lemba er -...

37
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN WAKATOBI BAGIAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN SETDA KABUPATEN WAKATOBI TAHUN 2013

Upload: vucong

Post on 16-May-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 31 TAHUN 2013

TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

HIDUP KABUPATEN WAKATOBI

BAGIAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN SETDA KABUPATEN WAKATOBI

TAHUN 2013

DAFTAR ISI

NO. URAIAN HAL

1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN WAKATOBI

1-35

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

TAHUN 2013

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 31 TAHUN 2013

TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

KABUPATEN WAKATOBI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BUPATI WAKATOBI, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat

(1) dan Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perlu menetapkan Peraturan Daerah;

b. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara, maka pembangunan daerah harus diselenggarakan secara bijaksana berdasarkan atas prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;

c. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh- sungguh dan konsisten yang melibatkan semua pemangku kepentingan;

d. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

e. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu ditetapkan Peraturan Daerah;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistimnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4339);

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);

11. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);

12. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

13. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);

14. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025);

15. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

16. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);

17. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

18. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3815), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintan Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3910);

19. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);

20. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran

Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

21. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

22. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4833);

23. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);

24. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);

25. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;

26. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;

27. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Wakatobi (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 3);

28. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda, Penanaman Modal dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Wakatobi (Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2008 Nomor 6);

29. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wakatobi Tahun 2005–2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2012 Nomor 12);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

dan

BUPATI WAKATOBI

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN

DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN WAKATOBI.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Wakatobi. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah. 3. Bupati adalah Bupati Wakatobi. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD

adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wakatobi. 5. Badan Lingkungan Hidup adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang

menyelenggarakan urusan lingkungan hidup di daerah. 6. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya,

keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

7. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

8. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

9. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

10. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup.

11. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.

12. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan dan daya tampung lingkungan hidup.

13. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain serta keseimbangan antar keduanya.

14. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan kedalamnya.

15. Sumber Daya Alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.

16. Kawasan Karst adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung sebagai penyimpan air bawah tanah secara tetap dalam bentuk akuifer, sungai bawah tanah, telaga atau danau bawah tanah yang keberadaannya mencukupi fungsi hidrologi merupakan bentukan bentang alam pada batuan karbonat yang bentuknya sangat khas berupa bukit, lembah, dolina dan guatering dibentuk melalui proses pelarutan oleh air yang terjadi secara alami.

17. Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

18. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola ruang. 19. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya

disingkat AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

20. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

21. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut SPPL adalah surat kesanggupan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL atau UKL dan UPL untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup.

22. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RKL adalah upaya penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.

23. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.

24. Baku Mutu Lingkungan Hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

25. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

26. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.

27. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

28. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

29. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan berkesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

30. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

31. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktifitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.

32. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. 33. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah

zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.

34. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.

35. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.

36. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.

37. Dampak Lingkungan Hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

38. Komisi AMDAL Daerah adalah Komisi AMDAL Kabupaten Wakatobi yang dibentuk untuk menilai kelayakan lingkungan atas Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL), Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) dan Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) suatu usaha dan/atau kegiatan.

39. Organisasi Lingkungan Hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.

40. Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap penaatan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

41. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

42. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

43. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.

44. Izin Prinsip adalah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bupati kepada pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan untuk memulai kegiatan investasi di Daerah sebagai dasar dimulainya pelaksanaan kajian AMDAL/UKL/UPL/SPPL dan Izin Lingkungan dan izin lainnya seperti Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Gangguan, dll.

45. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

46. Instansi yang berwenang adalah perangkat daerah yang berwenang memberikan keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

47. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

48. Peran serta masyarakat adalah hak yang melekat pada setiap orang yang meliputi hak demokrasi, hak kesejahteraan, dan hak keadilan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

49. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

50. Pengawasan adalah tindakan yang dilakukan untuk memantau dan menilai tingkat ketaatan pelaksana usaha dan/atau kegiatan dalam menjalankan usaha dan/atau kegiatannya yang menimbulkan dampak lingkungan baik berupa pencemaran maupun kerusakan lingkungan dan sumber daya alam terhadap peraturan yang berlaku.

51. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat PPLHD adalah Pegawai Negeri Sipil yang berada pada instansi yang bertanggung jawab di daerah yang memenuhi persyaratan tertentu dan diangkat oleh Bupati.

52. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang atau oleh Peraturan Daerah untuk melakukan penyidikan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB II

ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Bagian Kesatu Asas

Pasal 2

(1) Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah diselenggarakan berdasarkan asas :

a. tanggung jawab negara;

b. kelestarian dan keberlanjutan;

c. keserasian dan keseimbangan;

d. keterpaduan;

e. manfaat;

f. kehati-hatian;

g. ekoregion;

h. keanekaragaman hayati;

i. pencemar membayar;

j. partisipatif;

k. kearifan lokal;

l. tata kelola pemerintahan yang baik;

m. otonomi daerah; dan

n. keadilan.

(2) Setiap kebijakan dan tindakan berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah harus dilandasi asas-asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Kedua Tujuan

Pasal 3

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah bertujuan :

a. melindungi daerah dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. melestarikan dan mengembangkan kemampuan fungsi lingkungan hidup;

c. menjamin kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup disekitarnya;

d. menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. mewujudkan keselarasan, keseimbangan dan sinergitas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

f. menjamin pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan;

g. menjamin kelangsungan budaya dan kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan;

h. mewujudkan kepastian hukum dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Bagian Ketiga Ruang Lingkup

Pasal 4

Ruang lingkup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah meliputi :

a. perencanaan;

b. pemanfaatan;

c. pengendalian;

d. pemeliharaan;

e. pengawasan; dan

f. penegakan hukum.

BAB III WEWENANG PENYELENGGARAAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 5

Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Daerah berwenang : a. menetapkan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup; b. melaksanakan inventarisasi lingkungan hidup; c. menetapkan dan melaksanakan KLHS; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan RPPLH; e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai AMDAL, UKL-UPL

dan SPPL; f. mengembangkan dan melaksanakan kerjasama dan kemitraan; g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; h. memfasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan hidup; i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab

usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;

j. melaksanakan standar pelayanan minimal; k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan

masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

l. mengelola, mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup;

m. mengkoordinasikan, mengembangkan, dan mensosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;

n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; o. menerbitkan izin lingkungan; dan p. melaksanakan penegakan hukum bidang lingkungan hidup daerah.

BAB IV

PERENCANAAN

Bagian Kesatu Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 6

(1) Dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup agar dapat menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan maka Pemerintah Daerah menetapkan RPPLH Daerah.

(2) RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui tahapan :

a. inventarisasi lingkungan hidup daerah;

b. penetapan wilayah ekoregion; dan

c. penyusunan RPPLH daerah.

(3) RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

(4) RPPLH Daerah disusun berdasarkan RPPLH Nasional dan RPPLH Provinsi Sulawesi Tenggara.

(5) Penyusunan RPPLH Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan :

a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;

b. sebaran penduduk;

c. sebaran potensi sumber daya alam;

d. kearifan masyarakat;

e. aspirasi masyarakat; dan

f. perubahan iklim.

(6) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah dan rencana pembangunan jangka panjang daerah.

Bagian Kedua Inventarisasi Lingkungan Hidup

Pasal 7

(1) Inventarisasi lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (2) huruf a dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam dan tingkat kemerosotannya yang meliputi : a. potensi dan ketersediaan; b. jenis yang dimanfaatkan; c. bentuk penguasaan; d. pengetahuan pengelolaan; e. bentuk kerusakan dan tingkat kerusakan; dan f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.

(2) Pedoman teknis inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga

Wilayah Ekoregion Daerah

Pasal 8

(1) Hasil inventarisasi lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 menjadi acuan penetapan wilayah ekoregion di Daerah.

(2) Penetapan wilayah ekoregion di daerah dapat ditetapkan setelah mendapat masukan dan pertimbangan teknis Instansi yang berwewenang dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di pusat dan daerah serta tenaga ahli di bidangnya.

(3) Penetapan wilayah ekoregion di daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangan kesamaan :

a. karakteristik bentang alam;

b. iklim;

c. keanekaragaman flora dan fauna;

d. kelembagaan masyarakat;

e. kearifan masyarakat.

