lapsus pneumonia

47
LAPORAN KASUS PNEUMONIA PADA ANAK Oleh : Rizal Trianto (08700150) Pembimbing : dr.Endah Tjiptaningsih, Sp. A SMF ANAK

Upload: ditto-dwi-laksono

Post on 21-Jan-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Pneumonia

LAPORAN KASUS

PNEUMONIA PADA ANAK

Oleh :

Rizal Trianto (08700150)

Pembimbing :

dr.Endah Tjiptaningsih, Sp. A

SMF ANAK

RSUD DR.MOH.SALEH PROBOLINGGO

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

Page 2: Lapsus Pneumonia

LEMBAR PENGESAHAN

Tugas referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan kepaniteraan klinik Dokter

Muda FK UWKS dalam SMF Anak RSUD DR. M. Saleh Probolinggo.

Disetujui tanggal :

Probolinggo, 23 April 2013

Mengetahui,

Penyaji Dokter pembimbing

Rizal Trianto dr.Endah Tjiptaningsih, Sp. A

2

Page 3: Lapsus Pneumonia

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

KATA PENGANTAR................................................................................................................5

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................................6

1.2 Tujuan.........................................................................................................................6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA PNEUMONIA

2.1 DEFINISI....................................................................................................................7

2.2 EPIDEMIOLOGI........................................................................................................7

2.3 ETIOLOGI..................................................................................................................8

2.4 FAKTOR RESIKO.....................................................................................................9

2.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI...............................................................10

2.6 MANIFESTASI KLINIS..........................................................................................12

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG.............................................................................14

2.8 DIAGNOSIS.............................................................................................................15

2.9 KOMPLIKASI..........................................................................................................16

2.10 PENATALAKSANAAN........................................................................................16

2.11 PENCEGAHAN.....................................................................................................20

BAB III. STATUS PASIEN RAWAT INAP

3.1 Identitas pasien.........................................................................................................21

3.2 Subyektif...................................................................................................................21

3.3 Riwayat Penyakit Terdahulu.....................................................................................21

3.4 Riwayat Penyakit Keluarga......................................................................................22

3.5 Imunisasi...................................................................................................................22

3.6 Riwayat diit...............................................................................................................22

3.7 Riwayat perkembangan.............................................................................................22

3.8 Riwayat Persalinan...................................................................................................22

3.9 Objektif.....................................................................................................................22

3.10 Hasil Pemeriksaan Labotorium..............................................................................23

3.11 Assesment..............................................................................................................24

3.12 Planning.................................................................................................................24

3

Page 4: Lapsus Pneumonia

3.13 Lembar pemeriksaan harian...................................................................................25

BAB IV. PEMBAHASAN......................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................29

4

Page 5: Lapsus Pneumonia

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNya

kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Pneumonia pada Anak” ini.

Laporan Kasus ini kami ajukan sebagai salah satu persayaratan Kepaniteraan Klinik

Dokter Muda di SMF ANAK RSUD DR. M. SALEH PROBOLINGGO.

Terima kasih kami ucapkan pada dr. Endah Tjiptaningsih, Sp. A yang telah

meluangkan waktunya dan sabar dalam membimbing kami, serta seluruh pihak yang telah

membantu menyelesaikan penyusunan Laporan Kasus ini. Semoga Laporan kasus ini dapat

berguna bagi kita semua.

Akhir kata, kami memohon maaf kalau ada penulisan dan kata-kata kami yang salah

dalam Laporan kasus ini. Maka dari itu, Kritik dan saran sangat diharapkan demi

kesempurnaan laporan kasus ini.

Probolinggo, 23 April 2013

5

Page 6: Lapsus Pneumonia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang 9,10

Pneumonia adalah penyakit infeksi menular yang merupakan penyebab utama

kematian pada balita di dunia. Data WHO tahun 2005 menyatakan bahwa proporsi kematian

balita karena saluran pernafasan di dunia adalah sebesar 19-26%. Pada tahun 2007

diperkirakan terdapat 1,8 juta kematian akibat pneumonia atau sekitar 20% dari total 9 juta

kematian pada anak. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun

2007, Pneumonia adalah penyebab kematian kedua pada balita setelah Diare.

Target Millenium Development Goal (MDG) 4 adalah menurunkan angka kematian

padaa balita pada tahun 2015 duapertiga dari tahun 1990. Salah satu upaya menurunkan

angka kematian balita adalah dengan menurunkan angka kematianj balita akibat Pneumonia

sebagai penyebab utama kematian pada balita. Agar target ini tercapai, diperlukan upaya

pengendalian pneumonia pada balita yang komperhensif, inovatif, dan terpadu dengan

melibatkan semua faktor terkatit.

1.2.Tujuan

Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah

1. Pembaca dapat memahami definisi,penyebab,gejala klinis, cara mendiagnosa,

penatalaksanaan dan prognosis dari pneumonia pada anak .

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah kedokteran

3. Memenuhi tugas referat pada SMF Anak RSUD dr.Moh.Saleh Probolinggo

6

Page 7: Lapsus Pneumonia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA PNEUMONIA

2.1 DEFINISI 1,2,4,8,9

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Walaupun banyak pihak

yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk

merumuskan satu definisi tunggal yang universal. Pneumonia adalah penyakit klinis,

sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah

satu definisi klasik menyatakan bahwa pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai

dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah halus, dengan gambaran infiltrat pada foto

otot polos dada.

Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya kurang lebih sama.

Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonitis adalah inflamasi paru non infeksi.

