limfadeniitis tb

24
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI PENYAKIT KUSTA 1. Definisi Penyakit Kusta Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae ( M.Leprae ) yang intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1 2. Etiologi Penyakit Kusta Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae dimana untuk pertama kali ditemukan oleh G.H.Armauer Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf ( schwan cell ) dan sel dari sistem retikulo endotelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia tahan sampai 9 hari. Pertumbuhan Optimal in vivo kuman kusta pada tikus adalah pada suhu 27-30 0 C. 1 3. Cara Penularan Cara penularan penyakit kusta sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti. Penderita lepra lepromatosa diduga merupakan sumber penularan. Kuman keluar dari tubuh penderita melalui sekresi hidung atau luka terbuka pada kulit. 2,4 Mycobacterium leprae yang berada diluar tubuh dapat bertahan sampai 10 hari tergantung pada suhu dan kelembaban lingkungan. 4,5 Kuman diduga masuk ke tubuh penderita melalui saluran pernafasan atas atau luka terbuka pada kulit. Masa inkubasinya tidak diketahui jelas, diduga antara 2-4 tahun, tetapi dapat bervariasi antara 6 bulan sampai 30 tahun atau lebih dan sering disebut periode laten. Kontak yang erat dan lama akan memberi kesempatan paparan dengan kuman lepra lebih sering dan banyak. Mycobacterium leprae bersifat neurotripisme, merupakan bakteri yang menginvasi dan bermultiplikasi di sel schwann. Kuman lepra yang masuk ke dalam tubuh dapat berada di dalam sel

Upload: adhy-hermawan

Post on 28-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

TB

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI PENYAKIT KUSTA

1. Definisi Penyakit Kusta

Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium leprae ( M.Leprae ) yang intraseluler obligat. Saraf perifer

sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian

atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1

2. Etiologi Penyakit Kusta

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae dimana untuk

pertama kali ditemukan oleh G.H.Armauer Hansen pada tahun 1873.

Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang

besar pada sel saraf ( schwan cell ) dan sel dari sistem retikulo endotelial.

Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia

tahan sampai 9 hari. Pertumbuhan Optimal in vivo kuman kusta pada tikus

adalah pada suhu 27-300C.

1

3. Cara Penularan

Cara penularan penyakit kusta sampai saat ini tidak diketahui

dengan pasti. Penderita lepra lepromatosa diduga merupakan sumber

penularan. Kuman keluar dari tubuh penderita melalui sekresi hidung atau

luka terbuka pada kulit.2,4

Mycobacterium leprae yang berada diluar tubuh

dapat bertahan sampai 10 hari tergantung pada suhu dan kelembaban

lingkungan.4,5

Kuman diduga masuk ke tubuh penderita melalui saluran

pernafasan atas atau luka terbuka pada kulit. Masa inkubasinya tidak

diketahui jelas, diduga antara 2-4 tahun, tetapi dapat bervariasi antara 6

bulan sampai 30 tahun atau lebih dan sering disebut periode laten. Kontak

yang erat dan lama akan memberi kesempatan paparan dengan kuman lepra

lebih sering dan banyak. Mycobacterium leprae bersifat neurotripisme,

merupakan bakteri yang menginvasi dan bermultiplikasi di sel schwann.

Kuman lepra yang masuk ke dalam tubuh dapat berada di dalam sel

10

schwann, sel subepidermis dan melalui pembuluh darah atau saraf masuk ke

dalam aliran darah (bacteremia) atau ditangkap oleh sel makrofag dan

menyebar ke bagian tubuh lain.2

Pada tipe Lepromatosa Polar (LL) yang mengakibatkan

kelumpuhan sistem imunitas seluler, makrofag tidak mampu

menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi dengan bebas,

yang kemudian dapat merusak jaringan, pada tipe Tuberkuloid Polar (TT)

kemampuan fungsi sistem imunitas seluler tinggi, makrofag sanggup

menghancurkan basil, sayangnya setelah semua basil difagositosis,

makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan

kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Penyakit kusta dapat

ditularkan melalui udara yang mengandung kuman mycobacterium leprae

yang dihirup oleh manusia atau sentuhan langsung dengan luka penderita

kusta tipe basah 2

4. Klasifikasi dan Gambaran Klinis Penyakit Kusta

Menurut WHO untuk tujuan klinis praktis dalam pengobatan dan

kemoterapi, penyakit kusta dapat diklasifikasi menjadi 2 tipe yaitu 2

a. Paucibacillary (PB) : indeks bakteri < 2+, termasuk tipe TT dan BT

menurut klasifikasi Ridley & Jopling.

Adanya bercak kulit yang mati rasa berukuran kecil dan kadang besar,

permukaan bercak kering dan kasar, berbatas tegas, jumlah 1-5 bercak,

kehilangan kemampuan berkeringat selalu ada dan jelas, bulu rontok

pada bercak, distribusi lesi atau bercak unilateral atau bilateral asimetris,

ciri-ciri central healing (penyembuhan di tengah), pada pemeriksaan

saraf tepi didapat satu penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi

(gangguan fungsi bisa berupa mati rasa atau kelemahan otot yang

dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan), dan pada pemeriksaan slit skin

smear BTA negatif. 2

b. Multibacillary ( MB ) : indeks bakteri > 2+, termasuk tipe BB,BL,LL

menurut klasifikasi Ridley & Jopling.

