lawakan magang

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank Indonesia merupakan bank sentral nasional, dimana mempunyai berbagai tugas dan fungsi dalam melaksanakan kebijakan moneter dan keuangan. Sebagai mana tertuang dalam UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan UU No.3 tahun 2004, ada tiga tugas dan fungsi yang dijalankan oleh Bank Indonesia. Tugas yang pertama, adalah Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan suku bunga (BI Rate). Perkembangan indikator tersebut dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu menggunakan

Upload: johanesmanik

Post on 29-Nov-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

adipratama

TRANSCRIPT

Page 1: Lawakan Magang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bank Indonesia merupakan bank sentral nasional, dimana mempunyai

berbagai tugas dan fungsi dalam melaksanakan kebijakan moneter dan keuangan.

Sebagai mana tertuang dalam UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

yang telah diubah dengan UU No.3 tahun 2004, ada tiga tugas dan fungsi yang

dijalankan oleh Bank Indonesia.

Tugas yang pertama, adalah Bank Indonesia sebagai otoritas moneter.

Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk

mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan

pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai

sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun

panjang. Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan suku

bunga (BI Rate). Perkembangan indikator tersebut dikendalikan melalui piranti

moneter tidak langsung, yaitu menggunakan operasi pasar terbuka, penentuan

tingkat diskonto, dan penetapan cadangan wajib minimum bagi perbankan.

Pendekatan pegendalian moneter secara tidak langsung ini telah dilakukan sejak

1983 dengan mekanisme operasional yang disesuaikan dengan dinamika

perkembangan pasar uang di dalam negeri.

Tugas kedua dari Bank Indonesia, adalah mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran. Di bidang sistem pembayaran Bank Indonesia

merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan

mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari

peredaran. Disisi lain dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem

Page 2: Lawakan Magang

pembayaran Bank Indonesia berwenang melaksanakan, memberi persetujuan dan

perizinan atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran seperti sistem transfer

dana baik yang bersifat real time, sistem kliring maupun sistem pembayaran

lainnya misalnya sistem pembayaran berbasis kartu. Untuk mewujudkan suatu

sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal, Bank Indonesia secara

terus menerus melakukan pengembangan sesuai dengan acuan yang ditetapkan

yaitu Blue Print Sistem Pembayaran Nasional. Pengembangan tersebut

direalisasikan dalam bentuk kebijakan dan ketentuan yang diarahkan pada

pengurangan risiko pembayaran antar bank dan peningkatan efisiensi pelayanan

jasa sistem pembayaran.

Tugas ketiga dari Bank Indonesia, adalah mengatur dan mengawasi bank.

Tugas mengatur dan mengawasi bank merupakan salah satu tugas yang penting

khususnya dalam rangka menciptakan system perbankan yang pada akhirnya

dapat mendorong efektivitas kebijakan moneter. Perbankan selain menjalankan

fungsi intermediasi, juga berfungsi sebagai media transmisi kebijakan moneter

serta pelayan jasa system pembayaran. Dalam rangka tugas mengatur dan

mengawasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan

mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank,

melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Bank Indonesia merupakan sebuah badan hukum publik yang

independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/ atau pihak-pihak lainnya

kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU. Dalam melaksanakan

tugas diatas, Bank Indonesia tidak mendapat pembiayaan dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong sebagai suatu lembaga

yang otonom. Surplus yang diterima oleh Bank Indonesia diperoleh atas dasar

selisih dari penerimaan dan pengeluaran Bank Indonesia. Penerimaan terbesar

dari Bank Indonesia diperoleh dari kewenangannya untuk mengelola cadangan

Page 3: Lawakan Magang

devisa, kegiatan pasar uang, pemberian kredit dan pembiayaan, memberikan

sanksi denda kepada perbankan, dan dari memungut biaya penyelenggaraan

kliring. Sedangkan pengeluaran Bank Indonesia adalah dari operasi pasar

terbuka, biaya pengelolaan devisa, pinjaman luar negeri, penyelenggaraan sistem

pembayaran tunai dan non tunai, dan lain-lain.

Jika dilihat dari status Bank Indonesia dalam bidang Undang-Undang

perpajakan, surplus yang diterima Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan,

hal ini sesuai dengan UU PPh pasal 4 ayat 1 huruf (s) yang menyatakan bahwa

surplus Bank Indonesia dikenakan PPh dan merupakan objek pajak. UU tersebut

merupakan hasil dari amandemen UU no. 17 tahun 2000 tentang perubahan

kedua UU no 7 tahun 1989 tentang pajak penghasilan, yang merupakan

perluasan objek pajak penghasilan dengan tujuan mengoptimalkan penerimaan

Negara dari surplus Bank Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bentuk

reformasi di bidang perpajakan. Menurut Eugene (2005) meskipun perubahan

pajak disebabkan oleh berbagai alasan, namun tujuan mendasarnya adalah untuk

meningkatkan penerimaan. Seiring semakin pentingnya penerimaan pajak maka

dapat dipahami bila tujuan mendasar dari reformasi perpajakan di Indonesia

adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini juga sejalan dengan salah

satu fungsi pajak yaitu fungsi budgeting. (Nurmantu, 2005)

