lawakan magang
DESCRIPTION
adipratamaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bank Indonesia merupakan bank sentral nasional, dimana mempunyai
berbagai tugas dan fungsi dalam melaksanakan kebijakan moneter dan keuangan.
Sebagai mana tertuang dalam UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
yang telah diubah dengan UU No.3 tahun 2004, ada tiga tugas dan fungsi yang
dijalankan oleh Bank Indonesia.
Tugas yang pertama, adalah Bank Indonesia sebagai otoritas moneter.
Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan
pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai
sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun
panjang. Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan suku
bunga (BI Rate). Perkembangan indikator tersebut dikendalikan melalui piranti
moneter tidak langsung, yaitu menggunakan operasi pasar terbuka, penentuan
tingkat diskonto, dan penetapan cadangan wajib minimum bagi perbankan.
Pendekatan pegendalian moneter secara tidak langsung ini telah dilakukan sejak
1983 dengan mekanisme operasional yang disesuaikan dengan dinamika
perkembangan pasar uang di dalam negeri.
Tugas kedua dari Bank Indonesia, adalah mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran. Di bidang sistem pembayaran Bank Indonesia
merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan
mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari
peredaran. Disisi lain dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran Bank Indonesia berwenang melaksanakan, memberi persetujuan dan
perizinan atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran seperti sistem transfer
dana baik yang bersifat real time, sistem kliring maupun sistem pembayaran
lainnya misalnya sistem pembayaran berbasis kartu. Untuk mewujudkan suatu
sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal, Bank Indonesia secara
terus menerus melakukan pengembangan sesuai dengan acuan yang ditetapkan
yaitu Blue Print Sistem Pembayaran Nasional. Pengembangan tersebut
direalisasikan dalam bentuk kebijakan dan ketentuan yang diarahkan pada
pengurangan risiko pembayaran antar bank dan peningkatan efisiensi pelayanan
jasa sistem pembayaran.
Tugas ketiga dari Bank Indonesia, adalah mengatur dan mengawasi bank.
Tugas mengatur dan mengawasi bank merupakan salah satu tugas yang penting
khususnya dalam rangka menciptakan system perbankan yang pada akhirnya
dapat mendorong efektivitas kebijakan moneter. Perbankan selain menjalankan
fungsi intermediasi, juga berfungsi sebagai media transmisi kebijakan moneter
serta pelayan jasa system pembayaran. Dalam rangka tugas mengatur dan
mengawasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan
mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank,
melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Bank Indonesia merupakan sebuah badan hukum publik yang
independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/ atau pihak-pihak lainnya
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU. Dalam melaksanakan
tugas diatas, Bank Indonesia tidak mendapat pembiayaan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong sebagai suatu lembaga
yang otonom. Surplus yang diterima oleh Bank Indonesia diperoleh atas dasar
selisih dari penerimaan dan pengeluaran Bank Indonesia. Penerimaan terbesar
dari Bank Indonesia diperoleh dari kewenangannya untuk mengelola cadangan
devisa, kegiatan pasar uang, pemberian kredit dan pembiayaan, memberikan
sanksi denda kepada perbankan, dan dari memungut biaya penyelenggaraan
kliring. Sedangkan pengeluaran Bank Indonesia adalah dari operasi pasar
terbuka, biaya pengelolaan devisa, pinjaman luar negeri, penyelenggaraan sistem
pembayaran tunai dan non tunai, dan lain-lain.
Jika dilihat dari status Bank Indonesia dalam bidang Undang-Undang
perpajakan, surplus yang diterima Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan,
hal ini sesuai dengan UU PPh pasal 4 ayat 1 huruf (s) yang menyatakan bahwa
surplus Bank Indonesia dikenakan PPh dan merupakan objek pajak. UU tersebut
merupakan hasil dari amandemen UU no. 17 tahun 2000 tentang perubahan
kedua UU no 7 tahun 1989 tentang pajak penghasilan, yang merupakan
perluasan objek pajak penghasilan dengan tujuan mengoptimalkan penerimaan
Negara dari surplus Bank Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bentuk
reformasi di bidang perpajakan. Menurut Eugene (2005) meskipun perubahan
pajak disebabkan oleh berbagai alasan, namun tujuan mendasarnya adalah untuk
meningkatkan penerimaan. Seiring semakin pentingnya penerimaan pajak maka
dapat dipahami bila tujuan mendasar dari reformasi perpajakan di Indonesia
adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini juga sejalan dengan salah
satu fungsi pajak yaitu fungsi budgeting. (Nurmantu, 2005)
Seperti yang diketahui sebelumnya pada UU no 23 tahun 1999, Surplus
Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan dengan pertimbangan agar
pemenuhan kecukupan modal Bank Indonesia sebesar sepuluh persen dari
kewajiban moneter dapat tercapai. Meskipun begitu, saat modal Bank Indonesia
sudah mencapai sepuluh persen dari kewajiban moneter, sebagian dari surplus
yang diterima Bank Indonesia tetap diserahkan kepada Negara melalui
pemerintah.
