,

Jeneponto, Sopheng, Makassar di Provinsi Sulawesi Selatan; (7)

kambing Muara yang banyak dipelihara di Kecamatan Muara,

Kabupaten Tapanuli Utara di Provinsi Sumatera Utara; dan (8) kambing

Samosir yang berada di tengah Danau Toba, Kabupaten Samosir,

Provinsi Sumatera Utara.

Menelusuri pembentukan berbagai rumpun kambing yang ada di

Indonesia, Zein et al. (2012) melakukan analisis keragaman genetika

lima kambing lokal Indonesia, yaitu kambing Kacang, Jawarandu,

Peranakan Etawa, Kosta, dan Gembrong dengan menggunakan 13 DNA

mikrosatelit sebagai penciri genetika yang dipilih berdasarkan

rekomendasi ISAG/FAO 2004. Hasilnya mengindikasikan bahwa secara

genetika, rumpun kambing lokal Indonesia tersebut terbentuk dari garis

keturunan berbeda. Hasil ini memberi makna bahwa pengembangan

kambing lokal Indonesia harus berbasis pada perlindungan kemurnian

rumpun kambing lokal Indonesia yang telah terbentuk dari hasil

Page 53: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.53

pengembangan di masa lalu. Masing-masing rumpun kambing yang

digunakan dalam penelitian tersebut perlu segera ditetapkan oleh

pemerintah sebagai rumpun lokal Indonesia.

Hal penting yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah bahwa

rumpun kambing Gembrong di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali

dan kambing Kosta di Provinsi Banten menunjukkan diversitas genetika

yang sangat rendah. Di samping itu, Board on Agriculture National

Research Council (1993) melaporkan bahwa populasi kedua rumpun

kambing tersebut terus menurun, yaitu kambing Kosta sudah berstatus

langka dan kambing Gembrong berstatus kritis.

Perlu juga diwaspadai bahwa populasi kambing Muara, kambing Merica,

dan kambing Samosir distribusinya terbatas dan jumlahnya dalam

populasi cenderung kecil. Keadaan demikian sangat rawan untuk

berstatus menjadi langka dan tidak tertutup kemungkinan menjadi kritis

serta menuju kepunahan.

Secara umum, pemanfaatan kambing di Indonesia bagi para peternak

adalah sebagai bahan baku pangan, terutama daging dan susu; serta

sebagai bahan baku industri, yaitu kulit. Tubuh berukuran kecil dan

jumlah anaknya sering lebih dari satu dalam setiap kelahiran

menyebabkan pemeliharaan ternak kambing menjadi jauh lebih murah

dan lebih mudah daripada ternak ruminansia besar (sapi atau kerbau)

sehingga disukai peternak di perdesaan. Usaha ternak ini melalui pola

gaduhan (bagi hasil) sangat jamak dilakukan oleh masyarakat Indonesia,

yaitu peternak sebagai pemelihara sehari-hari, sedangkan mitranya

sebagai pemodal dalam pengadaan bakalan kambing. Biasanya,

pemeliharaan kambing berorientasi pada penyediaan daging pada hari

besar Islam Idul Adha yang memang disunatkan untuk menjadikan

kambing sebagai hewan korban. Pada hari-hari biasa, daging kambing

yang diolah sebagai sate atau gulai merupakan makanan sangat populer

di Indonesia. Walaupun sering kali daging yang digunakan untuk

membuat sate atau gulai berasal dari ternak domba, masyarakat tetap saja

menyebutnya sebagai sate atau gulai kambing. Tidak ada atau belum

pernah dijumpai orang berjualan sate/gulai domba.

Hingga saat ini, populasi ternak kambing terkendali secara baik dan

boleh dikatakan telah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh

karena itu, perlu tantangan baru dalam usaha pemeliharaan kambing ini,

yaitu ekspor ke luar negeri, khususnya ke negara-negara berpenduduk

Page 54: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.54 Lingkungan Ternak

mayoritas Islam, sebagai ternak korban. Tantangan tersebut harus

disertai upaya peningkatan mutu genetika ternak kambing melalui

program seleksi dalam kegiatan pemuliaan yang terarah, terencana, dan

terukur. Sebenarnya secara tradisional, peternak telah melakukan seleksi

khususnya pada kambing PE, namun dalam jumlah yang tidak terlalu

besar. Kebiasaan peternak melakukan seleksi untuk memilih ternak

bermutu berdasarkan sifat-sifat produksi dan reproduksinya perlu

didorong dan difasilitasi pemerintah secara lebih baik lagi.

