latar belakang jamkesda

47
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga Negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin. Konstitusi negara dan Undang-Undang No 40/2004 tentang system Jaminan Sosial Nasional mengamanatkan untuk memberikan perlindungan bagi fakir miskin, anak dan orang terlantar serta orang tidak mampu yang pembiayaan kesehatannya dijamin oleh Pemerintah. Bagi Kementerian Kesehatan sebenarnya bukan hanya sekedar menjalankan amanat konstitusi dan Undang-undang tetapi secara bermakna memang tidak terbantahkan hubungan langsung antara status kesehatan dengan tingkat produktifitras penduduk suatu negara. Semakin baik status kesehatan peduduk suatu negara semakin baik tingkat ekonominya dengan demikian akan lebih mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di negara tersebut. Kementerian Kesehatan menetapkan kebijakan untuk lebih memfokuskan perhatian pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu. Dasar pemikirannya adalah selain memenuhi kewajiban pemerintah, tetapi juga berdasarkan kajian dan pengalaman bahwa akan terjadi percepatan perbaikan indikator kesehatan apabila lebih memperhatikan dan fokus pada pelayanan kesehatan masyarakat miskin dan tidak mampu. Saat ini pemerintah sedang memantapkan penjaminan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Jamkesmas sebagai bagian dari pengembangan jaminan secara menyeluruh. Berdasarkan pengalaman masa lalu dan belajar dari pengalaman berbagai negara lain, sistem ini merupakan suatu pilihan yang tepat untuk menata subsistem pelayanan kesehatan yang searah dengan subsistem pembiayaan kesehatan. 1

Upload: yudhaanggaraganong

Post on 17-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

jamkesda

TRANSCRIPT

IMPLEMENTASI PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN JOMBANG

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar BelakangKesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga Negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin. Konstitusi negara dan Undang-Undang No 40/2004 tentang system Jaminan Sosial Nasional mengamanatkan untuk memberikan perlindungan bagi fakir miskin, anak dan orang terlantar serta orang tidak mampu yang pembiayaan kesehatannya dijamin oleh Pemerintah.

Bagi Kementerian Kesehatan sebenarnya bukan hanya sekedar menjalankan amanat konstitusi dan Undang-undang tetapi secara bermakna memang tidak terbantahkan hubungan langsung antara status kesehatan dengan tingkat produktifitras penduduk suatu negara. Semakin baik status kesehatan peduduk suatu negara semakin baik tingkat ekonominya dengan demikian akan lebih mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di negara tersebut.

Kementerian Kesehatan menetapkan kebijakan untuk lebih memfokuskan perhatian pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu. Dasar pemikirannya adalah selain memenuhi kewajiban pemerintah, tetapi juga berdasarkan kajian dan pengalaman bahwa akan terjadi percepatan perbaikan indikator kesehatan apabila lebih memperhatikan dan fokus pada pelayanan kesehatan masyarakat miskin dan tidak mampu.

Saat ini pemerintah sedang memantapkan penjaminan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Jamkesmas sebagai bagian dari pengembangan jaminan secara menyeluruh. Berdasarkan pengalaman masa lalu dan belajar dari pengalaman berbagai negara lain, sistem ini merupakan suatu pilihan yang tepat untuk menata subsistem pelayanan kesehatan yang searah dengan subsistem pembiayaan kesehatan.

Berdasarkan Konsitusi dan Undang-Undang tersebut pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan telah melaksanakan penjaminan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini telah berjalan sejak tahun 2005 dengan nama ASKESKIN yangkemudian di tahun 2008 berganti nama menjadi JAMKESMAS. Program JAMKESMAS telah memasuki tahun kedua dan telah banyak perubahan-perubahan perbaikan yang dilakukan, walaupun belum sempurna tetapi kita berupaya untuk mendekati pengelolaan yang sebaik baiknya. Perbaikan-perbaikan mendasar dilakukan sebagai upaya pengendalian biaya tanpa mengesampingkan pelayanan kesehatan yang bermutu, sehingga pelayanan kesehatan yang diberikan bersifat efektif dan efisien. Jamkesmas akan mendorong perubahan-perubahan mendasar seperti penataan standarisasi pelayanan, standarisasi tarif, penataan pengunaan obat yang rasional dan meningkatkan kemampuan dan mendorong manajemen Rumah Sakit dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) lainnya untuk lebih efisien yang berdampak pada kendali mutu dan kendali biaya. Melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) diharapkan dapat meningkatkan umur harapan hidup bangsa Indonesia, menurunkan angka kematian ibu melahirkan, menurunkan angka kematian bayi dan balita serta penurunan angka kelahiran, disamping itu dapat terlayaninya kasus-kasus kesehatan masyarakat peserta pada umumnya.

Program Jaminan kesehatan ini telah memasuki tahun ke 5 (lima), dan telah memberikan banyak manfaat bagi peningkatan akses pelayanan kesehatan masyarakat peserta. Pelaksanaan Jamkesmas 2009 merupakan kelanjutan pelaksanaan tahun 2008 dengan perbaikan dan peningkatan yang mencakup aspek kepesertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan dan organisasi manajemen. Sasaran kepesertaan Jamkesmas 2009 tetap mencakup 76,4 juta jiwa dan Pemda harus berkontribusi terhadap masyarakat miskin di luar kuota. Di Propinsi Jawa Timur diambil kebijkan bawa untuk melayani pasien keluarga miskin yang tidak masuk kuota ditampung dalam Program JAMKESMASDA dimana pembiayaannya dilkukan sharing antara Pemerintah Kabupaten / Kota dan Pemerintah Propinsi dengan proporsi 50 % ; 50 % . Dalam rangka kendali biaya dan kendali mutu pelayanan, pembayaran dan pertanggung jawaban Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) menggunakan paket tarif INA-DRG yang diterapkan pada seluruh PPK jaringan Jamkesmas.

Sejalan dengan usaha pemerintah dalam mendorong tingkat kesehatan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan bangsa dan Negara Indonesia,maka perkembangan dunia usaha di bidang kesehatan telah cukup mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya rumah sakit dan puskesmas serta berbagai sarana dan prasarana dibidang kesehatan yang telah dibangun oleh pemerintah.

Rumah sakit sebagian dari dunia usaha yang bergerak dibidang industri jasa, kepuasan masyarakat/pasien/konsumen adalah sesuatu yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahkan dalam perkembangan saat ini teori kepuasan merupakan salah salah satu konsep penting dalam pemenuhan kepuasan pelanggan dalam hal jasa.

Secara sederhana kepuasan adalah suatu yang dirasakan oleh konsumen/pasien dalam hal ini adalah masyarakat, apabila persepsi mereka terhadap suatu produk atau pelayanan tertentu sesuai dengan harapan. Dalam hal ini tingkat kepuasan sangat ditentukan dengan tingkat persepsi konsumen/pasien apakah mampu menyamai atau bahkan melampaui harapan konsumen.

Masalah kepuasan konsumen/pasien akan dirimbulkan apabila terdapat perbedaan atau gap antara sesuatu secara ideal harus ada dengan kenyataan yang sebenarnya.disini jelas bahwa performancenya dari suatu produk dan layanan, tidak dapat memenuhi harapan konsumen/pasien mengenai performance yang ideal dari produk layanan tersebut.

Rumah sakit sebagai institusi pemberi jasa, tentunya memiliki nilai-nilai atau standart yang ideal mengenai bagaimana seharusnya kinerja suatu rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan yang layak. Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan untuk memperlakukan konsumen/pasien sebagai manusia yang harus dipahami setiap kebutuan dan keinginannya.

Dunia usaha di bidang kesehatan telah cukup mengalami perkembangan. Disamping itu , peningkatan kualitas dan jasa dari tahun ketahun semakin menjadi perhatian masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya bermunculan perusahaan bidang jasa dan semakin ketatnya persaingan atas pelayanan, harga dan promosi.

Dalam kondisi ketatnya persaingan, hal yang sangat perlu diprioritaskan unutk selalu menjaga dan meningkatnya kualitas oleh sebuah rumah sakit sebagai salah satu perusahaan jasa adalah tingkat kepuasan konsumen/pasien, agar dapat bertahan dan bersaing, serta jika memungkinkan dapat menguasai pasar.