Kebijakan menetapkan surplus atas Bank Indonesia sebagai objek pajak
secara tidak langsung menjadikan Bank Indonesia sebagai wajib pajak badan.
Hal ini mengundang berbagai pandangan yang berbeda baik yang setuju maupun
tidak, dan tentunya mengubah mekanisme kewajiban perpajakan di Bank
Indonesia.
1.2 Pokok Permasalahan
Disini penulis akan melakukan tinjauan atas status Wajib Pajak Badan
yang di jalankan oleh Bank Indonesia atas Surplusnya yang dikenakan pajak
penghasilan. Dengan munculnya kontroversi atas kebijakan yang menetapkan
surplus atas Bank Indonesia sebagai objek pajak, penulis akan memberi analisis
atas pandangan yang muncul baik yang setuju dan yang tidak dengan kebijakan
ini. Pertanyaan yang muncul dapat dirumuskan seperti berikut:
1. Apa manfaat dan perubahan yang terjadi terhadap Bank Indonesia dengan
di tetapkannya surplus Bank Indonesia sebagai objek pajak penghasilan?
2. Bagaimana analisis dari pandangan yang muncul dengan adanya kebijakan
ini?
3. Apakah penetapan surplus Bank Indonesia sudah tepat melihat dari sisi
Bank Indonesia sebagai bank sentral dan dari sisi Negara
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan laporan akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan hasil tinjauan dari perubahan pada sektor perpajakan
yang terjadi pada Bank Indonesia atas ditetapkannya surplus atas Bank
Indonesia sebagai objek pajak dan Bagaimana kewajiban perpajakan Bank
Indonesia sebagai wajib pajak badan ditinjau secara yuridis
2. Untuk menganalisis tepat tidaknya kebijakan menetapkan surplus atas
Bank Indonesia sebagai objek pajak penghasilan dari sisi Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral Indonesia
1.4 Kerangka Teori
1.4.1 Teori Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan salah satu kajian yang menarik di dalam
ilmu politik. Meskipun demikian, konsep mengenai kebijakan publik lebih
ditekankan pada studi-studi mengenai administrasi negara. Artinya kebijakan
publik hanya dianggap sebagai proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh
negara dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Secara umum, kebijakan
publik dapat didefinisikan sebagai sebuah kebijakan atau keputusan yang dibuat
oleh pihak berwenang (dalam hal ini pemerintah) yang boleh jadi melibatkan
stakeholders lain yang menyangkut tentang publik yang secara kasar proses
pembuatannya selalu diawali dari perumusan sampai dengan evaluasi.
Ada beberapa ilmuwan politik atau tokoh-tokoh politik yang mencoba
untuk mendefinisikan arti kebijakan publik. Salah satu tokoh awal yang mencoba
untuk mendefinisikan kebijakan publik adalah Thomas Dye. Thomas Dye
mendeskripsikan kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dipilih oleh
pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Definisi
tersebut memang dirasa terlalu sempit untuk mendeskripsikan mengenai
kebijakan publik. Ada dua makna yang bisa diambil dari definisi Thomas Dye
tersebut. Pertama, Dye berargumen bahwa kebijakan publik itu hanya bisa dibuat
oleh pemerintah, bukan organisasi swasta. Kedua, Dye menegaskan kembali
bahwa kebijakan publik tersebut menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal tersebut, pilihan yang diambil oleh
pemerintah merupakan sebuah kesengajaan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Salah satu contohnya ketika pemerintah tidak menaikkan
pajak yang dianggap sebagai sebuah kebijakan publik juga. Salah satu sub ilmu
dari kebijakan publik adalah kebjakan fiskal.
1.4.2 Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik
Tahap-tahap kebijakan publik menurut Grindle dan thomas adalah sebagai
berikut:
Gambar 1.1 Tahap pembuatan kebijakan publik menurut
Drindle dan Thomas
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat jelas bahwa ada tiga fase
pembentukan kebijakan publik, yaitu fase agenda, penentuan keputusan dan
implementasi keputusan. Output dari ketiga fase diatas perlu di kaji ulang
melalui evaluasi kebijakan.
