liana christanty sang pecinta kehidupan filemengampanyekan no free sex. bukan hanya karena takut...

1
BIODATA SENIN, 12 DESEMBER 2011 27 S O SOK DUNIA fesyen, bagi Kimi Jayanti, model kelahiran Medan, 18 Oktober 1991, merupakan kesenangan sehari-harinya. Ia tak bisa lepas dari dunia fesyen meskipun sedang tak mengisi acara fesyen. Jika sedang tak bertugas menjadi model, Kimi mengisi waktu dengan merancang busananya sendiri. “Apa yang tercetus, aku gambar. Aku desain sendiri. Ka- lau model kayak begini, mix and match-nya seperti apa ya. Terus, aku bawa ke penjahit untuk dibuatkan bajunya,” ujar salah satu pemeran dalam lm I Know What You Did on Facebook ini kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/12). Model pakaian yang ia rancang tak jauh- jauh dari gaya kesehariannya. Ia suka bergaya tomboi sehingga garis rancangnya kebanyakan berkesan edgy tapi simpel. Kimi juga senang jika rancangan yang dibuatnya kemudian bisa terwujud dalam bentuk baju yang nyata. “Tapi, aku enggak mau terlalu serius dalam bidang de- sain ini. Maksudnya, seperti aku akan ambil sekolah desain itu, kayaknya enggak deh. Soalnya, aku lebih suka menjadi model,” cetusnya. Untuk kariernya, ia berharap masih bisa berkiprah lebih lama di dunia model. Tak hanya menjadi model panggung, tapi juga mengampanyekan brand tertentu. Meski sudah mulai menerima tawaran pemotretan dari luar negeri, Kimi mengaku tak ambisius untuk menjadi model internasional. “Aku sih prinsipnya go with the flow aja,” tandas perem- puan berdarah campuran China dan India ini sembari tersenyum. (Din/M-3) Bukan akhir Sekarang, sekitar 500 perem- puan sudah ditolongnya. Saat mereka menginap di tempat- nya, Liana menyiapkan sejum- lah kegiatan, dari tugas rumah tangga hingga keterampilan lain seperti menyulam, potong rambut, dan pijat reeksi. Kebanyakan perempuan hamil tersebut memang tidak memiliki pekerjaan untuk menopang hidup kelak setelah melahirkan. Liana juga menye- diakan sesi konseling sebagai tempat curhat dan melarang penggunaan ponsel di rumah penampungannya. “Ponsel dititipkan kepada kami. Boleh digunakan dengan pengawasan, supaya mereka tidak lagi menelepon pacar- pacar mereka, enggak berzina lagi,” lanjut Liana. Ia menerapkan aturan itu dengan pasal, sebab masih ada beberapa yang jatuh lagi ke lubang yang sama. Jika sudah hamil di luar nikah untuk ke- dua kalinya, Liana tidak me- nerima perempuan itu dalam tanggungannya. Pertolongan pertama seha- rusnya sudah bisa menjadi pelajaran. Jika terus ditolong, ia khawatir mereka bisa men- jadi kebal. “Makanya, kami selalu mengampanyekan no free sex. Bukan hanya karena takut tertular penyakit kelamin, melainkan lebih dari itu. Efek mentalnya lebih besar lagi, baik pada ibu maupun anak,” jelas Liana. Biaya operasional untuk ke- giatan sosial tersebut, diakui Liana, tidaklah kecil. Penda- naan datang dari donatur- -individu dan organisasi-- juga inisiatif perempuan hamil yang ia bantu yang berasal dari keluarga mampu. Namun, tidak ada kewajiban donasi bagi keluarga menengah ke bawah. Liana memberitahukan kon- disi perempuan