lembaga hukum islam di indonesia
DESCRIPTION
Lembaga hukum Islam di indonesia, Fiqh dan Ushul FiqhTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan
hampir 80% penduduknya adalah muslim.Namun Indonesia bukanlah negara yang berasaskan
Islam, tetapi karena Indonesia merupakan negara yag berpenduduk muslim terbesar di dunia
maka banyak para ahli yang mengelompokkan Indonesia sebagai kelompok negera-negara
Islam.
Mengingat Islam di Indonesia adalah mayoritas, maka unsur Islam dalam tatanan
kehidupan masyarakat sosial sangatlah kental, tidak terkecuali dalam masalah hukum.
Dimana meskipun Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi dalam penerapan sistem hukum
nasional, Indonesia juga menggunakan asas dari unsur Islam.
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Islam,
dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis
pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang
merupakan wilayah jajahanya. Hukum Islam, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang
perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan
dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
Nusantara.
Sementara dalam hal perlembagaan hukum, unsur Islam juga banyak mewarnai
lembaga-lembaga yang ada di Indonesia, sejak zaman kolonial hingga sampai sekarang. Dan
karena pengaruh Islam sebagai agama mayoritas, di Indonesia juga banyak muncul
organisasi-organisasi Islam yang disertai dengan lembaga-lembaga fatwa yang mengkaji
tentang hukum Islam. Organisasi-organisasi itu seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI,
dan lian-lain.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya Lembaga Peradilan Islam di Indonesia?
2. Bagaimana Eksistensinya?
3. Lembaga apa sajakah yang berhak memberikan fatwa di Indonesia?
A. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Lembaga Peradilan Islam di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana eksistensi Lembaga Peradilan Islam di Indonesia.
3. Untuk mengetahui lembaga yang berwenang memberikan fatwa hukum di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lembaga Peradilan Islam di Indonesia
1. Sejarah Peradilan Islam
a. Peradilan Islam Masa Pra Kolonial1
Peradilan Islam sudah ada di Indonesia sejak Islam masuk ke Nusantara. Sebelum
kedatangan Islam, di Indonesia telah ada dua (2) jenis peradilan yaitu
peradilan pradata dan padu. Kehadiran hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum
Hindu, namun juga memasukkan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
pada umumnya walaupun hukum asli masih menunjukkan keberadaannya tetapi hukum Islam
telah masuk dikalangan penganutnya terutama dalam hukum keluarga, sehingga berdampak
pada proses pembentukan dan perkembangan peradilan Islam. Bentuk peradilan Islam
pertama di Indonesia adalah tahkim kemudin ahlul halli wal aqdi. Pertumbuhan dan
perkembangan peradilan Islam mulai terlihat pada masa kesultanan Islam yang bercorak
majemuk.
b. Peradilan Islam Masa Kolonial2
Peradilan Agama Masa Belanda
Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai
suatu system hukum telah ada dalam masyarakat tumbuh dan berkembang disamping
kebiasaan atau adat istiadat penduduk di Indonesia. Pada masa VOC pemerintah VOC
memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun compendium yang memuat hukum perkawinan
dan hukum kewarisan Islam yang disebut hukum compendium freijer, lalu mendapat koreksi
dari para ulama dan penghulu yang kemudian dijadikan sebagai pegangan oleh pengadilan
dalam menyelesaikan perkara-perkara antara umat Islam. Sebenarnya pemerintah Hindia
Belanda pada pertengahan abad ke-19 ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di
Indonesia dengan hukum Balanda. Setelah Belanda melakukan penetrasi sampai ke desa,
politik hukum pemerintah Belanda dan Hindia Belanda terhadap hukum Islam berubah tahap
demi tahap secara sistematis, karena pemerintah kolonial mencita-citakan agar Indonesia
mengalami transisi menuju dunia modern(ala barat) yang tidak bercorak Islam dan tidak
dikuasai oleh adat. Hukum Islam tahap demi tahap diperlemah dan terakhir disingkirkan dari
tata hukum Hindia Belanda.