1.4.3 Evaluasi Kebijakan Publik
Secara teoritik siklus terakhir dalam proses kebijakan adalah evaluasi,
yang bertujuan memberikan informasi mengenai kinerja Program/kebijakan
setelah diimplementasikan. Evaluasi sangatlah penting sebagai bentuk
akuntabilitas public pemerintah atas kinerjanya. Namun melakukan evaluasi atas
sebuah program/kebijakan yang dapat memberikan masukan bagi
pemerintah/pembuat keputusan dengan hasil yang dapat dipertanggung-
jawabkan tidaklah mudah. Sebagian karena kesulitan yang bersifat instrinctive
(karena sifat dampak yang berdimensi luas dan dapat menyebar), juga karena
beragam kebijakan juga menuntut beragam metode pengukuran yang sesuai;
serta karena kurangnya usaha yang serius untuk itu. Untuk menghasilkan studi
evaluasi yang benar-benar berguna, maka memahami criteria evaluasi yang harus
dipenuhi, memahami metoda penelitian evaluasi, serta memilih metoda
pengukuran yang tepat adalah syaratnya.
Menurut Lester dan Stewart dalam Winarno (2008:227), evaluasi
kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda. Tugas pertama
adalah untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh
suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Sedangkan tugas
kedua adalah untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan
berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tugas
pertama merujuk pada usaha untuk melihat apakah program kebijakan publik
mencapai tujuan atau dampak yang diinginkan ataukah tidak.
Tugas kedua dalam evaluasi kebijakan pada dasarnya berkait erat dengan
tugas yang pertama. Setelah kita mengetahui konsekuensi-konsekuensi kebijakan
melalui penggambaran dampak kabijakan publik, maka kita dapat mengetahui
apakah program kebijakan yang dijalankan sesuai atau tidak dengan dampak
yang diinginkan. Dari sini kita dapat melakukan penilaian apakah program yang
dijalankan berhasil ataukah gagal? Dengan demikian, tugas kedua dalam
evaluasi kebijakan adalah menilai apakah suatu kebijakan berhasil atau tidak
dalam meraih dampak yang diinginkan. Dari kedua hal yang dipaparkan di atas,
maka kita dapat menarik suatu kesimpulan mengenai arti pentingnya evaluasi
dalam kebijakan publik. Pengetahuan menyangkut sebab-sebab kegagalan suatu
kebijakan dalam meraih dampak yang diinginkan dapat dijadikan pedoman untuk
mengubah atau memperbaiki kebijakan di masa yang akan datang.
Dengan ditetapkannya kebijakan dikenakannya pajak penghasilan atas
surplus Bank Indonesia, evaluasi yang dapat dilakukan adalah evaluasi
implementasi kebijakan. Setelah memahami evaluasi pada tahap
implementasinya, teori yang berkaitan selanjutnya adalah teori kebijakan pajak.
Evaluasi kebijakan ini berkaitan dengan fungsi pajak, asas dasar pajak, dan
syarat pemajakan.
1.4.4 Kebijakan Fiskal/Pajak
Menurut pendapat Ray M. Sommerfeld yang dikutip R.Mansury bahwa
pengertian pajak adalah: ”A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet
compulsory transfer of resources from the private to the public sector, levied on
the basis of predetermined criteria and without receipt of a specific benefit of
equal value, in order to accomplish some of nation’s economic and social
objectines”.
Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa pajak diartikan sebagai
pengalihan sumber daya dari sektor swasta kepada sektor publik (Negara),
karena penduduk yang bersangkutan mempuyai kemampuan secara ekonomis
yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan tanpa mendapat imbalan
yang langsung ditunjuk dalam rangka memenuhi tujuan ekonomi sosial
negaranya. Jadi tujuan pemungutan pajak adalah merupakan tujuan sosial dan
ekonomi suatu bangsa yang ingin dicapai melalui pengeluaran publik, dalam
konteks Indonesia pengeluaran publik tersebut tercermin dalam APBN.
Berikut dikemukakan pendapat R. Mansury bahwa tujuan kebijakan
perpajakan adalah sama dengan kebijakan publik pada umumnya, yaitu
menpunyai tujuan pokok:
1) untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
2) distribusi penghasilan yang lebih adil, dan
3) stabilitas.