11

Bercak (macula) mati rasa ukuran kecil-kecil berdistribusi bilateral

simetris, jumlah bercak lebih dari 5 bercak, permukaan bercak halus

berkilat, berbatas kurang tegas, kehilangan kemampuan berkeringat, bulu

rontok pada bercak yang biasanya tidak jelas jika terjadi pada kusta yang

sudah lanjut, mempunyai ciri-ciri punched out lesion ( lesi bentuk seperti

donat ), madarosis, ginecomasti, hidung pelana, suara sengau, penebalan

saraf lebih dari satu dan pada pemeriksaan apus kulit BTA positif. 2

5. Diagnosis Penyakit Kusta

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis,

bakterioskopis,dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara

klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis

memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedang histopatologis

memerlukan 3-7 hari. Kalau masih memungkinkan, baik juga dilakukan tes

lepromine ( Mitsuda ) untuk membantu penentuan tipe, hasil baru diketahui

setelah 3-4 minggu.

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-

tanda pokok atau cardinal sign yaitu 2

a. Lesi ( kelainan ) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan

(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematous) yang mati rasa

(anesthesia).

b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis

saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa : mati

rasa, kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise) dan kulit

kering dan retak-retak.

c. Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif)

Pemeriksaan kerokan kulit hanya dilakukan pada kasus yang meragukan,

Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu

tanda kardinal. Bila tidak ada atau belum dapat ditemukan salah satu

tanda kardinal, maka kita hanya dapat mengatakan sebagai tersangka

12

kusta dan perlu diamati/ periksa ulang 3 – 6 bulan sampai diagnosa kusta

dapat ditegakkan atau disingkirkan.

6. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta

Ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi timbulnya infeksi

bakteri Microbacterium leprae, antara lain:1

1) Umur

Kejadian suatu penyakit sering terkait pada umur. Pada penyakit

kronik seperti kusta diketahui terjadi pada semua umur, berkisar antara

bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun

yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.

Pada dasarnya kusta dapat menyerang semua umur, anak–anak

lebih rentan dari orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada orang dewasa

ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12

tahun.

2) Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin terhadap timbulnya penyakit kusta

belum dapat dipastikan, pada dasarnya penyakit kusta dapat menyerang

semua orang, namun laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan

dengan wanita, dengan perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa

daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak.2

3) Faktor Imunitas

Imunitas atau kekebalan biasanya dihubungkan dengan adanya

antibodi atau hasil aksi sel-sel yang spesifik terhadap mikroorganisme

yang dapat menimbulkan penyakit menular tertentu.8

Faktor imunitas ini menunjukkan imunitas seseorang terhadap

infeksi micobactrium leprae yaitu riwayat vaksinasi Bacillus Calmette

Guerin (BCG) dan reaksi Mitsuda.8

Uji coba lapangan di Uganda, India, Malawi, Myanmar, dan

Papua Nugini, pemberian profilaktit BCG jelas dapat mengurangi

timbulnya penyakit kusta tuberkuloid pada orang–orang yang kontak.

Sebuah studi di India, pemberian BCG menunjukkan adanya

13

perlindungan yang signifikan terhadap kusta tetapi tidak terhadap

tuberculosis.

BCG merupakan vaksin yang terbukti efek imunoterapetik

terhadap kusta. Efek imunoterapetik mungkin disebabkan oleh salah

satu dari pematian panas M.leprae atau dengan mengkombinasikan

vaksinasi BCG aktif.8 Pematian panas M.leprae ditambah BCG

diketahui untuk meningkatkan Cell Mediated Immunity (CMI) pada

M.leprae pasien lepromatus dan mempunyai efek imunoterapetik.

Kompleks protein-peptidoglikan dinding sel immunogenik yang sangat

tinggi dari M.leprae menawarkan keberhasilan pemurnian produk

vaksinogenik untuk penyakit kusta. Disamping itu BCG dapat

memberikan sensitisasi awal sehingga dapat meningkatkan respon

imunitas seluler seseorang di kemudian hari.9

Reaksi Mitsuda adalah reaksi lambat pada 3-4 minggu akibat

suntikan antigen lepromin intradermal. Reaksi ini menggambarkan

imunitas selular terhadap sisa antigen kuman. Walaupun diduga bahwa

reaksi ini mungkin menunjukkan infeksi M.leprae, namun antara reaksi

ini rendah dan tidak menggambarkan sensitisasi spesifik pada

seseorang. Hal ini karena reaksi ini dapat positif pada populasi tanpa

gejala klinis kusta dan dapat diinduksi oleh vaksinasi BCG. 6,7

4) Personal Hygiene (Kebersihan Perseorangan)

