laporan teknis hasil penelitian -...

99
LAPORAN TEKNIS HASIL PENELITIAN KAJIAN STOK DAN KONSEP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN DI ESTUARI SUNGAI BERAU, KALIMANTAN TIMUR (KPP-PUD 436) BALAI PENELITIAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2016

Upload: phamhanh

Post on 10-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

LAPORAN TEKNIS HASIL PENELITIAN

KAJIAN STOK DAN KONSEP PENGELOLAAN SUMBERDAYA

PERAIRAN DI ESTUARI SUNGAI BERAU, KALIMANTAN TIMUR

(KPP-PUD 436)

BALAI PENELITIAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

2016

ABSTRAK

Penelitian ini di Estuari Sungai Berau bertujuan untuk menganalisis data dan

informasi Informasi tentang sumberdaya ikan dan kondisi lingkungan sebagai

dasar untuk pengelolaan. Penelitian dilakukan pada Tahun Anggaran 2016 di

Estuari Sungai Berau Kalimantan Timur, sampling dilakukan sebanyak empat kali

yang mewakili musim kemarau dan musim penghujan. Ruang lingkup kegiatan

yang akan dilakukan adalah: biologi spesies dominan, keanekaragaman jenis ikan

dan biota air lainnya, parameter populasi, pendugaan stok ikan, kondisi

lingkungan perairan, Wawancara dengan nelayan tentang perubahan penangkapan

dan kondisi lingkungan terhadap sumberdaya ikan. Hasil penelitian: Biota hasil

tangkapan dari empat kali pengambilan contoh (Februari, Mei, Agustus dan

Oktober) teridentifikasi terbanyak di stasiun muara guntungan dan muara

mengkajang sebanyak 51 – 52 species. Estuari berau terdapat sumberdaya udang

diantara nya udang putih (Fenneropenaeus indicus), udang bintik (Metapenaeus

tenuipes), udang kuning (Metapenaeus monoceros), udang brown atau udang

coklat (Metapenaeus ensis) dan udang loreng (Parapenaeopsis sculptilis). Hasil

perhitungan akustik menunjukkan bahwa luas perairan estuari Berau yang disurvei

adalah ± 114.8 mil2. Nilai biomassa total perairan estuari Berau adalah 457 ton

dengan kepadatan 2.5 kg/ha. Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan di

perairan estuari Berau terbesar di stasiun muara mengkajang adalah: nilai indeks

keanekaragaman (H’): 1.51-2.18, nilai ini masuk dalam kriteria keanekaragaman

sedang, indeks keseragaman (E): 0.61-0.08, yang menunjukkan komunitas yang

labil dan indeks dominansi spesies (C): 0,22-0.28 atau dominansi spesies yang

rendah. Dari pengamatan plankton didapatkan kelimpahan plankton berkisar

antara 12 – 426 individu/ liter dan jumlah ini selalu berbeda antara bulan februari,

Mei, dan Agustus. Adanya perbedaan ini disebabkan adanya perubahan musim.

Indeks keanekaragaman plankton berkisar antara 0,83 – 2,29 dengan kategori

rendah hingga sedang. Kepadatan makrozoobentos berkisar antara 4 – 1333

individu per m2 dengan kepadatan yang lebih tinggi ke arah laut. Hasil

perhitungan Indeks keanekaragaman makrozoobentos berkisar antara 0 – 2,59

dengan kategori rendah sampai sedang. Berdasarkan hasil penelitian 2016 dan

hasil-hasil penelitian sebelumnya kualitas perairan di estuari Berau masih

tergolong baik dan layak untuk kehidupan biota air. Sungai Simon atau Sungai

selalan merupakan stasiun yang memenuhi syarat untuk direkomendasikan

sebagai suaka perikanan khususnya untuk melindungi udang-udang bermigrasi

dari muara ke perairan laut dan sebaliknya

Kata Kunci: Berau, stok, sumberdaya perairan, pengelolaan

1

I. LATAR BELAKANG

Kabupaten Berau memiliki luas wilayah 34.127,47 km2, yang terdiri

dari: daratan 22.030,81 km2, laut 12.299,88 km

2, 52 pulau besar dan

kecil dengan 13 Kecamatan, 10 Kelurahan, 96 Kampung/ Desa. Jika ditinjau

dari luas wilayah, luas Kabupaten Berau adalah 13,92% dari luas wilayah

Kalimantan Timur, dengan prosentase luas perairan 28,74%. Jumlah

penduduknya pada tahun 2011 sebesar 191.807 jiwa dengan laju

pertumbuhan 7,11%. Daerah pesisir Kabupaten Berau terletak di Kecamatan

Biduk-Biduk, Talisayan, Pulau Derawan dan Maratua yang secara geografis

berbatasan langsung dengan lautan (Berau dalam angka, 2010).

Perairan Delta Berau memiliki potensi sumber daya perairan, seperti:

ikan, kerang, udang dan jenis biota lain yang banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat setempat. Budidaya laut di perairan Delta Berau diperkirakan

mempunyai potensi sebesar 2.500 hektar dengan potensi penangkapan sebesar

35.000 ton per tahun (Julianery, 2001). Beberapa penelitian di Delta Berau

lebih banyak membahas masalah sedimentasi, logam berat pada moluska dan

organisma bentik (Arifin et al, 2010; Afriansyah, 2009), dinamika perubahan

mangrove menjadi tambak dan tingkat kekeruhan yang terjadi di Delta Berau

(Parwati, 2007) dan sosial ekonomi nelayan (Sugiharto et al, 2013). Informasi

tentang sumberdaya perikanan di Estuari Berau belum banyak yang didapat.

Komoditas Perikanan merupakan salah satu produk unggulan dari

Kabupaten Berau. Beberapa kecamatan yang memiliki daerah perairan

menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian. Perikanan dibagi menjadi

dua, yaitu: perikanan laut dan darat. Produksi perikanan laut terus meningkat

dari tahun ke tahun. Produksi perikanan tersebut berkisar 14.000 ton per

tahun. Pada tahun 2011 produksi ikan segar sebanyak 15.509,80 ton yang

mengalami peningkatan dibanding tahun 2010 yaitu sebesar 14.922,40 ton.

