lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-t33042-sari jacob2.pdflib.ui.ac.id

165
UNIVERSITAS INDONESIA URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN) BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TESIS SARI JACOB 1006829220 FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JANUARI 2013 Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Upload: vuongdien

Post on 20-Apr-2019

224 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

UNIVERSITAS INDONESIA

URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)

BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004

TENTANG JABATAN NOTARIS

TESIS

SARI JACOB

1006829220

FAKULTAS HUKUM

MAGISTER KENOTARIATAN

DEPOK

JANUARI 2013

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 2: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

i

UNIVERSITAS INDONESIA

URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)

BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004

TENTANG JABATAN NOTARIS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan

SARI JACOB

1006829220

FAKULTAS HUKUM

MAGISTER KENOTARIATAN

DEPOK

JANUARI 2013

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 3: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Universitas Indonesia

“Wahai orang-orang yang beriman,

apabila kamu melakukan utang piutang

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah

kamu menuliskannya.

Dan hendaklah seorang penulis diantara

kamu menuliskannya dengan benar.

Janganlah penulis menolak untuk

menuliskannya sebagaimana Allah telah

mengajarkan kepadanya, maka hendaklah

dia menuliskan.

Dan hendaklah orang yang berhutang itu

mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa

kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah

dia mengurangi sedikitpun dari padanya.

Jika yang berutang itu orang yang

kurang akalnya atau lemah (keadaanya),

atau tdak mampu mendiktekan sendiri,

maka hendaklah walinya mendiktekannya

dengan benar.

Dan persaksikanlah dengan dua orang

saksi laki-laki diantara kamu. Jika

tidak ada (saksi) dua orang laki-laki,

maka (boleh) seorang laki-laki dan dua

orang perempuan diantara orang-orang

yang kamu sukai dari para saksi (yang

ada, agar jika yang seorang lupa maka

yang seorang lagi mengingatkannya. Dan

janganlah saksi-saksi itu menolak

apabila dipanggil.

Dan janganlah kamu bosan menuliskannya,

untuk batas waktunya baik (utang itu)

kecil maupun besar. Yang demikian itu

lebih adil disisi Allah, lebih dapat

menguatkan kesaksian, dan lebih

mendekatkan kamu kepada ketidakraguan.

Kecuali jika hal itu merupakan

perdagangan tunai yang kamu jalankan

diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi

kamu jika kamu tidak menuliskannya.

Dan ambillah saksi apabila kamu berjual

beli.

Dan janganlah penulis dipersulit dan

begitu juga saksi. Jika kamu lakukan

(yang demikian), maka sungguh, hal itu

suatu kefasikan pada kamu.

Dan bertakwalah kepada Allah, Allah

memberikan pengajaran kepadamu, dan

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 4: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Universitas Indonesia

“KEBAHAGIAN SEJATI ADALAH

KETIKA KITA DAPAT MELIHAT

ORANG YANG KITA SAYANGI BAHAGIA”

Depok, 17 Januari 2013

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 5: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 6: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

iii Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum WR.WB.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Puji syukur

Penulis panjatkan kepada Allah S.W.T, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya

dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi

salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.

Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi penulis

untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Gandjar Laksmana Bonaprapta, S.H., MH. selaku pembimbing dalam

pembuatan tesis ini yang telah bersedia dengan sabar untuk meluangkan

waktunya disela-sela kesibukannya dengan banyak memberi bantuan dalam

materi tesis serta memberikan banyak pengetahuan bagi penulis selama masa

penulisan tesis ini;

2. Bapak Pieter E. Latumenten, S.H., M.H. dan Ibu Wenny Setiawati, S.H., MLI

selaku Penguji dalam sidang tesis ini yang telah bersedia hadir dalam sidang

tesis dan memberikan nilai pada tesis ini, serta meberikan revisi dan masukan

bagi kesempurnaan tesis ini.

3. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan

Pembimbing Akademis;

4. Seluruh Staf Pengajar Sub Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Indonesia serta staf Sekretariat Sub Program Magister

Kenotariatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

banyak membantu penulis sesuai dengan perannya masing-masing selama

dalam perkuliahan dan penyusunan tesis;

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 7: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

iv Universitas Indonesia

5. Almarhum Ayahanda H.M. Yusuf Jacob dan Ibunda Dra. Hj. Nur’aini Tengku

Hadjadj, kedua orang tua tercinta yang telah memberikan seluruh

dukungannya baik doa, moril maupun materiil yang tidak akan pernah dapat

ternilai harganya;

6. Abang, kakak dan keponakan penulis yang juga senantiasa memberikan doa

dan menghibur penulis dengan interaksi dan canda nya selama penulisan tesis

ini;

7. Enwar Albar, S.Kom., yang selalu membantu dalam bertukar pikiran,

memberikan perhatian, masukan, semangat baik moril maupun materil,

senantiasa mendoakan dan sabar menemani, serta sangat membantu dalam

proses penulisan tesis ini sehingga dapat terselesaikan tepat waktu.

8. Astried, Chikita, Dewi Cantik, Mba Delny, Elza, Mba Meidi, Teh Novi,

teman setia dalam suka dan duka, saling berbagi dalam segala hal, baik ilmu,

canda, tawa, tangis didalamnya, yang menjadikan kami lebih solid dalam

setiap langkah ke depannya. Terimakasih banyak kawan. Terimakasih banyak;

9. Seluruh teman-teman Magister Kenotariatan Universitas Indonesia,

khususnya Angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang

dengan kemampuan, keadaan dan peran masing-masing membantu penulis

dalam menyelesaikan tesis ini.

10. Rengki Irawan Putra Wahyudi, S.H, M.Kn., yang memberikan inspirasi dalam

memulai penulisan tesis ini dan memberikan masukan pada akhir

penyelesaian tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa

penulisan dalam tesis ini tidaklah sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan.,

Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk

lebih menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi kita semua

dan bagi pengembangan ilmu hukum kedepannya.

Depok, 17 Januari 2013

Penulis

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 8: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 9: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 10: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : SARI JACOB

NPM : 1006829220

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul : Urgensi Penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN)

Berkaitan Dengan Ketiadaan Sanksi Pidana Dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris

Tesis ini membahas mengenai pentingnya penerapan Tindak Pidana Notaris

(TPN) dalam UUJN, dimana saat ini banyak terjadi akta otentik yang dibuat oleh

Notaris dipersoalkan di Pengadilan, atau Notaris tersebut dipanggil melalui MPD

untuk dijadikan saksi, bahkan tidak sedikit Notaris yang digugat atau dituntut di

muka Pengadilan. Penyebab permasalahan tersebut bisa timbul akibat kesalahan

baik karena kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa), ataupun karena peraturan

perundang-undangan yang tidak tegas, juga bisa timbul secara tidak langsung

dalam hal dilakukan oleh pihak lain. Apabila dalam menjalankan jabatannya

seorang Notaris terbukti melakukan kesalahan atau melanggar ketentuan dalam

UUJN, maka Notaris tersebut hanya mendapatkan sanksi berupa sanksi perdata

dan sanksi administratif. Dari sanksi-sanksi dalam UUJN tersebut dipercaya tidak

dapat membuat efek jera bagi Notaris yang melakukan kesalahan atau

pelanggaran, bahkan yang cukup ironi pada sanksi tersebut ada sanksi

pemberhentian dengan hormat, sehingga terkesan seorang Notaris yang apabila

secara sah dan terbukti melakukan kesalahan atau pelanggaran masih

mendapatkan penghormatan untuk diberhentikan dari suatu jabatannya. Dengan

ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN maka pengaturan mengenai sanksi terhadap

Notaris menjadi kurang sempurna, karena tidak adanya sanksi yang tegas dan

jelas akan tindakan-tindakan yang dikategorikan tindak pidana khusus yang hanya

dapat dilakukan oleh Notaris, yang kenyataannya belum ada satupun peraturan

yang mengatur mengenai hal tersebut. Hasil penelitian ini menyarankan untuk

dilakukan penyempurnaan peraturan mengenai sanksi dalam UUJN sebagai salah

satu cara untuk mengklasifikasikan dan membatasi tindakan-tindakan Notaris

menyangkut tindak pidana yaitu dengan merumuskan Tindak Pidana Notaris

(TPN) dan sanksi pidananya.

Kata kunci:

Tindak Pidana Notaris (TPN), Ketiadaan Sanksi Pidana, UUJN.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 11: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

viii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : SARI JACOB

Postgraduate Study Program : Master of Notary

Title : The Urgency of Implementation of Notary

Criminal Act (TPN) relation with in the

absence of Criminal Sanctions in Act No.

30 of 2004 about Notary Function.

This thesis discusses the importance of the implementation of the Crime of

Notaries (TPN) in UUJN, which is currently a lot happening authentic deed of

Notary questioned in court, or notary is called upon by the MPD to be witnesses,

not even a little notary sued or prosecuted in advance court. Causes of these

problems may arise due to errors either due to deliberate (dolus) and negligence

(culpa), or because the laws are not strict, it can also arise indirectly in the case

made by the other party. If in doing his job a Notary proven guilty or violates the

UUJN, the notary is only sanctioned by civil penalties and administrative

sanctions. Of sanctions in UUJN is believed can not create a deterrent effect for

Notaries who make mistakes or violations, even considerable irony in the

dismissal sanction sanction exists with respect, giving the impression of a notary

legally and if proven guilty or breach still get honor to be dismissed from the

office. In the absence of criminal sanctions in UUJN the setting of sanctions

against the Notary be less than perfect, in the absence of a firm and clear sanctions

for measures specifically categorized as a crime that can only be done by a notary,

the fact that no single rule governing the matter them. The results of this study do

suggest to improve the regulation of the UUJN sanctions as a way to classify and

restrict the actions involve criminal Notary is to formulate Crime Notary (TPN)

and criminal sanctions.

Key words:

Notary Criminal Act, Absence of Criminal Sanction, Act No.30 of 2004 about

Notary Function (UUJN)

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 12: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

1

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Istilah profesi, profesional dan profesionalisme sudah tidak asing lagi di

telinga kita. Ketika kita berbicara tentang profesi maka orang akan

mengkaitkannya dengan profesional dan juga profesionalisme. Profesi sendiri

memiliki arti pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk

menghasilkan naskah hidup yang mengandalkan suatu keahlian.1

Dalam hal profesi, Mc Cully mengatakan sebagai : “Vocation an which

profesional knowledge of some department a learning science is used in its

application to the other or in the practice of an art found it “.2

Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa dalam suatu pekerjaan

yang bersifat profesional dipergunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada

landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara

langsung dapat diterapkan kepada masyarakat. Faktor penting dalam hal ini

adalah intelektualitas yang didalamnya tercakup satu atau beberapa keahlian kerja

yang dianggap mampu menjamin proses pekerjaan dan hasil kerja profesional,

atau tercapainya nilai-nilai tertentu yang dianggap ideal menurut pihak yang

menikmatinya.

Profesional adalah orang yang mempunyai profesi. Seseorang dikatakan

profesional apabila orang tersebut tahu akan keahlian dan keterampilannya, dia

meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu, dan bangga

akan pekerjaannya.

Profesionalisme sangat ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam

melakukan suatu pekerjaan menurut bidang tugas dan tingkatannya masing-

masing. Hasil dari pekerjaan itu lebih ditinjau dari segala segi objek, penyesuaian

1Serian Wijatno, Pengelolaan Perguruan Tinggi Secara Efisien, dan Ekonomis (Jakarta:

Salemba Empat, 2006), hal. 311. 2Tabrani Rusyan, Profesionalisme Tenaga Kependidikan (Bandung: Yayasan Karya

Sarjana Mandiri, 1990), hal. 4.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 13: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

2

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

porsi, bersifat terus-menerus dalam suatu kondisi yang bagaimanapun serta jangka

waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif singkat.3

Menurut Korten & Alfonso dalam Tjokrowinoto yang dimaksud dengan

profesionalisme adalah kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh

birokrasi (bureaucratic-competence) dengan kebutuhan tugas (task-requirement),

merencanakan, mengkordinasikan, dan melaksanakan fungsinya secara efisien,

inovatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi.4

Tuntutan atas profesionalisme, sebagai suatu paham dan konsep idealisme

profesional, sering dijadikan tuntutan terhadap semua profesi dan jabatan di

berbagai bidang pekerjaan tidak terkecuali Jabatan Notaris.

Notaris sebagai pejabat umum, posisinya sangat penting dalam membantu

menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi masyarakat.

Sebagai seorang pejabat umum Notaris wajib memahami dan mematuhi semua

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Notaris seyogianya

berada dalam ranah pencegahan (preventif) terjadinya masalah hukum melalui

akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di

pengadilan.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin menyebutkan :

“Notaris sebagai profesi mulia, melaksanakan tugas jabatan tidaklah semata-

mata untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat,

serta mempunyai kewajiban untuk menjamin kebenaran akta-akta yang

dibuatnya, karena itu seorang Notaris dituntut bertindak jujur dan adil bagi

semua pihak. Notaris berperan membantu menciptakan kepastian dan

perlindungan hukum bagi masyarakat karena berada dalam ranah pencegahan

terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti

paling sempurna di pengadilan”5

Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat

seorang dapat memperoleh nasehat hukum yang boleh diandalkan. Segala sesuatu

3Suit, Y dan Almasdi, Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber Daya Manusia,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal. 99. 4Tjokrowinoto dan Muljarto, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996), hal. 178. 5“Notaris Berperan Membantu Terciptanya Kepastian Hukum”,

http://www.antaranews.com/berita/294406/menkumhamnotarisberperanmembantu-terciptanya-

kepastian-hukum, diunduh 28 Februari 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 14: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

3

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

yang ditulis dan ditetapkannya (konstatir) adalah benar, Notaris adalah pembuat

dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.6

Notaris sebagai Pejabat Umum atau istilah bahasa Belanda yaitu Openbare

Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya

disebut PJN) Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia, Stb 1860:3

menyebutkan bahwa :

“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat

akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang

diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan

dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian

tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya,

semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) menyebutkan bahwa :

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”

Kemudian disebutkan pula dalam penjelasan umum UUJN, bahwa Notaris

adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh

pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.

Melihat pengertian Notaris diatas, dapat dipahami bahwa Notaris sebagai pejabat

umum adalah organ Negara yang diberikan kekuasaan berwenang menjalankan

sebagian dari kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis secara otentik

dalam bidang hukum perdata, yang dapat diartikan pula bahwa kedudukannya

sama dengan Pejabat Negara namun walaupun demikian, jabatan seorang Notaris

tidak sama dengan pejabat-pejabat Negara lainnya karena Notaris tidak menerima

gajinya dari Pemerintah, akan tetapi mendapatkan upah atau yang biasa disebut

honorarium dari mereka yang meminta jasanya.

Notaris merupakan salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di

dunia. Jabatan Notaris ini tidak ditempatkan di lembaga eksekutif, legislatif

ataupun yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga apabila

ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka Notaris tidak

6Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, cet. 1, (Jakarta: PT

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007), hal. 444.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 15: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

4

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

lagi dapat dianggap netral. Dengan posisi netral tersebut, Notaris diharapkan

untuk memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan hukum yang

dilakukan Notaris atas permintaan kliennya. Dalam hal melakukan tindakan

hukum untuk kliennya, Notaris juga tidak boleh memihak kliennya, karena tugas

Notaris ialah untuk mencegah terjadinya masalah (anti trial role).

Masalah-masalah yang dapat terjadi tersebut disebabkan adanya hubungan

manusia sebagai mahluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lainnya.

Dalam interaksi tersebut, seringkali terjadi benturan kepentingan yang

mengakibatkan terganggunya keseimbangan masyarakat. Untuk itu, diperlukan

kaidah yang menjadi aturan dalam kehidupan masyarakat.

Kaidah hukum dianggap sebagai kaidah yang memiliki kekuatan sanksi

yang paling kuat dan langsung dapat dirasakan di kehidupan dunia.Tidak mudah

untuk memberikan pengertian tentang hukum sebagai suatu kaidah. Hal ini

disebabkan karena begitu luasnya ruang lingkup hukum itu sendiri. Hampir semua

kehidupan manusia akan bersentuhan dengan hukum.

Dewasa ini, hukum menjadi aspek yang sangat penting pada saat manusia

saling berinteraksi. Hampir semua perbuatan manusia diatur dengan hukum, mulai

dari manusia lahir sampai meninggal, hukum menyentuh seluruh aspek kehidupan

manusia baik yang bersifat publik maupun privat.

Dalam interaksi antar sesama manusia, seringkali terjadi hubungan hukum

antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Untuk menjamin kepastian dalam

hubungan hukum yang sengaja dibentuk, seringkali hubungan tersebut dituangkan

secara tertulis. Hal itu dilakukan untuk memudahkan pembuktian atas terjadinya

hubungan hukum tersebut. Pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan

“akta otentik” maupun dengan “akta dibawah tangan”.

Notaris sebagai seorang Pejabat Umum dihadirkan dengan maksud untuk

membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan pembuktian dengan alat

bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan

hukum. Dengan demikian Notaris diberikan kewenangan dalam menjalankan

jabatannya untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut.

Kewenangan Notaris harus jelas dan tegas dalam peraturan perundang-

undangan yang mengatur jabatan notaris, sehingga jika seorang Notaris

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 16: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

5

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

melakukan suatu tindakan diluar wewenang disebut sebagai perbuatan melanggar

hukum. Kewenangan tersebut dikuatkan kembali dalam Pasal 15 ayat 1 UUJN

yang menyebutkan mengenai kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum yaitu

membuat akta otentik.

Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, selanjutnya disebut KUHPerdata, mengenai akta otentik yang berbunyi :

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk ditentukan oleh

undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang

untuk itu di tempat akta itu dibuatnya.”

Ditegaskan bahwa suatu akta otentik yang dalam bentuknya yang telah

ditentukan oleh undang-undang tersebut harus dibuat oleh pejabat umum yang

berwenang. Dalam bentuk perkataan diatas adanya penunjukan terhadap seorang

pejabat umum tetapi tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pejabat umum

itu sendiri, maka dibuatlah PJN yang dapat disebut sebagai peraturan pelaksana

dari Pasal 1868 KUHPerdata, di mana menjelaskan bahwa Notaris-lah yang

dimaksud sebagai pejabat umum.7

Dalam pembuatan akta otentik, Notaris perlu memperhatikan apa yang

disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut :8

1. Memiliki integeritas moral yang mantap.

2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual).

3. Sadar akan batas-batas kewenangannya.

4. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.

Ismail Saleh menyatakan bahwa ada empat pokok yang harus diperhatikan

oleh para Notaris, yaitu sebagai berikut:9

1. Dalam menjalankan, tugas profesinya, seorang Notaris harus mempunyai

integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral

harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan

7G. H. S. Lumban Tobing, SH, Peraturan Jabatan Notaris, Cet.3, (Jakarta: Erlangga,

1983), hal. 6. 8Liliana Tedjasaputro, Etika Profesi Notaris (Dalam Penegakan Hukum Pidana),

(Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1995), hal. 86. 9Ismail Saleh, “Membangun Citra Profesional Notaris Indonesia”, (Pengarahan/ceramah

Umum Menteri Kehakiman Republik Indonesia disampaikan pada Upgrading/Refresing Course

Notaris se-Indonesia, Bandung, 1993), hal. 18-21.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 17: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

6

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan

dengan moral yang baik harus dihindarkan.

2. Seorang Notaris harus jujur, tidak saja pada kliennya juga pada dirinya

sendiri. Ia harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak

memberi janji-janji sekedar untuk menyenangkan kliennya, atau agar klien

tetap mau memakai jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran

tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang Notaris.

3. Seorang Notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya.

Notaris harus mentaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang

seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak

boleh dilakukan.

Adalah bertentangan dengan perilaku professional apabila seorang Notaris

ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak ditempat kedudukannya

sebagai Notaris. Atau memasang papan dan mempunyai kantor diluar

tempat kedudukannya. Seorang Notaris juga dilarang untuk menjalankan

jabatannya diluar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar,

maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya otentiknya.

4. Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang

lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas

profesinya ia tidak boleh semata-mata didorong oleh pertimbangan uang

semata. Seorang Notaris yang pancasilais harus tetap berpegang teguh

kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang dan

tidak semata-mata hanya menciptakan suatu alat bukti formal mengejar

kepastian hukum, tetapi mengabaikan rasa keadilan.

Mengenai tanggung jawab Notaris selaku Pejabat Umum yang

berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi 4 (empat) poin,

yakni:10

1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil

terhadap akta yang dibuatnya.

10

Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta: UII PressYogyakarta,

2009), hal. 34.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 18: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

7

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam

akta yang dibuatnya.

3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris, UUJN,

terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya.

4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan

kode etik Notaris.

Di dalam Pasal 16 huruf a UUJN, Notaris diwajibkan bertindak jujur,

seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak yang

terkait dalam perbuatan hukum. Di samping itu Notaris sebagai pejabat umum

harus peka, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir dan mampu memberikan

analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang

muncul sehingga dengan begitu akan menumbuhkan sikap keberanian dalam

mengambil tindakan yang tepat. Keberanian yang dimaksud disini adalah

keberanian untuk melakukan perbuatan hukum yang benar sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku melalui akta yang dibuatnya dan menolak

dengan tegas pembuatan akta yang bertentangan dengan hukum, moral dan

etika.11

Apabila suatu akta merupakan akta otentik, maka akta tersebut akan

mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap para pihak yang membuatnya yaitu :12

1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan

perjanjian tertentu.

2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian

adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.

3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali

jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan

bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.

Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang agar suatu

akta menjadi otentik, seorang Notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut

wajib melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin, professional dan integritas

11

Wawan Setiawan, “Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik”,

Media Notariat, (Edisi Mei-Juni 2004), hal. 25.

12Salim HS, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006), hal. 43.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 19: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

8

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertuang dalam awal sampai akhir akta

yang menjadi tanggung jawab Notaris adalah ungkapan yang mencerminkan

keadaan yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta.

Dalam pembuatan akta tersebut, setiap orang yang menggunakan jasa

Notaris pasti ingin diperlakukan jujur, adil, tidak berpihak dan seusai dengan

hukum dan aturan yang berlaku. Namun dalam kenyataannya tidak sedikit Notaris

yang melakukan kesalahan dan melanggar dari aturan yang telah ditetapkan.

Tidak sedikit Notaris yang tidak jujur dan hanya mementingkan

pendapatan semata dengan mengenyampingkan norma dan etika yang telah di

atur. Bahkan akhir-akhir ini banyak Notaris yang mulai terseret dalam Berita

Acara Pemeriksaan (BAP) suatu kasus pidana, entah itu sebagai tersangka, saksi,

ataupun aktanya dipermasalahkan karena mengandung unsur pidana. Tidak sedikit

Notaris yang dipanggil oleh penyidik kepolisian karena banyaknya laporan dari

masyarakat atas kelalaian atau kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja.

Sepanjang Notaris yang dipanggil tersebut mematuhi dan mentaati aturan-

aturan yang terdapat dalam UUJN maupun kode etik Notaris maka Notaris yang

bersangkutan akan aman dari segala tindakan atau perbuatan yang melawan

hukum terutama bidang hukum pidana.

Apabila ketentuan pada UUJN dilanggar terutama dengan memasukkan

keterangan palsu ke dalam akta otentik, maka pada fase tersebut Notaris dapat

dijadikan sebagai tersangka. Fase berikutnya apabila akta yang dibuat Notaris

tersebut terbukti karena kesalahannya atau kesengajaannya oleh karena kehendak

jahat, maka pada fase tersebut Notaris yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai

terdakwa. Apabila pengadilan melalui Majelis Hakim dapat membuktikan secara

fakta hukum, Notaris tersebut terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan maka

pada fase itu Notaris tersebut telah menjadi seorang terpidana melalui suatu

keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pemanggilan Notaris oleh penyidik kepolisian berkaitan dengan dugaan

pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya membutuhkan penyelidikan dan

penyidikan yang lebih mendalam dan seksama dari pihak penyidik kepolisian.

Apakah benar pelanggaran hukum tersebut dilakukan oleh Notaris, atau para

pihak yang menandatangani akta tersebut lah yang melakukan pelanggaran hukum

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 20: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

9

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

dengan memberikan keterangan yang tidak jujur dan menyembunyikan dokumen

yang seharusnya diperlihatkan kepada Notaris. Dalam hal ini dibutuhkan

pengetahuan hukum yang mendalam dan paradigma berfikir yang luas untuk

mengambil keputusan yang benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam

menetapkan bersalah tidaknya seorang Notaris dalam suatu pemeriksaan hukum

pidana.

Dari pemberitaan pada hukumonline.com, diketahui bahwa dalam

menjalankan jabatannya Notaris berpotensi melakukan beberapa tindak pidana di

antaranya, pemalsuan dokumen atau surat, penggelapan, pencucian uang,

memberikan keterangan palsu dibawah sumpah.13

Potensi lain yang ditemukan dalam praktik Notaris, jika ada akta Notaris

dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lain, maka sering pula Notaris ditarik

sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak

pidana. Tindak pidana dimaksud diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (selanjutnya disebut KUHP).

Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Pidana itu sendiri menurut

Prof. Mr. W.F.C. van Hattum yaitu merupakan suatu keseluruhan dari asas-asas

dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh Negara atau suatu masyarakat hukum

umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum

umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar

hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya

dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.14

Sedangkan

Prof. Simons membagi hukum pidana dalam arti objektif (hukum positif atau ius

poenale) dan dalam arti subjektif (ius puniendi).15

Prof. W.P.J. Pompe telah membuat suatu rumusan singkat mengenai

hukum pidana yaitu bahwa hukum pidana adalah semua aturan hukum yang

menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana,

dan apakah macamnya pidana itu. Definisi hukum pidana menurut Prof. Van

13“Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya”,

http://pmg.hukumonline.com/klinik/detail/cl5135/unsur-unsur-pidana-yang dihadapi-notaris-

dalam-menjalankan-jabatannya, diunduh tanggal 28 Februari 2012. 14P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, cet. Ketiga (Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 2-3. 15Ibid., hal. 3-4.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 21: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

10

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Hamel dalam bukunya Inlending Studie Ned.Strafrecht 1927, yang berbunyi

hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu

Negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan

melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa

kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.16

Sedangkan menurut Van Kan Hukum Pidana tidak mengadakan norma-

norma baru dan tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum

ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan

mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi

yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah

ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah

hukum sanksi (het straf-recht iswezenlijk sanctie-recht).17

Menurut Moeljatno, Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan

hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-

aturan untuk : 18

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,

yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa

pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi

pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.

Menurut Mohammad Ekaputra, menyebutkan gambaran tentang hukum

pidana, bahwa hukum pidana setidaknya merupakan hukum yang mengatur

tentang: 19

a. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;

b. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana

16Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet.7, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 7-8. 17Ibid, hal. 3. 18Ibid., hal.1. 19Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010), hal.5.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 22: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

11

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

c. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang

melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik)

d. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.

Dasar pokok sistem hukum pidana di Indonesia yaitu menganut asas

legalitas (principle of legality) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP,

merupakan asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-

undangan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege). Maka tidak ada

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal itu terlebih dahulu

belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.20

Sanksi pidana yang dijatuhi kepada seorang Notaris menjadi pertanyaan

besar, ternyata seorang Notaris yang sudah paham dengan hukum dan sudah di

sumpah oleh pemerintah dapat melakukan kesalahan kesengajaan (culpa) dan

kelalaian (khilaf/alpa) baik sendiri maupun bersama-sama para penghadap atau

pihak lain untuk melakukan tindak pidana.

Notaris sebagai manusia biasa secara kodrati dapat melakukan kesalahan-

kesalahan baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas.

Beberapa kasus yang dapat dikemukakan di lapangan tentang tindakan-tindakan

terhadap Notaris dalam menjalankan tugasnya selaku pejabat umum, antara lain,

pemanggilan Notaris sebagai saksi, kemudian ditingkatkan sebagai tergugat di

pengadilan menyangkut akta yang dibuat dan dijadikan alat bukti.

Dalam praktik saat ini sudah banyak terjadi akta yang dibuat oleh Notaris

sebagai alat bukti otentik dipersoalkan di Pengadilan atau Notaris tersebut

langsung dipanggil untuk dijadikan saksi, bahkan tidak sedikit Notaris digugat

atau dituntut di muka Pengadilan.

Penyebab permasalahan bisa timbul secara langsung akibat kelalaian

Notaris, juga bisa timbul secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh orang

lain. Apabila penyebab permasalahan timbul akibat kelalaian Notaris memenuhi

ketentuan undang-undang, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan

pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau menjadi batal demi hukum, yang

dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian menuntut penggantian

20Moeljatno, op.cit, hal. 23-25.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 23: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

12

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

kepada Notaris, dalam hal penyebab permasalahan bukan timbul dari kesalahan

Notaris, melainkan timbul karena ketidakjujuran klien terkait kebenaran syarat

administrasi sebagai dasar pembuatan akta, berakibat akta tersebut batal demi

hukum.

Notaris sudah mempunyai standar prosedur dalam melaksanakan tugasnya,

apabila Notaris tersebut sudah menjalankan tugasnya seusai dengan prosedur yang

telah ditetapkan bisa dipastikan Notaris tersebut tidak akan bersentuhan dengan

sanksi perdata maupun sanksi pidana.

Standar prosedur, kewenangan, kewajiban dan larangan Notaris sudah

diatur dalam UUJN. Undang-Undang tersebut disahkan di Jakarta pada tanggal 6

Oktober 2004, sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 yang terdiri dari 13 Bab dan 92 Pasal semakin

mempertegas posisi penting Notaris sebagai pejabat umum yang memberikan

kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya.

Landasan filosofis lahirnya UUJN adalah terwujudnya jaminan kepastian

hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran, dan

keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian

hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.21

Akta otentik pada hakikatnya

memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak

kepada Notaris. Oleh karena itu, bukan saja Notaris yang harus dilindungi tetapi

juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa Notaris.

Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa

yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai

dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi

jelas isi akta Notaris serta memberikan akses terhadap informasi termasuk akses

terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak

penandatangan akta Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak

memihak dan bebas (unpartiality and Independency).22

21Salim HS. dan Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, (Jakarta: Sinar Grafika,

2007), hal. 101-102. 22Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 22.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 24: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

13

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

UUJN mengatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai atau

dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris,

dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam UUJN dan Kode

Etik Jabatan Notaris. Mengenai pengaturan sanksi pidana diatur dalam peraturan

sebelumnya yaitu PJN, tetapi saat ini dalam UUJN tidak mengatur adanya sanksi

pidana terhadap Notaris.

Apabila dalam melaksanakan tugasnya seorang Notaris terbukti

melakukan kesalahan atau melanggar ketentuan dalam UUJN, maka Notaris

tersebut hanya mendapatkan sanksi berupa sanksi administratif atau sanksi

perdata. Dalih lain yang bisa dilakukan oleh seorang Notaris adalah bahwa setiap

aktifitas yang dilaksanakan diawasi oleh Majelis Pengawas Notaris (selanjutnya

disebut MPN).

Dengan dalih tersebut apabila seorang Notaris yang melakukan

pelanggaran secara sah baik sengaja ataupun tidak disengaja hanya dikenakan

sanksi administratif atau sanksi perdata tanpa dikenakan sanksi pidana, sanksi

yang paling berat hanya sekedar pemberhentian secara tidak hormat.

Sanksi–sanksi yang terdapat pada norma masyarakat pada dasarnya dibuat

untuk membuat efek jera bagi seseorang yang melakukan pelanggaran agar tidak

mengulangi perbuatan melawan hukum. Sanksi-sanksi yang bisa dijerat yaitu dari

sanksi administratif, sanksi perdata sampai sanksi pidana. Sanksi pidana terbilang

sanksi yang cukup mumpuni untuk membuat efek jera bagi orang yang melakukan

kesalahan. Sanksi yang berupa sanksi administratif atau sanksi perdata dipercaya

tidak membuat orang yang melakukan kesalahan tersebut menjadi jera karena

sanksi tersebut terbilang ringan.

