laporan tutorial skenario b blok 23 b2

Upload: ramadhan-odiesta

Post on 13-Oct-2015

92 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Laporan Tutorial Skenario B Blok 23 B2

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen pembimbing yang telah membimbing tutorial blok 23 ini sehingga proses tutorial dapat berlangsung dengan sangat baik.

Tidak lupa penyusun mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, yang telah memberi dukungan baik berupa materil dan moril yang tidak terhitung jumlahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan tutorial skenario B di blok 23 ini hingga selesai.

Ucapan terima kasih juga kepada para teman-teman sejawat di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya atas semua semangat dan dukungannya sehingga perjalanan blok per blok yang seharusnya sulit dapat dilewati dengan mudah.

Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata mendekati sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan di penyusunan laporan berikutnya. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, 03 Februari 2014

Penyusun Kelompok B2DAFTAR ISIKata Pengantar. 1

Daftar Isi ..... 2

BAB I : Pendahuluan

1.1 Latar Belakang.. 3BAB II:Pembahasan

2.1 Data Tutorial...... 4

2.2Skenario Kasus.......... 4

2.3PaparanI.Klarifikasi Istilah................... 5II.Identifikasi Masalah............... 5III.Analisis Masalah...........................................

6IV. Learning Issues ................. 20V. Kerangka Konsep......................

49BAB III : Penutup

3.1 Kesimpulan ......................................................................................

50DAFTAR PUSTAKABAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangPada laporan tutorial kali ini, laporan membahas blok Reproduksi dan Perinatologi yang berada dalam blok 23 pada semester 6 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu:

1. Sebagailaporantugaskelompoktutorialyangmerupakanbagiandarisistem KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.

3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial

Tutor

: dr. Julniar M. Tasli, Sp.A (K)Moderator

: Robby JuniadhaSekretaris Papan: M. Aulia M.O.P.CSekretaris Meja: Nyimas Irina SilvaniHari, Tanggal

: Senin, 03 Februari 2014

Rabu, 05 Februari 2014Peraturan

: 1. Alat komunikasi di nonaktifkan

2. Dilarang makan dan minum2.2 Skenario Kasus SKENARIO B BLOK 23 TAHUN 2014Mrs. Mima, 38-years-old pregnant woman G4P3A0 39-weeks pregnancy, was brought by her husband to the Puskesmas due to convulsion 2 hours ago. She has been complaining headcahe and visual disturbance for last 2 days. According to her husband, she has been suffering from Graves Disease since 3 years ago, but was not well controlled.In the examination findings:

Upon admission,

Height = 152 cm; Weight 65 kg;

BP: 180/110 mmHg, HR: 120x/min, RR: 24x/min.

Head and neck examination revealed exopthalmus and enlargement of thyroid gland.

Pretibial edema.

Obstetric examination:

Outer examination: fundal height 32 cm, normal presentation.

FHR: 150x/min.

Lab: Hb 11,2 g/dL; she had 2 + protein on urine, cylinder (-)

2.3 PaparanI. Klarifikasi Istilah1. G4P3A0

: Keadaan dimana riwayat mengandung 4 kali, melahirkan 3 kali, dan abortus tidak pernah

2. Convulsion

: Kejang.

3. Headache

: Nyeri pada kepala.

4. Visual Disturbance : Gangguan penglihatan.

5. Graves Disease : Hipertiroid.

6. Exopthalmus

: Protusio mata abnormal, keadaan mata lebih menonjol.

7. Edema

: Pembengkakan.

8. Hypertension

: Tekanan darah diatas normal.II. Identifikasi Masalah 1. Mrs. Mima, 38-years-old pregnant woman G4P3A0 39-weeks pregnancy, was brought by her husband to the Puskesmas due to convulsion 2 hours ago.2. She has been complaining headcahe and visual disturbance for last 2 days.3. According to her husband, she has been suffering from Graves Disease since 3 years ago, but was not well controlled.4. In the examination findings: Upon admission,Height = 152 cm; Weight 65 kg;BP: 180/110 mmHg, HR: 120x/min, RR: 24x/min.Head and neck examination revealed exopthalmus and enlargement of thyroid gland.Pretibial edema.5. Obstetric examination:Outer examination: fundal height 32 cm, normal presentation.FHR: 150x/min.6. Lab: Hb 11,2 g/dL; she had 2 + protein on urine, cylinder (-)III. Analisis Masalalah1. Bagaimana perkembangan janin pada usia 39 minggu?Pada saat kehamilan sudah berusia 39 minggu,janin sedang mempersiapkan kelahirannya. Perubahan-perubahan mencakup: Janin telah berkembang sempurna, CRL 36 cm, berat janin berkisar antara3400 gram dengan variasi Verniks kaseosa yang menutupi kulit dan rambut halusnya yang disebut lanugomulai menghilang. Sebagian verniks danlanugomungkin masih ada saat kelahiran. Janin mendapatkan antibodi-antibodi dari plasenta untuk melindunginya dari penyakit, janin juga akan mendapatkan lebih banyak antibodi ketika masa menyusui saat lahir.2. Bagaimana macam-macam hipertensi pada ibu hamil?

Hipertensi adalah adanya kenaikan tekanan darah melebihi batas normal yaitu tekanan darah 140/90 mmHg (Prawirohardjo, 2008). Menurut Prawirohardjo 2008, gangguan hipertensi pada kehamilan diantaranya adalah:a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.

b. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria.

c. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang sampai dan/atau koma.

d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik di sertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.

e. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.

Penjelasan:

Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg. Pengukuran tekanab darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg dan kenaikan tekanan darah diastolik 15 mmHg sebagai parameter hipertensi sudah tidak dipakai lagi.

Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan 1+ dipstick.

Edema, dulu edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda preeklampsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi kecuali edema generalisata (anasarka). Perlu dipertimbangkan faktor resiko timbulnya hipertensi dalam kehamilan bila didapatkan edema generalisata atau kenaikan berat badan 0,57 kg/minggu. Primigravida yang mempunyai kenaikan berat badan rendah, yaitu < 0,34 kg/minggu menurunkan resiko hipertensi, tetapi menaikkan resiko berat badan bayi rendah.

3. Bagaimana hubungan hipertensi dengan kehamilan?

Preeklampsia merupakan sindroma penurunan perfusi darah organ akibat dari vasospasme dan aktivasi endotelial yang spesifik ditemukan pada masa kehamilan. Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.

Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme, serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena penurunan perfusi uteroplasenta.4. Bagaimana etiologi dan mekanisme kejang pada kasus?Etiologi : Preeklampsia Berat EklampsiaMekanisme : Penyebab pasti terjadinya kejang dan koma pada preeclampsia dan eklampsia masih belum diketahui, tetapi terdapat dua hipotesis berupa :1. Elevated blood pressure ( elevated cerebral perfusion ( overautoregulation of cerebral blood flow (CBF) ( ischemic brain injury( seizure2. Hypertensive encephalopathy ( rapid rise in blood pressure ( myogenic vasoconstriction of cerebral arteries and arterioles ( loss of autoregulatory capacity and blood-brain barrier (BBB) disruption ( vasogenic edema ( seizure.5. Bagaimana hubungan hormon tiroid dengan kehamilan?Pada janin iodin disuplai melalui plasenta. Saat awal gestasi, janin bergantung sepenuhnya pada hormon tiroid (tiroksin) ibu yang melewati plasenta karena fungsi tiroid janin belum berfungsi sebelum 12-14 minggu kehamilan. Tiroksin dari ibu terikat pada reseptor sel-sel otak janin, kemudian diubah secara intraseluler menjadi fT3 yang merupakan proses penting bagi perkembangan otak janin bahkan setelah produksi hormon tiroid janin, janin masih bergantung pada hormon-hormon tiroid ibu, asalkan asupan iodin ibu adekuat.3, 4Empat perubahan penting selama kehamilan:41. Waktu paruh tiroksin yang terikat globulin bertambah dari 15 menit menjadi 3 hari dan konsentrasinya menjadi 3 kali lipat saat usia gestasi 20 minggu akibat glikosilasi estrogen.2. Hormon hCG dan TSH memiliki reseptor dan subunit alpha yang sama. Pada trimester pertama, sindrom kelebihan hormon bisa muncul, hCG menstimulasi reseptor TSH dan memberi gambaran biomekanik hipertiroid. Hal ini sering terjadi pada kehamilan multipel, penyakit trofoblastik dan hiperemesis gravidarum, dimana konsentrasi hCG total dan subtipe tirotropik meningkat.3. Peningkatan laju filtrasi glomerulus dan peningkatan uptake iodin ke dalam kelenjar tiroid yang dikendalikan oleh peningkatan konsentrasi tiroksin total dapat menyebabkan atau memperburuk keadaan defisiensi iodin.4. Tiga hormon deiodinase mengontrol metabolisme T4 menjadi fT3 yang lebih aktif dan pemecahannya menjadi komponen inaktif. Konsentrasi deiodinase III meningkat di plasenta dengan adanya kehamilan, melepaskan iodin jika perlu untuk transpor ke janin, dan jika mungkin berperan dalam penurunan transfer tiroksin.6. Bagaimana hubungan penyakit hipertensi dan hipertiroid dengan janin?

