latar belakang carbon accounting

Upload: sherly-salim

Post on 15-Oct-2015

166 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

carbon acc

TRANSCRIPT

TUGAS KASUS AKUNTANSI MANAJEMENCARBON ACCOUNTING:

DOSEN : Dr.Yvonne Augustine Sudibyo, AK.,MM,CMAMahasiswi : Sherly SalimNo Mahasiswa : 123120100

MAGISTER AKUNTANSI - UNIVERSITAS TRISAKTIJAKARTA2014Latar Belakang Carbon Accounting

Global WarmingPemanasan global terjadi sebagai akibat oleh semakin banyaknya gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer bumi. Ada dua kelompok gas rumah kaca yaitu kelompok gas rumah kaca yang berpengaruh langsung dan kelompok gas rumah kaca yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pemanasan global. Gas rumah kaca yang berpengaruh langsung adalah CO2 (karbon dioksida), CH4 (Metana), N2O (Nitro oksida), PFCs (Perfluorocarbons) dan HFCs (Hydrofluorocarbons). Gas rumah kaca yang berpengaruh secara tidak langsung adalah SO2, NOx, CO dan NMVOC. Dari semua jenis gas rumah kaca tersebut, gas CO2 menempati urutan pertama penyebab pemanasan global. Banyak sumber yang menjadi penyebab dilepaskannya gas CO2 ke udara, diantaranya kegiatan pertanian, peternakan, industri, kendaraan bermotor dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan yang berbasis lahan atau tanah di Indonesia menyumbangkan emisi gas rumah kaca lebih besar dibandingkan sektor industri. Saat ini Indonesia belum memiliki standar sistem penghitungan emisi karbon yang digunakan secara nasional, skala regional ataupun areal tertentu, khususnya penghitungan emisi karbon berbasis lahan.