Personal hygiene (kebersihan perseorangan) merupakan

tindakan pencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk

meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya penyakit

menular terutama yang ditularkan melalui kontak langsung seperti

halnya kusta.8

M.leprae hanya dapat menyebabkan penyakit kusta pada

manusia dan tidak pada hewan. Juga penularannya melalui kontak yang

lama karena pergaulan yang rapat dan berulang–ulang, karena itu

penyakit kusta dapat dicegah dengan perbaikan personal hygiene atau

kebersihan pribadi.9

14

Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi

menurut sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak

langsung yang lama dan erat), kuman mencapai permukaan kulit

melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga melalui air susu

ibu.10

Pencegahan penyakit kusta dapat dilakukan dengan meningkatkan

personal hygiene, diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan

rambut, dan kuku. Karena penularan kusta sangat dipengaruhi oleh

kontak langsung dengan kulit dan folikel rambut, sehingga perlu dijaga

kebersihannya.11

5 ) Riwayat Kontak dengan Penderita Kusta

Riwayat kontak adalah riwayat seseorang yang berhubungan

dengan penderita kusta baik serumah maupun tidak. Sumber penularan

kusta adalah kusta utuh atau solid yang berasal dari penderita kusta, jadi

penularan kusta lebih mudah terjadi jika ada kontak dengan penderita

kusta.10

6) Lama Kontak

Lama kontak adalah jumlah waktu kontak dengan penderita

kusta. Penyakit kusta menular melaui kontak yang lama (2–5 tahun) dan

berulang-ulang dengan penderita yang dalam taraf menularkan.9

Menurut pendapat Fuchinsky yang dikutip oleh Puspita

Kartikasari (2007:14) bahwa penyakit kusta mempunyai masa inkubasi

selama 2–5 tahun, bahkan bisa lebih dan kejadian kusta terjadi apabila

M.Leprae yang solid (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke

dalam tubuh orang lain.

7) Pendidikan

Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut

menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu

pengetahuan maupun kehidupan sosial.12

Dengan pendidikan yang cukup dan pengetahuan yang baik

tentang kesehatan, termasuk penyakit menular, seperti halnya kusta,

15

masyarakat diharapkan dapat secara aktif turut serta mencegah

terjadinya penyakit menular, sehingga tingkat kejadian penyakit

menular dapat berkurang dan usaha kesehatan dapat berhasil dengan

baik.9

8) Status Sosial Ekonomi

Faktor yang turut menjadi risiko terjadinya kusta adalah tingkat

ekonomi, yang dapat digambarkan dengan besarnya penghasilan.

Besarnya penghasilan seseorang turut mempengaruhi pemenuhan

kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan makanan dan kesehatan. Jika

kebutuhan akan makanan sehat tidak terpenuhi maka dapat melemahkan

daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang suatu penyakit.9

Orang kurang mampu mungkin tidak begitu memperhatikan

kesehatan mereka, sehingga mereka tidak bisa merasakan tubuhnya

sedang sakit atau tidak. Bisa juga terjadi pada orang miskin yang benar-

benar sakit dan benar-benar merasa sakit, namun karena keterbatasan

biaya untuk berobat, mereka tidak menganggap sebagai sakit dan

dianggap sebagai sakit yang wajar.13

9) Kepadatan Hunian

Kuman M.leprae sebagai penyebab penyakit kusta merupakan

kuman yang dapat hidup dengan baik di suhu 27-30ºC . Maka jika suhu

di suatu ruangan (rumah) tidak memenuhi suhu normal (18-20ºC),

rumah atau ruangan tersebut berpotensi untuk menularkan penyakit

menular, seperti kusta. Suhu di dalam rumah dipengaruhi oleh jumlah

penghuni di dalam rumah dan luas rumah yang ditempati.

Ketidakseimbangan antara luas rumah dengan jumlah penghuni akan

menyebabkan suhu di dalam rumah menjadi tinggi dan hal ini yang

dapat mempercepat penularan suatu penyakit.1

Tidak padat hunian (memenuhi syarat kesehatan) adalah luas

lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota penghuni tersebut.

Kategori tidak padat penghuni jika dihuni dua orang per 8 m2

dan padat

penghuni jika dihuni lebih dari dua orang per 8m2. Penularan penyakit

16

lebih rentan terjadi dengan kepadatan rumah yang tinggi yaitu dihuni

lebih dari dua orang per 8m2.25

10) Jarak Tempat tinggal dengan Puskesmas

Jarak tempat tinggal penderita kusta dengan sarana kesehatan

(Puskesmas) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

keberhasilan pengobatan. Jarak tempat tinggal dikategori jauh dan

dekat, jauh apabila melebihi 5 km dan dekat bila jarak kurang dari 5

km. Dalam hal jarak nantinya akan berpengaruh pada keterjangkau baik

dari segi transportasi, ekonomi dan motivasi penderita untuk datang

berobat. Karena diketahui bahwa sumber penularan kusta adalah

penderita kusta itu sendiri yang tidak diobati atau tidak menuntaskan

pengobatan. 26

11) Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk adalah banyakknya orang yang mendiami

suatu wilayah dalam 1 km m2. Kepadatan penduduk di indonesia di

setiap pulau dan propinsi tidak sama. Kepadatan penduduk di Jawa

Tengah menduduki peringkat ke 4 setelah; DKI Jakarta, Jawa Barat dan

DIY dengan tingkat kepadatan mencapai 948 per km2. Sedangkan di

Jepara laju pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun selama 10 tahun