(4) Penetapan wilayah ekoregion di daerah sebagaimana dimaksud ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

BAB V

PEMANFAATAN

Pasal 9

(1) Pemanfaatan sumber daya alam berpedoman pada RPPLH Daerah.

(2) Dalam RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung lingkungan hidup dengan memperhatikan :

a. keberlanjutan pemanfaatan dan fungsi lingkungan hidup;

b. keberlanjutan produktifitas sumber daya alam yang dimanfaatkan; dan

c. keselamatan, kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

(3) Untuk menjamin pemanfaatan sumber daya alam sesuai daya dukung dan tampung lingkungan hidup, maka Daerah dapat menetapkan kriteria yang lebih ketat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria daya dukung dan daya tampung lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Menteri yang bertanggung jawab dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB VI PENGENDALIAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 10

(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup daerah.

(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. pencegahan;

b. penanggulangan; dan

c. pemulihan.

(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran dan tanggung jawab masing-masing.

(4) Kebijakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan secara konsisten, terpadu dan berkelanjutan.

(5) Pelaksanaan pengendalian lingkungan hidup berpedoman kepada Rencana Tata Ruang Daerah, RPPLH Daerah serta hasil KLHS Daerah.

Bagian Kedua Pencegahan

Pasal 11

Isntrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup di daerah meliputi :

a. KLHS Daerah;

b. Rencana Tata Ruang Wilayah;

c. baku mutu lingkungan hidup;

d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;

e. AMDAL;

f. UKL-UPL dan SPPL;

g. perizinan;

h. analisis resiko lingkungan hidup;

i. audit lingkungan hidup;

j. instrumen ekonomi lingkungan hidup;

k. anggaran berbasis lingkungan hidup; dan

l. instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan di daerah dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Paragraf 1

Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Pasal 12 (1) Pemerintah Daerah wajib menyusun KLHS yang merupakan kajian dari

sudut pandang berbagai sektor pembangunan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan di daerah.

(2) Pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan dan evaluasi :

a. RTRW beserta rencana rincianya, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) daerah;

b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau resiko lingkungan hidup.

(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme :

a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di daerah;

b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan daerah; dan

c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan di daerah.

Pasal 13

KLHS memuat kajian antara lain mengenai :

a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup daerah untuk pembangunan;

b. prakiraan mengenai dampak dan resiko lingkungan hidup yang akan terjadi dari usaha dan/atau kegiatan di daerah;

c. kinerja layanan/jasa ekosistem;

d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam daerah;

e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap dampak pemanasan global di daerah; dan

f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati yang ada di daerah.

Pasal 14

(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 menjadi dasar kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan daerah.

(2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan hidup sudah terlampaui, maka :

a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan daerah tersebut wajib disesuaikan dengan dokumen KLHS; dan

b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan tidak diperbolehkan lagi.

(3) KLHS disusun dan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan penyusunan KLHS diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 2 Tata Ruang

Pasal 15

(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi Lingkungan Hidup dan keselamatan masyarakat, maka perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS;

(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Paragraf 3 Baku Mutu Lingkungan Hidup

Pasal 16

(1) Pencemaran lingkungan hidup diukur berdasarkan standar baku mutu lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan.

(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi :

a. baku mutu air;

b. baku mutu air limbah;

c. baku mutu air laut;

d. baku mutu udara ambient;

e. baku mutu emisi;

f. baku mutu gangguan; dan

g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Setiap orang diperbolehkan membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan syarat :

a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapatkan izin dari Menteri, Gubernur atau Bupati sesuai kewenangannya.

(4) Guna kepentingan konservasi lingkungan hidup, maka daerah dapat menetapkan kriteria yang lebih ketat atas baku mutu lingkungan hidup di daerah.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin membuang limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4) akan ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 4 Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup

Pasal 17

(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem, dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim.

(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi :

a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;

b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;

d. kriteria baku kerusakan mangrove;

e. kriteria baku kerusakan padang lamun;

f. kriteria baku kerusakan gambut;

g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau

h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 5 AMDAL

Pasal 18

(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki dokumen AMDAL.