Seperti yang diketahui sebelumnya pada UU no 23 tahun 1999, Surplus

Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan dengan pertimbangan agar

pemenuhan kecukupan modal Bank Indonesia sebesar sepuluh persen dari

kewajiban moneter dapat tercapai. Meskipun begitu, saat modal Bank Indonesia

sudah mencapai sepuluh persen dari kewajiban moneter, sebagian dari surplus

yang diterima Bank Indonesia tetap diserahkan kepada Negara melalui

pemerintah.

Page 4: Lawakan Magang

Kebijakan menetapkan surplus atas Bank Indonesia sebagai objek pajak

secara tidak langsung menjadikan Bank Indonesia sebagai wajib pajak badan.

Hal ini mengundang berbagai pandangan yang berbeda baik yang setuju maupun

tidak, dan tentunya mengubah mekanisme kewajiban perpajakan di Bank

Indonesia.

1.2 Pokok Permasalahan

Disini penulis akan melakukan tinjauan atas status Wajib Pajak Badan

yang di jalankan oleh Bank Indonesia atas Surplusnya yang dikenakan pajak

penghasilan. Dengan munculnya kontroversi atas kebijakan yang menetapkan

surplus atas Bank Indonesia sebagai objek pajak, penulis akan memberi analisis

atas pandangan yang muncul baik yang setuju dan yang tidak dengan kebijakan

ini. Pertanyaan yang muncul dapat dirumuskan seperti berikut:

1. Apa manfaat dan perubahan yang terjadi terhadap Bank Indonesia dengan

di tetapkannya surplus Bank Indonesia sebagai objek pajak penghasilan?

2. Bagaimana analisis dari pandangan yang muncul dengan adanya kebijakan

ini?

3. Apakah penetapan surplus Bank Indonesia sudah tepat melihat dari sisi

Bank Indonesia sebagai bank sentral dan dari sisi Negara

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan Penulisan laporan akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan hasil tinjauan dari perubahan pada sektor perpajakan

yang terjadi pada Bank Indonesia atas ditetapkannya surplus atas Bank

Indonesia sebagai objek pajak dan Bagaimana kewajiban perpajakan Bank

Indonesia sebagai wajib pajak badan ditinjau secara yuridis

Page 5: Lawakan Magang

2. Untuk menganalisis tepat tidaknya kebijakan menetapkan surplus atas

Bank Indonesia sebagai objek pajak penghasilan dari sisi Bank Indonesia

sebagai Bank Sentral Indonesia

1.4 Kerangka Teori

1.4.1 Teori Kebijakan Publik

Kebijakan publik merupakan salah satu kajian yang menarik di dalam

ilmu politik. Meskipun demikian, konsep mengenai kebijakan publik lebih

ditekankan pada studi-studi mengenai administrasi negara. Artinya kebijakan

publik hanya dianggap sebagai proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh

negara dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Secara umum, kebijakan

publik dapat didefinisikan sebagai sebuah kebijakan atau keputusan yang dibuat

oleh pihak berwenang (dalam hal ini pemerintah) yang boleh jadi melibatkan

stakeholders lain yang menyangkut tentang publik yang secara kasar proses

pembuatannya selalu diawali dari perumusan sampai dengan evaluasi.

Ada beberapa ilmuwan politik atau tokoh-tokoh politik yang mencoba

untuk mendefinisikan arti kebijakan publik. Salah satu tokoh awal yang mencoba

untuk mendefinisikan kebijakan publik adalah Thomas Dye. Thomas Dye

mendeskripsikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dipilih oleh

pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Definisi

tersebut memang dirasa terlalu sempit untuk mendeskripsikan mengenai

kebijakan publik. Ada dua makna yang bisa diambil dari definisi Thomas Dye

tersebut. Pertama, Dye berargumen bahwa kebijakan publik itu hanya bisa dibuat

oleh pemerintah, bukan organisasi swasta. Kedua, Dye menegaskan kembali

bahwa kebijakan publik tersebut menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak

dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal tersebut, pilihan yang diambil oleh

pemerintah merupakan sebuah kesengajaan untuk melakukan atau tidak

Page 6: Lawakan Magang

melakukan sesuatu. Salah satu contohnya ketika pemerintah tidak menaikkan

pajak yang dianggap sebagai sebuah kebijakan publik juga. Salah satu sub ilmu

dari kebijakan publik adalah kebjakan fiskal.