Pengaruh hipertensi terhadap janin:

Intrauterine growth restrction (IUGR) dan oligohidramnion Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat IUGR, prematuritas, oligohidramnon, dan solusio plasenta Efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah wanita hamil akan merusak sistem vascularasi darah,sehingga mengganggu pertukaran okseigen ( hipoksiaPengaruh hipertiroid terhadap janin:

TSH tidak dapat melewati plasenta, sehingga baik TSH ibu maupun TSH janin tidak saling mempengaruhi. Hormon tiroid baik T3 maupun T4 hanya dalam jumlah sedikit yang dapat melewati plasenta. TSI atau TSAb dapat melewati plasenta dengan mudah. Oleh karena itu bila kadar TSI pada ibu tinggi, maka ada kemungkinan terjadi hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Obat-obat anti tiroid seperti PTU dan Neo Mercazole, zat-zat yodium radioaktif dan yodida, juga propranolol dapat dengan mudah melewati plasenta. Pemakaian obat-obat ini dapat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan janin. Pemakaian zat yodium radioaktif merupakan kontra indikasi pada wanita hamil karena dapat menyebabkan hipotiroidisme permanen pada janin.7. Apa diagnosis banding pada kasus ini?Diagnosis banding eklampsia:1. Traumatik cerebrovaskuler

Perdarahan intraserebral

Trombosis arteri dan vena serebral

2. Penyakit hipertensi

Hipertensi ensefalopati

Pheochromocytoma 3. Penekanan lesi pada susunan syaraf pusat

Tumor otak

Abses

4. Kelainan metabolic

Hipoglikemia

Uremia

Inappropriate antidiuretic hormone secretion resulting in water intoxiccation 5. Infeksi

Meningitis

Encefalitis

6. Trombotik trombositopenik purpura

7. Epilepsi idiopatik

8. Bagaimana cara menegakan diagnosis pada kasus ini?

Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda dan gejala preeklampsia (hipertensi, proteinuria, edema anasarka) yang disusul oleh serangan kejang, diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan.

Tirotoksis ringan mungkin sulit didiagnosis karena kehamilan normal merangsang beberapa temuan klinis yang mirip dengan kelebihan tiroksin (T4). Temuan-temuan yang sugestif adalah takikardia yang melebihi yang biasanya dijumpai pada kehamilan normal, tiromegali, eksoftalmos, dan kegagalan penambaha berat meskipun asupan makanan memadai. Konfirmasi laboratorium ditandai oleh penurunan nyata kadar tirotropin (TSH) disertai peningkatan kadar T4 bebas (fT4) serum. Meskipun jarang, hipertiroidisme dapat disebabkan oleh kadar triiodotironin (T3) serum yang berlebihan disebut juga toksikosis T3.9. Bagaimana pemeriksaaan penunjang yang diperlukan untuk kasus ini? Pemeriksaan Hormon Tiroid TSH , pada Graves disease akan T4 dan T3 , akan Renal function test Kreatinin biasanya meningkat. Oliguria dan anuria. Kadar albumin. Asam urat. Hematologi Hematokrit Trombosit Viskositas darah Liver function test. Penilaian Keadaan Janin Gerakan ( > 10x / 24jam ) DJJ USG untuk perkembangan Profil biofisik Indeks cairan amnion Pemeriksaan doppler arus darah: tali pusat10. Bagaimana diagnosis kerja pada kasus ini?

Eklampsia disertai hipertiroid pada kehamilan11. Bagaimana patogenesis pada kasus ini?

12. Bagaimana penatalaksanaan farmakologi dan non-farmakologi pada kasus ini?Pengobatan Eklampsi1. Pengelolaan EklamsiDasar-dasar pengelolaan eklampsia. Terapi suportif untuk stabilisasi pada ibub. Selalu diingat ABC (Airway, Breathing, Circulation)c. Pastikan jalan nafas atas tetap terbukad. Mengatasi dan mencegah kejange. Koreksi hipoksemia dan asidemia f. Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya hipertensi krisisg. Melahirkan janin pada saat yang tepat dengan cara persalinan yang tepat2. Terapi Medikamentosaa. Segera masuk rumah sakitb. Tirah baring miring ke kiri secara intermitenc. Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%d. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.e. Pemberian MgSO4 dibagi : Loading dose (initial dose) : dosis awal4 gram MgSO4: IV (40% dalam 10 cc) selama 15 menit. Maintenance dose : dosis lanjutanDiberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6jam; atau diberikan 4 atau 5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam.

Syarat-syarat pemberian MgSO4: Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% = 1g (10% dalam 10cc) diberikan IV 3 menit. Refleks patella (+) kuat. Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres napas. MgSO4 dihentikan bila: Ada tanda-tanda intoksikasi Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir Dosis terapeutik dan toksis MgSO4 Dosis terpeutik

4-7 mEq/L

4,8-8,4 mg/dL Hilangnya refleks tendon10 mEq/L

12 mg/dL Terhentinya pernapasan

15 mEq/L

18 mg/dL Terhentinya jantung

> 30 mEq/L

> 36 mg/dLPemberian MgSO4 dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas).

Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4 maka diberikan salah satu obat berikut: tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin.f. Anti hipertensi

Diberikan : bila tensi 180/110 atau MAP 126

Jenis obat : Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.

Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sub lingual) karena absorbsi yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan.

Desakan darah diturunkan secara bertahap :

1. Penurunan awal 25% dari desakan sistolik

2. Desakan darah diturunkan mencapai : < 160/105MAP < 125

Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara IV selama 5 menit, bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila masih gagal dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg selama 5 menit

g. Diuretikum furosemide 40 mg IM/IVDiuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena:

1. Memperburuk perfusi utero-plasenta2. Memperberat hipovolemia3. Meningkatkan hemokonsentrasi4. Menimbulkan dehidrasi pada janin dan menurunkan berat janin

Diuretikum yang diberikan hanya atas indikasi :1. Edema paru2. Payah jantung kongestif3. Edema anasarkah. GlukokortikoidPemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 munggu, 2x24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.i. Diet

Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang berlebih3. Perawatan kejanga. Tempatkan penderita di ruang isolasi atau ruang khusus dengan lampu terang (tidak diperkenalkan ditempatkan di ruangan gelap, sebab bila terjadi sianosis tidak dapat diketahui)

b. Tempat tidur penderita harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi trendelenburg, dan posisi kepala lebih tinggi

c. Rendahkan kepala ke bawah : diaspirasi lendir dalam orofaring guna mencegah aspirasi pneumonia

d. Sisipkan spatel-lidah antara lidah dan gigi rahang atas

e. Fiksasi badan harus kendor agar waktu kejang tidak terjadi fraktur

f. Rail tempat tidur harus dipasang dan terkunci dengan kuat4. Perawatan komaa. Derajat kedalaman koma diukur dengan Glasgow-Coma Scaleb. Usahakan jalan nafas atas tetap terbukac. Hindari dekubitusd. Perhatikan nutrisi5. Perawatan khusus yang harus berkonsultasi dengan bagian lainKonsultasi ke bagian lain perlu dilakukan bila terjadi penyulit sebagai berikut:1. Edema paru2. Oliguria renal3. Diperlukannya kateterisasi arteri pulmonalis6. Pengelolaan eklampsia. Sikap dasar pengelolaan eklamsi : semua kehamilan dengan eklamsi harus diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Berarti sikap terhadap kehamilannya adalah aktif.b. Saat pengakhiran kehamilan, ialah bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu.c. Stabilisasi dicapai selambat-lambatnya dalam : 4-8 jam, setelah salah satu atau lebih keadaan seperti dibawah ini, yaitu setelah :1. Pemberian obat anti kejang terakhir2. Kejang terakhir3. Pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir4. Penderita mulai sadar (dapat dinilai dari Glasgow-Coma-Scale yang meningkat)7. Cara persalinanBila sudah diputuskan untuk melakukan tindakan aktif terhadap kehamilannya, maka dipilih cara persalinan yang memenuhi syarat pada saat tersebut.8. Perawatan pasca persalinan a. Tetap di monitor tanda vitalb. Pemeriksaan laboratorium lengkap 24 jam pasca persalinan

Pengobatan hipertiroidisme:Tirotoksikosis yang terjadi selama masa kehamilan hampir selalu dapat dikontrol dengan obat-obatan jenis thiomide, yaitu : Propitiorasil (PTU), dosis : 100-600mg/hari

Methimazole, dosis : 2 kali 10mg/hari

Pada trimester 3 , metimazol dipertahankan 5 mg/hariBeberapa klinisi memilih prophilthiouracil (PTU) karena obat ini sebagian menghambat perubahan T4 menjadi T3 dan lebih sedikit melewati sawar plasenta bila dibandingkan dengan methimazole. Kedua obat ini efektif dan cukup aman untuk digunakan dalam terapi tirotoksikosis. Walaupun jarang dan belum terbukti, penggunaan metimazole harus lebih berhati-hati karena pemberian pada awal kehamilan diduga ada hubungannya dengan terjadinya atresia esophagus, khoana, dan aplasia cutis. Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati penyakit tiroid ibu dapat menyebabkan penghancuran jaringan kelenjar tiroid janin, sehingga dapat dipertimbangkan untuk melakukan terminasi kehamilan.

Terapi exopthalmus: Injeksi kortikosteroid retrobulber Kortikosteroid sistemikPrednison 60 mg/12 tablet/hari selama 1 bulan.

13. Bagaimana tindakan post natal pada kasus ini?

Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya. Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan. Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan. Mempertahankan kalori 1500 kkal / 24 jam, bila perlu dengan selang nasogastrik atau parenteral, karena pasien belum tentu dapat makan dengan baik. Antikonvulsan (MgSO4) dipertahankan sampai 24 jam postpartum, atau sampai tekanan darah terkendali. Antikonvulsanditeruskan sampau 24 jam postpartum atau kejang terakhir Melakukan pengawasan ketat pasca persalinan di ruang perawatan intensif Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolic >110 mmHg. Pantau urin terusRujukan:

Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika: Terdapat Oliguria (140 / 90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.2. Proteinuria kuantitatif (Esbach) ( 300 mg / 24 jam, atau dipstick ( +1.Disebut preeklampsia berat bila terdapat:1. Tekanan darah >160 / 110 mmHg.2. Proteinuria kuantitatif (Esbach) ( 2 gr / 24 jam, atau dipstick ( +2.3. Trombosit < 100.000 / mm3.4. Hemolisis mikroangiopathi ( peningkatan LDH )5. Peningkatan SGOT / SGPT.6. Adanya sakit kepala hebat atau gangguan serebral, gangguan penglihatan.7. Nyeri di daerah epigastrium yang menetap.ProblemMild Pre-EclampsiaSevere Pre-Eclampsia

Blood Pressure>140/90>160/110

Proteinuria1+ (300 mg/24 hours)2+ (1000 mg/24 hours)

Edema+/-+/-

Increased reflexes+/-+

Upper abdominal pain-+

Headache-+

Visual Disturbance-+

Decreased Urine Output-+

Elevation of Liver Enzymes-+

Decreased Platelets-+

Increased Bilirubin-+

Elevated Creatinine-+

EklampsiaPada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium, dan hiperefleksia.Konvulsi pada eklamsia dibagi menjadi 4:1. tingkat awal atau aura. Berlangsung 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.

2. Kejang tonik yang berlangsung 30 detik. Pada saat ini otot jadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangan menggenggam, kaki membengkok kedalam.pernapasan berhenti, muka menjadi sianotik, lidah dapt tergigit.

3. Kejang klonik berlangsung 1-2 menit. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat.

4. Tingkatan koma.G. PENATALAKSANAANPada dasarnya penangan preeklampsi terdiri atas pengobatan medik dan penanganan obstetrik. Penanganan obsterik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup diluar uterus.Tujuan pengobatan adalah :1. Mencegah terjadinya eklampsi.2. Anak harus lahir dengan kemungkinan hidup besar.

3. Persalinan harus dengan trauma yang sedikit-sedikitnya.

4. Mencegah hipertensi yang menetap.Pada umumnya indikasi untuk merawat penderita preeklampsia di rumah sakit ialah:1. Tekanan darah sistolik 140 mm Hg atau lebih.2. Proteinuria 1+ atau lebih.3. Kenaikan berat badan 1,5 kg atau lebih dalam seminggu yang berulang.4. Penambahan oedem berlebihan secara tiba-tiba.Pengobatan preeklampsia yang tepat ialah pengakhiran kehamilan karena tindakan tersebut menghilangkan sebabnya dan mencegah terjadinya eklampsia dengan bayi yang masih premature.

PENANGANAN PEB (Preeklampsia Berat)

Pada preeklapmsia ringan pengobatan bersifat simtomatis dan istirahat yang cukup. Pemberian luminal 1-2 x 30 mg/hari dapat dilakukan bila tidak bisa tidur. Bila tekanan darah tidak turun dan ada tanda-tanda ke arah preeklamsi berat maka dapat diberikan obat antihipertensi serta dianjurkan untuk rawat inap.

Untuk preeklampsia yang berat, dapat ditangani secara aktif atau konservatif. Aktif berarti: kehamilan diakhiri atau diterminasi bersamaan dengan terapi medikamentosa. Konservatif berarti: kehamilan dipertahankan bersamaan dengan terapi medikmentosa.1. Penanganan aktifDitangani aktif bila terdapat satu atau lebih kriteria berikut: ada tanda-tanda impending eklampsia, HELLP syndrome, tanda-tanda gawat janin, usia janin 35 minggu atau lebih dan kegagalan penanganan konservatif. Yang dimaksud dengan impending eklampsia adalah preeklampsia berat dengan satu atau lebih gejala: nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium dan kenaikan tekanan darah progresif.Terapi medikamentosa:a. Diberikan anti kejang MgSo4 dalam infus 500 cc dextrose 5% tiap 6 jam. Cara pemberian: dosis awal 2 gr iv dalam 10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan sebanyak 2 gram per jam drip infus. Syarat pemberian MgSO4: frekuensi nafas > 16x/menit, tidak ada tanda-tanda gawat nafas, diuresis >100 ml dalam 4 jam sebelumnya dan refleks patella positif. Siapkan juga antidotumnya, yaitu: Ca-glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc NACL 0,9% IV, dalam 3 menit).b. Antihipertensi: nifedipin dengan dosis 3-4 kali 10 mg oral. Bila dalam 2 jam belum turun, dapat diberikan 10 mg lagi.c. Siapkan juga oksigen dengan nasal kanul 4-6 L /menit.Terminasi kehamilan dapat dilakukan bila penderita belum inpartu, dilakukan induksi persalinan dengan amniotomi, oksitosin drip, kateter foley atau prostaglandin E2. Sectio cesarea dilakukan bila syarat induksi tidak terpenuhi atau ada kontraindikasi persalinan pervaginam.2. Penanganan konservatif

Pada kehamilan kurang dari 35 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia dengan kondisi janin baik, dilakukan penanganan konservatif.Medikamentosa: sama dengan penanganan aktif. MgSO4 dihentikan bila tidak ada tanda-tanda preeklampsia berat, selambatnya dalam waktu 24 jam. Bila sesudah 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini harus dianggap sebagai kegagalan pengobatan dan harus segera diterminasi. Jangan lupa diberikan oksigen dengan nasal kanul 4-6 L/menit.Penanganan EklamsiaTujuan utama pengobatan eklamsia adalah menghentikan berulangnya kejang dan mengahiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah ibu mengijinkan. Pengawasan dan perawatan intensif sangat penting. Untuk menghindari kejangan saat pengangkutan ke RS dapat diberikan diazepam 20mg IM.Obat yang dapat diberikan:1. Sodium penthotal sangat berguna menghentikan kejangan dengan segera bila diberikan intravena. Dosis inisial dapat diberikan 0,2-0,3 g dan disuntikkan perlahan-lahan. Perlu pengaw2asan yang sempurna.2. Sulfas magnesicus yang dapat mengurangi kepekaan saraf pusat pada hubungan neuro muskuler tanpa mempengaruhi bagian lain dalam susunan saraf.