e. Domba; Secara umum domba di Indonesia diklasifikasikan menjadi

Domba Ekor Tipis (DET) dan domba Ekor Gemuk (DEG). Bagi

masyarakat Indonesia, DET sering disebut juga sebagai domba Gembel

dan dipercaya sebagai domba asli Indonesia, sedangkan DEG dikenal

juga dengan sebutan domba Kibas yang asal muasalnya dari Asia Barat

Daya dan dibawa ke Indonesia oleh pedagang Arab. Dari dua macam

domba tersebut, terbentuk beberapa rumpun domba di Indonesia antara

lain adalah (1) domba Garut yang merupakan hasil persilangan antara

domba Kaapstad, Merino, dan domba Ekor Tipis. Domba ini menjadi

sangat terkenal, khususnya yang berjenis kelamin jantan karena

digunakan sebagai adu seni ketangkasan oleh masyarakat Jawa Barat; (2)

domba Batur yang diduga kuat merupakan hasil persilangan DET,

domba Sufflok, dan domba Texel. Untuk tujuan produksi, domba dibagi

dalam tipe pedaging dan tipe adu seni ketangkasan. Belum banyak

peternak domba yang mengkhususkan untuk tujuan penghasil wol di

Indonesia karena kualitas wolnya kurang baik. Penyebaran domba

terdapat di pulau Jawa dengan populasi terpadat di Provinsi Jawa Barat

yaitu 7.041.437 ekor pada tahun 2011, diikuti Provinsi Jawa Tengah

yaitu 2.226.709 ekor, sedangkan populasi domba di provinsi lainnya di

bawah satu juta bahkan ribuan atau tidak ada sama sekali. Seperti

diuraikan di atas, penggunaan daging domba sebagai bahan baku pangan

untuk membuat sate dan gulai kurang terdengar karena masyarakat

Indonesia selalu menyebutnya sate/gulai kambing walaupun dagingnya

berasal dari ternak domba. Selain sebagai penghasil daging yang

potensial, kulit domba banyak digunakan sebagai bahan baku pengrajin

oleh masyarakat Garut dengan membuat jaket, sepatu/sandal, tas, dan

aksesoris lainnya.

Seni adu ketangkasan domba yang sudah menjadi tradisi atau budaya

masyarakat Jawa Barat memberikan dampak positif bagi peningkatan

Page 55: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.55

mutu genetika domba Garut, khususnya ternak jantan. Karena perhatian

utama peternak adalah menghasilkan ternak domba Garut jantan, maka

program seleksi untuk ternak betina menjadi agak terabaikan sehingga

mutu genetikanya di bawah mutu genetika domba Garut jantan. Namun

perlu disampaikan di sini bahwa dalam menghasilkan domba jantan

aduan, faktor induk juga diperhatikan. Komunitas pencinta domba dan

kambing yang tergabung dalam Himpunan Peternak Domba dan

Kambing Indonesia (HPDKI) sangat peduli pada upaya mengembangkan

potensi kedua ternak tersebut. Melalui himpunan tersebut, seleksi

terhadap domba jantan dilakukan berdasarkan beberapa kriteria yang

mempengaruhi performa domba sebagai ternak aduan. Dalam konteks

pembibitan, cukup banyak ternak domba Garut yang berkualifikasi

sebagai bibit. Karena seleksi telah dilangsungkan berpuluh-puluh tahun,

dalam rangka untuk mempertahankan gen yang penting untuk

produktivitas domba, perlu kiranya mengabadikan benih dari beberapa

ternak domba Garut jantan terpilih dalam bentuk sperma atau DNA-nya

dalam bank gen.

Penggunaan semen ternak kambing/domba untuk inseminasi buatan juga

telah dilakukan. Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari telah

memiliki semen yang diproduksi dari rumpun kambing PE dan kambing

Boer.

f. Ayam; Dalam klasifikasi hewan, ayam termasuk kelas Aves, ordo

galliformes, dan famili phasianidae. Sifat morfologik yang membedakan

antara ayam dan burung ialah ayam mempunyai jengger (comb) di

kepala bagian atasnya dan dua gelambir (wattles) di dagu bagian

bawahnya. Dalam bahasa Latin, gallus artinya jengger/comb, karenanya

kata tersebut dipakai sebagai nama marga ayam. Jadi ayam hasil

domestikasi dinamakan Gallus domesticus. Sulit menelusuri awal

mulanya masyarakat Indonesia menernakkan ayam, namun yang jelas

Indonesia memiliki berbagai jenis ayam sebagai ternak sebelum ayam

ras diperkenalkan ke Indonesia. Dari hasil penelitian Sulandari, dkk.