Namun hal ini tidak sepenuhnya disetujui oleh para ahli

2.2 Epidemiologi 4,8,9,10

Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak-anak

di seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia pada dewasa. Di

Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih tinggi,

diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 16-

20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun

dan remaja.

Di RSU Dr Soetomo Surabaya, jumlah kasus pneumonia meningkat dari tahun ke

tahun. Pada tahun 2003 dirawat sebanyak 190 pasien. Tahun 2004 dirawat sebanyak 231

pasien, dengan jumlah terbanyak pada anak usia kurang dari 1 tahun (69%). Pada tahun 2005,

anak berumur kurang dari 5 tahun yang dirawat sebanyak 547 kasus dengan jumlah terbanyak

pada umur 1-12 bulan sebanyak 337 orang.

Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi

juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncakpada umur 1-5

tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia

oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara

berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari data

7

Page 8: Lapsus Pneumonia

mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebeb kematian pada anak

dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang.

Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4

musim, banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada

musim hujan.

2.3 Etiologi 2,4,5,6

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan

sebagian kecil disebabkan oleh hal lain mislanya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid

substances)/benda teraspirasi.

Pola kuma penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur

pasien. Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai penyebab tersering

adalah respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus, influenza virus, dan

adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah

Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenze, Staphylococcus aureus, Streptococcus

group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.

Pada masa neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia

prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu, Streptococcus pneumoniae

merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumoniae dan

Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada anak diatas 5

tahun.

8

Page 9: Lapsus Pneumonia

2.4 FAKTOR RESIKO 1,5,6,10

Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda kelengkapan

imunisasi, kepadatan hunian defisiensi vitamin A, defisiensi Zn, paparan asap rokok secara

pasif dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan faktor resiko untuk terjadinya

pneumonia Faktor predisposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah adanya kelainan

anatomi kongenital (contoh fistula nakeaesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan

fungsi imun (penggunaan sitostatika dan steroid jangka panjang gangguan sistem imun

berkaitan penyakit tertentu seperti HIV), campak, pertusis, gangguan neuromuskular,

9

Page 10: Lapsus Pneumonia

kontaminasi perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik,

aspirasi benda asing atau disfungsi silier.

2.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI 3,4,7,8

Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung

kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekundcr dari

viremia/bakterimia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal

saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru

terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan barier

mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik

diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung; pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis,

ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan

mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal imunoglobulin A

maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin alveolar

makrofag dan cell mediated immunity.

Pneumonia tefadi bila satu atau lebih mekanisme diaas mengalami gangguan sehingga

kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Inokulasi patogen penyebab

pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu yang berbeda sesuai

dengan patogen penyebabnya.

Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat patchy dan

mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel

dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel

mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil sel-sel PMN akan

didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah debris

dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan

menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan diperberat

dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon

inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang intersitial yang terdiri dari

sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya denudasi

(pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke intersitial sangat

jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi terjadinya

pneumonia bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa.

Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang-kadang

terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung dari

10

Page 11: Lapsus Pneumonia

interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika bakteri dapat

mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi

kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan

epitelial yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan

terbentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh

makrofag alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan

komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena bakteri yang

tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak dapat

merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut

dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan

meagakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan edema yang luas, dan hal ini merupkan

karakteristik pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan

edematus yang berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn).

Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang

terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara

histopatologi dinamakan red hepatization (hepatisasi merah).

Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif

oleh lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi

enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek sitotokslk terhadap semua sel-sel

paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur seluler paru.

Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan lekosit

PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel monosit akan membersihkan debris.

Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi keterlibatan instertitial), parenkim

paru akan kembali sempuma dan perbaikan epitel alveolar terjadi setelah terapi berhasil.

Pembentukan jaringan parut pada paru milimal.

Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan jaringan

disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman. Perlekatan

Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang terdapat di dinding sel

dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari fibrinogen, fibronektin, kolagen

dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari Staphylococcus aureus akan menghasilkan

faktor-faktor virulensi yang berbeda pula dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu

atau lebih kemampuan dalam melindungi kuman dari pertahanan tubuh penjamu, melokalisir

infeksi, menyebabkan kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak sebagai toksin yang

mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain Staphylococcus aureus

11

Page 12: Lapsus Pneumonia

menghasilkan kapsul polisakarida atau slime layer yang akan berinteraksi dengan

opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering disebabkan Staphylococcus aureus yang

memproduksi koagulase. Produksi koagulase atau clumping factor akan menyebabkan plasma

menggumpal melalui interaksi dengan fibrinogen dimana hal ini berperan penting dalam

melokalisasi infeksi (contoh: pembentukan abses, pneumatosel). Beberapa strain

Staphylococcus aureus akan membentuk beberapa enzim seperti catalase (meng-nonaktifkan

hidrogen peroksida, meningkatkan ketahanan intraseluler kuman) penicillinase atau β

lactamase (mengnonaktifkan penisilin pada tingkat molekular dengan membuka cincin beta

laktam molekul penisilin) dan lipase.

Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat

kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume

ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan

frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda

inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi

tidak tercapai (V/Q < 4/5) yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha

meningkatkannya sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu

dengan berkurangnya vohme paru secara fingsional karena proses inflamasi maka akan

mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat

terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas.

2.6 MANIFESTASI KLINIS 2,4,5,9

Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia

pasien, status imunologi s pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat yaitu

sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan

tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non spesifik), gejala

pulmonal, pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil,

sefalgia dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti

muntah, kembung, diare atau sakit perut.

Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung

Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek gejala nafas cuping hidung, takipnea,

dispnea dan apnea baru timbul. Otot bantu nafas interkostal dan abdominal mungkin

digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neondatus bisa tanpa batuk.

Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-anak dengan pneumonia viral atau mikoplasma

seperti yang ditemukan pada anak-anak dengan asma atau bronkiolitis.

12

Page 13: Lapsus Pneumonia

Keradangan pada pleura biasa ditemukan pada pneumonia yang disebabkan oleh

Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, yang ditandai dengan nyeri dada pada

daerah yang terkena. Nyeri dapat berat sehingga akan membatasi gerakan dinding dada

selama inspirasi dan kadang-kadang menyebar ke leher dan perut.

Gejala ekstra pulmonal mungkin ditemukan pada beberapa kasus. Abses pada kulit

atau jaringan lunak seringkali didapatkan pada kasus pneumonia karena Staphylococcus

aureus. Otitis media, konjuntivitis, sinusitis dapat ditemukan pada kasus infeksi karena

Streptococcus pneumoniae atau Haemophillus influenza. Sedangkan epiglotitis dan

meningitis khususnya dikaitkan dengan pneumonia karena Haemophillus influenza.

Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal

ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana pneumonia.

Pengukuran frekuensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. WHO bahkan

telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak dengan batuk.

Dengan adanya batuk, frekuensi nafas yang lebih cepat dari normal serta adanya tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkannya sebagai kasus

pneumonia berat di lapangan dan harus memerlukan perawatan di Rumah Sakit untuk

pemberian antibiotik.

Kriteria takipnea menurut WHO

Umur Laju nafas normal

(frekuensi/menit)

Takipnea (frekuensi/menit)

0-2 bulan

2-12 bulan

l-5 tatun

>5 tahun

30-50

25-40

20-30

15-25

=60

=50

=40

=20

Perkusi toraks tidak bernilai diagnostik, karena umumnya kelainan patologinya

menyebar. Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. Pada auskultasi

suara nafas yang melemah seringkali ditemukan bila ada proses peradangan subpleura dan

mengeras (suara bronkial) bila ada proses konsolidasi. Ronki basah halus yang khas untuk

pasien yang lebih besar, mungkin tidak akan untuk bayi. Pada bayi dan balita kecil karena

kecilnya volume toraks biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.

Secara klinis pada anak sulit membedakan antara bakterial dan pneumonia viral.

Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa bacterial awitannya cepat, batuk produktif,

13

Page 14: Lapsus Pneumonia

pasien tampak toksik, lekositosis dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Namun

keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.

Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir atau

ascending dari infeksi intrauterin. Kuman penyebab terutama adalah GBS (Group B

Streptococcus) selain kuman-kuman gram negatif. Gejalanya berupa respirtory distress yaitu

merintih, nafas cuping hidung retraksi dari sianosis. Sepsis akan terjadi dalam hitungan jam,

hampir semua bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam pertama kehidupan. Pada bayi

prematur, gambaran infeksi oleh karena GBS menyerupai gambaran RDS (Respiratory

Distress Syndrome).

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1,4,5,6

Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaan foto polos

dada perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disarnping untuk melihat luasnya kelainan

palologi secara lebih akurat. Foto posisi anteroposterior (AP) dan lateral (L) diperlukan untuk

menentukan luasnya lokasi anatomik dalam paru, luasnya kelainan dan kemungkinan adanya

komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, pneumatokel, abses paru dan efusi

pleura. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pernbesaran

kelenjar hilus sering terjadi pada pneumonia karena haemophiltus influenza dan

Staphylococcus aureus, tapi jarang pada pneumonia karena Streptococcus pneumoniae.

kecurigaan ke arah infeksi Staphylococcus aureus apabila pada foto polos dada dijumpai

adanya gambaran pneumatokel, abses paru, empiema dan piopneumotoraks serta usia pasien

di bawah 1 tahun. Foto polos dada umunnya akan normal kembali dalam 34 minggu.

Pemeriksaan radiologis tidak perlu diulang secara rutin kecuali jika ada pneumatokel, abses,

efusi pleura, empiema, pneumotoraks atau komplikasi lain. Sebagaimana manifestasi klinis,

pemeriksaan radiologis tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara infeksi virus dengan

bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran infiltrat intersitial difus,

hiperinflasi atau atelektasis. Pada sindroma aspirasi, infiltrat akan tampak di lobus superior

kanan pada bayi, tetapi pada anak yang lebih besar akan tampak di bagian posterior atau basal

paru. Menurut WHO terdapat kesulitan dalam interpretasi foto polos dada sehingga

dikembangkan cara standarisasi kriteria pneumonia untuk kepentingan aspek epidemiologis.

Sistem ini membagi gambaran foto torak dalam normal torak, infiltrat atau akhir proses

konsolidasi (end stage consolidation) yang didefinisikan sebagai "significant amount of

alveolar type conslidation". Seringkali panas dan takipnea sudah timbul sebelum terlihat

perubahan pada foto torak.

14

Page 15: Lapsus Pneumonia

Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan yang ekstensif tidak perlu dilakukan, tetapi

pemeriksaan laboratorium mungkin akan membantu dalam memp rkirakan mikroorganisme

penyebab. Lekositosis >15.000/UL seringkali dijumpai. Dominasi netrofil pada hitung jenis

atau adanya pergeseran ke kiri menurunkan bakteri sebagai penyebab. Lekosit >30.000/UL

dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus dan stafilokokus.