Dalam beberapa decade terakir ini, hakikat rumah sakit telah bergeser dari institusi social semata menjadi suatu industry jasa. Hal ini dipengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi medis, serta kondisi masyarakat pengguna jasa kesehatan yang memiliki tuntutan dan harapan lebih terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang sudah barang tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Dalam persaingan dengan lembaga kesehatan yang lainnya untuk mendapatkan mutu kualitas layanan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat, dalam hal ini rumah sakit pemerintah haruslah berbenah, salah satu pembenahan rumah sakit untuk mendapatkan hasil layanan yang sesuai dengan masyarakat adalah kebijakan badan layanan umum (BLU)

Latar belakang dari BLU ini dipengaruhi oleh factor-faktor yang yang telah terjadi, dimana perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan lainnya adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri.

Rumah sakit pemerintah yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan karena rumah sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu.

Menurut pasal 1 angka 23 UU no 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara, yaitu :

BADAN LAYANAN UMUM adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Pengertian ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.Tujuan dibentuknya BLU adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 68 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukaNn kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.

Sesuai dengan Kepres no. 38/1991 yang ditindaklanjuti dengan Permendagri No. 92/1993 dan Perda No. 18 / 1992. Pelaksanaan Uji coba RSU Swadana Jombang dimulai pada tahun 1994 dan Ditetapkan menjadi Unit Swadana sejak tahun 1996 berdasarkan SK Mendagri No. 445.34 - 608 tanggal 6 Agustus 1996. Selanjutnya pada tahun 2008 RSUD Jombang melalui Peraturan Bupati Jombang NO. 188/413/Kep/412.12/2008 tanggal 30 Desember 2008 telah ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Diharapkan RSU Daerah jombang dapat menjadi rumah sakit unit BLU yang gunanya meningkatkan mutu dan pemantapan manajemen rumah sakit, yang juga berarti keluwesan dan kemandirian yang lebih besar dalam mengelolah dana dan sumber daya lainnya. Namun hal ini juga akan membawa implikasi yang kurang baik karena banyak kalangan luar memandang sebagai komersialisasi dalam bidang pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan terutama yang diberikan rumah sakit dianggap sebagai komoditi untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

BLU mengamanatkan agar rumah sakit dikellola secara professional dengan menjalankan prinsip bisnis yang sehat . Sementara itu disisi lain dalam pelayanan orang miskin rumah sakit diharapkan menjalankan peran sosialnya dengan menjalankan program JAMKESMAS dan JAMKESMASDA dengan segala kendalanya. Beberapa kendala dalam implementasi Program Jamkesmas dan Jamkesda antara lain :IMPLEMENTASI PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN JOMBANGOleh : Adi Wusono ,SKM

ABSTRACT

Health Insurance for the poor society is a right must been given by the state. The poor society which cant pay thier health cost, was guaranted by the state. The central government was create Health Insurace for the poor community program, but the budget is limited. The hospital be the implementator program, must solve this problem by thier resourche. The Regional State Hospital in Jombang, can solve this problem with succesfully, when many Regional State Hospital cant solve it.

The researcher use descriptive research with qualitative approache, which focus in how The Regional State Hospital in Jombang impementated thier problem. To discripe deeply the data of this reseacrch, we collect data with observation, indeep interview, and script document which support this research.

Base on this reseach, we find that implementation of Health Insurace for the poor community program on the Regional State Hospital in Jombang was held sucsesfully because they never refused poor patient and always give same service to all patient. Regional health insurance also can be support poor patient which dont include in the database of Health Insurace for the poor community program from central government.

We get some streght and weakness to implementate these program look like, limited of budgeting from regional government, qualitiy of service for poor patient and other. These problem can be solve because The Regional State Hospital in Jombang was be the Public service organization. They have authority to use thier profite to support limited budgeting from health Insurance from central and regional government.

Keyword : Implementation Program, Health Insurance, Poor community, Government.PendahulanLatar Belakang

Jaminan kesehatan merupakan hak yang harus diperoleh seluruh warga Negara Indonesia. Apalagi bagi bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar, mereka juga sama-sama memiliki hak atas jaminan kesehatannya. hal ini juga telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28-H, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan Undang-Undang No.40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Aturan hukum ini merupakan angin segar bagi masyarakat ekonomi lemah, karena salah satu beban hidupnya akan terjamin, yaitu kesehatan.

Amanat atas penjaminan kesehatan seluruh warga Negara Indonesia bukan sekedar menjalankan Undang-undang, tetapi harus diimplementaasikan dengan sebaik-baiknya, karena juga berkaitan erat dengan tingkat produktivitas masyarakat. Dengan kualitas kesehatan yang baik, maka produktivitas masyarakat untuk memperbaiki standar perekonominnya juga semakin besar. Bahkan dampak secara makro, peningkatan kualitas kesehatan, secara otomatis mampu meningkatkan kesejaheraan masyarakat Indonesia.

Tantangan yang dihadapi untuk memberikan jaminan kesehatan tidaklah mudah. Sekalipun banyak tersebar rumah sakit, klinik umum, spesialis dan sebagainya, tapi masalah yang dihadapi berkaitan dengan kemampuan masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan. Tidak semua lapisan masyarakat mampu untuk mencukupi biaya pengobatan di rumah sakit atau klinik. Saat ini bermunculan rumah sakit- rumah sakit Internasional maupun rumah sakit swasta berkualitas seperti Siloam, Husada Utama, ataupun Mitra Keluarga, tentu biaya berobat dirumah sakit dengan kualitas layanan seperti demikian juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kondisi yang mustahil bagi masyarakat miskin untuk memperolehnya.

Menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, jumlah orang miskin mencapai 34,96 juta atau 15% dari total penduduk Indonesia.(Antaranews :2009) Dengan tingginya biaya berobat, artinya 15 persen penduduk Indonesia tidak tertolong jika sakit. Karena untuk makan saja, kategori penduduk miskin tergolong orang yang kesulitan untuk memenuhinya. Apalagi kalau mereka harus dibebani biaya berobat. Meskipun pemerintah juga menyediakan pukesmas dan rumah sakit, namun tetap ada biaya yang harus ditanggung oleh pasien.

Masyarakat miskin hanya bisa memperoleh jaminan kesehatan gratis, apabila mereka memiliki kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan daerah (Jamkesda), atau Surat Keterangan Miskin bagi yang tidak memiliki keduanya. Itupun harus memenuhi persyaratan antara lain seperti fotocopy KTP, rujukan dari pukesmas, dan beberapa berkas lainnya. Bagi pasien, hal itu menjadi persoalan tersendiri. Selain harus segera mengobati sakitnya, mereka perlu melengkapi persyaratan agar gratis. Prosedur persyaratan yang cukup berbelit membuat masyarakat miskin yang biasanya juga berpendidikan kurang memadai menjadi kesulitan. Apalagi pemerintah juga telah mengurangi jumlah penerima dana jaminan kesehatan masyarakat dari 76,4 juta orang pada tahun 2009 menjadi hanya 61,4 juta orang pada 2010. (Kontan.com :2010) Kondisi ini semakin memperparah kesempatan Masyarakat Miskin untuk memperoleh layanan kesehatan yang layak. Pemerintah memang tidak punya banyak pilihan, karena mereka berada pada posisi dilema antara keterbatasan keterbatasan anggaran dan besarnya jumlah masyarakat miskin yang ditanggung.

Dengan tantangan minimnya anggaran untuk jaminan kesehatan , pemerintah menetapkan kebijakan untuk lebih memfokuskan perhatian pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu. Dasar pemikirannya adalah selain memenuhi kewajiban pemerintah, tetapi juga berdasarkan kajian dan pengalaman bahwa akan terjadi percepatan perbaikan indikator kesehatan apabila lebih memperhatikan dan fokus pada pelayanan kesehatan masyarakat miskin dan tidak mampu.

Saat ini, pemerintah sedang memantapkan fokus pada penjaminan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Jamkesmas sebagai bagian dari pengembangan jaminan secara menyeluruh. Berdasarkan pengalaman masa lalu dan belajar dari pengalaman berbagai negara lain, sistem ini merupakan suatu pilihan yang tepat untuk menata subsistem pelayanan kesehatan yang searah dengan subsistem pembiayaan kesehatan. Program ini telah berjalan sejak tahun 2005 dengan nama Askeskin yang kemudian di tahun 2008 berganti nama menjadi Jamkesmas. Program Jamkesmas telah memasuki tahun kedua dengan pengawasan dan perbaikan-perbaikan.

Perbaikan-perbaikan mendasar dilakukan dengan mengutamakan pengendalian biaya tanpa mengesampingkan pelayanan kesehatan yang bermutu, sehingga pelayanan kesehatan yang diberikan bersifat efektif dan efisien. Jamkesmas akan mendorong perubahan-perubahan mendasar seperti penataan standarisasi pelayanan, standarisasi tarif, penataan pengunaan obat yang rasional dan meningkatkan kemampuan dan mendorong manajemen Rumah Sakit dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) lainnya untuk lebih efisien yang berdampak pada kendali mutu dan kendali biaya. Meskipun dengan kebijakan tersebut pasien Jamkesmas hanya diperbolehkan memperoleh perawatan dengan standar kelas III saja, yaitu standar pelayanan minimal asalkan pasien bisa sembuh. Hal ini otomatis berimplikasi pada pelayanan pasien kelas III merasa dinomorduakan.

Melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) diharapkan dapat meningkatkan umur harapan hidup bangsa Indonesia, menurunkan angka kematian ibu melahirkan, menurunkan angka kematian bayi dan balita serta penurunan angka kelahiran, disamping itu dapat terlayaninya kasus-kasus kesehatan masyarakat peserta pada umumnya. Sebenarnya program ini telah membawa dampak yang signifikan bagi kualitas kesehatan masyarakat. Namun, dilematika yang sering muncul adalah persoalan pendataan penerima Jamkesmas. Karena akurasi pendataan, misalnya penentuan standar masyarakat miskin yang layak menerima Jamkesmas terlalu baku dan kurang akurat sehingga mengakibatkan sering muncul kasus orang yang selayaknya menerima, malah tidak menerima, tapi orang yang tidak layak menerima malah diberi Jamkesmas. Apalagi dengan permasalahan naik turunnya jumlah masyarakat miskin sehingga mengakibatkan data semakin sulit untuk divalidisasi. Kondisi mengakibatkan pembengkakan jumlah pasien miskin yang tidak terdaftar di Jamkesmas, sehingga masalah tersebut seringkali menjadi masalah bagi pihak rumah sakit.

Di Propinsi Jawa Timur, sebagai solusi atas masalah pasien yang tidak tertampung Jamkesmas, diambil kebijakan bahwa untuk melayani pasien keluarga miskin yang tidak masuk kuota, ditampung dalam Program Jamkesda. Pembiayaan program Jamkesda dianggarkan dari sharing antara Pemerintah Kabupaten / Kota dengan Pemerintah Propinsi. Pembagian proporsi anggaran adalah 50 persen Pemkab/Pemkot dan 50 persen Pemprov. Program Jamkesda merupakan kebijakan daerah untuk masyarakat miskin, sehingga pasien miskin yang tidak terdaftar dalam Jamkesmas tetap bisa memperoleh jaminan kesehatan.

Dalam rangka kendali biaya dan kendali mutu pelayanan, pembayaran dan pertanggung jawaban Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) menggunakan paket tarif INA-DRG yang diterapkan pada seluruh PPK jaringan Jamkesmas. Paket tarif ini sebenarnya merupakan upaya efisiensi anggaran, supaya pasien memperoleh pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan pengobatan. Paket ini sebenarnya memiliki beberapa tantangan pada tahap implementasinya, tantangan tersebut antara lain adalah paket tarif yang sering berubah sehingga menyulitkan klaim pihak rumah sakit. Tidak jarang pihak rumah sakit harus menunggu sampai 4 bulan sampai anggaran yang diklaim turun. Kondisi ini mempersulit pelayanan kepada pasien karena keterbatasan anggaran rumah sakit untuk menutup keterlambatan anggaran Klaim. Kondisi ini semakin membuat masyarakat miskin berpotensi konflik dengan pihak rumah sakit. Rumah sakit harus menanggung dulu kebutuhan anggaran untuk masyarakat miskin, sehingga mengakibatkan pembengkakan-pembengkakan anggaran. Dengan kondisi tersebut, rumah sakit dilarang menolak pasien. Konflik yang terjadi adalah keterbatasan anggaran tapi dilarang untuk menolak pasien. Kemudian, masyarakat akan menyalahkan pihak rumah sakit sebagai penyedia layanan. Image positif masyarakat terhadap rumah sakit akan menurun sehingga mengakibatkan pihak rumah sakit mengalami penurunan trust. Hal ini secara otomatis juga mempengaruhi persepsi pasien umum apabila mereka berobat ke Rumah sakit tersebut.

Kondisi ideal bahwa rumah sakit pemerintah harus bisa memberikan layanan kesehatan murah dan bermutu memunculkan konflik internal dalam implementasiannya. Kebijakan yang melarang rumah sakit pemerintah menolak pasien miskin, membuat pihak rumah sakit pada posisi sulit, tanpa keuntungan dari pelayanan, mereka tidak bisa melakukan pengembangan usaha. Disamping itu mereka harus menjadi BLU yang harus menyelesaikan masalah secara mandiri. Kalau permasalahannya menyangkut pendanaan, penyelesaiannya tidak lain adalah dengan subsidi silang antara keuntungan rumah sakit dengan kekuranggan anggaran dari Jamkesmas/Jamkesda. Demikianlah dilematika pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin.

Melalui penelitian ini, akan diteliti bagaimana implementasi kebijakan pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin oleh rumah sakit didaerah. Dengan posisi keterbatasan anggaran dari Jamkesmas dan Jamkesda, apakah mereka mampu memberikan layanan kepada masyarakat miskin, dan bagaimana implementasinya. Sebagai obyek penelitian, maka Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jombang cukup sesuai, karena sudah menerapkan BLU selama beberapa tahun. Mereka sudah menjalankan implementasi dari kemandirian menyelesaikan sendiri masalah rumah sakit.

Pada tahun 2008 RSUD Jombang melalui Peraturan Bupati Jombang No. 188/413/Kep/412.12/2008 tanggal 30 Desember 2008 telah ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). RSU Daerah jombang dapat menjadi rumah sakit unit BLU yang gunanya meningkatkan mutu dan pemantapan manajemen rumah sakit, yang juga berarti keluwesan dan kemandirian yang lebih besar dalam mengelolah dana dan sumber daya lainnya. Namun hal ini juga akan membawa implikasi yang kurang baik karena banyak kalangan luar memandang sebagai komersialisasi dalam bidang pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan terutama yang diberikan rumah sakit dianggap sebagai komoditi untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

BLU mengamanatkan agar rumah sakit dikelola secara professional dengan menjalankan prinsip bisnis yang sehat . Sementara itu disisi lain dalam pelayanan orang miskin rumah sakit diharapkan menjalankan peran sosialnya dengan menjalankan program Jamkesmas dan Jamkesda dengan segala kendalanya. Beberapa kendala dalam implementasi Program Jamkesmas dan Jamkesda antara lain , pertama kepesertaan. Jumlah masyarakat miskin di Indonesia yang mendapat jaminan kesehatan masyarakat tahun 2009 adalah sebanyak 76.400.000 jiwa, untuk Jawa Timur sebanyak 10.710.051 jiwa, sedangkan untuk Kabupaten Jombang sebanyak 255.130 jiwa. Sampai saat ini belum semua database sasaran dapat didistribusikan kartunya terutama terhadap gelandangan, pengemis dan anak-anak terlantar yang sulit untuk di data, double entri, peserta pindah daerah, kelahiran baru dan meninggal dunia. (Laporan Kemenkes 2010) Permasalah utama dalam kepesertaan adalah masih banyaknya masyarakat yang dikategorikan miskin tapi tidak masuk kuota Jamkesmas. Di Jawa timur terdapat 1.411.742 jiwa sedangkan di Kabupaten Jombang sebnyak 57.090 jiwa. (Laporan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur berdasarkan hasil Survey Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) Tahun 2008) . Untuk mereka yang tidak masuk kuota Jamkesmas oleh pemerintah Daerah di Wadahi dalam Program Jamkesmasda. Namun demikian masih ada juga masyarakat miskin yang tidak mendapatkan kartu Jamkesmas dan Jamkesmasda, mereka masih bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dengan meminta Surat Pernyataan Tidak Mampu (SPM) dari Bupati atau Walikota.

Kedua , Pelayanan Kesehatan. Kendala dalam pelayanan Kesehatan yang utama terkait dengan pelaksanaan INA-DRG, masih kurangnya pemahaman secara utuh dilingkungan provider utamanya para dokter, dokter ahli serta petugas administrasi rumah sakit lainnya. ( Laporan Kemenkes RI Tahun 2010) Manajemen RS dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) lainnya perlu kerja keras untuk mensosialisasikan Jamkesmas dan INA-DRG dilingkungan internal agar terjadi pelayanan kesehatan yang terkendali mutu dan biaya.

Ketiga, pendanaan program. Kendala terbesar pendanaan di tahun 2008 adalah pertanggungjawaban pendanaan PPK yang masih belum tepat waktu dikarenakan pelatihan dan pemanfaatan software standar verifikasi dilaksanakan pada bulan Agustus sedangkan bahan entry data dan klaim Rumah Sakit dimulai sejak Januari dengan demikian, perlu kerja keras Rumah Sakit agar pertanggujawaban keuangan sesuai dengan pengaturannya.