terakhir dari tahun 2000 – 2010 sebesar 1,14%. 27

Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk makin banyak masalah

kesehatan yang ditimbulkan mulai dari sarana air bersih, pembuangan

limbah dan polusi udara.27

12) Daerah Miskin

Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah

dari golongan ekonomi lemah. Mereka rata-rata tinggal di daerah yang

miskin pula. Warga masyarakat yang tergolong miskin adalah mereka

yang mempunyai keterbatasan kemampuan dan akses pada sumber

daya dan dalam memperoleh pelayanan serta prasarana untuk

memenuhi kebutuhan dasarnya. Meraka hidup dengan budaya dan

17

pola hidup yang kurang mendukung kesehatan karena rendahnya

tingkat pendidikan.1,28

Disamping cacat yang timbul, pendapat yang keliru dari

masyarakat terhadap kusta, rasa takut yang berlebihan atau

leprophobia akan memperkuat persoalan sosial ekonomi penderita

kusta seperti dikucilkan, di PHK dan bentuk isolasi social lainnya. 1

7. Program Pemberantasan Penyakit Kusta

1) Visi dan misi program pemberantasan kusta

Visi dari program pemberantasan kusta adalah membebaskan

masyarakat Indonesia dari masalah sosial ekonomi akibat penyakit

kusta, sedangkan misi dari program ini adalah 1

a. Menyembuhkan dan meningkatkan kualitas hidup penderita kusta

dengan memberikan pengobatan yang adekuat dan rehabilitasi sosial

ekonomi.

b. Mengintegrasikan pelayanan penderita kusta dalam pelayanan

kesehatan dasar.

c. Menghilangkan stigma sosial dalam masyarakat dengan mengubah

paham masyarakat terhadap penyakit kusta melalui penyuluhan

secara intensif.

2) Tujuan program pemberantasan kusta

Tujuan dari program pemberantasan kusta ini dibagi dalam

tujuan umum dan tujuan khusus antara lain 1 :

7.1.1.1.1. Tujuan umum

Mengendalikan penyebaran kasus kusta pada kondisi eliminasi

sehingga kusta bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat.

7.1.1.1.2. Tujuan khusus

a. Mempertahankan angka kesakitan <1 per 10.000 penduduk.

b. Mengupayakan ketrampilan petugas di semua puskesmas

dalam mendeteksi suspek kusta.

c. Mempertahankan ketrampilan petugas kesehatan di unit

pelayanan rujukan dalam tatalaksana penderita kusta.

18

d. Mengupayakan kecukupan logistik dan dana operasional.

e. Advokasi kepada para pengambil kebijakan.

3) Strategi

1. Untuk daerah dengan CDR > 5 per 100.000 penduduk, pelayanan

penderita kusta merupakan bagian pelayanan rutin di setiap unit

pelayanan kesehatan.

2. Untuk daerah dngan CDR < 5 per 100.000 penduduk, pelayanan

penderita kusta di berikan di unit pelayanan rujukan, diikuti dengan

pendekatan di daerah fokus. 1

4) Kebijakan

Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan program pemberantasan

kusta antara lain1 :

a. penetapan daerah endemik rendah kusta berdasarkan wilayah

administratif kabupaten.

b. Penetapan 1-3 Puskesmas Rujukan Kusta (PRK) disetiap

kabupaten/kota dengan jumlah kasus lebih dari 10 penderita per

tahun atau disesuaikan dengan kondisi setempat.

c. Bagi daerah sulit atau dengan jumlah kasus kurang dari 10 penderita

per tahun tidak perlu dibentuk PRK, tatalaksana penderita

dilimpahkan pada pengelola program kusta kabupaten yang terlatih.

d. Mengintegrasikan kegiatan program kusta ke dalam kegiatn program

terkait lainnya.

e. Memasukan program kusta ke dalam kurikulum pendiddikan calon

tenaga medis dan parmedis.

7.1.2. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ( GIS )

1. Definisi

Sistem informasi geografis adalah alat bantu yang sangat

esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan

kembali kondisi alam dengan menggabungkan data spasial (peta wilayah

termasuk sungai, rawa, persawahan dan lain-lain) dan non spasial / atribut

19

(angka mortalitas, morbiditas, kebiasaan/pola hidup masyarakat dan lain-

lain). Hasil pengolahan data tersebut disajikan dalam bentuk peta digital. 13

2. Subsistem GIS

Jika definisi diatas diperhatikan, maka SIG dapat diuraikan

menjadi subsistem sebagai berikut 14

:

a. Data input; bertugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial

dan atribut dari berbagai sumber untuk ditransformasikan dari format

aslinya ke dalam format SIG.

b. Data output; menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data

dalam bentuk softcopy maupun hardcopy (tabel, grafik, peta dan lain-

lain)

c. Data manajemen; mengorganisasikan data spasial maupun atribut ke

dalam sebuah basis data sehingga mudah dipanggil, di-update dan di-

edit

d. Data manipulasi dan analisis; menentukan informasi yang dapat

dihasilkan oleh SIG dan melakukan pemodelan untuk menghasilkan

informasi yang diharapkan.