Peradilan agama pada masa Jepang 3
Pada masa pemerintaha Jepang akibat dari penataan pada masa peralihan dari
pemerintahan Belanda kepada Jepang, dengan keinginan politik Islam pada saat itu. Jepang
menerapkan politik yang simpatik terhadap umat Islam di Indonesia dengan mengeluarkan
berbagai peraturan seperti salah satunya UU No 1 tahun 1942 tentang penegasan pemerintah
Jepang untuk meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur
Jendral Hindia Belanda. Campur tangan Jepang dalam masalah peradilan agama sangatlah
rendah, hanya melakukan pengubahan nama saja.
1Dr. Ali Sodikin,”Fiqh Ushul Fiqh”(Beranda). Hlm 233
2Drs. Cik Hasan Bisri MS,” Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia”(Logos). Hlm 69 3Ibid Ali Sodikin, hlm 241
c. Peradilan Islam Masa Kemerdekaan
Orde lama4
Menjelang proklamasi kemerdekaan, politik hukum pamerintah Hindia Belanda telah
melahirka pakar-pakar yang berfaham sekuler tetapi disamping itu masih terdapat para ulama
dan para tokoh Islam yang yang bercita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai syari’ah
menjadi hukum positif atau sumber atau dasar bagi umat Islam. Tokoh-tokoh yang berfaham
sekuler berpendirian bahwa sekulerisasi hukum merupakan ciri dari system politik modern
yang didasarkan pada (dua) 2 alasan yaitu hukum agama akan mengurangi kewenangan badan
legislative yang merupakan inti dari Negara modern atau akan mengurangi kedaulatan Negara
dan hukum agama akan menghalangin tuntutan perubahan masyarakat karena hukum agama
itu bersifat statis. Sehingga mengakibatkan terpecahnya pandangan para pemimpin Indonesia
menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama berpendirian bahwa syari’ah dan hukum Islam
hanya sebagai bahan hukum nasional tapi tdak mengikat, mengikat jika sudah diterima oleh
hukum adat. Sedangkan kelompok kedua berpendirian bahwa masyarakat yang dicita-citakan
wajib menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam yang memerlukan bantuan Negara atau
hukum yang dibuat tidak bertentangan dengan hukum Islam dan kedudukan hukum Islam
sejajar dengan hukum adat. Pada masa orde lama setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, politik
hukum pemerintah terhadap hukum Islam lebih maju yaitu unsur-unsur hukum agama dan
hukum Islam dipertahatikan seperti dalam pasal 5 UU No 5 tahun 1960 tentang peraturan
dasar pokok-pokok agraria.
Orde baru5
Kehadiran orde baru tahun 1966 memberikan harapan besar bagi perubahan
kependudukan peradilan agama di Indonesia. Peradilan agama adalah peradilan Negara yaitu
peradilan resmi yang dibentuk pemerintah dan berlaku khusus untuk orang Islam dan
menangani perkara perdata tertentu sesuai dengan hukum Islam. Tujuan yang ingin dicapai
dengan adanya kompilasi hukum Islam adalah mewujudkan beberapa hal yaitu melengkapi
pilar PA ( hukum materiil), menyamakan persepsi terhadap materi hukum, mempercepat
proses pemersatuan hukum Islam dengan menghilangkan khilafiyah yang melemahkan
potensi umat Islam, menyingkirkan paham private affair dan mempositifkan bagian tertentu
hukum Islam.
Era reformasi6
Pada era reformasi terbuka peluang yang luas bagi system hukum Islam untuk
memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia, namun tidak terdapat perubahan yang
mendasar terhadap kedudukan PA. satu-satunya perubahan struktur dan kedudukan peradilan
agama terjadi di provinsi Nangroe Aceh Darussalam berdasarka UU otonomi daerah yaitu UU
No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah.