yang ia bantu kepada keluarganya, apalagi jika usia si perempuan kurang dari 17 tahun. “Kami juga pernah menam- pung perempuan hamil, baru berusia 13 tahun. Tujuannya agar keluarga datang me- ngunjungi. Tapi ada pula yang tidak memberi tahu keluarga, mungkin karena malu,” kisah Liana. Tantangan paling besar, di- akuinya, ditemui saat berha- dapan dengan para perem- puan yang menyalahgunakan kepercayaan. “Tapi tetap ada yang menun- jukkan niat memperbaiki diri. Sekarang ada yang sudah berani tampil lagi. Ada yang jadi guru, penyiar radio,” kata Liana. Itu, tambahnya, membuk- tikan, meski mereka pernah berbuat salah, hal tersebut bukan akhir segalanya. Sejak muda Kepedulian Liana terhadap kehidupan di sekitarnya sudah dimulai sejak muda. Ia sering kali mengajak anak jalanan ke rumah untuk berbagi makanan atau dimandikan. Menurut dia, sifat tersebut subur berkat kecintaannya pada kehidupan. “Saya ini pencinta kehidupan. Anak itu tidak berdosa, yang berdosa itu ibu dan pria yang meng- hamili ibunya,” cetusnya. Kepekaan sosial ini didu- kung suami dan keempat anaknya. Meski keluarganya tidak banyak terlibat, bebera- pa ide kegiatan sosial justru datang dari anak-anaknya. Salah satunya menyediakan pendidikan bagi anak-anak telantar yang kini jumlahnya mencapai 36 orang, tersebar di tiga rumah. “Anak yang ditolak sejak dalam rahim itu punya sense tertolak. Harus terus dipe- luk sampai rasa tertolaknya hi- lang. Percaya atau enggak, bayi yang tertolak kadang wajahnya sedih,” ujar Liana. Ia juga berusaha jujur kepada anak-anak yang ia rawat menge- nai latar belakang mereka. Saat usia mereka cukup, ia jelaskan siapa dan asal mereka. “Saya eng- gak ingin nutupin situasinya dari mereka. Saya yakinkan bahwa mereka punya saya sebagai ibu mereka,” pungkasnya. (M-3) [email protected] BUAT Puteri Indonesia 2005 Nadine Chandrawinata, traveling merupakan kesenangannya sejak lama. Ia lebih senang lagi saat dipilih menjadi pembawa acara sebuah program petualangan di salah satu stasiun televisi. Berkat acara tersebut pula ia beroleh pengalaman men- jelajahi Indonesia. “Aku pernah pergi ke pulau-pulau yang kalau lihat di peta, itu enggak ada namanya. Jadi, kalau mau ke sana, perjalanannya kita harus muter-muter dulu,” ujar perempuan kelahiran Hannover, Jerman, 8 Mei 1984, ini saat ditemui wartawan di Jakarta, Rabu (7/12) lalu. Salah satu pulau yang ia datangi bernama Pulau Simakakang, yang berlokasi di dekat kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Pulau itu begitu kecil, sampai-sampai tidak tercantum di dalam peta. Tak mengherankan jika di sana tak ada penduduk yang menetap. “Sejauh ini, sudah 70% wilayah dari Sabang sampai Jayapura yang aku datangi. Aku belum pernah sampai ke Merauke soalnya. Tapi, keliling ke pulau yang enggak dihuni orang, ke tempat-tempat yang jarang didatangi orang, itu seru,” tutur Nadine. Pemeran lm Generasi Biru ini ber- harap bisa menjelajahi seluruh jengkal tanah Indonesia. Namun, ia tak ingin terlalu ngoyo. Step by step-lah didatangi, soalnya Indonesia itu kan terlalu luas,” tandas- nya. (Din/M-3) DINNY