Pembiayaan pasien Jamkesmas dibiayai dari Kementerian Kesehatan yang berasal dari dana APBN. Namun demikian masih banyak masyarakat yang dikatorikan sebagai masyarakat miskin tidak masuk dalam kuota Program Jamkesmas. untuk itu Pemerintah Daerah diminta untuk berperan serta dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan daerah. Di Jawa Timur diambil kebijakan untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang tidak masuk kuota Jamkesmas melalui Program Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Daerah . Pembiayaannya dilakukan sharing antara Pemerintah Kabupaten / Kota dan Pemerintah Propinsi dengan proporsi 50 persen dan 50 persen.

Bagaimana RSUD Jombang sebagai Badan Layanan Umum yang harus dikelola secara bisnis yang sehat harus melayani pasien masyarakat miskin yang anggarannya sangat terbatas, sementara sebagai Rumah Sakit milik pemerintah mempunyai tanggung jawab sosial tidak boleh menolak pasien masyarakat miskin tentunya membutuhkan suatu kebijakan dan kiat kiat pengelolaan rumah sakit yang handal .

Permasalahan-permaslahan dilematis yang di hadapi antara pemerintah Pusat, Daerah dan pihak rumah sakit dalam mengimplementasikan kebijakan kesehatan bagi masyarakat miskin merupakan sebuah bentuk studi kasus bagaimana pemerintah beserta elemen-elemen pendukungnya berkerja. Dalam penelitian di RSUD Kabupaten Jombang ini, memang memfokuskan kepada elemen rumah sakit sebagai salah satu elemen yang berhadapan secara langsung dalam upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin. Tingkat komleksitas pengelolaan masalah yang dihadapi cukup tinggi karena posisi rumah sakit berada diantara Pemerintah Pusat/daerah sebagai pembuat kebijakan dengan masyarakat sebagai penerima kebijakan.

Tujuan dan Sasaran

3.1. Tujuan Penyelenggaraan

Tujuan Umum :

Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan sehinga tercapai derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien bagi seluruh peserta Jamkesmas dan Jamkesda

Tujuan Khusus :

a. Memberikan kemudahan dan kemudahan dan akses pelayanankeshatan kepada peserta diseluryang terstandar bagi peserta, uh jaringan pemberi pelayanan kesehatan

b. Mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang terstandar bagi peserta, tidak berlebihan sehingga terkendali mutu dan biayanya

c. Terselenggaranya keuangan yang transparan dan akuntabel

Rumusan Masalah

Dari pembahasan tentang latar belakang masalah di atas maka dapat ditarik pertanyaan atau rumusan masalah yaitu bagaimanakah Implementasi kebijakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Jombang?Tujuan PenelitianUntuk mendeskripsikan Implementasi kebijakan pelayanan kesehatan masyarakat miskin di Rumah Sakit Umum Daerah Jombang.Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh kontribusi manfaat sebagai berikut:

1) Manfaat Akademis

a). Sebagai sumbangan pemikiran serta wacana terkait Implementasi kebijakan pelayanan kesehatan masyarakat miskin pada khususnya pengembangan Ilmu Kebijakan Publik pada umumnya.

b). Sebagai sumbangan bahan referensi bagi calon peneliti berikutnya yang mendalami isu-isu yang sama.

2) Manfaat Praktis

a). Bagi pemerintah penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk perbaikan dalam hal Implmentasi pelayanan kesehatan masyarakat miskin.b). Bagi instansi yang diteliti ini dapat sebagai sarana pemberi informasi yang terkait dengan Implementasi pelayanan kesehatan masyarakat mskin, sehingga instansi tersebut dapat memberikan sumbangsih terbaik dalam implementasi pelayanan keshatan masyarakat miskin.Tinjauan TeoriKebijakan Publik

Kebijakan publik adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004). Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992 2-4).

Terdapat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964: 65). Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:112) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:

1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.

2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.

3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Implementasi KebijakanImplementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.

Setidaknya terdapat dua perspektif dalam implementasi kebijakan publik. Yaitu perspektif sistem topdown dan perspektif sistem top up. Berikut ini penjelasan dari kedua pendekatan tersebut :

1. Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia. Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem.

Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif top down adalah sebagai berikut :a. Van Meter dan Van HornModel pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan

2. Sumber daya

3. Karakteristik organisasi pelaksana

4. Sikap para pelaksana

5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politikSecara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut: 1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakanKinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang crucial. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).1. Sumber dayaKeberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program.

Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:

Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.2. Karakteristik organisasi pelaksanaPusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaanAgar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.5. Disposisi atau sikap para pelaksanaMenurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan.6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:Gambar 3. Skema Van Meter dan Van Horn

Bagan II.1. Model Implementasi Kebijakan Publik Van Meter dan Van Horn

Sumber: (Agostino, 2006)2. Implementasi Kebijakan Bottom UpModel implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan.

Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah salah satu aktifitas pelayanan publik yang dilakukan oleh sebuah lembaga berkompeten dan memiliki ijin praktek untuk melayani orang-orang yang membutuhkan jasa perawatan kesehatan. Institusi yang berwenang untuk memberikan layanan kesehatan antara lain klinik, pukesmas, dan rumah sakit yang sudah memiliki ijin praktek berdasarkan undang-undang yang berlaku. Personel dalam pemberian layanan kesehatan antara lain, Dokter dibantu oleh perawat, dan apoteker yang bertugas untuk membuat resep obat. Jadi, personel pemberi layanan kesehatan adalah orang-orang yang mendapatkan pendidikan formal secara khusus.Pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mayoritas difasilitasi oleh rumah sakit peerintah atau puskesmas. Dengan jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah, masyarakat miskin bisa memperoleh pelayanan kesehatan. Memang berbeda, antara pelayanan kesehatan untuk pasien yang menggunakan jaminan kesehatan dari pemerintah dengan yang menggunakan jalur umum. Karena standar peayanan untuk jaminan kesehatan pemerintah menggunakan standar pelayanan minimal.

Dalam penelitian ini, pelayanan kesehatan yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah di Rumah Sakit Pemerintah, dengan fokus pada impelementasi kebijakan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Pelayanan kesehatan oleh pemerintah ini, memang diselenggarakan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat miskin. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan antara lain adalah jaminan kesehatan oleh pemerintah dengan memberikan Jamkesmas atau Jamkesmasda sebagai upaya pelayanan kesehatan gratis. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Melalui metode ini diharapkan mampu mendiskripsikan implementasi Perda Nomor 1 Tahun 2005 di Kecamatan Ploso. Penelitian ini telah mewawancarai informan-informan kunci dari pihak birokrat, tokoh masyarakat dan para penambang pasir. Informasi yang diperoleh dianalisis dengan cara memilah informasi dan untuk selanjutnya diperbandingkan dengan tinjauan teori yang sesuai sebagai pisau analisis untuk penelitian ini.

PembahasanPenyelenggaraan Pelayanan Kesehatan RSUD Kabupaten JombangPada tanggal 30 Desember tahun 2008 melalui Peraturan Daerah nomor 188/413/Kep/412.12/2008 tahun 2008 RSUD Jombang ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah dengan harapan mutu pelayanan kesehatan dapat lebih ditingkatkan. RSUD Kabupaten Jombang sebagai Badan Layanan Umum Daerah mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan secara berdayaguna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan serta pencegahan dan melaksanakan upaya rujukan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah kelengkapan sumberdaya dan potensi pengembangan yang semakin pesat, maka sejak tahun 2009 RSUD Jombang telah ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Dengan telah ditetapkannya sebagai BLUD maka beberapa pengelolaan rumah sakit bisa dilakukan dengan lebih independen sehingga mempersingkat prosedur pelaksanaan dan penyelenggaraan rumah sakit. Beberapa kemudahannya antara lain sistem pengelolaan keuangannya yang mengacu pada ketentuan Permendagri nomor 61 tahun 2008 dimana penerimaan/pendapatan yang diperoleh dapat digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan operasional rumah sakit tanpa disetor lebih dulu ke kas Daerah. Dengan kebijakan ini, maka pihak rumah sakit bisa dengan lebih leluasa untuk menggunakan anggaran. Kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendesak, bisa segera dipenuhi segera. Masalah-masalah anggaran seperti kebutuhan untuk menutup anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat yang klaimnya membutuhkan waktu sekitar empat bulan, dapat ditanggulangi dulu dengan anggaran tersebut.