1.4.2 Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik

Tahap-tahap kebijakan publik menurut Grindle dan thomas adalah sebagai

berikut:

Gambar 1.1 Tahap pembuatan kebijakan publik menurut

Drindle dan Thomas

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat jelas bahwa ada tiga fase

pembentukan kebijakan publik, yaitu fase agenda, penentuan keputusan dan

implementasi keputusan. Output dari ketiga fase diatas perlu di kaji ulang

melalui evaluasi kebijakan.

1.4.3 Evaluasi Kebijakan Publik

Secara teoritik siklus terakhir dalam proses kebijakan adalah evaluasi,

yang bertujuan memberikan informasi mengenai kinerja Program/kebijakan

setelah diimplementasikan. Evaluasi sangatlah penting sebagai bentuk

Page 7: Lawakan Magang

akuntabilitas public pemerintah atas kinerjanya. Namun melakukan evaluasi atas

sebuah program/kebijakan yang dapat memberikan masukan bagi

pemerintah/pembuat keputusan dengan hasil yang dapat dipertanggung-

jawabkan tidaklah mudah. Sebagian karena kesulitan yang bersifat instrinctive

(karena sifat dampak yang berdimensi luas dan dapat menyebar), juga karena

beragam kebijakan juga menuntut beragam metode pengukuran yang sesuai;

serta karena kurangnya usaha yang serius untuk itu. Untuk menghasilkan studi

evaluasi yang benar-benar berguna, maka memahami criteria evaluasi yang harus

dipenuhi, memahami metoda penelitian evaluasi, serta memilih metoda

pengukuran yang tepat adalah syaratnya.

Menurut Lester dan Stewart dalam Winarno (2008:227), evaluasi

kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda.  Tugas pertama

adalah untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh

suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Sedangkan tugas

kedua adalah untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan

berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tugas

pertama merujuk pada usaha untuk melihat apakah program kebijakan publik

mencapai tujuan atau dampak yang diinginkan ataukah tidak.

Tugas kedua dalam evaluasi kebijakan pada dasarnya berkait erat dengan

tugas yang pertama. Setelah kita mengetahui konsekuensi-konsekuensi kebijakan

melalui penggambaran dampak kabijakan publik, maka kita dapat mengetahui

apakah program kebijakan yang dijalankan sesuai atau tidak dengan dampak

yang diinginkan. Dari sini kita dapat melakukan penilaian apakah program yang

dijalankan berhasil ataukah gagal?  Dengan demikian, tugas kedua dalam

evaluasi kebijakan adalah menilai apakah suatu kebijakan berhasil atau tidak

dalam meraih dampak yang diinginkan. Dari kedua hal yang dipaparkan di atas,

maka kita dapat menarik suatu kesimpulan mengenai arti pentingnya evaluasi

dalam kebijakan publik. Pengetahuan menyangkut sebab-sebab kegagalan suatu

Page 8: Lawakan Magang

kebijakan dalam meraih dampak yang diinginkan dapat dijadikan pedoman untuk

mengubah atau memperbaiki kebijakan di masa yang akan datang.

Dengan ditetapkannya kebijakan dikenakannya pajak penghasilan atas

surplus Bank Indonesia, evaluasi yang dapat dilakukan adalah evaluasi

implementasi kebijakan. Setelah memahami evaluasi pada tahap

implementasinya, teori yang berkaitan selanjutnya adalah teori kebijakan pajak.

Evaluasi kebijakan ini berkaitan dengan fungsi pajak, asas dasar pajak, dan

syarat pemajakan.

1.4.4 Kebijakan Fiskal/Pajak

Menurut pendapat Ray M. Sommerfeld yang dikutip R.Mansury bahwa

pengertian pajak adalah: ”A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet

compulsory transfer of resources from the private to the public sector, levied on

the basis of predetermined criteria and without receipt of a specific benefit of

equal value, in order to accomplish some of nation’s economic and social

objectines”.

Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa pajak diartikan sebagai

pengalihan sumber daya dari sektor swasta kepada sektor publik (Negara),

karena penduduk yang bersangkutan mempuyai kemampuan secara ekonomis

yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan tanpa mendapat imbalan

yang langsung ditunjuk dalam rangka memenuhi tujuan ekonomi sosial

negaranya. Jadi tujuan pemungutan pajak adalah merupakan tujuan sosial dan

ekonomi suatu bangsa yang ingin dicapai melalui pengeluaran publik, dalam

konteks Indonesia pengeluaran publik tersebut tercermin dalam APBN.

Berikut dikemukakan pendapat R. Mansury bahwa tujuan kebijakan

perpajakan adalah sama dengan kebijakan publik pada umumnya, yaitu

menpunyai tujuan pokok:

Page 9: Lawakan Magang

1) untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran

2) distribusi penghasilan yang lebih adil, dan

3) stabilitas.