Gambar 2.1 Ilustrasi Sub Sistem SIG

Jika subsistem di atas diperjelas berdasarkan uraian jenis masukan,

proses dan keluaran yang ada didalamnya, maka SIG dapat digambarkan

sebagai berikut :

Data

Manipulation &

Analysis

Data Input Data

Output

Data

Management

SIG

20

Tabel

Pengukuran

lapangan

Laporan

Peta ( tematik,

topografi, dll )

Citra satelit / radar

DEM

(srtm, dll )

Data lainya

Foto Udara

Input

Storage /

basisdata

Retrival

Processing

Output

Softcopy

Laporan

Peta

Tabel

Data

Manajemen

Data

output

Data

Manipulation

& Analysis

Data

Input

Gambar 2.2 Ilustrasi Uraian Sub Sistem SIG

3. Komponen SIG

SIG mempunyai beberapa komponen sebagai berikut:14

a. Perangkat keras

Perangkat keras yang dibutuhkan SIG adalah komputer dengan

spesifikasi:

1) CPU (Central Processing Unit/Unit Pemroses Utama)

Kebutuhan CPU sangat bervariasi dari yang sederhana hingga

canggih. Untuk perangkat lunak yang kecil dijalankan pada minimal

PC AT 286 (micro processor keluarga Intel 80286). Tetapi untuk

SIG yang besar dan berbasis web, diperlukan processor yang

berkemampuan tinggi (keluarga Intel Pentium I, II, III, IV). Standar

minimal CPU yang ditetapkan oleh Wyoming Geographic

Information Advisory Council (WGIAC) adalah processor 32-bit

Intel.

21

2) RAM (Random Access Memory)

Kebutuhan RAM untuk SIG bervariasi dari 4 Mb untuk SIG yang

kecil hingga 128 Mb untuk SIG yang besar dan berbasis web.

Standar minimal menurut WGIAC adalah 32 Mb.

3) Media Penyimpanan

Media penyimpan data bisa berupa hard disk, disket atau CD ROM.

Kebutuhan media penyimpan bervariasi dari 5 Mb hingga ratusan

Mb, dengan standar minimal 2 Gb.

4) Peralatan untuk memasukkan data ke dalam SIG, yang berupa

keyboard, mouse, digitizer, scanner dan lain-lain.

5) Peralatan untuk mempresentasikan data dan informasi SIG yang

berupa monitor, printer dan peralatan lainnya.

6) Perangkat lainnya seperti GPS (Global Positioning Sistem).

b. Perangkat lunak.

Perangkat lunak khusus aplikasi SIG tersedia dalam bentuk

paket-paket perangkat lunak yang masing-masing terdiri dari multi

program yang terintegrasi untuk mendukung kemampuan-kemampuan

khusus untuk pemetaan, manajemen dan analisis data geografi.

Perangkat lunak yang banyak dipakai adalah perangkar lunak yang

dikembangkan oleh ESRI (Environmental Sistem Research Institute)

yaitu ARC/INFO dan ARC/VIEW. ARC/INFO dikembangkan oleh

ESRI pada tahun 1981 dan berhasil mengawinkan teknologi basis data

dengan perangkat lunak yang menangani objek data spasial. Pada tahun

1991, dikembangkan ARC/VIEW yang memiliki tampilan lebih

menarik, interaktif, memiliki tingkat kemudahan yang tinggi sehingga

digunakan dan dikembangkan terus hingga saat ini. Dan untuk digitasi

menggunakan ENVI 3.5

c. Data dan Informasi geografis

Sistem Informasi Geografis dapat mengumpulkan dan

menyimpan data dan informasi dengan cara mendigitasi data spasial

22

yang berasal dari peta atau perangkat SIG lainnya serta memasukkan

data atribut ke dalam tabel dan laporan.

4. Cara Kerja SIG

a. Menyiapkan peta digital, yaitu representasi dunia nyata yang

ditampilkan dalam bentuk unsur peta seperti sungai, kebun, taman,

jalan dan lain-lain, yang diorganisasikan menurut lokasinya. Peta

digital dapat dibuat dengan menggunakan keyboard, mouse, digitizer,

kamera digital, scanner dan sebagainya.

b. Menyimpan informasi deskriptif unsur-unsur peta sebagai atribut

didalam basis data, kemudian membentuk dan menyimpannya dalam

tabel-tabel relasional.

c. Menghubungkan unsur-unsur peta dengan tabel-tabel yang

bersangkutan, sehingga data atribut dapat diakses melalui unsur-unsur

peta dan sebaliknya unsur peta dapat diakses melalui atribut.

5. Kemampuan SIG

Hasil akhir yang diharapkan dari kemampuan sistem informasi

geografis ( SIG ) adalah sebagai berikut :14

a. Memasukkan, mengumpulkan, mengintegrasi, memeriksa (meng-

update), menyimpan dan memanggil kembali, mengelola dan

memanipulasi data geografi (spasial dan atribut)

b. Sistem Informasi Geografis mempunyai kemampuan untuk

memasukkan data spasial ke dalam sistem dari sumber digital eksternal

dimana tidak tersedia data, atau dari data peta secara langsung. Selain

itu SIG dapat mengolah data attribut seperti sistem basis data lain, yaitu

memasukkan, mengedit, mengupdate informasi pada database yang

tersedia dan lain-lainnya.

c. Sistem Informasi Geografis juga mempunyai kemampuan dalam

menyimpan data, baik data atribut maupun data spasial. Data atribut

biasanya disimpan dalam sistem manajemen basis data relasional,

sedangkan data peta disimpan secara digital dalam satu atau lebih file.