4Ibid Cik Hasan Bisri, hlm 75 5Ibid Ali Sodikin Hlm 244 6Ibid Ali Sodikin Hlm 248
2. Eksistensi Peradialan Islam di Indonesia7
a. Peradilan Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia
Peradilan Islam atau peradilan agama merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas
keulamaan dalam member layanan agama kepada masyarakat Islam. Peradilan agama
diletakkan sebagai sebuah lembaga Yudikatif. Sebagai salah satu alat kelengkapan
pemerintahan, peradilan agama juga harus bertanggung jawab terhadap seluruh aspek
penegakan hukum Islam melalui rekrontruksi Islam yang dimaksud untuk menumbuhkan
kesadaran agar masyarakat bertingkah laku menurut hukum melalui jalan dakwah, hukum
materiil yang menjadi substansi transformasi intelektual pada tiap lembaga pendidikan Islam,
penyelenggaraan hukum keluarga, layanan fatwa hukum, dan manajemen harta agama. Dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh MA dan peradilan
dibawahnya meliputi Peradilan Umum, Agama, Militer dan Tatausaha Negara serta terdapat
Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan atau wewenang peradilan pada masing-masing lingkungan
terdiri atas wewenang relative dan wewenang mutlak (absolute). Kewenangan dan kekuasaan
PA sebagaimana tercantum dalam Bab 111 UU No.7/1989 (pasal 49-53) meliputi bidang-
bidang hukum perdata. Dengan adanya UU No. 7/1989 berarti hukum Islam telah dikukuhkan
secara sah sebagai bagian integral dari hukum nasional.
b. Kewenangan dan Otoritas Peradilan Islam
Semua lembaga pengadilan di Indonesia memiliki kewenangan dan otoritas masing-masing
sesuai dengan aturan Undang-Undang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama memiliki
kewenangan memproses perkara dan memberikan keadilan kepada orang Islam yang
berpekara berdasarkan pertimbangan hukum Islam yang berlaku. Secara hirarkis
penyelesaian perkara di peradilan agama dilksanakan melalui dua (2) lembaga yaitu
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Dasar kewenangan dan otoritas pengadilan
agama di dasarkan pada UU No 7/1989 dn UU No 3/2006. Berdasarkan aturan di dalam 2 UU
tersebut dapat disimpulkan bahwa pengadilan agama memiliki kompensasi absolute sebagai
pengadilan perdata bagi umat islam yaitu perkara kewenagannya perkara khusus. Perluasan
kewenangan absolute pengadilan agama tidak dapat dipisahkan dari asas personalitas yang
menjadi cirri khas dan juga perkembangan implementasi hukum Islam di Indonesia. Sejak
masa reformasi bergulir keinginan umat Islam untuk menegakkan hukum Islam dalam
berbagai Islam mulai terlihat misalnya system ekonomi Islam yang menjadi alternative terbaik
bagi system perekonomian dunia.
7 Ibid Ali sodikin hlm 249, 252
B. Lembaga-lembaga Pemberi Fatwa
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki misi utama
pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama. Pembaharuan dalam muhammadiyah
meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan
kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan
pembaharuan dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, sistem,
tektik, setrategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-17/1928 di Yogyakarta dibentuk susunan
pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai ketuanya KH.Mas Mansur dan sekertaris KH.Aslan Z,
dibuat anggaran dasar yang menetapkan tugas dari majelis tarjih adalah mengamati perjalanan
Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama, menerima dan mentarjih
hukum masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang
berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau
memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis tarjih dan pengembangan pemikiran islam
Muhammadiyah yang merumuskan secara dinamis aspek metodologis, yang dilakun terakhir
pada tahun 2000 di Jakarta dengan prinsip yaitu mengbah istilah al- sunnah al-sohihah
menjadi al-sunnah maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, posisi ijtihad adalah
metode bukan sumber hukum, ijtihad meliputi metode bayani, ta’lili, dan ishtilahi, manhaj
menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas dasar
prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamayaitu: prinsip al-muro’ah (konservasi), prinsip al-
tahdidsi (inovasi), dan prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan MTPPI
terhadap persoalan-persoalanyang memerlukan perpestik oleh majlis ini dinahas dengan cara
berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath lalu menarik natijah
hukumnya, hasil keputusan kemudian diajukan kepemimpinan muhammadiyah sesuai
tingkatannya yang mempunyai otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan
yang dimiliki, namun semua yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadkan tinjauan
ulang.
2. Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah serta
menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan menganut salah satu dari
mazhab. Metode istinbath hukum lajnah bahsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan
mengambil hukum secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan
sikap dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’I menempati posisi yang dominan. Metode
pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar lampung pada tahun 1992
dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang jawabannya ditemukan satu qoul
(pendapat), maka qou itu yang diambil, kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka
dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat
sama sekali dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jam’i oleh ahlinya, dan jika masalah
yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq maka
dilakukan istinbath jam’i.