MUTIAH P ADA 1998, seorang perempuan berusia sekitar 22 tahun da- tang ke kantor Liana Christanty, 52, dengan raut muka bingung dan lelah. Si perempuan mengaku sedang hamil akibat diperkosa saat tak sadarkan diri dalam per- jalanan menuju Surabaya. Ia tak berani pulang. “Saya bisa bilang dia jangan aborsi karena bagaimanapun, anak itu berharga di hadap- an Tuhan. Tapi, tindakan apa selanjutnya? Kan dia sendiri bingung. Lalu, kami bawa ke rumah sakit. Kebetulan bayi- nya besar, 3,5 kg. Setelah dia melahirkan, orang kampung- nya datang menengok tetapi menolak kehadiran bayi itu di kampung karena dianggap aib. Sementara, ibunya sendiri boleh pulang,” tutur perem- puan kelahiran Jember, 16 April 1959, itu kepada Media Indonesia di Jakarta, Kamis (8/12). Liana tak bisa memaksa agar si bayi turut dibawa pulang ke kampung. Ia kemudian membawa pulang dan mem- besarkan bayi tersebut ibarat anak sendiri. Itu tidak terjadi sekali saja. Satu waktu, ia pernah meng- urus lima bayi sekaligus yang ditinggalkan orangtua mereka. Yayasan Pondok Hayat yang didirikannya saat itu belum memiliki tempat khusus untuk merawat anak-anak yang dite- lantarkan ibu mereka. “Saya ingat pada saat itu, saya harus mengantarkan kelimanya untuk divaksi- nasi. Satu bayi diletakkan di kursi samping saya menyetir, empat bayi lainnya duduk di belakang bersama satu pem- bantu. Kalau sakit pas malam hari, kami harus bangun dan bergegas ke dokter,” kenang perempuan berambut ikal yang bermukim di Surabaya, Jawa Timur, itu. Liana tak kapok. Satu per satu perempuan datang ke tempatnya untuk meminta pertolongan. Tak hanya yang berasal dari Surabaya dan seki- tarnya, Liana pun didatangi perempuan dari luar kota, bahkan luar Pulau Jawa. Ke- banyakan berlatar kelas mene- ngah ke bawah, meski ada pula yang berpendidikan tinggi. Kedatangan mereka ke tempat Liana pada umumnya karena kesadaran sendiri, tetapi bebe- rapa ada yang dijemput Liana karena kondisi kejiwaan yang tak layak. “Saya pernah diberi tahu seseorang, ada wanita hamil yang sakit jiwa. Saya kejar dia sampai ke kuburan. Ya, eng- gak apa-apa daripada mereka tidak diurus. Jangan sampai mereka melahirkan di jalanan karena anaknya bisa tidak jelas dikemanakan,” tuturnya. LIANA CHRISTANTY SANG PECINTA KEHIDUPAN Tidak ada anak yang berdosa. Yang berdosa ialah ibunya dan laki-laki yang menghamili sang ibu. Maka, Liana Christanty merangkul para perempuan yang hamil di luar nikah dan membimbing mereka. FOTO-FOTO DOK PRIBADI Kimi Jayanti Rancang Busana Sendiri Nadine Chandrawinata Pulau tanpa Penghuni MI/RAMDANI MI/RAMDANI Nama: Liana Christanty Tempat tanggal lahir: Jember, 16 April 1959 Suami: Susilo Hardjo Prakoso Anak: Andreas SC Niken Dayu P Natanael SC Kezia Dayu Pendidikan: SLTA Pengalaman: Rotary Club Surabaya Selatan Pendiri Yayasan Pondok Hayat untuk perempuan yang mengalami pelecehan seksual Pendiri Sekolah Pelita Permai, sekolah gratis untuk anak-anak jalanan ANAK: Liana Christanty bersama anak-anak yang ditampungnya di Yayasan Pondok Hayat. Saat ini Liana membesarkan 36 anak yang ditinggalkan orangtuanya.