23

d. Data yang sudah disimpan dapat dipanggil kembali oleh SIG melalui 2

cara berdasar jenis datanya. Untuk data atribut, dengan basis data

relasional memungkinkan dilakukannya pencarian, pengaturan,

gambaran atribut atau nilainya. Sedangkan pada pemanggilan spasial,

pemakai dapat menyeleksi data berdasar wilayah, berdasar ketinggian,

berdasar jarak dari pusat kesehatan dan lainnya.

e. Menganalisa data atribut dan data spasial

f. Fungsi analisa atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basis

data, seperti membuat basis data atau tabel basis data baru, menghapus

basis data atau tabel basis data, mengisi dan menyisipkan record, serta

perluasan operasi basis data lain. Sedangkan fungsi analisa geografi

(analisis spasial) meliputi: klasifikasi (mengklasifikasi data spasial atau

atribut menjadi data spasial baru dengan menggunakan kriteria

tertentu), network (fungsi yang merujuk data spasial sebagai suatu

jaringan tak terpisahkan), Overlay (menghasilkan data spasial baru dari

minimal dua data spasial yang menjadi masukkannya), buffering

(fungsi yang menghasilkan data spasial baru yang berbentuk zone

dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya) dan

masih banyak lagi.

g. Menghasilkan output data geografi dalam bentuk peta tematik, tabel,

grafik dan bentuk lainnya.

7.1.3. GPS ( Global Positioning System )

1. Pengertian

Global Positioning System (GPS)) adalah sistem untuk menentukan posisi

di permukaan bumi dengan bantuan sinkronisasi sinyal satelit. Sistem ini

menggunakan 24 satelit yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke

Bumi. Sinyal ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan

untuk menentukan posisi, kecepatan, arah, dan waktu.15

24

2. Cara Kerja GPS

Sistem ini menggunakan sejumlah satelit yang berada di orbit bumi, yang

memancarkan sinyalnya ke bumi dan ditangkap oleh sebuah alat penerima.

Ada tiga bagian penting dari sistim ini, yaitu bagian kontrol, bagian

angkasa, dan bagian pengguna.14

a) Bagian Kontrol

Seperti namanya, bagian ini untuk mengontrol. Setiap satelit dapat

berada sedikit diluar orbit, sehingga bagian ini melacak orbit satelit,

lokasi, ketinggian, dan kecepatan. Sinyal-sinyal dari satelit diterima

oleh bagian kontrol, dikoreksi, dan dikirimkan kembali ke satelit.

Koreksi data lokasi yang tepat dari satelit ini disebut dengan data

ephemeris, yang nantinya akan di kirimkan kepada alat navigasi kita.

b) Bagian Angkasa

Bagian ini terdiri dari kumpulan satelit-satelit yang berada di orbit

bumi, sekitar 12.000 mil diatas permukaan bumi. Kumpulan satelit-

satelit ini diatur sedemikian rupa sehingga alat navigasi setiap saat

dapat menerima paling sedikit sinyal dari empat buah satelit. Sinyal

satelit ini dapat melewati awan, kaca, atau plastik, tetapi tidak dapat

melewati gedung atau gunung. Satelit mempunyai jam atom, dan juga

akan memancarkan informasi ‘waktu/jam’ ini. Data ini dipancarkan

dengan kode ‘pseudo-random’. Masing-masing satelit memiliki

kodenya sendiri-sendiri. Nomor kode ini biasanya akan ditampilkan di

alat navigasi, maka kita bisa melakukan identifikasi sinyal satelit yang

sedang diterima alat tersebut. Data ini berguna bagi alat navigasi

untuk mengukur jarak antara alat navigasi dengan satelit, yang akan

digunakan untuk mengukur koordinat lokasi. Kekuatan sinyal satelit

juga akan membantu alat dalam penghitungan. Kekuatan sinyal ini

lebih dipengaruhi oleh lokasi satelit, sebuah alat akan menerima sinyal

lebih kuat dari satelit yang berada tepat diatasnya (bayangkan lokasi

satelit seperti posisi matahari ketika jam 12 siang) dibandingkan

25

dengan satelit yang berada di garis cakrawala (bayangkan lokasi satelit

seperti posisi matahari terbenam/terbit).

Ada dua jenis gelombang yang saat ini dipakai untuk alat navigasi

berbasis satelit pada umumnya, yang pertama lebih dikenal dengan

sebutan L1 pada 1575.42 MHz. Sinyal L1 ini yang akan diterima oleh

alat navigasi. Satelit juga mengeluarkan gelombang L2 pada frekuensi

1227.6 Mhz. Gelombang L2 ini digunakan untuk tujuan militer dan

bukan untuk umum.

c) Bagian Pengguna

Bagian ini terdiri dari alat navigasi yang digunakan. Satelit akan

memancarkan data almanak dan ephemeris yang akan diterima oleh

alat navigasi secara teratur. Data almanak berisikan perkiraan lokasi

(approximate location) satelit yang dipancarkan terus menerus oleh

satelit. Data ephemeris dipancarkan oleh satelit, dan valid untuk

sekitar 4-6 jam. Untuk menunjukkan koordinat sebuah titik (dua

dimensi), alat navigasi memerlukan paling sedikit sinyal dari 3 buah

satelit. Untuk menunjukkan data ketinggian sebuah titik (tiga

dimensi), diperlukan tambahan sinyal dari 1 buah satelit lagi.

Dari sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh kumpulan satelit tersebut,

alat navigasi akan melakukan perhitungan-perhitungan, dan hasil

akhirnya adalah koordinat posisi alat tersebut. Makin banyak jumlah

sinyal satelit yang diterima oleh sebuah alat, akan membuat alat

tersebut menghitung koordinat posisinya dengan lebih tepat.