Laju endap darah dan C-reaktif protein (CRP) merupakan indikator inflamasi yang

tidak khas sehingga hanya sedikit membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah

kepada infeksi bakteri. Kadar CRP yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan

pneumonia alveolar dibandingkan pasien dengan pneumonia intersitialis. Begitu pula pada

kasus pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae akan menunjukkan kadar

CRP yang lebih tinggi secara signifikan dibanding non pneumococcal pneumonia.

Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi hanya positif pada

10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat membantu pada penanganan

kasus pneumonia dengan dugaan penyebab stafilokokus dan pneumokokus yang tidak

menunjukkan respon baik terhadap penanganan awal. Kultur darah juga direkomendasikan

pada kasus pneumonia yang berat dan pada bayi usia kurang dari 3 bulan.

Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) bermanfaat mtuk diagnosis

Streptococcus pneumoniae dan infeksi karena mikoplasma. Pemeriksaan PCR mahal, tidak

tersedia secara luas serta tidak banyak berpengaruh terhadap penanganan awal pneumonia

sehingga pemeriksaan ini tidak direkomendasikan.

Pemeriksaan aspirat nasofaringeal untuk pemeriksaan imunofluoresen virus dan

deteksi antigen virus akan membaatu untuk mengidentifikasi virus tetapi hanya mempunyai

sedikit pengaruh untuk penanganan awal pasien. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas

yang tinggi dan sangat membantu diagnosis anak dengan infeksi RSV.

Bila fasilitas memungkinkan, pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan

hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau

meningkat tergantung kelainanny. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik dan

gagal nafas.

2.8 DIAGNOSIS 2,4,9,11

Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan

pemeriksaan mikrobiologik. Upaya untuk mendapatkan spesimen atau bahan pemeriksaan

guna mencari etiologi kuman penyebab dapat meliputi pemerlksaan sputum, sekret

nasofaring bagian posterior, aspirasi trakea, torakosintesis pada efusi pleura, perkutaneus

15

Page 16: Lapsus Pneumonia

lung aspiration dan biopsi paru bila diperlukan. Tetapi penreriksaan ini banyak kendalanya

baik dari segi teknis maupun biaya. Secara umum kuman penyebab spesifik hanya dapat

diidentifikasi kurang darr 50% kasus. Dengan demikian pneumonia didiagnosis terutama

berdasarkan manifestasi klinis dibantu pemeriksaan penunjang yang lain seperti foto rontgen

dada.

Tetapi tanpa pemeriksaan mikrobiologi kesulitan yang lebih besar adalah

membedakan kuman penyebab; bakted, virus atau kuman lain. Pneumonia bakterial lebih

sering mengenai bayi dan balita dibandingkan anak yang lebih besar. Pneumonia bakterial

biasanya timbul mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi disertai menggigil dan sesak

memburuk dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul perlahan pasien tidak tampak sakit

berat, demam tidak tinggi, gejala batuk dan sesak bertambah secara bertahap. Infeksi virus

biasanya melibatkan banyak organ bermukosa (mata, mulut, tenggorok, usus). Semakin

banyak organ terlibat, makin besar kemungkinan virus sebagai penyebab.

Pneumonia oleh karena mikoplasma pneumonia mungkin menunukkan gejala

wheezing dan batuk sehingga infeksi oleh karena mikoplasma pneumonia dapat

dipertimbangkan pada anak dengan kecurigaan asma yang tidak respon dengan pengobatan.

Infeksi mikoplasma seringkali disertai juga dengan nyeri perut atau nyeri dada. Nyeri perut

juga bisa disebabkan oleh pneumonia bakterial yang mengiritasi diafragma.

2.9 KOMPLIKASI 4,8,9,11

l. Efusi pleura

2. Empiema

3. Pneumotoraks

4. Abses paru

5. Sepsis

6. Gagal nafas

2.10 PENATALAKSANAAN 1,2,4,10

Idealnya penatalaksanaan pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun

karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan

antibiotika secara ernpiris. Walaupun pneumonia viral dapat di tatalaksana tanpa antibiotika,

tetapi pasien diberikan antibiotika karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri,

kesulitan diagnosis virologi dan kesulitan dalam isolasi penderita, disamping itu

kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan.

16

Page 17: Lapsus Pneumonia

Golongan beta laktam (Penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam)

merupakan jenis-jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup luas. Biasanya digunakan untuk

terapi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus pneumoniae,

Haemophillus influenza dan Staphylococcus aureus. Pada kasus yang berat diberikan

golongan sefalosporin sebagai pilihan, terutama bila penyebabaya belum diketahui.

Sedangkan pada kasus yang ringan, sedang, dipilih golongan penisilin.

Streptokokus dan pneumokokus merupakan kuman gram positif yang dapat dicakup oleh

ampisilin, sedangkan hemofilus sebagai kuman gram negatif dapat dicakup oleh ampisilin

dan kloramfenikol. Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotika lini pertama

untuk kasus pneumonia anak tanpa komplikasi. Pada pasien pneumonia yang community

acquired, umumnya ampisilin dan kloramfenikol masih sensitif. Pilihan berikutnya adalah

obat golongan sefalosporin.

Penanganan pneumonia pada neonatus serupa dengan penanganan infeksi neonatus

pada umumnya. Antibiotika yang diberikan harus dapat mencakup kuman kokus gram positif

terutama Streptococcus group B dan batang gram negatif. Penisilin dan derivatnya

merupakan pilihan utama untuk gram positif sedangkan untuk kuman gram negatif terutama

Escherichia coli dan Proteus mirabilis digunakan golongan aminoglikosida Kombinasi

kloksasilin dan gentamisin efektif untuk terapi pneumonia dibawah 3 bulan karena dapat

mencakup kuman Staphylococcus aureus. Umur kehamilan berat badan lahir dan umur bayi

akan menentukan dosis dan frekuensi pemberian obat khususnya untuk golongan

aminoglikosida. Sefalosporin generasi 3 dapat digunakan jika ada kecurigaan penyebab

bakteri batang gram negatif.