Jadi tujuan pokok kebijakan perpajakan tersebut sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan melalui pajak yaitu dengan penggunaan sumberdaya
yang terkumpul untuk pembentukan barang modal publik dan pengeluaran
belanja negara lainnya yang berhubungan dengan pembangunan. Selanjutnya R.
Mansury mengutip pernyataan Bird, yaitu walaupun banyak negara berkembang
mempergunakan fasilitas pajak untuk mendorong investasi swasta dalam barang-
barang modal baru, paling sedikit dalam jenis-jenis usaha tertentu. Namun Bird
menyatakan kesangsiannya atas efektifitas pemakaian fasilitas pajak itu untuk
mendorong investasi swasta. Hal ini karena belum mempunyai cukup bukti
empiris tentang hubungan antara faktor-faktor keuangan yang dipengaruhi
kebijakan perpajakan dan faktor-faktor riil yang menjadi dasar kinerja
pertumbuhan.
Soemitro memberikan pengertian istilah fiscal policy adalah istilah yang
sudah lazim dipakai dalam hukum pajak internasional. Di Indonesia istilah ini
pertama kali diperkenalkan Djojohadikoesoemo pada tahun 1954, dalam
tulisannya yang berjudul ‘Fiscal Policy, Foreign Exchange Control and
Economic Development’ Beliau mendefinisikan fiscal policy sebagai berikut:
“Fiscal Policy is an instrument of development must therefore have a
simultaneous purpose of directly finding the necessary funds for public
investment, or indirectly channeling private savings to productive sectors, as
well as of proventing the kind of spending that impedes development”.
Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai suatu instrumen dalam mencapai
suatu tujuan tertentu yang dilakukan secara serempak, baik secara langsung
dapat memperoleh dana yang diperlukan untuk investasi publik (negara), atau
secara tidak langsung menggali uang tabungan pribadi ke sektor produktif,
sehingga dapat dinyatakan kebijakan fiskal itu sebagai suatu instrumen
pengembangan harus didasarkan pada suatu kombinasi progresif yang tinggi,
baik langsung ataupun tidak dalam fleksibilitas perpajakan kedalam suatu sistem
untuk merangsang investasi yang diinginkan. Namun dari sisi lain kurangnya
koordinasi merupakan problem yang sering terjadi pada saat pembuatan suatu
tax policy , menurut Thuronyi yang di negara-negara maju juga sering terjadi,
disebabkan adanya tiga komponen utama dalam merumuskan formulasi tax
policy yaitu: pengembangan kebijakan (policy development); analisa teknis
(technical analysis); dan pengkonsepan berdasarkan undang-undang (statutory
drafting).
Musgrave memberikan pandangan yang adil tentang distribusi beban
pajak, beban administrasi dan pengaruh insentif pajak terhadap penerimaaan
pajak. Disamping empat azas yang telah disebutkan Adam Smith, ia juga
menekankan pada tiga azas lainnya yaitu:
(1) azas netralitas (neutrality);
(2) azas perbaikan (reformation); dan
(3) azas kestabilan dan pertumbuhan (growth and stability).
1.4.5 Definisi Pajak
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia
adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat
jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian
secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat
dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada
pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.
Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk
menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai
kesejahteraan umum.
2. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang KUP, pajak adalah kontribusi
wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara lagsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam
undang-undang".
4. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun pembangunan.
Pajak berperan penting bagi suatu Negara dalam melaksanakan
pemerintahannya atau menjalankan fungsi-fungsi Negara. Menurut Rosdiana dan
Irianto dalam buku Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Ilmplementasi di
Indonesia (2012:44), fungsi pajak dapat digolongkan menjadi dua kategori besar
yaitu budgetair dan instrumen politik.
Sebagai budgetair, pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang
akan digunakan untuk membiayai pembangunan dan pengeluaran-pengeluaran
Negara. Oleh karena itu, penerimaan Negara dari pajak harus mencukupi
pembiayaan pengeluaran Negara. Jika tidak, penyediaan jasa publik dapat
terganggu dan pemerintah juga mungkin tidak mempunyai banyak kesempatan
mengeluarkan pembiayaan dan investasi serta menyediakan dana tidak terduga
(Gunadi, Rumitnya Menggapai Rencana Penerimaan Pajak, Bisnis Indonesia, 20
Agustus 2007). Menurut Rosdiana dan Irianto, pajak dianggap sebagai sumber
penerimaan Negara yang aman, murah, dan berkelanjutan. Pajak dapat
dikategorikan aman dan murah karena pajak merupakan penerimaan Negara
yang tidak memiliki dampak negatif terlalu besar apabila jika dibandingkan
dengan jenis penerimaan Negara pencetakan uang Negara secara berlebihan yang
dapat mengakibatkan inflasi atau mengandalkan pinjaman hutang luar negeri
dengan bunga yang tinggi. Dikatakan berkelanjutan karena pajak dapat dipungut
dan/atau dipotong dari berbagai jenis kegiatan yang dilakukan masyarakat.