2008-2009, diketahui bahwa nenek moyang ayam lokal Indonesia adalah

Ayam Hutan Merah atau Gallus gallus. Hasil domestikasi ini secara

umum disebut ayam lokal Indonesia (ayam Buras atau ayam Bukan Ras).

Mungkin karena budaya masyarakat yang beragam, lingkungan hidup

yang beragam pula, dan sejarah pembudidayaan yang panjang

menyebabkan ayam lokal Indonesia menjadi bermacam-macam pula.

Page 56: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.56 Lingkungan Ternak

Menurut Nataamijaya (2000), ayam lokal Indonesia banyak memiliki

keragaman dengan karakteristik morfologis yang berbeda dan telah

teridentifikasi sebanyak 31 rumpun.

Selama ini pemanfaatan ayam di Indonesia tidak terbatas pada ayam

pedaging dan petelur saja, tetapi ayam juga dimanfaatkan untuk keindahan

suara (kokok) nya seperti ayam Pelung, ayam Bekisar, ayam Ketawa, dan

ayam Gaok; untuk persembahan dalam upacara adat, seperti ayam Cemani,

ayam Kedu hitam, dan ayam Kedu putih; untuk ayam hias karena keindahan

warnanya, seperti ayam Kapas dan ayam Mutiara; serta ayam aduan seperti

ayam Bali.

Ketidakjelasan awal mulanya keberadaan ayam di Indonesia tampaknya

berkorelasi dengan hasil penelitian intensif kerja sama antara Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan International Livestock Research Institute

(ILRI) di Nairobi yang menyimpulkan bahwa ternyata Indonesia merupakan

salah satu pusat domestikasi ayam di dunia. Temuan penting ini memiliki

makna bahwa ayam lokal Indonesia memiliki nilai sangat tinggi karena

banyaknya gen unik yang dimilikinya.

Dalam penelitian berikutnya, dengan menggunakan rumpun ayam lokal

Indonesia lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia menunjukkan hasil

bahwa secara alamiah ayam lokal Indonesia memiliki kemampuan untuk

mempertahankan diri dari serangan virus avian influenza yang artinya ayam

tersebut memiliki gen resistan atau toleransi terhadap penyakit. Kemampuan

untuk melawan serangan virus dikendalikan oleh gen anti viral yaitu gen Mx

yang telah diketahui dapat mengendalikan kemampuan ayam menjadi

resistan atau sensitif terhadap serangan Avian Influenza (AI).

Dengan menggunakan gen anti viral Mx sebagai penciri DNA, hasil

penelitian menunjukkan bahwa frekuensi alel resistan ayam lokal Indonesia

terhadap serangan virus flu burung sekitar 60% dan membuktikan bahwa

ayam yang hidup akibat serangan virus mempunyai daya resistan yang cukup

tinggi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi ke

pemerintah bahwa ayam yang terserang penyakit flu burung saja yang

dibunuh, sedangkan ayam di sekitarnya yang sehat sebaiknya tidak

dieliminasi. Temuan ini juga dapat menginspirasi pembentukan ayam ras

tertentu yang tahan terhadap serangan penyakit AI sehingga dapat

mengurangi mortalitas dan meningkatkan produktivitasnya.

Page 57: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.57

1) Jelaskan tentang kelimpahan dan keanekaragaman satwa di Indonesia!

2) Apa yang dimaksud dengan zoogeografi, dan bagaimana keadaannya di

dunia dan di Indonesia?

3) Jelaskan peranan Alfred Russel Wallace dalam zoogeografi di Indonesia!

4) Jelaskan apa yang dimaksud dengan satwa harapan, dan bagaimana

keadaannya di Indonesia?

5) Apa yang dimaksud dengan ternak dan hewan peliharaan?

