latar belakang

Upload: maida-khoirina

Post on 19-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1.1. Latar Belakang

Mendengar kata pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Pedagang asongan adalah para pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di sekitar terminal dan di dalam bus-bus. Mereka selalu berupaya untuk menarik pembeli agar membeli dagangannya, yang kadang juga suka terlihat agak memaksa. Supir adalah para pengemudi bus atau angkot yang selalu terlihat di lingkungan terminal. Kondektur adalah orang yang membantu supir untuk menarik penumpang ke dalam angkot atau bus, sedangkan calo adalah perantara atau reseller. Kata calo kadang bersifat negatif karena apa yang calo lakukan adalah menggunakan kesempitan orang menjadi suatu kesempatan. Calo juga identik dengan preman atau penguasa daerah tertentu yang sudah menjadi objek pencariannya.Di lingkungan terminal, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh pedagang asongan, supir, kondektur, dan para calo yang sering mengucapkan kata-kata kasar. Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan wajah terpaksa memberi sejumlah persenan kepada calo. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan para calo itu biasa saja, sehingga mereka pantas menerima sejumlah uang.Lalu apa yang akan terjadi jika para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan uang yang tidak sesuai dengan keinginan para calo. Yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut calo tersebut kepada supir dan kondektur. Sarkasme yang keluar dari mulut calo-calo itu biasanya adalah nama-nama binatang seperti anjing, monyet, babi dan sebagainya. Jika supir tidak menerima perkataan yang dilontarkan calo kadang-kadang mereka pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga sering terjadi adu mulut antara para calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti oleh pedagang asongan yang sering menambah suasana menjadi ricuh.Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan yang diucapkan oleh salah satu calo dan supir angkot di terminal Cicaheum :Supir : Yeuh duitna, dua rebu nya?Calo : Anjing maneh mah ngan sakieu!Supir : Terus mentana sabaraha? Urang ge can nyetor, teu boga duit sia!Calo : Mbung nyaho aing mah, sarebu deui atuh!Supir : Lebok tah duitna, blegug maneh mah!Calo : Ehdasar supir monyet.

Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh calo dan supir angkot di terminal Cicaheum. Penulis akan meneliti fenomena kebahasaan yang terjadi pada tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, bahasa Jawa (Cirebon), dan bahasa Indonesia. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga tidak berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.Dilihat dari sudut penuturnya, bahasa itu berfungsi personal atau pribadi (Halliday 1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson 1960 menyebutkan fungsi emotif). Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973 menyebutkan fungsi instrumental; dan Jakobson 1960 menyebutkan fungsi retorikal). Disini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, imbauan, permintaan maupun rayuan.Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974 menyebutkan interpersonal; dan Halliday 1973 menyebutkan interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas nasional.Dalam masyarakat, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sangat beragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang mereka lakukan beragam.Menurut Moeliono (1980:17), mengikuti Quirk, Grenbaum, Leech, Svarvik (1972), ditinjau dari sudut pandangan penutur, ragam dapat diperinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur.Sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dengan menyakiti hati (Purwadarminta dalam Tarigan, 1990:92). Apabila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar. Menurut Badudu (1975:78), sarkasme adalah gaya sindiran terkasar. Memaki orang dengan kata-kata kasar dan tak sopan di telinga. Biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah.Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan bahasa bisa terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Alan dalam Wijana, 2004:28).Di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau buruk (Burhanudin Salam, 2001:102).Etika juga bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlak (Burhanudin Salam, 2001:102).Sementara itu, secara sederhana Prof. I. R. Poedjowijatna (1986), mengatakan bahwa sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal banyak yang tidak mengandung etika.Dalam berkomunikasi, tidak akan pernah lepas dengan adanya pola berbahasa yang diucapkan kasar, baik berupa olok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati. Seperti tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak mengandung unsur kesantunan berbahasa. Misal, mudah marah, kata-katanya kasar, dan bersifat memaksa saat meminta uang karena mereka merasa penguasa tempat tersebut.Suparno menjelaskan dalam artikelnya, bahwa ragam bahasa yang tidak santun ini menjadi hal yang lazim diucapkan. Sarkasisasi tersebut justru menjadikan keakraban tanpa sekat strata, sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat menikmatinya dengan senang dan bangga hati.Fenomena kebahasaan ini tentu saja menarik untuk diteliti karena dapat menambah wawasan keilmuan linguistik saat ini. Penulis memilih analisis kesantunan berbahasa pada tuturan orang-orang penghuni terminal berdasarkan pertimbangan bahwa; ragam bahasa yang kasar kerap kali menjadi instrumen komunikasi dalam pergaulan sebagian masyarakat Indonesia. Baik kalangan yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan, karena penelitian mengenai kesantunan berbahasa ini masih jarang dilakukan, maka penulis tertarik untuk menelitinya. Sepengetahuan penulis, ada beberapa yang sudah meneliti tentang kekasaran berbahasa, diantaranya Ai Sulastri (2004) dengan judul Gejala Disfemisme (Bentuk Pengasaran) Dalam Bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini adalah ternyata banyak sekali kekasaran berbahasa dalam bahasa Indonesia. Para pemakai bahasa kasar ini pun semakin merasa nyaman dengan apa yang mereka lontarkan. Selain Ai Sulastri juga ada Lela Febrianti (2006), dengan judul Sarkasme Pada Film Anak-anak. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa bentuk kekasaran berbahasa tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, tetapi sudah menjalar ke anak-anak dengan ditayangkannya film anak-anak yang bahasanya terkadang kasar.Dari beberapa sumber yang disebutkan itu, dapat diketahui bahwa penelitian tentang Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal belum dilakukan secara khusus. Untuk itu, melalui penelitian ini akan dicoba melakukan telaah terhadap tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal yang mengandung kekasaran berbahasa dengan memperhatikan tuturan yang dilakukan oleh mereka.

1. 2. Identifikasi Masalah Hal-hal yang diidentifikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:1. wujud ragam bahasa yang dipakai oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur;2. bahasa yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur banyak yang tidak santun;3. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur dan;4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur.

1. 3. Batasan Masalah . Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut:1. tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang tidak mengandung kesantunan;2. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur;3. calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang dituju adalah yang ada di terminal angkot/bus dan;4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yag diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di terminal angkot/bus.

Analisis1. Latar belakangLatar belakang yang baik di dalamnya minimal harus terdapat beberapa hal sebagai berikut : fenomena/isu terbaru, kondisi ideal didukung teori terbaru, kondisi empiris, penemuan masalah, dan alasan penelitian.Latar belakang dari judul skripsi ini muncul berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Kegelisahan penulis timbul setelah penulis melihat sendiri maraknya penggunaan bahasa yang kasar di lingkungan terminal dengan subyek-subyek seperti pedagang asongan, sopir, kondektur dan calo. Penulis menganggap maraknya fenomena penggunaan bahasa yang kasar di lingkungan terminal ini merupakan sebuah hal unik yang patut untuk diteliti, sehingga penulis mengangkatnya menjadi sebuah skripsi dengan judul Realisasi Kesantunan Bahasa di Lingkungan Terminal. Dari sedikit penjelasan tentang bahasa yang telah penulis paparkan di latar belakang skripsi ini, penulis terlihat sedang berupaya mengajak pembaca untuk mengaitkan hubungan antara penggunaan bahasa dengan nilai moral atau etika. Misalnya penulis mengambil pendapat dari Burhanudin Salam (2001:102) bahwa di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau buruk.Dalam keberjalanan penelitian dan kajian pustaka yang penulis cuplik, penulis menemukan hal yang menarik bahwasanya dalam beberapa kasus, penggunaan kata yang kasar tersebut justru menjadikan keakraban tanpa sekat strata diantara masyarakat, sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat menikmatinya dengan senang dan bangga hati. Oleh karena itu, penggunaan kata yang tidak santun ini menjadi hal yang lazim diucapkan dan sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dd dalam latar belakang yang telah disusun penulis, kita dapat melihat bahwa ide yang penulis angkat bukanlah ide yang berawal dari isu atau fenomena terbaru, meskipun begitu bukan berarti latar belakang skripsi ini dikatakan buruk, karena fenomena yang diangkat penulis adalah fenomena di sekitar kita yang jarang kita perhatikan. Keumuman fenomena ini membantu pembaca untuk memahami isi skripsi ini karena yang diulas dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan bersifat global atau tidak didasarkan pada kondisi suatu daerah tertentu.Latar belakang skripsi ini juga dilengkapi dengan kondisi-kondisi ideal yang didukung dengan teori-teori dan menunjukkan adanya ketimpangan antara kondisi yang seharusnya (kondisi ideal) dengan kondisi riel (kenyataan), sehingga menjadikan skripsi ini menarik untuk dibaca.