Upload: phamnguyet

Post on 02-Mar-2019

258 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LIANA CHRISTANTY SANG PECINTA KEHIDUPAN filemengampanyekan no free sex. Bukan hanya karena takut tertular penyakit kelamin, melainkan lebih dari itu. Efek mentalnya lebih besar lagi,

BIODATA

SENIN, 12 DESEMBER 2011 27SOSOK

DUNIA fesyen, bagi Kimi Jayanti, model kelahiran Medan, 18 Oktober 1991, merupakan kesenangan sehari-harinya. Ia tak bisa lepas dari dunia fesyen meskipun sedang tak mengisi acara fesyen.

Jika sedang tak bertugas menjadi model, Kimi mengisi waktu dengan merancang busananya sendiri.

“Apa yang tercetus, aku gambar. Aku desain sendiri. Ka-lau model kayak begini, mix and match-nya seperti apa ya. Terus, aku bawa ke penjahit untuk dibuatkan bajunya,” ujar salah satu pemeran dalam fi lm I Know What You Did on Facebook ini kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/12).

Model pakaian yang ia rancang tak jauh-jauh dari gaya kesehariannya. Ia suka bergaya tomboi sehingga garis rancangnya kebanyakan berkesan edgy tapi simpel.

Kimi juga senang jika rancangan yang dibuatnya kemudian bisa terwujud dalam bentuk baju yang nyata.

“Tapi, aku enggak mau terlalu serius dalam bidang de-sain ini. Maksudnya, seperti aku akan ambil sekolah desain itu, kayaknya enggak deh. Soalnya, aku lebih suka menjadi model,” cetusnya.

Untuk kariernya, ia berharap masih bisa berkiprah lebih lama di dunia model. Tak hanya menjadi model panggung, tapi juga mengampanyekan brand tertentu.

Meski sudah mulai menerima tawaran pemotretan dari luar negeri, Kimi mengaku tak ambisius untuk menjadi model internasional.

“Aku sih prinsipnya go with the flow aja,” tandas perem-puan berdarah campuran China dan India ini sembari tersenyum. (Din/M-3)

Bukan akhirSekarang, sekitar 500 perem-

puan sudah ditolongnya. Saat mereka menginap di tempat-nya, Liana menyiapkan sejum-lah kegiatan, dari tugas rumah tangga hingga keterampilan lain seperti menyulam, potong rambut, dan pijat refl eksi.

Kebanyakan perempuan hamil tersebut memang tidak memiliki pekerjaan untuk menopang hidup kelak setelah melahirkan. Liana juga menye-diakan sesi konseling sebagai tempat curhat dan melarang penggunaan ponsel di rumah penampungannya.

“Ponsel dititipkan kepada kami. Boleh digunakan dengan pengawasan, supaya mereka tidak lagi menelepon pacar-pacar mereka, enggak berzina lagi,” lanjut Liana.

Ia menerapkan aturan itu dengan pasal, sebab masih ada beberapa yang jatuh lagi ke lubang yang sama. Jika sudah hamil di luar nikah untuk ke-dua kalinya, Liana tidak me-nerima perempuan itu dalam tanggungannya.

Pertolongan pertama seha-rusnya sudah bisa menjadi pelajaran. Jika terus ditolong, ia khawatir mereka bisa men-jadi kebal.

“Makanya, kami selalu mengampanyekan no free sex. Bukan hanya karena takut tertular penyakit kelamin, melainkan lebih dari itu. Efek

mentalnya lebih besar lagi, baik pada ibu maupun anak,” jelas Liana.

Biaya operasional untuk ke-giatan sosial tersebut, diakui Liana, tidaklah kecil. Penda-naan datang dari donatur--individu dan organisasi--juga inisiatif perempuan hamil yang ia bantu yang berasal dari keluarga mampu. Namun, tidak ada kewajiban donasi bagi keluarga menengah ke bawah.

Liana memberitahukan kon-disi perempuan yang ia bantu kepada keluarganya, apalagi jika usia si perempuan kurang dari 17 tahun.