(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria :

a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;

b. luas wilayah penyebaran dampak;

c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;

e. sifat kumulatif dampak;

f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau

g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan AMDAL meliputi usaha dan/atau kegiatan :

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;

c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

d. proses kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;

f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan dan jasad renik;

g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;

h. kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau

i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

(4) Kriteria lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki dokumen AMDAL akan diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 19

Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 merupakan dokumen yang menjadi dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup yang memuat :

a. kajian dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;

b. evaluasi kegiatan disekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;

c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;

d. prakiraan terhadap jenis dan besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;

e. evaluasi secara menyeluruh terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan

f. rencana pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup.

Pasal 20 (1) Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 wajib disusun

oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan setelah keluarnya izin prinsip.

(2) Dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melibatkan masyarakat dan pemerhati lingkungan.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

a. masyarakat yang terkena dampak;

b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau

c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.

(4) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip keterbukaan dan diumumkan sebelum kegiatan dilaksanakan.

(5) Masyarakat dan pemerhati lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL.

(6) Tata cara pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan prosedur pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Pasal 21 (1) Dalam menyusun dokumen AMDAL, pemrakarsa sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20 dapat meminta bantuan kepada pihak lain.

(2) Penyusun dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun AMDAL sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Kriteria dan tata cara untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusunan AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang membidangi urusan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 22

(1) Dokumen AMDAL dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL Daerah.

(2) Komisi Penilai AMDAL Daerah dan keanggotaannya dibentuk dengan Keputusan Bupati.

(3) Komisi Penilai AMDAL dibantu oleh Tim Teknis dan Sekretariat Komisi Penilai AMDAL Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup.

(4) Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai AMDAL Daerah, Bupati menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup.

Paragraf 6

UKL-UPL dan SPPL

Pasal 23

(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Rekomendasi UKL-UPL.

(2) Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Lingkungan Hidup berdasarkan hasil penilaian tim teknis UKL-UPL.

(3) Kriteria jenis usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan memiliki UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

(4) Prosedur dan tata cara pemeriksaan dan penetapan rekomendasi UKL-UPL ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Lingkungan Hidup.

Pasal 24

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak diwajibkan membuat UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) diwajibkan memiliki SPPL.

(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

a. tidak termasuk dalam kategori berdampak penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1); dan

b. kategori usaha mikro dan kecil.

Pasal 25

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah menyusun studi kelayakan lingkungan, wajib melaporkan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup secara periodik kepada Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi dan instansi terkait sesuai arahan dokumen kelayakan lingkungan hidup yang dimiliki.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya dibuat 3 (tiga) bulan sekali dan/atau mengacu pada arahan sebagaimana tercantum dalam dokumen kelayakan lingkungan hidup yang dimiliki.

Pasal 26

(1) Untuk kelancaran pemeriksaan kelayakan dokumen UKL-UPL atau SPPL, maka pemerintah daerah dapat membentuk Tim Pemeriksa yang beranggotakan instansi terkait, unsur masyarakat dan pemerhati lingkungan.

(2) Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud ayat (1) dibentuk dengan Keputusan Kepala Badan Lingkungan Hidup.

(3) Keputusan kelayakan lingkungan atas usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL atau SPPL ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Lingkungan Hidup.

Pasal 27

(1) Setiap pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyiapkan biaya Penyusunan dan Pembahasan Dokumen AMDAL dan UKL-UPL.

(2) Besarnya biaya penyusunan dan pembahasan Dokumen AMDAL dan UKL-UPL ditetapkan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan setelah mempertimbangkan tingkat kedalaman kajian, jumlah pihak yang terlibat dan tahapan pelaksanaan pembahasan dokumen.

(3) Apabila sangat perlu dilaksanakan peninjauan lapangan sebelum penerbitan kelayakan lingkungan atau rekomendasi kelayakan lingkungan, maka pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyiapkan biaya tersebut sesuai standar yang berlaku.

(4) Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan UKL-UPL wajib mendapat bantuan Pemerintah Daerah apabila tergolong ekonomi lemah.

(5) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan dokumen dan/atau pembebasan biaya pembahasan dokumen.

(6) Kriteria golongan ekonomi lemah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 28 (1) Untuk menjamin ketataan atas pengelolaan dan pematauan lingkungan

hidup di Daerah, maka setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki biaya penyusunan AMDAL atau UKL-UPL wajib menyiapkan biaya pemantauan lingkungan dan pengelolaan lingkungan dan dinyatakan secara eksplisit di dalam kontrak pelaksanaan pekerjaannya.