Radian, sebagaimana dikutip Gunadi, dan dikutip kembali oleh Rosidiana dan
Irianto dalam buku Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Ilmplementasi di
Indonesia (2012:46), menyatakan bahwa jumlah penerimaan Negara dari sektor
pajak merupakan fungsi dari kebijakan dan implementasi yang dipengaruhi oleh
nilai-nilai politik (seberapa banyak porsi PDB yang akan dikenakan pajak,
kesejahteraan masyarakat dan struktur politik) dan adanya kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi dalam penerimaan pajak.
Selain itu, pajak berfungsi sebagai alat instrumen politik. Selain berfungsi
sebagai penerimaan Negara pajak juga berfungsi dalam mengatur dan
mempengaruhi pola konsumsi, perilaku, dan keberlangsungan hidup masyarakat.
Hal ini dilakukan agar pelaksanaan fungsi pajak sebagai budgetair dapat berjalan
dengan lancar dan terjadi keseimbangan dalam Negara dari berbagai aspek, baik
dari segi keamanan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Sebagai
instrumen politik, pajak dapat dielaborasi dalam beberapa fungsi yaitu sebagai
instrumen keadilan dan pemerataan, pembangunan, ketenagakerjaan, dan
kebijakan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.
Pajak dikenakan kepada subjek pajak, dimana merupakan pihak-pihak
yang dikenai kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban
perpajakannya. Subjek pajak dapat berupa perorangan atau badan.
1.4.6 Subjek Pajak
Subjek pajak adalah siapa-siapa yang menjadi sasaran untuk dikenakan
pajak oleh undang-undang (Mansury,2002). Pada Pasal 2 ayat 1 UU no. 36
tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983
tentang pajak penghasilan menyebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak
adalah:
a. Orang pribadi
b. Badan;
c. Bentuk Usaha tetap
Dalam pasal 2 ayat 3 huruf b UU PPh disebutkan bahwa subjek pajak
dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi criteria
sebagai berikut:
1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan
2. Pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara
atau anggaran pendapatan dan belanja daerah
3. Penerimaannya dimasukkan kedalam anggaran pemerintah pusat atau
pemerintah daerah,
4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat-aparat fungsional Negara.
Sesuai dengan pasal diatas, maka dapat dilihat apakah Bank Indonesia
memenuhi kriteria sebagai subjek pajak atau bukan. Apabila dilihat dari dasar
berdirinya, Pembentukan Bank Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yakni Undang-Undang Bank Indonesia. Jadi Bank Indonesia berdiri
karena adanya perintah undang-undang, dan berbeda dari perusahaan biasa yang
berdirinya bukan berdasarkan Undang-Undang. Lalu setiap tahun, Bank
Indonesia melakukan pembukuan yang diperiksa oleh aparat fungsional Negara ,
yakni BPK. Hal ini diatur dalam pasal 61 UU no. 23 tahun1999 sebagaimana
diubah dengan UU no. 4 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Jika melihat dua
criteria ini, maka Bank Indonesia dapat dikategorikan sebagai bukan subjek
pajak. Namun, penerimaan Bank Indonesia tidak dimasukkan kedalam anggaran
pemerintah pusat ataupun daerah, walaupun apabila ratio kecukupan modal Bank
Indonesia telah melebihi 10% terdapat bagian surplus yang diserahkan
pemerintah pusat (APBN). Maka dapat disimpulkan, Bank Indonesia menjadi
subjek pajak walau hanya sebagian kriteria pada Undang-Undang yang
terpenuhi.
1.4.7 Prinsip dan Syarat Pemungutan Pajak
Dalam rangka pemenuhan rasa keadilan maka penyusunan undang-
undang pajak harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Adam Smith
dalam bukunya Wealth of Nations (Rohman Soemiro, 1990) ada empat syarat
untuk tercapainya peraturan pajak yang adil, harus jelas, tegas, dan tidak
mengandung arti ganda atau memberi peluang untuk ditafsirkan lain:
1. Kesamaan (equality), yaitu dalam pemungutan pajak orang yang berbeda
dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Contohnya
dalam pajak penghasilan, yang dikenakan pajak yang sama adalah orang
yang mempunyai penghasilan kena pajak yang sama, bukan orang yang
mempunyai penghasilan yang sama. Prinsip ini jika dikatikan dengan
Bank Indonesia maka dianggap telah memenuhi syarat dikenakan pajak
atas penghasilannya walau timbulnya penghasilan karena tugas dan
fungsinya sebagai Bank sentral.