Perairan Berau memiliki beberapa karakteristik yang menonjol seperti

adanya danau air laut di Pulau Kakaban, tempat makan dan bertelurnya

penyu, dan keberadaan hutan mangrove. Perairan Estuari Berau menghadapi

masalah degradasi yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, seperti:

penangkapan ikan yang merusak lingkungan (penggunaan bom dan racun

2

sianida), trawl ilegal, perangkap penyu ilegal, penjarahan penyu dan telurnya,

perusakan mangrove, penangkapan ikan berlebih, pencemaran dan

penangkapan ikan oleh nelayan luar. Pesatnya kegiatan pembangunan di

kawasan Delta Berau seperti areal pemukiman, perikanan/ tambak, anjungan

minyak, pelayaran sungai, serta kegiatan penebangan hutan mangrove untuk

berbagai kebutuhan, sehingga menimbulkan tekanan ekologis terhadap

ekosistem Delta Berau, khususnya ekosistem mangrove (Dinas Perikanan

Kalimantan Timur, 2010). Sampai seberapa jauh potensi produksi di estuari

Sungai Berau (Delta Berau) belum banyak diketahui. Penelitian kelimpahan

stok dan bioekologi sumberdaya ikan di Estuari Sungai Berau (Delta Berau),

Kalimantan Timur akan memberikan gambaran tentang sumberdaya ikan di

perairan tersebut.

Untuk Tahun 2015, telah didapatkan gambaran data dan informasi

meliputi data biologi perairan (ikan, plankton dan bentos). Data biologi ikan

yang didapat adalah data struktur ukuran, kebiasaan makanan dan tingkat

kematangan gonad ikan - ikan yang tertangkap dengan alat tangkap trawl.

Data dan informasi biologi ini diperlukan untuk mendapatkan gambaran

keperluan ikan-ikan yang tertangkap tersebut berada di perairan Estuari

Berau (sebagai tempat hidup atau living space atau hanya sebagai tempat

pemijahan (spawning ground), tempat mencari makan (feeding groud) atau

tempat pembesaran (nursery ground). Di samping itu didapatkan juga data

kepadatan stok dan data kondisi lingkungan perairan meliputi fisika dan

kimia perairan. Data dan informasi ini bersifat umum yaitu data dan informasi

Perairan Berau secara umum.

Untuk Tahun 2016 lebih di khususkan lagi dengan memfokuskan pada

perairan yang memilki kearifan lokal ( perairan yang berada di kelurahan

Patumbak) dan perairan yang telah dilakukan penangkapan secara intensif.

Diharapkan data dan informasi ini dapat melengkapi data yang telah didapat

pada Tahun 2015 yang nantinya dapat dijadikan sebahan bahan untuk

pengelolaan sumberdaya ikan di perairan estuari Berau.

3

II. TUJUAN

a. Gambaran tentang kepadatan stok, diversitas, biologi spesies dominan,

parameter populasi, ukuran pertama tertangkap, sebaran dan status

penangkapan (alat tangkap, musim, ikan target) serta aspek lingkungan

sumber daya ikan di perairan estuari Sungai Berau

b. Informasi tentang sumberdaya ikan dan kondisi lingkungan sebagai dasar

untuk pengelolaan sumber daya ikan di perairan estuari Sungai Berau

c. Terjaminnya kelestarian sumber daya ikan dan kesinambungan

pemanfaatan. Dengan demikian, pemanfaatan sumber daya ikan perairan

estuari Sungai Berau dapat dilakukan secara optimal, berkelanjutan dalam

jangka panjang serta meningkatkan kesejahteraan nelayan.

4

III. METODOLOGI

1) Komponen Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan yang dilakukan adalah:

a) Biologi spesies dominan

b) Keanekaragaman jenis ikan dan biota air lainnya

c) Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik dan pukat tarik

d) Kondisi lingkungan perairan

2) Jadwal dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada Tahun Anggaran 2016 di estuari Berau

Kalimantan Timur, sampling dilakukan sebanyak empat kali yang mewakili

musim kemarau dan musim penghujan.

3) Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter yang diukur serta alat dan bahan yang digunakan:

No. Parameter Alat/ bahan yang digunakan

A Fisika

1 Temperatur Termometer air raksa

2 Kecerahan Piring secchi (secchi disk)

3 Kedalaman Gauge Sounder

4 Daya Hantar Listrik SCT-Meter

B Kimia

1 pH pH- indikator universal/ pH-Meter

2 Oksigen (O2-terlarut) SCT-Meter

3 Karbondioksida (CO2) Botol sample, label

4 Alkalinitas Botol sample, label

5 Kesadahan Botol sample, label

6 Nitrat (NO3-N) Botol sample, label

7 Nitrit (NO2-N) Botol sample, label

8 Ammonia (NH3-N) Botol sample, label

9 Phosfat (PO4-P) Botol sample, label

C Biologi

1. Plankton Plankton-net, botol sample, lugol, formalin, label

2. Chlorofil-a Water sampler, botol sampel

3 Ikan Alat tangkap, alat bedah, kantong plastik,

formalin, bouin, kalkir, label

D Akustik

1. TS, Densitas, Kedalaman Biosonic DT-X scientific echosounder yang

dioperasikan pada frekuensi 200 kHz

5

4) Metode Pengumpulan Data

a) Pengambilan sampel spesies ikan dan udang menggunakan alat tangkap

pukat tarik. Pukat tarik yang digunakan merupakan alat tangkap yang biasa

digunakan nelayan di perairan ini, dengan ukuran panjang 14,0 meter,

panjang tali ris atas 7,0 meter, meshsize 1,5 dan 1,0 inch kantong hasil 0,5

inchi. Pukat ditarik dengan kapal trawl (6 GT), lama penarikan 15 menit

pada masing-masing lokasi pengambilan contoh yang telah ditentukan,

kecepatan tarikan antara 2,5 – 3,0 km/jam dan bagan untuk mengetahui

keanekaragaman, distribusi dan biologi. Untuk mendapatkan data series

hasil tangkapan setiap bulan menggunakan jasa enumerator.

b) Untuk melihat kepadatan ikan dilakukan dengan metoda akustik.

c) Pengambilan contoh plankton dilakukan dengan plankton net.

Pengambilan sampel air disaring dengan menggunakan planktonet no.25

berukuran 64 µm dan diawetkan dengan larutan formalin 4%. Analisa

sampel plankton dilakukan di laboratorium Hidrobiologi Balai Penelitian

Perikanan Perairan Umum Palembang dengan menggunakan buku Mizuno

(1979) & Pennak (1978).

d) Pengambilan sampel substrat dilakukan secara acak terpilih menggunakan

Ekman dredge ukuran 15x15cm di 10 stasiun. Pada tiap stasiun

pengamatan, pengambilan sampel dilakukan sebanyak 2 kali. Organisme

bentos yang diamati adalah kelompok makrozoobentos yang diperoleh

dengan menyaring sampel substrat, menggunakan ayakan bertingkat

dengan ukuran bukaan (mesh size) 1,0 mm; 1,5 mm; dan 2,0 mm. Sampel

bentos yang diperoleh diawetkan dalam larutan alkohol 70%, selanjutnya

diidentifikasi berdasarkan genus dan dihitung kelimpahannya dalam satuan

cm-2

. Identifikasi makrozoobentos menggunakan referensi Faucland

(1977); Gosner (1971), Milligan (1997), Ruswahyuni (1988) dan Pennak

(1978).

e) Pengukuran beberapa parameter biofisik, antara lain: salinitas, DO, Co2,

pH dan suhu secara insitu, dan parameter lainnya diukur di Laboratorium

Kimia BP3U.