Dalam pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris sanksi yang dapat

dikenakan oleh Notaris yang melakukan pelanggaran dapat berupa teguran lisan,

teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, dan

pemberhentian dengan tidak hormat.

Dari sanksi-sanksi dalam UUJN tersebut dipercaya tidak dapat membuat

efek jera bagi Notaris yang melakukan kesalahan atau pelanggaran, bahkan yang

cukup ironi pada sanksi tersebut ada sanksi pemberhentian dengan hormat

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 25: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

14

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

sehingga terkesan seorang Notaris yang apabila secara sah dan terbukti melakukan

pelanggaran atau kesalahan masih mendapatkan penghormatan untuk

diberhentikan dari suatu jabatannya.

UUJN yang diharapkan menjadi sandaran bagi seorang Notaris karena

semua aturan yang mengenai jabatan Notaris terdapat di Undang-Undang tersebut

ternyata malah menjadikan Undang-Undang tersebut sebagai celah untuk

pembelaan bagi Notaris apabila terkena masalah hukum agar terbebas dari sanksi

pidana.

Dari beberapa permasalahan diatas, suatu hal yang wajar apabila sebagian

orang berpendapat Notaris kebal terhadap hukum. Sehingga timbul pertanyaan

mengenai urgensi penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN) mengingat tidak

terdapatnya sanksi pidana dalam UUJN tersebut yang membuat seorang Notaris

tidak jera dengan masalah hukum yang didahapinya.

Oleh karena banyaknya permasalahan diatas, dalam hal ini penulis tertarik

untuk membahas dan menganalisis mengenai latar belakang masalah yang telah

diuraikan diatas dengan judul tesis :

“URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)

BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN

NOTARIS”

1.2. Identifikasi Masalah

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang masalah sebelumnya,

maka dapat dirumuskan identifikasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1. Mengapa tidak terdapatnya pengaturan mengenai sanksi pidana dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris?

2. Bagaimanakah urgensi penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN) berkaitan

dengan ketiadaan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris ?

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 26: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

15

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk lebih memahami mengenai tidak terdapatnya sanksi Pidana

terhadap Notaris dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris.

2. Untuk mengetahui mengenai sejauh mana urgensi penerapan Tindak

Pidana Notaris (TPN) berkaitan dengan ketiadaan sanksi pidana dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan baik secara teoritis

maupun praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Secara teoritis :

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

2. Secara praktis :

a. Sebagai masukan yang bermanfaat dalam menjamin kepastian,

ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan

keadilan dalam penyelesaian permasalahan pidana dibidang

Kenotariatan.

b. Sebagai masukan pemerintah dalam menentukan posisi dan melakukan

pengawasan untuk mengatasi tindak pidana Notaris.

c. Sebagai masukan dalam rangka peninjauan kembali Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai pengaturan

Tindak Pidana Notaris (TPN) dan sanksi pidananya.

d. Sebagai sumbangan bermanfaat bagi aparat penegak hukum dalam

menangani perkara tindak pidana Notaris.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 27: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

16

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

e. Sebagi informasi dan saran pencegahan terhadap maraknya tindak

pidana Notaris yang menyebabkan kerugian materiil maupun

immateriil terhadap pemerintah dan masyarakat pengguna jasa Notaris.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, oleh karena itu penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten dengan

mengandalkan analisa dan konstruksi

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode

Penelitian Yuridis Normatif, yaitu metode penelitian yang menggunakan cara

berfikir deduktif dan berdasarkan kepada kebenaran yang koheren dalam

menemukan kebenaran. Kebenaran tersebut dalam suatu penelitian sudah dapat

dinyatakan reliable tanpa harus melalui proses pengujian atau verifikasi. Pada

penelitian yuridis normatif sepenuhnya mempergunakan data sekunder.

Tipologi penelitian yang digunakan adalah analistis evaluatif, yaitu

menganalisis secara tepat dan terperinci mengenai urgensi Tindak Pidana Notaris

(TPN) berkaitan dengan ketiadaan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

diperoleh melalui penelusuran kepustakaan. Data sekunder yang akan digunakan

dalam penelitian adalah :

a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan perundang-undangan yaitu Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Peraturan Jabatan Notaris dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris sebagai bahan yang berkaitan dengan pembahasan

identifikasi masalah dalam penelitian tesis ini.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer seperti buku-buku, artikel-artikel atau majalah hukum yang

berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian tesis ini.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 28: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

17

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,

ensiklopedia, indeks kumulatif, dan lain-lain.

Untuk memperoleh hasil yang objektif, maka data dalam penelitian ini

diperoleh melalui alat pengumpulan data yang terhadap data primer, dilakukan

pengumpulan data dengan melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang ada

kaitannya terhadap permasalahan yang diteliti, dengan menggunakan pedoman

wawancara sebagai alat pengumpulan data. Dan terhadap data sekunder,

pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu dengan

menghimpun data yang berasal dari kepustakaan yang berupa peraturan

perundang-undangan, buku-buku/literatur, dan karya ilmiah seperti makalah,

majalah-majalah, dan segala tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini.

Lokasi penelitian dilakukan pada perpuspakaan Universitas Indonesia,

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia-

Majelis Pengawas Notaris (MPP, MPW dan MPD), Departemen Keuangan-

Direktorat Pajak, Badan Peratanahan Nasional (BPN), beberapa Kantor Notaris di

Jakarta, organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan masyarakat pengguna jasa

Notaris.

Metode analisis data merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu

penelitian untuk memerikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Seluruh

data-data yang diperoleh diklasifikasikan dan disusun secara sistematis, sehingga

dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis.

Metode yang digunakan dalam pengolahan data maupun analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, suatu metode analisis

data deskriptif analistis yang mengacu pada suatu masalah tertentu dan dikaitkan

dengan pendapat para pakar maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 29: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

18

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

1.6. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam tesis ini yang keseluruhannya terdiri dari 3

(tiga) bab, yang disusun dalam suatu sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I : PENDAHULUAN.

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang pemilihan

permasalahan yang akan dikaji, maksud dan tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, dan metode penelitian serta diuraikan

mengenai sistematika penulisan. Hal ini menjadikan bab ini

sebagai dasar bagi pembahasan dalam bab-bab selanjutnya.

Bab II : PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS DALAM

MENJALANKAN JABATANNYA BERKAITAN DENGAN

KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.

Bab ini terdiri dari tiga sub bab. Pada Sub bab pertama diuraikan

pembahasan tentang tinjauan umum Notaris dan UUJN secara

mendetail kewajiban, kewenangan dan larangan Notaris sebagai

pejabat umum dan Notaris sebagai suatu profesi.

Pada sub bab kedua, diuraikan mengenai tinjauan umum Tindak

Pidana Notaris (TPN) dan sanksi pidana yang menguraikan lebih

lanjut tentang Pengertian Sanksi, Faham/Aliran Pemberian sanksi,

Teori Sanksi, serta jenis sanksi yang terdiri atas sanksi pidana,

sanksi perdata dan sanksi administratif.

Pada sub bab ketiga akan menganalisa lebih lanjut urgensi

penerapan Tindak Pidana Notaris berkaitan dengan ketiadaan

sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris

Bab III : PENUTUP.

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan tesis ini yang

berisi mengenai simpulan dari analisis pada bab-bab sebelumnya

serta saran terhadap masalah-masalah yang dikaji tersebut.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 30: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

19

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

BAB II

PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN) BERKAITAN

DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.

2.1. TINJAUAN UMUM NOTARIS

2.1.1. SEJARAH SINGKAT NOTARIAT

Sejarah Notariat di Indonesia23

tidak dapat terlepas dari sejarah lembaga di

Negara-negara Eropa pada umumnya dan negeri Belanda pada khususnya.

Dikatakan demikian oleh karena perundang-undangan Indonesia dibidang notariat

berakar pada “Notariswet” dari negeri Belanda 9 Juli 1842 (Ned.Stbl.no.20),

sedangkan “Notariswet” itu sendiri pada gilirannya, sekalipun itu tidak merupakan

terjemahan sepenuhnya, namun susunan dan isi nya sebagian besar mengambil

contoh dari undang-undang notaris Perancis dari 25 ventosean XI (16 Maret 1803)

yang dahulu pernah berlaku di negeri Belanda.

Sejarah lembaga notariat yang dikenal saat ini dimulai pada abad ke-11

atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di

Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang

dinamakan “Latinjse Notariaat" tercermin bahwa notaris diangkat oleh penguasa

umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya

(honorarium) dari masyarakat umum pula.

Pada tahun 1888 merupakan peringatan delapan abad berdirinya Sekolah

Hukum Bologna yang merupakan universitas tertua di dunia. Pendiri dari

universitas ini adalah IRNERIUS. Karya pertama yang dihasilkan oleh

Universitas Bologna ini adalah “Formularium Tabellionum” dari Irnerius sendiri.

Seratus tahun kemudian Rantero di Perugia mempersembahkan karyanya yang

berjudul “Summa Artis Notariae”. Pada abad ke-13 muncul karya “Summa Artis

Notariae” yang sangat terkenal dari seorang penduduk Bologna bernama

Rolandinus Passegeri, masih banyak buku-buku yang ditulis oleh Rolandinus

23

G. H. S. Lumban Tobing, op. cit., hal. 10

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 31: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

20

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

antara lain “Flos Tentamentorium”. Rolandinus merupakan “coryfee” dari para

Notaris sepanjang abad. Summa-summanya dipakai sampai abad ke-17, karya-

karya tersebut masih tetap dipertahankan sampai abad ke-19. Dimulai secara

singkat dengan suatu Bab mengenai Notariat sendiri, yakni mengenai sejarahnya,

tugas dari Notaris, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Notaris, bentuk dari

akta-akta dan apa yang harus dimuat dalam akta, seperti misalnya pemberitahuan

dari hari, tanggal dan tahun serta nama-nama dari para saksi, tentang salinan-

salinan akta dan kewajiban merahasiakan isi akta-akta, protokol dan esensialia-

esensialia lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan Notaris. Bagian

keperdataan dari Summa dan Artis biasanya dibagi dalam 3 pokok, yakni Hukum

Perjanjian, Hukum Waris, Hukum Acara Perdata (mengingat tugas kepaniteraan

dari para Notaris pada badan-badan peradilan).

1. Notarii

Dalam abad ke-2 dan ke-3 sesudah Masehi dan bahkan jauh sebelumnya yang

dinamakan para Notarii tidak lain adalah orang-orang yang memiliki keahlian

untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat didalam menjalankan

pekerjaan mereka, yang pada hakekatnya mereka itu dapat disamakan dengan

“stenografen”. Para notarii memperoleh nama itu dari perkataan “nota

literaria” artinya tanda tulisan atau character, yang mereka pergunakan

untuk menuliskan atau menggambarkan perkataan-perkataan.

Untuk pertama kalinya nama “notarii” diberikan kepada orang-orang yang

mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh Cato dalam

senaat Romawi dengan menggunakan tanda-tanda kependekan (abbreviations

atau characters). Kemudian pada abad ke-5 dan abad ke-6 nama “notarii”

diberikan secara khusus kepada para penulis pribadi Kaisar, sehingga dengan

demikian nama “notarii” kehilangan arti umumnya dan pada akhir abad ke-5

perkataan “notarii” merupakan pejabat-pejabat istana yang melakukan

berbagai ragam pekerjaan kanselarij Kaisar dan yang semata-mata

merupakan pekerjaan administratif.

Pada waktu itu terdapat lima tingkatan tertinggi dan merupakan orang kedua

dalam administrasi itu, pekerjaan mereka terutama adalah untuk menuliskan

segala sesuatu yang dibicarakan dalam konsistorium Kaisar pada rapat-rapat

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 32: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

21

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

kenegaraan. Notarii yang mempunyai kedudukan tinggi ini tidak mempunyai

persamaan dengan notaris yang dikenal sekarang, yang sama hanya nama.

Institut dari “tribunii notarii kekaisaran” ini mempunyai pengaruh besar di

dalam terjadinya Notariat sekarang.

2. Tabeliones

Pada permulaaan abad ke-3 sesudah Masehi telah dikenal yang dinamakan

“tabeliones”. Para tabeliones ini mempunyai persamaan dengan para

pengabdi dari Notariat oleh karena mereka adalah orang-orang yang

ditugaskan bagi kepentingan masyarakat umum untuk membuat akta-akta dan

surat-surat namun kedudukan atau jabatan mereka tidak memiliki sifat

kepegawaian dan juga tidak ditunjuk atau diangkat oleh kekuasaan umum

untuk melakukan sesuatu formalitas yang ditentukan oleh undang-undang.

Para tabeliones ini lebih tepat dipersamakan saat ini dengan

“zaakwaarnemer”, sudah dikenal semasa pemerintahan Ulppianus, kemudian

pekerjaan mereka baru diatur dalam peraturan perundang-undangan pada

tahun 537 oleh Kaisar Justinianus. Pekerjaan para tabeliones mempunyai

hubungan erat dengan peradilan, mereka ditempatkan di bawah pengawasan

pengadilan. Akta-akta yang dibuat oleh para tabeliones tidak mempunyai

kekuatan otentik, sehingga akta-akta dan surat-surat tersebut hanya

mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat dibawah tangan yang

dinamakan “publica fides”.

3. Tabularii

Disamping para tabeliones masih terdapat suatu golongan orang yang

menguasai teknik menulis yakni dinamakan tabularii, yang memberikan

bantuan kepada masyarakat dalam pembuatan akta-akta dan surat-surat. Para

tabularii ini adalah pegawai negeri yang mempunyai tugas mengadakan dan

memelihara pembukuan keuangan kota-kota dan juga ditugaskan untuk

melakukan pengawasan atas arsip magisrat kota-kota, dibawah ressort mana

mereka berada. Oleh karena mereka berwenang untuk membuat akta-akta

sehingga pada zaman pemerintahan justianus (527 – 565) merupakan saingan

berat bagi para “ tabeliones “. Semasa kekuasaan dari Longobarden (568 –

774) , keadaan yang berkembang pada masa kerajaan West Romein, dapat

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 33: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

22

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

dikatakan telah berlangsung tanpa perubahan para “tabeliones“ tetap

memberikan jasa-jasa mereka pada masyarakat umum tidak hanya kepada

orang romawi tetapi juga orang Longobarden sendiri. Dari kebiasaan raja-raja

Longobarden untuk mengangkat para notarii yang dipekerjakan di kerajaan

merupakan perkumpulan para tabeliones dan para tabeliones di pilih menjadi

notarii lebih terhormat di mata rakyat daripada para penulis biasa yang

menyebabkan masyarakat lebih suka mempergunakan tenaga mereka

daripada para tabeliones biasa, dinamakan notarii. Pada saat kekuasaan

Longobarden nama tabellio diganti menjadi notarius.

Setelah mengalami berbagai perkembangan maka “tabellionaat” dan

“notariat” (golongan para notaris yang diangkat) bergabung dan menyatukan

diri dalam suatu badan yang dinamakan “collegium”. Para notarius yang

tergabung dalam collegien dapat dipandang sebagai para pejabat yang satu-

satunya berhak untuk membuat akta baik di dalam maupun di luar

pengadilan.

Notariat mulai masuk di Indonesia pada abad ke – 17 dengan “Oost Ind.

Compagnie” di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620, yaitu beberapa bulan

setelah dijadikannya Jakarta sebagai ibukota (tanggal 4 Maret 1621 dinamakan

Batavia), Melchior Kerchem, Sekretaris dari “College van Schepenen“ di Jakarta,

diangkat sebagai notaris pertama di Indonesia. Cara pengangkatan notaris pada

saat itu secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan

dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya demi kepentingan

publik dengan sumpah setia yang diucapkan pada waktu pengangkatannya

dihadapan Baljuw di Kasteel Batavia (yang sekarang dikenal sebagai Gedung

Departemen Keuangan, Lapangan Banteng) serta berkewajiban mendaftarkan

semua dokumen dan akta yang dibuatnya.

Lima tahun kemudian, pada tanggal 16 Juni 1625 setelah jabatan notaris

publik dipisahkan dengan jabatan sekretaris dengan surat keputusan Gubernur

Jenderal tanggal 12 November 1620 dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para

notaris di Indonesia yang berisikan 10 pasal, diantaranya ketentuan bahwa para

notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 34: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

23

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822 hanya diatur dua

buah reglemen notariat yakni tahun 1625 dan tahun 1765. Reglemen tersebut

sering mengalami perubahan, maka peraturan yang ada juga sering diperbaharaui,

dipertajam atau dinyatakan berlaku kembali ataupun diadakan peraturan

tambahannya. Menurut kenyataannya semua itu dilakukan hanya untuk

kepentingan yang berkuasa pada waktu itu bukan untuk kepentingan umum.

Ventosewet yang berlaku di Belanda tidak pernah berlaku di Indonesia

sehingga yang berlaku di Indonesia adalah peraturan lama yang berasal dari “

Republiek der Vereenigde Nederlanden”. Dengan demikian maka kedudukan

notaris pada waktu itu sama dengan kedudukan pada notaris pada masa

pemerintahan Republiek der Vereenigde Nederlanden sebelum negara itu jatuh

kepada Perancis.

Tahun 1822 (Stb. No.11) dikeluarkan “Instrctie voor de notarissen in

Indonesia” yang terdiri dari 34 pasal. Jika diperhatikan ketentuan dalam instruksi

tersebut ternyata tidak lain dari suatu resume dari peraturan-peraturan yang ada

sebelumnya, suatu bunga rampai dari plakat-plakat yang lama. Selama 30 tahun

lamanya instruksi tersebut tidak banyak mengalami perubahan. Pada tahun 1860

pemerintahan Belanda menyesuaikan peraturan mengenai jabatan notaris di

Indonesia dengan yang berlaku di Belanda, sebagai pengganti peraturan yang

lama di undangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) pada

tanggal 26 Januari 1860 (Stb. No.3) mulai berlaku 1 Juli 1860. Dengan

diundangkannya notaris reglement ini maka diletakkanlah dasar yang kuat bagi

pelembagaan notariat di Indonesia.

Tujuan utama pelembagaan notariat ialah untuk memberikan jaminan yang

lebih baik bagi kepentingan masyarakat. Notariat mempunyai fungsi yang harus

diabdikan bagi kepentingan masyarakat umum, notariat timbul dari kebutuhan

dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya alat bukti tertulis

otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 35: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

24

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

2.1.2. PENGERTIAN NOTARIS

Pasal 1 PJN (Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia, Stb 1860:3)

memberikan ketentuan tentang definisi Notaris serta apa yang menjadi tugas

Notaris, yaitu:

“Notaris adalah pejabat umum (openbare ambtenaren) yang satu-satunya

berwenang untuk membuat akta-akta tentang segala tindakan, perjanjian dan

keputusan-keputusan yang oleh perundang-undangan umum diwajibkan, atau para

yang bersangkutan supaya dinyatakan dalam suatu surat otentik, menetapkan

tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse (salinan sah), salinan

dan kutipannya, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga

diwajibkan kepada pejabat atau khusus menjadi kewajibannya.”

Serta dalam Pasal 1 UUJN disebutkan definisi Notaris, yaitu:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”

Istilah Pejabat Umum24

merupakan terjemahan dari istilah Openbare

Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN25

dan Pasal 1868 Burgerlijk

Wetboek (BW).26

Pengertian pejabat umum pada kalimat “Notaris adalah pejabat umum…”

dalam Pasal 1 PJN maupun Pasal 1 UUJN bukanlah Pegawai Negeri sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, walaupun Notaris

diangkat dan disumpah oleh pemerintah. Notaris sebagai pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik. Notaris adalah pejabat umum karena ia

diangkat oleh pemerintah serta diberi wewenang untuk melayani publik tertentu.

Menurut Kamus Hukum salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat.

Dengan demikian Openbare27

Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas

yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare

24Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan Nomor 009-

014/PUU-111/2005, tanggal 13 September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official.

25Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het

Notaris Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum

oleh G.H.S. Lumban Tobing, op.cit., hal. V. 26Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan

menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983). 27Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Kamus Istilah Hukum

Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, 1983, hlm. 363, istilah Openbare diterjemahkan

sebagai Umum.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 36: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

25

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare

Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat

yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan

publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris.

Aturan hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan

Notaris tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena

sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris

saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat

Umum, begitu juga dengan Pejabat Lelang.

Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain selain

Pejabat Umum, bertolak belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri,

karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan

dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang

hanya untuk lelang saja.

Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang

berkuasa untuk itu. Pegawai-pegawai umum yang berkuasa tersebut diantaranya

adalah PPAT, Pejabat Lelang, Pejabat KUA, Pejabat Dinas Kependudukan dan

termasuk Notaris yang berkuasa mengeluarkan akta otentik sesuai

kewenangannya masing-masing yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan PJN maupun UUJN di atas dapat diambil kesimpulan

bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta-akta otentik, dimana akta

otentik menurut Pasal 1870 KUHPerdata memberikan kepada pihak-pihak yang

membuatnya suatu perjanjian yang mutlak.

Di sinilah letak arti penting dari profesi Notaris, yaitu Notaris diberi

wewenang menciptakan alat bukti mutlak oleh undang-undang, dalam pengertian

bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar.

Hal ini sangat penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan alat pembuktian

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 37: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

26

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

untuk suatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan

suatu usaha yaitu kegiatan di bidang usaha.28

Melis berpendapat, yang dikutip oleh G.H.S. Lumban Tobing bahwa

wewenang Notaris bersifat umum, sedang wewenang para pejabat lain adalah

pengecualian. Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam perundang-undangan untuk

sesuatu perbuatan hukum diharuskan adanya akta otentik (misalnya Pasal 1171

KUHPerdata mengenai pemberian kuasa untuk memasang hipotek), maka hal itu

hanya dapat dilakukan dengan suatu akta Notaris, terkecuali oleh undang-undang

dinyatakan secara tegas, bahwa selain dari Notaris juga pejabat umum lainnya

turut berwenang atau sebagai yang satu-satunya berwenang untuk itu.29

Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan

wewenang Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa Notaris berwenang

membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan

atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor

Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi

hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta

yang ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam

jabatannya seperti semula sebagai Pegawai Negeri. Misalnya akta-akta, yang

dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor

Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai

Pegawai Negeri.

Dengan demikian Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang

atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam

pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan

kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti

Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum

dapat disandang pula oleh PPAT serta Pejabat Lelang.

Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar., Notaris

tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum dalam

28

R.Soegando Notodisoejo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta:

CV. Rajawali, 1982), hal. 8. 29G.H.S. Lumban Tobing, op. cit. hal. 34.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 38: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

27

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama (diundangkan tanggal Juli 1842, Stb.

20). Tidak dirumuskan lagi Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar, sekarang ini

tidak dipersoalkan apakah Notaris sebagai pejabat umum atau bukan, dan perlu

diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak

bermakna umum, tetapi bermakna publik.30

Ambt pada dasarnya adalah jabatan

publik. Dengan demikian jabatan Notaris adalah jabatan publik tanpa perlu atribut

Openbaar.31

Penjelasan Pasal 1 huruf a tersebut di atas bahwa penggunaan istilah

Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar sebagai tautologie.32

Jika ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan

rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1

angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang

untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka Pejabat Umum yang dimaksud

dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris

sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal

15 ayat (1) UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal

15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat.

Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian

mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris

sebagai Pejabat Publik. Dalam hal ini Publik yang bermakna hukum, bukan

Publik sebagai khalayak hukum. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama

dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk

masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk

akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama

dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata

Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak

menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata,

30Philipuss M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2005), hal. 80. 31Ibid, hal. 80. 32S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1990, hal. 80, menyatakan tourologie adalah deretan atau urutan kata yang memiliki pengertian

yang hampir sama.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 39: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

28

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wlisvorming) para

pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh

Notaris. Sengketa dalam bidang perdata dan pidana diperiksa di pengadilan umum

(negeri). Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat

Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi

Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual,

dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata, dan sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di Pengadilan Tata

Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai

Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.33

Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai pejabat

publik yang bukan pejabat tata usaha negara, dengan wewenang yang disebutkan

dalam aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum

dalam Pasal 15 UUJN.

Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan bahwa Jabatan Notaris diadakan

atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk

membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang

bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar

seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat

untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah

merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan

honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika

masyarakat tidak membutuhkannya.34

Dengan demikian Notaris merupakan suatu jabatan yang mempunyai

karakteristik, yaitu :

a. Notaris sebagai Jabatan.

UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya

satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur

33

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat

Publik, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal. 31-32. (selanjutnya disebut Buku I) 34Ibid, hal. 42.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 40: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

29

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di

Indonesia harus mengacu kepada UUJN.35

Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara.36

Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau

tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi

tertentu (kewenangan tersebut) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu

lingkungan pekerjaan tetap.

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu.

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan

hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak

bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang

pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah

ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.

Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3)

UUJN. Menurut Pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang Notaris adalah membuat

akta, namun ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang Notaris

dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu :

i. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW); (Apabila tidak

dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan

berlangsung, dapat pula dilakukan dengan akta otentik. Dengan

pengakuan anak luar kawin tersebut timbullah hubungan perdata antara

si anak dengan bapak atau ibunya).

ii. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal

1227 KUHPerdata);37

(Para pegawai penyimpan hipotik tidak boleh

menolak/memperlambat pembukuan akta-akta pemindahan hak milik

guna pengumuman, pembukuan hak-hak hipotik dan hak-hak lainnya

35Habib Adjie,“Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum

Pengaturan Notaris”, Renvoi, Nomor 28 Th. 111, (3 September 2005), hal.38. 36Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal. 15,

dinyatakan suatu lembaga yang dibuat atau diciptakan oleh Negara, baik kewenangan atau materi

muatannya tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandat

melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada

administrasi Negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum

(Beleidsreygeel atau Policyrules). 37Ketentuan Pasal 1227 KUHPerdata tersebut terdapat dalam Buku II KUHPerdata.

Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, ketentuan

mengenai Hipotik dinyatakan tidak berlaku lagi.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 41: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

30

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

yang berhubungan dengan pemberian dokumen-dokumen, pemberian

kesempatan melihat surat-surat yang telah diserahkan kepada mereka,

serta register-register, kecuali dalam pasal 619 KUHPerdata yaitu

mengenai salinan-salinan akta penjualan dan akta pemisahan tidak

boleh diberikan kepada pihak yang memperoleh barang tanpa ijin dari

pihak yang menjual atau pihak-pihak yang ikut berhak).

iii. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi

(Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUHPerdata); (Dilakukan kepada

seseorang yang berkuasa menerimanya untuk dia, dilakukan oleh

seseorang yang berkuasa membayar, ia menguasai semua utang pokok

dan bunga yang dapat ditagih beserta biaya yang telah ditetapkan dan

menerima sejumlah uang untuk biaya yang belum ditetapkan dengan

tidak mengurangi penetapan terkemudian).

iv. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK); (Notaris

berwenang membuat akta protes wesel dan cek, apabila wesel dan cek

tersebut pada saat tanggal jatuh tempo belum juga dapat dicairkan

dananya dalam hal pembayaran utang kepada pihak lain atau pihak

ketiga).

v. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) (Pasal 15 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan);

(akta SKMHT dapat dibuat oleh Notaris namun dapat pula dibuat oleh

pejabat lain yaitu PPAT).

vi. Membuat akta risalah lelang.38

(Notaris dapat membuat akta risalah

lelang apabila telah diangkat menjadi pejabat lelang kelas dua).

Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan

kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius

38Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/KMK.01/2000, tanggal

18 Agustus 2000, dalam Pasal 7 ayat (3) : Pejabat Lelang dibedakan dalam dua tingkat, yaitu :

a) Pejabat Lelang Kelas I; dan

b) Pejabat Lelang Kelas II.

Selanjutnya dalam Pasal 8 :

(1) Pejabat Lelang Kelas I adalah pegawai BUPLN pada Kantor Lelang Negara yang

diangkatuntuk jabatan itu.

(2) Pejabat Lelang Kelas II adalah orang-orang tertentu yang diangkat untuk jabatan, yang

berasaldari : a) Notaris; b) Penilai; dan c) Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) BUPLN

diutamakan yang pernah menjadi Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di wilayah

kerja tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 42: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

31

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

constituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan

tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka akta Notaris tersebut

tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (non executable).

Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang

tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.

Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut

dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2

(dua) pemahaman, yaitu :

a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para

pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang

berlaku.

b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna,39

sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat

bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa

akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan

tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya

sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini

berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris.40

Sepanjang suatu

akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya maka akta tersebut

merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari

para pihak dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-

saksi yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50

KUHP41

dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan

tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan

39M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara

Perdata Setengah Abad., Swa Justitia, 2005 : 150. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut

ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua

belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. 40MJ-A. Van Mourik dalam Habib Adjie,Buku I, op.cit, hal. 35. 41Pasal 50 KUHP berbunyi : Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan

ketentuan undang-undang, tidak dipidana..

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 43: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

32

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau

merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan

tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku.

c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Pasal 2 UUJN menentukan

bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini

menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris

meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh

pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang

mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian Notaris dalam

menjalankan tugas jabatannya :42

i. Bersifat mandiri (autonomous);

ii. Tidak memihak siapapun (impartial);

iii. Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti

dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh

pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.

d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris

meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak

menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima

honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat

memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.

e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat adalah dengan

Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang

memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata,

sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat

yang dapat dituntut secara pidana, administrasi dan perdata, menuntut

biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan

dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan

bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.

Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat publik

dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai badan atau Pejabat Tata

42

Habid Adjie, Buku I op.cit., hal. 36.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 44: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

33

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik

tersebut. Notaris sebagai pejabat publik produknya berupa akta otentik, yang

terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.

Akta tersebut tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha

Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak menimbulkan

akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta

merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang

dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. Sengketa

dalam bidang perdata dan pidana diperiksa di Pengadilan Negeri.

Sedangkan Pejabat publik dalam bidang pemerintahan produknya berupa

Surat Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum

Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang

bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang

atau badan hukum, dan Sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di

Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai Pejabat Publik

yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.43

Berdasarkan uraian di atas,

maka Notaris dalam kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat Tata

Usaha Negara, dengan wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang

mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN.

Selanjutnya Habib Adjie mengemukakan bahwa Jabatan Notaris diadakan

atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk

membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang

bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum.

Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus

mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut,

masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas

jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu

Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.44

43Ibid, hal. 31-32. 44Ibid, hal. 42.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 45: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

34

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

2.1.3. AKTA OTENTIK

Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh

peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal

pembuatan akta, menyimpan akta grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu

sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada

pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan undang-undang.45

Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata

yang menyebutkan Akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang

berkuasa/pegawai umum untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.

Ditegaskan bahwa suatu akta otentik yang dalam bentuknya yang telah

ditentukan oleh undang-undang tersebut harus dibuat oleh pejabat umum yang

berwenang. Dalam bentuk perkataan diatas adanya penunjukan terhadap seorang

pejabat umum tetapi tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pejabat umum

itu sendiri, maka dibuatlah PJN yang dapat disebut sebagai peraturan pelaksana

dari Pasal 1868 KUHPerdata, di mana menjelaskan bahwa Notaris-lah yang

dimaksud sebagai pejabat umum.46

Suatu akta dikatakan otentik apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat dihadapan pejabat umum

yang ditunjuk oleh undang-undang.

b. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuat akta

menurut ketentuan yang ditetapkan undang-undang.

c. Ditempat dimana pejabat yang berwenang membuat akta tersebut.

45Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004, TLN. No. 4432,

pasal 15. 46

G. H. S. Lumban Tobing, op.cit, hal. 51. Ada dua golongan akta Notaris, yaitu :

1. Akta yang dibuat “oleh” (door) Notaris atau yang dinamakan “akta Relaas”

atau akta pejabat (ambtelijke akten).