Protocol KyotoMunculnya carbon accounting dilatarbelakangi oleh penandatangan Protokol Kyoto oleh beberapa negara di dunia. Protokol Kyoto (Kyoto Protocol) adalah sebuah perjanjian internasional yang dimaksudkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri dunia, yang harus dicapai pada tahun 2012. Idealnya, hasil dari Protokol Kyoto adalah terjadinya pengurangan emisi gas di bawah level yang terukur pada tahun 1990. Perjanjian tersebut juga mencakup negara berkembang, dimana industrialisasi sedang berkembang pesat dan karena itu menghasilkan sejumlah besar gas rumah kaca.Asal mula Protokol Kyoto dapat dilacak pada Konferensi Iklim Dunia pertama yang diselenggarakan pada tahun 1979. Konferensi ini diadakan untuk mengatasi masalah yang dipicu aktivitas manusia terhadap perubahan iklim. Sebagai hasil, peserta konferensi sepakat memberikan komitmen lebih banyak untuk melakukan penelitian dan aksi untuk mengatasi masalah ini. Tonggak penting berikutnya adalah diadakannya United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 1992. UNFCCC merupakan respon terhadap lebih dari 10 tahun diskusi dan penelitian tentang perubahan iklim. Menurut ketentuan UNFCCC, negara-negara peserta sepakat untuk mengumpulkan dan berbagi informasi tentang emisi gas rumah kaca. Negara anggota konvensi juga diminta mengurangi emisi yang harus dicapai pada tahun 2000, serta berpartisipasi dalam rencana aksi global untuk mencegah peningkatan emisi gas rumah kaca.Perjanjian ini tidak mengikat secara hukum, tetapi banyak negara melihat bahwa kesepakatan tersebut merupakan langkah penting sehingga berkomitmen untuk menjalankannya. Namun pada tahun 1995, kekhawatiran mulai bermunculan bahwa kesepakatan yang sudah dicapai mungkin tidak akan berjalan. Sebagai respon, pada tahun 1997, sebuah konferensi untuk membahas masalah ini diadakan di Kyoto, Jepang. Hasil konferensi lantas disebut sebagai Protokol Kyoto, yang selanjutnya mengikat secara hukum bagi negara peserta untuk mengurangi emisi karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, sulfur hexaflourida, senyawa hidro fluoro (HFC), dan perfluorokarbon (PFC).Menurut ketentuan perjanjian, negara peserta harus mengurangi emisi mereka antara tahun 2008 dan 2012 melalui berbagai cara. Protokol Kyoto mendorong pembangunan berwawasan lingkungan dan perdagangan emisi, sehingga memungkinkan negara-negara yang memenuhi kuota untuk menjual kredit ke negara-negara yang menghadapi kesulitan. Negara Maju penentang Protocol KyotoSementara sebagian besar pihak setuju bahwa perubahan iklim adalah masalah serius, Protokol Kyoto tetap menjumpai tantangan serius dari sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat. Pada tahun 2007, Senat Amerika Serikat menolak meratifikasi Protokol Kyoto, terutama dalam klausul mengenai tingkat emisi yang diperbolehkan untuk negara-negara berkembang seperti China. Penentang Protokol Kyoto mengemukakan berbagai alasan seperti kekhawatiran akan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan bahwa ketentuan dalam protokol dianggap terlalu mengikat.Negara-negara maju pada Konferensi Perubahan Iklim di Bangkok pada 29 September- 9 Oktober 2009 lalu mengindikasikan dihapuskan protokol Kyoto.Ada kekhawatiran protokol kyoto dihapus negara maju, hanya karena mereka ingin, mengakomodasi ketidaksukaan Amerika Serikat terhadap protokol Kyoto. Protokol Kyoto akan habis pada 2012 dan gantinya akan disepakati pada Konferensi Kopenhagen, Denmark Desember mendatang. Isi protokol Kyoto yang ditandatangani 1997 lalu adalah kewajiban penurunan emisi gas rumah bagi negara-negara maju sebesar 5,2 persen dibanding tahun 1990.Dampak mengerikan jika protokol ini sampai dihapus, adalah hilangnya referensi penurunan emisi gas rumah kaca. Termasuk bubarnya pasar karbon, karena tidak ada dasar hukumnya. Mekanisme Protocol KyotoAda tiga mekanisme yang diatur di dalam Protokol Kyoto, yaitu berupa: Joint Implementation (Implementasi Bersama) adalah kerja sarna antar negara maju untuk mengurangi emisi GRK mereka. Clean Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah win-win solution an tara negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat mengurangi emisi GRK dengan imbalan sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju terse but. Emission Trading (Perdagangan Emisi) adalah perdagangan emisi antar negara maju.