6

5) Analisis Sampel

Sampel ikan yang tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik

dianalisis di laboratorium biologi ikan untuk melihat distribusi ukuran,

kebiasaan makanan dan reproduksinya. Analisis plankton dan bentos

dilakukan untuk menentukan komposisi, jenis dan sebarannya dalam kolom

air serta posisinya di sepanjang estuari. Sampel air dianalisis di laboratorium

kimia. Contoh air dianalisis dengan metode baku untuk mendapatkan

kandungan nutriennya (nitrat, fosfat, amonia). Demikian pula dengan analisis

konsentrasi Chl-a untuk produktivitas primer.

a) Biologi Spesies Dominan

Reproduksi

Beberapa aspek biologi ikan spesies kunci yang diukur antara lain

TKG, IKG, dan ukuran pertama kali matang gonad.

Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad diukur dengan membandingkan berat

gonad dengan berat tubuh ikan (Effendie 1979):

( )

............................................................................ (1)

Keterangan :

BG : Berat gonad (gram)

BT : Berat tubuh (gram)

Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad ditentukan dengan mengamati ciri-ciri

morfologis (Nikolsky, 1963) (Tabel 2). Pengamatan secara morfologis

dilakukan dengan menggunakan mikroskop, terutama untuk ikan yang

berada pada TKG I dan II.

Tabel 2. Tingkat kematangan gonad ikan menurut Nikolsky (1963)

TKG Keterangan Ciri-ciri

I Tidak

masak

Individu masih belum berhasrat untuk melakukan

reproduksi, ukuran gonad kecil.

II Masa

istirahat

Produk seksual belum berkembang, gonad

berukuran kecil dan telur tidak dapat dibedakan

oleh mata.

III Hampir

masak

Telur dapat dibedakan oleh mata, testes berubah

dari transparan menjadi warna merah jambu.

IV Masak Produk seksual masak dan mencapai berat

7

maksimum, tetapi produk tidak akan keluar jika

diberi sedikit tekanan.

V Reproduksi Bila perut diberi sedikit tekanan maka produk

seksual akan keluar dari lubang pelepasan, berat

gonad cepat menurun sejak pemijahan mulai

hingga berakhir.

VI Keadaan

salin

Produk seksual telah dikeluarkan, lubang genital

berwarna kemerahan, gonad mengempis, ovarium

dan testes berisi gonad sisa.

VII Masa

istirahat

Produk seksual telah dikeluarkan, warna kemerah-

merahan pada lubang genital telah pulih dan gonad

kecil serta telur belum terlihat oleh mata.

b) Parameter Pertumbuhan

Analisa Struktur kelompok umur dilakukan dengan Metode

Bhattacharya (Sparre et al., 1989). Nilai dari modus panjang dari

metode tersebut digunakan untuk menghitung panjang asimtotik (L∞),

koefisien pertumbuhan (K) dan umur teoritik (to) dengan menggunakan

analisa Ford-Walford (1993 dan 1996). Pertumbuhan ikan dianalisa

berdasarkan formula Von Bertalanffy sebagai berikut:

Untuk panjang digunakan rumus:

Lt = L∞ [1-e -k (t-to)

] ............................................................................. (2)

Dimana:

Lt : panjang ikan pada waktu t,

L∞ : panjang asimtotik/infinity,

K : koefisien pertumbuhan,

t0 : umur ikan saat panjang sama dengan 0.

L∞ adalah panjang ikan terbesar (maksimum) yang tercatat selama

periode pengumpulan data. Parameter pertumbuhan lainnya yaitu to

dicari dengan menggunakan persamaan empiris (Pauly 1980):

Log (-to) = -0,3922- 0,2752 log L∞ - 1,038 log K ............................... (3)

Karena pulsa rekruitmen alami (musiman) kedalam populasi

menentukan struktur dari suatu set data frekuensi panjang, maka

sebaliknya frekuensi panjang dapat menjelaskan beberapa informasi

keadaan rekruitmen (Pauly, 1982 dalam Gayanilo dan Pauly, 1997).

Kebalikan (Inverse) dari pendekatan ini dilakukan dengan program Fi-

SAT dalam bentuk pola rekruitmen. Pola rekruitmen didapat dari

8

proyeksi ke belakang ke dalam sumbu panjang dari data frekuensi

panjang yang telah diatur. Poin pemecahan adalah:

Dari frekuensi setelah dibagi dengan perubahan waktu, diproyeksi ke

dalam sumbu waktu (Fi-Sat)

Penyajian terakhir dari masing-masing bulan adalah (dan terlepas

dari tahun) hasil penyesuaian frekuensi yang telah diproyeksi pada

masing-masing bulan

Mengurangkan frekuensi masing-masing bulan terhadap frekuensi

bulan terendah sehingga mendapatkan nilai 0 (nol), yang

menunjukkan rekruitmen berada pada posisi paling rendah.

Hasil rekruitmen bulanan adalah rekruitmen tahunan

Dari poin 3 dan 4 dapat dicatat bahwa nilai bulanan dari setiap bulan

pada suatu tahun dapat diduga bila t0 diketahui (Gayanilo dan Pauly,

1997)

Untuk menduga mortalitas total (Z) diduga dengan metoda kurva

hasil tangkapan konversi panjang (Length Converted Catch Curve)

yang dikemukakan oleh Pauly (1983):

Log e N = a + bt .................................................................................. (4)

dimana:

Log e N : frekuensi panjang ikan,

t : umur mutlak,

a dan b : koefisien regresi,

Kematian alami (M) dianalisis dengan menggunakan rumus empiris Pauly

sebagai berikut:

Log (M) = - 0.0066 - 0.279 log L∞ + 0.654 log K+ 0.4631 log T ............(5)

dimana:

L∞ dan K : parameter pertumbuhan

T : rataan temperatur tahunan perairan

Mortalitas yang disebabkan oleh aktivitas penangkapan (F) adalah:

F = Z - M .................................................................................................. (6)

Nisbah eksploitasi diperoleh dari:

E = F / Z ................................................................................................... (7)

dimana:

E : nisbah eksploitasi

9

F : mortalitas akibat penangkapan

Z : mortalitas total

M : mortalitas alami

c) Akustik

Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik yang dilakukan mulai

dari muara Sungai Berau (Pasang surut terendah) sampai ke estuari yang

berbatasan dengan laut (Selat Makasar). Pendugaan kepadatan ikan dengan

akustik dilakukan dengan peralatan Biosonic DT-X scientific echosounder

yang dioperasikan pada frekuensi 200 kHz. Data akustik diolah dengan

menggunakan software ECHOVIEW ver.5. Elementary sampling distance unit

adalah 1 nmi. Hasil ekstraksi berupa nilai area backscattering coeficient (sA,

m2/nmi

2) dan distribusi nilai target strength ikan tunggal dalam satuan decibel

(dB) sebagai indeks refleksi ukuran ikan.