Jadi tujuan pokok kebijakan perpajakan tersebut sebagai upaya untuk

meningkatkan kesejahteraan melalui pajak yaitu dengan penggunaan sumberdaya

yang terkumpul untuk pembentukan barang modal publik dan pengeluaran

belanja negara lainnya yang berhubungan dengan pembangunan. Selanjutnya R.

Mansury mengutip pernyataan Bird, yaitu walaupun banyak negara berkembang

mempergunakan fasilitas pajak untuk mendorong investasi swasta dalam barang-

barang modal baru, paling sedikit dalam jenis-jenis usaha tertentu. Namun Bird

menyatakan kesangsiannya atas efektifitas pemakaian fasilitas pajak itu untuk

mendorong investasi swasta. Hal ini karena belum mempunyai cukup bukti

empiris tentang hubungan antara faktor-faktor keuangan yang dipengaruhi

kebijakan perpajakan dan faktor-faktor riil yang menjadi dasar kinerja

pertumbuhan.

Soemitro memberikan pengertian istilah fiscal policy adalah istilah yang

sudah lazim dipakai dalam hukum pajak internasional. Di Indonesia istilah ini

pertama kali diperkenalkan Djojohadikoesoemo pada tahun 1954, dalam

tulisannya yang berjudul ‘Fiscal Policy, Foreign Exchange Control and

Economic Development’ Beliau mendefinisikan fiscal policy sebagai berikut:

“Fiscal Policy is an instrument of development must therefore have a

simultaneous purpose of directly finding the necessary funds for public

investment, or indirectly channeling private savings to productive sectors, as

well as of proventing the kind of spending that impedes development”.

Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai suatu instrumen dalam mencapai

suatu tujuan tertentu yang dilakukan secara serempak, baik secara langsung

Page 10: Lawakan Magang

dapat memperoleh dana yang diperlukan untuk investasi publik (negara), atau

secara tidak langsung menggali uang tabungan pribadi ke sektor produktif,

sehingga dapat dinyatakan kebijakan fiskal itu sebagai suatu instrumen

pengembangan harus didasarkan pada suatu kombinasi progresif yang tinggi,

baik langsung ataupun tidak dalam fleksibilitas perpajakan kedalam suatu sistem

untuk merangsang investasi yang diinginkan. Namun dari sisi lain kurangnya

koordinasi merupakan problem yang sering terjadi pada saat pembuatan suatu

tax policy , menurut Thuronyi yang di negara-negara maju juga sering terjadi,

disebabkan adanya tiga komponen utama dalam merumuskan formulasi tax

policy yaitu: pengembangan kebijakan (policy development); analisa teknis

(technical analysis); dan pengkonsepan berdasarkan undang-undang (statutory

drafting).

Musgrave memberikan pandangan yang adil tentang distribusi beban

pajak, beban administrasi dan pengaruh insentif pajak terhadap penerimaaan

pajak. Disamping empat azas yang telah disebutkan Adam Smith, ia juga

menekankan pada tiga azas lainnya yaitu:

(1) azas netralitas (neutrality);

(2) azas perbaikan (reformation); dan

(3) azas kestabilan dan pertumbuhan (growth and stability).

1.4.5 Definisi Pajak

Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia

adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat

jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik

Indonesia. Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian

Page 11: Lawakan Magang

secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor

pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat

dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada

pengertian pajak antara lain sebagai berikut:

1. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

(dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.

Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk

menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai

kesejahteraan umum.

2. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang KUP, pajak adalah kontribusi

wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan

imbalan secara lagsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

3. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan

perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan

pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam

undang-undang".

4. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum

pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin

maupun pembangunan.

Pajak berperan penting bagi suatu Negara dalam melaksanakan

pemerintahannya atau menjalankan fungsi-fungsi Negara. Menurut Rosdiana dan

Irianto dalam buku Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Ilmplementasi di

Indonesia (2012:44), fungsi pajak dapat digolongkan menjadi dua kategori besar

yaitu budgetair dan instrumen politik.

Page 12: Lawakan Magang

Sebagai budgetair, pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang

akan digunakan untuk membiayai pembangunan dan pengeluaran-pengeluaran

Negara. Oleh karena itu, penerimaan Negara dari pajak harus mencukupi

pembiayaan pengeluaran Negara. Jika tidak, penyediaan jasa publik dapat

terganggu dan pemerintah juga mungkin tidak mempunyai banyak kesempatan

mengeluarkan pembiayaan dan investasi serta menyediakan dana tidak terduga

(Gunadi, Rumitnya Menggapai Rencana Penerimaan Pajak, Bisnis Indonesia, 20

Agustus 2007). Menurut Rosdiana dan Irianto, pajak dianggap sebagai sumber

penerimaan Negara yang aman, murah, dan berkelanjutan. Pajak dapat

dikategorikan aman dan murah karena pajak merupakan penerimaan Negara

yang tidak memiliki dampak negatif terlalu besar apabila jika dibandingkan

dengan jenis penerimaan Negara pencetakan uang Negara secara berlebihan yang

dapat mengakibatkan inflasi atau mengandalkan pinjaman hutang luar negeri

dengan bunga yang tinggi. Dikatakan berkelanjutan karena pajak dapat dipungut

dan/atau dipotong dari berbagai jenis kegiatan yang dilakukan masyarakat.