(2) Pemantauan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Lingkungan Hidup.

Paragraf 7 Perizinan

Pasal 29

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.

(3) Bupati dapat mendelegasikan kewenangan mengeluarkan izin lingkungan kepada Kepala Badan Lingkungan Hidup.

(4) Prosedur dan tata cara pelaksanaan AMDAL, UKL-UPL serta SPPL dan persyaratan penerbitan izin lingkungan ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Pasal 30

(1) Bupati menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan hasil penilaian AMDAL atau UKL-UPL atau SPPL.

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dapat dibatalkan apabila : a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung

kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pamalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;

b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Komisi Penilai AMDAL tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau

(3) Kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen AMDAL atau UKL-UPL atau SPPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 31

(1) Kepala Badan Lingkungan Hidup wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat.

Pasal 32

(1) Dalam hal izin lingkungan dicabut, maka izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan dengan dikeluarkan surat keputusan pembatalan.

(2) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbaharui izin lingkungan.

Paragraf 8 Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup

Pasal 33

(1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.

(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;

b. pendanaan lingkungan hidup; dan

c. insentif dan/atau disinsentif.

Pasal 34

(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a meliputi :

a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;

b. penyusunan Produk Domestik Regional Bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;

c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup; dan

d. internalisasi biaya lingkungan hidup.

(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b meliputi :

a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;

b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan

c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.

(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk :

a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;

b. pengembangan sistem lembaga keuangan yang ramah lingkungan hidup;

c. pengembangan sistem perdagangan, izin pembuangan limbah dan/atau emisi;

d. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;

e. pengembangan asuransi lingkungan hidup; dan

f. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 9 Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup

Pasal 35

(1) Pemerintah Daerah dan DPRD wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai :

a. pembinaan usaha dan/atau kegiatan ramah lingkungan;

b. pengawasan usaha dan/atau kegiatan untuk pengendalian dampak lingkungan;

c. pemulihan akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan;

d. pemulihan penurunan kualitas lingkungan hidup;

e. program pembangunan lainnya yang berwawasan lingkungan hidup; dan

f. fasilitasi pembangunan instalasi pengolahan limbah industri skala kecil.

(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud ayat (1) bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan tidak termasuk yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Tugas Pembantuan (TP) Bidang Lingkungan Hidup.

(3) Besarnya alokasi anggaran yang wajib disediakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Bagian Ketiga Penanggulangan Pencemaran dan/atau Kerusakan

Lingkungan Hidup

Pasal 36

Pemerintah Daerah melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup melalui :

a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;

b. pengisolasian lokasi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau

d. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bagian Keempat Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup

Pasal 37

(1) Pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan tahapan : a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remediasi; c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau e. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulihan fungsi lingkungan hidup

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 38 (1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat

(1) dapat menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.

(2) Dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada BLH atau sebutan lainnya untuk kemudian disimpan di Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya.

(3) Besarnya biaya pemulihan didasarkan pada besarnya perakiraan tingkat dampak yang ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan.

(4) Bupati dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan.

BAB VII

PEMELIHARAAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 39

(1) Pemerintah Daerah wajib melakukan pemeliharaan lingkungan hidup melalui upaya :

a. konservasi sumber daya alam;

b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau

c. pelestarian fungsi atmosfir.

(2) Dalam rangka pemeliharaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai kewenangannya, Bupati dapat menetapkan kebijakan skala Daerah.

Bagian Kedua Konservasi Sumber daya Alam

Pasal 40

(1) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a meliputi : a. perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; b. pengawetan sumber daya alam dan ekosistemnya; dan c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.

(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya; dan c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya. (3) Pengawetan sumber daya alam dan ekosistemnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa fauna darat,

fauna perairan, lamun, terumbu karang beserta ekosistemnya; b. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

(4) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi : a. pemanfaatan sumber daya alam di lingkungan kawasan pelestarian

alam yang dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan;

b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa/fauna liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa/fauna liar.