6) Jelaskan secara singkat tentang potensi dan pemanfaatan ternak di

Indonesia!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Untuk menjawab soal-soal di atas, Anda dimohon membaca kembali –

dan buat catatan singkat dari setiap yang terkait dengan soal-soal di atas

2) Dibandingkan Charles Darwin yang terkenal dengan teori evolusinya,

saat ini kita hanya mengenal Alfred Russel Wallace sebagai garis

imajiner yang melintas di bagian timur Indonesia yang memisahkan

kelompok hewan-hewan (burung maupun mamalia) asal kawasan

Oriental dan kawasan Australia.

Saat ini kita memiliki berbagai jenis hewan – ternak (spesies dan

bangsa ternak) yang telah didomestikasi, yaitu hewan ternak dari kelas

Mamalia dan Aves yang telah dikembangkan untuk memenuhi

sementara kebutuhan manusia untuk berbagai kegunaannya. Di samping

itu, jajaran kepulauan Indonesia dikenal sebagai salah satu kawasan di

dunia yang memiliki kelimpahan dan keragaman satwa, diharapkan

dapat dikembangkan pemanfaatannya menjadi hewan-ternak tanpa

mengabaikan pelestarian moyangnya. Kenyataan menunjukkan bahwa

dengan populasi ternak yang dimiliki saat ini, Indonesia belum dapat

menempatkan diri sebagai negara yang mandiri dalam memenuhi

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

RANGKUMAN

Page 58: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.58 Lingkungan Ternak

kebutuhan pangan asal hewan-ternak; Sampai saat ini, ketergantungan

pada importasi ternak masih sangat besar, program swasembada daging

yang dicanangkan sejak 1-2 dekade yang lalu belum mencapai sasaran.

1) Satwa yang mengalami didomestikasi pada awalnya adalah ....

A. Babi, kuda, dan ayam

B. Kambing, domba, dan sapi

C. Kambing, domba dan ayam

D. Ayam, sapi, dan babi

2) Indonesia mempunyai ayam asli (lokal) bukan hasil domestikasi yaitu ....

A. Ayam Bekisar

B. Ayam Pelung

C. Ayam Hutan Merah

D. Ayam Kapas

3) Biodiversitas adalah ....

A. Keseluruhan gen, spesies, dan ekosistem di suatu kawasan

B. Keseluruhan tumbuhan yang ada di suatu ekosistem

C. Keseluruhan hewan yang ada dalam suatu ekosistem

D. Keseluruhan organisme yang penunjang kehidupan

Jawablah soal dibawah ini dengan memilih:

A. Bila jawaban 1 dan 2 benar

B. Bila jawaban 1 dan 3 benar

C. Bila jawaban 2 dan 3 benar

D. Bila jawaban 1, 2, dan 3 benar

4) Biogeografi menurut Berg dan Rasmann (1977) ditentukan berdasarkan:

1. Informasi klimatologi

2. Flora dan fauna

3. Fisiografi, geografi dan sejarah alami

5) Yang termasuk dalam kelompok aneka ternak adalah ...

1. Puyuh

2. Ayam

3. Walet

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

Page 59: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.59

6) Pemurnian sapi Bali yang dilakukan khusus di daerah Bali, meskipun

berhasil tapi masih terkendala oleh ...

1. Kebutuhan pakan meningkat, pasokan terbatas

2. Peningkatan populasi sapi Bali mulai melambat

3. Terjadi over stocking namun padang penggembalaan terbatas

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang

terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.

Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan

Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat

meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,

Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang

belum dikuasai.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

Page 60: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.60 Lingkungan Ternak

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1

1) D. Jawaban 1, 2, dan 3 benar.

2) B. Yang mengemukakan Permanence of Continents adalah C Lyell dan

drifting Continent adalah A. Wegener.

3) C. Menggunakan garis kedalaman laut paparan Sahul dan paparan

Sunda.

4) D. Asam amino bukan merupakan penyebab perbedaan karakteristik

hewan diperairan.

5) D. Kehidupan organisme di suatu habitat ditentukan oleh massa, panas

jenis, dan viskositas.

6) D. Semua jawaban adalah sesuai dengan bukti paleontologi sebagai

moyang hewan terestial bertulang belakang.

Tes Formatif 2

1) B. Kambing, domba, dan sapi adalah binatang yang didomistifikasi

paling awal.

2) C, Ayam asli Indonesia.

3) A. Menurut Bahera dan Das totality of genes, species and ecosystems in

a region.