Pada tahun 2009 rencana pendapatan rumah sakit ditargetkan sebesar Rp. 44.500.000.000,- sedangkan realisasinya adalah Rp. 46.538.144.011 atau melebihi 9 % dari target. Bagi penyelenggara rumah sakit, prestasi tersebut cukup membanggakan, mereka berhasil memenuhi target yang direncanakan. Namun dalam perspektif manajemen, terdapat beberapa kemungkinan terkait pemenuhan target atas hasil pendapatan rumah sakit. Pertama, bisa jadi karena target yang ditetapkan terlalu kecil daripada potensi keuntungan yang seharusnya bisa dicapai, sehingga hasil pendapatannya melebihi target. Atau memang karena manajemen rumah sakit yang cukup bagus sehingga target bisa terpenuhi sampai melebihi target. Tetapi, ada satu hal penting yang perlu dipertimbangkan, bahwa tingginya angka pendapatan rumah sakit bukan berarti menggeser tanggung jawab sehingga fokus menjadi institusi yang berorientasi bisnis. Aspek-aspek tanggung jawab sosial tetap perlu menjadi salah satu prioritas.

Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Di RSUD Jombang

Data dari Kementerian Kesehatan RI Jumlah masyarakat miskin di Indonesia yang mendapat jaminan kesehatan masyarakat tahun 2009 adalah sebanyak 76.400.000 jiwa, untuk Jawa Timur sebanyak 10.710.051 jiwa, sedangkan untuk Kabupaten Jombang sebanyak 255.130 jiwa. Sampai saat ini belum semua database sasaran dapat didistribusikan kartunya terutama terhadap gelandangan, pengemis dan anak-anak terlantar yang sulit untuk di data, double entri, peserta pindah daerah, kelahiran baru dan meninggal dunia. Permasalah utama dalam kepesertaan adalah masih banyaknya masyarakat yang dikategorikan miskin tapi tidak masuk kuota Jamkesmas. Di Jawa timur terdapat 1.411.742 jiwa sedangkan di Kabupaten Jombang sebnyak 57.090 jiwa. (Laporan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur berdasarkan hasil Survey Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) Tahun 2008) . Untuk mereka yang tidak masuk kuota Jamkesmas oleh pemerintah Daerah diWadahi dalam Program Jamkesmasda. Namun demikian masih ada juga masyarakat miskin yang tidak mendapatkan kartu Jamkesmas dan Jamkesmasda, mereka masih bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dengan meminta Surat Pernyataan Tidak Mampu (SPM) dari Bupati atau Walikota.

Sesuai ketentuan dalam petunjuk teknis jamkesmas bahwa rumah sakit jombang bisa melayani sesuai ketentuan yang berlaku apabila keabsahan seorang pasien menggunakan fasilitas pembiayaan jamkesmas bila sudah diferifikasi oleh PT Askes dan diterbitkan Surat Jaminan Pelayanan (SJP). Persyaratan yang ditetapkan RSUD Jombang untuk mendapat Pelayanan Jamkesmas dan Jamkesda adalah :

1. Kartu Jamkesmas / Jamkesda / SPM

2. Kartu Keluarga

3. Rujukan dari Puskesmas

4. KTP

Tanpa persyaratan tersebut, pasien tidak bisa mendapatkan pelayanan gratis dari anggaran Jamkesmas atau Jamkesda, karena tidak mampu menunjukkan status mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan anggaran. Mengingat banyaknya jumlah pasien pengguna jaminan, sedangkan anggarannya terbatas.

Pendanaan pasien Jamkesmas dapat dipenuhi oleh Depkes, namun datangnya dana sering terlambat sehingga klaim dari rumah sakt juga terlambat. Sedangkan Dana Jamkesda tidak tercukupi sehingga kekurangan tersebut disubsidi oleh RSUD Jombang. Kendala terbesar pendanaan yang dirasakan RSUD Jombang di tahun 2008 adalah pertanggungjawaban pendanaan PPK yang masih belum tepat waktu dikarenakan pelatihan dan pemanfaatan software standar verifikasi dilaksanakan pada bulan Agustus sedangkan bahan entry data dan klaim Rumah Sakit dimulai sejak Januari dengan demikian, perlu kerja keras Rumah Sakit agar pertanggujawaban keuangan sesuai dengan pengaturannya.

Pembiayaan pasien Jamkesmas dibiayai dari Kementerian Kesehatan yang berasal dari dana APBN. Namun demikian masih banyak masyarakat yang dikatorikan sebagai masyarakat miskin tidak masuk dalam kuota Program Jamkesmas. untuk itu Pemerintah Daerah diminta untuk berperan serta dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan daerah. Di Jawa Timur diambil kebijakan untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang tidak masuk kuota Jamkesmas melalui Program Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Daerah (JAMKESMASDA). Pembiayaannya dilkukan sharing antara Pemerintah Kabupaten / Kota dan Pemerintah Propinsi dengan proporsi 50 persen : 50 persen . Pada tahun 2010 Pemerintah Propinsi Jawa Tmur Telah menganggarkan dana sebesar Rp. 170.768.890.290, namun biaya 50 persen dari Pemerintah Propinsi tersebut bisa diserap apabila pasien dirujuk ke Rumah Sakit Propinsi.

Pemerintah kabupaten Jombang pada tahun 2010 dalam menunjang Program Jamkesmasda telah menganggarkan sebesar Rp. 1.800.000.000 untuk Pelayanan dasar di Puskesmas, sedangkan untuk Rumah Sakit RSUD Jombang telah menganggarkan sebesar Rp. 4.000.000.000 melalui dana BLU. Dana untuk rumah sakit tersebut kemungkinan masih kurang karena berdasarkan data tahun 2009 di RSUD Jombang biaya untuk pelayanan pasien Jamkesda sebesar Rp.8.867.059.320 sedangkan yang dianggarkan APBD pada sat itu hanya Rp. 2.204.836.111 sehingga masih mengalami kekurangan sebanyak Rp. 6.662.223.209 dan kekurangan tersebut dibiayai dari dana BLU RSUD Jombang sendiri. (laporan keuangan RSUD Jombang tahun 2009) Bagaimana RSUD Jombang sebagai Badan Layanan Umum yang harus dikelola secara bisnis yang sehat harus melayani pasien masyarakat miskin yang anggarannya sangat terbatas, sementara sebagai Rumah Sakit milik pemerintah mempunyai tanggung jawab sosial tidak boleh menolak pasien masyarakat miskin tentunya membutuhkan suatu kebijakan strategis agar pelayanan kepada masyarakat miskin bisa tetap berjalan lancar. Selain itu pengembangan-pengembangan bisa mereka lakukan dengan tidak hanya bergantung pada pemerintah.

Prosedur pelayanan kepada pasien jamkesmas, bukan hanya pihak pasien yang harus memenuhi persyaratan persyarakat seperti kartu jamkesmas, fotocopy KTP, fotocopy KSK dan sebagainya. Tapi pihak rumah sakit juga mengalami beberapa kendala yang sering muncul selain masalah anggaran. Sampai saat ini, verifikasi kepesertaan pasien Jamkesmas dan Jamkesda dirasa masih banyak permasalahan hal ini bisa dilihat masih banyaknya masyarakat kategori miskin namun tidak tercakup sebagai peserta. Namun demikian pemerintah selalu berupaya melakukan penyempurnaan. Dengan mengupdate data secara berkala. Demikian pula kepesertaannya juga diupayakan diperluas sesuai keampuan pendanaan. Masalah utama bagi peserta program ini adalah kurangnya pengetahuan dan pemahaman saat akan memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan fasilitas jaminan program ini Hal ini kemungkinan adalah kurangnya sosialisasi sehingga informasi yang diterima sangat terbatas, namun demikian RSUD Jombang cukup fleksibel dan memberi banyak kemudahan terkait dengan persyaratan administrasi ini.

Semua peserta Jamkesmas dan jamkesda yang memenuhi syarat diberikan pelayanan sesuai stadar medis yang ditetapkan. Standar medis untuk rumah sakit adalah kualitas kelas III dengan standar pelayanan minimal. Dengan paket-paket jaminan yang diberikan, pasien sudah mendapat pelayanan sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi. Cara ini ditempuh agar memimalisir pembengkakan anggaran untuk masyarakat miskin. Karena banyaknya jumlah pasien Jamkesmas dan Jamkesda yang membutuhkan anggaran tersebut. Beberapa program efisiensi anggaranpun di kembangkan, antara lain program INA DRG, sebuah program yang dibuat oleh Departemen kesehatan untuk menenentukan paket pengobatan untuk pasien Jamkesmas.Analisis Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan Pada Masyarakat Miskin di RSUD Jombang.

Pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin muncul sebagai sebuah bentuk kebijakan yang didasari atas tujuan untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada masyarakat miskin. Memang, dalam sebuah kebijakan akan lebih menguntungkan kelompok tertentu, karena segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).

Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Jamkesmas dan Jamkesda dinilai merupakan salah satu kebijakan perintah yang berorientasi kepada rakyat, khususnya rakyat kecil. Proteksi terhadap kesehatan masyarakat miskin menjadi sebuah upaya menyejahterakan rakyat. Selain itu, dalam perspektif analisis kebijakan, orientasi strategis pemerintah untuk memberikan kemanfaatan.

Thomas R. Dye (1992 : 8) menawarkan tiga model dalam melaksanakan kebijakan publik. Model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Program jamkesmas dan Jamkesda, masing-masing mampu dijelaskan melalui model-model ini. Pertama, Sisi keterpaduan terletak kepada bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan proteksi jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin. Pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan dan penyedia anggaran beruapaya memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Pada tahun 2009 pemerintah pusat sudah membagikan kartu Jamkesmas kepada 76,4 juta penduduknya. Pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas lembaga teknis, yaitu rumah sakit dan pukesmas berupaya melaksanakan program tersebut. Pada tahap implementasi, ternyata pemerintah daerah mengalami masalah karena keterbatasan jumlah kuota anggota penerima Jamkesmas, sehingga masih banyak masyarakat miskin yang belum memperoleh jaminan kesehatan didaerahnya. Sehingga pemerintah daerah merespon hal itu dengan menerbitkan jamkesda. Jamkesda dibagikan kepada masyarakat miskin yang belum tercatat sebagai anggota Jamkesmas.

Bentuk keterpaduan implementasi kebijakan dalam otonomi daerah menghasilkan kesepakatan untuk menanggung biaya Jamkesda dengan proporsi 50 persen dari pemerintah provinsi dan 50 persen dari pemerintah kabupaten. Kabupaten Jombang selama tahun 2009 dan sampai dengan April 2010 telah memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta Jamkesda di RSUD Jombang sampai dengan 18.466 orang. Sedangkan pemerintah pusat telah menanggung 22.389 orang pasien jamkesmas di RSUD Jombang.

Kedua, model demokratis. Demokrasi, memungkinkan seorang kandidat, memberikan janji politik kepada pemilihnya. Tingginya jumlah masyarakat miskin, maka janji politik untuk jaminan kesehatan harus benar-benar diimplementasikan sesuai dengan janji politiknya. Apalagi isu biaya berobat gratis seringkali menjadi isu strategis bagi seorang kandidat memperoleh dukungan. Aspirasi para konstituen untuk memperoleh jaminan kesehatan telah diimplementaiskan melalui program jamkesmas dan jamkesda. Termasuk didalam janji politik Bupati Jombang, Soeyanto yang menjanjikan Jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin.

Ketiga, model strategis. Kebijakan tentang pemberian jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin mampu memberikan manfaat cukup besar kepada rakyat. Orientasi kebijakannya mengarah kepada jaminan sosial, sebagai bentuk perlindungan atas hak-hak rakyat kecil yang tidak mampu mengakses fasilitas kesehatan. Kabupaten Jombang mampu memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat miskin lebih dari 31.000 orang di RSUD Jombang, belum lagi untuk pasien yang ditangani di Pukesmas. Karena memang untuk masalah kesehatan ringan, cukup ditangani di pukesmas, sehingga jumlah warga yang menikmati program tersebut bisa lebih besar lagi.

Implementasi kebijakan Jamkesmas dan Jamkesda yang dilakukan secara hirarkis, seperti pasien yang dirujuk ke rumah sakit harus mendapat rekomendasi dari pukesmas, bahwa memang penyakitnya tidak mampu ditangani di Pukesmas sehingga mereka harus dirujuk ke rumah sakit. Sistem ini merupakan sebuah bentuk tingkatan kebijakan. Pada teknis kebijakan yang menyentuh obyek kebijakan secara langsung, memang dibuat mekanisme birokratis untuk mengefektifkan peran RSUD Jombang sebagai rujukan pelayanan Jamkesmas dan Jamkesda. Oleh karena itu, wajar ketika tahun 2009, angka pasien Jamkesda yang rawat inap mencapai 9.876 orang sedangkan yang rawat jalan lebih kecil, yaitu 4.245 orang. Perbedaan jumlah antara rawat inap dengan rawat jalan membuktikan bahwa memang implementasi hirarkis kebijakan berimplikasi pada pelayanan kesehatan berdasarkan tingkat urgensi pelayanan. Pada prinsipnya, kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:

1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Secara umum, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berupa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menetapkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatanya, dan negara bertangungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang. Dalam pelaksanaan kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional diatur dalam keputusan Menteri Kesehatan Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Pelaksanaan kebijakan teknisnya dilakukan oleh pukesmas dan rumah sakit pemerintah.3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan. Rumah sakit dan Pukesmas sebagai pelaksana teknis program Jamkesmas dan Jamkesda mengimplementasikan kebijakan umum dan kebijakan pelaksanaan kepada masyarakat secara langsung. Jadi, peran pemegang kebijakan teknis mencakup urusan dengan pemerintah pusat dan daerah sebagai pembuat kebijakan dan masyarakat sebagai obyek kebijakan. Posisi ini seperti yang dilaksanakan oleh RSUD Jombang sebagai pelaksana teknis program Jamkesmas dan Jamkesda untuk masyarakat miskin di Jombang.Sinergisitas antara kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis dalam program Jamkesmas dan Jamkesda, membutuhkan analisis mendalam terkait bagaimana implementasinya. Karena sebaik apapun sebuah sistem dan orientasi kebijakan, hal itu tidak banyak memberikan manfaat apabila tidak diimplementasikan dengan baik. Sebagai lembaga teknis pelaksana progam, RSUD kabupaten Jombang sebagai salah satu ujung tombak pelaksanaan program Jamkesmas dan Jamkesda. Kinerja lembaga ini bisa dipengaruhi oleh variabel-variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu standar dan sasaran program, sumberdaya yang tersedia, karakteristik pelaksana kebijakan, disposisi (sikap pelaksana program), komunikasi dalam implementasi kebijakan, kondisi lingkungan dan struktur birokrasi.Sumber Daya Dalam Impementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan Pada Masyarakat Miskin.

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Termasuk dalam proses pelayanan dan pengelolaan oleh pejabat rumah sakit. Posisi mereka sebagai pembuat kebijakan teknis dalam pelayanan pasien Jamkesmas dan Jamkesda perlu memperhitungkan bagaimana cara agar para petugas yang dipimpinnya bisa bekerja optimal. Selama ini, pihak Manajemen Rumah Sakit menerapkan renumerasi untuk petugas dari hasil pelayanan pasien umum. Melalui reward semacam ini, para petugas bersemangat dan berusaha sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada pasien. Alasannya sederhana, semakin banyak pasien yang datang, renumerasi mereka juga semakin besar tiap bulannya. Namun saat mereka memberikan pelayanan pada pasien Jamkesmas, persepsi tersebut berubah. Karena pencairan anggarannya berbelit-belit dan memakan waktu lama sehingga mengganggu cashflow rumah sakit, harapan renumerasi dari pasien Jamkesmas hanyalah isapan jempol.Karakteristik Rumah Sakit Sebagai Pelaksana Program

Pusat perhatian RSUD Jombang dalam menangani masalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin salah satunya memang difokuskan pada agen pelaksana, agen yang dimaksud meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

Rumah Sakit Umum Daerah Jombang menjadi agen pelaksana karena kedudukannya sebagai rumah sakit pemerintah, hal itu sudah tidak bisa ditawar lagi. Mereka wajib memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin. Secara lebih spesifik, agen pelaksana yang secara riil menjalankan fungsi pelayanan adalah petugasnya. Peran petugas dalam mewujudkan visi dan misi rumah sakit cukup besar . Oleh karena itu, selain pemberian reward, RSUD Jombang juga menanamkan nilai-nilai mendasar pada para petugasnya, yaitu :

1. Kepuasan pelanggan adalah tujuan kami2. Prosedur pelayanan yang mudah, cepat, tepat dan akurat akan menyenangkan pelanggan3. Sikap yang ramah dan mantap atau profesional akan membantu pelanggan untuk mencapai kesembuhan dan kepuasan4. Sikap pengetahuan dan ketrampilan kami sangat mempengaruhi mutu pelayanan5. Bekerja adalah ibadah, oleh karenanya harus dilaksanakan dengan ikhlas

6. Salah satu tolok ukur keberhasilan RSUD Jombang adalah pemanfaatan rumah sakit oleh masyarakat dan dapat memenuhi keinginan pelanggan7. Saran dan kritik dari masyarakat akan membuat kami sadar akan kekurangan yang ada sehingga kami akan senantiasa memperbaikinyaDengan penanaman nilai mendasar tersebut, petugas diajak untuk memberikan pelayanan optimal kepada para pasien tanpa membeda-bedakan latar belakang. Petugas sebagai agen pelakasana kebijakan, menentukan bagaimana implementasi kebijakan mampu mendekati tujuan yang ditetapkan. Selain itu, tingkat kepercayaan pasien akan mengingkat sehingga memunculkan citra positif dimasyarakat. Bagi institusi jasa yang berkompetisi dengan swasta, RSUD Jombang membutuhkan citra positif tersebut agar banyak masyarakat yang mempercayakan pelayanan kesehatannya.