“Kami juga pernah menam-pung perempuan hamil, baru berusia 13 tahun. Tujuannya agar keluarga datang me-ngunjungi. Tapi ada pula yang tidak memberi tahu keluarga, mungkin karena malu,” kisah Liana.

Tantangan paling besar, di-akuinya, ditemui saat berha-dapan dengan para perem-puan yang menyalahgunakan kepercayaan.

“Tapi tetap ada yang menun-jukkan niat memperbaiki diri. Sekarang ada yang sudah berani tampil lagi. Ada yang jadi guru, penyiar radio,” kata Liana.

Itu, tambahnya, membuk-tikan, meski mereka pernah berbuat salah, hal tersebut bukan akhir segalanya.

Sejak mudaKepedulian Liana terhadap

kehidupan di sekitarnya sudah dimulai sejak muda. Ia sering kali mengajak anak jalanan ke rumah untuk berbagi makanan atau dimandikan.

Menurut dia, sifat tersebut subur berkat kecintaannya pada kehidupan. “Saya ini pencinta kehidupan. Anak itu tidak berdosa, yang berdosa itu ibu dan pria yang meng-hamili ibunya,” cetusnya.

Kepekaan sosial ini didu-kung suami dan keempat anaknya. Meski keluarganya tidak banyak terlibat, bebera-pa ide kegiatan sosial justru datang dari anak-anaknya.

Salah satunya menyediakan pendidikan bagi anak-anak telantar yang kini jumlahnya mencapai 36 orang, tersebar di tiga rumah. “Anak yang ditolak sejak dalam rahim itu punya sense tertolak. Harus terus dipe-luk sampai rasa tertolaknya hi-lang. Percaya atau enggak, bayi yang tertolak kadang wajahnya sedih,” ujar Liana.

Ia juga berusaha jujur kepada anak-anak yang ia rawat menge-nai latar belakang mereka. Saat usia mereka cukup, ia jelaskan siapa dan asal mereka. “Saya eng-gak ingin nutupin situasinya dari mereka. Saya yakinkan bahwa mereka punya saya sebagai ibu mereka,” pungkasnya. (M-3)

[email protected]

BUAT Puteri Indonesia 2005 Nadine Chandrawinata, traveling merupakan kesenangannya sejak lama.

Ia lebih senang lagi saat dipilih menjadi pembawa acara sebuah program petualangan di salah satu stasiun televisi.

Berkat acara tersebut pula ia beroleh pengalaman men-jelajahi Indonesia.

“Aku pernah pergi ke pulau-pulau yang kalau lihat di peta, itu enggak ada namanya. Jadi, kalau mau ke sana, perjalanannya kita harus muter-muter dulu,” ujar perempuan kelahiran Hannover, Jerman, 8 Mei 1984, ini saat ditemui wartawan di Jakarta, Rabu (7/12) lalu.

Salah satu pulau yang ia datangi bernama Pulau Simakakang, yang berlokasi di dekat kepulauan Mentawai, Sumatra Barat.

Pulau itu begitu kecil, sampai-sampai tidak tercantum di dalam peta. Tak mengherankan jika di sana tak ada penduduk yang menetap.

“Sejauh ini, sudah 70% wilayah dari Sabang sampai Jayapura yang aku datangi. Aku belum

pernah sampai ke Merauke soalnya. Tapi, keliling ke pulau yang enggak dihuni orang, ke tempat-tempat yang jarang didatangi orang, itu seru,” tutur Nadine.

Pemeran fi lm Generasi Biru ini ber-harap bisa menjelajahi seluruh jengkal tanah Indonesia. Namun, ia tak ingin terlalu ngoyo.

“Step by step-lah didatangi, soalnya Indonesia itu kan terlalu luas,” tandas-nya. (Din/M-3)

DINNY MUTIAH

PADA 1998, seorang perempuan berusia sekitar 22 tahun da-tang ke kantor Liana

Christanty, 52, dengan raut muka bingung dan lelah. Si perempuan mengaku sedang hamil akibat diperkosa saat tak sadarkan diri dalam per-jalanan menuju Surabaya. Ia tak berani pulang.