Dosis awal :2 gram Mg SO4 intravena , (40 % dalam 10 cc) diberikan dalam waktu 10 mnt, cara: 5ml MgSO4 40% (setara 2 g MgSO4) + 5 ml Dextrose 5% ( bolus pelan 10mnt6 jam berikutnya:2-3g/jam IV drip diberikan dalam 6 jam, cara:30ml MgSO4 40% (setara 12g MgSO4) + 495 dextrose 5% = 525mlJumlah tetesan: (525ml/ 6jam) X (20/60) = 29 tetes/menit Dosis Rumatan:1g/jam MgSO4 diberikan selama 24 jam, cara:12 jam pertama:30ml MgSO4 40% (setara 12g MgSO4) + 500ml dextrose 5% = 530mlJumlah tetesan: (530ml/12jam) X (20/60) = 16 tetes/menit12 jam kedua diberikan dengan cara yang sama.Syarat - syarat pemberian MgSO4 : Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10 % ( 1 gram dalam 10 cc) diberikan i.v. 3 menit (dalam keadaan siap pakai)

Refleks patella (+) kuat

Frekuansi pernafasan > 16 kali permenit

Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/kg bb/jam )

Sulfas magnesikus dihentikan bila :

Ada tanda - tanda intoksikasi

Setelah 8 - 24 jam pasca persalinan.

3. Lyctic cocktail yang terdiri atas petidin 100mg, klopromazin 100mg, dan prometazin 50mg dilarutkan dalam glukosa 5% 500ml dan diberikan secara infuse IV. Jumlah tetesan disesuaikan dengan tensi penderita.

ObatDosis awalDosis rumatan

Fenitoin1-1,5g IV lebih dari 1 jam (tergantung berat badan)250-500mg setiap 10-12 jam oral/IV

Diazepam10mg/jam IV infuse

Chlormethiazole40-100ml dari 0.8% lebih dari 20 menit60ml/jam IV infuse

Tabel . kasus yang refrakter dengan pemberian MgSO4

H.DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis diferensial pre-eklampsia:

1. Hipertensi menahun 2. Penyakit ginjalDiagnosis diferensial eklamsia :1. Epilepsi2. Kejangan karena obat anastesia3. Koma karena sebab lain : perdarahan otak, meningitis, ensefalitis.I. KOMPLIKASIKomplikasi terberat kematian pada ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsi. Komplikasi yang biasa terjadi : 1. Solutio plasenta, terjadi pada ibu yang menderita hipertensi2. Hipofibrinogenemia, dianjurkan pemeriksaan fibrinogen secara berkala.3. Nekrosis hati, akibat vasospasmus arteriol umum.4. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis,elevated liver enzymes dan low platelet.5. Kelainan ginjal6. DIC.7. Prematuritas, dismaturitas, kematian janin intra uterineHELLP SyndromeSindroma hemolisis, elevated liver enzymes and low platelet adalah suatu komplikasi pada preeklampsia eklampsia berat. Kehamilan yang dikomplikasikan dengan sindroma HELLP juga sering dikaitkan dengan keadaan keadaan yang mengancam terjadinya kematian ibu, termasuk DIC, oedema pulmonaris, ARF, dan berbagai komplikasi hemoragik. Insiden terjadinya sindroma ini sebanyak 9,7 % dari kehamilan yang mengalami komplikasi preeklampsia eklampsia. Sindroma ini dapat muncul pada masa antepartum (70 %) dan juga post partum (30 %). Ciri ciri dari HELLP syndrome adalah: Nyeri ulu hati

Mual dan muntah

Sakit kepala

Tekanan darah diastolik ( 110 mmHg

Menampakkan adanya oedemaHELLP syndrome dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian: 1. Mississippi, dibagi menjadi 3 kelas: Thrombositopenia Kelas 1: 50.000 / l Kelas 2: > 50.000 100.000 / l Kelas 3: > 100.000 150.000 / l Disfungsi hemolisis hepatis LDH ( 600 IU / L SGOT dan / atau SGPT ( 40 IU / L Ciri ciri tersebut harus semua terdapat 2. Tennessee, dibagi menjadi 2 kelas: Complete Trombosit < 100.000 / l LDH ( 600 IU / L SGOT ( 70 IU / L Parsial Hanya satu dari ciri ciri di atas yang munculPenanganan sindroma HELLP pada dasarnya sama dengan pengobatan pada preeklampsia eklampsia berat, ditambah dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi yang secara teoritis dapat berguna untuk :1. Dapat meningkatkan angka keberhasilan induksi persalinan dengan memberikan temporarisasi singkat dari status klinis maternal.2. Dapat meningkatkan jumlah trombosit dan mempertahankannya secara konvensional agar dapat dilakukan anestesi regional untuk persalinan vaginal maupun abdominal.Dosis yang digunakan untuk antepartum adalah dexametasone 2 x 10 mg sampai persalinan. Sedangkan untuk post partum adalah 2 x 10 mg sebanyak 2 kali, dilanjutkan dengan 2 x 5 mg sebanyak 2 kali, setelah itu dihentikan.J. PROGNOSISKriteria yang dipakai untuk menentukan prognosis eklamsia adalah kriteria Eden:1. Koma yang lama.2. Nadi > 120x/menit.3. Suhu > 40 C4. TD sistolik > 200 mmHg.5. Kejang > 10 kali.6. Proteinuria > 10 gr/dl.7. Tidak terdapat oedem.Dikatakan buruk bila memenuhi salah satu kriteria di atas.BAB IIIKESIMPULAN

Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri.

Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi, oedema disertai proteinuria akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik.

Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Sebelumnya wanita tadi menunjukkan gejala-gejala Preeklampsia.Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pastiDiagnosis ditegakkan melalui anamnesis danpemerikasan lainnya yang menunjang.

Berbagai komplikasi pre-eklampsia dan ekalmpsia dapat menyebabkan mortalitas dan mortalitas pada ibu dan janin yang dapat terjadi seperti solusio plasenta, hipofibrinogenemia hemolisis, perdarahan otak, kelainan mata, edema paru-paru, nekrosis hati, Sindroma HELLP, yaitu haemolysis, elevated liver enzym dan low platelet, kelainan ginjal, komplikasi lain lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-kejang, pneumonia aspiorasi, dan DIC {disseminated intravascular coagulation }, prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intrauterin. Komplikasi yang berat ialah kematian ibu dan janin.