Carbon AccountingDefinisi Carbon AccountingDefinisi yang sederhana untuk carbon accounting adalah suatu proses pengukuran, pencatatan dan pelaporan karbon yang dihasilkan oleh perusahaan. Warren (2008) mendefinisikan Carbon accounting sebagai "assessing your organisation's carbon emissions and setting targets for reduction" (proses pengukuran emisi carbon yang dihasilkan perusahaan dan penentuan targetpengurangan emisi).Ada beberapa langkah pengimplementasian carbon accounting dalam perusahaan yang disampaikan oleh Warren (2008), yaitu:a) mengukur emisi carbon perusahaan saat ini b) menentukan target pengurangan emisic) membangun sistem untuk memantau emisi yang dikeluarkan dan mengadakan audit emisi secara periodik, sertad) melaporkan baik internal maupun eksternal mengenai program pengurangan dan kemajuan dalam mencapai target.Tujuan utama penerapan carbon accounting ini adalah untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh industri sebagai bagian dari kesepakatan dalam Protokol Kyoto. Melalui carbon accounting, tiap industri dapat mengukur emisi karbon yang mereka hasilkan, membuat strategi untuk menguranginya, mencatatnya serta melaporkannya pada stakeholder perusahaan.Penerapan carbon accounting ini telah menjadi perhatian di dunia, sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban atas Protokol Kyoto. Para investor, pelanggan, pegawai, komunitas, dan penerintah di negara-negara yang ikut meratifikasi Protokol Kyoto, menekankan keakuratan data mengenai emisi carbon yang dibuat oleh perusahaan sehingga carbon accounting menjadi sangat penting. Akan tetapi, di Indonesia penerapan carbon accounting ini masih relatif baru dan masih terbatas pada perhitungan carbon yang dihasilkan sektor perhutanan.Memang tergolong negara yang baru bergabung dalam Protokol Kyoto dan saat ini masih menekankan pada satu mekanisme saja, yaitu Clean Development Mechanism (CDM). Banyaknya hutan yang dimiliki Indonesia menjadi aset yang sangat menguntungkan dalam bekeIja sarna dengan negara maju untuk kemitraan karbon hutan, seperti keIja sarna Indonesia dan Australia. Pada sektor industri, carbon accounting atau biasa disebut enterprise carbon accounting/enterprise carbon footprint, masih belum diterapkan. Pemerintah Indonesia juga belum mendorong perusahaan untuk mengaplikasikan enterprise carbon accounting ini, sehingga perusahaan kurang peduli terhadap emisi karbon yang dihasilkannya. Hal inilah yang menyebabkan masih tingginya tingkat polusi udara yang dihasilkan oleh industri di Indonesia.

Dalam carbon accounting atau carbonfootprint, emisi carbon yang diukur adalah carbon yang berpengaruh dalam pembentukan GRK (Gas Rumah Kaca), yaitu carbondioksida (C02). Wiedmann dan Minx (2007, dalam Louis, 2010) mengatakan bahwa carbon footprint adalah ukuran secara keseluruhan dari emisi CO2 yang diakibatkan secara langsung maupun tidak langsung dari sebuah aktivitas atau terakumulasi dalam siklus hidup produk. Aktivitas yang dimaksud adalah aktivitas oleh individu, populasi, pemerintah, perusahaan, proses industri, dan sebagainya. Oleh sebab yang diukur hanyalah emisi CO2, maka sebenamya carbon accounting masih mempunyai keterbatasan. Ada banyak GRK yang menyebabkan global warming yang tidak masuk dalam carbon accounting, yaitu Methane (C~), Nitrous oxide (1'120), Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs), dan Sulphur hexafluoride (SF6).Setelah dilakukan pengukuran terhadap kadar CO2 yang dihasilkan dari aktivitas produksi, selanjutnya perusahaan dapat menetapkan strategi untuk dapat mengurangi emisi karbon yang mereka hlsilkan. Tentu saja strategi atau usaha tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi emisi karbon tersebut dibitung, dicatat dan dilaporkan pada stakeholder perusahaan.Ada 2 cara yang bisa dilakukan perusahaan untuk mengurangi carbon footprint (Grey dan Edens, 2008), yaitu:a) Mengurangi emisi karbon itu sendiri.Cara ini dilakukan dengan mengurangi kadar gas karbon yang dihasilkan dalam proses produksi perusahaan.b) Membeli kredit karbon dari perusahaan lain (perdagangan karbon)Perusahaan dapat juga membeli kelebihan kredit karbon dari perusahaan lain sehingga dapat digunakan untuk mengurangi jumlah karbon yang dihasilkannya.Kedua cara tersebut sama-sama mengduarkan biaya, tetapi biaya tersebut bisa dilaporkan oleh perusahaan sebagai pemyataan bahwa perusahaan turut berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon. Perusahaan yang secara aktif mengimplementasikan carbon accounting, membuat pelaporan carbon accounting sebagai bagian dari biaya perusahaan, sehingga dapat diketahui apakah perusahaan berkontribusi secara signifikan dalam mencegah dan mengatasi polusi industri dari operasi bisnisnya (polusi udara). Perusahaan dapat menggabungkan pelaporan carbon accounting mereka dengan environmental accounting reporting. contoh pelaporan carbon accounting.