4) D. Biogeografi ditentukan oleh Informasi klimatologi, Flora dan fauna,

Fisiografi, geografi dan sejarah alami.

5) B. Yang termasuk kelompok aneka ternak adalah Puyuh dan Walet.

6) D. Jawaban 1, 2, dan 3 benar.

Page 61: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.61

Daftar Pustaka

Abdulhadi R., Waluyo E.B., dkk. (editor). 2014. Kekinian Keanekaragaman

Hayati Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kementerian

PPN/ Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Abdullah M.A.N., Noor R.R., Martojo H., and Solihin DD. 2008. Genetic

characterization of Aceh cattle utilizing Microsatellite DNA analysis.

J.Indon.Trop.Anim.Agric. 33(3): 165-175.

Andersson L. 2012. Chap. 10, Genetics of Animal Domestication, In:

Biodiversity in Agriculture Domestication, Evolution, and Sustainability,

Ed. By : Gepts P., Famula T.R., Bettinger R.L., Brush S.B., Damania

A.B., McGuire P.E., and Qualset C.O., Cambridge University Press,

New York. Pp. 260-274.

Assenmacher, I., and Farner, D.S. 1978. Environmental Endocrinology.

Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg, New York.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP – Bali). 2011. Menelisik masa

depan sapi potong di Bali. Disampaikan pada RTD di BPTP Bali,

tanggal 2 November 2011.

Bamualim A., Tiesnamurti B., 2009. Status Terkini Dunia Sumber daya

Genetik Ternak untuk Pangan dan Pertanian, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan, Kementrian Pertanian Republik Indonesia,

Bogor, terjemahan : The State of the World’s Animal Genetic Resources

for Food and Agriculture, ed. by Rischkowsky B and Pilling.D. Food

and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Board on Agriculture National Research Council. 1993. Managing global

genetic resources. Livestock. Committee on managing global resource:

agriculture imperative. National Academy Press. Washington DC, USA.

Bentley, P.J. 1971. Endocrine and Osmoregulation, A Comparative Account

of the Regulation of Water and Salt in Vertebrate. Springer-Verlag,

Berlin, Heidelberg, New York.

Page 62: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.62 Lingkungan Ternak

Blackburn H.W., and Cornelis de Haan C. 1999. Chap. 6 Livestock and

Biodiversity, In: Biodiversity in agroecosystems, ed, by Collins W.W.,

and Qualset C.O. CRC Press LLC, USA. Pp. 91-105.

Campbell, J.W., and Goldstein, L. 1972. Nitrogen Metabolism and

Environment. Academic Press, London, New York.

Chamberlin T.C. 1900. On the Habitat of the Early Vertebrates. J. Geology, 8

(5) : pp. 400-412.

Chamdi A.N. 2005. Review : Karakteristik Sumber daya Genetik Ternak

Sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan Alternatif Pola Konservasinya - The

Characteristics of Genetic Resource of Bali Cattle (Bos-bibos banteng)

and the Alternative of It's Conservation Methods. B I O D I V E R S I T A

S, 6 (1) : 70-75.

Costa, D.P., and Sinervo, B. 2004. Field Physiology: Physiological insight

from animal in nature. Ann. Rev.Physiol., 66 : 209-238.

Darmaja D. 1980. Setengah abad peternakan sapi Bali tradisionil dalam

ekosistem pertanian di Bali. Disertasi Doktor Universitas PAdjadjaran,

Bamndung.

Dawson, W.R., Pinshow, B., Bartholomew, G.A., Seely, M.K., Shkolnik, A.,

Shoemaker, V.H., and Teeri, J.A. 1989. What’s special about the

physiological ecology of desert organism?. J.Arid Environments, 17 :

131-143.

Diamond J. 2002. Evolution, consequences and future of plant and animal

domestication. Nature, 418 : 701-707.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015. Statistik

Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015. Direktorat Jenderal Peternakan

dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Page 63: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.63

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2016. Statistik

Peternakan dan Kesehatan Hewan 2016. Direktorat Jenderal Peternakan

dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Drever, J.I. 1997. Geochemistry of Natural Water: Surface and Underground

Water Environments. 3rd ed., Englewood Cliffs, Prentice Hall, NY.

Ebach M.C. 2015. Origins of Biogeography – The role of biological

classification in early plant and animal geography. Springer Dordrecht

Heidelberg New York London.

Feder, M.E., Bennett, A.F., and Huey, R.B. 2000. Evolusionary Physiology.