Radian, sebagaimana dikutip Gunadi, dan dikutip kembali oleh Rosidiana dan

Irianto dalam buku Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Ilmplementasi di

Indonesia (2012:46), menyatakan bahwa jumlah penerimaan Negara dari sektor

pajak merupakan fungsi dari kebijakan dan implementasi yang dipengaruhi oleh

nilai-nilai politik (seberapa banyak porsi PDB yang akan dikenakan pajak,

kesejahteraan masyarakat dan struktur politik) dan adanya kemungkinan-

kemungkinan yang terjadi dalam penerimaan pajak.

Selain itu, pajak berfungsi sebagai alat instrumen politik. Selain berfungsi

sebagai penerimaan Negara pajak juga berfungsi dalam mengatur dan

mempengaruhi pola konsumsi, perilaku, dan keberlangsungan hidup masyarakat.

Hal ini dilakukan agar pelaksanaan fungsi pajak sebagai budgetair dapat berjalan

dengan lancar dan terjadi keseimbangan dalam Negara dari berbagai aspek, baik

dari segi keamanan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Sebagai

Page 13: Lawakan Magang

instrumen politik, pajak dapat dielaborasi dalam beberapa fungsi yaitu sebagai

instrumen keadilan dan pemerataan, pembangunan, ketenagakerjaan, dan

kebijakan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.

Pajak dikenakan kepada subjek pajak, dimana merupakan pihak-pihak

yang dikenai kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban

perpajakannya. Subjek pajak dapat berupa perorangan atau badan.

1.4.6 Subjek Pajak

Subjek pajak adalah siapa-siapa yang menjadi sasaran untuk dikenakan

pajak oleh undang-undang (Mansury,2002). Pada Pasal 2 ayat 1 UU no. 36

tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983

tentang pajak penghasilan menyebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak

adalah:

a. Orang pribadi

b. Badan;

c. Bentuk Usaha tetap

Dalam pasal 2 ayat 3 huruf b UU PPh disebutkan bahwa subjek pajak

dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di

Indonesia kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi criteria

sebagai berikut:

1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan

2. Pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara

atau anggaran pendapatan dan belanja daerah

3. Penerimaannya dimasukkan kedalam anggaran pemerintah pusat atau

pemerintah daerah,

4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat-aparat fungsional Negara.

Page 14: Lawakan Magang

Sesuai dengan pasal diatas, maka dapat dilihat apakah Bank Indonesia

memenuhi kriteria sebagai subjek pajak atau bukan. Apabila dilihat dari dasar

berdirinya, Pembentukan Bank Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-

undangan yakni Undang-Undang Bank Indonesia. Jadi Bank Indonesia berdiri

karena adanya perintah undang-undang, dan berbeda dari perusahaan biasa yang

berdirinya bukan berdasarkan Undang-Undang. Lalu setiap tahun, Bank

Indonesia melakukan pembukuan yang diperiksa oleh aparat fungsional Negara ,

yakni BPK. Hal ini diatur dalam pasal 61 UU no. 23 tahun1999 sebagaimana

diubah dengan UU no. 4 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Jika melihat dua

criteria ini, maka Bank Indonesia dapat dikategorikan sebagai bukan subjek

pajak. Namun, penerimaan Bank Indonesia tidak dimasukkan kedalam anggaran

pemerintah pusat ataupun daerah, walaupun apabila ratio kecukupan modal Bank

Indonesia telah melebihi 10% terdapat bagian surplus yang diserahkan

pemerintah pusat (APBN). Maka dapat disimpulkan, Bank Indonesia menjadi

subjek pajak walau hanya sebagian kriteria pada Undang-Undang yang

terpenuhi.