Dalam pelaporan carbon accounting, ada empat kategori biaya yang bisa dimasukkan, yaitu:a) Biaya pencegahanBiaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mencegah teljadinya polusi udara.b) Biaya pendeteksianBiaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menemukan, mengurangi, dan mendeteksi banyaknya polusi udara yang dikeluarkan.c) Biaya kegagalan internalBiaya yang dikeluarkan jika polusi udara perusahaan melebihi batas, tetapi belum memberi dampak secara eksternal.d) Biaya kegagalan eksternalBiaya yang dikeluarkan jika polusi udara yang dihasilkan perusahaan telah berdampak secara luas terhadap masyarakat sekitar, lingkungan, dan pihak-pihak ekstemal lainnya.Pelaporan carbon accounting ini bisa dimasukkan sebagai voiuntary disclosure perusahaan dan menjadi bagian dalam Corporate Social Reponsibility (CSR) perusahaan. Melalui pelaporan ini, stakeholder dapat menilai peran serta perusahaan dalam mengurangi GRK dan sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan.

Isu-isu Strategis Akuntansi Manajemen Terkait dengan Manajemen KarbonIsu-isu tentang manajemen biaya karbon ((carbon cost management) akan berimplikasi pada isu strategis lain terkait dengan akuntansi manajemen.sekali biaya carbon suatu produk diketahui, berbagai isu strategis dibidang akuntansi manajemen akan dapat dikembangkan. Dalam hal ini, termasuk efesiensi CO2 dalam penggunaan bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overhead lingkungan, serta isu-isu yang terkait dengan manajemen biaya karbon, corporate governance, standar akuntansi karbon dan strategi audit (ratnatunga 2007). Berbagai isu strategis lainnya juga dapat dikembangkan seperti strategi pemasaran karbon, strategi harga dan pemodelan demand atas kredit emisi karbon.

Penerapan Carbon Accounting di IndonesiaKeuntungan Indonesia Menjalankan Protocol KyotoIndonesia, sebagai negara berkembang, pada akhimya juga ikut meratifikasi Protokol Kyoto pada bulan Desember 2004, melalui UU No. 17 tahun 2004, Indonesia akan menerima banyak keuntungan dari Protokol Kyoto. Melalui dana yang disalurkan, Indonesia akan bisa meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Melalui Clean Development Mechanism (CDM), Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sampai sebesar 300 juta ton dan diperkirakan bemilai US$ 1,26 miliar (Widosari, 2005). Saat ini, Indonesia telah melakukan kesepakatan dengan Australia untuk kemitraan karbon hutan (Indonesia-Australia Sumatera Forest Carbon Partnership) pada bulan Juni 2008 senilai A$ 30 juta (Siaran Media Kedutaan Besar Australia, Jakarta, 2010). Kemitraan ini dilakukan sebagai usaha kedua negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto adalah Emission Trading (Perdagangan Emisi) atau juga dikenal dengan Perdagangan Karbon. Model perdagangan ini dapat digambarkan demikian: perusahan-perusahan awalnya melakukan kesepakatan (melalui regulasi pemerintah) tentang seberapa besar Carbondioksida (C02) yang akan dihasilkan oleh produksi mereka (The Cap). Jika perusahaan tertentu dalam memproduksi barang atau jasa menghasilkan emisi C02 kurang dari batas maksimal (The Cap), mereka memiliki nilai kredit. Sebaliknya, jika perusahaan tertentu rnelebihi ambang batas emisi CO2, maka mereka dapat membeli kredit dari perusahaan yang memiliki emisi di bawah ambang batas (Ratnatunga, 2008; dalarr Ja'far dan Kartikasari, 2009). Implikasi dari perdagangan karbon ini adalah munculnya manajemen biaya karbon (carbon cost management), di mana ini merupakan efisiensi emisi C02 dalam penggunaan bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overhead pabrik, biaya overhead lingkungan, serta isu-isu yang terkait dengan manajemen standar akuntansi karbon (Ratnatunga, 2007; dalam Ja'far dan Kartikasari, 2009). Pada akhimya, implikasi dari carbon cost management ini adalah carbon accounting, yang merupakan pengukuran, pencatatan dan pelaporan karbon yang dihasilkan oleh perusahaan.