i. Target Strength

Hubungan target strength dan óbs (backscattering cross-section,

m2) dihitung berdasarkan atas MacLennan & Simmonds (1992), yaitu:

TS=10 log óbs ........………………………………………….................. (8)

ii. Densitas Rata-rata Ikan

Persamaan untuk densitas ikan (ñA, ind/mil2) adalah:

ñA=sA/óbs ............................................................................................... (9)

iii. Hubungan Panjang-Berat (length-weight relationship)

Panjang ikan (L) berhubungan dengan óbs yaitu:

óbs=aLb .................................................................................................... (10)

Hubungan target strength dan L adalah:

TS=20 log L+A ........................................................................................ (11)

di mana:

A = nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target

strength)

Konversi nilai target strength menjadi ukuran panjang (L) untuk ikan

pelagis digunakan persamaan TS = 20 log L-73,97 (Hannachi et al., 2004).

10

Menurut Hile (1936) dalam Effendie (2002), hubungan panjang (L) dan

bobot (W) dari suatu spesies ikan yaitu:

W=aLb .................................................................................................... (12)

Menurut Mac Lennan & Simmonds (1992) dalam Natsir et al.

(2005) persamaan panjang dan bobot untuk mengkonversi panjang dugaan

menjadi bobot dugaan adalah:

Wt=a{∑{ni(Li+ÄL/2)b+1-(Li-ÄL/2)b+1}/{(b+1)ÄL}} .……………….(13)

di mana:

Wt = bobot total (g)

ÄL = selang kelas panjang (cm)

Li = nilai tengah dari kelas panjang ke-i (cm)

ni = jumlah individu pada kelas ke-i

a, b = konstanta untuk spesies tertentu

iv. Dugaan Biomassa

Hasil perhitungan luas perairan estuari Berau yang disurvei dipakai

sebagai acuan dalam penentuan volume perairan untuk menentukan

biomassa perairan untuk mendapatkan nilai biomassa total.

d) Analisis Struktur Komunitas Ikan

Analisa struktur komunitas ditentukan oleh indeks keanekaragaman

(H’), indeks keragaman (E), dan indeks dominansi (C).

i. Indeks keanekaragaman (H’) Ikan

Indeks keanekaragaman atau keragaman (H’) menyatakan keadaan

populasi organisme secara matematis agar mempermudah dalam

menganalisis informasi jumlah individu masing-masing bentuk

pertumbuhan/ genus ikan dalam suatu komunitas habitat dasar/ ikan (Odum,

1971). Indeks keragaman yang digunakan adalah indeks Shannon-Weaver

(Odum, 1971; Krebs, 1985 in Magurran, 1988) dengan rumus:

PiPiHS

i

1

ln' ..................................................................................... (14)

Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman;

Pi = Perbandingan proporsi ke i;

S = Jumlah spesies yang ditemukan.

Indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut :

11

H’≤ 2 : Keanekaragaman kecil

2 < H’≤ 3 : Keanekaragaman sedang

H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi

ii. Indeks Keseragaman (E) Ikan

Indeks keseragaman atau Equitabilitas (E) menggambarkan

penyebaran individu antar spesies yang berbeda dan diperoleh dari

hubungan antara keanekaragaman (H’) dengan keanekaragaman

maksimalnya (Bengen, 2000). Semakin merata penyebaran individu antar

spesies maka keseimbangan ekosistem akan makin meningkat. Rumus yang

digunakan adalah (Odum, 1971; Pulov, 1969 in Magurran, 1988):

maksH

HE

' ................................................................................................ (15)

Dimana:

E = indeks keseragaman;

H maks = Ln S;

S = Jumlah ikan karang yang ditemukan.

Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1. Selanjutnya nilai indeks

keseragaman berdasarkan Krebs (1972) dikategorikan sebagai berikut:

0 < E ≤ 0.5 : Komunitas tertekan

0.5 < E ≤ 0.75 : Komunitas labil

0.75 < E ≤ 1 : Komunitas stabil

Semakin kecil indeks keseragaman, semakin kecil pula

keseragaman populasi, hal ini menunjukkan penyebaran jumlah individu

setiap jenis tidak sama sehingga ada kecenderungan satu jenis biota

mendominasi. Semakin besar nilai keseragaman, menggambarkan jumlah

biota pada masing-masing jenis sama atau tidak jauh beda.

iii. Indeks Dominansi (C) Ikan

Indeks dominansi berdasarkan jumlah individu jenis digunakan

untuk melihat tingkat dominansi kelompok ikan tertentu. Persamaan yang

digunakan adalah indeks dominansi (Simpson, 1949 in Odum, 1971), yaitu :

S

i

PiC1

2)( ............................................................................................ (16)

Dimana:

C = Indeks dominansi;

12

Pi = Perbandingan proporsi ikan ke i;

S = Jumlah spesies yang ditemukan.

Nilai indeks dominansi berkisar antara 1 – 0. Semakin tinggi nilai

indeks tersebut, maka akan terlihat suatu biota mendominasi substrat dasar

perairan. Jika nilai indeks dominansi (C) mendekati nol, maka hal ini

menunjukkan pada perairan tersebut tidak ada biota yang mendominasi dan

biasanya diikuti oleh nilai keseragaman (E) yang tinggi. Sebaliknya, jika

nilai indeks dominansi (C) mendekati satu, maka hal ini menggambarkan

pada perairan tersebut ada salah satu spesies yang mendominasi dan

biasanya diikuti oleh nilai keseragaman yang rendah. Nilai indeks

dominansi dikelompokkan dalam 3 kriteria, yaitu:

0 < C ≤ 0.5 : Dominansi rendah

0.5 < C ≤ 0.75 : Dominansi sedang

0.75 < C ≤ 1 : Dominansi tinggi

5) Fitoplankton dan Zooplankton

i. Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton

Kelimpahan fitoplankton/ zooplankton dihitung dengan

menggunakan metode Sedweght – Rafter Counting (APHA, 2005) :

Ex

D

Cx

B

AxnN

1

............................................................. (17)

di mana :

N = Jumlah total zooplankton (sel/l).

n = Jumlah rataan individu per lapang pandang.

A = Luas gelas penutup (mm2).

B = Luas satu lapang pandang (mm2).

C = Volume air terkonsentrasi (ml).

D = Volume satu tetes (ml) dibawah gelas penutup.