Penatalaksanaan pada pre-eklampsia dan eklampsia terdiri dari tindakan konservatif untuk mempertahankan kehamilan dantindakan aktif {tindakan obsetri}sesuai dengan usia kehamilan ataupun adanya komplikasi yang timbul pada pengobatan konservetif. Pada pre-eklampsia dan eklampsia harus diobservasi kesejahteraan janin dan ibu.2. Hipertiroid dan Hubungannya dengan KehamilanPendahuluanHipertiroidisme merupakan suatu sindrom klinik akibat meningkatnya sekresi hormon tiroid didalam sirkulasi baik tiroksin (T4), triyodotironin (T3) atau kedua-duanya.Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave, struma nodosa toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme akibat struma nodosa toksik ditemukan pada usia yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena penyakit Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka hampir selalu hipertiroidisme dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula disebabkan karena tumor trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Prevalensi hipertiroidisme di Indonesia belum diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa. Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan ratio 5:1. Hipertiroidisme jarang ditemukan pada wanita hamil. Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan,namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan kematian janin. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit ditegakkan karena kehamilan itu sendiri menyebabkan perubahan-perubahan fisiologik yang menyerupai keadaan hipertiroidisme. Namun deteksi dini untuk mengetahui adanya hipertiroidisme pada wanita hamil sangatlah penting, karena kehamilan itu sendiri merupakan suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai dengan keadaan hipertiroidisme. Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan memerlukan perhatian khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya maupun pengobatan yang diberikan dapat memberi pengaruh buruk terhadap ibu dan janin.Faal kelenjar tiroid pada kehamilan normal :Selama kehamilan faal kelenjar tiroid mengalami peningkatan dan dalam banyak hal aktifitas kelenjar tiroid menyerupai keadaan hipertiroidisme. Sebelum dikembangkannya teknik pengukuran kimiawi faal kelenjar tiroid, orang beranggapan bahwa terjadinya struma dan peningkatan metabolisme basal pada wanita hamil disebabkan karena kelenjar tiroid yang hiperaktif. Anggapan ini berdasarkan gambaran histologik berupa hipertrofi dan hiperplasi folikel kelenjar tiroid pada wanita hamil. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa prevalensi struma selama kehamilan bervariasi secara geografis. Pada suatu studi di Skotlandia, 70% wanita hamil mengalami struma, lebih banyak dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil (38%). Berbeda dengan penelitian di Islandia, dimana tidak ditemukan peningkatan kejadian struma selama kehamilan. Juga studi di Amerika Serikat, tidak menunjukkan peningkatan kejadian struma pada wanita hamil. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hal ini disebabkan karena kandungan yodium di Islandia dan Amerika Serikat lebih tinggi daripada di Skotlandia. Menurut Glinoer, kehamilan merupakan suatu keadaan yang unik, dimana faal kelenjar tiroid dipengaruhi oleh 3 perubahan, yaitu :1. Terjadi perubahan dalam ekonomi tiroid karena meningkatnya kadar TBG sebagai respons terhadap peningkatan kadar estrogen. Akibat peningkatan kadar TBG ini akan terjadi kenaikan kadar Protein Binding Iodine mulai minggu ke 12 yang mencapai 2 kali kadar normal. Juga akan terjadi kenaikan kadar T4 dan T3 didalam serum. Peningkatan kadar TBG serum selama kehamilan disebabkan karena meningkatnya produksi TBG oleh sel-sel hati dan menurunnya degradasi TBG perifer akibat modifikasi oligosakarida karena pengaruh kadar estrogen yang tinggi.2. Terjadi peningkatan sekresi Thyroid Stimulating Factors (TSF) dari plasenta terutama Human Chorionic Gonadotropin (HCG). HCG menyerupai TSH, dimana keduanya merupakan glikoprotein yang mempunyai gugus alfa yang identik. Bukti terbaru menunjukkan bahwa HCG merupakan suatu Chorionic Thyrotropin dimana aktifitas biologik dari 1 Unit HCG ekivalen dengan 0,5 uU TSH.3. Kehamilan disertai dengan penurunan persediaan yodium didalam kelenjar tiroid karena peningkatan klirens ginjal terhadap yodium dan hilangnya yodium melalui kompleks feto-plasental pada akhir kehamilan. Hal ini akan menyebabkan keadaan defisiensi yodium relatif. Bersamaan dengan meningkatnya laju filtrasi glomerulus selama kehamilan, ekskresi yodium meningkat dan terjadi penurunan iodine pool.Respons TSH terhadap TRH juga meningkat selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena pengaruh estrogen, dimana dapat juga terjadi pada wanita2 tidak hamil yang menggunakan obat2 kontrasepsi. Walaupun terjadi perubahan2 diatas, namun kecepatan produksi hormon tiroid tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Menurut Burrow, pada wanita hamil terjadi beberapa perubahan faal kelenjar tiroid seperti tersebut dibawah ini :I. Meningkat :a. Laju metabolisme basalb. Ambilan yodium radioaktifc. Respons terhadap TRHd. Thyroxin Binding Globulin (TBG)e. Tiroksinf. Triyodotironing. Human Chorionic Thyrotropin/ Gonadotropinh. Thyroid Stimulating Hormone (TSH)II. Tidak berubah :a. Konsentrasi tiroksin bebas (fT4)b. Kecepatan produksi tiroksinPerubahan faal kelenjar tiroid ibu selama kehamilan diikuti pula oleh perubahan faal kelenjar tiroid janin. Yodium organik tidak ditemukan dalam kelenjar tiroid janin sebelum usia kehamilan 10 minggu. Pada usia kehamilan 11-12 minggu, kelenjar tiroid janin baru mulai memproduksi hormon tiroid. TSH dapat dideteksi dalam serum janin mulai usia kehamilan 10 minggu, tetapi masih dalam kadar yang rendah sampai usia kehamilan 20 minggu yang mencapai kadar puncak 15 uU per ml dan kemudian turun sampai 7 uU per ml. Penurunan ini mungkin karena kontrol dari hipofisis yang mulai terjadi pada usia kehamilan 12 minggu sampai 1 bulan post natal. Selama usia pertengahan kehamilan, didalam cairan amnion dapat dideteksi adanya T4 yang mencapai puncaknya pada usia kehamilan 25 sampai 30 minggu. Kadar T3 didalam cairan amnion selama awal kehamilan masih rendah dan berangsur akan meningkat. Tetrayodotironin (T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam bentuk reverse T3 (rT3) , hal ini mungkin disebabkan karena sistem enzimnya belum matang. Reverse T3 meningkat terus dan mencapai kadar puncak pada usia kehamilan 17 sampai 20 minggu.

Kadar rT3 didalam cairan amnion dapat dipakai sebagai diagnosis prenatal terhadap kelainan faal kelenjar tiroid janin. Pada saat lahir terjadi peningkatan kadar TSH karena sekresinya oleh hipofisis meningkat. Kadar TSH neonatus meningkat beberapa menit setelah lahir 7,5 uU/ml dan mencapai puncaknya 30 uU/ ml dalam 3 jam. Karena rangsangan TSH akan terjadi kenaikan yang tajam dari kadar T4 total dan T4 bebas didalam serum. Kadar T3 juga meningkat secara dramatis, tetapi sebagian tidak tergantung dari TSH. Hal ini mungkin disebabkan karena meningkatnya aktifitas jaringan dalam memetabolisir T4 menjadi T3. Ambilan yodium radioaktif neonatus meningkat mulai 10 jam setelah lahir yang mencapai puncaknya pada hari kedua dan menurun sampai batas normal seperti orang dewasa pada hari ke 5 setelah lahir.Tabel 1 menunjukkan faal kelenjar tiroid ibu dan neonatusTBG

(mg/dl)T4

(ug/dl)T3

(ng/dl)rT3

(ng/dl)

Wanita tidak hamil

Wanita hamil aterm

Neonatus4,3

8,7

5,47,6

14,3

11,0111

173

5040

54

136

Tabel 2 menunjukkan tes faal tiroid dari darah ibu dan darah tali pusat bayi pada saat baru lahirT e sDarah ibuDarah tali pusat

T4 serum (ug/100 ml)

fT4 (ng/100 ml)

T3 serum (ng/100 ml)

rT3 (ng/100 ml)

resin T3 uptake

TBG (mg/L)