2. Identifikasi masalahDalam pengertian umum, masalah penelitian adalah suatu pertanyaan atau pernyataan yang menyatakan tentang situasi yang memerlukan pemecahan melalui penelitian. Secara lebih spesifik, masalah penelitian merupakan pertanyaan yang menanyakan hubungan antar variabel penelitian. Pengertian lain menunjukkan bahwa masalah merupakan kesenjangan das sollen dengan das sain. Masalah juga dapat dikatakan sebagai kesenjangan antara teori dan praktik.Dalam identifikasi masalah, dipaparkan seluruh masalah yang ditemukan dalam latar belakang masalah. Oleh karena itu harus dihindari memunculkan masalah yang tidak memiliki landasan/pijakan dari latar belakang masalah. Bagian identifikasi masalah ini memiliki fungsi untuk menunjukkan bahwa banyak masalah yang dapat diangkat menjadi masalah penelitian.Identifikasi masalah yang tertulis di bagian pendahuluan skripsi ini sudah memuat semua masalah yang ada pada latar belakangnya, dimana identifikasi masalahnya antara lain:1. wujud ragam bahasa yang dipakai oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur;2. bahasa yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur banyak yang tidak santun;3. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur dan;4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur.Tapi sedikit muncul keambiguan pada poin 2 dan 3, dimana dua poin ini bisa diartikan dengan arti yang sama karena sulit dicari perbedaan diantara keduanya. (Ini tolong direvisi ya nggak paham bedanya poin 2 dan 3)

3. Batasan masalahDalam menyusun penelitian, disebabkan oleh beberapa factor seperti keterbatasan waktu, biaya, kemampuan dan minat peneliti serta tingkat urgensi masalah itu untuk dikaji/diteliti, maka peneliti biasanya akan membatasi pada masalah masalah tertentu untuk diteliti, sehingga focus pembahasannya menjadi terarah dan tidak terlalu melebar. Bagian ini disebut sebagai pembatasan masalah.Dalam skripsi ini penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut ;1. tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang tidak mengandung kesantunan;2. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur;3. calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang dituju adalah yang ada di terminal angkot/bus dan;4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di terminal angkot/busDari batasan masalah yang penulis paparkan, sulit dicari perbedaan antara poin 1 dan poin 2 atau dengan kata lain 2 poin ini memiliki arti yang sama dan tidak harus dijadikan 2 poin tersendiri, tetapi bisa digabung menjadi 1 poin saja. Selain itu, batasan masalah poin 3 juga tidak terlalu dibutuhkan untuk dijadikan poin tersendiri pada batasan masalah, atau bahkan bisa dikatakan tidak ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. Jika penulis bermaksud memberi batasan bahwa yang penulis teliti adalah calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang dituju adalah yang ada di terminal angkot/bus, maka hal itu sebenarnya sudah terwakilkan pada poin 4. (Ini tolong direvisi ya nggak paham bedanya poin 1 dan 2, nggak paham maksudnya poin 3 ^_^)