1.4.7 Prinsip dan Syarat Pemungutan Pajak

Dalam rangka pemenuhan rasa keadilan maka penyusunan undang-

undang pajak harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Adam Smith

dalam bukunya Wealth of Nations (Rohman Soemiro, 1990) ada empat syarat

untuk tercapainya peraturan pajak yang adil, harus jelas, tegas, dan tidak

mengandung arti ganda atau memberi peluang untuk ditafsirkan lain:

1. Kesamaan (equality), yaitu dalam pemungutan pajak orang yang berbeda

dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.  Contohnya

dalam pajak penghasilan, yang dikenakan pajak yang sama adalah orang

yang mempunyai penghasilan kena pajak yang sama, bukan orang yang

mempunyai penghasilan yang sama. Prinsip ini jika dikatikan dengan

Page 15: Lawakan Magang

Bank Indonesia maka dianggap telah memenuhi syarat dikenakan pajak

atas penghasilannya walau timbulnya penghasilan karena tugas dan

fungsinya sebagai Bank sentral.

2. Prinsip kepastian (certainly), artinya pemungutan pajak dilakukan harus

berdasarkan undang-undang, yaitu harus ada kejelasan, ketegasan, dan

adanya jaminan hukum. Jika dikaitkan dengan surplus Bank Indonesia,

maka penetapannya sebagai objek PPh dalam pasal 4 ayat 1 huruf s UU

PPh telah member kepastian Bank Indonesia merupakan objek pajak.

3. Kesenangan (convenience), artinya dalam pemungutan pajak diupayakan

pada saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang.

Seorang yang menerima gaji lebih mudah ditagih pajaknya pada saat

menerima gaji. Jika dikaitkan dengan prinsip ini, Bank Indonesia terkait,

dimana baru dikenakan pajak jika kondisi keuangannya mengalami

surplus.

4. Ekonomi (economy), artinya biaya pemungutan pajak harus lebih kecil

daripada hasil pemungutan pajak tersebut. Berdasarkan prinsip ini,

apabila terdapat biaya atau resiko dalam penetapan surplus Bank

Indonesia sebagai objek PPh itu seharusnya diperhitungkan sebagai

bagian dari biaya pemungutan pajak.

1.4.8 Bank Sentral

Bank Sentral adalah bank yang merupakan pusat struktur moneter dan

perbankan di negara yang bersangkutan dan yang melaksanakan (sejauh dapat

dilaksanakan dan untuk kepentingan ekonomi nasional) fungsi-fungsi sebagai

berikut:

1. Memperlancar lalu lintas pembayaran:

a. menciptakan uang kartal

Page 16: Lawakan Magang

b. menyelenggarakan kliring antar bank umum.

2. Sebagai bankir, agen dan penasehat pemerintah. Bank Sentral sebagai banker:

a. memelihara rekening pemerintah

b. memberikan pinjaman sementara

c. memberikan pinjaman khusus

d. melaksanakan transaksi yang menyangkut jual beli valuta asing (valas)

e. menerima pembayaran pajak

f. membantu pembayaran pemerintah dari pusat ke daerah,

g. membantu pengedaran surat berharga pemerintah

h. mengumpulkan dan menganalisis data ekonomi

Bank sentral sebagai agen dan penasehat pemerintah :

a. mengadministrasi dan mengelola hutang nasional

b. memberikan jasa pembayaran bunga atas hutang

c. memberikan saran dan informasi mengenai keadaan pasar uang dan modal.

3. Memelihara cadangan/cash reserve bank umum

4. Memelihara cadangan devisa negara :

a. internal reserve, untuk keperluan jumlah uang beredar

b. eksternal reserve, untuk alat pernbayaran internasional

Page 17: Lawakan Magang

5. Sebagai bankers bank dan lender of last resort,

6. Mengawasi kredit

7. Mengawasi bank (bank supervision):

a. Prudential Supervision: pengawasan bank yang diarahkan

agar individual bank dapat dijaga kelangsungan hidupnya

sehingga kepentingan masyarakat dapat dilindungi.

b. Monetary Supervision: menjaga nilai mata uang negara yang

bersangkutan sehingga bank tersebut dapat menjadi penyangga

kebijakan moneter maupun kebijakan ekonomi pemerintah

lainnya.

Page 18: Lawakan Magang

BAB II

GAMBARAN UMUM BANK INDONESIA

2.1 Sejarah Bank Indonesia

Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda

tahun 1949, boleh dikatakan merupakan tonggak sejarah lahirnya bank sentral di

Indonesia. Salah satu keputusan penting KMB adalah menunjuk De Javasche

Bank NV sebagai bank sentral. De Javasche Bank adalah bank komersial dan

sirkulasi milik pemerintah kolonial Hidia Belanda yang sudah berdiri sejak tahun

1828. De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank

sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.

Namun fakta sejarah juga mencatat bahwa sejak tahun 1946, bangsa

Indonesia yang memiliki sebuah bank cukup besar yaitu Bank Negara Indonesia

(BNI) 1946. Bank ini pada awalnya berstatus sebagai bank sentral dan kemudian

oleh keputusan KMB diubah menjadi bank pembangunan. Meskipun De

Javasche Bank disepakati dan diputuskan bersama oleh pemerintah Indonesia

dan pemerintah Belanda sebagai bank sentral, akan tetapi pengaruh kepentingan

kolonial dalam menentukan kebijakan masih kental. Posisi De Javasche Bank

lantas menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank snetral yang

masih berada dibawah pengaruh kepentingan lain.