Nilai-nilai positif yang ditanamkan juga berfungsi untuk membentuk karakter pelayanan para petugas, sehingga budaya organisasi sebagai Badan Layanan Umum daerah yang bertugas untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada masyarakat bukan sekedar target utopis. Upaya realisasi untuk mewujudkan visi dan misi rumah sakit membutuhkan karakter pelayanan yang kuat.

Disposisi atau Sikap Para Pelaksana Program Jaminan Kesehatan Pada Masyarakat Miskin di RSUD Jombang

Pada pandangan pelaksana program, Implementasi kebijakan Pelayanan Kesehatan mempunyai dua kemungkinan , yaitu antara diterima dan ditolak. Bentuk penerimaan, bisa berupa dukungan penuh atas program, atau hanya sekedar mendukung tapi supporting perangkat kebijakan lainnya tidak terlalu diperhatikan, ini semacam penolakan secara halus. Sedangkan Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan.

Pemegang kebijakan bukan hanya sekedar Rumah Sakit saja, karena rumah sakit hanya sebagai pemegang kebijakan teknis saja. Sedangkan pemegang kebijakan secara umum adalah pemerintah pusat, dalam hal ini Depatemen Kesehatan sebagai wakil dari Presiden, dan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten sebagai pemegang kebijakan pelaksanan. Karena kebijakan Jamkesmas bersifat topdown sehingga pemerintah provinsi dan kabupaten hanya sebagai pelaksana saja. Dengan otonomi daerah, sebenarnya malah berpotensi menjadi sebuah kelemahan. Apabila tingkat penerimaan pemerintah daerah tidak terlalu bagus, maka otoritasnya sebagai pemegang disposisi langsung yang membawahi rumah sakit, pemerintah daerah bisa bertindak tidak sinergis dengan pemerintah pusat. Namun memang karena kebijakan tersebut diperuntukkan kepada masyarakat miskin, penolakan akan berakibat pada permusuhan dengan masyarakat miskin.

Komunikasi dan Koordinasi Antarlembaga Terkait Dalam Pelaksanaan Program

Pada prinsipnya, ada empat elemen penting yang perlu berkomunkasi secara intensif agar pelaksanaan program berjalan lancar. Empat elemen tersebut antara lain pemerintah pusat, pemerintah daerah dalam hal ini adalah pemerintah provinsi dan kabupaten, pihak rumah sakit dan terakhir adalah masyarakat. Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.

Menurut Agustino (2006:157); komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Infromasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan variabel komunikasi. Faktor-faktor yang mendorong ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan Jamkesmas dan Jamkesda terjadi karena kompleksitas kebijakan, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan tersebut, adanya masalah-masalah dalam memulai kebijakan yang baru serta adanya kecenderungan menghindari pertanggungjawaban kebijakan.

Proses implementasi kebijakan terdiri dari berbagai aktor yang terlibat mulai dari manajemen puncak sampai pada birokrasi tingkat bawah. Komunikasi yang efektif menuntut proses pengorganisasian komunikasi yang jelas ke semua tahap tadi. Jika terdapat pertentangan dari pelaksana, maka kebijakan tersebut akan diabaikan dan terdistorsi. Untuk itu, semakin banyak lapisan atau aktor pelaksana yang terlibat dalam implementasi kebijakan, semakin besar kemungkinan hambatan dan distorsi yang dihadapi. Sehingga perlu diperhatikan bahwa penghematan prosedur dan kejelasan wewenang dan tanggung jawab perlu diperkuat.

Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun dan dikembangkan saluran-saluran komunikasi yang efektif. Semakin baik pengembangan saluran-saluran komunikasi yang dibangun, maka semakin tinggi probabilitas perintah-perintah tersebut diteruskan secara benar. Dalam kejelasan informasi biasanya terdapat kecenderungan untuk mengaburkan tujuan-tujuan informasi oleh pelaku kebijakan atas dasar kepentingan sendiri dengan cara mengintrepetasikan informasi berdasarkan pemahaman sendiri-sendiri. Cara untuk mengantisipasi tindakan tersebut adalah dengan membuat prosedur melalui pernyataan yang jelas mengenai persyaratan, tujuan, menghilangkan pilihan dari multi intrepetasi, melaksanakan prosedur dengan hati-hati dan mekanisme pelaporan secara terinci.

Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran, yaitu masyarakat miskin. Sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi dalam mencapai efektivitas implementasi kebijakan publik. Dengan demikian, penyebaran isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan. Dalam hal ini, media komunikasi yang digunakan untuk menyebarluaskan isi kebijakan kepada kelompok sasaran akan sangat berperan.

Struktur Birokrasi Pelaksana Program Pelayanan Kesehatan Pada Masyarakat Miskin

Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu.

Implementasi kebijakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di RSUD Jombang menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan. Permasalahan permasalahan yang ada didalam struktur birokrasi khususnya wewenang dan tanggung jawab yang dibagikan, harus disesuaikan dengan birokrasi pelaksana.Lingkungan Sosial, Ekonomi Dan Politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Lingkungan sosial di masyarakat, bagaimana mereka memandang program Jamkesmas. Kesadaran masyarakat di Kabupaten Jombang, bahwa orang yang layak mendapat bantuan Jamkesmas dan Jamkesda adalah mereka yang merasa tidak mampu dan tanpa program tersebut orang tersebut tidak mampu untuk berobat saja yang layak menerimanya menjadi point penting untuk memperlancar implementasi kebijakan. Tanpa kesadaran tersebut, maka orang-orang tidak bertanggung jawab malah memanfaatkan kesempatan memperoleh pengobatan gratis, padahal sebenarnya mereka mampu. Dengan lemahnya kesadaran itu, maka implementasi kebijakan tidak bisa tepat sasaran.

Kondisi perekonomian, pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Jombang menjadi salah satu variabel pengaruh yang cukup mendasar. Karena saat angka kemiskinan meningkat, maka peserta penerima program juga terpaksa meningkat. Pasien akan lebih banyak menggunakan program tersebut saat mereka tidak mampu mengakses layanan kesehatan dengan biaya sendiri. Meskipun standar pelayanan tidak sama dengan pelayanan di pasien umum, tapi saat kondisi perekonomian menurun, mereka cenderung memilih untuk memakai kemudahan tersebut. Belum lagi dengan suplay anggaran dari pemerintah, porsi APBD juga akan menurun, dan penghasilan rumah sakit juga berpotensi turun. Oleh karena itu, kondisi perekonomian yang kondusif cukup berpengaruh terhadap implementasi program Jamkesmas dan Jamkesda.

Kondisi politik juga perlu diperhatikan, karena orientasi kebijakan pemerintah akan menentukan bagaimana prioritas kebijakan. Dengan janji-janji politik presiden, kepala daerah dan legislatif selama pemilihan umum akan menjadi agenda yang perlu diperhatikan. Dengan tatacara pemilihan para pejabat publik yang dipilih secara langsung oleh rakyat maka program jaminan kesehatan secara gratis adalah kebijakan yang sangat populer untuk menarik simpati massa. Namun kebijakan ini kadang diselewengkan para pemimpin politik untuk keperluan konstituennya masing-masing yang kadang menyulitkan pemberi pelayanan. Demikian pula program ini lebih banyak bernuansa politis sehingga kebijakan yang diambil tidak dibarengi dengan ketersediaan anggaran dan petunjuk teknis yang memadahi yang kadang menyulitkan pada tataran implementasi.KesimpulanKesimpulan dari penelitian ini menemukan bahwa Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan kepada masyarakat miskin sudah berjalan dengan baik, karena Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Jombang sebagai objek penelitian telah berhasil mengatasi masalah keterbatasan anggaran Jamkesda melalui penggunaan pendapatan Rumah Sakit untuk menutup defisit kebutuhan pelayanan. Petugas sudah tidak membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan pasien umum dengan pasien Jamkesmas , sehingga pelayanan kesehatan berjalan lancar, sama bagi semua dan memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.