“Saya bisa bilang dia jangan aborsi karena bagaimanapun, anak itu berharga di hadap-an Tuhan. Tapi, tindakan apa selanjutnya? Kan dia sendiri bingung. Lalu, kami bawa ke rumah sakit. Kebetulan bayi-nya besar, 3,5 kg. Setelah dia melahirkan, orang kampung-nya datang menengok tetapi menolak kehadiran bayi itu di kampung karena dianggap aib. Sementara, ibunya sendiri boleh pulang,” tutur perem-puan kelahiran Jember, 16 April 1959, itu kepada Media Indonesia di Jakarta, Kamis (8/12).

Liana tak bisa memaksa agar si bayi turut dibawa pulang ke kampung. Ia kemudian membawa pulang dan mem-besarkan bayi tersebut ibarat anak sendiri.

Itu tidak terjadi sekali saja. Satu waktu, ia pernah meng-urus lima bayi sekaligus yang ditinggalkan orangtua mereka. Yayasan Pondok Hayat yang didirikannya saat itu belum

memiliki tempat khusus untuk merawat anak-anak yang dite-lantarkan ibu mereka.

“Saya ingat pada saat itu, saya harus mengantarkan kelimanya untuk divaksi-nasi. Satu bayi diletakkan di kursi samping saya menyetir, empat bayi lainnya duduk di belakang bersama satu pem-bantu. Kalau sakit pas malam hari, kami harus bangun dan bergegas ke dokter,” kenang perempuan berambut ikal yang bermukim di Surabaya, Jawa Timur, itu.

Liana tak kapok. Satu per satu perempuan datang ke tempatnya untuk meminta pertolongan. Tak hanya yang berasal dari Surabaya dan seki-tarnya, Liana pun didatangi perempuan dari luar kota, bahkan luar Pulau Jawa. Ke-banyakan berlatar kelas mene-ngah ke bawah, meski ada pula yang berpendidikan tinggi. Kedatangan mereka ke tempat Liana pada umumnya karena kesadaran sendiri, tetapi bebe-rapa ada yang dijemput Liana karena kondisi kejiwaan yang tak layak.

“Saya pernah diberi tahu seseorang, ada wanita hamil yang sakit jiwa. Saya kejar dia sampai ke kuburan. Ya, eng-gak apa-apa daripada mereka tidak diurus. Jangan sampai mereka melahirkan di jalanan karena anaknya bisa tidak jelas dikemanakan,” tuturnya.

L I A N A C H R I S TA N T Y

SANG PECINTA KEHIDUPANTidak ada anak

yang berdosa. Yang berdosa

ialah ibunya dan laki-laki yang

menghamili sang ibu. Maka,

Liana Christanty merangkul para

perempuan yang hamil di luar nikah dan membimbing

mereka.

FOTO-FOTO DOK PRIBADI

Kimi Jayanti

Rancang Busana SendiriNadine Chandrawinata

Pulau tanpa Penghuni

MI/RAMDANIMI/RAMDANI

Nama:

Liana Christanty

Tempat tanggal lahir: Jember, 16 April 1959

Suami: Susilo Hardjo Prakoso

Anak:

Andreas SC Niken Dayu P Natanael SC Kezia Dayu

Pendidikan:

SLTA

Pengalaman:

Rotary Club Surabaya Selatan

Pendiri Yayasan Pondok Hayat untuk perempuan yang mengalami pelecehan seksual

Pendiri Sekolah Pelita Permai, sekolah gratis untuk anak-anak jalanan

ANAK: Liana Christanty bersama anak-anak yang ditampungnya di Yayasan Pondok Hayat. Saat ini Liana membesarkan 36 anak yang ditinggalkan orangtuanya.