Karena alat navigasi ini bergantung penuh pada satelit, maka sinyal

satelit menjadi sangat penting. Alat navigasi berbasis satelit ini tidak

dapat bekerja maksimal ketika ada gangguan pada sinyal satelit. Ada

banyak hal yang dapat mengurangi kekuatan sinyal satelit:

1) Kondisi geografis, seperti yang diterangkan diatas. Selama kita

masih dapat melihat langit yang cukup luas, alat ini masih dapat

berfungsi.

26

2) Hutan. Makin lebat hutannya, maka makin berkurang sinyal yang

dapat diterima.

3) Air. Jangan berharap dapat menggunakan alat ini ketika

menyelam.

4) Kaca film mobil, terutama yang mengandung metal.

5) Alat-alat elektronik yang dapat mengeluarkan gelombang

elektromagnetik.

6) Gedung-gedung. Tidak hanya ketika didalam gedung, berada

diantara 2 buah gedung tinggi juga akan menyebabkan efek

seperti berada di dalam lembah.

7) Sinyal yang memantul, misal bila berada diantara gedung-gedung

tinggi, dapat mengacaukan perhitungan alat navigasi sehingga alat

navigasi dapat menunjukkan posisi yang salah atau tidak akurat.

3. Manfaat Global Positioning System (GPS)

a. Militer

GPS digunakan untuk keperluan perang, seperti menuntun arah

bom, atau mengetahui posisi pasukan berada. Dengan cara ini maka kita

bisa mengetahui mana teman mana lawan untuk menghindari salah

target, ataupun menetukan pergerakan pasukan.14,24

b. Navigasi

GPS banyak juga digunakan sebagai alat navigasi seperti

kompas. Beberapa jenis kendaraan telah dilengkapi dengan GPS untuk

alat bantu nivigasi, dengan menambahkan peta, maka bisa digunakan

untuk memandu pengendara, sehingga pengendara bisa mengetahui

jalur mana yang sebaiknya dipilih untuk mencapai tujuan yang

diinginkan.14

c. Sistem Informasi Geografis

Untuk keperluan Sistem Informasi Geografis, GPS sering juga

diikutsertakan dalam pembuatan peta, seperti mengukur jarak

perbatasan, ataupun sebagai referensi pengukuran. 14

27

d. Sistem pelacakan kendaraan

Kegunaan lain GPS adalah sebagai pelacak kendaraan, dengan

bamtuan GPS pemilik kendaraan/pengelola armada bisa mengetahui

ada dimana saja kendaraannya/aset bergeraknya berada saat ini. 14

e. Pemantau gempa

Bahkan saat ini, GPS dengan ketelitian tinggi bisa digunakan

untuk memantau pergerakan tanah, yang ordenya hanya mm dalam

setahun. Pemantauan pergerakan tanah berguna untuk memperkirakan

terjadinya gempa, baik pergerakan vulkanik ataupun tektonik. 14

f. Penanganan Bencanan

Secara umum, informasi yang dibutuhkan pada waktu

penanganan bencana adalah: (1) wilayah serta lokasi geografis bencana

dan perkiraan populasi, (2)status jalur transportasi dan sisem

komunikasi, (3) ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas

sanitasi dan tempat hunian, (4) jumlah korban, (5) kerusakan, kondisi

pelayanan, ketersediaan obat-obatan, peralatan medis serta tenaga di

fasilitas kesehatan, (6) lokasi dan jumlah penduduk yang menjadi

pengungsi dan (7) estimasi jumlah yang mennggal dan hilang. Pada

tahap awal, tindakan kemanusiaan dan pengumpulan informasi

dilakukan secara simultan. Pengumpulan data harus dilakukan secara

cepat untuk menentukan tindakan prioritas yang harus dilakukan oleh

manajemen bencana. 24

Penggunaan Global Positioning Systems (GPS) berperan

penting dalam menentukan lokasi kamp pengungsi maupun fasilitas

kesehatan. Data tersebut dapat digabungkan dengan data spatial dari

satelit. Data spatial tersebut selanjutnya digabungkan dengan informasi

mengenai jumlah maupun distribusi pengungsi, ketersediaan air bersih

serta bahan makanan akan memberikan masukan penting bagi

koordinasi dan manajemen pada fase tanggap darurat. 24

28

7.1.4. ANALISIS SPASIAL

1. Data spasial

Data spasial mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda

dari data lain, yaitu informasi lokasi dan informasi atribut yang dapat

dijelaskan sebagai berikut:14

a. Informasi lokasi atau informasi spasial. Contoh yang umum adalah

informasi lintang dan bujur, termasuk diantaranya informasi datum

dan proyeksi. Contoh lain dari informasi spasial yang bisa digunakan

untuk mengidentifikasikan lokasi misalnya adalah Kode Pos.

b. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial. Suatu

lokalitas bisa mempunyai beberapa atribut atau properti yang

berkaitan dengannya; contohnya jenis vegetasi, populasi, pendapatan

pertahun, dsb.