Implementasi program pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin terganjal oleh masalah pendataaan peserta Jamkesmas, selain karena jumlah kuotanya terbatas, pada beberapa kasus program tidak tepat sasaran sehingga mengakibatkan kompalin dari masyarakat miskin yang tidak terdata. Banyaknya keluhan atas banyaknya masyarakat miskin yang belum terdata, Pemerintah daerah merespon hal itu dengan mengeluarkan kebijakan untuk menanggung pasien yang tidak terdata melalui program Jamkesda.

Sinergisitas implementasi kebijakan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin adalah salah satu bentuk kerjasama otonomi daerah. Karena Pemerintah Daerah merespon dengan kebijakan untuk menunjang program Pemerintah Pusat. Harmonisasi semacam ini memberikan manfaat positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. RSUD Jombang sebagai pelaksana teknis program telah memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin berdasarkan persyaratan yang ditetapkan. Pihak rumah sakit dilarang untuk menolak pasien yang sudah memenuhi syarat. Bahkan untuk pasien yang belum memenuhi syarat juga diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan.Pada tahap implementasi yang dilakukan oleh RSUD Jombang, ternyata mengalami sejumlah kendala, antara lain kendala operasional dan kendala implementasi anggaran. Kendala operasional meliputi antara lain adalah implementasi kebijakan tidak dibarengi dengan protap yang jelas dan terperinci. Pihak manajemen rumah sakit diberi tangung jawab untuk merinci sendiri protap tersebut, berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang masih sangat general. Selanjutnya untuk kendala anggaran. Jamkesmas mengalami masalah tentang keterlambatan pencairan anggaran. Selain karena program INA-DRG sebagai software untuk paket klaim yang sering berubah-ubah, pihak Departemen Kesehatan juga sering terlambat dalam mencairkan dana, meskipun verifikasi sudah selesai. Kondisi ini mengakibatkan pihak rumah sakit yang terpaksa menutup kebutuhan pelayanan Jamkesmas sambil menunggu pencairan anggaran, karena pelayanan tidak pernah berhenti meskipun dana belum cair.SaranSaran AkademikBerdasarkan hasil penelitian, setidaknya ada beberapa saran dan rekomendasi terkait pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin, yaitu saran akademis dan saran praktis. Saran akademis antara lain adalah :

1. Perlu dilakukan penelitian tentang potensi sebuah institusi pelayanan publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sistem anggaran mandiri tanpa menggantungkan pemerintah, misalkan dengan subsidi silang seperti yang dilakukan oleh RSUD Jombang. Hal ini bermanfaat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan karakteristik cara pelayanan berdasarkan keanekaragaman masyarakat.

2. Perlu dilakukan penelitian tentang pemodelan Rumah Sakit dalam upaya pemberian pelayanan berbasis masyarakat khususnya untuk anggaran. Sehingga tidak hanya menggantungkan pada pemerintah saja.

Saran Praktis

Sedangkan untuk saran praktis antara lain adalah :

1. Perlu ditingkatkan sosialisai program Jamkesmas dan Jamkesda oleh semua pihak yang terkait agar masyarakat miskin sebagai sasaran pada umumnya dan petugas pelayanan kesehatan pada khususnya dapat lebih memahami program ini sehingga memberikan daya dukung yang lebih baik.

2. Rumah sakit pelaksana program Jamkesmas dan Jamkesda selayaknya untuk tidak terjebak dalam orientasi bisnis rumah sakit. Seharusnya memang rumah sakit berbisnis untuk misi sosial, bukan menggunakan misi sosial untuk berbisnis. Cara yang dilakukan RSUD Jombang dalam memberikan subsidi silang antara pendapatan rumah sakit dengan menutup kekurangan dana Jamkesda sehingga seluruh pasien bisa terlayani.3. Pengembangan Program Sistem Informasi Manajemen Jamkesmas harus lebih ditingkatkan lagi untuk meminimalisir keterlambatan klaim dari rumah sakit ke Departemen Kesehatan. Khususnya untuk tingginya tingkat keseringan perubahan paket klaim program INA-DRG.

4. Pendataan peserta Jamkesmas perlu direvisi sehingga peserta yang layak untuk menerima program sesuai dengan kriteria dan sasaran.RekomendasiBerdasarkan hasil penelitian, terdapat hasil rekomendasi untuk Pemerintah Kbaupaten, Pemeritah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Rekomendasi tersebut antara lain adalah :

1. Pemerintah Kabupaten hendaknya meningkatkan jumlah anggaran dalam APBD untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang terdaftar dalam Jamkesda. Karena selama tahun 2009 dan 2010 pihak rumah sakit dibebani untuk menanggung biaya Jamkesda yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten melalui APBD. Dengan pembebanan seperti demikian, hal itu berimplikasi kepada cashflow keuangan rumah sakit untuk pengembangan dan investasi jadi terganggu. Keuntungan rumah sakit idealnya dikembalikan ke rumah sakit untuk peningkatan mutu pelayanan sebagaimana tugas pokok dan fungsi rumah sakit.

2. Pemerintah Provinsi disarankan untuk memberikan anggaran Jamkesda bukan hanya untuk menanggung pasien yang dirawat di Rumah Sakit Provinsi saja, namun juga untuk menanggung pasien Jamkesda di Rumah Sakit Kabupaten. Kebijakan sharing biaya jamkesda yang 50 % untuk Kabupaten idealnya langsung deserahkan ke rumah sakit Kabupaten.

3. Rekomendasi untuk Pemerintah Pusat, sebaiknya melakukan sosialisasi yang lebih intensif tentang pelaksanaan Jamkesmas bagi Rumah Sakit Daerah sebelum program tersebut diluncurkan karena informasi tentang system dan paket pelayanannya cukup minim dan sering terjadi kesalahpahaman. Bagaimana mekanisme pendanaan, prosedur pelaksanaan pelayanan Jamkesmas, dan system paket program INA-DRG perlu disosialisasikan selengkap mungkin, dan prosedur pelaksanaan teknisnya juga harus selalu diperbaiki karena masih belum lengkap. Selain itu, untuk pencairan dana Jamkesmas hendaknya segera dicairkan begitu klaim dan persyaratan rumah sakit terpenuhi. Sehingga tidak mengganggu cash flow rumah sakit pemberi pelayanan Jamkesmas. Demikian pula dengan masalah kepesertaan sebaiknya kuota untuk Jamkesmas ditambah karena kemampuan keuangan Daerah untuk membiayai pasien non kuota sangat terbatas.

Daftar Pustaka

Agustinus, Leo 2006, Dasar-dasar Kebijakan Publik Bandung Alfabeta

Dunn, William.2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

Departemen Kesehatan RI 2009. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat: Jakarta Depkes RI

Departemen Kesehatan RI 2007. Tarif INA-DRG RS umum dan Khusus Kelas B: Jakarta Depkes RI

Dye, Thomas R. 1992. Understanding Public Policy. New Jersey: Englewood Cliffs

Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC : Congressional Quarterly Press.

Irfan, M. Islamy. 2004. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Nasir, Mohammad.1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia,

Ndraha, Taliziduhu. 1987. Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Bina Aksara-----------------------. 1997. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta

-----------------------. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta.

-----------------------. 2003. Kybernologi: Ilmu Pemerintahan Baru 1 dan 2.

Jakarta: Rineka Cipta

----------------------- 2005. Kybernologi: Bebrapa Konstruksi Utama. Jakarta:

Bina Aksara

Nugroho, D. Riant. 2004 Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Pt. Elex Media Komputindo,

Marele S. Grindel. 1980. Politics and Policy Implementation in the third world. Princeton University Press

Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofian 1987, Metode Penelitian Survey Jakarta LP3ES

Sugiyono 2003. Metode Penelitian Administrasi Bandung Alfabeta

Thoha, Miftah 2008 Ilmu Administrasi Publik Kontemprer Jakarta Kencana Pranada Media GroupWahab, Solichin Abdul. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. malang: UMM Press.

Wibawa, Samodra dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance. Surabaya: Insan Cendekia.

Winardi J. 1999. Pengantar Teori Sistem dan Analisis Sistem . Cetakan ke 4.

Bandung: Mandar Maju.

------------. 2000. Kepemimpinan dalam Manajemen. Cetakan Kedua. Jakarta:

Rineka Cipta

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jakarta: Medpress

Komunikasi Antarorganisasi dan Kegiatan Pelaksanaan

Ciri Badan Pelaksana

Prestasi Kerja

Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Sumber-sumber kebijakan

Lingkungan

Sikap para pelaksana

PAGE 1