Ann.Rev.Ecol.Sys., 31 : 315-341.

Firdhausi, N.F., 2010. The Origin of Madura Cattle Based on Mitochondrial

DNA., MSc Thesis, Sekolah Pasca Sarjana – Institut Pertanian Bogor.

Folk Jr., G.E. 1966. Introduction to Environmental Physiology:

Environmental Extremes and Mammalian Survival. Lea & Febiger,

Philadelphia.

Gordon, M.S., Bartholomew, G.A., Grinnell, A.D., Jorgensen, A.B., and

White, F.N. 1971. Animal Fucntion: Principles and Adaptations.

Amerind, Publishing Co., PVT., Ltd. New Delhi.

Hahn, G.L., Mader, T.L., Eigenberg, R.A. 2003. Perspective on development

of thermal indices for animal studies and management, pp. 31044, In:

Interactions Between Climate and Animal Production, (Eds. N. Lacetera,

U. Bernabucci, H.H. Khalifa, B. Ronchi, and A. Nardone), EAAP Tech.

Series No. 7, Wageningen Academic Publishers, The Netherlands (ISSN

1570-7318).

Hamdan A, Rohaeni E.S., dan Subhan. 2010. Karakteristik kerbau kalang

(rawa) sebagai plasma nutfah di Kalimantan selatan. Prosiding Seminar

dan Lokakarya Nasional Kerbau.

Page 64: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.64 Lingkungan Ternak

Hochachka P.W., and Somero G.N. 2002. Biochemical adaptation:

mechanism and process in physiological evolution. Oxford University

Press, Inc. NewYork.

Jorge V. Crisci J.V., Katinas L., and Posadas P. 2003. Historical

biogeography: an introduction. Harvard University Press, London,

England.

KPPN/BAPENAS., KLHK., dan LIPI. 2016. Indonesian Biodiversity and

Action Plan (IBSAP) 2015-2020. Penyelaras akhir: Murniningtyas, E.

dkk.

Larson G., Fuller D.Q. 2014. The Evolution of Animal Domestication. Annu.

Rev. Ecol. Evol. Syst. 45:115-36.

Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, KPPN/BAPENAS dan KLH. 2014.

Kekinian Keamnekaramhan Hayati Indonesia. editor Abdulhadi R., dkk.

Lockwood, A.P.M. 1971. Animal Body Fluid and Their Regulation. ELBS

and Heinemann Educational Books Ltd., New Delhi.

Maloiy, G.M.O. 1979. Comparative Physiology of Osmoregulation in

Animals. Vol. 2. Academic Press, London.

McFarland, W.N., Pough, F.H., Cade, T.J., and Heiser, J.B. 1979. Vertebrate

Live., Cornell Univ., Macmillan Pub.Co.,Inc., New York.

Murniningtyas E, Darayati W., Sumardja E.S., dkk. 2016. Indonesian

Biodiversity – Strategy and Action Plan 2015-2020. Kementrian

Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS.

Nataamijaya A.G. 2000. The native chicken of Indonesia. Bull. Plasma

Nutfah, 6 (1) : 1-6.

Nijman I.J., Otsen M., Verkaar E.L., de Ruijter C., and Hanekamp E. 2003.

Hybridation of Banteng (Bos javanicus) and Zebu (Bos indicus) revealed

Page 65: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.65

by mitochondrial DNA, Satellite DNA, AFLP and microsatellite.

Heredity, 90: 10-16.

Philippe J. 1996. Early Vertebrates. Oxford University Press, New York.

Phyllips, J.G. 1975. Environmental Physiology. Blackwell Scientific

Publications, Melbourne.

Pierce, E.O. 2002. Animal Domestication and Behaviour. CABI International

Pub., USA.

Piersma, T., and Drent, J. 2003. Phenotypic flexibility and evolution

organismal design. Trends in Ecology and Evolution, 18 : 228-233.

Poppo, A., Mahendra, M.S., dan Sundra, I Ketut., 2008. Studi kualitas

perairan pantai di kawasan industri peikanan Desa Pengambangan,

Kecamatan Negara, Kabupaten Jemberana. Ecotrophic, 3 (2) : 98-103.

Rahardja, D.P. 1995. Effects of hot environment and salt ingestion on

digestion, water and salt metabolism in Australian feral goats, in Studies

on Water and Salt Metabolism in Sheep and Goats, Dissertation, The

University of New England, Armidale, Australia.