Mengenai penggunaan makrolid pada preumonia atipik yang diduga disebabkan oleh

klamidia dan mikoplasma, telah banyak dilaporkan. Pemberian azitromisin dan klaritomisin

sama efektifnya dengan pemberian amoksisilin asam klavulanik. Pemberian azitromisin

tolerabilitasnya cukup baik serta efek sampingnya minimal bila dibandingkan dengan

amoksisilin asam klavulanik. Pemberian azitromisin sekali sehari selama 3 hari efektifitasnya

setara dengan pemberian amoksisilin asam klavulanik selama 10 hari. Penggunaan

klaritromisin secara multisenter pada pneumonia mendapatkan hal yang cukup baik dalam hal

efektifitas dan efek samping. Efek samping gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah,

nyeri abdomen didapatkan pada sebagian kecil pasien yang tidak berbeda bermakna dengan

antibiotika lain.

Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila tidak ada perbaikan klinis

dilakukan perubahan pemberian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh. Lama pemberian

17

Page 18: Lapsus Pneumonia

antibiotik tergantung pada kemajuan klinis penderita hasil laboratoris, foto rontgen dada dan

jenis kuman penyebab. Jika kuman penyebab adalah stafilokokus diperlukan pemberian

terapi 6-8 minggu secara parenteral, Jika penyebab Haemophyllus influenza atau

streptococcus pneumoniae pemberian terapi secara parenteral cukup 10-14 hari. Secara

umum pengobatan antibiotik untuk pneumonia diberikan 10-14 hari.

Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan, gangguan

neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka panjang, fibrosis kistik, infeksi

HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai saat tanda awal pneumonia didapatkan

dengan pilihan antibiotik : sefalosporin generasi 3. Dapat dipertimbangkan juga pemberian:

- Kotrimoksasol pada Pneumonia Pneumokistik Karinii

- Arti viral (Asiklovir, gansiklovir) pada pneumonia karena sitomegalovirus

- Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, flukonazol) pada pneumonia karena jamur

- Pemberian imunoglobulin

WHO menyarankan untuk pengobatan pneumonia (adanya nafas cepat tanpa

penarikan dinding dada/chest indrawing) sebaiknya dirawat secara poliklinis dengan

antibiotik oral. Pilihan antibiotik yang digunakan adalah amoksisilin, ampisilin

trimetoprim/sulfametoksazol atau penisilin prokain selama 5 hari. Tetapi ketika didiagnosis

dengan pneumonia berat (didapatkan chest indrawing) maka pasien dirawat inapkan dan

diberikan antibiotika secara parenteral seperti benzylpenisilin atau ampisilin. Kloramfenikol

juga dapat diberikan, dimana pada beberapa daerah tertentu dapat diberikan secara

intramuskular. Pada bayi berumur kurang dan 2 bulan, WHO merekomendasikan pemberian

penisilin dan gentamisin. Dengan penerapan kriteria WHO ini, terjadi penurunan angka

kematian karena infeksi saluran nafas di negara-negara berkembang.

British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan bahwa antibiotik secara parenteral

diberikan pada anak-anak dengan pneumonia berat atau anak yang tidak bisa menerima

antibiotika oral.

Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap diputuskan apabila terdapat:

Penderita tampak toksik

Umur kurang dari 6 bulan

Distres pernafasan berat

Hipoksemia (safurasi oksigen kurang dari 93-94% pada kondisi ruangan)

Dehidrasi atau muntah

Terdapat efusi pleura atau abses paru

Kondisi imunokompromais

18

Page 19: Lapsus Pneumonia

Ketidakmampuan orangtua untuk merawat

Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan

Pasien membutuhkan pemberian antibiotika secara parenteral

Terapi suportif yang diberikan kepada penderita pneumonia.

l. Pemberian oksigen melalui kateter hidung atau masker. Jika penyakitnya berat dan sarana

tersedia alat bantu napas mungkin diperlukan terutama bila terdapat tanda gagal nafas.

2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan rumatan yang diberikan mengandung

gula dan elektrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat badan kenaikan suhu dan status

hidrasi. Pasien yang mengalami sesak yang berat dapat dipuasakan, tetapi bila sesak sudah

berkurang asupan oral dapat segera diberikan. Pemberian asupan oral diberikan bertahap

melalui NGT (selang nasogastrik) drip susu atau makanan cair. Dapat dibenarkan pemberian

retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan untuk mencegah edema paru dan edema otak

akibat SIADH (Syndrome of Inrapropriate Anti Diuretic Hormone).

3. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal untuk

memperbaiki transpor mukosiliar.

4. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misalnya hipoglikemi asidosis

metabolic.

5. Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang demam, diare dan lainnya serta komplikasi

bila ada.

Penanganan terhadap komplikasi:

1. Efusi pleura

Jika terjadi efusi pleura kemungkinan disebabkan oleh infeksi stafilokokus. Jika efusi

minimal dan respon pasien baik terhadap pemberian antibiotika maka pemberian antibiotika

tetap diteruskan. Jika efusi cukup banyak maka perlu dilakukan pungsi cairan pleura (pleura

tap) untuk diagnostik (pemeriksaan makroskopik, pengecatan gram, jumlah sel, kultur).