3. Dewan Hisbah Persatuan Islam
Merupakan organisasi sosial Islam yang berdiri 12 September 1923, kesadaran
kehidupan berjama’ah, ber-imamah, ber-imarah dalam menyebarkan syiar islam, persis
dimaksudkan untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, yang banyak dipengaruhi oleh
aliram Wahabiyah Arab Saudi. Fungsi dan kedudukan persis termaktub dalam konon asasi
persis tahun 1957 bab 5 pasal 1 dan cara bekerja persis diatur dalam qaidah majlis ulama.
Dewan hisbah persis mempunyai tugas menyelidiki dan menetapkan hukum Islam
berdasarkan Al-qur’an dan Hadis. Metode istinbath hukum dewan hisbah persis secara
metodologi pengambilan keputusan dibagi menjadi tiga, yaitu: Ahkam Al-Syar’I, sumber
hukum, dan dilalah sunah terhadap hukum.
Metode istinbath hukum yang digunakan yaitu, kaidah ushuliyah (kebahasaan), tujuan
umum perundangan Islam, dan cara menyelesaikan nash yang terlihat bertentangan.
Meknisme ijtihad yang ditempuh oleh dewan hisbah persis yaitu: mencari keterangan dari Al-
qur’an, jika ada perbedaan pemahaman dan penafsiran maka diadakan thoriqot al-jam’I, bila
tidak terdapat dalil dari Al-qur’an maka diadakan penelitian tentang Hadis, jika tidak ada di
sunah maka dengan atsar sahabat.
4. Komisi Fatwa MUI
Merupakan wadah atau majlis yang menghimpun para ulama dan cendekiawan
muslim Indonesia, berdiri 26 juli 1975 di Jakarta, pengabdian MUI telah dirumuskan dalam 5
fungsi dan peran utamanya yaitu Pewaris Para Nabi, Pemberi Fatwa, Pembimbing dan
Pelayan Umat, Gerakan Ishlah wa Al-tajdid dan Penegak Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Metode
ijtihad MUI menggunakan sistem fatwa yang ditetapkan dalam Sidang Komisi Fatwa,
Musyawarah Nasional MUI, dan Fatwa ijtima’ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
1. Dalam sejarahnya, peradilan islam di indonesia terdapat beberapa periode, yaitu:
Peradilan Islam Masa Pra Kolonial
Bentuk peradilan Islam pertama di Indonesia adalah tahkim kemudin ahlul halli wal
aqdi. Pertumbuhan dan perkembangan peradilan Islam mulai terlihat pada masa
kesultanan Islam yang bercorak majemuk.
Peradilan Islam Masa Kolonial
◦ Peradilan Agama pada Masa Belanda
◦ Peradilan Agama pada Masa Jepang
Peradilan Islam Masa Kemerdekaan
◦ Peradilan pada Masa Orde Lama
◦ Peradilan pada Masa Orde Baru
◦ Peradilan pada Era Reformasi
2. Eksistensi Peradilan Islam di Indonesia :
Peradilan Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia
Peradilan Islam atau peradilan agama merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas
keulamaan dalam member layanan agama kepada masyarakat Islam. Peradilan agama
diletakkan sebagai sebuah lembaga Yudikatif.
Kewenangan dan Otoritas Peradilan Islam
Semua lembaga pengadilan di Indonesia memiliki kewenangan dan otoritas masing-
masing sesuai dengan aturan Undang-Undang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama
memiliki kewenangan memproses perkara dan memberikan keadilan kepada orang Islam
yang berpekara berdasarkan pertimbangan hukum Islam yang berlaku.
3. Lembaga-Lembaga Pemberi Fatwa:
◦ Majelis Tarjih Muhammadiyah
◦ Lajnah Bahsul Masail NU
◦ Dewan Hisbah Persatuan Islam
◦ Komisi Fatwa MUI
DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin, Ali. 2012. Fiqh Ushul Fiqh, “Sejarah, Metodologi, dan Implikasainya di
Indonesia”. Yogyakarta: Beranda
Arifin, Bustanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, “Akar Sejarah
Hambatan dan Prospeknya”. Jakarta : Gema Insani Press
Taufiq, dkk. 1998. Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung
: Logos
Kansil. 1983. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : PN
Balai Pustaka