Itulah sebabnya, berbagai upaya untuk mengkikis pengaruh colonial

dalam operasi bank sentral terus diupayakan. A. Karim, salah seorang pemikir

nasionalis menilai bahwa De Javasche Bank adalah alat kolonial yang tidak

cocok lagi dengan alam Indonesia merdeka. Itu pula yang menjadi alasan

perlunya perubahan tujuan dan maksud pendirian bank sentral baru yang lebih

Page 19: Lawakan Magang

sesuai dengan cita-cita setiap negara yang betul-betul merdeka baik secara politis

maupun ekonomis.

Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan

nasionalisme De Javasche Bank. Hal itu direalisasi melalui Keputusan

Pemeruintah nomor 118 tertanggal 2 Juli 1951. Titik kumulasi proses

nasionalisasi De Javasche Bank terjadi tatkala ditunjuk seorang putra bangsa

Indonesia menjadi presiden baru bank tersebut, mengakhiri tradisi sebelumnya

yang selalu dijabat oleh orang Belanda. Melalui Keputusan Presiden No.

123tanggal 12 Juli 1951, sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai presiden

baru untuk membangun bank sentral yang mandiri dan bebas dari pengaruh

kolonial.

Langkah nasionalisasi itu semakin dipertegas ketika lahir Undang-undang

No. 11 tahun 1953 tentang Pokok-Pokok Bank Sentral yang dapat disebut

merupakan jawaban atas kehendak bangsa yang berdaulat dibidang moneter dan

ekonomi dinegara sendiri (a symbol of sovereignity in monetary and economic

affairs). Sejak keluarnya UU tersebut, peran Bank Indonesia sebagai institusi

bank sentral sebuah negara yang merdeka mulai terlihat jelas.

Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank

Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral,

dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran.

Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya

dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh

DJB sebelumnya. UU menggariskan peranan pokok yang harus dijalankan oleh

Bank Indonesia, yakni sebagai penjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang,

mengembangkan sistem perbankan mengawasi kegiatan perbankan dan

penyaluran kredit bank. Saat itu, bank sentral masih merangkap pula sebagai

Page 20: Lawakan Magang

bank komersial seperti yang dijalankan oleh De Javasche Bank. Melalui UU

NO. 13/1968 peranan komersial Bank Indonesia dicabut.

Di tahun 1968, Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan

dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang

melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank

Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan

mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas

kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Kemudian pada tahun

1999, babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No.23/1999

yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah.Dualisme posisi seperti itu juga lazim terjadi di

kebanyakan bank sentral, khususnya di negara – negara berkembang. Hal inilah

yang menyebabkan bank sentral menjadi kurang indepeden mengingat sebagian

peranannya banyak dipengaruhi oleh pihak luar. Kenyataan ini tidak kuasa

ditampik oleh Bank Indonesia, bahkan hingga krisis moneter dan ekonomi

menerpa Indonesia pertangahan Juli 1997.

Selanjutnya di tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia

diamandemen dengan focus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan

tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk penguatan governance.

Di tahun 2008, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (PerPPU) No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua

atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian

dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk

meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global

melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka

Pendek dari Bank Indonesia.

Page 21: Lawakan Magang

2.2 Visi, Misi, dan Tujuan Bank Indonesia

Visi Bank Indonesia adalah Mencapai dan memelihara kestabilan nilai

rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas

sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang

berkesinambungan.

Misi Bank Indonesia adalah Menjadi lembaga bank sentral yang dapat

dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui penguatan

nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.

Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai

satu visi tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata

uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.

Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek

kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang

negara lain.

Untuk mencapai visi tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar

yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut terintegrasi

agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai

secara efektif dan efisien.

Page 22: Lawakan Magang

Gambar 2.1 Tiga Pilar Bank Indonesia

Sumber: www.bi.go.id

Pilar 1. Menetapkan Dan Melaksanakan Kebijakan Moneter

Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan

kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah

kebijakan didasarkan pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan

memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka

pendek, menengah, maupun panjang. Implementasi kebijakan moneter dilakukan

dengan menetapkan suku bunga (BI Rate). Perkembangan indikator tersebut

dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu menggunakan operasi

pasar terbuka, penentuan tingkat diskonto, dan penetapan cadangan wajib

minimum bagi perbankan.