2. Akta yang dibuat “di hadapan” (ten overstaan) Notaris atau yang dinamakan

“akta Partij” (partij akten).

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 46: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

35

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting sebagai alat bukti, bila

terjadi sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para

pihak yang bersengketa.

Notaris sebagai pejabat lelang berwenang untuk melaksanakan lelang dan

membuat risalah lelang, sebagaimana ternyata dalam pasal 15 ayat (2) huruf g

UUJN. Ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari kewenangan Notaris sebagai

pejabat umum untuk membuat akta otentik.

Peran Notaris diperlukan di Indonesia karena dilatarbelakangi oleh Pasal

1866 KUHPerdata yang menyatakan alat-alat bukti terdiri atas :

1. bukti tulisan;

2. bukti dengan saksi-saksi;

3. persangkaan-persangkaan;

4. pengakuan;

5. sumpah.

Demikian pula terhadap kasus pidana, untuk dibuktikan terpenuhinya

syarat-syarat pemidanaan diperlukan barang bukti dan alat-alat bukti. Alat-alat

bukti yang sah diatur dalam pasal 184 KUHAP, yang terdiri atas :

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Pembuktian tertinggi dalam KUHPerdata adalah bukti tulisan. Adapun

dalam pembuktian yang dianut oleh KUHAP disebutkan adanya bukti surat. Bukti

tertulis dan bukti surat tersebut dapat berupa akta otentik maupun akta di bawah

tangan dari yang berwenang dan yang dapat membuat akta otentik adalah Notaris.

Untuk itulah Negara menyediakan lembaga yang bisa membuat akta otentik.

Negara mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tercantum pada Pasal

1868 KUHPerdata jo Pasal 1 angka 1 UUJN yaitu Notaris adalah pejabat umum

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 47: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

36

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

yang diangkat oleh Negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta

otentik. 47

Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah Notaris dan lambang yang

digunakan sebagai cap para Notaris adalah lambang Negara. Notaris merupakan

satu-satunya kalangan swasta yang diperbolehkan menggunakan lambang

tersebut.

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik, mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat. Banyak sektor

kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari

Notaris, bahkan terdapat beberapa ketentuan dan/atau perundang-undangan yang

mengharuskan dibuat dengan akta Notaris yang artinya jika tidak dibuat dengan

akta Notaris maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak mempunyai kekuatan

hukum.

2.1.4. KEWENANGAN, KEWAJIBAN DAN LARANGAN NOTARIS

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memiliki kewenangan,

kewajiban yang harus dijalankan, dan harus tunduk pada larangan-larangan dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

a. Kewenangan Notaris

Wewenang utama Notaris adalah membuat akta otentik, tapi tidak semua

pembuatan akta otentik menjadi wewenang Notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat

lain, bukan merupakan wewenang Notaris, seperti akta kelahiran, akta pernikahan,

dan akta perceraian dibuat oleh pejabat selain Notaris. Akta yang dibuat Notaris

tersebut hanya akan menjadi akta otentik, apabila Notaris mempunyai wewenang

yang meliputi empat hal, yaitu :48

1. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu;

47Kekuatan pembuktian akta otentik mempunyai 3 kekuatan pembuktian, yaitu : 1.

Kekuatan Pembuktian Lahiriah 2. Kekuatan Pembuktian Formil 3. Kekuatan Pembuktian Material.

Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta,

(Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 115-118. 48

G. H. S. Lumban Tobing, op. cit., hal. 49.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 48: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

37

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi

seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni

yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa

kewenangan Notaris yaitu membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan

untuk dinyatakan dalam akta otentik.

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan

siapa akta itu dibuat;

Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap

orang. Dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak

diperkenankan tidak membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau

orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Notaris baik karna

perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau

keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai

dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun

dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa. Maksud dan

tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan

memihak dan penyalahgunaan jabatan.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu

dibuat;

Bagi setiap Notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan

hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk

membuat akta otentik. Dalam Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris

mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten/kota. Wilayah jabatan

Notaris meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Akta

yang dibuat diluar daerah jabatannya adalah tidak sah.

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu;

keadaan dimana Notaris tidak berwenang (onbevoegd) untuk membuat

akta otentik, yaitu : 49

49

Ibid.,hal. 140.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 49: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

38

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

i. Sebelum Notaris mengangkat sumpah (Pasal 7 UUJN);

Notaris tidak berwenang membuat akta otentik sebelum

mengangkat sumpah di hadapan pejabat yang berwenang yang

ditunjuk untuk itu berdasarkan UU.

ii. Selama Notaris diberhentikan sementara (skorsing);

Selama Notaris diberhentikan sementara (skorsing) maka Notaris

yang bersangkutan tidak berwenang membuat akta otentik sampai

masa skorsingnya berakhir.

iii. Selama Notaris cuti;

Notaris yang sedang cuti tidak berwenang membuat akta otentik.

iv. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf e tentang saksi

dalam akta bahwa saksi tidak boleh mempunyai hubungan

perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke

bawah tanpa pembatasan derajat dan garis kesamping sampai

dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

v. Pasal 52 ayat (1) UUJN.

Pasal 15 ayat (2) UUJN menyatakan bahwa selain berwenang untuk

membuat akta otentik, Notaris berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat

dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi);50

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus (waarmerking);

c. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang

membuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya

(legalisir);

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 51

50Penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN, Legalisasi adalah tindakan mengesahkan

tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal akta dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh

orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup yang ditandatangani

di hadapan Notaris dan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 50: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

39

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. Membuat akta risalah lelang.

Terdapat perluasan kewenangan Notaris, yaitu kewenangan yang

dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f UUJN yakni kewenangan membuat

akta yang berkaitan dengan pertanahan. Kewenangan Notaris membuat akta yang

berkaitan dengan pertanahan menimbulkan kontroversi. PPAT tetap memiliki

ruang lingkup jabatan yang berbeda dengan Notaris, akta-akta yang bisa dibuat

oleh Notaris, adalah sebatas yang bukan menjadi kewenangannya PPAT.52

Pasal 51 UUJN menyatakan bahwa Notaris berwenang untuk

membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta

akta yang telah ditandatangani. Pembetulan tersebut dilakukan dengan membuat

berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli

dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan. Salinan

akta berita acara tersebut wajib disampaikan kepada para pihak.

Notaris dibolehkan menjalankan jabatan Notaris dalam bentuk

perserikatan perdata, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) UUJN. Hal ini

dimungkinkan dengan mengingat kondisi jumlah Notaris saat yang sudah

mencapai jutaan orang dan karenanya bentuk perserikatan perdata (maatschaap)

dapat dipandang sebagai upaya efisiensi dan efektifitas kantor Notaris dalam

rangka mempercepat pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dengan tetap

menjaga kemandirian dan ketidakberpihakan sehingga menjalankan jabatan dalam

bentuk perserikatan perdata ini juga akan melahirkan dan mengembangkan

spesialisasi bidang hukum tertentu.

Pengecualian kewenangan dari Notaris sebagai pejabat yang berhak

membuat akta otentik menurut pasal 4 KUHPerdata diperkuat oleh pendapat Tan

Thong Kie, bahwa seorang Notaris boleh membuat semua akta dalam bidang

Notariat, tetapi dia tidak boleh membuat berita acara pelanggaran lalu lintas atau

keterangan kelakukan baik yang semuanya wewenang kepolisian, Notaris juga

tidak boleh membuat akta perkawinan, akta kematian, akta kelahiran (bukan akta

51

Kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum bukan berarti tidak menimbulkan

masalah, jika sampai terjadi kesalahan mengenai suatu hal yang disuluhkan maka Notaris yang

bersangkutan bisa tersandung masalah, baik dalam masalah perdata maupun pidana. 52“Wewenang Notaris dan PPAT Masih Menyisakan Persoalan”,

http://cms.sip.co.id/hukumonline/berita.asp , diunduh 10 Mei 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 51: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

40

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

kenal lahir atau akta van bekendneid) yang kesemuanya adalah wewenang

pegawai kantor catatan sipil.53

b. Kewajiban Notaris

Kewenangan yang ada pada Notaris sebagai pejabat umum, juga diiringi

dengan kewajibannya sebagai pejabat yang memperoleh kepercayaan dari publik

secara moral dan etika. Maksudnya bahwa Notaris wajib bertindak amanah, jujur,

seksama, mandiri dan menjaga kepentingan-kepentingan pihak yang terkait. Pasal

1 Kode Etik Notaris hasil Kongres di Bandung pada tanggal 28 Januari 2005

tentang kepribadian dan martabat Notaris disebutkan bahwa :

a. Dalam melaksanakan tugasnya Notaris diwajibkan senantiasa menjunjung

tinggi hukum dan asas Negara serta bertindak sesuai dengan makna

sumpah jabatan dan mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan

masyarakat dan Negara.

b. Dalam kehidupan sehari-hari Notaris dengan kepribadian yang baik

diwajibkan untuk menjunjung tinggi martabat jabatan Notaris dan

sehubungan dengan itu tidak dibenarkan melakukan hal-hal dan atau

tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan

Notaris.

Dalam pasal 16 UUJN terdapat 9 kewajiban Notaris yaitu :

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:

a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga

kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai

bagian dari Protokol Notaris;54

c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan

Minuta Akta;

d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang

ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

53Tan Thong Kie, op.cit, hal 442. 54Menyimpan Minuta Akta dimaksudkan untuk menjaga keotentikan suatu akta dalam

bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan, atau penyalahgunaan grosse, salinan atau

kutipannya dapat segera diketahui secara mudah yaitu mencocokkannya dengan yang asli.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 52: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

41

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang

memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak

dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih

dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun

pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak

diterimanya surat berharga;

h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu

pembuatan akta setiap bulan;

i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar

nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen

yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5

(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

j. Mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap

akhir bulan;

k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik

Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,

dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling

sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh

penghadap, saksi, dan Notaris;55

m. Menerima magang calon Notaris.56

(2) Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak

berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.

(3) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:

55Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta dihadapan penghadap dan

saksi. 56

Kewajiban dari setiap Notaris untuk ikut serta mempersiapkan calon Notaris agar

mampu menjadi Notaris yang profesional. Calon Notaris sebelum diangkat sebagai Notaris harus

telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12

(dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris setelah lulus Strata Dua Kenotariatan (S-2

MKn).

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 53: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

42

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

a. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

b. penawaran pembayaran tunai;

c. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

d. akta kuasa;

e. keterangan kepemilikan; atau

f. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1

(satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan

ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata "berlaku sebagai satu dan satu

berlaku untuk semua".

(5) Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya

dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.

(6) Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k

ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib

dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena

penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan

ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap

halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

(8) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7)

tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan

pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk

pembuatan akta wasiat.

Notaris mempunyai kewajiban untuk membuat akta dalam bentuk minuta

dan menyimpan sebagai bagian dari protokol Notaris. Notaris juga berkewajiban

mengeluarkan grosse, salinan dan kutipannya, tetapi Notaris tidak mempunyai

kewajiban untuk mengeluarkan akta dalam bentuk original.

Akta-akta yang dapat dikeluarkan Notaris dalam bentuk original

disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3) UUJN yaitu :

1. Izin kawin

2. Keterangan orang masih hidup

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 54: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

43

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

3. Pembayaran uang sewa, bunga, pension

4. Penawaran pembayaran lunas

5. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga

6. Akta kuasa

7. Keterangan kepemilikan

8. Akta sederhana dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pembacaan akta Notaris, merupakan kewajiban Notaris dimana

pembacaan akta dilakukan dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh saksi-saksi

yang berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang. Pembacaan ini tidak diwajibkan

kepada Notaris, apabila penghadap telah membaca sendiri dan mendapat

penjelasan dari Notaris serta mengetahui isi dari akta tersebut, dengan persyaratan

khusus bahwa pada setiap halaman minuta akta itu wajib dibubuhkan paraf para

penghadap dan saksi-saksi serta Notaris.

Pembacaan yang dilakukan oleh Notaris maupun dibaca sendiri oleh

penghadap, diharapkan agar penghadap yang menandatangani akta mengerti akan

isi dari akta tersebut sehingga akta Notaris benar-benar membuat kehendak atau

sesuai dengan kehendak mereka yang menandatangani.

Apabila akta Notaris dibuat dalam suatu bahasa yang tidak dipahami salah

satu penghadap, adalah merupakan kewajiban Notaris untuk menerjemahkan akta

itu dengan menyediakan seorang penerjemah ke dalam bahasa yang dipahami oleh

penghadap tersebut.

Setelah dilakukan pembacaan akta dan ternyata terdapat salah satu pihak

yang tidak menyetujui isi dari akta, maka terlebih dahulu isi akta diganti atau

disempurnakan seperlunya dengan tujuan agar isi akta yang dimuat sesuai dengan

kehendak para pihak yang menghadap dihadapan Notaris tersebut.

Kewajiban Notaris pada umumnya adalah memberikan pelayanan kepada

masyarakat yang memerlukan jasanya dengan dijiwai oleh Pancasila, sadar dan

taat kepada hukum dan peraturan perundang-undangan serta Undang-Undang

Jabatan Notaris, kode etik Notaris, sumpah jabatan dengan bekerja secara jujur,

mandiri, tidak berpihak dan penuh rasa tanggung jawab.

Selain itu oleh Undang-undang, Notaris ditugaskan untuk melaksanakan

pendaftaran surat-surat dibawah tangan. Tugas pembuatan daftar surat-surat di

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 55: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

44

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

bawah tangan dan pengesahan surat-surat di bawah tangan adalah berdasarkan

Pasal 1874 KUHPerdata57

dan Pasal 1874 a KUHPerdata.58

c. Larangan Notaris

Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan oleh

Notaris jika larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang

melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN.

Dalam Pasal 17 UUJN, Notaris dilarang:

a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturut-

turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. Merangkap jabatan sebagai advokat;

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik

negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah

jabatan Notaris;

h. Menjadi Notaris Pengganti; atau

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,

kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan

martabat jabatan Notaris.

57Bunyi Pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan

dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat

urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.

Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol,

dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain

yang ditunjuk oleh Undang-undang dari mana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap,

jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai tadi.

Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut. Dengan Undang-undang dapat diadakan aturan-

aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud. 58Pasal 1874 a KUHPerdata menyebutkan jika pihak-pihak yang berkepentingan

menghendaki, dapat juga, diluar hal yang dimaksud dalam ayat kedua pasal yang lalu, pada

tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris

atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-undang, dari mana ternyata bahwa ia

mengenal si penandatangan atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta

telah dijelaskan kepada si penandatangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan telah dilakukan

dihadapan pegawai tersebut.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 56: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

45

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Dalam Kode Etik Notaris, dicantumkan larangan-larangan yang tidak

boleh dilakukan oleh anggota Notaris, sebagai berikut :59

1) Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor

perwakilan.

2) Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor

Notaris” diluar lingkungan kantor.

3) Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara

bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,

menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk :

a) Iklan;

b) Ucapan selamat;

c) Ucapan belasungkawa;

d) Ucapan terima kasih;

e) Kegiatan pemasaran;

f) Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah

raga.

4) Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada

hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan

klien.

5) Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah

dipersiapkan oleh pihak lain.

6) Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.

7) Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah

dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada

klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.

8) Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-

dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis

dengan maksud agar klien tesebut tetap membuat akta padanya.

9) Melakukan usaha-usaha baik langsung maupun tidak langsung dan

menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat sesama rekan

Notaris.

59Keputusan Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (INI).

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 57: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

46

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

10) Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang

lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.

11) Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan

kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang

bersangkutan.

12) Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang

dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau

menemukan suatu akta yang dibuat rekan sejawat yang ternyata di

dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau

membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan

kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya

dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah

timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan

ataupun rekan sejawat tersebut.

13) Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif

dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga,

apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.

14) Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

15) Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai

pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas

pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:

a) Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004

tentang Jabatan Notaris;

b) Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris;

c) Isi sumpah jabatan Notaris;

d) Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah

Tangga dan/atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh

organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh

anggota.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 58: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

47

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Hal-hal yang tersebut dibawah ini merupakan pengecualian oleh karena itu

tidak termasuk pelanggaran, yaitu :

1) Memberikan ucapan selamat, ucapan berduka cita dengan

mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun

media lainnya dengan tidak mencantumkan Notaris, tetapi hanya

nama saja.

2) Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor

telepon, fax dan telex, yang diterbitkan secara resmi oleh PT.

Telkom dan/atau instansi-instansi dan/atau lembaga-lembaga resmi

lainnya.

3) Memasang 1 (satu) tanda petunjuk jalan dengan ukuran tidak

melebihi 20 cm x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna

hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta dipasang dalam

radius maksimum 100 meter dari kantor Notaris.

2.1.5. MAJELIS PENGAWAS NOTARIS

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUJN Majelis Pengawas adalah suatu badan

yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan

pengawasan terhadap Notaris. Pada dasarnya pengawasan atas Notaris dilakukan

oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dalam

melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas

Notaris (MPN).

Pengawasan Notaris meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan

Notaris.60

Tugas MPN selain diatur dalam UUJN juga diatur dalam Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.39-

PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas

Notaris.

MPN sebagaimana diatur dalam UUJN terdiri atas:

1. Majelis Pengawas Daerah (MPD)

MPD dibentuk dan berkedudukan di kabupaten atau kota.

60Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. TLN. No. 4432,

pasal 67.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 59: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

48

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang

berkaitan dengan :

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum,

atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah

berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang

dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam

penyimpanan Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang

berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris

yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita

acara penyerahan.

Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak

dimiliki oleh MPW maupun MPP. Subtansi Pasal 66 ini dilakukan

oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim, dengan batasan

sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris dan sesuai

dengan kewenangan Notaris sebagaimana ditentukan dalam Pasal

15 UUJN.

Ketentuan tersebut hanya berlaku dalam perkara pidana, Karena

Pasal 66 UUJN berkaitan dengan tugas penyidik dan penuntut

umum dalam ruang lingkup perkara pidana.

Tugas MPD melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 70 dan Pasal 71 UUJN dan Pasal 13 ayat (2), Pasal 14,

Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun

2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian

Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara

Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.61

61

Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.39-

PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 60: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

49

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW)

MPW dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Provinsi.

Dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor : M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang

Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris ditentukan

bahwa MPW melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 73 dan Pasal 75 UUJN dan Pasal 26 Peraturan Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor

M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan

Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja

dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.

3. Majelis Pengawas Pusat (MPP)

MPP dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara.

Tugas dan wewenang MPP tercantum dalam pasal 77 UUJN dan

dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor : M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang

Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris adalah :

1) Memberikan izin cuti lebih dari 1 (satu) tahun dan mencatat

izin cuti dalam sertifikat cuti.

2) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian

sementara.

3) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian

dengan hormat.

4) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil

putusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi,

kecuali berupa teguran lisan atau tertulis.

5) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil

putusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti dan

putusan tersebut bersifat final.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 61: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

50

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

2.1.6. SANKSI PIDANA DALAM PJN Vs UUJN

Pengaturan Jabatan Notaris di Indonesia di atur dalam Peraturan Jabatan

Notaris (PJN) Reglement Op Het Notaris ambt in Indonesie (Stb. 1860:3)

sebagaimana telah diubah terakhir dalam lembaran Negara tahun 1954 Nomor

101; Ordonantie 16 Sepetember 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-

undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris

Sementara Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 700); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4379); dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun

1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.62

Pasal-pasal yang terdapat dalam PJN adalah menyalin dari pasal-pasal

Notarisewet yang berlaku di Belanda. Jika diperhatikan isi pasal dalam PJN

tersebut terdiri dari 66 pasal, dari 39 pasal mengandung ketentuan hukuman,

disamping banyak sanksi-sanksi untuk membayar penggantian biaya ganti rugi

dan bunga. Ke-39 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal mengenai hal-hal yang

menyebabkan hilangnya jabatan, 5 pasal tentang pemecatan, 9 pasal tentang

pemecatan sementara dan 22 pasal mengenai pidana denda serta 7 pasal tentang

penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.63

Pada hakekatnya seluruh pasal dalam PJN mengandung ancaman

hukuman, dengan adanya ketentuan dalam pasal 50 PJN yang menyatakan bahwa

Pengadilan Negeri dapat mengambil tindakan, apabila Notaris mengabaikan

keluhuran martabat atau jabatannya, melakukan kesalahan-kesalahan lain, baik

didalam maupun diluar menjalankan jabatannya sebagai Notaris.64

Dalam PJN yang dianggap sebagai tindakan dissiplinair adalah teguran,

usul untuk memecat atau memberhentikan, dan pemberhentian yang dimaksud

dalam pasal 50 dan 51 PJN.

62

“Implementasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang JabatanNotaris”

http://herman-notary.blogspot.com/2012/06/implementasi-undang-undang-no-30-tahun.html,

diunduh 24 Juni 2012. 63G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal.312. 64Ibid,. hal. 313.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 62: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

51

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Sedangkan yang merupakan hukuman dalam arti teknis dari KUHP adalah

semua pasal mengenai pidana denda dan pidana tambahan yaitu pencabutan

(pemecatan) beberapa hak tertentu (onzetting van bepaalde rechten) yaitu yang

dimaksud dalam pasal 6, 39, 40 dan pasal 48 PJN. Semua denda, baik yang

terdapat dalam peraturan terdahulu yaitu Notariswet, maupun didalam PJN (yang

merupakan kopi dari Notariswet) adalah pidana denda yang dikenakan oleh hakim

berdasarkan peraturan yang berlaku.65

Notaris yang masih berada di Indonesia sampai dengan tahun 1954

merupakan Notaris yang berkewarganegaraan Belanda yang diangkat oleh

Gubernur Jenderal berdasarkan Pasal 3 PJN. Ketentuan pengangkatan Notaris

oleh Gubernur Jenderal oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 telah

dicabut, yaitu tersebut dalam Pasal 2 ayat 3, dan juga menjabut Pasal 62, 62a, dan

63 PJN.

Pada tanggal 14 September 2004 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui

RUU tentang Jabatan Notaris menjadi Undang-undang yang merupakan

penyempurnaan undang-undang peninggalan jaman kolonial dan unifikasi

sebagian besar Undang-undang yang mengatur mengenai kenotariatan yang sudah

tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)

telah diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 6 Oktober 2004. Undang-

undang ini menggantikan PJN yang lama yang diatur dalam Staatsblaad 1860

Nomor 3 yang merupakan Undang-Undang Jabatan Notaris produk Kolonial

Hindia Belanda.

Lahirnya UUJN sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang

Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun

2000-2004 yang menekankan perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap

peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah

tidak sesuai lagi.

Adapun berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebelum

adanya UUJN tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan

kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan

65Ibid,. hal. 315-316.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 63: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

52

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

pembaruan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-

undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu

unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah Negara

Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum di bidang

kenotariatan tersebut, dibentuk UUJN.

Pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi :

1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) (PJN)

sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945

Nomor 101;

2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

3. Undang – Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan

Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);

4. Pasal 54 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji

Jabatan Notaris,

UUJN terdiri dari 13 bab dan 92 pasal, namun tidak ada ketentuan

mengenai sanksi pidana. Dengan adanya UUJN tersebut telah terjadi

pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-

undang sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua

penduduk di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia.

Dalam UUJN ini diatur secara rinci tentang Jabatan Umum yang dijabat

oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa Akta Otentik yang dibuat oleh atau di

hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan

hukum. Mengingat Akta Notaris sebagai Akta Otentik merupakan alat bukti

tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang ini diatur tentang

bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, Grosse Akta, dan

Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris. Sebagai alat bukti tertulis yang

terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima,

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 64: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

53

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara

memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Fungsi Notaris di luar pembuatan

Akta otentik diatur untuk pertama kalinya secara komprehensif dalam UUJN. 66

Dengan demikian pengaturan mengenai sanksi pidana pada dasarnya ada

dalam peraturan jabatan Notaris terdahulu yaitu dalam PJN, namun dengan

berlakunya UUJN telah mencabut ketentuan dalam PJN, sehingga ketentuan

mengenai sanksi yang berlaku hanya sanksi yang terdapat dalam pasal 84 dan

pasal 85 UUJN yaitu sanksi perdata dan sanksi administrasi .

2.2. TINDAK PIDANA NOTARIS (TPN)

Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi

mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika

sosial yang terjadi dalam masyarakat, begitupula halnya dengan tindak pidana

Notaris (TPN). Masalah TPN ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak

pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan

ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah.

Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang selalu

ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat, dalam arti bahwa tindak pidana

akan selalu ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya

dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.

Berbicara tentang tindak pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok

hukum pidana yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum

pidana tersebut meliputi masalah tindak pidana, kesalahan dan sanksi pidana serta

korban. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan-aturan ketentuan hukum

mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum dan aturan pidananya.67

Yang menjadi masalah pokok dalam hukum pidana adalah :68

1. Perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi).

66Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. TLN. No. 4432,

Bagian Penjelasan Umum. 67Martin Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:

PT. Pradnya Paramita), hal. 5. 68Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 1995), hal. 50.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 65: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

54

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

2. Pertanggung jawaban pidana (kesalahan).

3. Sanksi yang diancam, baik pidana maupun tindakan.

Tindak pidana atau disebut juga peristiwa pidana adalah terjemahan dari

istilah bahasa Belanda “Strafbaar feit”69

atau “tindak pidana”70

. Sedangkan

Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana, yaitu bahwa perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman sanksi berupa pidana

tertentu bagi barangsiapa yang melanggar aturan tersebut. Hal ini menunjukkan

kepada 2 (dua) keadaan konkrit yaitu pertama adanya kejadian tertentu, kedua

adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.71

Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari

suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan “strafbaar”

berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkatan “strafbaar feit” itu dapat

diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”,

sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang

dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan

ataupun tindakan.72

Istilah (term) “strafbaar feit” telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

sebagai:

1. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum

2. Peristiwa pidana

3. Perbuatan pidana

4. Tindak pidana

5. Delik

Beberapa pakar hukum pidana telah membahas beberapa istilah yang telah

digunakan untuk terjemahan strafbaar feit, Moeljatno dan Roeslan Saleh memilih

istilah “perbuatan pidana” dengan alasan dan pertimbangan bahwa perkataan

69Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno menerangkan bahwa strafbaar feit adalah

kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang

berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

sedangkan Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)

yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf waardig)

dan dilakuklan dengan kesalahan. Moeljatno, op.cit., hal 56. 70Istilah Tindak Pidana sering dipakai oleh pihak Kementrian Kehakiman dalam peraturan

perundang-undangan. Ibid., hal 55. 71Ibid., hal.54. 72P.A.F. Lamintang, op.cit., hal 181.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 66: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

55

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Perkataan

perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang melakukan

maupun pada akibatnya. Perkataan peristiwa tidak menunjukkan bahwa yang

menimbulkannya adalah “handeling” atau “gedraging” seseorang, mungkin juga

hewan atau alam.

Mengingat pentingnya pemidanaan sebagai sarana untuk mencapai tujuan

yang lebih besar yaitu perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat

maka perlu diperhatikan juga teori-teori penjatuhan pidana dalam ilmu

pengetahuan yakni :73

1. Teori Absolute atau Teori Pembalasan.

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah

melakukan suatu tindak pidana, oleh karenanya pidana merupakan akibat

mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang

melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenar pidana terletak pada adanya

atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

2. Teori Relative atau Teori Tujuan.

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolute

dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya

sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana

bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan yang bermanfaat, oleh karena itu teori ini sering juga disebut

teori tujuan.

3. Teori Gabungan

Menggabungkan antara teori pembalasan dan teori tujuan. Berdasarkan

teori gabungan maka pidana ditujukan untuk :

a. Pembalasan, membuat pelaku menderita;

b. Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana;

c. Merehabilitasi pelaku;

d. Melindungi masyarakat.

73E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan

Penerapananya, (Jakarta: Storia Geafika, 2002), hal. 59-62.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 67: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

56

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Dari penjabaran mengenai pengertian tindak pidana tersebut diatas maka

penulis mencoba merumuskan pengertian TPN yakni TPN adalah tindakan yang

hanya bisa dilakukan oleh seorang Notaris (termasuk juga Notaris Pengganti,

Notaris Pengganti Khusus, Pejabat Sementara Notaris) dalam menjalankan

jabatannya terhadap segala sesuatu yang menjadi kewenangannya sehingga

menyebabkan adanya pihak yang dirugikan.

Definisi yang penulis rumuskan tersebut dapat terlihat bahwa terdapat

unsur-unsur kekhususan dari TPN yaitu sebagai berikut :

1. Tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang Notaris;

2. Dalam menjalankan jabatannya;

3. Yang menjadi kewenangannya;

4. Ada pihak yang dirugikan.

Sehingga penulis mengartikan bahwa untuk menentukan TPN harus telah

memenuhi semua unsur tersebut, ataupun unsur 1, 2 dan 4, sedangkan unsur 3

dapat dijadikan kunci pembeda mengenai berat atau ringannya hukuman

pidananya. Namun apabila unsur 4 saja yang terpenuhi maka pelaku hanya dapat

dikenai sanksi dalam KUHP saja, sedangkan apabila unsur 1 sampai 3 saja yang

terpenuhi maka hanya dapat diterapkan sanksi administrasi dan perdata dalam

UUJN ataupun Kode Etik.

2.2.1. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap

problematika ini diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena

itu, pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih

ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan

unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan

baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin

meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana.

Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya untuk

menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Kebijakan

hukum pidana tidak semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 68: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

57

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematis dogmatik, tetapi juga

memerlukan pendekatan yuridis faktual berupa pendekatan sosiologis, historis dan

komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai

disiplin ilmu sosial lainnya.

Kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik

perundangan-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan

sistematik dogmatik, akan tetapi kebijakan hukum pidana juga memerlukan

pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan

komparatif serta pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin lainnya dan

pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada

umumnya.74

Dengan demikian, kebijakan pidana termasuk salah satu bidang

kriminologi.

Istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek

(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum

pidana dapat disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan

asing istilah politik hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah, antara

lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.75

Menurut Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana

berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana

yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.76

Dalam

kesempatan lain beliau juga menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum

pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan

datang.77

Menurut Marc Ancel, Penal Policy merupakan suatu ilmu sekaligus seni

yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara

lebih baik. Peraturan hukum positif disini yaitu peraturan perundang-undangan

74Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,

1992), hal. 22. (selanjutnya disebut Buku I) 75Ibid, hal. 24. 76Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 161. (selanjutnya

disebut Buku I) 77Ibid, hal. 93.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 69: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

58

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

hukum pidana. Oleh karena itu, istilah penal policy menurut March Ancel adalah

sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.

Kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari politik hukum pidana itu

sendiri. Menurut Sudarto kebijakan hukum pidana atau politik hukum adalah :

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.78

b. Kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan

peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.79

Selanjutnya Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum

pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan

pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna,

karena melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa yang akan datang.80

Oleh karena itu politik hukum pidana

mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu

perundang-undangan pidana yang baik.

Menurut Marc Ancel yang menyatakan bahwa tiap masyarakat yang

terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari :81

a. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.

b. Suatu prosedur hukum pidana.

c. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).

Dengan demikian usaha untuk membuat peraturan hukum pidana yang

baik pada hakikatnya tidak dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan,

jadi kebijakan atau politik hukum juga merupakan bagian dari politik kriminal,

maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan

kejahatan dengan hukum pidana dan usaha penanggulangan kejahatan dengan

78Ibid, hal. 159. 79

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru,

1983),hal.20. (selanjutnya disebut Buku II) 80Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 1996), hal. 28. (selanjutnya disebut Buku I) 81Ibid.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 70: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

59

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

hukum pidana merupakan bagian dari usaha kebijakan penegakan hukum (law

enforcement policy).