E = Volume air yang disaring (l).

ii. Indeks Keanekaragaman/ Shannon (H’)

Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat

keanekaragaman jenis organisme yang ada dalam suatu komunitas (Odum,

1998).

s

n

pipiH1

ln'

..................................................................................... (18)

13

s = jumlah organisme

ni = jumlah individu dari jenis ke-i

N = jumlah total individu

pi = N

ni

............................................................................................... (19)

iii. Indeks Dominansi (C) (Odum, 1998)

2 NniC

.......................................................................................... (20)

ni = jumlah individu dari jenis ke-i

N = jumlah total individu

f. Struktur Komunitas Makrozoobentos

i. Komposisi Makrozoobentos

Komposisi jenis makrozoobentos menunjukkan kekayaan jenis

makrozoobentos pada perairan tersebut. Komposisi jenis tiap stasiun

dijabarkan dalam persentase, yaitu sebagai perbandingan antara jumlah

individu masing-maing jenis makrozoobentos terhadap total

makrozoobentos yang ditemukan pada masing-masing stasiun.

ii. Kepadatan

Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas (Brower & Zar,

1997) dengan formulasi sebagai, berikut:

D = (10.000 x Ni) / A ............................................................................ (21)

di mana:

D = Kepadatan (ind/m2)

Ni = jumlah individu (ind)

A = luas petak pengambilan contoh (cm2)

10.000 = konversi dari cm2 ke m

2

iii. Keanekaragaman

Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan

spesies dan merupakan cirri khas suatu komunitas. Perhitungan indeks

keanekaragaman makrozoobentos menggunakan rumus indeks

keanekaragaman Shannon-Weaver (1949) dalam Odum (1971) yaitu:

PiPiHS

i

1

ln' .................................................................................. (22)

14

di mana:

H’= indeks keanekaragaman jenis

S = jumlah spesies yang ditemukan

Pi = ni/N

ni = jumlah individu ke-i

N = jumlah total individu

Indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut:

H’≤ 2 : Keanekaragaman kecil

2 < H’≤ 3 : Keanekaragaman sedang

H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi

iv. Dominansi

Indeks dominansi berdasarkan jumlah individu jenis digunakan

untuk melihat tingkat dominansi kelompok organisme bentos tertentu.

Persamaan yang digunakan adalah indeks dominansi (Simpson, 1949

dalam Odum, 1971), yaitu :

S

i

PiC1

2)(

......................................................................................... (23)

dimana:

D = indeks dominansi

S = jumlah spesies yang ditemukan

Pi = ni/N

ni = jumlah individu ke-i

N = jumlah total individu

Nilai indeks dominansi dikelompokkan dalam 3 kriteria, yaitu:

0 < C ≤ 0.5 : Dominansi rendah

0.5 < C ≤ 0.75 : Dominansi sedang

0.75 < C ≤ 1 : Dominansi tinggi

15

IV. HASIL PENELITIAN

1) Stasiun Pengamatan

Lokasi Pengambilan sample data primer dan pengamatan lapangan

ditentukan secara purposive dengan mempertimbangkan aspek habitat mikro

terutama pengaruh air pasang (fisik-kimia) seperti disajikan pada Tabel 3

dan Gambar 1.

Tabel 3. Stasiun pengamatan di estuari Berau

Nomor

stasiun

Nama stasiun Koordinat

E N

1 Sei.Simon 117° 53’ 37.6" 02° 11’ 07.4"

2 Mr.Kasai 117° 55’ 27.6" 02° 11’ 15.6"

3 Badak-Badak 117° 55’ 55.4" 02° 09’ 03.7"

4 Mr.Guntungan 117° 54’ 33.4" 02° 05’ 47.4"

5 Mr.Batumbuk 117° 54’ 19.5" 02° 04’ 15.8"

6 Mr.Mengkajang 117° 50’ 42.2" 02° 00’ 53.8”

Gambar 1. Stasiun pengamatan estuari Berau

16

2) Hasil Tangkapan

Survey sumberdaya ikan di estuari Berau dilakukan di enam stasiun yang

masing-masingnya terletak di muara Sungai Selalang atau Sungai Simon

(Stasiun I), Muara Kasai (Stasiun II), Muara Badak-badak (stasiun III),

Muara Buntungan (Stasiun IV), Muara Batumbuk (Stasiun V) dan Muara

Mangkajang atau Muara Sungai Berau (stasiun VI)

Pada survey tahun ke dua ini, stasiun yang dipilih adalah perairan

Muara Delta Berau, hal ini disebabkan adanya penangkapan udang

ekonomis penting secara intensif di sekitar perairan ini dengan alat

tangkap mini trawl. Udang merupakan tujuan penangkapan utama bagi

sebagian besar nelayan yang tinggal di Kecamatan Pulau Derawan,

Kabupaten Berau. Sebagian besar nelayan perairan estuari Berau memiliki

perahu motor yang disebut ketinting. Alat tangkap yang banyak digunakan

di perairan ini adalah jaring gondrong (trammel net), jaring arad atau

pukat hela (mini trawl), pukat (gill net) dan rawai (long line).

Penangkapan udang di muara Berau terjadi sepanjang tahun dan

kegiatan penangkapan secara besar-besaran atau puncak musim

penangkapan terjadi pada bulan November - Mei yang banyak dilakukan

dengan pukat tarik atau pukat hela atau mini trawl yang dioperasikan

dengan perahu motor. Penangkapan dengan pukat hela ini terjadi di sekitar

muara sampai ke arah laut. Lebih jauh ke arah laut (di depan muara )

penangkapan lebih banyak dilakukan dengan jaring gondrong dengan

ukuran udang yang tertangkap lebih besar dibandingkan dengan di muara.

Untuk Tahun 2016, puncak penangkapan terjadi pada bulan

Oktober dan diperkirakan akan berakhir 3 - 4 bulan ke depan. Pada

musim timur terjadi arus laut dan gelombang yang tinggi yang terjadi di

muara - muara sungai. Berdasarkan keterangan nelayan udang yang

berada dimuara sungai tersebut merupakan udang yang berasal dari muara

sungai terdorong keluar oleh adanya arus dan gelombang yang

menyebabkan udang ini bermigrasi ke perairan yang lebih dalam untuk

memijah . Migrasi udang akibat adanya proses alam ini menyebabkan

17

intensitas penangkapan tinggi dan penangkapan terkonsentrasi pada pada

muara-muara sungai.

Sungai Simon

Perairan Sungai Simon merupakan salah satu pecahan muara

perairan sungai Berau yang merupakan daerah penangkapan ikan. Hasil

tangkapan perairan ini di dominasi oleh udang dalam ukuran induk. Jenis

udang yang sudah mulai sulit tertangkap adalah udang kuning

(Metapenaeus monoceros) yang hanya tertangkap di perairan Sungai

Selalang (Simon) dan tidak ditemukan di muara sungai lainnya. Dari

percobaan penangkapan dengan alat tangkap pukat hela, didapatkan

beberapa jenis ikan dan udang ekonomis penting. Musim penangkapan

udang terjadi pada awal musim penghujan dimana pada musim ini ombak

tinggi memasuki muara berau.