Page 23: Lawakan Magang

Pilar 2. Mengatur Dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran

Sesuai dengan Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran. Di bidang sistem pembayaran Bank Indonesia

merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan

mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari

peredaran. Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran

Bank Indonesia berwenang melaksanakan, memberi persetujuan dan perizinan

atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran seperti sistem transfer dana baik

yang bersifat real time, sistem kliring maupun sistem pembayaran lainnya

misalnya sistem pembayaran berbasis kartu.

Sementara itu dalam kaitannya dengan pengawasan sistem pembayaran,

Bank Indonesia memiliki tanggung jawab agar masyarakat luas dapat

memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat dan aman. Fungsi

pengawasan sistem pembayaran ini selain berwenang untuk memberikan izin

operasional terhadap pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang sistem

pembayaran juga berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan sistem pembayaran baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia

maupun pihak lain di luar Bank Indonesia.

Page 24: Lawakan Magang

Pilar 3. Mengatur Dan Mengawasi Bank

Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank

Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas

kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan

atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan

ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.

Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan

mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin

pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan

atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank

untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung

maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk

pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan

tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap

laporan yang disampaikan oleh bank.

Page 25: Lawakan Magang

Pendukung : Manajemen Intern

Pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan

sistem pembayaran ditunjang oleh sektor manajeman intern. Dalam kaitannya

dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan seiring dengan perubahan tatanan

sosial politik Indonesia, kebijakan sektor manajemen intern diarahkan terutama

pada fungsi sebagai pendukung pelaksanaan tugas pokok Bank Indonesia melalui

penyediaan jasa secara cepat dan tepat. Kebijakan di bidang manajemen intern

pada intinya menyangkut pengembangan kelembagaan Bank Indonesia yang

meliputi: pengembangan organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), dan

infrastruktur.

2.3 Produk Bank Indonesia

Berdasarkan kesimpulan penulis, jika dilihat dari tujuan dan tugas-tugas

Bank Indonesia, maka produk dari Bank Indonesia yaitu:

1. Tercapainya dan terpeliharanya kestabilan rupiah

2. Kebijakan Operasi Pasar Terbuka

3. Ketetapan cadangan wajib minimum

4. Kebijakan nilai tukar

5. Kebijakan mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut,

menarik dan memusnahkan uang dari peredaran

Page 26: Lawakan Magang

6. Ketentuan pelaksanaan, persetujuan dan perizinan atas penyelenggaraan jasa

sistem pembayaran

7. Kebijakan dan ketentuan untuk pengurangan risiko pembayaran antar bank

dan peningkatan efisiensi pelayanan jasa sistem pembayaran

8. Ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prisnip ke hati –

hatian.

9. Kebijakan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan

usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan

mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

10. Kebijakan sektor manajemen intern terkait pengembangan organisasi,

Sumber Daya Manusia (SDM), dan infrastruktur.

Page 27: Lawakan Magang

2.4 Struktur Organisasi Bank Indonesia

Gambar 2.2 Struktur Organisasi Bank Indonesia

Sumber: bi.go.id

Page 28: Lawakan Magang

2.5 Organisasi dan Manajemen Instansi

Organisasi Bank Indonesia dikelompokkan dalam tiga bidang utama yang

menggambarkan tugas-tugas pokoknya, yaitu Moneter, Perbankan, dan Sistem

Pembayaran. Disamping itu, terdapat pula fungsi manajemen intern sebagai unit

pendukung strategis (strategic support) untuk menjamin agar pelaksanaan tugas

ketiga bidang utama dapat berjalan lancar, efektif, dan efisien. Dalam

pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia memiliki jaringan kantor di seluruh

wilayah Indonesia yang disebut dengan Kantor Bank Indonesia (KBI) dan

beberapa perwakilan di luar negeri yang disebut dengan Kantor Perwakilan

(KPw).

Page 29: Lawakan Magang

BAB III

ANALISIS & PEMBAHASAN

3.1 Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

Dilihat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan Bank

Indonesia sebagai lembaga negara yang independen tidak sejajar dengan

lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa

Keuangan, dan Mahkamah Agung. Kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama

dengan Departemen karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar

pemerintahan. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank

Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai Otoritas Moneter

secara lebih efektif dan efisien. Meskipun Bank Indonesia berkedudukan sebagai

lembaga negara independen, dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia

mempunyai hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK,

Pemerintah dan pihak lainnya. Dalam hubungannya dengan Presiden dan DPR,

Bank Indonesia setiap awal tahun anggaran menyampaikan informasi tertulis

mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter dan rencana kebijakan

moneter yang akan datang. Khusus kepada DPR, pelaksanaan tugas dan

wewenang setiap triwulan dan sewaktu-waktu bila diminta oleh DPR. Selain itu,

Bank Indonesia menyampaikan rencana dan realiasasi anggaran tahunan kepada

Pemerintah dan DPR. Dalam hubungannya dengan BPK, Bank Indonesia wajib

menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada BPK.