Menurut Muladi penegakan kebijakan hukum pidana merupakan bagian

integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Penegakan

hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa

tahap : 82

a. Tahap informasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan

pembuat undang-undang, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan

legislatif.

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak

hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, tahap ini disebut dengan

tahap kebijakan yudikatif.

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh

aparat-aparat pelaksana pidana, tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif

atau administratif.

Usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang

hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian usaha perlindungan masyarakat

(social protection). Kebijakan ini termasuk salah satu yang menjadi perhatian

kriminologi, terutama kejahatan penyalahgunaan wewenang, penipuan,

pemaksaan, pemalsuan, dan ini salah satu bentuk realita yang terjadi ditengah-

tengah masyarakat.

Pengaktualisasian kebijakan hukum pidana merupakan salah satu faktor

penunjang bagi penegakan hukum pidana, khususnya penanggulangan tindak

kejahatan. Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya untuk

menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka

tindakan untuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat

dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang

mengacu pada tujuan yang lebih luas. Sebagai salah satu alternatif

penanggulangan kejahatan, maka kebijakan hukum pidana adalah bagian dari

kebijakan kriminal (criminal policy).

82Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku I op.cit, hal. 8-13.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 71: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

60

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :83

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

3. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah

keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan

badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma

sentral dari masyarakat.

Dalam ketentuan hukum pidana kita, dikenal beberapa bentuk tindak

pidana pemalsuan, antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang, pemalsuan merek

dan materai, dan pemalsuan surat. Dalam perkembangannya, dari berbagai macam

tindak pidana pemalsuan tersebut, jika kita melihat objek yang dipalsukan yaitu

berupa surat, maka tentu saja hal ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Surat

sebagai akta otentik tidak pernah lepas dan selalu berhubungan dengan aktivitas

masyarakat sehari-hari.

Dengan demikian, dalam upaya penanggulangan dan pencegahan

kejahatan tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan

sarana penal dan non penal harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran

hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian

dari budaya hukum. Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari

pihak pelaku usaha, parlemen, pemerintah dan aparat penegak hukum salah

satunya yaitu Notaris. Mengingat keberadaan UUJN yang tidak memiliki sanksi

pidana, maka pelaksanaa UUJN hanya mendasarkan pada kesadaran etika moral

belaka.

Hal ini perlu ditegaskan karena pihak yang paling tabu hukum dan wajib

menegakkannya, justru oknumlah yang melanggar hukum. Ini menunjukkan

kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi

tauladan bagi masyarakat dalam mematuhi dan menegakkan hukum.

83“Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”

http://bardanawawi.blogspot.com/2007/10/bung-rampai-kebijakan-hukum-pidana.html ,diunduh

25 Mei 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 72: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

61

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi

kejahatan (politik kriminal) tidak hanya dengan menggunakan sarana hukum

pidana (penal), tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana non-penal.

Selanjutnya menurut Muladi upaya penanggulangan kejahatan

dilingkungan profesional dapat dilakukan secara penal dan non-penal. 84

2.2.1.1. KEBIJAKAN PENAL (SANKSI PIDANA)

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana

merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, ada pula

yang menyebutnya sebagai “older philosophy of crime”.85

Penggunaan upaya penal (sanksi pidana) dalam mengatur masyarakat

(lewat perundang-undangan) pada hakikatnya merupakan bagian dari suatu

langkah kebijakan (policy). Mengingat berbagai keterbatasan dan kelemahan

hukum pidana, maka penggunaan upaya penal seyogianya dilakukan dengan lebih

hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif.

Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari

praktek perundang-undangan yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum

pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di

Indonesia, dimana penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar

dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak lagi dipersoalkan.86

Prof. Sudarto, SH mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak

digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik criminal atau

social defence planning. Politik kriminal ialah pengaturan atau penyusunan secara

rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat. Adapun tujuan

akhir dari kebijakan kriminal adalah “perlindungan masyarakat” untuk mencapai

tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya kebahagiaan

84

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku I, op.cit., hal. 72. 85Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan kebijakan Hukum Pidana, (Bandung:

Alumni, 1992), hal. 149. (selanjutnya disebut Buku II). 86Ibid.,hal. 156.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 73: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

62

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

warga masyarakat (happiness of the citizens), kehidupan kultural yang sehat dan

menyegarkan (a wholesome and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social

welfare), atau untuk mencapai keseimbangan (equality). 87

Maka dilihat dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik

dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.

Penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan bersifat kurieren am

symptom dan bukan sebagai faktor yang menghilangkan sebab-sebab terjadinya

kejahatan. Adanya sanksi pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat

dari penyakit.

Herbert L. Packer menyatakan bahwa penggunaan sanksi pidana secara

sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan (indiscriminately) yang

digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi

suatu pengancam yang utama (prime threatener).88

Ada dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan

sarana penal (sanksi pidana) ialah masalah penemuan :89

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

2. Sanksi apa yang sebaliknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.

Sanksi pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan

tugas jabatan Notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta

harus berdasarkan kepada aturan hukum yang mengatur hal tersebut, dalam hal ini

UUJN. Sanksi pidana terhadap Notaris tunduk terhadap ketentuan pidana umum,

yaitu KUHP. Oleh karena UUJN tidak mengatur mengenai sanksi pidana.

Dengan adanya lebih dari satu jenis sanksi yang dapat dijatuhkan

terhadap Notaris, berkaitan dengan kumulasi sanksi terhadap Notaris. Dalam

kaidah peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi, sering tidak

hanya memuat satu macam sanksi, tetapi terdapat beberapa sanksi yang

diberlakukan secara kumulasi, adakalanya suatu ketentuan peraturan perundang-

87Ibid.,hal. 157-158. 88Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 76. (selanjutnya disebut Buku II) 89Ibid, hal. 29

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 74: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

63

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

undangan tidah hanya mengancam pelanggarnya dengan sanksi pidana, tapi pada

saat yang sama mengancamnya dengan sanksi administrasi.90

Pemberian sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan dengan

batasan, yaitu jika :

1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal (kepastian hari,

tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap) akta yang sengaja, penuh

kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di

hadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan

dasar untuk melakukan suatu tindak pidana.

2. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau

oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan

UUJN.

3. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang

untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini MPN.

Upaya pencegahan terhadap kejahatan di lingkungan profesional, salah

satunya profesi Notaris, dapat dilakukan melalui upaya penal, yaitu dengan cara

Klausula penundukan pada undang-undang. Bahwa setiap undang-undang

mencantumkan dengan tegas sanksi pidana yang dapat diancamkan kepada

pelanggarnya. Dengan demikian menjadi pertimbangan bagi para profesional,

tidak ada jalan lain kecuali taat. Jika terjadi tindak pidana berarti yang

bersangkutan bersedia dikenai sanksi yang cukup memberatkan atau merepotkan

baginya. Ketegasan sanksi pidana ini lalu dicantumkan dalam rumusan undang-

undang profesi yang memberlakukan sanksi kepada setiap anggotanya. 91

Dengan demikian, penggunaan sarana penal (sanksi pidana) harus

memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil

dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan Pancasila, maka

(penggunaan) kebijakan penal bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan

mengadakan pengurangan terhadap tindakan penganggulangan itu sendiri, demi

kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk

dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan

90Habib Adjie, Buku I, op.cit, hal. 119. 91Muhammad Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997),

hal. 86.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 75: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

64

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil

dan spirituil) atas warga masyarakat.92

2.2.1.2. KEBIJAKAN NON-PENAL (SANKSI ADMINISTRATIF)

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal ini lebih bersifat

tindakan sanksi administratif kepada Notaris apabila ia telah melakukan

penyalahgunaan tugas dan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum.

Secara garis besar, sanksi administratif dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)

macam, yaitu :93

1. Sanksi Reparatif.

Sanksi ini ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum.

Dapat berupa penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan

sikap/tindakan sehingga tercapai keadaan semula yang ditentukan,

tindakan memperbaiki sesuatu yang berlawanan dengan aturan.

2. Sanksi Punitif.

Sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban tambahan, sanksi

hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventif yang

menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk

pelanggar-pelanggar lainnya.

3. Sanksi Regresif.

Sanksi sebagai reaksi atas suatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas

sesuatu yang diputuskan menurut hukum, seolah-olah dikembalikan

kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum keputusan diambil.

Penegakan hukum menurut Ten Berge menyebutkan bahwa instrumen

penegakan hukum meliputi pengawasan dan penegakan sanksi, pengawasan

merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, dan penerapan

sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Dalam

menegakkan sanksi administratif terhadap Notaris yang menjadi instrumen

pengawasan yaitu MPN yang mengambil langkah-langkah preventif, untuk

92Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku II, op. cit, hal. 161. 93Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal.

211. (selanjutnya disebut Buku II)

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 76: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

65

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

melaksanakan kepatuhan dan untuk memaksakan kepatuhan agar sanksi-sanksi

tersebut dapat dilaksanakan.94

Langkah-langkah preventif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan

secara berkala 1 (satu) kali dalam satu tahun setiap waktu yang dianggap perlu

untuk memeriksa ketaatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yang

dilihat dari pemeriksaan protokolnya oleh MPD.95

Kemudian MPD

menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode

Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris.96

MPD menerima

laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris

atau pelanggaran ketentuan dalam UUJN.97

Jika hasil pemeriksaan MPD

menemukan pelanggaran, maka MPD tidak dapat menjatuhkan sanksi yang

represif kepada Notaris melainkan hanya dapat melaporkan kepada MPW.98

MPW dapat melakukan langkah preventif dengan menyelenggarakan

sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang

disampaikan melalui MPW dan memanggil Notaris sebagai terlapor untuk

dilakukan pemeriksaan,99

MPW juga memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan

MPD.

MPW dapat melakukan langkah represif, yaitu menjatuhkan sanksi berupa

teguran lisan atau tertulis dan sanksi ini bersifat final,100

dan mengusulkan

pemberian sanksi terhadap Notaris kepada MPP berupa pemberhentian sementara

3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau pemberhentian dengan tidak

hormat.101

94 Ibid., hal.92. 95 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117

Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf b dan ps 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. 96 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117

Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf a. 97 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117

Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf g. 98 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117

Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 70 huruf h, pasal 71 huruf e. 99 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117

Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 73 huruf a dan b. 100 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117

Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 73 ayat (1) huruf e, ayat (2). 101 Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN No. 117

Tahun 2004, TLN. No. 4432, ps 73 ayat (1) huruf f.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 77: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

66

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

MPP tidak melakukan tindakan preventif, tapi menyelenggarakan sidang

untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap

penjatuhan sanksi dan penolakan cuti, tapi tindakan represif berupa penjatuhan

sanksi pemberhentian sementara, dan mengusulkan pemberian sanksi berupa

pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

Sebelum menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian dengan

tidak hormat terhadap Notaris tersebut, ditempuh dulu penjatuhan sanksi berupa

teguran lisan atau tertulis, untuk kemudian mengusulkan pemberian sanksi

pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan dan

selanjutnya mengusulkan untuk pemberhentian dengan tidak hormat dari

jabatannya. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada

yang bersangkutan untuk membela diri dan memperbaiki diri.

Dalam Pasal 85 UUJN juga ditentukan ada 5 (lima) jenis sanksi

administratif, yaitu :

1. Teguran lisan.

2. Teguran tertulis.

3. Pemberhentian sementara.

4. Pemberhentian dengan hormat.

5. Pemberhentian tidak hormat.

Dengan adanya sanksi administratif ini Notaris tersebut tidak akan

melakukan perbuatan yang dapat merugikan dan merusak dirinya sendiri serta

jabatannya.

Dimana sanksi administratif ini bersifat reparatoir atau korektif, artinya

untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang

bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain, dan regresif yang bersifat segala

sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya

pelanggaran.102

Sasaran utama upaya penyalahgunaan pelanggaran lewat jalur non penal

yaitu menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-

faktor kondusif ini antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-

102Habib Adjie, (Buku II), op.cit., hal. 222.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 78: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

67

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

kondisi Notaris yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

menumbuh suburkan kejahatan.

Jika dilihat dari sudut politik kriminal, maka upaya non penal menduduki

posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Akan tetapi

kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat fatal bagi

usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus

dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan yang non

penal kedalam suatu sistem kegiatan Negara yang teratur dan terpadu.

Menurut G.Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan yang

ditempuh dengan jalur non penal yaitu : 103

1. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment).

2. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on

crime and punishment/mass media).

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal

lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/

pengendalian) tanpa pidana sebelum kejahatan terjadi. Oleh karena itu kebijakan-

kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus

mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan

yang bersifat sosio-ekonomi dimana kejahatan sering hanya merupakan gejala.

Disamping itu upaya-upaya non penal juga dapat ditempuh dengan cara

menyehatkan sistem peradilan Indonesia lewat kebijakan sosial dan dengan

menggali berbagai potensi yang ada didalam masyarakat itu sendiri, juga dapat

pula upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga

mempunyai potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum.

2.2.2. SANKSI PIDANA

Sanksi pidana merupakan sanksi yang diberikan oleh Negara terhadap

seseorang yang melanggar aturan hukum yang telah ditetapkan oleh Negara.

Kewenangan untuk memberikan sanksi pidana ada ditangan Negara melalui alat

103Barda Nawawi Arief, Buku I, op.cit, hal. 42.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 79: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

68

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

kekuasaannya. Dalam hal ini Negara merupakan satu-satunya pihak yang

mempunyai Ius Puniendi (hak untuk memberikan sanksi pidana). Hal ini

disebabkan karena Negara adalah organisasi sosial yang tertinggi. Sebagai

organisasi social tertinggi, Negara diberi tugas untuk mempertahankan tata tertib

dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Negara diberi

kekuasaan untuk melakukan beberapa tindakan, antara lain menjatuhkan hukuman

atas pelanggaran kaidah-kaidah yang dibuat untuk mempertahankan tata tertib

dalam masyarakat yang dijaga oleh Negara.104

Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana terdiri

atas :

a. Pidana Pokok

1. Pidana Mati

2. Pidana Penjara

3. Pidana Kurungan

4. Denda

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim

Keberadaan sanksi pidana yang dianggap sebagai sanksi yang paling kuat,

kemudian membuat pembuat undang-undang untuk mencantumkan sanksi pidana

dalam beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Mengingat

pentingnya keberadaan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku di masyarakat.

2.2.2.1. PIDANA POKOK

1. Pidana Mati.

Pidana mati adalah pidana yang terberat, karena ditujukan pada hak hidup

manusia. Pidana mati yang telah dilaksanakan tidak dapat direvisi apabila

ternyata telah terjadi kesalahan dalam penjatuhan pidana tersebut.

104Utrecht, E, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: PustakaTinta Mas,

1994), hal. 150.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 80: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

69

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Oleh sebab itu, bagi tindak pidana yang ancaman hukumannya berupa

pidana mati, selalu diancam juga pidana alternatifnya seperti penjara seumur

hidup atau penjara selama dua puluh tahun.

Dalam Pasal 11 KUHP, pidana mati dilaksanakan dengan cara

menggantung terpidana oleh seorang algojo. Namun dilingkungan peradilan

umum dan militer disebutkan bahwa pelaksanaan pidanan mati dilakukan

dengan ditembak mati.105

2. Pidana Penjara.

Pidana penjara merupakan hukuman perampasan kemerdekaan, dimana

seorang yang bersalah untuk sementara waktu dibatasi ruang geraknya.

Secara garis besar terdapat lima sistem penjara, yaitu :106

a. Sistem Pennsylvania, dimana narapidana menjalani hukumannya

secara terasing dalam sel dan hanya berhubngan dengan penjaga

sel saja.

b. Sistem Auburne, dimana pada malam hari terpidana ditutup

sendirian dalam sel sedangkan pada siang harinya bekerja berat

bersama-sama dengan terpidana lain, namun dilarang untuk saling

bicara.

c. Sistem Ireland, yang menghendaki bahwa para narapidana pada

tahap pertama ditutup dalam sel terus menerus, kemudian tahap

berikutnya diharuskan bekerja bersama-sama, dan kemudian

diberikan kelonggaran untuk bergaul antara sesama narapidana,

sampai pada akhirnya dapat dibebaskan dengan syarat tertentu jika

ia berkelakuan baik.

d. Sistem Elmira atau Sistem Borstal, dimana narapidana diberi

pengajaran, pendidikan, dan pekerjaan untuk memperbaiki dirinya

sehingga bisa diterima oleh masyarakat kembali.

105

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana,

Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2004), hal. 33. 106Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum

Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hal. 88-90.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 81: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

70

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

e. Sistem Osborne, yang memberikan Self Government kepada

terpidana dalam penjara dengan mengangkat pimpinan terpidana

yang diambil dari salah satu terpidana.

3. Pidana Kurungan.

Secara umum, pidana kurungan hampir sama dengan pidana penjara.

Namun berdasarkan Pasal 69 ayat (1) KUHP, dimana dinyatakan bahwa

mengenai berat ringannya pidana-pidana pokok yang tidak sejenis, ditentukan

oleh urutannya dalam Pasal 10 KUHP, maka diketahui bahwa pidana

kurungan memiliki ukuran lebih ringan dibandingkan pidana penjara.

Di Indonesia, pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan minimum 1 (satu) hari

dan maksimum 1 (satu) tahun. Dalam hal terdapat dasar pemberat,

maksimum kurungan dapat menjadi 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Hal ini

sangat berbeda dengan pidana penjara yang batas maksimumnya mencapai

penjara seumur hidup atau selama 20 (dua puluh) tahun.

4. Pidana Denda.

Pidana denda adalah pidana yang tertuju pada harta benda orang. Uang

yang diperoleh dari pidana denda tersebut akan dimasukan dalam kas negara.

Dalam sistem KUHP yang sekarang berlaku, pidana denda dipandang sebagai

jenis pidana pokok yang ringan.

Hal ini dapat dilihat dari kedudukan urut-urutan pidana pokok didalam

pasal 10 KUHP, dan pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai

pidana alternatif dari pidana penjara atau kurungan. Sedikit sekali tindak

pidana yang diancam dengan pidana denda.107

Pidana denda sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Seiring

dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, maka nilai mata uang pun

semakin meningkat. Dengan demikian, pidana denda yang diberikan pun

harus disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi. Pidana denda yang terlalu

kecil akan mengakibatkan sanksi tersebut menjadi tidak efektif.

Dimungkinkan dalam beberapa hal, dapat terjadi bahwa pidana denda

yang dijatuhkan ternyata sama sekali tidak dapat dibayar atau hanya dapat

107

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Buku II, op. cit, hal. 177.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 82: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

71

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

dibayar sebagian. Dalam kasus seperti ini, maka dapat digantikan dengan

kurungan pengganti denda (kurungan subsidair).

Untuk itu, pada waktu pidana denda dijatuhkan, biasanya disertai dengan

lamanya kurungan yang harus dijalani sebagai pengganti jika pidana denda

tidak dapat dibayar. Adapun besarnya kurungan pengganti sekurang-

kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bukan.

Karena kedudukan sanksi pidana denda sebagai pidana pokok yang ringan

dalam sistem KUHP, maka inilah yang menyebabkan salah satu faktor

jarangnya pidana denda dijatuhkan oleh para hakim. Akan dirasakan kurang

efektif apabila terhadap tindak pidana berupa pencurian, penggelapan,

penipuan, penadahan hanya dijatuhkan pidana denda maksimum Rp.900,-.

Demikian juga pidana denda pada PJN, terdapat 22 pasal mengenai pidana

denda. Menurut Penulis mungkin karena pidana denda merupakan pidana

ringan, inilah yang menjadi salah satu faktor jarang nya pidana denda

dijatuhkan oleh Hakim terhadap Notaris pada saat itu, sehingga pengaturan

pidana denda saat ini tidak dirumuskan kembali dalam UUJN.

Untuk mengefektifkan pidana denda ini, maka dalam perkembangan diluar

KUHP adanya kebijakan legislatif untuk meningkatkan jumlah ancaman

pidana denda, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pidana denda maksimum

Rp.1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah), Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perbankan pidana denda maksimum Rp.200.000.000.000,- (dua

ratus milyar Rupiah), Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang

Pencucian Uang pidana denda maksimum Rp.100.000.000.000,- (seratus

milyar Rupiah) dan pada undang-undang lainnya.

Dengan adanya Kebijakan legislatif ini menurut penulis seharusnya dapat

diterapkan pula dalam UUJN yaitu dengan merumuskan kembali pidana

denda yang dulu sudah ada di PJN dengan meningkatkan jumlah ancaman

pidana denda dalam UUJN. Dalam menetapkan kebijakan legislatif tersebut

mengenai pelaksanaan pidana denda, perlu dipertimbangkan antara lain

mengenai :108

108Ibid., hal.181.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 83: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

72

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

a. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda;

b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda;

c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin

terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat

membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan;

d. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus;

e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.

Perlu dipertimbangkan agar kebijakan legislatif untuk menentukan

standar atau ukuran yang lebih pasti dan relatif tidak mudah terpengaruh

oleh perkembangan moneter dan ekonomi, misalnya standar emas atau

penghasilan orang rata-rata perhari.109

2.2.2.2. PIDANA TAMBAHAN

1. Pencabutan hak-hak tertentu.

Pencabutan hak-hak tertentu adalah pencabutan beberapa hak yang

dimiliki seseorang sebagai hukumam atas pelanggaran yang dilakukannya.

Dalam hal ini, tidak semua haknya dicabut, tetapi hanya hak-hak tertentu

saja.

Dalam Pasal 35 KUHP, hak-hak tertentu yang dapat dicabut meliputi :

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu.

b. Hak memasuki angkatan bersenjata.

c. Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum,

kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu dan

pengampu pengawas, baik terhadap anak sendiri maupun anak orang

lain.

d. Hak untuk melakukan pekerjaan tertentu.

2. Perampasan barang-barang tertentu.

109Ibid., hal.183.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 84: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

73

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Perampasan barang tertentu adalah tindakan untuk mencabut hak milik

atau suatu barang dari orang yang memilikinya dan barang itu jadi milik

Negara.110

Dalam Pasal 39 KUHP, barang-barang yang dapat dirampas terdiri dari

dua jenis, yaitu :

a. Barang-barang yang diperoleh dengan kejahatan

b. Barang-barang yang sengaja dipakai dalam melakukan kejahatan.

3. Pengumuman putusan hakim.

Pada prinsipnya, putusan hakim harus diumumkan secara terbuka.

Biasanya, pengumuman putusan hakim tersebut hanya diumumkan secara

terbuka dalam ruang sidang pengadilan.

Sebagai hukuman tambahan, putusan pengadilan tersebut tidak hanya

diumumkan secara terbuka dalam ruang sidang, tetapi juga diumumkan

secara luas atas biaya terpidana. Terhadap terpidana yang belum berusia 16

(enambelas) tahun, hukuman tambahan ini tidak dapat dijatuhkan.111

4. Pidana Tutupan.

Disamping jenis pidana yang terdapat dalam KUHP sebagaimana

diuraikan diatas, masih terdapat satu jenis pidana pokok yang ditambahkan ke

dalam Pasal 10 KUHP dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, yaitu

Pidana Tutupan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut, disebutkan bahwa

dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan

hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka

hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.112

Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan

yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya.113

Dalam praktek pidana

seperti ini, hanya pernah terjadi satu putusan hakim yang memberikan

hukuman pidana tutupan, yaitu Putusan Mahkamah Tentara Agung Republik

110Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di

Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), hal 38. 111

R. Tresna, Azaz-Azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan

Pidana Yang Penting, (Surabaya: PustkaTinta Mas, 1994), hal. 141. 112Ibid, hal. 134. 113Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, cet. Kedua (Jakarta: PT

Pradnya Paramita, 1993), hal. 58.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 85: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

74

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Indonesia pada tanggal 27 Mei 1948 yang mengadili para pelaku kejahatan

“peristiwa 3 Juli 1946.114

2.2.3. UNSUR-UNSUR TPN

Tidak sedikit akta Notaris dipermasahlakan oleh para pihak atau pihak

lain, yang kemudian Notaris tersebut ditarik sebagai pihak yang turut serta

melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat atau

memberikan keterangan palsu ke dalama akta Notaris, sehingga Notaris dapat

dikenakan sanksi pidana jika dapat dibuktikan di pengadilan bahwa secara sengaja

atau tidak sengaja bersama-sama dengan para pihak/penghadap membuat akta

dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu

saja atau merugikan penghadap yang lain. Adapun tindakan Notaris yang

merupakan TPN antara lain yaitu :115

1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang

dipalsukan (pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP);

2. Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (pasal 264 KUHP);

3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (pasal 266

KUHP);

4. Melakukan, menyuruh, turut serta melakukan (pasl 55 jo pasal 263 ayat

(1) dan (2) KUHP atau pasal 264 atau pasal 266;

5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan

surat palsu/yang dipalsukan (pasal 56 ayat (1) dan (2) jo pasal 263 ayat (1)

dan (2) KUHP atau pasal 264 atau pasal 266.

Beberapa contoh kasus TPN, sebagai berikut :

Contoh Kasus TPN di Medan yaitu Putusan MA Nomor 1099

K/PID/2010, Notaris San Smith, SH didakwa dalam Dakwaan Primair : pasal 266

ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu telah melakukan, turut serta

melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik

mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan

maksud untuk itu seolah-oleh keterangannya sesuai kebenaran. Dalam Dakwaan

114Adam Chazawi, op.cit, hal.43. 115Habib Adjie, Buku I, op.cit. hal.76.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 86: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

75

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Subsidair : pasal 263 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu telah

membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak

yang dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh

memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal

yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu

seolah-oleh keterangannya sesuai kebenaran.

Terhadap dakwaan tersebut Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya

Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn, tertanggal 04 Januari 2010 yang amar

lengkapnya menyatakan bahwa terdakwa Notaris San Smith, SH, tersebut telah

terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut

serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik”, dan

menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu)

tahun.

Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan

Penasehat hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan Nomor :

82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25 Februari 2010 bahwa Notaris San Smith, SH

telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik”

dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Mahkamah Agung dalam Putusan MA Nomor 1099 K/PID/2010 menolak

permohonan Kasasi dari pemohon kasasi yaitu San Smith, SH tersebut.

Menimbang bahwa putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau

undang-undang, judex facti tidak salah menerapkan hukum karena telah

mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis secara benar.

Contoh Kasus TPN di Jakarta yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat Nomor 880/PID.B/2006/PN.JKT.PST, Notaris Dr. Teddy Anwar, SH., SpN

didakwa dalam dakwaan kesatu Pasal 263 ayat (1), dakwaan kedua Pasal 263 ayat

(2), dakwaan ketiga Pasal 264 ayat (1), dan dakwaan keempat Pasal 266 ayat (2)

KUHP.

Dalam amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa Dr. H. Teddy

Anwar, SH., SpN., tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana dalam dakwaa kesatu, kedua, ketiga, dan maupun keempat;

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 87: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

76

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan; memulihkan hak terdakwa dalam

kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; dan agar terdakwa segera

dibebaskan dari tahanan.

Atas putusan tersebut diajukan banding dan atas putusan banding diajukan

kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum ke Mahkamah Agung dengan amar putusannya

yaitu membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

880/PID.B/2006/PN.JKT.PST tanggal 26 Juli 2006 dan menyatakan terdakwa Dr.

H. Teddy Anwar SH., SpN., telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Membuat Akta Otentik Palsu”; serta menghukum

terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.

Contoh Kasus TPN di Surakarta Jawa Tengah yaitu Kasus Putusan MA

Nomor 1860 K/Pid/2010, Notaris Tjondro Santoso, SH didakwa dalam dakwaan

Primair : pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP bersama-sama dengan Anne Patricia

Sutanto telah membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan

suatu hak yang dilakukan terhadap akta otentik. Dalam dakwaan Subsidair : pasal

266 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu telah melakukan, turut

serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta

otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,

dengan maksud untuk itu seolah-oleh keterangannya sesuai kebenaran. Dalam

dakwaan Lebih Subsidair : pasal 266 ayat (1) jo pasal 56 ayat (2) yaitu telah

sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan

memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal

yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu,

seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.

Notaris yang turut aktif merekayasa subtansi akta yang tidak sesuai dengan

hukum dan perundang-undangan, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi

pelanggaran terhadap norma hukum, khususnya hukum pidana. Parameternya

adalah kecurangan, penyesatan, penyembunyian, kenyataan, manipulasi,

pelanggaran kepercayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan. Dan semua ini

harus dilakukan dengan sengaja dan sama sekali tidak ada alasan pembenar dan

alasan pemaaf yang dapat digunakan.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 88: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

77

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Tindak pidana Notaris yang cenderung terkait adalah tindak pidana

“kesengajaan”, seperti dalam pasal-pasal dibawah ini, yaitu:116

1. Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan.

(1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat

menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang

diperuntukan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk

memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya

benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat

menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara

paling lama 6 tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai

surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan

tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan yang terdapat pada rumusan pada pasal

263 ayat (1) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur-unsur Objektif :

1) Perbuatan, yaitu:

a) membuat surat palsu;

b) memalsukan surat.

2) Objeknya adalah “Surat” :

a) yang dapat menimbulkan suatu hak;

b) yang menimbulkan suatu perikatan;

c) yang menimbulkan suatu pembebasan utang;

d) yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal.

3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.

b. Unsur-unsur Subjektif:

“Dengan sengaja” untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai

seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.

Sedangkan pada pasal 263 ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

116Muladi, “Hukum Pidana dan Profesi Jabatan Notaris”, (Makalah disampaikan pada

Seminar Tantangan dan Peluang Profesi Notaris di Era Globalisasi, FHUI Depok, 23 Februari

2011).

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 89: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

78

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

a. Unsur-unsur Objektif:

1) Perbuatan yaitu : memakai

2) Objeknyayaitu :

a) surat palsu;

b) surat yang dipalsukan.

3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.

b. Unsur-unsur Subjektif adalah: “Dengan sengaja”

Membuat surat palsu adalah membuat surat yang isinya bukan

semestinya (tidak benar), atau membuat surat sedemikian rupa sehingga

menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Sedangkan memalsukan surat

adalah mengubah surat sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi

yang asli sehingga surat itu menjadi lain dari yang asli.117

Keduanya dapat

terjadi terhadap sebagian atau seluruh isi surat.

Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan

memalsukan surat adalah bahwa dalam membuat surat palsu, sebelum

perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian dibuat surat yang isinya

sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran. Sedangkan

perbuatan memalsukan surat, sebelum perbuatan dilakukan sudah ada sebuah

surat (surat asli). Terhadap surat asli ini dilakukan perbuatan memalsu yang

akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh

isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran.118

Tidak semua surat dapat menjadi objek tindak pidana pemalsuan surat,

melainkan terbatas pada 4 (empat) macam surat, yaitu :119

1. Surat yang dapat menimbulkan suatu hak;

2. Surat yang dapat menimbulkan suatu perikatan;

3. Surat yang dapat menimbulkan pembebasan hutang;

4. Surat yang diperuntukan bukti mengenai suatu hal.

Surat-surat yang termasuk dalam akta otentik memiliki kekuatan

pembuktian sempurna berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata, dibuat oleh atau

117

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hal. 195. 118

Adami Chazawi, op.cit., hal 101. 119Ibid., hal 101-103.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 90: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

79

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

di hadapan pejabat publik yang memiliki wewenang untuk membuat akta

tersebut menurut undang-undang. Suatu surat diperuntukkan sebagai bukti

mengenai suatu hal yaitu dimana surat tersebut berisi suatu hal/kejadian yang

memiliki pengaruh bagi yang bersangkutan.

Kerugian yang timbul akibat dari pemakaian surat tersebut tidak perlu

diketahui atau disadari oleh pelaku. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk

menentukan akan adanya kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu

dipakai.120

Adanya kemungkinan kerugian dapat ditentukan dengan

diberlakukan suatu asas, bahwa kemungkinan kerugian ini tidak hanya dinilai

berdasarkan tujuan menurut undang-undang maupun berdasarkan akibat-

akibat yang biasanya berhubungan dengan penggunaan surat-surat itu.