Bagian Ketiga Pencadangan Sumber daya Alam

Pasal 41

Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b dapat dilaksanakan melalui :

a. pembangunan taman keanekaragaman hayati di luar kawasan lindung;

b. pembangunan ruang terbuka hijau paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas wilayah Daerah;

c. perluasan zona tertutup dan zona pemanfaatan terbatas; dan

d. memelihara dan menanam pohon di luar kawasan hutan khususnya tanaman langka.

Pasal 42

(1) Pembangunan taman keanekaragaman hayati daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Taman Keanekaragaman Hayati Daerah.

(2) Pembangunan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Daerah.

(3) Rencana Induk Pengembangan Taman Keanekaragaman Hayati Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Rencana Induk Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Bagian Keempat Pelestarian Fungsi Atmosfir

Pasal 43

(1) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c meliputi : a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam

(2) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui inventaritasi Gas Rumah Kaca, penurunan emisi Gas Rumah Kaca pada sumber-sumber penyebab potensial secara terukur dan berkesimbungan.

(3) Perlindungan lapisan ozon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan melalui inventarisasi bahan pencemar ozon dan penyusunan kebijakan perlindungan lapisan ozon skala daerah.

(4) Perlindungan terhadap hujan asam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan dengan pemantauan kualitas udara, penaatan terhadap Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Mutu Emisi, pemantauan dampak hujan asam dan penyusunan kebijakan perlindungan hujan asam skala daerah.

(5) Kebijakan lapisan ozon skala daerah dan kebijakan perlindungan hujan asam skala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

BAB VIII

PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

Bagian Kesatu

Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun

Pasal 44

(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Daerah, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.

(2) Pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

Pasal 45

(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3.

(2) Apabila penghasil limbah B3 tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.

(3) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati sesuai dengan kewenangannya.

(4) Bupati sesuai kewenangannya wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola oli bekas dalam izin.

(5) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.

(6) Tata cara perizinan pengelolaan oli bekas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Bagian Ketiga

Dumping

Pasal 46

Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

Pasal 47 (1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat

dilakukan dengan izin dari menteri, gubernur, atau bupati sesuai dengan kewenangannya.

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dilokasi yang telah ditentukan.

(3) Tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX

SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN

Pasal 48

(1) Pemerintah daerah mengembangkan system informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.

(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.

(3) Sistem informasi lingkungan hidup daerah paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, ruang terbuka hijau, pengelolaan persampahan, peta rawan lingkungan hidup, informasi kearifan masyarakat dalam pengelolaan lingungan hidup dan informasi lingkungan hidup lain.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup di daerah diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB X HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN

Bagian Kesatu

Hak

Pasal 49

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 50

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkugan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan fungsi lingkungan hidup.

(3) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan dan mengakibatkan timbulnya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, wajib menanggung semua biaya penanggulangan, pemulihan lingkungan, dan kerugian kepada pihak yang terkena dampak.

(4) Setiap orang pelaku usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau kebisingan wajib melakukan pengujian kualitas udara emisi dan/atau kebisingan secara berkala.

(5) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan sesuai peraturan perundang-undangan.

(6) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang membuang air limbah wajib :

a. memiliki izin pembuangan air limbah;

b. melakukan pengujian kualitas air limbah dengan menggunakan laboratorium yang terakreditasi;

c. mengolah semua air limbah dan membuang sesuai dengan baku mutu yang dipersyaratkan sesuai peraturan perundang-undangan;

d. melaporkan hasil pengolahan air limbah meliputi debit, kadar dan beban pencemar secara berkala setiap bulannya kepada Bupati;

e. memiliki unit organisasi yang berfungsi dalam penanganan pengelolaan lingkungan hidup;

f. memiliki manajer lingkungan dan tenaga operator instalasi; dan

g. pengolahan air limbah yang bersertifikat.