2. Prinsip kepastian (certainly), artinya pemungutan pajak dilakukan harus
berdasarkan undang-undang, yaitu harus ada kejelasan, ketegasan, dan
adanya jaminan hukum. Jika dikaitkan dengan surplus Bank Indonesia,
maka penetapannya sebagai objek PPh dalam pasal 4 ayat 1 huruf s UU
PPh telah member kepastian Bank Indonesia merupakan objek pajak.
3. Kesenangan (convenience), artinya dalam pemungutan pajak diupayakan
pada saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang.
Seorang yang menerima gaji lebih mudah ditagih pajaknya pada saat
menerima gaji. Jika dikaitkan dengan prinsip ini, Bank Indonesia terkait,
dimana baru dikenakan pajak jika kondisi keuangannya mengalami
surplus.
4. Ekonomi (economy), artinya biaya pemungutan pajak harus lebih kecil
daripada hasil pemungutan pajak tersebut. Berdasarkan prinsip ini,
apabila terdapat biaya atau resiko dalam penetapan surplus Bank
Indonesia sebagai objek PPh itu seharusnya diperhitungkan sebagai
bagian dari biaya pemungutan pajak.
1.4.8 Bank Sentral
Bank Sentral adalah bank yang merupakan pusat struktur moneter dan
perbankan di negara yang bersangkutan dan yang melaksanakan (sejauh dapat
dilaksanakan dan untuk kepentingan ekonomi nasional) fungsi-fungsi sebagai
berikut:
1. Memperlancar lalu lintas pembayaran:
a. menciptakan uang kartal
b. menyelenggarakan kliring antar bank umum.
2. Sebagai bankir, agen dan penasehat pemerintah. Bank Sentral sebagai banker:
a. memelihara rekening pemerintah
b. memberikan pinjaman sementara
c. memberikan pinjaman khusus
d. melaksanakan transaksi yang menyangkut jual beli valuta asing (valas)
e. menerima pembayaran pajak
f. membantu pembayaran pemerintah dari pusat ke daerah,
g. membantu pengedaran surat berharga pemerintah
h. mengumpulkan dan menganalisis data ekonomi
Bank sentral sebagai agen dan penasehat pemerintah :
a. mengadministrasi dan mengelola hutang nasional
b. memberikan jasa pembayaran bunga atas hutang
c. memberikan saran dan informasi mengenai keadaan pasar uang dan modal.
3. Memelihara cadangan/cash reserve bank umum
4. Memelihara cadangan devisa negara :
a. internal reserve, untuk keperluan jumlah uang beredar
b. eksternal reserve, untuk alat pernbayaran internasional
5. Sebagai bankers bank dan lender of last resort,
6. Mengawasi kredit
7. Mengawasi bank (bank supervision):
a. Prudential Supervision: pengawasan bank yang diarahkan
agar individual bank dapat dijaga kelangsungan hidupnya
sehingga kepentingan masyarakat dapat dilindungi.
b. Monetary Supervision: menjaga nilai mata uang negara yang
bersangkutan sehingga bank tersebut dapat menjadi penyangga
kebijakan moneter maupun kebijakan ekonomi pemerintah
lainnya.
BAB II
GAMBARAN UMUM BANK INDONESIA
2.1 Sejarah Bank Indonesia
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda
tahun 1949, boleh dikatakan merupakan tonggak sejarah lahirnya bank sentral di
Indonesia. Salah satu keputusan penting KMB adalah menunjuk De Javasche
Bank NV sebagai bank sentral. De Javasche Bank adalah bank komersial dan
sirkulasi milik pemerintah kolonial Hidia Belanda yang sudah berdiri sejak tahun
1828. De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank
sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.
Namun fakta sejarah juga mencatat bahwa sejak tahun 1946, bangsa
Indonesia yang memiliki sebuah bank cukup besar yaitu Bank Negara Indonesia
(BNI) 1946. Bank ini pada awalnya berstatus sebagai bank sentral dan kemudian
oleh keputusan KMB diubah menjadi bank pembangunan. Meskipun De
Javasche Bank disepakati dan diputuskan bersama oleh pemerintah Indonesia
dan pemerintah Belanda sebagai bank sentral, akan tetapi pengaruh kepentingan
kolonial dalam menentukan kebijakan masih kental. Posisi De Javasche Bank
lantas menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank snetral yang
masih berada dibawah pengaruh kepentingan lain.