Terdapat perbedaan antara ayat (1) dan ayat (2), dari unsur kesalahan,

pada ayat (1) “maksud” harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat

akan memulai perbuatan. Pada ayat (2), “sengaja” meliputi baik perbuatan

memakai surat seolah-olah surat itu asli atau tidak dipalsu maupun pemakaian

yang dapat menimbulkan kerugian. Timbulnya kerugian pada ayat (1) adalah

akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, dan pemakaian surat itu

belum dilakukan. Ayat (2) menyebutkan kerugian timbul akibat pemakaian

surat palsu atau surat dipalsu di mana pemakaian surat tersebut telah

dilakukan tetapi kerugian nyata-nyata belum timbul. 121

2. Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Akta Otentik.

(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun,

jika dilakukan terhadap :

1. Akta-akta otentik;

2. Surat hutang dan sertifikat hutang dari suatu Negara atau

bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

3. Surat sero atau hutang atau sertipikat sero atau hutang dari

suatu perkumpulan yayasan, perseroan atau maskapai;

120Ibid., hal 105. 121Adami Chazawi, op.cit., hal 106-107.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 91: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

80

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang

diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan

sebagai pengganti surat-surat itu;

5. Surat kredit atau surat dagang yang dipentukan untuk

diedarkan.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja

memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak benar

atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian

surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 264 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Semua unsur baik objektif maupun subjektif pasal 263;

b. Unsur-unsur khusus pemberatnya (bersifat alternatif), berupa objek

surat-surat tertentu, yaitu :

1) Akta-akta otentik;

2) Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara, bagian

negara, atau lembaga umum;

3) Surat sero, surat hutang dari suatu perkumpulan, yayasan,

perseroan, atau maskapai;

4) Talon, tanda dividen atau tanda bukti bunga dari surat-surat

pada butir 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai

pengganti surat-surat itu;

5) Surat-surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk

diedarkan.

Sedangkan unsur-unsur dalam pasal 264 ayat (2) adalah sebagai berikut:

a. Unsur-unsur objektif:

1) Perbuatan : memakai

2) Objeknya : surat-surat tersebut pada ayat (1)

3) Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.

b. Unsur-unsur Subjektif : dengan sengaja

Pasal 264 ayat (1) memiliki unsur-unsur yang sama dengan pasal

263ayat (1). Perbedaannya terletak pada objek dari pemalsuan, objeknya

adalah beberapa jenis surat tertentu, seperti akta otentik dan sebagainya.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 92: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

81

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Pemalsuan terhadap beberapa jenis surat itu dianggap memiliki sifat

membahayakan umum, khususnya yang tersebut di dalam Pasal 264 ayat

(1) ke-2, ke-3 dan ke-5.122 Surat-surat yang disebutkan dalam pasal 264

ayat (1) diatas merupakan surat-surat yang bersifat umum dan harus tetap

mendapat kepercayaan dari umum. Memalsukan surat semacam itu berarti

membahayakan kepercayaan umum, sehingga menurut pasal ini dapat

diancam hukuman yang lebih berat daripada pemalsuan surat biasa.123

Contoh Kasus TPN pasal 263 KUHP jo pasl 264 KUHP.

Pembobolan BNI sejumlah 1,3 Trilyun melibatkan Notaris yang membuat

akta otentik palsu yaitu menerbitkan Akta Perjanjian Kredit fiktif tanpa

adanya minuta akta. Notaris melakukan tindak pidana atas dasar karena

terbuai dengan honor yang sangat besar dari pembuatan akta Perjanjian

Kredit tersebut.124

3. Pasal 266 KUHP tentang Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu

(1) Barangsiapa menyuruh masukkan keterangan palsu kedalam suatu

akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus

dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau

menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keterangannya

sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat

menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja

memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran

jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 266 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur-unsur objektif:

1) Perbuatan: menyuruh memasukkan;

2) Objeknya: keterangan palsu;

122H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Jilid I,

(Bandung: Alumni, 1982), hal. 197. 123R.Soesilo, op.cit., hal. 197. 124Winanto Wiryomartani, “Pelanggaran Pidana/Perdata dan Tindakan Indisipliner oleh

Notaris”, (Makalah disampaikan pada Seminar Tantangan dan Peluang Profesi Notaris di Era

Globalisasi, FHUI Depok, 23 Februari 2011), hal. 6.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 93: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

82

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

3) Ke dalam akta otentik;

4) Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan

akta;

5) Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian.

b. Unsur-unsur subjektif: dengan maksud memakai atau menyuruh memakai

seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran.

Ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur-unsur objektif

1) Perbuatan: memakai;

2) Objeknya: akta otentik tersebut ayat (1);

3) Seolah-olah isinya benar.

b. Unsur-unsur subjektif: dengan sengaja.

Perbuatan menyuruh memasukkan keterangan palsu mengandung unsur-unsur

sebagai berikut:125

a. Inisiatif untuk membuat akta adalah berasal dari orang yang menyuruh

memasukkan, bukan dari pejabat pembuat akta otentik;

b. Perkataan unsur menyuruh memasukkan berarti orang itu dalam

kenyataannya memberikan keterangan-keterangan tentang suatu hal yang

bertentangan dengan kebenaran atau palsu;

c. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterangan yang

disampaikan oleh orang yang menyuruh memasukkan keterangan

kepadanya itu adalah keterangan yang tidak benar;

d. Oleh karena pejabat tersebut tidak mengetahui perihal tidak benarnya

keterangan tentang sesuatu hal itu, tidak dapat dipertanggungjawabkan,

terhadap perbuatannya yang melahirkan akta otentik yang isinya palsu

itu,dan karenanya ia tidak dapat dipidana.

Adami Chazawi berpendapat bahwa dalam rumusan pasal 266 KUHP

tidak dicantumkan orang yang disuruh untuk memasukkan keterangan palsu

tersebut, tetapi dapat diketahui dari unsur/kalimat “kedalam akta otentik” dalam

rumusan ayat (1) bahwa orang tersebut adalah si pembuat akta otentik.

125

Adami Chazawi, op.cit., hal. 113.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 94: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

83

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Sebagaimana diketahui bahwa Notaris merupakan salah satu dari pejabat umum

yang berwenang membuat akta otentik. Notaris dalam pembuatan suatu akta

otentik adalah memenuhi permintaan orang. Orang yang meminta inilah yang

dimaksud orang yang disuruh memasukkan keterangan palsu.126

Sedangkan menurut H.A.K. Moch Anwar, berbeda dengan pendapat

diatas, bahwa orang yang menghadap kepada seorang pejabat membuat akta

otentik memberikan keterangan-keterangan untuk dicantumkan didalam akta

tersebut. Keterangan-keterangan yang diberikan tersebut adalah keterangan yang

tidak benar. Pejabat pembuat akta otentik itu tidak melakukan pemalsuan

pengertian pasal 266 ayat (1) KUHP. Pada pasal 266 KUHP, seseorang

menghadap Notaris dan memberikan keterangan tentang hal-hal yang

bertentangan dengan kebenaran. Jadi, Notaris itu hanya membuat akta dan

mencantumkan dalam akta apa yang diberitahukan penghadap, sehingga Notaris

itu dinyatakan dalam akta hanya hal-hal yang diberitahukan kepadanya. Dengan

demikian penghadap tidak mungkin melakukan perbuatan membujuk (pasal 55

ayat (1) ke-2 KUHP) atau pun memberi bantuan (pasal 56 KUHP), karena tiada

kejahatan yang dilakukan oleh Notaris itu. Ia hanya mencantumkan dalam akta

keterangan-keterangan yang diberikan oleh penghadap. Ia tidak mengetahui

bahwa keterangan-keterangan yang dimasukkan dalam akta itu adalah tidak

benar.127

Apabila setelah memberikan keterangan perihal sesuatu yang diminta

untuk dimasukkan ke dalam akta otentik pada pejabat pembuatnya, sedangkan

akta itu belum dibuat atau keterangan tersebut belum dimasukkan ke dalam akta,

maka kejahatan itu belum terjadi secara sempurna melainkan baru terjadi

percobaan kejahatan saja.

Rumusan pasal 263, 264, 266 KUHP di dalamnya terdapat istilah “dengan

maksud”, artinya apabila Notaris menginginkan terjadinya suatu akibat yaitu

merugikan para pihak atau salah satu pihak atau memiliki tujuan tertentu terhadap

pembuatan akta palsu (pemalsuan akta) tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

Notaris mengetahui secara jelas perbuatannya dan menginginkan (menghendaki)

126Ibid., hal.112-113. 127 H.A.K. Moch.Anwar, op.cit. hal.198.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 95: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

84

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

tejadinya suatu akibat. Notaris memiliki kemampuan bertanggung jawab terhadap

perbuatannya tersebut.

Contoh Kasus TPN adanya permintaan klien untuk membawa minuta akta

keluar dari kantor Notaris untuk ditandatangani di rumah klien tanpa kehadiran

Notaris. Tetapi si penandatangan akta bukan pihak yang terkait melainkan orang

lain, Notaris tersebut diancam pasal 266 KUHP karena memberikan keterangan

palsu didalam akta, disebutkan “hadir di hadapan saya, Notaris” padahal yang

bersangkutan tidak hadir.128

4. Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik

sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah

kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena

kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) tahun atau denda paling banyak Rp.60,- (enam puluh Rupiah).

Unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang terdapat dalam pasal 372

KUHP tersebut diatas adalah sebagai berikut :

a. Unsur Objektif

Perbuatannya : mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen).

Objeknya : barang kepunyaan orang lain :

a) Seluruh atau sebagian

b) Yang ada dalam kekuasaannya

c) Bukan karena kejahatan

b. Unsur Subjektif : “dengan sengaja” dan melawan hukum.

Unsur mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) oleh banyak

penerjemah atau oleh banyak penyusun KUHP diterjemahkan atau disebut

sebagai “menguasai”.129

Contoh Kasus TPN Penggelapan di Semarang, Notaris MT telah menerima

titipan cek dengan nomor A387898 Bank Panin tertanggal 26 Maret 2009 senilai

Rp.900.000.000,- (sembilan ratus juta Rupiah) untuk membayar jual beli tanah

128Winanto Wiryomartani, op.cit, hal. 5. 129P.A.F. Lamintang, op.cit., hal. 206-207.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 96: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

85

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

seluas 7.500 m2 (tujuh ribu limaratus meter persegi) dari Stefpani Rahardja

kepada Murdianingsing, tetapi sampai pemberitaan ini Murdianingsih belum

menerima cek dari Notaris MT. Murdianingsih telah melakukan somasi terhadap

Notaris MT sebanyak 2 (dua) kali agar memberikan cek yang menjadi haknya

tersebut. Karena somasi tersebut tidak diindahkan maka Murdianingsih

melaporkan dengan perkara penggelapan pasal 372 KUHP dengan tanda bukti

lapor Nomor Polisi : TBL/II/A/IV/2011/Ditreskrimum.130

5. Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat

(hoedanigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,

menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau

supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena

penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

Unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terdapat dalam pasal 378 KUHP

tersebut diatas adalah sebagai berikut :

a. Unsur Objektif

Perbuatannya : memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid)

palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian

kebohongan.

Objeknya :

a) menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu

kepadanya;

b) supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang.

b. Unsur Subjektif : “dengan maksud” untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum.

Contoh Kasus TPN Penipuan oleh Notaris wilayah Klungkung, Ida

Bagus Dharma Dewa Diputra, S.H., telah ditetapkan jadi tersangka dan

ditahan di Polres Klungkung mulai Senin, 21 November 2011 atas kasus

130“Notaris Semarang Dituduh Menggelapkan Cek”, Renvoi, Nomor : 3.99 Agustus 2011,

hal. 65.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 97: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

86

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

pidana penipuan, penggelapan, dan atau penggelapan dalam jabatan

perbuatan.

Dewa Diputra telah merugikan dan menyesatkan pemilik dari para ahli

waris I Pica (alm) yakni I Mudra, dkk., yang telah dilakukan pembayaran

uang muka Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta). Namun oleh Notaris Dewa

Diputra tidak diberikan kepada pemilik lahan, sehingga I Mudra, dkk.,

membatalkan jual-beli. Tidak hanya itu, sertipikat milik I Mudra tidak

dikembalikan.

Singkat cerita, telah terjadi kesepakatan untuk pengembalian uang

muka dan sertifikat, pada kenyataannya tidak demikian. Notaris Dewa

Diputra terus menghindar, dan akhinya berujung pada laporan di Polres

Klungkung.131

Contoh kasus TPN Penipuan oleh Notaris Kota Bogor, Sri Dewi, SH

dengan putusan MPP No.14/B/MJ.PPN/2009, atas kasus Penipuan,

Penggelapan dan Pemalsuan Akta. Penipuan yaitu berupa melakukan

rangkaian kebohongan yang dilakukan oleh Notaris Sri Dewi yang

bersengkokol dengan Eddy Sjahrul (pegawai KP2LN Bekasi). Bermula

saat Ria A. Hasibuan bertemu dengan Eddy Sjahrul dan Notaris Sri Dewi,

menurut pengakuan Eddy Sjahrul bahwa Sri Dewi adalah Notaris yang

ditunjuk KP2LN Bogor untuk melakukan pelelangan tanah eks

PT.Sejahtera Industrial Trading Company Ltd, dan hal tersebut diakui

Notaris Sri Dewi yang mengaku bahwa benar ia adalah Notaris yang

ditujuk oleh KP2LN Bogpr, namun Notaris Sri Dewi tidak pernah dapat

menunjukkan Surat Penunjukan dari KP2LN Bogor sebagai Notaris yang

ditunjuk kepada Ria A. Hasibuan sebagai calon pembeli dan hanya

membuat surat keterangan seakan-akan menunjukkan bahwa dirinya

adalah Notaris yang ditunjuk oleh KP2LN Bogor.

Penggelapan, Notaris Sri Dewi melakukan pencairan uang tanpa

sepengetahuan dan persetujuan klien. Sebagai tanda keseriusan dari Ria

A.Hasibuan diminta untuk menyetor sejumlah uang sebesar Rp.

1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah) yang berupa cek Bank BCA atas

131“Terjerat Berbagai Kasus Pidana” http://denpostnews.com/index.php/2011-10-30-14-

33-39/379-terjerat-berbagai-kasus-pidana , diunduh 31 Juli 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 98: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

87

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

nama Ria A.Hasibuan yang dititipkan melalui Notaris Sri Dewi. Oleh

Notaris Sri Dewi cek tersebut dicairkan sebesar 600 juta kepada Eddy

Sjahrul dan Sri Dewi sendiri mendapat 400 juta tanpa sepengetahuan Ria

A.Hasibuan.

Pemalsuan Akta, Notaris Sri Dewi tidak pernah membacakan isi dari

akta Nomor 7 tertanggal 25 November 2005 yang dibuatnya, dan Ria

A.Hasibuan juga tidak menandatangani dan membubuhi paraf pada setiap

lembar akta.

Dalam pasal 263,264, 266, 378, 372 KUHP semuanya dalam kaitannya

dengan penyertaan sebagai pembuat (pasal 55 KUHP), pembantuan (pasal 56

KUHP), percobaan (pasal 53 KUHP).

6. Pasal 55 KUHP : Pembuat

Pasal 55 KUHP menyebutkan :

1. Dihukum selaku pelaku tindak pidana yaitu :

1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan ikut

serta melakukan tindak pidana;

2) Mereka yang dengan pemberian, perjanjian, menyalahgunakan

kekuasaan atau pengaruh, dengan kekerasan ancaman atau tipu

daya atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,

sengaja menggerakan orang lain agar melakukan tindak pidana.

2. Terhadap penggerak, hanya perbuatan yang dengan sengaja

dianjurkannya sajalah yang dapat dipertanggungjawabkan olehnya,

beserta akibat-akibatnya.

Berdasarkan ketentuan pasal 55 KUHP tersebut maka pelaku tindak

pidana dapat diklasifikasikan atas :

1. Plegen : Mereka yang melakukan tindak pidana

2. Doen plegen : Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan

tindak pidana

3. Mede plegen : Mereka yang ikut serta melakukan tindak pidana

4. Uitlokken : Mereka yang menggerakkan orang lain untuk melakukan

tindak pidana

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 99: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

88

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

7. Pasal 56 KUHP : Pembantuan

Pasal 56 KUHP menyebutkan :

Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan :

Ke-1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan;

Ke-2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan.

Ditinjau dari sudut pemidanaan ada dua macam penyertaan, yaitu :132

a. Orang yang dipidana sebagai penindak;

b. Orang yang dipidana sebagai pembantu.

Jika ada pembantu tentu ada yang dibantu, yaitu yang disebut sebagai

pelaku utama atau penindak. Hubungan antara pembantu dengan penindak

atau pelaku utama adalah pembantuan. Pembantuan ditentukan bersamaan

dengan terjadinya kejahatan (pasal 56 ke-1) atau mendahului terjadinya

kejahatan (pasal 56 ke-2). Menurut memori penjelasan dikatakan pembantuan

dapat terjadi “selama dan sebelum” pelaksanaan dari suatu kejahatan.

Pembantuan disyaratkan :

a. Pembantu harus mengetahui macam kejahatan yang dikehendaki oleh

penindak (pelaku utama).

b. Bantuan yang diberikan oleh pembantu adalah untuk membantu

petindak melakukan kejahatan, bukan untuk mewujudkan kejahatan

lain.

c. Kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudahkan atau

memperlancar petindak melakukan kejahatan yang dikehendaki

petindak. Dengan perkataan lain kesengajaan pembantu bukan

merupakan unsur dari kejahatan tersebut. Justru kesengajaan petindak

yang merupakan unsur dari kejahatan tersebut.

Ada dua jenis pembantuan, yaitu :

1. Pembantuan aktif adalah suatu tindakan untuk melakukan suatu

pembantuan.

132E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 370-374.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 100: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

89

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

2. Pembantuan passif adalah tidak melakukan suatu tindakan, namun

dengan kepassifannya itu ia telah dengan sengaja memberi

bantuan. (apabila seseorang berdasarkan undang-undang ataupun

perjanjian mempunyai kewajiban untuk mencegah kejahatan,

namun ia tidak mencegah, maka ia adalah pembantu passif).

Contoh Kasus TPN sebagai Pembantu kejahatan, dalam akta Berita Acara

RUPS LB agendanya penambahan modal dasar, yang berarti perubahan

anggaran dasar perseroan. Pada saat RUPS LB ada beberapa orang pemegang

saham yang tidak hadir, sehingga kuorum tidak terpenuhi. Notaris mengetahui

bahwa RUPS LB tersebut tidak bisa dilaksanakan karena tidak terpenuhinya

kuorum, dan memang ada pihak yang menginginkan beberapa orang tersebut

tidak hadir dan dianggap hadir. Notaris mengetahui keinginan dari pihak

tersebut dan tetap membuat akta Berita Acara RUPS serta meminta

persetujuan Menteri Hukum dan HAM untuk perubahan anggaran dasar

perseroan.

8. Pasal 53 KUHP : Percobaan

Pasal 53 KUHP menyebutkan :

(2) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah

ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya

pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya

sendiri.

(3) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan

dapat dikurangi sepertiga.

(4) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur

hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(5) Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.

Apa yang dirumuskan dalam pasal 53 ayat (1) bukanlah definisi atau arti

yuridis dari percobaan kejahatan, tetapi rumusan yang memuat tentang syarat-

syarat kapankah melakukan percobaan kejahatan dapat dipidana, syarat-syarat itu

ialah :133

133Adami Chazawi, op.cit., hal. 6.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 101: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

90

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

1. Adanya niat (voornemen);

Niat dalam hal percobaan kejahatan adalah willens en wetens

(dikehendaki dan diketahui), yang tiada lain adalah kesengajaan.

Sikap batin mengetahui (wetens) ialah termasuk segala apa yang

diketahui atau disadari tentang perbuatan yang akan dilakukan beserta

akibatnya, dan ini artinya termasuk kesengajaan sebagai kepastian dan

kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).

2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van iutvoering);

Permulaan pelaksanaan apabila dari wujud perbuatan itu telah tampak

secara jelas arah satu-satunya dari wujud perbuatan ialah pada tindak

pidana tertentu. Menurut Lamintang permulaan pelaksanaan (begin van

uitvoering) adalah kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata

tidak selesai.134

3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena

kehendaknya sendiri.

Contoh Kasus TPN Percobaan kejahatan, seorang Notaris membuat

Akta Pernyataan Waris, dengan penghadap A sebagai salah satu ahliwaris,

ternyata di dalam isi akta, ahli waris yang lain dirugikan, karena Notaris

diberikan honorarium yang besar dari penghadap A tersebut, maka

dibuatkanlah Akta Pernyataan Waris tersebut. Namun sebelum akta

tersebut ditandatangani, niat tersebut diketahui oleh ahliwaris yang lain.

9. Pasal 242 KUHP (Memberikan keterangan palsu di atas sumpah)

(1) Barangsiapa dalam hal-hal dimana undang-undang menentukan supaya

memberi keterangan diatas sumpah, atau mengadakan akibat hukum

kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan

palsu diatas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, olehnya sendiri

maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan

pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

134P.A.F. Lamintang, op.cit., hal 535.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 102: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

91

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

(2) Jika keterangan palsu diatas sumpah, diberikan dalam perkara pidana dan

merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah dikenakan pidana

penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

(3) Disamakan dengan sumpah adalah janji atau pengutan, yang diharuskan

menurut atiran-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.

(4) Pidana pencabutan hak tersebut pasal 35 no.1-4 dapat dijatuhkan.

Contoh Kasus TPN Memberikan Keterangan Palsu Diatas Sumpah. Pada

tanggal 22 Desember 2005, Notaris Yustisia Sutandyo wilayah Surabaya Jawa

Timur, dilaporkan oleh Bunarto Tejo Isworo. Bunarto adalah terdakwa PN

Surabaya dalam perkara Dugaan Pemalsuan Akta Tanah.

Bunarto Tejo merasa sangat dirugikan oleh keterangan Notaris Yustisia

Sutandyo ketika tampil sebagai saksi dalam persidangan perkara pidana itu,

karena Bunarto sudah mengantongi akta Notaris yang ditandatangani oleh Notaris

Yustisia Sutandyo.

Adanya keanehan dalam keterangan Notaris rupanya juga dirasakan oleh

Majelis Hakim PN Surabaya. Ketua Majelis Hakim Edy Tjahjono lantas

memerintahkan Jaksa Istrisno Haris untuk menyidik saksi Notaris Yustisia

Sutandyo karena dinilai memberikan keterangan palsu .135

10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Pasal 2 :

(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari

tindak pidana:

a. korupsi;

b. penyuapan;

c. narkotika;

d. psikotropika;

e. penyelundupan tenaga kerja;

f. penyelundupan migran;

135“Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya”,

http://pmg.hukumonline.com/klinik/detail/cl5135/unsur-unsur-pidana-yang dihadapi-notaris-

dalam-menjalankan-jabatannya, diunduh 28 Februari 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 103: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

92

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

g. di bidang perbankan;

h. di bidang pasar modal;

i. di bidang perasuransian;

j. kepabeanan;

k. cukai;

l. perdagangan orang;

m. perdagangan senjata gelap;

n. terorisme;

o. penculikan;

p. pencurian;

q. penggelapan;

r. penipuan;

s. pemalsuan uang;

t. perjudian;

u. prostitusi;

v. di bidang perpajakan;

w. di bidang kehutanan;

x. di bidang lingkungan hidup;

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau

z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4

(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga

merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan

digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak

langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris

perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

Pasal 3 :

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,

membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 104: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

93

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau

perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan

dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4 :

Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber,

lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya

atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena

tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

Pasal 5 :

(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak

Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini.

Contoh Kasus TPN Pencucian Uang. Modusnya, pemilik uang melakukan

pembelian saham yang kemudian dicatat dalam akta Notaris. Modus pembelian

saham memudahkan pelaku pencucian uang untuk memindahkan uang. Jika

berbentuk saham, otomatis uang hasil kejahatan menjadi sah, sehingga mudah

dipindahkan sesuai keinginan pelaku tindak pidana. Karenanya, Notaris sebagai

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 105: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

94

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

profesi bertugas membuat akta pendirian perusahaan dan jual beli saham diminta

mewaspadai kemungkinan terjadinya pencucian uang.136

Tidak menutup kemungkinan Notaris dapat pula terjerat kasus-kasus

pidana dalam undang-undang lainnya, misalnya dalam Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu dalam kasus korupsi

Nazaruddin, KPK sudah 4 kali memanggil Notaris Bertha Herawati, SH, MKn

untuk dimintai keterangan mengenai pemindahan aset Nazaruddin oleh istrinya

Neneng Sri Wahyuni ke luar Negeri.137

Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya sepanjang

perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam

KUHP atau dalam undang-undang lain dan terbukti secara sengaja atau

khilaf/lalai, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris dijadikan alat untuk

melakukan suatu tindak pidana atau membuat akta dengan cara melawan hukum

yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu atas lahirnya akta tersebut.

Diperlukan adanya kesalahan besar untuk pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan

seperti Notaris.

Berdasarkan penjelasan unsur-unsur tindak pidana tersebut diatas, penulis

melihat dari banyaknya kasus TPN yang sering terjadi adalah tindak pidana

pemalsuan, penggelapan dan penipuan. Penulis mencoba mengklasifikasikan

unsur-unsur TPN tersebut yaitu :

1. Pemalsuan, terhadap akta (akta fiktif), keterangan dalam akta, legalisasi,

waarmerking, pencocokan fotocopy, dan tanda tangan.

2. Penggelapan, bahwa mengaku sebagai milik sendiri segala sesuatu barang

sebagian/seluruhnya yang ada dalam kekuasaan Notaris, dititipkan dengan

dasar kepercayaan kerena kewenangan Notaris yang bukan

milik/kepunyaan Notaris.

3. Penipuan, bahwa melakukan kebohongan/rangkaian kebohongan/tipu

muslihat untuk menguntungkan Notaris secara melawan hukum/tidak

sesuai dengan ketentuan.

136

“Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya”,

http://pmg.hukumonline.com/klinik/detail/cl5135/unsur-unsur-pidana-yang dihadapi-notaris-

dalam-menjalankan-jabatannya, diunduh 28 Februari 2012. 137“Bertha Herawati Diduga Ikut Pindahkan Asset Neneng Sri Wahyuni ke Luar Negeri”,

www.yustisi.com , diunduh tanggal 15 Desember 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 106: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

95

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

2.2.4. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA TPN

a. Faktor Kesengajaan (Dolus)

Kesengajaan (dolus) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld).

Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap

suatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa. Karenanya

ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila dilakukan dengan

sengaja, dibandingkan dengan apabila dilakukan dengan kealpaan.

Dalam memori penjelasan, Memorie van Toelichting (MvT) yang

dimaksud dengan kesengajaan adalah “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya

suatu tindakan beserta akibatnya (willens en wetens veroorzaken van een gevolg)

artinya seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus

menghendaki serata menginsyafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya.138

Beberapa sarjana merumuskan kesengajaan itu adalah kehendak (de will)

sebagai keinginan, kemauan, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari

kehendak. Kehendak (de will) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang

dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian

“sengaja”, yaitu teori kehendak (Wilstheorie) dan teori pengetahuan atau

membayangkan (Voorstellingstheorie).139

Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, Manusia tidak

mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena Manusia hanya dapat

menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah

“sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan

dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang

bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah

dibuat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si

pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.

Dari kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada teori

pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah: Karena dalam kehendak

dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang

138E.Y. Kanter, dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 166-167. 139Ibid., hal.168.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 107: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

96

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu.

Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu saja dikehendaki olehnya. Lagi

pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan

dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatannya.

Konsekuensinya ialah, bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki

oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan

motifnya untuk berbuat dan tujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif,

perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa. 140

Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP memuat

unsur kesengajaan (opzet), hanya sebagian kecil saja tindak pidana yang

dirumuskan dalam KUHP berunsur kealpaan/kelalaian (culpa). Oleh karena itu

penting untuk diketahui berbagai istilah kesengajaan yang digunakan dalam

KUHP, mengingat KUHP menggunakan berbagai istilah kesengajaan.

Suatu perbuatan dapat dikatakan mengandung unsur kesengajaan terkait

erat dengan pikiran pelaku atau niat dalam hati pelaku untuk menimbulkan secara

pasti bahwa perbuatannya akan menimbulkan akibat tertentu seperti yang

diinginkannya. Unsur “kesengajaan” baru dianggap ada jika perbuatan itu

memenuhi elemen-elemen sebagai berikut :

1. Adanya kesadaran.

2. Adanya konsekwensi dari perbuatan itu.

3. Adanya kepercayaan bahwa dengan perbuatan itu pasti dapat

menimbulkan konsekwensi tertentu.

Dalam hal seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja dapat

dikualifikasi ke dalam tiga bentuk kesengajaan, yaitu :141

1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk), atau sering

disebut dengan istilah dolus directus.

Jenis kesengajaan ini merupakan kesengajaan yang paling sederhana,

sekaligus merupakan bentuk kesengajaan yang secara kualitatif dianggap

sebagai kesalahan yang paling berat. Artinya, secara kualitas bobot

kesalahan yang berupa kesengajaan sebagai maksud merupakan kesalahan

140Moeljatno, op.cit, hal. 172-173. 141Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang: UMM Press, 2008), hal. 241.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 108: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

97

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

yang terberat diantara bentuk kesalahan yang lain (kesengajaan dengan

sadar akan kepastian dan kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan).

Kesengajaan sebagai maksud akan terjadi, apabila seseorang menghendaki

melakukan suatu perbuatan sekaligus menghendaki terhadap timbulnya

akibat perbuatan itu. Artinya kehendak untuk melakukan perbuatan

tersebut memang dimaksudkan atau ditujukan untuk menimbulkan akibat

yang dikehendaki.

2. Kesengajaan dengan kesadaran yang pasti atau keharusan (opzet bij

zekerheids of noodzakelijkheids bewustzijn).

Jenis kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan suatu

perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat tertentu, tetapi di

samping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa

dengan melakukan perbuatan untuk menimbulkan akibat yang tertentu itu,

perbuatan tersebut pasti akan menimbulkan akibat lain yang sebenarnya

tidak dikehendaki hanya disadari kepastian akan terjadinya. Dalam hal ini,

kesadaran terhadap kepastian terjadinya akibat yang tidak dikehendaki itu

kemudian tidak menghalanginya untuk berbuat.

3. Kesengajaan dengan kemungkinan (dolus eventualis).

Jenis kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan suatu

perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat tertentu, tetapi

disamping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa

dengan melakukan perbuatan untuk menimbulkan akibat yang tertentu itu,

perbuatan tersebut mungkin akan menimbulkan akibat lain yang

sebenarnya tidak dikehendaki hanya disadari kemungkinan akan

terjadinya. Dalam hal ini, kesadaran terhadap kemungkinan terjadinya

akibat yang tidak dikehendaki itu kemudian tidak menghalanginya untuk

berbuat.

Ajaran tentang pembagian kesengajaan, adalah dibedakannya mengenai

“tertentu atau tidak tertentunya” suatu tujuan yang dikehendaki oleh pelaku, yang

disebut :142

142E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 191-192.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 109: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

98

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

a. Dolus premeditatus. Istilah dolus premeditatus pada dasarnya menunjuk

pada persoalan bagaimana terbentuknya kesengajaan dan bukan

merupakan corak kesengajaan. Dolus premeditatus hakikatnya sama

dengan rencana terlebih dahulu. Dalam konteks hukum pidana, rencana

terlebih dahulu dianggap ada, apabila sebelum atau pada saat melakukan

tindak pidana, si pelaku dapat memikirkan secara wajar tentang apa yang

ia lakukan.

b. Dolus determinatus adalah dolus/kesengajaan yang ditunjukan pada obyek

yang tertentu, jadi, pada dolus determinatus kesengajaan pelaku itu telah

ditujukan secara pasti pada obyek/sasaran yang telah ditentukan.

c. Dolus indeterminatus adalah dolus atau kesengajaan yang ditujukan pada

obyek/sasaran yang tidak tertentu.

d. Dolus alternativus, jika kehendak pelaku ditujukan pada sasaran tertentu.

e. Dolus inderectus, adalah suatu akibat yang timbul yang sebenarnya bukan

sebagai kehendak dan tujuan pelaku.

f. Dolus generalus, sasarannya ditunjukan pada obyek umum.