Penentuan antibiotika selanjutnya dapat didasarkan dari hasil kultur.

Indikasi pemasangan pleural drain:

Perjalanan klinis berlangsung progresif

Efusi pleura bertambah walaupun sudah mendapat antibiotik

Distres nafas berat

Terjadi pergeseran mediastinum (mediastinal shift)

Didapatkan cairan yang purulen saat dilakukan pungsi pleura

19

Page 20: Lapsus Pneumonia

2. Abses paru

Staphylococcus aureus merupakan penyebab yang paling banyak tetapi juga terdapat

kemungkinan infeksi oleh karena kuman anaerob. Pemberian antibiotika parenteral

diteruskan sampai 7 hari bebas demam, dilanjutkan pemberian oral antibiotik sampai lama

terapi mencapai minimal 4 minggu.

3. Empiema

Seringkali disebabkan oleh Staphylococcus aureus, streptococcus pneumoniae, Haemophillus

influenzae dan Streptococcus group A. Selain itu terdapat juga kemungkinan infeksi kuman

anaerob. Selain pemberian antibiotika yang optimal sesuai dugaan kuman penyebab,

diindikasikan juga pemasangan pleural drain. Tujuan akhir perawatan adalah mengeliminasi

infeksi dan komplikasi, mengembangkan kembali paru-paru serta menurunkan waktu

perawatan.

4. Sepsis

Sepsis sebagai komplikasi dari pneumonia tenrtama disebabkan oleh Staphyllococcus aureus

dan Streptococcus pneumoniae. Penanganan dengan antibiotika yang sesuai dan terapi

suportif lainnya.

5. Gagal nafas

Pada kondisi gagal nafas, perlu dilakukan intubasi dan pemberian bantuan ventilasi mekanik.

2.11 PENCEGAHAN 10,11

Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan

pneumonia. Pneumonia diketahui dapat sebagai komplikasi dari campak, pertusis dan varisela

sehingga imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan penyakit tersebut akan

membantu menurunkan insiden pneumonia. Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophillus

influenza dapat juga dicegah dengan pemberian imunisasi Hib.

Pencegahan lain dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan

polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan

cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan

bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak

kecil dari kontak dengan penderita ISPA.

20

Page 21: Lapsus Pneumonia

BAB III

STATUS PASIEN RAWAT INAP

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

3.1 Identitas pasien

Nama : An. Siti Nurlaili

Umur : 2 bulan

Jenis Kelamin :Perempuan

Nama Ayah : Tn. M. Yasin / 29 th Pekerjaan : Tani

Nama ibu : Ny. Rindu / 23 th Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No register : 518833

Tgl.masuk : 8 - 4 - 2013

3.2 Subyektif

Px MRS masuk melalui IGD tanggal 8 – 4 - 2013

Keluhan Utama : Sesak

Anamnesa

Ibu px mengatakan px sesak sejak 1 hari yang lalu pada malam hari dan berlanjut terus hingga px MRS, ibu px tidak memberikan obat apa-apa.

Px juga batuk berdahak + pilek sejak 1 hari yang lalu juga pada malam hari. Px juga mengalami demam 3 hari yg lalu, tetapi turun 2 hari yg lalu (demamnya

hanya 1 hari). Minum px menurun sejak tadi malam. BAK (+) Lancar BAB (-) Sejak kemarin Di UGD pukul 20.30, px sempat apneu 2x + 3detik dan dilakukan ventilasi tekanan

positif

3.3 Riwayat Penyakit Terdahulu

Px tidak pernah MRS sebelumnya. Px tidak memiliki riwayat penyakit kejang demam Px juga tidak memiliki riwayat penyakit asma Px juga tidak memiliki riwayat alergi

21

Page 22: Lapsus Pneumonia

3.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu dan ayah memiliki riwayat alergi Om kandung px ada yang menderita asma

3.5 Imunisasi

Px sudah mendapat imunisasi

HEPATITIS B I saja

3.6 Riwayat diit

Usia px 10 hari, px sudah disuapi pisang + lontong Dari lahir sampai saat ini px masih mengkonsumsi ASI Px juga mengkonsumsi nasi, tetapi semenjak sakit px tidak mau lagi

3.7 Riwayat perkembangan

Ibu px mengatakan perkembangan px baik

3.8 Riwayat Persalinan

Px lahir di bidan, Spt-B dengan BBL 3500g

3.9 Objektif

Keadaan Umum : Lemah

Kesadaran : kompos mentis

Berat badan :5 kg

Panjang badan :54 cm

Status gizi :119% (overweight)

Nadi :160x/menit

Pernafasan :68x/menit

Suhu :33,3°C

Kepala

A/I/C/D :-/-/-/- PCH :Positif Faring tidak hiperemi Tidak ada nyeri telan

22

Page 23: Lapsus Pneumonia

Leher

Pembesaran KGB : NEGATIF

Dada

Bentuk :simetris +/+ Retraksi dinding dada :+/+ subcostal

Jantung

SI S2 Tunggal Murmur :tidak ditemukan

Paru-paru

Rhonki +/+ Wheezing-/-

Abdomen

Supel Meteriorismus (-) Turgor cukup Bising usus positif normal

Genitalia

Perempuan dengan genitalia baik

Ekstremitas

Akral : +/+ //+/+

Oedem : -/-//-/-

Status neurologis

Kaku kuduk negative

3.10 Hasil Pemeriksaan Labotorium

HB :9,7 g/dl

Leukosit :6680/cmm

Hematocrite :27%

Trombosit :492000/cmm

Gula darah sewaktu :78mg/dl

23

Page 24: Lapsus Pneumonia

3.11 Assesment

Diagnose : pneumonia

Diagnose banding : Asma

3.12 Planning

Diagnosis : foto rontgen thorax

Konsultasi : dr SpA

Terapi D51/4 Ns :500cc => 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x150mg