2. Sistem Koordinat

Informasi lokasi ditentukan berdasarkan sistem koordinat, yang di

antaranya mencakup datum dan proyeksi peta. Datum adalah kumpulan

parameter dan titik kontrol yang hubungan geometriknya diketahui, baik

melalui pengukuran atau penghitungan. Sedangkan sistem proyeksi peta

adalah sistem yang dirancang untuk merepresentasikan permukaan dari

suatu bidang lengkung atau spheroid (misalnya bumi) pada suatu bidang

datar. Proses representasi ini menyebabkan distorsi yang perlu

diperhitungkan untuk memperoleh ketelitian beberapa macam properti,

seperti jarak, sudut, atau luasan.

3. Format data spasial

Dalam SIG, data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format, yaitu:

a. Vektor

Dalam data format vektor, bumi kita direpresentasikan sebagai suatu

mosaik dari garis (arc/line), polygon (daerah yang dibatasi oleh garis

yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik/point (node yang

29

mempunyai label), dan nodes (merupakan titik perpotongan antara dua

buah garis).

b. Raster

Data raster (atau disebut juga dengan sel grid) adalah data yang

dihasilkan dari sistem Penginderaan Jauh. Pada data raster, obyek

geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut

dengan pixel (picture element). Pada data raster, resolusi (definisi

visual) tergantung pada ukuran pixel-nya. Dengan kata lain, resolusi

pixel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang

diwakili oleh setiap pixel pada citra. Semakin kecil ukuran permukaan

bumi yang direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya.

Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang

berubah secara gradual, seperti jenis tanah, kelembaban tanah, vegetasi,

suhu tanah, dsb. Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya

ukuran file; semakin tinggi resolusi grid-nya semakin besar pula ukuran

filenya. Keuntungan utama dari format data vektor adalah ketepatan

dalam merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus. Hal ini

sangat berguna untuk analisa yang membutuhkan ketepatan posisi,

misalnya pada basisdata batas-batas kadaster. Contoh penggunaan

lainnya adalah untuk mendefinisikan hubungan spasial dari beberapa

fitur. Kelemahan data vektor yang utama adalah ketidakmampuannya

dalam mengakomodasi perubahan gradual.

Masing-masing format data mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Pemilihan format data yang digunakan sangat tergantung pada tujuan

penggunaan, data yang tersedia, volume data yang dihasilkan, ketelitian

yang diinginkan, serta kemudahan dalam analisa. Data vektor relatif

lebih ekonomis dalam hal ukuran file dan presisi dalam lokasi, tetapi

sangat sulit untuk digunakan alam komputasi matematik. Sebaliknya,

data raster biasanya membutuhkan ruang penyimpanan file yang lebih

besar dan presisi lokasinya lebih rendah, tetapi lebih mudah digunakan

secara matematis.15

30

4. Sumber data spasial

Sebagaimana telah kita ketahui, SIG membutuhkan masukan data yang

bersifat spasial maupun deskriptif. Beberapa sumber data tersebut antara

lain adalah:14,15

a. Peta analog (antara lain peta topografi, peta tanah, dsb.). Peta analog

adalah peta dalam bentuk cetakan. Pada umumnya peta analog dibuat

dengan teknik kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi spasial

seperti koordinat, skala, arah mata angin dsb. Peta analog dikonversi

menjadi peta digital dengan berbagai cara yang akan dibahas pada bab

selanjutnya. Referensi spasial dari peta analog memberikan koordinat

sebenarnya di permukaan bumi pada peta digital yang dihasilkan.

Biasanya peta analog direpresentasikan dalam format vektor.

b. Data dari sistem Penginderaan Jauh (antara lain citra satelit, foto-udara,

dsb.) Data Pengindraan Jauh dapat dikatakan sebagai sumber data yang

terpenting bagi SIG karena ketersediaanya secara berkala. Dengan

adanya bermacam-macam satelit di ruang angkasa denganspesifikasinya

masing-masing, kita bisa menerima berbagai jenis citra satelit untuk

beragam tujuan pemakaian. Data ini biasanya direpresentasikan dalam

format raster.

c. Data hasil pengukuran lapangan. Contoh data hasil pengukuran lapang

adalah data batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil,

batas hak pengusahaan hutan, dsb., yang dihasilkan berdasarkan teknik

perhitungan tersendiri. Pada umumnya data ini merupakan sumber data

atribut.

d. Data GPS. Teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam

menyediakan data bagi SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin

tinggi dengan berkembangnya teknologi. Data ini biasanya

direpresentasikan dalam format vektor.

31

7.1.5. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

1. Kerangka Teori

Gambar 2.3. Kerangka Teori

2. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Kepadatan hunian

Personal Hygiene

Kejadian Kusta

Jarak tempat tinggal

dgn Puskesmas

Daerah Endemis

kusta

Kontak Belum

terkontaminasi

M.Leprae

Pengetahuan

Sikap

Perilaku

Tempat

Kerja

Penderita

Infeksius

penyakit kusta

Sosial

Ekonomi

Personal

Hygiene

Infeksi

M. Leprae

Kontak

dengan

Penderita

kusta

Sesudah

Dengan

penderita

kusta

Kejadian

Kusta

Faktor

Lingkun

gan

Kepadat

an

penddk

Jarak

tempat

tinggal

dengan

Puskesmas Tidak terjangkau pelayanan

kesehatan

Kemiskinan

32

3. Hipotesis Penelitian

a. Ada hubungan personal hygiene dengan kejadian kusta

b. Ada hubungan antara kemiskinan dengan kejadian kusta

c. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta

d. Ada hubungan jarak tempat tinggal dengan Puskesmas