Tabel 4. Hasil tangkapan pukat hela selama 15 menit penangkapan di

Sungan Simon

No Jenis ikan/udang KISARAN TKG Jumah

Berat

total Keterangan

PT (cm)

PK

(cm)

Berat

(g) (ekor) (g)

1

Udang Loreng (Parapenaeopsis

sculptilis) 5,3 - 13,8

1,3 -

5,7 1 - 23

1 –

4 341 2059

Trip I, II , III dan

IV

2 Udang Bintik (Metapenaeus tenuipes) 5,5 - 10 1,2 - 3 1 - 12 1 - 4 129 562 Trip I, II dan III

3 Udang Kuning (M. monoceros) 5,6-11 1,7-9,6 2 - 15

150 1322 Trip IV

4

Udang Buku (Macrobrachium

equidens) 4,2 1,1 1

5 20,1 Trip III dan IV

5 Bete kuning (Photopectoralis bindus) 4,4-7,5

1-5

38 104 Trip I, dan II

6 Petek (Scutor ruconius) 5,7 - 7,6

3 - 5 2 3 12 Trip I

7 Gulama Panjang (Johnius coitor) 8,4-13,2

4 - 21 1 - 3 126 856 Trip I , III dan IV

8 gulama dompok (Johnius blengheril) 7,1 - 15,2

2 - 39 - 47 608 Trip I , II dan IV

9 Gulama (Panna microdon)

2 18 Trip II

10 Gulama (Johnius volgere) 9,5-13,2

9 - 29 1-3 17 349 Trip III

11 Buntal Kuning (Torquigener hicksi)

18 159

Trip I, II , III dan

IV

12 Buntal Loreng (Tetraodon nigroviridis)

3 116 Trip III

13 Baji/selontok (Rogadius asper) 17,6

28

4 103 Trip I , III dan IV

14 Ikan mata besar (Gerres oyena) 15,8-18,3

27-45

3 20 Trip I dan IV

15 Lopa-lopa (Anodontostoma chacunda) 14,1

17

4 71 Trip I dan IV

16 Selar (Atule mate)

1 6 Trip I

17 Selar (Selaroides leptolepis) 5,5-13,8

2 - 24

13 153 Trip II

18 Selar (Selar boops) 8,8-10,5

7-11

15 80 Trip II dan III

19 Cumi (Loligo sp)

2 5 Trip I

20 Kepiting Laut (Charybdis annulata)

6 57 Trip I dan II

21 Kepiting garis

2 14 Trip IV

22 Glodok (Mugilogobius latifrons)

1 2 Trip I

23 Layur (Trichirus lepturus) 31,4-39

20-47

2 67 Trip II

24 Layur (Paraplagusra bilineata)

4 208 Trip III

25 Ikan Bulan (Drepane punctata)

2 5 Trip II

26 Ikan Puput (Pellona dischela)

2 10 Trip II dan IV

18

27 Bulu Ayam (Coilia lindmani)

13 39

28 Teri Indian

2 9 Trip II

29 Ikan Biji Nangka

2 7 Trip II

30 Utik (Arius oetik)

4 20 Trip III

31 Dukang (Arius maculatus) 11-17,5

11 - 55

10 201 Trip IV

32 Cerutu/pemukul beduk

3 9 Trip II

33 Tembang 15

28

1 28 Trip IV

34 Lidah Panjang (Cynoglossus lingua) 9-23,1 5 - 35 4 82 Trip IV

Dari stasiun 1 ini dapat dilihat bahwa tertangkap 30 jenis ikan dan

empat jenis udang yaitu udang loreng (Parapenaeopsis sculptilis), udang

bintik (Metapenaeus tenuipes) yang berukuran induk, udang Buku

(Macrobrachium equidens) dan udang kuning (Metapenaeus monoceros).

Hasil tangkapan di stasiun 1 ini didominasi oleh udang bintik yaitu

sebanyak 522 g dan hasil tangkapan udang loreng sebanyak 155 g. Hasil

tangkapan ikan terbanyak didominasi oleh ikan gulama dompok sebanyak

384 g, ikan lainnya yang tertangkap jumlah beratnya lebih kecil dari 54 g.

Udang dan ikan yang tertangkap ini rata - rata memiliki TKG I -II.

Berdasarkan keterangan nelayan, Sungai Selalan yang sudah dekat muara

sampai kearah laut merpakan pusat penangkapan udang. Hampir semua

jenis udang laut tertangkap di perairan ini . Namun pada saat penelitian

udang yang tertangkap hanya empat jenis. Diduga karena percobaan

penangkapan dilakukan lebih ke arah sungai dan ada dugaan lain karena

penangkapan yang dilakukan terlalu intensif di perairan ini. Dugaan ini

diperkuat dengan hasil tangkapan udang kuning (Metapenaeus monoceros)

yang hanya tertangkap pada bulan Oktober (Trip IV). Berdasarkan

keterangan beberapa nelayan dan pengumpul dulunya Sungai Selalan

merupakan pusat penangkapan udang kuning.

Muara Kasai

Selama penelitian jenis ikan dan udang yang tertangkap sebanyak 49

jenis ikan dan udang yang didominasi oleh ikan bete lis kuning (Photopectoralis

bindus) dan ikan Gulama (Johnius coitor). Muara Kasai yang merupakan

pemukiman penduduk terlihat bahwa ikan petek/bete lis kuning mendominasi

yaitu sebanyak 2225,1 g dan jenis ikan lainnya yang merupakan ikan omnivor

dan pemakan bentos. Hal ini disebabkan adanya pembuangan limbah rumah

tangga yaitu berupa bahan - bahan organik sehingga jenis- jenis ikan yang

19

ditemukan banyak dari jenis ikan omnivor dan ikan pemakan bentos antara lain

ikan dari famili scianidae (gulama) ikan selangat (Anaduntostoma chacunda),

bulu Ayam (Coilia lindmani) dan ikan dari jenis petek lainnya. Hal ini

mengundang ikan-ikan buas memasuki Muara Kasai antara lain ikan dari jenis

arius yang ditangkap dengan menggunakan rawai. Pada saat penelitian tertangkap

salah satu dari jenis arius yaitu ikan dukang (Arius maculatus) dalam jumlah

yang banyak pada trip II di musim kemarau.

Udang yang mendominasi adalah udang loreng (Parapenaeopsis

sculptilis) dan tertangkap sebanyak 967 g (163 ekor), disamping itu tertangkap

juga udang bintik (Metapenaeus tenuipes) sebanyak 28 ekor (82 g), udang

Brown (Metapenaeus ensis) sebanyak 51 ekor (186 g), udang putih (Penaeus

indicus) sebanyak 8 ekor (72 g), udang petak 2 ekor, udang selatan 1 ekor dan

udang kipas sebanyak 14 g (2 ekor). Udang brown hanya tertangkap pada trip II

saja begitu juga dengan udang lainnya seperti udang selatan dan udang kipas,

masing masing tertangkap pada trip I dan trip II.