TSH serum (uU/ml)10 16

2,5 3,5

150 250

36 65

22

30 50

0 - 66 13

1,5 3,0

40 60

80 360

25 35

12 30

0 20

Hipertiroidisme dalam kehamilanPatogenesisHipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit Grave yang merupakan suatu penyakit otoimun. Sampai sekarang etiologi penyakit Grave tidak diketahui secara pasti. Dilihat dari berbagai manifestasi dan perjalanan penyakitnya, diduga banyak faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit ini. Dari hasil penelitian, masih timbul sejumlah pertanyaan yang belum terjawab, antara lain : Apakah kelainan dasar penyakit tiroid otoimun terjadi didalam kelenjar tiroid sendiri, didalam sistem imun atau keduanya. Kalau terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan sistem imun, apakah kelainan primer terjadi pada fungsi sel T (aktifitas sel T supresor yang meningkat dan sel T helper yang menurun atau sebaliknya). Apakah terdapat pengaruh faktor genetik dan lingkungan pada tahap awal terjadinya penyakit tiroid otoimun.Kelenjar tiroid merupakan organ yang unik dimana proses otoimun dapat menyebabkan kerusakan jaringan tiroid dan hipotiroidisme (pada tiroiditis Hashimoto) atau menimbulkan stimulasi dan hipertiroidisme (pada penyakit Grave). Proses otoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara, yaitu :Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar kelenjar tiroid) karena pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga terjadi imunitas humoral. Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri yang menimbulkan imunitas seluler. Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid Stimulating Antibody (TSAb) atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI). Sekarang telah dikenal beberapa stimulator tiroid yang berperan dalam proses terjadinya penyakit Grave, antara lain :1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS)2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P)

3. Human Thyroid Stimulator (HTS)

4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS)

5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA)Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat pada membran sel folikel kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan biosintesis hormon tiroid. Bukti tentang adanya kelainan sel T supresor pada penyakit Grave berdasarkan hasil penelitian Aoki dan kawan-kawan (1979), yang menunjukkan terjadinya penurunan aktifitas sel T supresor pada penyakit Grave. Tao dan kawan-kawan (1985) membuktikan pula bahwa pada penyakit Grave terjadi peningkatan aktifitas sel T helper. Seperti diketahui bahwa dalam sistem imun , sel limfosit T dapat berperan sebagai helper dalam proses produksi antibodi oleh sel limfosit B atau sebaliknya sebagai supresor dalam menekan produksi antibodi tersebut. Tergantung pada tipe sel T mana yang paling dominan, maka produksi antibodi spesifik oleh sel B dapat mengalami stimulasi atau supresi. Kecenderungan penyakit tiroid otoimun terjadi pada satu keluarga telah diketahui selama beberapa tahun terakhir. Beberapa hasil studi menyebutkan adanya peran Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu terutama pada lokus B dan D. Grumet dan kawan-kawan (1974) telah berhasil mendeteksi adanya HLA-B8 pada 47% penderita penyakit Grave. Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave diperkuat pula oleh peneliti-peneliti lain. Studi terakhir menyebutkan bahwa peranan haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave berbeda-beda diantara berbagai ras. Gray dan kawan-kawan (1985) menyatakan bahwa peranan faktor lingkungan seperti trauma fisik, emosi, struktur keluarga, kepribadian, dan kebiasaan hidup sehari-hari tidak terbukti berpengaruh terhadap terjadinya penyakit Grave. Sangat menarik perhatian bahwa penyakit Grave sering menjadi lebih berat pada kehamilan trimester pertama, sehingga insiden tertinggi hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada kehamilan trimester pertama. Sampai sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Pada usia kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai kecenderungan untuk remisi dan akan mengalami eksaserbasi pada periode postpartum. Tidak jarang seorang penderita penyakit Grave yang secara klinis tenang sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme pada awal kehamilan. Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester ketiga, respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam keadaan remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun ibu selama kehamilan. Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun ibu yang diduga disebabkan karena peningkatan aktifitas sel T supresor janin yang mengeluarkan faktor-faktor supresor. Faktor-faktor supresor ini melewati sawar plasenta sehingga menekan sistem imun ibu. Setelah plasenta terlepas, faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal ini dapat menerangkan mengapa terjadi eksaserbasi hipertiroidisme pada periode postpartum. Setelah melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang mencapai puncaknya 3 sampai 4 bulan postpartum. Peningkatan ini juga dapat terjadi setelah abortus. Suatu survai yang dilakukan oleh Amino dan kawan-kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5% wanita Jepang menderita tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak jelas dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah melahirkan dengan manifestasi klinis berupa hipertiroidisme transien diikuti hipotiroidisme dan kemudian kesembuhan spontan. Pada fase hipertiroidisme akan terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan yodium radioaktif yang sangat rendah (0 2%). Titer antibodi mikrosomal kadang-kadang sangat tinggi. Fase ini biasanya berlangsung selama 1 3 bulan, kemudian diikuti oleh fase hipotiroidisme dan kesembuhan, namun cenderung berulang pada kehamilan berikutnya. Terjadinya tiroiditis postpartum diduga merupakan rebound phenomenon dari proses otoimun yang terjadi setelah melahirkan.Pengaruh hipertiroidisme terhadap kehamilanHipertiroidisme akan menimbulkan berbagai komplikasi baik terhadap ibu maupun janin dan bayi yang akan dilahirkan. Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain :1. Komplikasi terhadap ibu :a. Payah JantungKeadaan hipertiroidisme dalam kehamilan dapat meningkatkan morbiditas ibu yang serius, terutama payah jantung. Mekanisme yang pasti tentang terjadinya perubahan hemodinamika pada hipertiroidisme masih simpang siur. Terdapat banyak bukti bahwa pengaruh jangka panjang dari peningkatan kadar hormon tiroid dapat menimbulkan kerusakan miokard, kardiomegali dan disfungsi ventrikel. Hormon tiroid dapat mempengaruhi miokard baik secara langsung maupun tidak langsung.Pengaruh langsung :Hormon tiroid dapat mengakibatkan efek inotropik positip dan kronotropik positip pada miokard melalui beberapa cara :1. Komponen metabolisme :a. Meningkatkan jumlah mitokondriab. Meningkatkan sintesis protein terutama sintesis miosin yang menyebabkan aktifitas ATPase miosin meningkatc. Meningkatkan aktifitas pompa natrium pada sel-sel miokardd. Meningkatkan ion kalsium miokard yang akan mempengaruhi interaksi aktin-miosin dan menghasilkan eksitasi kontraksi miokarde. Menyebabkan perubahan aktifitas adenilsiklase sehingga meningkatkan kepekaan miokard terhadap katekolamin.2. Komponen simpul sinoatrial :Terjadi pemendekan waktu repolarisasi dan waktu refrakter jaringan atrium, sehingga depolarisasi menjadi lebih cepat. Hal ini menyebabkan takikardia sinus dan fibrilasi atrium.3. Komponen adrenoreseptor :Pada hipertiroidisme, densitas adrenoreseptor pada jantung bertambah. Hal ini dikarenakan pengaruh hormon tiroid terhadap interkonversi reseptor alfa dan beta. Hipertiroidisme menyebabkan penambahan reseptor beta dan pengurangan reseptor alfa.Pengaruh tidak langsung :1. Peningkatan metabolisme tubuh :Hormon tiroid menyebabkan metabolisme tubuh meningkat dimana terjadi vasodilatasi perifer, aliran darah yang cepat (hiperdinamik), denyut jantung meningkat sehingga curah jantung bertambah.2. Sistem simpato-adrenal :Kelebihan hormon tiroid dapat menyebabkan peningkatan aktifitas sistem simpato-adrenal melalui cara :a. Peningkatan kadar katekolaminb. Meningkatnya kepekaan miokard terhadap katekolaminSecara klinis akan terjadi peningkatan fraksi ejeksi pada waktu istirahat, dimana hal ini dapat pula disebabkan oleh kehamilan itu sendiri. Disfungsi ventrikel akan bertambah berat bila disertai dengan anemia, preeklamsia atau infeksi. Faktor-faktor risiko ini sering terjadi bersamaan pada wanita hamil. Davis,LE dan kawan-kawan menyebutkan bahwa payah jantung lebih sering terjadi pada wanita hamil hipertiroidisme yang tidak terkontrol terutama pada trimester terakhir.Krisis tiroidSalah satu komplikasi gawat yang dapat terjadi pada wanita hamil dengan hipertiroidisme adalah krisis tiroid. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus antara lain persalinan, tindakan operatif termasuk bedah Caesar, trauma dan infeksi. Selain itu krisis tiroid dapat pula terjadi pada pasien-pasien hipertiroidisme hamil yang tidak terdiagnosis atau mendapat pengobatan yang tidak adekuat. Menurut laporan Davis LE dan kawan-kawan, dari 342 penderita hipertiroidisme hamil, krisis tiroid terjadi pada 5 pasien yang telah mendapat pengobatan anti tiroid, 1 pasien yang mendapat terapi operatif , 7 pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan. Krisis tiroid ditandai dengan manifestasi hipertiroidisme yang berat dan hiperpireksia. Suhu tubuh dapat meningkat sampai 41oC disertai dengan kegelisahan, agitasi, takikardia, payah jantung, mual muntah, diare,delirium, psikosis, ikterus dan dehidrasi.2. Komplikasi terhadap janin dan neonatus :Untuk memahami patogenesis terjadinya komplikasi hipertiroidisme pada kehamilan terhadap janin dan neonatus, perlu kita ketahui mekanisme hubungan ibu janin pada hipertiroidisme. Sejak awal kehamilan terjadi perubahan-perubahan faal kelenjar tiroid sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sedangkan kelenjar tiroid janin baru mulai berfungsi pada umur kehamilan minggu ke 12-16. Hubungan ibu janin dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