Itulah sebabnya, berbagai upaya untuk mengkikis pengaruh colonial
dalam operasi bank sentral terus diupayakan. A. Karim, salah seorang pemikir
nasionalis menilai bahwa De Javasche Bank adalah alat kolonial yang tidak
cocok lagi dengan alam Indonesia merdeka. Itu pula yang menjadi alasan
perlunya perubahan tujuan dan maksud pendirian bank sentral baru yang lebih
sesuai dengan cita-cita setiap negara yang betul-betul merdeka baik secara politis
maupun ekonomis.
Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan
nasionalisme De Javasche Bank. Hal itu direalisasi melalui Keputusan
Pemeruintah nomor 118 tertanggal 2 Juli 1951. Titik kumulasi proses
nasionalisasi De Javasche Bank terjadi tatkala ditunjuk seorang putra bangsa
Indonesia menjadi presiden baru bank tersebut, mengakhiri tradisi sebelumnya
yang selalu dijabat oleh orang Belanda. Melalui Keputusan Presiden No.
123tanggal 12 Juli 1951, sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai presiden
baru untuk membangun bank sentral yang mandiri dan bebas dari pengaruh
kolonial.
Langkah nasionalisasi itu semakin dipertegas ketika lahir Undang-undang
No. 11 tahun 1953 tentang Pokok-Pokok Bank Sentral yang dapat disebut
merupakan jawaban atas kehendak bangsa yang berdaulat dibidang moneter dan
ekonomi dinegara sendiri (a symbol of sovereignity in monetary and economic
affairs). Sejak keluarnya UU tersebut, peran Bank Indonesia sebagai institusi
bank sentral sebuah negara yang merdeka mulai terlihat jelas.
Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank
Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral,
dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran.
Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya
dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh
DJB sebelumnya. UU menggariskan peranan pokok yang harus dijalankan oleh
Bank Indonesia, yakni sebagai penjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang,
mengembangkan sistem perbankan mengawasi kegiatan perbankan dan
penyaluran kredit bank. Saat itu, bank sentral masih merangkap pula sebagai
bank komersial seperti yang dijalankan oleh De Javasche Bank. Melalui UU
NO. 13/1968 peranan komersial Bank Indonesia dicabut.
Di tahun 1968, Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan
dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang
melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank
Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan
mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas
kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Kemudian pada tahun
1999, babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No.23/1999
yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.Dualisme posisi seperti itu juga lazim terjadi di
kebanyakan bank sentral, khususnya di negara – negara berkembang. Hal inilah
yang menyebabkan bank sentral menjadi kurang indepeden mengingat sebagian
peranannya banyak dipengaruhi oleh pihak luar. Kenyataan ini tidak kuasa
ditampik oleh Bank Indonesia, bahkan hingga krisis moneter dan ekonomi
menerpa Indonesia pertangahan Juli 1997.
Selanjutnya di tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia
diamandemen dengan focus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan
tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk penguatan governance.
Di tahun 2008, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (PerPPU) No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian
dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk
meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global
melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek dari Bank Indonesia.
2.2 Visi, Misi, dan Tujuan Bank Indonesia
Visi Bank Indonesia adalah Mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas
sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang
berkesinambungan.
Misi Bank Indonesia adalah Menjadi lembaga bank sentral yang dapat
dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui penguatan
nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai
satu visi tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata
uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek
kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang
negara lain.
Untuk mencapai visi tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar
yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut terintegrasi
agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai
secara efektif dan efisien.
Gambar 2.1 Tiga Pilar Bank Indonesia
Sumber: www.bi.go.id
Pilar 1. Menetapkan Dan Melaksanakan Kebijakan Moneter
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah
kebijakan didasarkan pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan
memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka
pendek, menengah, maupun panjang. Implementasi kebijakan moneter dilakukan
dengan menetapkan suku bunga (BI Rate). Perkembangan indikator tersebut
dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu menggunakan operasi
pasar terbuka, penentuan tingkat diskonto, dan penetapan cadangan wajib
minimum bagi perbankan.