Tabel 5. Hasil tangkapan pukat hela selama 15 menit penangkapan di

Muara Kasai

No Jenis ikan/udang KISARAN Jumah Berat total Keterangan

PT PK Berat TKG (g)

1 Udang Loreng (Parapenaeopsis sculptilis) 4,2- 12

1,4 -

6,2

1 -

11 1-3 163 967 Trip I, II, III dan IV

2 Udang Bintik (Metapenaeus tenuipes)

28 82 Trip I dan III

3 Udang Brown (Metapenaeus ensis)

51 186 Trip III

4 Udang Putih (Penaeus indicus) 8,5-9,8 3,9-4,3 7-11 3 8 72 Trip III dan IV

5 Udang Petak

2 3,9 Trip II dan IV

6 Udang Selatan

1 1 Trip II

7 Udang kipas

2 14 Trip I

8 Bete lis kuning (Photopectoralis bindus) 5,6 - 11

3 – 21

1 -

3 301 2225,1 Trip I, II, III dan IV

9 Petek (Secutor ruconius) 4,8 - 8,8

3 – 9 1 – 4 80 396 Trip I, II dan IV

10 Photopectoralis eculus 9,7-11

13-19

2 27 Trip IV

11 Leiognathus indicus

32 128 Trip II

12 Gulama (Johnius coitor) 5,6 - 16,1

0,1-36 1-4 152 1669,2 Trip II dan III

13 Gulama Keken (Otolithes ruber) 22,7

123 2 11 377 Trip II dan III

14 Gulama dompok 16

48 1 11 206 Trip I dan IV

15 Gulama (Johnius volgere) 6,3-13,9

3 - 29 1-3 42 521 Trip III

16 Ikan Kaca (Megalaspis cordyla)

70 31 Trip I, II, III dan IV

17 Ikan Kaca (Apogon megalastis) 7,5-8,3

4-6

5 26 Trip IV

18 Buntal (Torquigener hicksi)

151 1182 Trip I, II, III dan IV

19 Buntal Loreng 75

11

1 11 Trip IV

20 Bulu Ayam (Coilia lindmani) 8-14,8

5- 13 1-3 118 716 Trip III dan IV

21 Pellona dischela

20 175 Trip IV

22 Setipina tenuifilis

5 80 Trip IV

23 Puput Mata Besar

18 127 Trip II

24 Puput Mata Kecil

20 185 Trip II

25 Biji Nangka (Upeneus sulphureus)

6 56 Trip I dan III

26 Dukang (Arius maculatus) 6,5-18

2 - 44

344 1.634 Trip II dan III

20

27 Kepiting

13 308 T I

28 Kepiting Laut

18 233,6 T II dan IV

29 Kepiting garis

13 228 T IV

30 Selar

47 6 T I

31 Lidah Panjang (Paraplagusia bilineata)

27 277 Trip II, III dan IV

32 Sorrogona tuberculata

9 342 Trip II

33 Baji (Rogadius asper)

12 331 Trip II, III dan IV

34 Kakap Merah Tutul

1 60 T II

35 Kakap merah (Lutjanus jutui) 17,7

9,5

1 9,5 Trip IV

36 Drepane punctata 6,7-7,5

8-10

7 57 Trip II dan IV

37 Terapon teraps

2 14 Trip II

38 Kerapu

1 7,9 Trip II

39 Sotong/ Sepia

2 41 Trip II dan IV

40 Cumi/ Loligo

2 9 Trip II

41 Alectis indicus

1 14 Trip II

42 Mata Besar (Gerres oyena)

1 9 Trip III

43 Layur (Trichiurus lepturus) 31,5-36,8

20-34

6 164 Trip II dan IV

44 Tembang/ sarden

217 28 Trip I

45 Opisthopterus tardore 15,6

24

1 24,0 Trip IV

46 Anaduntostoma chacunda

130 947,0 Trip IV

47 Sorogona puberculata 6,6

4

1

4,0 Trip IV

48 Pari (Cymnura australis) 22

194

1

194,0 Trip IV

49 Bilis (Stelophorus indicus) 9,6 8,0 1

8,0 Trip IV

Muara Sungai Badak – Badak

Tabel 6. Hasil tangkapan pukat hela selama 15 menit penangkapan di

Muara S. Badak - Badak

No Jenis ikan/udang KISARAN Jumlah

Berat

total Keterangan

PT PK Berat TKG (ekor) gr

1 Udang Loreng (Parapenaeopsis sculptilis) 2,1-13,2 1,8 - 4,8 3 - 21 - 106 651 Trip I, II, III dan IV

2 Udang Putih (Penaeus indicus)

5 16 Trip II

3 Udang Bintik (Metapenaeus tenuipes) 7,9-8,7

3,5

157 527 Trip III dan IV

4 Udang Brown (Metapenaeus ensis)

5 58 Trip III

5 Udang Petak (Cloridopsis scorpio)

3 19 Trip III

6 Bete kuning (Photopectoralis bindus) 4,7-8,9

2-11,8 1-4 209 2693 Trip I, II, III dan IV

7 Petek (Photopectoralis equlus)

90 450 Trip IV

8 Petek (Scutor ruconius) 4 -8,8

1 - 9 1-4 53 258,9 Trip I dan IV

9 Leiognathus indicus

27 155 Trip II

10 Gulama (Johnius coitor) 5,2 - 23,2

0,1 -

144

191 1895,2 Trip I, II dan IV

11 Gulama dompok

46 477 Trip I, II, III dan IV

12 Gulama Keken

1 96 Trip II

13 Gulama (Johnius volgere) 6,2-12,2

2 - 22 1-3 43 443 Trip III

14 Kepiting besar

1 11 Trip I

15 Kepiting garis

2 39 Trip I dan IV

16 Buntal Kuning (Torquigener hicksi)

20 218 Trip I, II , III dan IV

17 Upeneus sulphuries

5 51 Trip I dan IV

18 Kakap tutul putih

2 6 Trip I

19 sarden

1 10 Trip I

20 Layur 32,5 - 33,8

25

2 50 Trip I

21 Dukang (Arius oetik)

10 173 Trip I, III dan IV

22 Selar

2 4 Trip I

21

23 Selar (Adule mate)

20 133 Trip II

24 Selaroides

2 12 Trip IV

25 Teri India

1 3 Trip I

26 Alectis indicus 4,9-7,6

3-5

2 8 Trip II

27 Biji Nangka (Upeneus)

2 13 Trip II

28 Biji Nangka (Nemipterus nemurus)

2 6 Trip III

29 Sillago

2 63 Trip II

30 Ulua mentalis 8,5-10,2

7-12

4 37 Trip IV

31 Ulua gurochs 7,1

7

1 7 Trip IV

32 Kakap Merah (Lutjanus johnii)

1 8 Trip III

33 Drepane punctata 5,6-67

4-7

3 16 Trip II

34 Rogadius asper

1 18 Trip II

35 Ikan Tembang (Pellona ditchela)

12 279 Trip III

36 Lopa-lopa (Pellona ditchella)