Sehubungan dengan tindak pidana Notaris, maka faktor kesengajaan

(dolus) merupakan faktor yang utama dalam unsur tindak pidana Notaris. Notaris

dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan berupa

kesengajaan (dolus) yang telah dibuktikan.

Pengertian sengaja (dolus) yang dilakukan oleh Notaris merupakan suatu

tindakan yang disadari atau direncanakan atau diinsyafisegala akibat hukumnya,

dalam hal Notaris melakukan kesengajaan bersama-sama dengan para penghadap.

b. Faktor Kealpaan/Kelalaian/Kurang Hati-Hati (Culpa)

Pada umumnya para ahli hukum sependapat, bahwa secara substansial

tidak ada perbedaan antara kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Keduanya

menunjukkan hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya yang

sedemikian rupa, sehingga menimbulkan celaan. Sering juga dikatakan,

kesengajaan dan kealpaan, kedua-duanya menunjuk kepada arah yang keliru dari

kehendak atau perasaan.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 110: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

99

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Didalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu

pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya

adalah:143

a) Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena

menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan

ingatannya (sebaik-baiknya), tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan

lain ia telah melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang

kewaspadaan yang diperlukan.

b) Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat

mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk

tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi

tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela

karena bersifat melawan hukum

Dalam penggradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua sudut,

yaitu : 144

1. Dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka

dibedakan :

a. Kealpaan yang berat (Culpa lata)

Kelalaian yang sangat besar, sehingga orang yang mempunyai sikap

batin demikian tercela, karena tidak menghiraukan kepentingan orang

lain yang dilindungi hokum.

b. Kealpaan yang ringan (Culpa levis)

Bersifat ringan tidak diakui sebagai unsur pertanggungjawaban pidana

pembuat delik.

2. Diihat dari sudut kesadaran (bewustheid), dibedakan :

a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld).

Jika pelaku dapat membayangkan/ memperkirakan akan timbulnya

suatu akibat. Tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha

pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu timbul

juga.

b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).

143E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 192. 144Ibid.,hal. 194.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 111: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

100

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Bila mana pelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu

akibat, tetapi seharusnya (menurut perhitungan umum/yang layak)

pelaku dapat membayangkannya.

M.v.T menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat : 145

1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.

2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.

3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

Kealpaan seperti juga kesengajaan adalah salah bentuk dari kesalahan.

Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan.

Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari

kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu

dikehendaki pelaku, maka dalam kealpaan, justru akibat itu tidak dikehendaki,

walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah

satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (kesadaran-

mungkin, dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).

Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menunjukan adanya

kealpaan/kelalaian antara lain : 146

1. Culpa/schuld(kesalahan) dalam arti sempit

2. Nalatigheid

3. Recklessness

4. Negligence

5. Sembrono

6. Teledor

Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud

melanggar larangan undang-undang, tetapi tidak mengindahkan larangan itu. Ia

alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan

terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam

melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang

dilarang.

Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang merupakan

keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS (wetboek van Strafrecht) sebagai

145Ibid. 146Soerdarto, op.cit, hal. 35.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 112: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

101

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

berikut: Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa

kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.

Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap

keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan

banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak

berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek kata, yang menimbulkan keadaan yang

dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut. dia tidak menghendaki atau

menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya

dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah

bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu. 147

Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan

kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga

sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati

sebagaimana diharuskan oleh hukum.148

Kelalaian/kealpaan merupakan salah satu bentuk kesalahan seperti yang

dimaksudkan oleh Pasal 1365 KUHPerdata tetapi dipertegas kembali dalam Pasal

1366 KUHPerdata menyatakan setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk

kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang

disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Menurut Munir Fuady suatu perbuatan dapat dianggap sebagai suatu

kelalaian, jika memenuhi unsur-unsur pokok sebagai berikut :149

1. Adanya suatu perbuatan atau mengakibatkan sesuatu yang mestinya

dilakukan.

2. Adanya suatu kewajiban kehati-hatian.

3. Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut.

4. Adanya kerugian bagi orang lain.

5. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian yang

timbul.

147Moeljatno, op.cit., hal. 198. 148Ibid, hal. 201. 149Munir Fuady, Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan

Pengurus: Profesi Mulia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 73.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 113: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

102

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Kewajiban kehati-hatian juga harus dilakukan oleh Notaris dalam

mengambil suatu tindakan, agar tidak terjadi kesalahan dari akibat kelalaian.

Notaris harus dipersiapkan dan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku.

Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan

keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai bahan dasar untuk

dituangkan dalam akta.

Asas kecermatan ini merupakan penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a

UUJN, antara lain dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris wajib bertindak

seksama. Pelaksanaan asas kecermatan wajib dilakukan dalam pembuatan akta

dengan :

1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya

yang diperlihatkan kepada Notaris.

2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau

kehendak para pihak tersebut (tanya-jawab).

3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak

para pihak tersebut.

4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi

keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris, seperti

pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan

untuk minuta.

6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas

jabatan Notaris.

Dalam pembuatan akta pihak ataupun akta relaas harus sesuai dengan tata

cara yang sudah ditentukan. Akta pihak Notaris hanya mencatat, dan membuatkan

akta atas kehendak, keterangan atau pernyataan para pihak yang kemudian

ditandatangani oleh para pihak tersebut, dan dalam akta relaas, berisi pernyataan

atau keterangan Notaris sendiri atas apa yang dilihat atau didengarnya, dengan

tetap berlandaskan bahwa pembuatan akta relaas pun harus ada permintaan dari

para pihak.

Dalam memeriksa Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya,

parameternya harus kepada prosedur pembuatan akta Notaris, dalam hal ini

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 114: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

103

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

UUJN. Jika semua prosedur sudah dilakukan, maka akta yang bersangkutan tetap

mengikat mereka yang membuatnya di hadapan notaris.

Memidanakan Notaris dengan alasan-alasan aspek formal akta tidak akan

membatalkan akta Notaris yang dijadikan objek perkara pidana tersebut dan akta

yang bersangkutan tetap mengikat para pihak. Dalam perkara perdata,

pelanggaran terhadap aspek formal dinilai sebagai suatu tindakan melanggar

hukum dan hal ini dilakukan dengan mengajukan gugatan terhadap Notaris

tersebut. Pengingkaran terhadap aspek formal ini harus dilakukan oleh penghadap

sendiri, bukan oleh Notaris atau pihak lainnya.

Aspek materil dari akta Notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai

benar sebagai pernyataan atau keterangan Notaris dalam akta relaas dan harus

dinilai sebagai pernyataan atau keterangan para pihak dalam akta partij (pihak).

Hal apa saja yang harus ada secara materil dalam akta harus mempunyai batasan

tertentu. Menentukan batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat dan

didengar oleh notaris atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak di

hadapan notaris.

c. Faktor Peraturan Perundang-Undangan Yang Tidak Tegas dan Jelas

Faktor perundang-undangan yang tidak tegas dan jelas maksudnya adalah

undang-undang tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap Notaris, apabila

timbul tindak pidana Notaris dan akta yang dibuat oleh Notaris tersebut

mengakibatkan kerugian pada pihak lain sehingga menimbulkan sengketa, maka

sering kali Notaris dijadikan sasaran utama penyebab sengketa itu dikarenakan

akta tersebut adalah dibuat oleh Notaris.150

Untuk dapat mengatasi factor-faktor penyebab tersebut diatas, terdapat

adanya masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius bagi profesi

Notaris, yaitu :

150 Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin memungkinkan penegakannya,

sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah penegakannya.

Secara umum peraturan yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis

dan filosofis.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 115: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

104

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

1. Kualitas pengetahuan profesional hukum. Seorang profesional hukum

harus memiliki pengetahuan bidang hukum yang andal, sebagai penentu

bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional kepada masyarakat,

sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Mendikbud No. 17/Kep/O/1992 tentang

kurikulum nasional bidang hukum, program pendidikan sarjana bidang

hukum bertujuan untuk menghasilkan sarjana hukum yang :

a. Menguasai hukum Indonesia.

b. Mampu menganalisis masalah hukum dalam masyarakat.

c. Mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan

masalah konkret dengan bijaksana dan tetap berdasarkan prinsip-

prinsip hukum.

d. Menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan

hukum.

e. Mengenal dan peka akan masalah keadilan dan masalah sosial.

2. Terjadi penyalahgunaan profesional hukum.

Terjadinya penyalahgunaan profesi hukum tersebut disebabkan adanya

faktor kepentingan. Sumaryono mengatakan bahwa penyalahgunaan dapat

terjadi karena adanya persaingan individu profesional hukum atau tidak

adanya disiplin diri.

Dalam profesi hukum dilihat dua hal yang sering berkontradiksi satu sama

lain, yaitu di satu sisi, cita-cita etika yang terlalu tinggi, dan di sisi lain,

praktik pengembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut.

Selain itu, penyalahgunaan profesi hukum terjadi karena desakan pihak

klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunya ingin

menang.

3. Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis.

Kehadiran profesi hukum bertujuan untuk memberikan pelayanan atau

memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Dalam artian bahwa

yang terpenting dari itu adalah pelayanan dan pengabdian.

Namun dalam kenyataannya di Indonesia, profesi hukum dapat dibedakan

antara profesi hukum yang bergerak dibidang pelayanan bisnis dan profesi

hukum di bidang pelayanan umum.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 116: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

105

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan bisnis menjalankan

pekerjaan berdasarkan hubungan bisnis (komersil), imbalan yang diterima

sudah ditentukan menurut standar bisnis.

4. Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial.

Kesadaran dan kepedulian sosial merupakan kriteria pelayanan umum

profesional hukum. Wujudnya adalah kepentingan masyarakat lebih

diutamakan atau didahulukan dari pada kepentingan pribadi, pelayanan

lebih diutamakan dari pada pembayaran, nilai moral lebih ditonjolkan dari

pada nilai ekonomi.

Namun gejala yang dapat diamati sekarang sepertinya lain dari apa yang

seharusnya diemban oleh professional hukum. Gejala tersebut

menunjukkan mulai pudarnya keyakinan terhadap wibawa hukum.

5. Kontinuitas sistem yang sudah usang.

Profesional hukum adalah bagian dari sistem peradilan yang berperan

membantu menyebarluaskan sistem yang sudah dianggap ketinggalan

zaman karena didalamnya terdapat banyak ketentuan penegakan hukum

yang tidak sesuai lagi. Padahal professional hukum melayani kepentingan

masyarakat yang hidup dalam zaman modern. Kemajuan teknologi

sekarang kurang diimbangi oleh percepatan kemajuan hukum yang dapat

menangkal kemajuan teknologi tersebut sehingga timbul peran hukum

selalu ketinggalan zaman.

2.2.5. PERTANGGUNGJAWABAN TPN

Tanggung jawab pidana muncul bilamana Notaris telah terbukti bersalah

melakukan tindak pidana atau perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, atau

melakukan kesalahan, melakukan perbuatan melawan hukum pidana, baik karena

sengaja maupun karena kelalaian yang menimbulkan kerugian pihak lain. Notaris

tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana.

Pertanggungjawaban pidana Notaris harus melihat kepada kemampuan

bertanggungjawab Notaris, kesengajaan/kealpaan Notaris, serta alasan

penghapusan pidana Notaris.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 117: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

106

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Istilah pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi

Prancis, pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak

pidana bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat dipertanggungjwabkan

tindak pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang

dilakukanya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat di pertanggungjawabkan

karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi

juga di jatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka

tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang di jatuhkanya atas atau jenis

perbuatan sangat berbeda-beda yang di sebabkan oleh wewenang yang mutlak

dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.

Setelah revolusi prancis pertanggungjawaban pidana di dasarkan atas dasar

falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme

(mashab taqlidi), kebebasan berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini

seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang

dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.

Seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa :

I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally

and other is legally subjeced to the exaction.”151

Pertangungjawaban pidana

diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan

yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan,152

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai

“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”

pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah

seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak

terhadap tindakan yang dilakukanya itu menurutnya juga bahwa

pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah

hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun

kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.153

151

Roscoe Pound. “introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita,

Perbandingan Hukum Pidana, cet.2, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal.65 152

Ibid. 153

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 245.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 118: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

107

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa

pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada

tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat

yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena

perbuatanya.154

Menurut Roeslan Saleh, orang yang melakukan perbuatan pidana dan

memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban

pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak dipidana jika tidak ada

kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.155

Seseorang

melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan

delik, dilihat dari segi masyarakat patut dipidana.156

Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung

pada dua hal, yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum,

atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur

obejektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk

kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut

dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif.

Perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta

penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan,

yakni Pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan

yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang

melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak

normal sehingga ia berbuat jahat. 157

Pendekatan-pendekatan tersebut melihat kejahatan sebagai perwujudan

dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Kedua

pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili

pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah

kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak

154

Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ed.1, (Yogyakarta: Liberty

Yogyakarta, 1987), hal.75. 155

Ibid. 156

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia

(Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), hal. 31. 157

Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam J.E. Sahetapy (ed.)…Victimilogy

Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987) , hal.41-42

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 119: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

108

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia.

Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di

masyarakat.

Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin

orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan

bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya

kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana

haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang

yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan

ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat, yakni pertama pendekatan

yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang di

lakukan manusia lainya.158

Bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran tersebut

tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakanpertanggungjawaban,

sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP yang berbunyi

sebagai berikut :

1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di

pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya

atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum

2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan

kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal

maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila

selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.

3. Yang ditentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi

Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.159

Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara

terperinci ditegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa

pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang

mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu : (1)

158

Sutrisna dan I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana

(Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah (ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana

dan Acara Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 78. 159

R. Soesil, op.cit, hal. 60-61

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 120: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

109

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan, (2) dapat

menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan

masyarakat, (3) mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap

perbuatan tadi.160

Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu

bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan

dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya.161

Adapun menurut

Sutrisna, untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur

yaitu : (1) kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (2) kemampuan

untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya

perbuatan tadi.162

Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan

dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan antara

perbuatan yang diperbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan

kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan

menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.

Notaris adalah manusia alamiah (natuurlijk persoon) sebagai subjek

hukum pidana. Sanksi pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka

menjalankan tugas jabatan Notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur

pembuatan akta harus berdasarkan kepada aturan hukum yang mengatur hal

tersebut, dalam hal ini UUJN.

Tindak pidana yang dilakukan Notaris yang disertai dengan unsur

kesalahan tidak cukup untuk memidanakan Notaris. Unsur kemampuan

bertanggung jawab Notaris harus ada sehingga atas perbuatan dan kesalahan yang

dilakukan Notaris dapat dimintakan pertanggungjawabkan secara pidana.

Kemampuan bertanggungjawab dalam hukum pidana dilihat dari faktor

akal dan kehendak. Akal, yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang

diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kehendak, yaitu dapat

160

Sutrisna dan I GustiBagus, op.cit, hal.79 161

Ibid. 162

Sutrisna, Ibid. hlm 83.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 121: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

110

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

menyesuaikan perbuatan dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan

mana yang tidak.

Secara umum, Notaris dituntut untuk memahami konsep akuntabilitas

(accountability) atau pertanggungjawaban. Akuntabiltas mempersoalkan

keterbukaan (transparancy) menerima kritik dan pengawasan (controlled) dari

luar serta bertanggung jawab kepada pihak dari luar atas hasil pekerjaannya atau

pelaksanaan tugas-jabatannya. Konsep akuntabilitas yaitu terdiri atas:163

1. Akuntabilitas Spiritual

Hal ini berkaitan secara langsung-vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan bersifat pribadi. Akuntabilitas seperti ini dapat dilihat pada kalimat

yang tercantum dalam sumpah/janji jabatan Notaris. Bagaimana

implementasi akuntabilitas spiritual ini akan bergantung kepada diri

notaris yang bersangkutan. Akuntabilitas spiritual seharusnya mewarnai

dalam setiap tindakan/perbuatannotaris ketika menjalankan tugas

jabatannya. Artinya, apa yang diperbuat bukan hanya

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, melainkan juga kepada

TuhanYang Maha Kuasa.

2. Akuntabilitas Moral kepada Publik

Kehadiran Notaris adalah untuk melayani kepentingan masyarakat luas

yangmembutuhkan akta-akta otentik ataupun surat-surat lain yang menjadi

kewenangan Notaris. Masyarakat berhak untuk mengontrol “hasil kerja”

dari Notaris. Salah satu konkretisasi dari akuntabilitas ini, misalnya

masyarakat dapat menuntut Notaris jika ternyata hasil pekerjaannya

merugikan anggota masyarakat atau tindakan Notaris yang mencederai

masyarakat yang menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril.

3. Akuntabilitas Hukum

Notaris bukan orang atau jabatan yang “imun” (kebal) dari hukum.

Adanya perbuatan/tindakan notaris yang menurut ketentuan hukum yang

berlaku dapat dikategorikan melanggar hukum (pidana, perdata,

administrasi), maka Notaris harus bertanggung jawab.

163“Konsep Akuntabilitas” www.materihukum.com/akuntabilitas.html, diunduh 13 Maret

2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 122: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

111

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

4. Akuntabilitas Profesional

Notaris dapat dikatakan profesional jika dilengkapi dengan keilmuan

mumpuni (intellectual capital) yang dapat diterapkan dalam praktik,

dalam hal bagaimana mengolah nilai-nilai atau ketentuan-ketentuan yang

abstrak menjadi suatu bentuk yang tertulis (akta) sesuai yang dikehendaki

oleh para pihak. Para Notaris dituntut meningkatkan kualitas dan kuantitas

keilmuan agar senantiasa profesional.

5. Akuntabilitas Administratif

Notaris sebelum menjalankan jabatan/tugasnya, tentu sudah mempunyai

surat pengangkatan sebagai Notaris, sehingga legalitasnya tidak perlu

dipertanyakanlagi. Perihal administrasi Notaris dalam hal pengangkatan

dan penggajian karyawan masih menjadi pertanyaan bagi Notaris sampai

saat ini. Banyak Notaris yang mengangkat karyawan karena pertemanan

ataupun persaudaraan, pada dasarnya apapun latar belakangnya tetap harus

ada pembenahan secara administratif. Perihal pengarsipan akta-akta

terkadang hanya ditata secara asal-asalan, padahal akta tersebut adalah

arsip negara yang harus diadministrasikan secara seksama. Sangat

beralasan jika Notaris harus belajar manajemen kantor Notaris yang bahan

dasarnya dari pengalaman-pengalaman Notaris senior yang sudah

dibukukan.

6. Akuntabilitas Keuangan

Bentuk akuntabilitas dalam bidang keuangan ini, yaitu melaksanakan

kewajiban pembayaran pajak ataupun membayar kewajiban lain pada

organisasi, seperti iuran bulanan. Pembayaran gaji para karyawan tidak

senantiasa mengacu (atau lebih dari) Upah Minimum Regional (UMR).

Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana terhadap tindak pidana Notaris

dijelaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

3429/86tertanggal 12 April 1986 dikeluarkan sebelum diberlakukannya UUJN

untuk mengantisipasi ketentuan Pasal 17 dan Pasal 40 PJN. Surat Edaran tersebut

dikeluarkan untuk melindungi dan menjaga kerahasiaan akta yang merupakan

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 123: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

112

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

arsip negara apabila minuta akta diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan

dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.164

Surat Edaran tersebut mengatur perihal izin penyitaan minuta akta yang

disimpan oleh Notaris/Panitera yang didalamnya menyangkut tata cara

pemanggilan, pemeriksaan Notaris dan penyitaan akta-akta Notaris.

Sejak diundangkannya UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004, pengaturan

mengenai pengambilan minuta akta dan pemanggilan diatur dalam Pasal 66

UUJN. Bab sebelumnya telah menjelaskan perihal Pasal 66 UUJN mutlak

kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW maupun MPP. Substansi Pasal

66 bersifat imperatif dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim,dengan

batasan sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan notaris dan sesuai dengan

kewenangan Notaris sebagaimana tersebut dalam pasal 15 UUJN.

MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau meminta

keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan, penyidik,

penuntut umum, atau hakim. Artinya MPD harus menempatkan akta Notaris

sebagai objek pemeriksaan yang berisi keterangan para pihak, bukan

menempatkan subjek Notaris sebagai objek pemeriksaan, sehingga tata cara atau

prosedur pembuatan akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut.

Tanpa izin dari MPD penyidik, penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil

atau meminta Notaris dalam suatu perkara pidana.165

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya mempunyai wewenang,

kewajiban dan larangan yang apabila kewajiban dilanggar dan larangan tersebut

dilakukan, maka Notaris bisa dikenakan sanksi. Ketentuan mengenai sanksi diatur

dalam pasal 84 yaitu mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan

hukum pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau denda penggantian biaya,

ganti rugi dan bunga dan pasal 85 menetapkan sanksi bagi Notaris.

MPD melakukan pemeriksaan yang menempatkan Notaris sebagai objek,

maka MPD akan memeriksa tindakan Notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya, yang pada akhirnya akan menggiring Notaris pada kualifikasi turut

serta atau membantu terjadinya suatu tindak pidana. Tindakan tersebut tidak

164

Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 53-54.

165Habib Adjie,op.cit., hal 7.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 124: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

113

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

dibenarkan, karena tidak ada aturan hukum yang membenarkan MPD mengambil

tindakan dan kesimpulan yang dapat mengkualifikasikan Notaris turut serta atau

membantu melakukan suatu tindak pidana bersama-sama para pihak/penghadap.

MPD bukan instansi pemutus untuk menentukan Notaris dalam kualifikasi seperti

itu.166

MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek karena berkaitan

dengan pembuatan akta, sehingga jika terbukti ada pelanggaran maka akan

dikenai sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 dan 85 UUJN.

Wewenang MPD bukanlah mencari unsur-unsur (pidana) untuk menggiring

Notaris dengan kualifikasi turut serta atau membantu melakukan suatu tindakan

atau perbuatan pidana dalam menjalankan tugas jabatannya.

MPD dalam menjalankan tugasnya mengawasi dan memeriksa adanya

dugaan pelanggaran kode etik atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris,

menemukan adanya pelanggaran atas laporan dari masyarakat, maka MPD

berwenang untuk memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan

menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada MPW dalam waktu 30 hari.

MPW menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas

laporan masyarakat serta memanggil Notaris yang bersangkutan untuk dilakukan

pemeriksaan. Keputusan yang dikeluarkan oleh MPW bersifat final. Notaris

berhak mengajukan banding ke MPP atas penolakan terhadap sanksi yang

dijatuhkan MPW dan MPP berhak menjatuhkan sanksi yaitu pemberhentian/

sementara. Sidang MPP bersifat terbuka untuk umum.

MPD berwenang untuk menyelenggarakan sidang untuk memeriksa

adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris atau pelaksanaan jabatan Notaris

dalam perkara pidana atas permintaan penyidik. Apabila ternyata MPD

memutuskan (berdasarkan surat keputusan yang dibuat oleh MPD) untuk

meloloskan Notaris untuk diperiksa oleh pihak penyidik, penuntut umum atau

pengadilan, sebagai implementasi Pasal 66 UUJN, tidak ada kemungkinan untuk

mengajukan keberatan untuk dilakukan pemeriksaan ke instansi majelis yang

lebih tinggi. Mekanisme seperti itu khusus untuk pelaksanaan Pasal 66 UUJN

tidak ditentukan atau tidak ada upaya hukum keberatan atau banding. Notaris

166

Ibid., hal 55-56

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 125: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

114

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

yang diloloskan oleh MPD untuk diperiksa oleh penyidik dapat mengajukan

upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan objek gugatan surat MPD

yang meloloskan Notaris tersebut.167

Hasil akhir dari pemeriksaan yang dilakukan oleh MPD berupa Surat

Keputusan. Surat Keputusan tersebut apabila dikaji bersifat konkret, individual,

final dan menimbulkan akibat hukum. Konkret artinya objek yang diputuskan

bukan suatu hal yang abstrak, dalam hal ini objeknya yaitu akta yang

diperiksaoleh MPD yang dibuat oleh Notaris. Individual artinya keputusan

ditujukan kepada Notaris yang bersangkutan. Final artinya sudah definitif, tidak

memerlukan persetujuan dari pihak lain, dapat menimbulkan akibat hukum

tertentu bagi Notaris yang bersangkutan. Ketentuan semacam ini hanya berlaku

untuk Surat Keputusan MPD sebagai penerapan dari pasal 66 UUJN.168

167

Ibid., hal. 55-56. 168

Ibid.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 126: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

115

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

2.3. ANALISIS URGENSI PENERAPAN TINDAK PIDANA NOTARIS

(TPN) BERKAITAN DENGAN KETIADAAN SANKSI PIDANA

DALAM UNDANG – UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG

JABATAN NOTARIS

Notaris adalah pejabat umum terpercaya yang berwenang untuk membuat

akta-akta yang dapat menjadi alat bukti yang kuat apabila terjadi sengketa hukum

di pengadilan. Seorang Notaris harus menjunjung tinggi harkat dan martabat

profesinya sebagai jabatan kepercayaan serta melaksanakan tugasnya dengan tepat

dan jujur, yang berarti bertindak menurut kebenaran sesuai dengan sumpah

jabatan Notaris.

Notaris sebagai pejabat umum harus dapat mengikuti perkembangan

hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat Notaris dapat

membantu mengatasi dan memenuhi kebutuhan hukum yang terus berkembang

dan dapat memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum. Peka, tanggap,

mempunyai ketajaman berfikir dan mampu memberikan analisis yang tepat

terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang muncul merupakan

sikap yang harus dimiliki Notaris sehingga akan menumbuhkan keberanian dalam

mengambil sikap yang tepat. Keberanian yang dimaksud adalah untuk menolak

membuat akta apabila bertentangan dengan hukum, moral dan etika.

Kepercayaan masyarakat terhadap Notaris adalah salah satu bentuk wujud

nyata kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh sebab itu Notaris dalam

melaksanakan tugasnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang

ada.

Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan

agar tercapai sifat otentik dari akta tersebut, misalnya mencantumkan identitas

para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani

akta, dan sebagainya. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka akta

tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Rancangan akta yang sudah dibuat berupa konsep minuta akta sebelum

penandatanganan dilakukan, terlebih dahulu dibacakan dihadapan para penghadap

dan saksi-saksi yang dilakukan oleh Notaris yang membuat akta tersebut.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 127: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

116

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf I UUJN, Notaris wajib membacakan akta

dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan

ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris. Tujuan

pembacaan ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut

sebab isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak.

Apabila akta yang dibuat/diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum

karena kesalahan Notaris baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan

Notaris itu sendiri, maka Notaris itu harus memberikan pertanggungjawaban

secara moral dan secara hukum, hal ini dimaksudkan agar Notaris dapat bersikap

profesional dalam melakukan kewenangannya.

Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional

dengan dilandasai kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan

undang-undang sekaligus menjunjung tinggi peraturan yang diatur di dalam

UUJN. Berdasarkan Pasal 16 huruf a UUJN, seorang Notaris diharapkan dapat

bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak

yang terkait dalam perbuatan hukum.

Pada saat sekarang ini urgensi penerapan Tindak Pidana Notaris menjadi

bahan perbicangan masyarakat karena banyaknya Notaris yang terlibat dalam

tindak pidana. Dari catatan hasil wawancara dengan petugas penyidik kepolisian

disebutkan bahwa terdapat banyak Notaris terindikasi terlibat tindak pidana.

Senada dengan pernyataan penyidik kepolisian tersebut, diketahui pula bahwa di

MPD terdapat banyak nya permintaan izin dari penyidik kepolisian untuk

menyelidiki Notaris yang dilaporkan oleh masyarakat pengguna jasa Notaris.

2.3.1. KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UUJN

Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) telah diundangkan dan

diberlakukan pada tanggal 6 Oktober 2004. Undang-undang ini menggantikan

Peraturan Jabatan Notaris yang lama yang diatur dalam Staatsblaad 1860 Nomor

3 yang merupakan Undang-Undang Jabatan Notaris produk Kolonial Hindia

Belanda. Lahirnya UUJN sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-

Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 128: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

117

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

(Propenas) tahun 2000-2004 yang menekankan perlunya dilakukan

penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan

hukum nasional yang sudah tidak sesuai lagi. Adapun berbagai ketentuan dalam

peraturan perundang-undangan sebelum adanya UUJN tersebut sudah tidak sesuai

lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh

karena itu, perlu diadakan pembaruan dan pengaturan kembali secara menyeluruh

dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat

tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh

wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum

di bidang kenotariatan tersebut, dibentuk Undang-Undang tentang Jabatan Notaris

(UUJN).

Namun UUJN yang telah disahkan tersebut ternyata tidak terdapat sanksi

pidana bagi Notaris yang melakukan tindak pidana, padahal jika kita perhatikan

kembali PJN, suatu peraturan yang menjadi cikal bakal UUJN, di dalamnya

terdapat sanksi pidana bagi Notaris yang melanggar ketentuan, walaupun hanya

mencantumkan sanksi pidana denda, dan bukan sanksi pidana kurungan penjara.

Dengan berbagai faktor penyebab yang sudah dibahas di sub-bab di atas, adalah

suatu hal yang mungkin bahwa seorang Notaris dapat melakukan tindak pidana

yang akan merugikan masyarakat pengguna jasa Notaris.

Menurut anggota Majelis Pengawas Pusat Winanto Wiryomartani, SH,

M.Hum menyebutkan “Ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN dikarenakan

pekerjaan Notaris bersifat administratif, bisa dilihat dari sejarah adanya Notaris

itu sendiri, pada saat raja mengucapkan sesuatu, apa yang diucapkan tersebut

menjadi suatu Undang-Undang, namun masyarakat dapat lupa akan ucapan raja

tersebut kemudian dituangkanlah dalam bentuk kertas dan diberikan tanda

menyerupai stempel/cap pada saat ini. Pada saat itu Notaris lah yang ditunjuk

untuk menulis setiap ucapan raja yang akan menjadi Undang-Undang yang

berlaku kepada masyarakat banyak. Dalam UUJN sebenarnya terdapat unsur

pidana yaitu pasal 13 UUJN”. 169

Melihat pernyataan diatas, penulis berpendapat bahwa pernyataan tersebut

sudah tidak relevan lagi pada saat sekarang ini karena setiap pekerjaan apapun

169Wawancara tertulis dengan Winanto Wiryomartani, SH, M.Hum, Anggota MPP,

Depok, 05 Desember 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 129: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

118

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

jenis pekerjaannya baik bersifat administratif ataupun lainnya pasti bisa saja

melakukan perbuatan tindak pidana. Pakar Hukum Pidana dan Dosen Hukum

Pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana menyebutkan “ Setiap pekerja

adalah merupakan subjek hukum, subjek hukum merupakan pengemban hak dan

kewajiban. UUJN menjadikan Notaris sebagai subjek hukum tersendiri, dengan

hak dan kewajiban tersendiri pula. Hak dan kewajiban Notaris tersebut pasti

berkonsekuensi dengan pidana”.170

Sanksi pidana tidak diatur dalam UUJN, sehingga terbuka untuk penerapan

unsur pidana. Hal ini bukan berarti bahwa Notaris dalam menjalankan jabatannya

tidak bersinggungan dengan hukum pidana. Sebagaimana telah diuraikan pada sub

bab sebelumnya bahwa tindak pidana yang berhubungan dengan jabatan Notaris

adalah tindak pidana yang diatur dalam pasal 263, pasal 264, pasal 266, dan/atau

pasal 55 KUHP. Dalam hal ini, Notaris juga dapat dipidana berdasarkan tindak

pidana yang dilakukan dengan pemberatan berdasarkan pasal 52 KUHP,

pemberatan tersebut diberikan karena tindak pidana tersebut dilakukan dalam

kedudukannya sebagai pejabat umum (ambtenar).

Ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN bisa menjadi bumerang kepada

banyak Notaris karena dengan ketiadaan sanksi pidana tersebut banyak

masyarakat yang menganggap bahwa Notaris tidak dapat bersikap profesional

dalam melakukan kewenangannya dan hal ini dapat menurunkan kepercayaan

masyarakat kepada Notaris. Sanksi pidana menjadi penting dimasukan dalam

UUJN selain menjadikannya sebagai koridor dalam melaksanakan

kewenangannya, sanksi pidana ini juga dapat bersifat preventif yaitu pencegahan

sebelum kejahatan itu terjadi.

Sanksi pidana dalam UUJN juga sangat penting agar Undang-Undang

tersebut berlaku efektif dan dapat menegakkan keadilan bagi masyarakat yang

dirugikan akibat dari akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Seperti pendapat

Kepala Bidang Hukum Polda Metro Jaya Kombespol Aminullah, SH bahwa

Undang-Undang akan menjadi efektif apabila Undang-Undang tersebut terdapat

sanksi pidana bagi pelanggar yang melakukan tindak pidana. Agar UUJN bisa

berlaku efektif sehingga perlu diatur mengenai sanksi pidana khusus Notaris.

170Wawancara tertulis dengan Gandjar Laksmana, SH.,MH, Dosen Hukum Pidana

Universitas Indonesia, Depok, 01 Desember 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 130: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

119

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Mengenai pasal 66 UUJN dalam praktiknya ternyata terdapat banyak kendala

yaitu menjadi penghambat penyidikan yang dilakukan oleh penegak hukum dan

Notaris berlindung pada pasal ini artinya pada MPD. Menurut beliau Notaris

merupakan pekerjaan yang mulia karena Notaris membantu orang-orang yang

tidak mengerti hukum dalam pembuatan akta otentik, pekerjaan Notaris menjadi

tidak mulia apabila berpihak kepada salah satu pihak yang hanya mencari

keuntungan semata bahkan beliau mengatakan lebih lanjut bahwa terdapat 1 dari

10 Notaris yang terindikasi melakukan tindak pidana.171

Senada dengan pernyataan diatas, ketika penulis mendatangi MPD

ditemukan data bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2012 ini bahwa

banyak sekali Notaris yang dipanggil oleh kepolisian karena akta nya terindikasi

mengandung unsur tindak pidana. Penulis mencatat dari 30 surat panggilan

penyidik untuk Notaris melalui MPD hanya 10 Notaris yang diizinkan untuk

dilakukan penyidikan oleh penegak hukum. Hal ini akan menjadikan preseden

buruk penegakan keadilan bagi masyarakat yang dirugikan karena sikap Notaris

yang “nakal”.

Dari beberapa data yang didapatkan oleh penulis, dugaan pidana yang

dilakukan Notaris terhadap akta yang dibuatnya, maupun terhadap tindakan

notaris dalam melaksanakan jabatannya, tertuang jelas dalam surat panggilan

penyidik yang dilayangkan kepada MPD. Seperti halnya dalam surat Panggilan

Penyidik Nomor B/1920/VII/2012/Ditreskrimum, Direktorat Reserse Kriminal

Umum Polda Metro Jaya, dengan penyidik Ajun Kombespol Helmy Santika, SH,

Sik, M.Si, menyebutkan bahwa adanya laporan korban ke kepolisian Nomor

LP/1984/K/VI/ 2012/ PMJ/Ditreskrimum tertanggal 11 Juni 2012 perihal perkara

pidana penggelapan, dan atau pemalsuan, dan atau memberikan keterangan palsu

pada akta otentik, sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP dan atau pasal

263 KUHP dan atau pasal 266 KUHP. Dalam kasus tersebut, turut menyeret

seorang Notaris bernama Srie Mukyatie Oesaid, SH, Notaris di Jakarta Selatan,

dimana ada dugaan bahwa Notaris tersebut membuat akta dengan data dan

penghadap yang direkayasa. Menurut data dari MPD Jakarta Selatan tersebut,

pihaknya memberikan jawaban atas surat panggilan tersebut dengan tidak

171 Wawancara tertulis dengan Kombespol Aminullah, SH, Kepala Bidang Hukum Polda

Metro Jaya, Jakarta, 05 Desember 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 131: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

120

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

mengijinkan pihak penyidik untuk menghadirkan Notaris yang bersangkutan.

(data terlampir).

Kemudian penulis melihat terdapat surat panggilan penyidik Nomor

B/3498/XI/2012/Restro Jaksel Direktorat Reserse Kriminal Umum Polres Jakarta

Selatan tanggal 7 November 2012, dengan penyidik Ajun Kombespol Hermawan,

Sik, MM menyebutkan bahwa adanya laporan korban ke kepolisian Nomor

LP/292/K/II/2012/PMJ/Res JakSel tertanggal 22 Februari 2012 perihal perkara

pidana penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP dan atau

pasal 374 KUHP. Dalam kasus tersebut, turut menyeret seorang Notaris bernama

Agung Setiawan Baharudin, SH, Notaris di Jakarta Selatan, dimana ada dugaan

bahwa Notaris tersebut menggelapkan Pajak Pembeli (BPHTB) sebesar Rp.

69.687.000,-. Dalam hal ini penulis agak menyayangkan keterlambatan tanggapan

MPD dalam memberikan respon untuk pemanggilan Notaris tersebut dan balasan

jawaban mengijinkan atau tidak mengijinkan ke pihak penyidik kepolisian, yang

seharusnya dijawab paling lambat 14 hari sesuai dengan ketentuan pasal 6

Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No: M.03.HT.10/2007, namun pada

kenyataannya lebih dari 2 bulan tidak mendapatkan balasan dari MPD terlihat dari

Surat Pemanggilan Notaris Nomor : 8/MPDN.JAKSEL/P.NOT/I/2013 tertanggal

3 Januari 2013. (data terlampir)

Berikut merupakan tabel data pemanggilan Notaris tahun 2012 yang

didapatkan dari MPD Jakarta Selatan:

No Bulan Pemanggilan

Notaris

Dijinkan Tidak

Diijinkan

Lain-lain

1 Januari 2 1 0 1

2 Februari 19 7 10 2

3 Maret 8 2 5 1

4 April 12 8 3 1

5 Mei 10 6 2 2

6 Juni 3 0 3 0

7 Juli 13 8 5 0

8 Agustus 2 1 1 0

9 September 1 0 1 0

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 132: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

121

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

10 Oktober 10 2 5 3

11 November 15 3 8 4

12 Desember 14 1 6 7

Penulis mengolah data tersebut dan didapatkan bahwa rata-rata dalam

sebulan terdapat 9 surat permintaan izin pemanggilan dari Penyidik Kepolisian

kepada MPD Jakarta Selatan, kemudian penulis memprosentasekan dengan

diagram agar terlihat jelas perbandingan antara diijinkan dan tidak diijinkan,

sebagaimana terlihat dibawah ini :

Terlihat dari prosentase diagram diatas bahwa terdapat 45,0% tidak

diijinkan, 35,8% diijinkan dan 19,3% lain-lain. Hal ini menggambarkan bahwa

ternyata cukup banyak MPD tidak mengijinkan penyidik kepolisian memanggil

Notaris. Oleh karena itu penulis menanyakan kepada MPD mengenai penyebab

banyaknya MPD mengeluarkan keputusan untuk “tidak mengijinkan”, yaitu

sebagian besar alasannya karena berdasarkan hasil rapat MPD yang memutuskan

bahwa Notaris tersebut sudah melakukan sesuai prosedur dalam UUJN dan juga

karena apa yang tercantum dalam surat pemanggilan tersebut tidak memenuhi

pasal 15 ayat 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No: M.03.HT.10/2007

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 133: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

122

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

tentang Pengambilan Minuta dan Pemanggilan Notaris. Kemudian terhadap “lain-

lain” karena alasan Notaris tersebut sudah pensiun, Notaris tersebut tidak ada

dalam data base MPD ataupun bukan kewenangan MPD untuk mengijinkan

karena yang bersangkutan menjalankan jabatannya sebagai PPAT bukan sebagai

Notaris.

Hal diatas seakan merupakan pembenaran dari salah satu pembahasan

dalam Kongres XX INI di Surabaya akhir Januari 2009 lalu, yang

mengungkapkan bahwa masih banyak Notaris yang melanggar UUJN dalam

membuat akta, misalnya pembuatan perjanjian kredit antar bank dan nasabah. Ada

Notaris nakal yang tetap menelurkan akta meskipun tidak memenuhi syarat

lantaran jaminannya bermasalah. Adapula Notaris yang tidak mengetahui pihak

pihak yang tertuang dalam akta dikarenakan kliennya merupakan limpahan dari

Notaris dari daerah lain.

Menurut Soegeng Santosa, disela-sela Kongres XX INI tersebut, bahwa

sudah bukan rahasia umum apabila seseorang takut dipanggil polisi padahal

belum tentu juga seorang itu bersalah, ketakutan ini juga dialami oleh Notaris,

akibatnya pemanggilan Notaris ke kepolisian menjadi momok yang menakutkan

bagi para pembuat akta. Saat menerima surat panggilan dari polisi, Notaris

langsung gemetar. Selanjutnya mantan anggota MPP tersebut mensinyalir bahwa

pemanggilan oleh polisi justru disebabkan oleh kecerobohan Notaris itu sendiri

dalam membuat akta.172

Apabila seorang Notaris sudah sesuai dengan prosedur dalam melakukan

kewenangannya kenapa harus takut apabila dipanggil penyidik dan berlindung

kepada pasal 66 UUJN tersebut. Notaris yang mengerti dengan hukum seharusnya

tidak menjadi penghambat penegak hukum dalam melaksanakan penyidikan,

justru seharusnya menjadi pendukung penegak hukum agar bisa dibuktikan

melalui putusan pengadilan baik itu perdata maupun pidana.

Putusan perkara perdata dan pidana sudah tentu menimbulkan efek yang

berbeda untuk setiap orang yang melakukan kesalahan baik disengaja ataupun

tidak disengaja. “Putusan perkara pidana mencerminkan kebenaran materiil atau

172

Pernyataan Soegeng Santoso mantan Anggota MPP dalam Artikel “Ketika Notaris

Dipanggil Polisi” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21201/ketika-notaris-dipanggil-

polisi , diunduh 06 Desember 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 134: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

123

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

kebenaran yang sesungguhnya/sejati, karena yang dicari dari proses pemeriksaan

dan persidangan perkara pidana adalah suatu kebenaran sejati, sedangkan

kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan perkara perdata cukup pada kebenaran

formil semata”.173

Dari pernyataan tersebut Sanksi pidana dalam UUJN bisa

menjadi pidana baru karena yang dikenakan sanksi pidana hanyalah seorang

Notaris bukan masyarakat biasa yang tidak dapat mengeluarkan akta otentik.

Pakar Hukum Pidana dan Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Gandjar

Laksmana, SH.MH menyebutkan bahwa Sanksi pidana dalam UUJN bisa

merupakan perbuatan pidana baru, yaitu perbuatan pidana yang hanya bisa

dilakukan oleh Notaris, bisa juga perbuatan yang sama dengan ketentuan KUHP

sehingga penerapannya memerlukan ajaran Lex Spesialis dengan dasar hukum

pasal 103 dan pasal 63 ayat 2 KUHP.174

Notaris sudah mempunyai standar prosedur dalam melaksanakan tugasnya,

apabila Notaris tersebut sudah menjalankan tugasnya seusai dengan prosedur yang

telah ditetapkan bisa dipastikan Notaris tersebut tidak akan bersentuhan dengan

sanksi perdata maupun sanksi pidana. Standar prosedur, kewenangan, kewajiban

dan larangan Notaris sudah diatur dalam UUJN.

Dalam pasal 84 UUJN disebutkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh

Notaris mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat

menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian

biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris. Kemudian dalam pasal 85 UUJN,

disebutkan bahwa apabila seorang Notaris melakukan pelanggaran dapat

dikenakan sanksi berupa :

a. Teguran lisan

b. Teguran tertulis

c. Pemberhentian sementara

d. Pemberhentian dengan hormat

e. Pemberhentian dengan tidak hormat

173

Briely Napitupulu “Kasus Dugaan Notaris”, www.magister-

kenotariatan.blogspot.com/2012/11/legal-opini-kasus-dugaan-notaris.html , diunduh 10 Desember

2012. 174Wawancara tertulis dengan Gandjar Laksmana, SH.,MH, Dosen Hukum Pidana

Universitas Indonesia, Depok, 01 Desember 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 135: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

124

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Sanksi-sanksi yang terdapat dalam UUJN hanyalah sanksi Administratif

dan sanksi perdata yang menurut pandangan masyarakat tidak dapat menimbulkan

efek jera bagi Notaris yang melakukan kesalahan baik sengaja maupun lalai.

“Barangsiapa” bahwa setiap orang apapun jabatan dan profesinya yang melakukan

tindak pidana dan terbukti secara sah dan menyakinkan bahwa telah terjadi

perbuatan pidana maka orang tersebut dapat dikenakan sanksi pidana, sama

halnya dengan seorang yang menjabat sebagai Notaris, apabila Notaris yang

membuat akta otentik terbukti secara sah melanggar perundang-undangan baik

secara sengaja ataupun tidak sengaja melakukan perbuatan tindak pidana maka

yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dapat

dikenakan sanksi pidana.

Setiap perbuatan melanggar hukum harus diproses untuk mendapatkan

kebenaran dan keadilan baik terhadap korban, pihak lain, maupun orang yang

melakukan tindak pidana, yang bersalah harus mendapat hukuman. Pihak-pihak

yang merasa dirugikan oleh Notaris dapat membuat pengaduan ke MPD, pihak

kepolisian, kejaksaan, sampai ke pengadilan. Notaris yang terlibat dalam kasus-

kasus pidana bisa saja menjadi saksi, tersangka, terdakwa, bahkan bisa menjadi

terpidana. Sehingga seharusnya terdapat tindak pidana kekhususan bagi Notaris,

dimana perbuatan tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang Notaris pada saat

menjalankan jabatannya. Hal-hal yang khas dalam profesi Notaris :175

a. Jenis tindak pidana yang bisa dilakukan dalam profesi Notaris dapat

merupakan tindak pidana formil dimana akibat bukan merupakan unsur

delik (misalnya turut serta atau membantu tindak pidana penipuan,

penggelapan, pemalsuan), bisa juga dalam bentuk tindak pidana materiil

(misalnya turut serta atau membantu tindak pidana korupsi yang

merugikan keuangan Negara) dimana akibat merupakan unsur tindak

pidana yang harus dibuktikan.

b. Berbagai tindak pidana dalam profesi Notaris akan berkaitan erat dengan

wewenang utama Notaris, yaitu pembuatan akta otentik, pengesahan tanda

tangan, membukukan dan membuat kopi surat-surat dibawah tangan,

175Muladi, op.cit. hal. 9.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 136: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

125

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

pengesahan kopi sesuai dengan aslinya, membuat akta pertanahan dan

risalah lelang dan kewenangan lain yang diatur dalam UUJN.

Oleh sebab itu maka kemungkinan keterlibatan seorang Notaris dalam

tindak pidana yaitu sama dengan setiap orang lain yang melakukan tindak pidana.

Sehingga Notaris yang telah dijatuhi sanksi pidana tidak berhak untuk membuat

suatu akta ataupun menjalankan kewenangannya sebagai Notaris. Dengan

demikian ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN tidak berarti bahwa Notaris tidak

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

UUJN hanya mengatur mengenai pelanggaran administrsi dan pelanggaran

etika profesi, sehingga apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris

maka penegak hukum selalu merujuk pada KUHP dan harus melewati proses

yang telah diatur oleh pasal 66 UUJN, seperti penyidikan yang dilakukan oleh

kepolisian haruslah terlebih dahulu meminta izin MPD. Berbeda halnya dengan

pendapat dari Gandjar Laksmana, S.H., M.H, seorang ahli hukum pidana UI, yang

menegaskan bahwa :176

“Boleh saja penyidik langsung memanggil jika pelanggaran yang dilakukan

Notaris itu berkaitan dengan tugas dan jabatannya. Kalau sedikit-sedikit penyidik

harus meminta izin MPD, maka nantinya proses pelaksanaan penegakan hukum

akan terhambat oleh birokrasi. Ini tidak benar. Harusnya izin-izin seperti ini tidak

ada. Biarkan saja penyidik langsung memanggil oknum Notaris yang melakukan

pelanggaran hukum tersebut. Apabila terdapat kesulitan mengenai kasusnya maka

dapat menghadirkan ahli. Dengan cara begini akan menjamin kepastian proses

hukum. Sebaliknya, jika tidak maka proses hukum tidak akan berjalan karena

terhambat izin dan kasusnya terutang terus. Pada prinsipnya, orang dapat

dikenakan pidana atas perbuatannya, bukan karena statusnya sebagai Notaris atau

bukan. Misalnya oknum Notaris memalsukan akta. Di sini, "pemalsuan" tidak

diatur di dalam UUJN, tapi di KUHP ada. Kalau melihat UUJN, UUJN tidak

memberikan sanksi pidana, sehingga kalau ada pelanggaran maka pelakunya tidak

bisa dikenakan sanksi pidana. Di UUJN, pelanggaran jabatannya ada, tapi tidak

bisa dipidana. Karena kejahatan jabatannya ada maka mau tidak mau kita

mengacu kepada kejahatan jabatan yang ada di KUHP. Kalau mau

mengesampingkan ketentuan KUHP maka harus dibuat aturan yang sama dengan

prinsip yang berbeda.”

Kewenangan yang diberikan UUJN kepada MPD yakni memberikan

persetujuan atau tidak memberikan persetujuan kepada penyidik, penuntut umum,

176Gandjar Laksmana, “Notaris diperiksa polisi, lewat MPD

dulu?”,http://medianotaris.com/notaris_diperiksa_polisi_lewat_mpd_dulu_berita107.html,

diunduh 31 Oktober 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 137: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

126

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

atau hakim dalam pelaksanaan ketentuan pasal 66 UUJN, tidak ada kriteria

pengaturannya secara normatif, namun diatur dalam Peraturan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Pemenkumham) Nomor M.03.HT.10

tahun 2007 tentang pengambilan minuta dan pemanggilan Notaris, dimana diatur

kriteria umum, yaitu :177

1. Syarat pemanggilan Notaris guna pemeriksaan sabagai saksi atau tersangka:

a. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau

surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris

dalam penyimpanan Notaris atau;

b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluarsa

dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

2. Syarat pengambilan copy minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan

pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, yaitu:

a. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau

surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris

dalam penyimpanan Notaris atau;

b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa

dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

3. Syarat pengambilan minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada

minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, yaitu:

a. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau

surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris

dalam penyimpanan Notaris atau;

b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa

dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana;

c. Ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;

d. Adanya pengurangan atau penambahan dari minuta akta;

e. Adanya dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta

(antidatum).

177Pieter Latumeten, “Perlindungan Jaminan Hukum Bagi Profesi Notaris”,

http://www.firstadvice-online.com/main.php?page=kategoridet&id=61, diunduh 22 November

2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 138: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

127

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Penjatuhan hukuman pemberhentian secara tidak hormat pun baru

diterapkan oleh MPP pada tahun 2009, setelah berlakunya UUJN selama 3 tahun

lamanya, dan vonis itu dijatuhkan kepada Notaris asal Klaten, Lani Sofyan pada

Oktober 2009 lalu. MPP sendiri masih mempunyai banyak tunggakan penanganan

perkara dikarenakan tidak adanya anggaran. Pos anggaran MPP masuk pada

anggaran Sekertariat Jenderal Departemen Hukum dan Ham, sehingga perkara

yang telah ada harus ditangguhkan untuk menunggu anggaran tahun berikutnya.

Melihat dari kondisi tersebut bahwa dalam menjalankan proses MPP pun terdapat

kendala dalam ketersediaan anggaran.178

Hukuman Lani Sofyan tersebut merupakan rekomendasi dari MPW Jawa

Tengah. Lani dihukum lantaran tidak membayar uang titipan pajak penghasilan

(PPh) dan bea perolehan hak tanah dan bangunan (BPHTB) milik kliennya,

padahal MPP telah memberikan waktu agar Lani mengembalikan uang itu. Lani

dikenakan pasal berlapis oleh MPW Jawa Tengah yaitu pasal 16 ayat (1) hurf a

dan d, pasal 17 huruf b dan pasal 48 ayat (1) UUJN. MPW Jawa Tengah pada

dasarnya mengakui perbuatan Lani Sofyan bisa dikategorikan sebagai tindak

pidana, namun tidak melaporkan hal itu pada kepolisian.

Dalam praktek transaksi jual beli tanah dan bangunan, pada umumnya

pembeli tidak mau repot dalam pembayaran pajak, sehingga menitipkan uang

pembayaran pajak tersebut kepada Notaris atau pegawainya, disinilah peluang

untuk melakukan penggelapan dan/atau pemalsuan terjadi. Dari hasil penelitian

dan penyidikan yang dilakukan Dirjen Pajak, diduga puluhan Notaris/PPAT yang

terlibat melakukan pemalsuan BPHTB dan SSP, sebagian besar kasus pemalsuan

BPHTB dan SSP memang ditemukan di Jakarta, tetapi tidak tertutup

kemungkinan kejahatan tersebut ada di wilayah lain. Terhadap para pemalsu

tersebut, sebenarnya dapat diancam dengan tindak pidana pemalsuan, namun

langkah tersebut belum diambil oleh Ditjen Pajak karena masih dalam tahap

penelitian.179

178Pernyataan Djoko Santoso Sekertaris MPN Pusat dalam artikel “ Terobosan Baru Sang

Pengawal Notaris “ http://www.hukumonline.com/berita/baca/Jt4b3c08dadea4a/terobosan-baru-

sang-pengawal-notaris- , diunduh 21 Desember 2012. 179 Pernyataan Hadi Poernomo mantan Dirjen Pajak dalam artikel “Dirjen Pajak Lakukan

Pembersihan terhadap Notaris Nakal” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21201/ketika-

notaris-dipanggil-polisi , diunduh 21 Desember 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 139: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

128

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Menurut Widyatmoko untuk menindak Notaris nakal seharusnya UUJN

memuat ketentuan pidana khusus buat Notaris, baik itu pidana berupa denda,

kurungan atau penjara, sebab Notaris bertugas membuat akta. Dengan akta itu,

Notaris bisa menyebabkan seseorang hilang hak. Kalau hak orang hilang, otomatis

masyarakat akan dirugikan. Untuk pembinaan seharusnya dilakukan oleh

Mahkamah Agung, sebab produk Notaris adalah akta otentik yang bisa menjadi

bukti yang sempurna di Pengadilan, nantinya pembinaan itu dilakukan dengan

memeriksa pembukuan dan protokol Notaris.180

Berbagai tanggapan masyarakat yang berkaitan dengan tindak pidana yang

dilakukan oleh Notaris :181

1. Terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang Notaris,

Majelis Pengawas sangat terkesan over protektif bahkan menutupi

Notaris yang bersangkutan. Sisi positifnya mungkin terbukti persatuan

Notaris cukup solid, namun disini saya khawatir bahwa tindakan

Majelis Pengawas tersebut pada akhirnya akan menjatuhkan wibawa

seluruh Notaris di Indonesia secara umum. (Franz Abraham)

2. Ada beberapa bukti karyawan Notaris bekerjasama dengan Notaris

melakukan pemalsuan SSB atau SSP. Di daerah Tangerang bahkan ada

Notaris yang tidak malu-malu bermain SSB dan SSP palsu, meskipun

sudah banyak Notaris yang tahu, namun tidak ada tindakan dari

Majelis Pengawas terhadap si pelaku. (Albert Aruan, SH, LL.M)

3. Masyarakat sudah saatnya sadar, jika dirugikan oleh Notaris laporkan,

kalau perlu lapor ke pihak kepolisian jika terindikasi ada tindak pidana

yang dilakukan Notaris. (Rusmin Subagus)

4. Notaris yang banyak terlibat dalam kasus hukum menunjukan bahwa

jumlah Notaris di Indonesia sudah overload. Penyebaran Notaris yang

tidak merata menyebabkan Notaris tidak memperoleh penghasilan

yang memadai untuk menutupi biaya hidup. (Desmansh)

180 Komentar Kandidat Ketua INI MG Widyatmoko, dalam artikel “Tak Ada Hukuman

Buat Notaris Nakal” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21125/tak-ada-hukuman-buat-

notaris-nakal, diunduh 06 Desember 2012. 181 Tanggapan Masyarakat dalam Artikel artikel “Tak Ada hukuman Buat Notaris Nakal”

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21125/tak-ada-hukuman-buat-notaris-nakal, diunduh

06 Desember 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 140: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

129

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

5. Saya sering menjumpai banyak akta yang tidak benar yang dibuat oleh

Notaris, tetapi tidak pernah dilakukan penindakan oleh Majelis

Kehormatan Notaris, hal ini sangat merugikan masyarakat karena

Notaris adalah Pejabat, oleh karenanya harus mendapatkan hukuman

baik pidana maupun perdata jika kesalahan tersebut telah nyata

dilanggar oleh Notaris. (Abdul Aziz)

6. Indonesia adalah Negara Hukum, maka setiap orang yang melanggar

baik pejabat pemerintah maupun masyarakat yang melakukan

pelanggaran maka wajib dihukum, oleh karena itu barangsiap yang

mengetahui ada pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris silahkan

laporkan kepada pihak yang berkepentingan, baik itu pidana maupun

perdata. Karena di Republik ini tidak ada yang kebal hukum. (Alfan)

7. Ada dua kemungkinan : 1. Notaris yang tergabung dalam INI memang

baik atau jujur semua ? 2. MPN tidak berfungsi atau sengaja tidak

difungsikan karena terlalu banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh

anggota sehingga akan merusak citra Notaris secara keseluruhan.

(Maysah)

Menurut penulis dalam menanggapi tanggapan atau komentar dari

berbagai pihak baik pejabat pemerintah, penegak hukum, akademisi maupun

masyarakat tersebut di atas, maka keberadaan sanksi pidana sebagai sanksi yang

paling kuat akan membuat suatu undang-undang menjadi lebih dipatuhi. Dengan

tidak adanya sanksi pidana, akan muncul suatu kecenderungan bahwa undang-

undang tersebut tidak memiliki komposisi sanksi yang cukup kuat dan tidak dapat

menimbulkan efek jera bagi orang yang melakukan pelanggaran tindak pidana.

Walaupun dalam beberapa tanggapan, banyak disebutkan bahwa peran

sanksi pidana itu telah dipegang oleh KUHP dalam hal penjatuhan pidana

terhadap Notaris yang melakukan tindak pidana, tetapi dalam kenyataannya hal

tersebut tidaklah mudah penerapannya.

Ada dua hal yang cenderung akan terjadi dalam penerapan sanksi pidana

dalam KUHP tersebut terhadap Notaris, yaitu :

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 141: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

130

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

a. Ada sanksi pidana dalam KUHP yang memuat unsur-unsur yang jika

unsur-unsur pidana tersebut terpenuhi, maka tindakan tersebut terbukti

sebagai tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal yang

bersangkutan, namun ternyata dalam pandangan “Dunia Notaris”,

dalam hal ini yaitu tindakan Notaris yg dikategorikan “tindakan notaris

dalam menjalankan jabatannya”, hal tersebut bukanlah merupakan suatu

tindak pidana, dikarenakan apa yang dilakukan oleh Notaris tersebut

telah sesuai dengan ketentuan UUJN, kode etik ataupun peraturan

terkait lainnya mengenai Notaris (telah sesuai dengan prosedur).

b. Ada pula tindakan Notaris yang dianggap merugikan dan dianggap

sebagai tindak pidana, namun karena kekhususan tindak pidana yang

dilakukannya tersebut belum diatur dalam peraturan perundangan

manapun sehingga akhirnya merujuk kepada peraturan yang telah ada,

atau dapat pula sebenarnya sudah diatur dalam suatu peraturan

perundang-undangan, termasuk KUHP, dimana ketentuan dalam

peraturan perundang-undangan maupun KUHP tersebut, yaitu unsur-

unsur tindak pidana yang didakwakan terhadap Notaris yang

bersangkutan, adalah terlalu umum, sehingga banyak yang dijadikan

celah untuk dianggap “tidak memenuhi unsur pidana” dan membuat

Notaris lolos dari jerat hukum dan/atau dipidana dengan ketentuan yang

terkesan dipaksakan.

Melihat kecenderungan di atas, penulis berpendapat bahwa ada baiknya

dirumuskannya TPN dan sanksi pidananya ke dalam UUJN, dengan harapan dan

tujuan serta manfaat sebagai berikut ::

a. Tujuannya :

1. Membuat pelaku TPN menderita dengan mendapatkan balasan

setimpal atas perbuatannya;

2. Mencegah terjadinya TPN;

3. Mencegah adanya Notaris palsu;

4. Melindungi masyarakat khususnya masyarakat pengguna jasa

Notaris.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 142: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

131

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

b. Manfaatnya :

1. Akan lebih tercapainya kepastian hukum dan keadilan yang

merata (proporsional) bagi seluruh pihak, baik dalam pandangan

masyarakat umum, pemerintah, maupun kalangan Notaris sendiri;

2. Melindungi profesi Notaris, yaitu ada suatu kepastian berupa

terdapatnya rumusan-rumusan yang jelas mengenai bentuk-bentuk

dari tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris;

3. Akan memberikan pengaruh positif bagi Notaris karena akan

mendorong Notaris untuk bertindak lebih profesional dan

independen tidak berpihak dalam menjalankan profesinya;

4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat

5. sebagai koridor Notaris dalam melaksanakan kewenangannya;

6. UUJN akan menjadi lebih berlaku efektif;

7. UUJN akan menjadi lebih kuat;

8. UUJN akan menjadi lebih dipatuhi.

2.3.2. URGENSI PENERAPAN TPN BERKAITAN DENGAN

KETIADAAN SANKSI PIDANA DALAM UUJN

Notaris merupakan profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam

masyarakat, mengingat kewenangan dari Notaris adalah sebagai pembuat alat

bukti tertulis berupa akta-akta otentik. Sebagai pejabat umum Notaris hendaknya

dalam melaksanakan tugasnya selalu dijiwai oleh Pancasila, sadar dan taat kepada

hukum dan UUJN, sumpah jabatan, kode etik Notaris dan berbahasa Indonesia

yang baik. Notaris dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku

profesional dan ikut serta dalam pembangunan Nasional khususnya di bidang

hukum.

Unsur-unsur perilaku profesionalisme yang dimaksud adalah bahwa

Notaris harus mempunyai keahlian yang didukung dengan pengetahuan dan

pengalaman yang tinggi dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu dilandasi dengan

pertimbangan moral yang diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-

nilai sopan santun dan agama yang berlaku, dan juga harus jujur, tidak saja pada

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 143: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

132

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri, serta tidak boleh

semata-mata didorong oleh pertimbangan uang dalam arti Notaris harus bersifat

sosial dan tidak bersikap diskriminatif dengan membedakan antara orang yang

mampu dan yang tidak mampu, untuk itu Notaris harus memegang teguh etika

profesi dalam pelaksanaan tugas profesi yang baik, karena dalam kode etik profesi

itulah ditentukan segala perilaku dimiliki oleh seorang Notaris.

Notaris sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi

tantangan yang serupa. Di satu sisi Notaris diminta menjaga idialismenya sebagai

pejabat umum, namun di sisi lain Notaris dihadapkan oleh kenyataan di lapangan.