Rahardja, D.P. 2010. Ilmu Lingkungan Ternak. Masagena Press, Makassar.

Rosenberg, M. 2017. Ring of Fire Home to the Majority of the World's Active

Volcanoes. https://www.thoughtco.com/ring-of-fire-1433460.

Sastradipradja, D., dan Muladno (editor). 2013. Kajian AIPI – Mengentas

Biodiversitas Fauna Nusantara yang Tertindas. Komisi Ilmu

Pengetahuan Dasar AIPI, Jakarta.

Schmidt-Nielsen, K. 1975. Animal Physiology: Adaptation and Environment.

Cambridge University Press. USA.

Setiawan, D. P. 2008. Studi kualitas air pada penampungan air hujan di Desa

Hargosari, Kecamatan Tanjungsari, Gunung Kidul menggunakan filter

Page 66: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

1.66 Lingkungan Ternak

karbon aktif dan UV, Tugas Akhir, Fakultas Teknik Sipil dan

Perencanaan, Univ. Islam Indonesia, Yogyakarta.

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. T.F.H. Publication, Inc.,

London.

Sugiri, N., dan Sugiri. 1988. Zoologi Umum, terjemahan dari General

Zoology, by Villee, C.A, Walker Jr., W.F., and Barnes, R.D. Ed.6.,

Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia.

Sulandari, S. And M.S.A. Zein. 2009. Analisis D-loop DNA Mitokondria

untuk Memposisikan Ayam Hutan Merah dalam Domestikasi Ayam di

Indonesia. Media Peternakan, 32(1): 31-39.

Sulandari, S., M.S.A. Zein and T. Sartika. 2008. Molecular characterization

of Indonesian Indigenous chickens based on mitochondrial DNA

Displasment (D)-loop sequences. Hayati 15(4):145-154.

Taylor, S.R. 1967. The Origin and Growth of Continents. Tectonophysics,

4(l) : 17-34.

Terrell E.D., John P. Hart, J.P., Barut S., and Cellinese, N. 2003.

Domesticated Landscapes: The Subsistence Ecology of Plant and

Animal Domestication. J.Archaeol. Method and Theory, 10 (4) :323-368.

Thom H. 2008. THE PREHISTORIC EARTH – The First Vertebrates:

Oceans of the Paleozoic Era. Chelsea House Infobase Publishing,

NewYork.

Tiasnamurti B., Inounu I., Bamualim A., dan Hasinah H (Pengalih Bahasa).

2011. Rencana Aksi Global Sumber Daya Genetik Ternak Dan Deklarasi

Interlaken Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Judul Buku

asli : Global Plan of Action for Animal Genetic Resources and the

Interlaken Declaration, FAO 2007.

Page 67: Lingkungan dan Bentuk Kehidupan - pustaka.ut.ac.id filetentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia

LUHT4214/MODUL 1 1.67

Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2009. Ringkasan Kegiatan

Tahun 2008 –Danau Maninjau – Sumatera Barat, Pusat Penelitian

Limnologi. LIPI.

Veevers-Carter W. 1978. Mamalia Darat Indonesia. PT Intermasa, Jakarta.

Vernberg, F.J., and Vernberg, W.B. 1970. The Animal and The Environment.

Holt, Rinehart and Winston.

Villee, C.A., Walker. Jr. W.F., and Barnes, R.D. 1984. General Zoology 6th

edition. CBS College Publishing.

Wallace A. R. 1869. The Malay Achipelago – The land of the orangutan,

and the bird or paradise: a narrative of travel with studies of man and

nature. eBooks@Adelaide, The University of Adelaide Library, 2014.

Wegener, A. 2002. The origins of Continents. Int. J. Earth. Sci. (Geol

Rundsch) 91: S4-S17.

William G.C. 1996. ADAPTATION AND NATURAL SELECTION – A

Critique of Some Current Evolutionary Thought. Princeton University

Press, Chichester, West Sussex, United Kingdom.

Zeder M.A. 2012. Chap. 9, Pathways to Animal Domestication, In:

Biodiversity in Agriculture Domestication, Evolution, and Sustainability,

Ed. By: Gepts P., Famula T.R., Bettinger R.L., Brush S.B., Damania

A.B., McGuire P.E., and Qualset C.O., Cambridge University Press,

New York. Pp. 227-259.