Inj. Gentamycine 2x10mg

O2

24

Page 25: Lapsus Pneumonia

3.13 Lembar pemeriksaan harian

Ket / hari

9/4/2013 10/4/2013 11/4/2013

S Ibu px mengatakan px masih batuk grok2, px juga masih sesak, pilek (-),Muntah(-)Bab(+) biasa, Bak(+) lancarMakan(-)minum(+) ASI

Ibu px mengatakan px masih batuk grok2, px juga masih sesak, pilek (-),Muntah(-)Bab(+) mencret 1x, Bak(+) lancarMakan(-)minum(+) ASI

Ibu px mengatakan px masih batuk grok2, px juga masih sesak, pilek (-),Muntah(-)Bab(+) biasa, Bak(+) lancarMakan(-)minum(+) ASI

O KU :lemahKesadaran :kompos mentisSuhu : 37,3o CRR : 68x/menitHR : 156x/menitKepala : a/i/c/d -/-/-/- PCH(-),Tonsil hiperemi (-)Dada :simetris + Chest indrawing

subcostalJantung : s1s2 tunggalParu : rh +/+ Wh -/-Abdomen: supel, BU(+)N,

meteorismus (+)Extremitas : Hangat normal

CRT < 2 detik

Hasil laborat pemeriksaanHb : 11,5g/dlLeukosi : 6700cmmdif count : -/-/8/42/46/4trombosit : 427000/cmmHCT : 33%Hasil radiologiFoto thorax APCor bentuk ukuran normalPulmo konsolidasi di apex dextraSinus costophrenicus dll normalDx : Pneumonia (D)

KU :lemahKesadaran :kompos mentisSuhu : 37o CRR : 78x/menitHR : 140x/menitKepala : a/i/c/d -/-/-/- PCH(-),Tonsil hiperemi (-)Dada :simetris + Chest indrawing

subcostalJantung : s1s2 tunggalParu : rh +/+ Wh -/-Abdomen: supel, BU(+)N,

meteorismus (-)Extremitas : Hangat normal

CRT < 2 detik

KU :lemahKesadaran :kompos mentisSuhu : 36,9o CRR : 88x/menitHR : 146x/menitKepala : a/i/c/d -/-/-/- PCH(-),Tonsil hiperemi (-)Dada :simetris + Chest indrawing

subcostalJantung : s1s2 tunggalParu : rh +/+ Wh -/-Abdomen: supel, BU(+)N,

meteorismus (-)Extremitas : Hangat normal

CRT < 2 detik

Pukul 15.30 px demam sampai 38o C

A Pneumonia Pneumonia PneumoniaP Ceftriaxone 2x150mg

Sagestam 2x10mg(gentamicin)

Ceftriaxone 2x150mgSagestam 2x10mg(gentamicin)

Ceftriaxone 2x150mgSagestam 2x10mg(gentamicin)

25

Page 26: Lapsus Pneumonia

Nebulizer/suction 2x(fentolin)

Nebulizer/suction 2x(fentolin)

Nebulizer/suction 2x(fentolin)Novalgin prn 50mg(metamizole) (diberikan pukul 16.00)

12/4/2013 13/4/2013 14/4/2013Ibu px mengatakan px masih batuk grok2 dan semakin parah, px juga masih sesak, pilek (-),Muntah(-)Bab(+) mencret 2x mulai tadi pagi cari tanpa ampas, Bak(+) lancarMakan(-)minum(+) ASI

Ibu px mengatakan px masih batuk grok2, Sesak px sudah mulai reda, pilek (-),Muntah(-)Bab(+) mencret 2x, Bak(+) lancarMakan(-)minum(+) ASI

Ibu px mengatakan px masih batuk grok2 tetapi lebi ringan dan jarang, px masih sesak, pilek (-),Muntah(-)Bab(+) biasa, Bak(+) lancarMakan(-)minum(+) ASI

KU :lemahKesadaran :kompos mentisSuhu : 36o CRR : 78x/menitHR : 152x/menitKepala : a/i/c/d -/-/-/- PCH(-),Tonsil hiperemi (-)Dada :simetris + Chest indrawing

subcostalJantung : s1s2 tunggalParu : rh +/+ Wh -/-Abdomen: supel, BU(+)N,

meteorismus (-)Extremitas : Hangat Normal

CRT < 2 detik

KU :lemahKesadaran :kompos mentisSuhu : 35,6o CRR : 68x/menitHR : 140x/menitKepala : a/i/c/d -/-/-/- PCH(-),Tonsil hiperemi (-)Dada :simetris + Chest indrawing

subcostalJantung : s1s2 tunggalParu : rh +/+ Wh -/-Abdomen: supel, BU(+)N,

meteorismus (-)Extremitas : Hangat Normal

CRT < 2 detik

KU :lemahKesadaran :kompos mentisSuhu : 35,6o CRR : 60x/menitHR : 128x/menitKepala : a/i/c/d -/-/-/- PCH(-),Tonsil hiperemi (-)Dada :simetris + Chest indrawing

subcostalJantung : s1s2 tunggalParu : rh +/+ Wh -/-Abdomen: supel, BU(+)N,

meteorismus (-)Extremitas : Hangat Normal

CRT < 2 detik

Pneumonia Pneumonia PneumoniaCeftriaxone 2x150mgSagestam 2x10mg(gentamicin)Nebulizer/suction 2x(fentolin)Konsul fisioterapi untuk