TSH tidak dapat melewati plasenta, sehingga baik TSH ibu maupun TSH janin tidak saling mempengaruhi. Hormon tiroid baik T3 maupun T4 hanya dalam jumlah sedikit yang dapat melewati plasenta. TSI atau TSAb dapat melewati plasenta dengan mudah. Oleh karena itu bila kadar TSI pada ibu tinggi, maka ada kemungkinan terjadi hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Obat-obat anti tiroid seperti PTU dan Neo Mercazole, zat-zat yodium radioaktif dan yodida, juga propranolol dapat dengan mudah melewati plasenta. Pemakaian obat-obat ini dapat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan janin. Pemakaian zat yodium radioaktif merupakan kontra indikasi pada wanita hamil karena dapat menyebabkan hipotiroidisme permanen pada janin.Hipertiroidisme janin dan neonatus :Hipertiroidisme janin dapat terjadi karena transfer TSI melalui plasenta terutama bila ibu hamil hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan anti tiroid. Hipertiroidisme janin dapat pula terjadi pada ibu hamil yang mendapat pengobatan hormon tiroid setelah mengalami operasi tiroidektomi, sedangkan didalam serumnya kadar TSI masih tinggi. Diagnosis ditegakkan dengan adanya peningkatan kadar TSI ibu dan bunyi jantung janin yang tetap diatas 160 x per menit. Kurang lebih 1% wanita hamil dengan riwayat penyakit Grave akan melahirkan bayi dengan hipertiroidisme. Hipertiroidisme neonatus kadang-kadang tersembunyi, biasanya berlangsung selama 2 sampai 3 bulan. Hipertiroidisme neonatus disertai dengan mortalitas yang tinggi. Komplikasi jangka panjang pada bayi yang bertahan hidup akan mengakibatkan terjadinya kraniosinostosis prematur yang menimbulkan gangguan perkembangan otak. Kematian biasanya terjadi akibat kelahiran prematur, berat badan lahir rendah dan penyakit jantung kongestif. Diagnosis hipertiroidisme neonatus ditegakkan atas dasar gambaran klinis dan laboratorium. Adanya struma, eksoftalmos dan takikardia pada bayi yang hiperaktif dengan kadar tiroksin serum yang meningkat sudah cukup untuk dipakai sebagai pegangan diagnosis. Namun dapat pula terjadi gambaran klinis yang lain seperti payah jantung, hepatosplenomegali, ikterus dan trombositopenia.Hipotiroidisme janin dan neonatesPenggunaan obat-obat anti tiroid selama kehamilan dapat menimbulkan struma dan hipotiroidisme pada janin, karena dapat melewati sawar plasenta dan memblokir faal tiroid janin. Penurunan kadar hormon tiroid janin akan mempengaruhi sekresi TSH dan menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Menurut Cooper DS, frekuensi struma pada neonatus akibat pengobatan anti tiroid pada wanita hamil diperkirakan 10%. Davis LE dan kawan-kawan melaporkan bahwa dari 36 ibu hamil hipertiroidisme yang diobati dengan anti tiroid, terdapat 1 kasus neonatus yang mengalami struma dan hipotiroidisme. Cheron dan kawan-kawan dalam penelitiannya melaporkan bahwa hanya 1 dari 11 neonatus mengalami struma dan hipotiroidisme setelah ibunya mendapat terapi PTU 400 mg perhari. Namun walaupun 10 neonatus lainnya berada dalam keadaan eutiroid, terjadi pula penurunan kadar tiroksin dan peningkatan kadar TSH yang ringan. Hal ini menunjukkan telah terjadi hipotiroidisme transien pada 10 neonatus tersebut. Penyebab hipotiroidisme janin yang lain adalah pemberian preparat yodida selama kehamilan. Dosis yodida sebesar 12 mg perhari sudah dapat menimbulkan hipotiroidisme pada janin. Hipotiroidisme akibat pemakaian yodida ini akan menimbulkan struma yang besar dan dapat menyumbat saluran nafas janin. Untuk mendiagnosis hipotiroidisme pada janin, Perelman dan kawan-kawan melakukannya dengan pemeriksaan contoh darah janin perkutan melalui bantuan USG, yang menunjukkan kadar TSH yang tinggi dan kadar tiroksin yang rendah.DiagnosisGambaran klinisSecara klinis diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit ditegakkan, karena kehamilan itu sendiri dapat memberikan gambaran yang mirip dengan hipertiroidisme. Pada kehamilan normal dapat ditemukan pula manifestasi hiperdinamik dan hipermetabolik seperti pada keadaan hipertiroidisme. Disamping itu penambahan berat badan yang terjadi pada kehamilan dapat menutupi gejala penurunan berat badan yang terjadi pada hipertiroidisme. Oleh karena itu pegangan klinis untuk diagnosis sebaiknya jangan dipakai. Walaupun demikian pada seorang penderita hipertiroidisme Grave yang sudah dikenal, gambaran klinis yang klasik dapat dipakai sebagai pegangan diagnosis. Tanda klinis yang dapat digunakan sebagai pegangan diagnosis adalah adanya tremor, kelainan mata yang non infiltratif atau yang infiltratif, berat badan menurun tanpa diketahui sebabnya, miksedema lokal, miopati dan onikolisis. Semua keadaan ini tidak pernah terjadi pada kehamilan normal. Bila nadi istirahat lebih dari 100 kali permenit dan tidak melambat dengan perasat Valsalva, hal ini memberi kemungkinan kuat adanya hipertiropidisme. Pasien-pasien dengan hipertiroidisme hamil dapat mengalami hiperemesis gravidarum yang hanya dapat diatasi dengan obat-obat anti tiroid.Laboratorium :1. Kadar T4 dan T3 totalKadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat karena peningkatan kadar TBG oleh pengaruh estrogen. Namun peningkatan kadar T4 total diatas 190 nmol/liter (15 ug/dl) menyokong diagnosis hipertiroidisme.2. Kadar T4 bebas dan T3 bebas (fT4 dan fT3)Pemeriksaan kadar fT4 dan fT3 merupakan prosedur yang tepat karena tidak dipengaruhi oleh peningkatan kadar TBG. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar fT4 dan fT3 sedikit menurun pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja mungkin sudah dapat menunjukkan hipertiroidisme.3. Indeks T4 bebas (fT4I)Pemeriksaan fT4I sebagai suatu tes tidak langsung menunjukkan aktifitas tiroid yang tidak dipengaruhi oleh kehamilan merupakan pilihan yang paling baik. Dari segi biaya, pemeriksaan ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu kadar fT4 dan T3 resin uptake (ambilan T3 radioaktif). Tetapi dari segi diagnostik, pemeriksaan inilah yang paling baik pada saat ini.4. Tes TRHTes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita hipertiroidisme hamil dengan gejala samar-samar. Sayangnya untuk melakukan tes ini membutuhkan waktu dan penderita harus disuntik TRH dulu.5. TSH basal sensitivePemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai populer sebagai tes skrining penderita penyakit tiroid. Bukan hanya untuk diagnosis hipotiroidisme, tetapi juga untuk hipertiroidisme termasuk yang subklinis. Dengan pengembangan tes ini, maka tes TRH mulai banyak ditinggalkan.6. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI)Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita hipertiroidisme Grave hamil. Kadar yang tetap tinggi mempunyai 2 arti penting yaitu :a. Menunjukkan bahwa apabila obat anti tiroid dihentikan, kemungkinan besar penderita akan relaps. Dengan kata lain obat anti tiroid tidak berhasil menekan proses otoimun.b. Ada kemungkinan bayi akan menjadi hipertiroidisme, mengingat TSI melewati plasenta dengan mudah.PenatalaksanaanOleh karena yodium radioaktif merupakan kontra indikasi terhadap wanita hamil, maka pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak pada pilihan antara penggunaan obat-obat anti tiroid dan tindakan pembedahan. Namun obat-obat anti tiroid hendaklah dipertimbangkan sebagai pilihan pertama.Obat-obat anti tiroidObat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan tionamida yang kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid melalui blokade proses yodinasi molekul tirosin. Obat-obat anti tiroid juga bersifat imunosupresif dengan menekan produksi TSAb melalui kerjanya mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Oleh karena obat ini tidak mempengaruhi pelepasan hormon tiroid, maka respons klinis baru terjadi setelah hormon tiroid yang tersimpan dalam koloid habis terpakai. Jadi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan eutiroid tergantung dari jumlah koloid yang terdapat didalam kelenjar tiroid. Pada umumnya perbaikan klinis sudah dapat terlihat pada minggu pertama dan keadaan eutiroid baru tercapai setelah 4-6 minggu pengobatan. Propylthiouracil (PTU) dan metimazol telah banyak digunakan pada wanita hamil hipertiroidisme. Namun PTU mempunyai banyak kelebihan dibandingkan metimazol antara lain :a. PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping menghambat sintesis hormon tiroid.b. PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena PTU mempunyai ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air.Selain itu terdapat bukti bahwa metimazol dapat menimbulkan aplasia cutis pada bayi. Oleh karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan. Pada awal kehamilan sebelum terbentuknya plasenta, dosis PTU dapat diberikan seperti pada keadaan tidak hamil, dimulai dari dosis 100 sampai 150 mg setiap 8 jam. Setelah keadaan terkontrol yang ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan kadar T4 serum, dosis hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila sudah tercapai keadaan eutiroid, dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan setelah 3 minggu diberikan 50 mg 2 kali sehari. Pemeriksaan kadar T4 serum hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau perjalanan penyakit dan respons pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya diturunkan serendah mungkin. Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini tidak menimbulkan gangguan faal tiroid neonatus. Bahkan hasil penelitian Cheron menunjukkan bahwa dari 11 neonatus hanya 1 yang mengalami hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg PTU perhari pada ibu hamil hipertiroidisme. Namun keadaan hipertiroidisme maternal ringan masih dapat ditolerir oleh janin daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena itu kadar T4 dan T3 serum hendaknya dipertahankan pada batas normal tertinggi.Selama trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara spontan, sehingga penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi hipertiroidisme. Bahkan pada kebanyakan pasien dapat terjadi remisi selama trimester ketiga, sehingga kadang-kadang tidak diperlukan pemberian obat-obat anti tiroid. Namun Zakarija dan McKenzie menyatakan bahwa walaupun terjadi penurunan kadar TSAb selama trimester ketiga, hal ini masih dapat menimbulkan hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Oleh karena itu dianjurkan untuk tetap meneruskan pemberian PTU dosis rendah (100-200 mg perhari). Dengan dosis ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap neonatus dari keadaan hipertiroidisme.Biasanya janin mengalami hipertiroidisme selama kehidupan intra uterin karena ibu hamil yang hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan atau mendapat pengobatan anti tiroid yang tidak adekuat. Bila keadaan hipertiroidisme masih belum dapat dikontrol dengan panduan pengobatan diatas, dosis PTU dapat dinaikkan sampai 600 mg perhari dan diberikan lebih sering, misalnya setiap 4 6 jam. Alasan mengapa PTU masih dapat diberikan dengan dosis tinggi ini berdasarkan hasil penelitian Gardner dan kawan-kawan bahwa kadar PTU didalam serum pada trimester terakhir masih lebih rendah dibandingkan kadarnya post partum. Namun dosis diatas 600 mg perhari tidak dianjurkan.Pemberian obat-obat anti tiroid pada masa menyusui dapat pula mempengaruhi faal kelenjar tiroid neonatus. Metimazol dapat dengan mudah melewati ASI sedangkan PTU lebih sukar. Oleh karena itu metimazol tidak dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui. Setelah pemberian 40 mg metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI dan sudah dapat mempengaruhi faal tiroid neonatus. Sebaliknya hanya 100 ug PTU yang melewati ASI setelah pemberian dosis 400 mg dan dengan dosis ini tidak menyebabkan gangguan faal tiroid neonatus. Menurut Lamberg dan kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan pada masa menyusui asalkan dosisnya tidak melebihi 150 mg perhari. Selain itu perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap faal tiroid neonatus.Beta blokerGladstone melaporkan bahwa penggunaan propranolol dapat menyebabkan plasenta yang kecil, hambatan pertumbuhan janin, gangguan respons terhadap anoksia, bradikardia postnatal dan hipoglikemia pada neonatus. Oleh karena itu propranolol tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama jangka panjang terhadap hipertiroidisme pada wanita hamil. Walaupun demikian cukup banyak peneliti yang melaporkan bahwa pemberian beta bloker pada wanita hamil cukup aman. Beta bloker dapat mempercepat pengendalian tirotoksikosis bila dikombinasi dengan yodida. Kombinasi propranolol 40 mg tiap 6 jam dengan yodida biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam 2 sampai 7 hari. Yodida secara cepat menghambat ikatan yodida dalam molekul tiroglobulin (efek Wolff-Chaikoff) dan memblokir sekresi hormon tiroid. Namun pengobatan yodida jangka panjang dapat berakibat buruk karena menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Sebagai pengganti dapat diberikan larutan Lugol 5 tetes 2 kali sehari, tapi tidak boleh lebih dari 1 minggu.Tindakan operatifTiroidektomi subtotal pada wanita hamil sebaiknya ditunda sampai akhir trimester pertama karena dikawatirkan akan meningkatkan risiko abortus spontan. Lagipula tindakan operatif menimbulkan masalah tersendiri, antara lain :a. Mempunyai risiko yang tinggi karena dapat terjadi komplikasi fatal akibat pengaruh obat-obat anestesi baik terhadap ibu maupun janin.b. Dapat terjadi komplikasi pembedahan berupa paralisis nervus laryngeus, hipoparatiroidisme dan hipotiroidisme yang sukar diatasi.c. Tindakan operatif dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid.Pembedahan hanya dilakukan terhadap mereka yang hipersensitif terhadap obat-obat anti tiroid atau bila obat-obat tersebut tidak efektif dalam mengontrol keadaan hipertiroidisme serta apabila terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma. Sebelum dilakukan tindakan operatif, keadaan hipertiroisme harus dikendalikan terlebih dahulu dengan obat-obat anti tiroid untuk menghindari terjadinya krisis tiroid. Setelah operasi, pasien hendaknya diawasi secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya hipotiroidisme. Bila ditemukan tanda-tanda hipotiroidisme, dianjurkan untuk diberikan suplementasi hormon tiroid.V. Kerangka Konsep

BAB IIIPENUTUP

I. Kesimpulan

Ny.Mima 38 tahun dengan riwayat G4P3A0 usia kehamilan 39 minggu menderita eklampsia disertai hipertiroidisme.

1