Pilar 2. Mengatur Dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
Sesuai dengan Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran. Di bidang sistem pembayaran Bank Indonesia
merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan
mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari
peredaran. Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
Bank Indonesia berwenang melaksanakan, memberi persetujuan dan perizinan
atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran seperti sistem transfer dana baik
yang bersifat real time, sistem kliring maupun sistem pembayaran lainnya
misalnya sistem pembayaran berbasis kartu.
Sementara itu dalam kaitannya dengan pengawasan sistem pembayaran,
Bank Indonesia memiliki tanggung jawab agar masyarakat luas dapat
memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat dan aman. Fungsi
pengawasan sistem pembayaran ini selain berwenang untuk memberikan izin
operasional terhadap pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang sistem
pembayaran juga berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan sistem pembayaran baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia
maupun pihak lain di luar Bank Indonesia.
Pilar 3. Mengatur Dan Mengawasi Bank
Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank
Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan
atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan
mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin
pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan
atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank
untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung
maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk
pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan
tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap
laporan yang disampaikan oleh bank.
Pendukung : Manajemen Intern
Pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan
sistem pembayaran ditunjang oleh sektor manajeman intern. Dalam kaitannya
dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan seiring dengan perubahan tatanan
sosial politik Indonesia, kebijakan sektor manajemen intern diarahkan terutama
pada fungsi sebagai pendukung pelaksanaan tugas pokok Bank Indonesia melalui
penyediaan jasa secara cepat dan tepat. Kebijakan di bidang manajemen intern
pada intinya menyangkut pengembangan kelembagaan Bank Indonesia yang
meliputi: pengembangan organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), dan
infrastruktur.
2.3 Produk Bank Indonesia
Berdasarkan kesimpulan penulis, jika dilihat dari tujuan dan tugas-tugas
Bank Indonesia, maka produk dari Bank Indonesia yaitu:
1. Tercapainya dan terpeliharanya kestabilan rupiah
2. Kebijakan Operasi Pasar Terbuka
3. Ketetapan cadangan wajib minimum
4. Kebijakan nilai tukar
5. Kebijakan mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut,
menarik dan memusnahkan uang dari peredaran
6. Ketentuan pelaksanaan, persetujuan dan perizinan atas penyelenggaraan jasa
sistem pembayaran
7. Kebijakan dan ketentuan untuk pengurangan risiko pembayaran antar bank
dan peningkatan efisiensi pelayanan jasa sistem pembayaran
8. Ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prisnip ke hati –
hatian.
9. Kebijakan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan
usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan
mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
10. Kebijakan sektor manajemen intern terkait pengembangan organisasi,
Sumber Daya Manusia (SDM), dan infrastruktur.
2.4 Struktur Organisasi Bank Indonesia
Gambar 2.2 Struktur Organisasi Bank Indonesia
Sumber: bi.go.id
2.5 Organisasi dan Manajemen Instansi
Organisasi Bank Indonesia dikelompokkan dalam tiga bidang utama yang
menggambarkan tugas-tugas pokoknya, yaitu Moneter, Perbankan, dan Sistem
Pembayaran. Disamping itu, terdapat pula fungsi manajemen intern sebagai unit
pendukung strategis (strategic support) untuk menjamin agar pelaksanaan tugas
ketiga bidang utama dapat berjalan lancar, efektif, dan efisien. Dalam
pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia memiliki jaringan kantor di seluruh
wilayah Indonesia yang disebut dengan Kantor Bank Indonesia (KBI) dan
beberapa perwakilan di luar negeri yang disebut dengan Kantor Perwakilan
(KPw).
BAB III
ANALISIS & PEMBAHASAN
3.1 Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
Dilihat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan Bank
Indonesia sebagai lembaga negara yang independen tidak sejajar dengan
lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa
Keuangan, dan Mahkamah Agung. Kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama
dengan Departemen karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar
pemerintahan. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank
Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai Otoritas Moneter
secara lebih efektif dan efisien. Meskipun Bank Indonesia berkedudukan sebagai
lembaga negara independen, dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia
mempunyai hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK,
Pemerintah dan pihak lainnya. Dalam hubungannya dengan Presiden dan DPR,
Bank Indonesia setiap awal tahun anggaran menyampaikan informasi tertulis
mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter dan rencana kebijakan
moneter yang akan datang. Khusus kepada DPR, pelaksanaan tugas dan
wewenang setiap triwulan dan sewaktu-waktu bila diminta oleh DPR. Selain itu,
Bank Indonesia menyampaikan rencana dan realiasasi anggaran tahunan kepada
Pemerintah dan DPR. Dalam hubungannya dengan BPK, Bank Indonesia wajib
menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada BPK.