Profesi hukum khususnya Notaris merupakan profesi yang menuntut

pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral merupakan kekuatan

yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur, oleh karena itu Notaris

dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat.

UUJN hanya sebagai pagar pengingat mana yang boleh dan tidak boleh

yang dinamis mengikuti perkembangan lingkungan dan para pihak yang

berkepentingan. Dalam UUJN hanya sampai pada tataran sanksi perdata dan

administratif. UUJN yang merupakan keseluruhan kaedah moral wajib ditaati oleh

semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, baik dalam

pelaksanaan tugas jabatan maupun dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Sebagai seorang profesional, Notaris tidak perlu khawatir dalam

menjalankan tugasnya sesuai dengan UUJN sepanjang dapat selalu

mempertahankan jati diri seorang profesional yang membawa pesan “noblesse

oblige” dan selalu melangkah dalam ambang batas (threshold) etika, disiplin,

moral dan hukum.

Banyaknya Notaris yang masih melakukan pelanggaran hukum dapat

menjadi batu sandungan tersendiri bagi martabat Notaris di masa yang akan

datang. Menurut Muhammad Abdul Kadir, beberapa alasan-alasan mendasar

mengapa seorang Notaris yang berprofesional melakukan tindak pidana di

antaranya yaitu:182

1. Pengaruh sifat kekeluargaan

182Muhammad Abdul Kadir, op.cit, hal. 82

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 144: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

133

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Salah satu ciri kekeluargaan itu memberi perlakuan dan penghargaan yang

sama terhadap anggota keluarga, dan ini dipandang adil. Perlakuan terhadap orang

yang bukan anggota keluarga akan lain sifatnya. Hal ini berpengaruh terhadap

perilaku profesional hukum yang terikat pada kode etik profesi, yang seharusnya

memberi perlakuan sama terhadap klien.

Seharusnya masalah keluarga dipisahkan dengan masalah profesi, dan ini

adalah adil. Karena diharapkan Notaris dapat menjalankan jabatannya secara

profesional tanpa melibatkan adanya keterikatan karena adanya hubungan darah

atau keluarga. Mengenai masalah ini lebih cenderung ke dalam permohonan

pembuatan akta oleh klien, baik klien itu merupakan anggota keluarga atau bukan.

Jadi tanpa memandang anggota keluarga atau bukan, Notaris harus bertindak

secara profesional tanpa membedakan mereka. Dengan cara demikian, notaris

tidak perlu mengabaikan Kode etik Notaris.

2. Pengaruh jabatan.

Seperti diketahui bahwa Notaris adalah merupakan Pejabat Umum yang

berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagai mana

dimaksud dalam UUJN. Notaris adalah pejabat umum karena ia diangkat oleh

pemerintah serta diberi wewenang untuk melayani publik. Di sinilah letak penting

dari profesi Notaris yaitu Notaris diberi wewenang untuk menciptakan alat bukti

mutlak oleh undang-undang, dengan pengertian bahwa apa yang tersebut dalam

akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar dan memiliki kekuatan penbuktian

yang sempurna di pengadilan. Hal inilah yang sering membuat Notaris merasa

bahwa jabatannya tersebut istimewa, sehingga tidak sedikit Notaris yang

melakukan pelanggaran jabatan ataupun melakukan tindak pidana dalam

menjalankan jabatannya.

3. Karena lemah iman

Salah satu syarat mejadi profesional itu adalah taqwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaqwaan

ini adalah dasar moral manusia. Jika manusia mempertebal iman dan taqwa, maka

di dalam diri akan tertanam nilai moral yang menjadi rem untuk berbuat buruk.

Dengan taqwa manusia makin sadar bahwa kebaikan akan dibalas dengan

kebaikan, sebaliknya keburukan akan dibalas dengan keburukan. Dengan taqwa

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 145: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

134

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

kepada Tuhan Yang Maha Esa, profesional memiliki benteng moral yang kuat,

tidak mudah tergoda dan tergiur dengan bermacam ragam bentuk materi di

sekitarnya. Dengan iman yang kuat kebutuhan akan terpenuhi secara wajar dan

itulah kebahagiaan.

Jika seorang Notaris telah sadar akan berbagai hal-hal di atas, seharusnya

hukum pidana tidak perlu dirisaukan, karena disatu pihak hukum pidana materiil

selalu bertumpu pada asas legalitas (nulum delictum, nulla poena sine praevia

lege poenali) dan asas culpabilitas (an act does not make a man guilty unless the

mind is guilty), dan dilain pihak hukum pidana formil merupakan “legislated

environment” yang selalu menjaga keseimbangan antara moralitas kelembagaan

(Negara), moralitas sosial (kepentingan umum), dan moralitas sipil (kepentingan

individual).183

Yang juga tidak kalah pentingnya adalah prinsip penegakan hukum pidana

harus “fair”, karena tugas jurisdis hukum pidana tidak hanya mengontrol

masyarakat, tetapi juga mengontrol Pejabat Negara/penguasa, termasuk salah

satunya mengontrol Jabatan Notaris.

Melihat berbagai uraian mengenai pentingnya tugas dan kewenangan

Notaris tersebut di atas, seharusnya Notaris yang baik dapat mengemban

tanggungjawab akan jabatannya tersebut dengan baik. Dengan berperilaku

profesional serta memahami pengetahuan tentang aturan-aturan dan ketentuan-

ketentuan hukum yang terkait dengan pekerjaan Notaris yaitu dalam rangka

pembuatan akta otentik, dan diharapkan dalam pelaksanaan tugasnya Notaris akan

terhindar dari segala akibat hukum terhadap akta-akta yang telah dan atau akan

dibuatnya.

Namun, kenyataannya, fakta menunjukkan hal tersebut masih cukup sulit

untuk diterapkan secara merata. Mengingat kembali berbagai data yang telah

penulis sebutkan dalam sub bab sebelumnya, dan didukung oleh berbagai

pernyataan dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun kontra terhadap tema

bahasan yang diangkat oleh penulis ini, penulis dengan ini melihat bahwa mulai

banyaknya beredar informasi, kabar maupun berita mengenai kasus-kasus pidana

yang melibatkan Notaris menunjukkan bahwa masih banyaknya Notaris yang

183

Muladi, op.cit., hal. 21.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 146: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

135

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

dijadikan sarana maupun menjadikan jabatannya sebagai sarana untuk terjadinya

tindak pidana tersebut, baik yang hanya sebagai saksi, bermula sebagai saksi

dan/atau sebagai pelaku, dan entah dalam kesempatan pembuktian berikutnya

terbukti Notaris tersebut bersalah atau tidak.

Selain beberapa Notaris yang terbukti memang melanggar ketentuan yang

ada, sampai Notaris yang tidak terbukti melanggar ketentuan sehingga lepas dari

apa yang dituduhkan kepadanya, penulis melihat ada fenomena yang menarik

disini.

Dalam setiap kasus yang menyeret Notaris, baik sebagai saksi maupun

sebagai tersangka, ada dua hal penting yang berperan, yaitu peraturan yang

diberlakukan dan pribadi Notaris itu sendiri. Ada kalanya, Notaris telah berbuat

benar dengan mengikuti aturan yang ada dan telah sesuai dengan prosedur, namun

karena dianggap memenuhi unsur suatu tindak pidana dalam peraturan lain dan

dianggap merugikan suatu pihak, Notaris tersebut dilaporkan ke MPD atau

kepolisian oleh pihak yang merasa dirugikan. Setelah melalui pemeriksaan dan

pertimbangan MPD, Notaris tersebut terlepas dari apa yang dituduhkan kepadanya

karena dianggap telah menjalankan jabatannya sesuai dengan prosedur yang ada.

Tidak menutup kemungkinan pula terjadi hal sebaliknya, dimana seorang Notaris

yang dianggap memenuhi unsur tindak pidana suatu sanksi pidana dalam sebuah

peraturan, namun karena dianggap Notaris tersebut dalam melakukan tindakannya

telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, maka Majelis Pengawas Notaris

menyatakan Notaris tersebut tidak bersalah.

Walaupun semua hal yang telah dijelaskan tersebut pada akhirnya

bertumpu pada pemeriksaan dan keputusan Majelis Pengawas Notaris, namun ada

beberapa hal yang dapat mengakibatkan efek baik langsung maupun tidak

langsung atas pandangan umum terhadap Notaris tersebut, dan hal ini tentunya

diharapkan menjadi perhatian lebih lanjut dari pihak-pihak yang berkepentingan,

diantaranya :

1. Banyaknya Notaris yang dipanggil oleh penyidik sebagai saksi, walaupun

dengan seijin MPD, dapat menjadi preseden buruk bagi dunia Notaris.

Jabatan Notaris yang sering digunakan sebagai sarana untuk melakukan

kejahatan, baik oleh pihak lain, maupun dirinya sendiri, lambat laun tentu

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 147: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

136

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

akan menjadikan martabat Notaris itu goyah, dan bukan tidak mungkin di

kemudian hari, jika kepercayaan masyarakat terus menurun dikarenakan

pemberitaan media atau kenyataan yang mereka alami sendiri mengenai

segala tindakan Notaris yang dianggap merugikan, dapat menjadikan

kehormatan dan kemuliaan jabatan Notaris itu luntur dengan sendirinya di

mata masyarakat.

2. Dengan pengetahuan masyarakat yang seadanya terhadap Notaris dan

terhadap berbagai informasi maupun pemberitaan mengenai kasus-kasus

yang menimpa Notaris, dapat dimungkinkan terjadi, dan bahkan menurut

penulis sekarang pun sudah mulai terjadi, dimana masyarakat umum lebih

berhati-hati dalam memilih Notaris. Masyarakat lebih percaya jika ada

rekomendasi dari orang-orang yang dipercaya atau bahkan mencari tahu

sendiri akan reputasi Notaris mana saja yang baik, dengan catatan kinerja

yang baik pula, dan menjadikan hal itu sebagai cara utama untuk memilih

Notaris. Sehingga yang terjadi adalah ketidakmerataan pendapatan kerja

Notaris, yang bukan tidak mungkin akan terjadi penumpukan Notaris di

suatu wilayah maupun kekurangan Notaris di wilayah lainnya, karena

diakibatkan kecenderungan Notaris-Notaris lain yang tidak ingin bersaing

dalam satu wilayah dengan Notaris yang memiliki reputasi baik.

3. Berkaitan dengan poin-poin di atas, dengan semakin menurunnya

kepercayaan publik terhadap Notaris, walaupun dalam kenyataan

sebenarnya hanya segelintir Notaris yang terbukti benar-benar memiliki

niat yang buruk dalam menggunakan jabatannya sebagai sarana kejahatan,

namun hal tersebut secara tidak langsung dapat berdampak pada

perekonomian negara dan perkembangan bisnis investasi. Dengan

selektifnya memilih Notaris untuk menuangkan kehendak bisnis mereka,

atau bahkan mungkin hingga di eliminasi nya jabatan Notaris oleh

beberapa pihak yang notabene seharusnya dapat membawa keuntungan

finansial dan ekonomi bagi negara kita, seperti penanaman modal,

pendirian perusahaan, penjaminan, pengalihan aset dan masih banyak lagi,

dikhawatirkan akan menurunkan minat para investor bisnis, pengusaha

ataupun kalangan lainnya untuk menggunakan Notaris untuk memenuhi

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 148: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

137

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

keinginan mereka, dan dikhawatirkan membuat menjadi menurunnya

perputaran finansial di sektor bisnis, dengan alasan yang sangat simpel,

bahwa birokrasi di negara kita ini beresiko besar dan sangat rentan akan

pelanggaran hukum. Hal di atas mungkin terlihat ekstrim, tapi bukan tidak

mungkin terjadi di beberapa tahun ke depan, jika memang benar-benar

kepercayaan terhadap Notaris telah sangat menurun.

Beberapa poin tersebut di atas tentunya menjadi kerugian tersendiri baik

bagi dunia Notaris maupun berbagai aspek penunjangnya, termasuk pihak-pihak

yang berada dan bekerja dengan mengandalkan peran dan jasa dari Notaris,

seperti bank, pengembang perumahan, investor pribadi maupun korporasi,

perusahaan-perusahaan bisnis nasional baik skala kecil maupun skala besar, dan

masih banyak lagi.

Menurut penulis, hal-hal di atas mendapat dampak yang cukup besar dari

peraturan-peraturan mengenai Notaris yang masih minim akan pengaturan sanksi

yang jelas dan tegas bagi pelanggarnya, dan tentunya sebagian besar tetap

berdasar pada pribadi Notaris itu sendiri, yang menjadi titik pangkal munculnya

berbagai kasus-kasus yang menyeret Notaris, baik sebagai saksi maupun

tersangka. Bukan hanya sanksi yang tegas yang diperlukan, namun diperlukan

pula sanksi yang jelas, terperinci dan tepat sasaran, yang dapat menjadi poin

penting dalam proses perubahan Notaris ke arah yang lebih baik lagi.

Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyempurnakan peraturan yang ada

maupun yang akan ada, salah satunya adalah dengan merumuskan sanksi yang

tegas dan sanksi yang jelas tersebut di atas ke dalam suatu peraturan perundang-

undangan yang sah sehingga dapat menjadi pagar yang tegas dan jelas, yang dapat

mengklasifikasikan dan membatasi tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan

kerugian bagi pihak lain yang dilakukan oleh Notaris, sekaligus sebagai pagar

pelindung bagi kemuliaan martabat dunia Notaris itu sendiri.

Namun perlu diingat, bagaimanapun sempurnanya peraturan yang ada,

bagaimanapun tegas dan jelas nya sanki-sanksi yang diterapkan dalan peraturan

tersebut, semua hanyalah sia-sia, jika moral dan pribadi Notaris itu sendiri tidak

baik dalam menjalankan jabatannya, terlebih lagi jika berbagai kalangan dan

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 149: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

138

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

pihak yang bertautan dengan jabatan Notaris pun bermoral demikian. Peraturan

perundang-undangan yang baik, haruslah didukung pula oleh moral dan pribadi

yang baik pula. Kedua hal ini harus berjalan secara seimbang dan proporsional,

karena jika tidak, perubahan yang nyata tidak akan pernah terwujud. Jika kedua

hal tersebut dapat berjalan dengan baik, benar dan seimbang, maka kesadaran

akan profesionalisme Notaris itu akan tumbuh, berkembang, dan melekat dengan

sendirinya dalam setiap pribadi Notaris, sehingga harkat dan martabat jabatan

Notaris akan tetap dijunjung tinggi dalam masyarakat dan berbagai kalangan

lainnya.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 150: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

139

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,

maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)

tidak memuat sanksi pidana di dalam rumusannya, antara lain disebabkan

oleh beberapa alasan berikut ini :

a. Sanksi pidana telah dirumuskan di dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP). Sehingga tindakan-tindakan Notaris yang

diduga merupakan sebuah tindak pidana, akan dikaitkan dengan

ketentuan mengenai tindak pidana yang bersangkutan yang

tercantum di dalam KUHP.

b. Melihat dari sejarah, bahwa lingkup pekerjaan Notaris itu sendiri

adalah bersifat administratif, sehingga dianggap cukup diberikan

sanksi administratif saja atas suatu pekerjaan yang bersifat

administratif pula.

Menurut penulis, dengan tidak adanya sanksi pidana dalam UUJN, peraturan

yang mengatur mengenai sanksi terhadap Notaris menjadi kurang sempurna,

karena tidak adanya sanksi yang tegas dan sanksi yang jelas akan tindakan-

tindakan yang dikategorikan tindak pidana khusus yang hanya dapat

dilakukan oleh Notaris yaitu Tindak Pidana Notaris (TPN), yang

kenyataannya belum ada satupun peraturan yang mengatur mengenai hal

tersebut.

Walaupun dalam beberapa tanggapan, banyak disebutkan bahwa peran

sanksi pidana itu telah dipegang oleh KUHP dalam hal penjatuhan pidana

terhadap Notaris yang melakukan tindak pidana, tetapi dalam kenyataannya

hal tersebut tidaklah mudah penerapannya.

Ada dua hal yang cenderung akan terjadi dalam penerapan sanksi pidana

dalam KUHP tersebut terhadap Notaris, yaitu :

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 151: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

140

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

a. Ada sanksi pidana dalam KUHP yang memuat unsur-unsur yang

jika unsur-unsur pidana tersebut terpenuhi, maka tindakan tersebut

terbukti sebagai tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal yang

bersangkutan, namun ternyata dalam pandangan “Dunia Notaris”,

dalam hal ini yaitu tindakan Notaris yg dikategorikan “tindakan

Notaris dalam menjalankan jabatannya”, hal tersebut bukanlah

merupakan suatu tindak pidana, dikarenakan apa yang dilakukan

oleh Notaris tersebut telah sesuai dengan ketentuan UUJN, kode

etik ataupun peraturan terkait lainnya mengenai Notaris (telah

sesuai dengan prosedur).

b. Ada pula tindakan Notaris yang dianggap merugikan dan dianggap

sebagai tindak pidana, namun karena kekhususan tindak pidana

yang dilakukannya tersebut belum diatur dalam peraturan

perundangan manapun sehingga akhirnya merujuk kepada

peraturan yang telah ada, atau dapat pula sebenarnya sudah diatur

dalam suatu peraturan perundang-undangan, termasuk KUHP,

dimana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan maupun

KUHP tersebut, yaitu unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan

terhadap Notaris yang bersangkutan adalah terlalu umum, sehingga

banyak yang dijadikan celah untuk dianggap “tidak memenuhi

unsur pidana” dan membuat Notaris lolos dari jerat hukum

dan/atau dipidana dengan ketentuan yang terkesan dipaksakan.

2. Beberapa tahun silam, jabatan Notaris dianggap oleh masyarakat sebagai

jabatan yang bermartabat dan mulia. Didukung oleh kinerja dan reputasi

Notaris yang baik, dan dipagari oleh peraturan baru yang menjadi satu-

satunya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan

Notaris (UUJN), Notaris menjadi salah satu bagian dari penegak hukum

sekaligus pejabat umum yang memiliki peranan penting dalam hukum

pembuktian dan perkembangan perekonomian.

Namun akhir-akhir ini, mulai banyaknya beredar informasi, kabar maupun

berita mengenai kasus-kasus pidana yang melibatkan Notaris

menunjukkan bahwa masih banyaknya Notaris yang dijadikan sarana

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 152: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

141

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

maupun menjadikan jabatannya sebagai sarana untuk terjadinya tindak

pidana tersebut, baik yang hanya sebagai saksi, bermula sebagai saksi

dan/atau sebagai pelaku.

Dengan pengetahuan masyarakat yang seadanya terhadap Notaris dan

terhadap berbagai informasi maupun pemberitaan mengenai kasus-kasus

yang menimpa Notaris, dapat dimungkinkan terjadi, dan bahkan menurut

penulis sekarang pun sudah mulai terjadi, dimana masyarakat umum lebih

berhati-hati dalam memilih Notaris. Masyarakat lebih percaya jika ada

rekomendasi dari orang-orang yang dipercaya atau bahkan mencari tahu

sendiri akan reputasi Notaris mana saja yang baik, dengan catatan kinerja

yang baik pula, dan menjadikan hal itu sebagai cara utama untuk memilih

Notaris.

Lambat laun tentu akan menjadikan martabat Notaris itu goyah, dan bukan

tidak mungkin di kemudian hari, jika kepercayaan masyarakat terus

menurun dikarenakan pemberitaan media atau kenyataan yang mereka

alami sendiri mengenai segala tindakan Notaris yang dianggap merugikan,

dapat menjadikan kehormatan dan kemuliaan jabatan Notaris itu luntur

dengan sendirinya di mata masyarakat.

Menurut penulis, adanya urgensi untuk menerapkan TPN dan sanksi

pidananya dalam UUJN. Salah satu penyebab penting dari menurunnya

kualitas Notaris adalah karena tidak adanya sanksi yang tegas dan sanksi

yang jelas yang mengatur mengenai TPN. Sanksi pidana yang ada dalam

KUHP, terlalu umum untuk diterapkan bagi TPN, karena adanya unsur-

unsur TPN yang hanya dapat dilakukan oleh Notaris. Lagipula, sanksi

pidana denda yang dulu terdapat dalam PJN, ternyata tidak disertakan

dalam UUJN. Sehingga yang tersisa dalam UUJN hanyalah murni sanksi

administratif dan sanksi perdata saja. Di sini lah perlunya penerapan TPN

dan sanksi pidananya yang tegas dan jelas diatur dalam UUJN.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 153: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

142

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

3.2. SARAN

Dengan memperhatikan simpulan yang telah disampaikan, Penulis

menyampaikan saran-saran sebagai berikut :

1. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyempurnakan peraturan yang

ada maupun yang akan ada, salah satunya adalah dengan merumuskan

sanksi yang tegas dan sanksi yang jelas tersebut ke dalam suatu

peraturan perundang-undangan yang sah sehingga dapat menjadi pagar

yang tegas dan jelas, yang dapat mengklasifikasikan dan membatasi

tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain

yang dilakukan oleh Notaris, sekaligus sebagai pagar pelindung bagi

kemuliaan martabat dunia Notaris itu sendiri.

2. Salah satu cara untuk mengkasifikasikan dan membatasi tindakan-

tindakan Notaris yang menyangkut tindak pidana yaitu dengan

Merumuskan Tindak Pidana Notaris (TPN) yaitu tindak pidana yang

unsur-unsurnya hanya dapat dilakukan oleh Notaris dan hanya

diberlakukan untuk Notaris, juga merumuskan sanksi pidananya. Cara

tersebut diatas dapat pula diiringi dengan perbaikan dari segi institusi,

misalnya MPD. Kewenangan MPD dalam menjalankan tugasnya

sebagai pengawas dan pembina Notaris, dapat ditingkatkan lagi agar

menjadi lebih efektif seperti kewenangan untuk melakukan

penyidikan. Dalam hal ini pihak yang melakukan penyidikan kepada

Notaris yang terlibat tindak pidana tidak hanya dimiliki oleh institusi

kepolisian tetapi pihak MPD pun berhak melakukan penyidikan

sehingga pihak kepolisian dan dari kalangan Notaris bisa bekerjasama

untuk menangani Notaris yang melanggar aturan perundang-undangan.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 154: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

143

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

DAFTAR REFERENSI

I. BUKU :

Abdul Kadir, Muhammad. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1997.

Adjie, Habib. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai

Pejabat Publik. Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.

Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama,

2008.

Adiwinata, Saleh, A. Teloeki, dan Boerhanoeddin St. Batoeah, Kamus Istilah

Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia. Jakarta: Binacipta, 1983.

Atmasasmita, Romli. Perbandingan Hukum Pidana, Cet.2. Bandung: Mandar

Maju, 2000.

Budiono, Herlin. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.

Bandung: Citra AdityaBakti, 2007.

Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak

Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

E, Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: PustakaTinta

Mas, 1994.

Ekaputra, Mohammad. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Medan: USU Press,

2010.

Fuady, Munir. Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris,

Kurator, dan Pengurus: Profesi Mulia. Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2005.

Ghofur, Abdhul. Lembaga Kenotariatan Indonesia. Yogyakarta: UII Press

Yogyakarta, 2009.

Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Cet.2. Jakarta: PT.

Pradnya Paramita, 1993.

Hamzah, Andi dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan

di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 1983.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 155: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

144

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

HS, Salim. Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta:

Sinar Grafika, 2006.

HS, Salim dan Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU. Jakarta: Sinar

Grafika, 2007.

Kanter, E.Y dan S.R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya. Jakarta: Storia Geafika, 2002.

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1997.

Lumban Tobing, G. H. S. Peraturan Jabatan Notaris. Cet.3, Jakarta:

Erlangga, 1983.

Manan, Bagir. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2004.

Moch. Anwar, H.A.K. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Jilid

I. Bandung: Alumni, 1982.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Cet.7. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 1995.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:

Alumni, 1992.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana.

Bandung: Alumni, 1992.

M. Hadjon, Philipus. Pemerintah Menurut Hukum. Surabaya: Yuridika, 1992.

M. Hadjon, Philipus dan Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.

Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Nawawi Arief, Barda. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan

Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 2005.

Notodisoejo, R. Soeganda. Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan.

Jakarta: CV. Rajawali, 1982.

Prakoso, Djoko. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Ed.1, (Yogyakarta:

Liberty Yogyakarta, 1987.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 156: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

145

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Prodjohamidjojo, Martin. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.

Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.

Rusyan, Tabrani. Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Yayasan

Karya Sarjana Mandiri, 1990.

Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan

Umum Hukum Pidana Kodifikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992.

Sjaifurrachman dan Habib Adjie. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam

Pembuatan Akta. Bandung: Mandar Maju, 2011.

Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.

Bogor: Politeia, 1994.

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.

Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar

Baru, 1983.

Suit, Y dan Almasdi. Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber Daya

Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.

Sutrisna dan I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara

Pidana (Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah

(ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1986.

Tedjasaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris (Dalam Penegakan Hukum

Pidana). Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1995.

Thong Kie, Tan. Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris. Cet.1.

Jakarta: PT. Ichtiar Baru Hoeve, 2007.

Tjokrowinoto dan Muljarto, Pembangunan, Dilema dan Tantangan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif

Pembaharuan. Malang: UMM Press, 2008.

Tresna. R. Azas-Azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa

Perbuatan Pidana yang Penting. Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994.

Wijatno, Serian. Pengelolaan Perguruan Tinggi Secara Efisien dan

Ekonomis. Jakarta: Salemba Empat, 2006.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 157: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

146

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Wojowasito, S. Kamus Umum Belanda Indonesia. (Jakarta: Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1990.

II. ARTIKEL :

Adjie, Habib. “Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi

Hukum Pengaturan Notaris.” Renvoi, Nomor: 28 Th. 111, (3 September

2005).

Ali Boediarto, M. “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung,

Hukum Acara Perdata Setengah Abad.” Swa Justitia, (2005).

Setiawan, Wawan. “Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta

Otentik.” Media Notariat, (Mei-Juni 2004).

“Notaris Semarang Dituduh Menggelapkan Cek”, Renvoi, Nomor: 3.99

(Agustus 2011).

III. MAKALAH :

Muladi, “Hukum Pidana dan Profesi Jabatan Notaris.” Makalah disampaikan

pada Seminar Tantangan dan Peluang Profesi Notaris di Era

Globalisasi, FHUI Depok, 23 Februari 2011.

Saleh, Ismail. “Membangun Citra Profesional Notaris Indonesia.”

Pengarahan/ceramah Umum Menteri Kehakiman Republik Indonesia

pada Upgrading/Refresing Course Notaris se-Indonesia Bandung, 1993.

Wiryomartani, Winanto. “Pelanggaran Pidana/Perdata dan Tindakan

Indisipliner oleh Notaris.” Makalah disampaikan pada Seminar

Tantangan dan Peluang Profesi Notaris di Era Globalisasi, FHUI

Depok, 23 Februari 2011.

IV. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004. LN

No.117 Tahun 2004, TLN. No. 4432.

Indonesia, Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, UU No. 8 tahun 2010. TLN. No. 5164.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 158: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

147

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

Indonesia, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 tahun 2001.

TLN. No. 4150.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan

Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht].

Diterjemahkan oleh Moelyatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

V. INTERNET :

Laksmana, Gandjar. “Notaris diperiksa polisi, lewat MPD dulu?”

http://medianotaris.com/notaris_diperiksa_polisi_lewat_mpd_dulu_beri

ta107.html, diunduh 31 Oktober 2012.

Latumeten, Pieter. “Perlindungan Jaminan Hukum Bagi Profesi Notaris.”

http://www.firstadvice-online.com/main.php?page=kategoridet&id=61.

Diunduh 22 November 2012.

Napitupulu, Briely. “Kasus Dugaan Notaris”, www.magister-

kenotariatan.blogspot.com/2012/11/legal-opini-kasus-dugaan-

notaris.html. Diunduh 10 Desember 2012.

Syamsudin, Amir. “Notaris Berperan Membantu Terciptanya Kepastian

Hukum.”http://www.antaranews.com/berita/294406/menkumhamnotari

sberperanmembantu-terciptanya-kepastian-hukum. Diunduh 22 Maret

2012.

“Notaris Berperan Membantu Terciptanya Kepastian Hukum.”

http://www.antaranews.com/berita/294406/menkumhamnotarisberperan

membantu-terciptanya-kepastian-hukum. Diunduh 28 Februari 2012.

“Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya.”

http://pmg.hukumonline.com/klinik/detail/cl5135/unsur-unsur-pidana-

yang dihadapi-notaris-dalam-menjalankan-jabatannya. Diunduh 28

Februari 2012.

“Wewenang Notaris dan PPAT Masih Menyisakan Persoalan.”

http://cms.sip.co.id/hukumonline/berita.asp. Diunduh 10 Mei 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 159: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

148

Universitas Indonesia

Urgensi Penerapan Tindak…….., Sari Jacob, FH UI, 2013

„Implementasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris”http://hermannotary.blogspot.com/2012/06/implementasi-

undang-undang-no-30-tahun.html. Diunduh 24 Juni 2012.

“Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana” http://bardanawawi.blogspot.

com/2007/10/bung-rampai-kebijakan-hukum-pidana.html. Diunduh 25

Mei 2012.

“Terjerat Berbagai Kasus Pidana” http://denpostnews.com/index.php/2011-

10-30-14-33-39/379-terjerat-berbagai-kasus-pidana. Diunduh 31 Juli

2012.

“Bertha Herawati Diduga Ikut Pindahkan Asset Neneng Sri Wahyuni ke Luar

Negeri”, www.yustisi.com. Diunduh 15 Desember 2012.

“Konsep Akuntabilitas” www.materihukum.com/akuntabilitas.html. Diunduh

13 Maret 2012.

“Pernyataan Soegeng Santoso mantan Anggota MPP dalam Artikel “Ketika

Notaris Dipanggil Polisi” http://www.hukumonline.com/berita/

baca/hol21201/ketika-notaris-dipanggil-polisi. Diunduh 06 Desember

2012.

“Terobosan Baru Sang Pengawal Notaris“

http://www.hukumonline.com/berita/baca/Jt4b3c08dadea4a/terobosan-

baru-sang-pengawal-notaris-. Diunduh 21 Desember 2012.

“Dirjen Pajak Lakukan Pembersihan terhadap Notaris Nakal”

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21201/ketika-notaris-

dipanggil-polisi. Diunduh 21 Desember 2012.

“Tak Ada Hukuman Buat Notaris Nakal”

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21125/tak-ada-hukuman-

buat-notaris-nakal. Diunduh 06 Desember 2012.

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 160: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 161: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 162: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 163: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 164: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013

Page 165: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334960-T33042-Sari Jacob2.pdflib.ui.ac.id

S A R I J A C O B

ACEH, 9 SEPTEMBER 1985

J L . P I S A N G A N B A R U T E N G A H I I N O . 2 9 4 B J A K A R T A T I M U R

P H O N E ( 0 2 1 ) 8 5 7 4 6 2 7 / 0 8 5 6 8 8 6 4 3 9 8 • E - M A I L s a r i . j a c o b @ y a h o o . c o m

PENDIDIKAN

Universitas Padjadjaran

Fakultas Hukum 2003 – 2007

Skripsi :

“Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pembajakan Perangkat

Lunak (Software Piracy) Dalam Rangka Perlindungan Hak Cipta di

Indonesia”

Universitas Indonesia

Magister Kenotariatan 2011 – 2013

Tesis :

“Urgensi Penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN) Berkaitan Dengan

Ketiadaan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 Tentang Jabatan Notaris”

PENGALAMAN KERJA

PT Telkom,TBK 2008 – 2011

Notaris & PPAT Dipo Nusantara, SH, MKn 2011

Notaris & PPAT Sri Buena Brahmana, SH, MKn 2011-2012

Notaris & PPAT Fatma Agung Budiwijaya, SH 2012-Skrg

Urgensi penerapan..., Sari Jacob, FH UI, 2013