Ceftriaxone 2x150mgSagestam 2x10mg(gentamicin)Nebulizer/suction 2x(fentolin)

Ceftriaxone 2x150mgSagestam 2x10mg(gentamicin)Nebulizer/suction 2x(fentolin)

26

Page 27: Lapsus Pneumonia

disinar

15/4/2013 16/4/2013 17/4/2013Ibu px mengatakan px tidak batuk lagi,Tetapi px masih sesak, pilek (-),Muntah(-)Bab(+) biasa, Bak(+) lancarMakan(-)minum(+) ASI

Ibu px mengatakan px tidak batuk lagi,Tetapi px masih sesak, pilek (-),Muntah(-)Bab(+) biasa, Bak(+) lancarMakan(-)minum(+) ASI

Ibu px mengatakan px tidak batuk lagi,Tetapi px masih sesak, pilek (-),Muntah(-)Bab(+) biasa, Bak(+) lancarMakan(-)minum(+) ASI

KU :lemahKesadaran :kompos mentisSuhu : 36,7o CRR : 52x/menitHR : 160x/menitKepala : a/i/c/d -/-/-/- PCH(-),Tonsil hiperemi (-)Dada :simetris + Chest indrawing

subcostalJantung : s1s2 tunggalParu : rh +/+ Wh -/-Abdomen: supel, BU(+)N,

meteorismus (-)Extremitas : Hangat Normal

CRT < 2 detik

KU :lemahKesadaran :kompos mentisSuhu : 36,8o CRR : 56x/menitHR : 140x/menitKepala : a/i/c/d -/-/-/- PCH(-),Tonsil hiperemi (-)Dada :simetris + Chest indrawing

subcostalJantung : s1s2 tunggalParu : rh +/+ Wh -/-Abdomen: supel, BU(+)N,

meteorismus (-)Extremitas : Hangat Normal

CRT < 2 detik

KU :lemahKesadaran :kompos mentisSuhu : 36,3o CRR : 60x/menitHR : 130x/menitKepala : a/i/c/d -/-/-/- PCH(-),Tonsil hiperemi (-)Dada :simetris + Chest indrawing

subcostalJantung : s1s2 tunggalParu : ves +/+

rh -/- Wh -/-Abdomen: supel, BU(+)N,

meteorismus (-)Extremitas : Hangat Normal

CRT < 2 detik

Pneumonia Pneumonia PneumoniaCeftriaxone 2x150mgSagestam 2x10mg(gentamicin)Nebulizer/suction 2x(fentolin)

Ceftriaxone 2x150mgSagestam 2x10mg(gentamicin)Nebulizer/suction 2x(fentolin)

Ceftriaxone 2x150mgSagestam 2x10mg(gentamicin)Nebulizer/suction 2x(fentolin)

27

Page 28: Lapsus Pneumonia

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien An.SN datang ke ugd dengan keluhan sesak, dari hasil anamnesa dikatakan

bahwa pasien sesak sejak 1 hari yang lalu pada malam hari. Selain px juga batuk grok-grok

dan pilek juga sejak 1 hari yang lalu pada malam hari. Px juga pernah panas 3 hari yang lalu

tetapi hanya 1 hari saja. Sejak tadi malam kemauan minum ASI px menurun. Px baru pertama

kali MRS, sebelumnya tidak pernah. Dari riwayat penyakit keluarga memang ada yang

menderita asma yaitu om kandung px, juga orang tua px menderita alergi. Bila dilihat dari

anamnesis gejala pada px ini merupakan pneumonia, hal ini berdasarkan kepada baru pertma

kali ini px MRS karena sesak. Sehingga diagnosa bandingnya yaitu asma dapat disingkirkan

karena asma itu sendiri dapat terdiagnosa setidaknya 2x masuk rumah sakit dengan keluhan

sesak dan adanya whezing pada auskultasi. Selain itu, sebelum menderita penyakit yang

sekarang, px terlebih dahulu menderita ISPA. Selain itu juga, pada pemeriksaan fisik

ditemukan adanya ronki dan pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya konsolidasi.

Di IGD px sempat apneu 2x selama + 3 detik, sempat diberikan ventilasi tekanan

positif pada saat px apneu. Px juga di injeksi ceftriakson 250 mg.

28

Page 29: Lapsus Pneumonia

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief Abdul, Napitupulu Partogi,et al.,1985, Ilmu Kesehatan Anak 2,Infomedika,

Jakarta.

2. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga, Jilid 1; editor Arif Mansjoer dkk ; Media

Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta 2001.

3. Guyton, Arthur C. MD. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III

Cetakan IV ; Alih Bahasa, Petrus Andrianto ; EGC Penerbit Buku Kedokteran :

Jakarta 1995.

4. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. EGC. Jakarta 1999

5. Buku Digital Ilmu Kesehatan Anak. Klikdokter.com. dr. Abdul Rochman.

6. Current Pediatrics Diagnosis & Treatment, 18th Edition ; editor, William W. Hay,

Jr., MD dkk ; The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America, 2007.

7. Price, Sylvia A. Dkk. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI.

Cetakan I ; Alih Bahasa, Pendit, dr. Brahm U dkk ; EGC Penerbit Buku

Kedokteran : Jakarta 2005.

8. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah sakit. Cetakan I ; Alih Bahasa, Tim Adaptasi

Indonesia. World Health Organization 2005.

9. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke 3./

Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Surabaya, 2008.

10. http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp/q1980415144310

11. http:// medscape.com/pneumonia/qr456262

29