Pedoman Pengukuran Karbon Dalam Sistem MRV Untuk Penerapan REDD+ di IndonesiaBerikut kerangka pikir pedoman pengukuran karbon dalam sistem MRV untuk penerapan REDD di indonesia

PRINSIP MRV DAN PERHITUNGAN EMISI MENGGUNAKAN IPCC GUIDELINE 2006 Aksi pengurangan emisi suatu negara harus Measurable (dapat diukur), Reportable (dapat dilaporkan), Verifiable (dapat diverifikasi). Presiden memberikan arahan agar Indonesia harus siap dengan MRV nasional yang sesuai standar internasional. Meskipun demikian sebaiknya MRV nasional dengan standar internasional tersebut tetap cost effective. REDD+ dipandang sebagai mekanisme penurunan emisi yang berpotensi besar. Prinsip MRV yang akan diterapkan untuk REDD+, yaitu: 1. Menggunakan IPCC Guidelines terbaru (2006) : AFOLU (Agriculture, Forestry, Other Land Use) 2. Kombinasi remote-sensing & ground-based inventory, 3. Memperhitungkan 5 carbon pools 4. Hasil penghitungan : transparan dan terbuka untuk review. Untuk mendukung MRV perhitungan emisi termasuk REDD+ harus didasarkan kepada data perubahan tutupan hutan dari hasil remote sensing, penggunaan faktor emisi dan faktor serapan lokal serta tersedianya data kegiatan seperti perubahan luas berbagai penutupan lahan, luas sub kategori hutan, luas hutan tanaman, dari hasil kegiatan misalnya gerhan, HTI, HTR, HR, serta angka kerusakan hutan seperti loging, kebakaran, dan data lainnya. Data cadangan karbon dan perubahannya didasarkan kepada IPCC-GL 2006, yang memperhitungkan 5 sumber karbon (carbon pools). Metode pengukuran karbon di lapangan dengan menempatkan plot-plot contoh telah dikembangkan (McDicken 1997, IPCC GL, 2006, Kurniatun dan Rahayu, 2007, GOFC-Gold, 2009). Lima sumber karbon yaitu :1. Biomas di atas tanah (above ground biomass), 2. Biomas di bawah tanah (below ground biomass), 3. Pohon yang mati (dead wood), 4. Seresah (litter), 5. Tanah (Soil) 6. Pool ke-6 : Kayu yang dipanen (harvested wood products) belum diperhitungkan. Voluntary Carbon Standard (2009) memberikan tahapan kegiatan untuk mendukung MRV yang diterapkan dalam proyek Demonstration Activities (DA) di Taman Nasional Meru Betiri sebagai berikut : 1. Identifikasi ruang lingkup kegiatan termasuk menentukan batasan geografis pelaksanaan kegiatan, pembentukan PSP, tipe gas rumah kaca (CO2-e), dan sumber karbon yang akan diukur, 2. Menentukan aseline (REL), termasuk memperkirakan unit penurunan emisi atau peningkatan serapan karbon yang akan dihasilkan, 3. Membuktikan adanya penambahan atau additionality, termasuk validasi dari metodologi, yang mencakup urutan bagaimana memperkirakan besar emisi atau serapan, 4. Mengelola resiko untuk mengurangi ketidakpastian atau kehilangan karena kebocoran, dan 5. Memperkirakan dan melaporkan hasil pantauan perbedaan emisi.