Pasal 51 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban :

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu;

b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Bagian Ketiga

Larangan

Pasal 52

(1) Dalam rangka pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, maka setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang :

a. melakukan pembuangan limbah cair ke media lingkungan tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu;

b. melakukan penyimpanan dan pengumpulan limbah B3 kecuali oli bekas tanpa dilengkapi dengan izin dari pejabat yang berwenang;

c. melakukan pengembangan usaha dan/atau kegiatan yang telah ada pada kawasan lindung tanpa melakukan kajian dan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang; dan

d. melakukan usaha dan/atau kegiatan sebelum memiliki dokumen studi kelayakan lingkungan hidup;

(2) Dalam upaya pelestarian dan perlindungan fungsi lingkungan hidup, maka setiap orang dilarang :

a. melakukan penangkapan, perburuan, penangkaran dan perdagangan flora dan fauna yang mempunyai pengaruh pada kelestarian ekosistem di wilayah daerah tanpa izin Bupati kecuali untuk jenis-jenis hasil budidaya;

b. melakukan usaha dan/atau kegiatan penambangan dikawasan karst/goa tanpa izin Bupati;

c. melakukan aktifitas penambangan di bantaran sungai dan/atau sepanjang sempadan aliran sungai dan kawasan yang memiliki kelerengan lebih dari 40% (empat puluh persen).

d. melakukan pembuangan sampah atau limbah padat pada badan air, dan tempat-tempat lain yang tidak diperuntukkan sebagai tempat pembuangan sampah;

e. melakukan penangkapan ikan dan/atau biota lainnya di lingkungan perairan dengan menggunakan racun, listrik dan bahan peledak;

f. mendirikan bangunan, melakukan usaha dan/atau kegiatan ditempat yang telah ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, taman kota dan resapan air;

g. melakukan penebangan pohon, perusakan dan/atau yang menyebabkan rusak atau matinya tanaman pada tempat yang ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, turus jalan, taman kota dan resapan air tanpa izin Bupati.

BAB XI PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 53

(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Peran masyarakat dapat berupa :

a. pengawasan sosial;

b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau

c. penyampaian informasi dan/atau laporan.

(3) Peran masyarakat dilakukan untuk :

a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;

c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;

d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan

e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 54

(1) Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, Badan Lingkungan Hidup dapat melatih warga masyarakat dan membentuk kader lingkungan hidup.

(2) Kader lingkungan hidup dibentuk di masing-masing desa/kelurahan dan wilayah kecamatan.

(3) Eksistensi, peran, fungsi, dan aktifitas kader lingkungan hidup ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

BAB XII

PENGAWASAN DAN PEMBINAAN

Bagian Kesatu Pengawasan

Pasal 55

(1) Bupati sesuai kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam izin lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

(2) Bupati dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat/Kepala Badan Lingkungan Hidup.

(3) Bupati sesuai kewenangannya dapat menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup daerah yang merupakan jabatan fungsional.

Pasal 56

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat PPLH dapat melakukan koordinasi dengan PPNS.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.

(3) Pejabat pengawas lingkungan hidup berwenang :

a. melakukan pemantauan;

b. meminta keterangan;

c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan;

d. memasuki tempat tertentu;

e. memotret;

f. membuat rekaman audio visual;

g. mengambil sampel;

h. memeriksa peralatan;

i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau

j. menghentikan pelanggaran tertentu.

(4) Pengawasan dilaksanakan secara periodik dan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.

(5) Mekanisme pelaksanaan tugas dan tata cara pengawasan serta tata cata pengangkatan Pejabat PPLH dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Pembinaan

Pasal 57

(1) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi :

a. sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup;

b. pendidikan dan pelatihan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

c. rapat koordinasi sektoral; dan

d. bimbingan teknis pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

BAB XIII SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 58

(1) Bupati berwenang mengenakan sanksi administrasif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan terbukti melanggar Pasal 30.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berupa : a. teguran/peringatan tertulis; b. paksaan/perintah; c. pembekuan izin; dan d. pencabutan izin.

(3) Sanksi administrasi tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan lingkungan dan sanksi pidana.

(4) Segala biaya yang dikeluarkan untuk penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup karena terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 59

Badan Lingkungan Hidup memberikan teguran/peringatan tertulis kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan melalui mekanisme : a. teguran/peringatan tertulis pertama diberikan segera setelah ditemukan

bukti pelanggaran pada saat dilakukan pengawasan paling lama 7 (tujuh) hari kerja;

b. pemberian jangka waktu pelaksanaan perintah yang tercantum dalam teguran/peringatan tertulis pertama paling lama 30 (tiga puluh hari);

c. jika dalam 30 (tiga puluh) hari tidak melaksanakan perintah yang tercantum dalam teguran/peringatan tertulis pertama, maka diberikan teguran/peringatan tertulis kedua;

d. pemberian jangka waktu pelaksanaan perintah yang tercantum dalam teguran/peringatan tertulis kedua paling lama 30 (tiga puluh) hari.

e. jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah pemberian teguran/peringatan tertulis kedua belum ada tindakan penghentian pelanggaranmaka diberikan teguran ketiga;

f. pemberian jangka waktu pelaksanaan perintah yang tercantum dalam teguran/peringatan tertulis ketiga paling lama 30 (tiga puluh) hari.

g. jika dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberian teguran/peringatan tertulis ketiga belum ada tindakan penghentian pelanggaran maka akan dilakukan proses penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 60

(1) Bupati berwenang mengenakan sanksi administratif berupa paksaan perintah : a. penghentian mesin; b. pemindahan sarana produksi; c. penutupan saluran pembuangan limbah;

d. pembongkaran bangunan dan instalasi yang berkaitan dengan pelanggaran;

e. penyegelan tempat usaha dan/atau sarana produksi; f. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan

pelanggaran; dan/atau g. tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan

pelanggaran serta tindakan pemulihan lingkungan hidup seperti kondisi semula.

(2) Pengenaan sanksi paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digantikan dengan uang paksa yang dibayarkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan obyektif, adil dan wajar untuk kepentingan lingkungan hidup.

(3) Uang paksa yang dibayarkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seluruhnya ditujukan untuk biaya pemulihan lingkungan hidup pada lokasi terjadinya pelanggaran.

(4) Jumlah uang paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perhitungan riil biaya penanggulangan dan/atau pemulihan lingkungan hidup.

(5) Pengenaan sanksi administrastif berupa paksaan perintah dan uang paksa ditetapkan melalui Keputusan Bupati atau dapat dilimpahkan kepada Kepala Badan Lingkungan Hidup.

BAB XIV

FASILITASI PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Kesatu Umum

Pasal 61

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan.

(2) Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.

(3) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh pihak yang bersengketa.

(4) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan

Pasal 62

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai :

a. bentuk dan besarnya ganti rugi;

b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;

c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau

d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

(2) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat dilakukan melalui negosiasi, mediasi dan arbitrase baik dilakukan oleh para pihak, jasa pihak ketiga atau lembaga penyedia jasa/Lembaga Swadaya Masyarakat dan/atau Organisasi Lingkungan.

Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan

Paragraf 1 Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan

Pasal 63

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu untuk pemulihan lingkungan.

(2) Pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.

Pasal 64 (1) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap

hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. (2) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan

perundangan-undangan yang berlaku.

Pasal 65

(1) Tenggang kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Ketentuan mengenai tenggang kedaluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola limbah B3.

Paragraf 2 Hak Gugat Pemerintah Daerah

Pasal 66

Pemerintah Daerah berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.

Paragraf 3

Hak Gugat Masyarakat

Pasal 67

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan kepentingan atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4 Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup

Pasal 68

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi kecuali biaya riil atau pengeluaran riil.

(3) Organisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:

a. berbentuk badan hukum;

b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat selama 2 (dua) tahun.

Paragraf 5 Gugatan Administratif

Pasal 69

(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata Usaha Negara apabila :

a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL;

b. badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau

c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

BAB XV

PENYIDIKAN

Pasal 70

(1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia terdapat PPNS didaerah yang diberi kewenangan sebagai penyidik tindak pidana yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.

(2) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan

berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;

e. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;

f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;

h. menghentikan penyidikan; i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman

audio visual. (3) Dalam hal PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan

penyidikan, PPNS memberitahukan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan.

(4) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(5) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada penuntut umum.

(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

BAB XVI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 71

(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) Pasal Pasal 46, Pasal 52 diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah).

(2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, diancam dengan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 72 (1) Selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan

Daerah ini, setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.

(2) Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB XVIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 73

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2010 Nomor 26) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 74

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Wakatobi.

Ditetapkan di Wangi-Wangi pada tanggal 18-9-2013

BUPATI WAKATOBI,

TTD/Cap

H U G U A Diundangkan di Wangi-Wangi pada tanggal 18-9-2013 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN WAKATOBI,

TTD/Cap SUDJITON LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI TAHUN 2013 NOMOR :