KesimpulanCarbon accounting ini merupakan implementasi dari Protokol Kyoto yang disepakati oleh negara-negara di dunia untuk mengurangi Gas Rumah Kaca CGRK). Ada 3 mekanisme yang disarankan dalam Protokol Kyoto, yaitu Joint Implementation, Clean Development Mechanism, serta Emission Trading. Berbagai mekanisme dalam Protokol Kyoto tersebut mendorong munculnya kebutuhan pada suatu sistem, yang dapat menjadi usaha pengurangan emisi karbon di suatu negara. Carbon accounting merupakan suatu proses atau cara untuk mengukur emisi karbon, kemudian menetapkan strategi untuk mengurangi emisi karbon tersebut, mencatat biaya-biaya yang dikeluarkan dan melaporkannya kepada stakeholder perusahaan.

Penerapan carbon accounting ini membawa manfaat yang baik bagi suatu negara, termasuk Indonesia. Berbagai pihak yang bisa merasakan manfaat dari penerapan carbon accounting ini adalah perusahaan atau industri, pemerintah dan masyarakat Indonesia. Bagi perusahaan, penerapan carbon accounting bisa menjadi bagian dalam Corporate Social Responsibility (CSR) dan akan membawa dampak yang positif bagi perusahaan. Dengan melaporkan carbon accounting dalam pelaporan CSR, stakeholder perusahaan akan memberikan padangan positif bagi perusahaan, yang kemudian akan mendatangkan manfaat ekonomis bagi perusahaan tersebut.

Bagi pemerintah Indonesia, carbon accounting bisa mendorong jalannya kerja sarna dengan negara maju terkait dengan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation), untuk mengurangi GRK. Dengan begitu, Indonesia bisa memperoleh kucuran dana yang bisa digunakan untuk memulihkan hutan-hutan yang rusak di Indonesia sekaligus membangun sarana dan prasarana yang baik di Iuar Pulau Jawa. Jika pemerintah dapat mendorong industri untuk menerapkan carbon accounting dalam proses bisnisnya, maka secara tidak langsung hal ini dapat membantu program pemerintah untuk mengurangi polusi udara, terutama yang disebabkan oleh industri. Masyarakat Indonesia juga mendapat manfaat dari penerapan carbon accounting. Jika industri menerapkan carbon accounting untuk mengurangi emisi karbonnya, maka poillsi udara yang disebabkan oleh proses produksi juga akan berkurang, sehingga kesehatan masyarakat di sekitar industri juga akan membaik.Penerapan carbon accounting juga bisa mengurangi potensi bencana alam, seperti tanah longsor akibat hutan yang gllndul, karena kerja sarna pemerintah Indonesia dalam REDO. Masyarakat juga diuntungkan dengan pembangunan sarana dan prasarana baru melalui kucuran dana dari hasil kemitraan REDO. Selain itu, akanmuncullapangan pekerjaan baru yang menunjang penerapan carbon accounting di suatu negara. Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh suatu negara dengan penerapan carbon accounting dan bisa dinikmati oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, Indonesia sebaiknya mulai menerapkan carbon accounting tidak hanya di sektor perhutanan, tetapi juga di sektor industri yang lain. Pemerintah juga harus mulai menyusun standar untuk carbon accounting untuk memperlancar penerapan carbon accounting di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.csrindonesia.com

http://www.redd-indonesia.org/

Ja'far, M. dan L. Kartikasari. 2009. "Need Assesments: Standar Akuntansi Carbon dan Praktik Carbon Accounting", Makalah disampaikan pada The Jrd National Conference Faculty of Economics, Unika Widya Mandala Surabaya.

Ratnatunga, J. (2007b), Carbon Cost Accounting: The Impact of Global Warming on the Cost Accounting Profession, Journal of Applied Management Accounting Research, 5(2), pp. 1-8.

UNFCCC. 1998. Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change.

Warren, J. 2008. Car,Jon Accounting.

Widosari, Y. D. S. 2005. Protokol Kyoto: Solusi Terhadap Pemanasan Global.