1 11 Trip III

37 Kaca (Megalaspis cordyla)

1 5 Trip III

38 Bulu Ayam (Coilia lindmani) 7,8-11,7

2-7

2.133 9940 Trip III

39 Puput (Thryssa hamiltonii)

2 28 Trip III

40 Lidah Panjang (Paraplagusia bilineata)

3 109 Trip II dan III

41 Lidah Loreng (Cynoglossus lingua)

2 14 Trip III

42 Pemukul beduk 29,2

227

1 227 Trip IV

43 Sebelah (Psetrodes enunli) 2,5

179

1 179 Trip IV

44 Gerres oyena 11,2 23 1 23 Trip IV

Hasil tangkapan di stasiun Muara Sungai Badak-badak tertangkap

44 jenis ikan dan udang yang di dominasi oleh ikan bulu Ayam (Coilia

lindmani) dan ikan gulama panjang (Johnius coitor).

Ikan yang mendominasi di Muara S Badak -Badak adalah gulama

panjang (Johnius coitor) yaitu sebanyak 607 g (47 ekor) dengan rata-rata

yang tertangkap memiliki TKG I-IV diikuti oleh bete lis kuning sebanyak

229,1 g (47 ekor besar dan 11 ekor kecil) serta bete belang (Scutor

ruconius) sebanyak 153 g (30 ekor) yang memiliki TKG I-IV. Udang yang

mendominasi adalah udang loreng seberat 245 g (28 ekor). Jumlah spesies

ikan yng tertangkap sama dengan stasiun lainnya yatiu sebnyak 15 jenis,

stu jnis diantaranya udang loreng. Di stasiun ini tertangkap lima jenis

udang yang didominasi dengan udang loreng (Parapenaeopsis sculptilis)

dan udang bintik (Metapenaeus tenuipes).

Muara Guntung

Muara Guntung merupakan perairan yang jarang dilakukan

penangkapan karena perairan banyak terdapat akar-akar kayu, pohon-

pohon yang tumbang yang terendam di perairan sehingga penangkapan

dengan pukat hela dan dengan jaring gondrong jarang dilakukan. Di

22

perairan ini terdapat banyak ikan yang berukuran besar dari jenis kakap

(Lutjanus sp), kerapu dan ikan ekor kuning.

Muara Guntung merupakan muara dari Sungai Guntung yang di

dalam sungai terdapat tambak milik penduduk. Percobaan penangkapan

ikan dengan alat tangkap pukat hela selama empat kali survey

mendapatkan paling banyak jenis ikan dan udang yaitu 51 jenis yang

terdiri dari 42 jenis ikan dan 5 jenis udang yaitu udang putih yang

merupakan udang ekspor, udang bintik, udang brown (udang jahe), udang

loreng dan udang kipas serta 3 jenis cumi dan satu jenis kepiting. Mungkin

karena banyak tambak yang berada di dalam sungai, maka bete lis kuning

menominasi hasil tangkapan yaitu sebanyak 844 ekor (berat 7626 g), ikan

bete belang 148 ekor (berat 963,54 g). Beberapa literatur mengatakan

bahwa kehadiran ikan petek di suatu perairan karena adanya pencemaran

perairan terutama bahan organik. Jenis kedua yang menominasi adalah

ikan gulama panjang (Johnius coitor) dengan jumlah 454 ekor ( berat

5277,5 g) yang merupakan jenis ikan yang sepanjang hidupnya berada di

estuari.

Tabel 7. Hasil tangkapan pukat hela selama 15 menit penangkapan di

Muara Guntung

No. Jenis ikan/udang KISARAN Jumah Berat total Keteranganm

PT PK Berat TKG

1 Udang Loreng (Parapenaeopsis sculptilis) 7,1-12,8 1,7-3,5 3 – 15

52 442 Trip I, II dan III

2 Udang Bintik

10 44 Trip II

3 Udang Brown 7 - 9,2 1,5 -1,9 2 – 5

4 22 Trip I dan II

4 Udang putih 9,7 - 13,2 1,6 -2,8 5 – 16

8 98 Trip I

5 Udang Kipas (Cloridopsis scorpio)

5 71 Trip I danIII

6 Bete lis kuning (Leiognathus bindus) 5,5 - 13,6

3 – 44 1 - 4 844 7626 Trip I dan II

7 Bete belang (Scutor ruconius) 4,1-9,3

1 – 10

148 963,54 Trip I, II dan IV

8 Leiognathus indicus

3 17 Trip II

9 Petek (Photopectoralis eculus)

35 165 Trip IV

10 Gulama (Johnius coitor) 8,2 -13,7

5-25 1-4 454 5277,5 Trip I dan III

11 Gulama dompok

58 811 Trip I dan II

12 Gulama mata besar

2 19 Trip I

13 Gulama Keken (Johnius belengari) 12,8-23,6

29-147 1-3 7 629 Trip III

14 Gulama (Johnius volgere) 7,8-17,8

5-65 1-4 174 3901 Trip III

15 Baji (Rogadius asper)

6 122 Trip I dan II

16 Arius maculatus 8,4 -17,6

4 – 43

51 537 Trip I dan II

17 Dukang (Arius oetik)

63 953 Trip III

18 Cumi (Loligo pickfordi)

1 11 Trip I

19 Cumi (Loligo sp)

9 110 Trip I dan IV

20 Lidah Panjang (Paraplagusia bilineata)

15 194 Trip I, II dan III

21 Sotong (Sepia sp)

1 11 Trip I

22 Buntal Kuning (Torquigener hicksi)

21 306 Trip I, II dan III

23

23 Buntal Loreng

2 15 Trip I

24 Buntal loreng

1 3550 Trip IV

25 Buntal tutul (Tetraodon nigroviridis)

1 30 Trip III

26 Ambassis dussumieri

24 110 Trip I

27 Selar (Atule mate)

4 35 Trip I

28 selar (Megalaspis cordyla)

1 15 Trip I

29 selar (Megalespis sp)

186 912 Trip II

30 Selar (Selaroides sp)

5 34 Trip II

31 Terapon theraps

2 23 Trip I dan III

32 Tapi-tapi (Drepane punctata)

8 210 Trip I, III dan IV

33 Drepane longimana

3 18 Trip II

34 Lopa-lopa (Pellona ditchella) 8 - 9,2

5 – 8

45 71 Trip I dan III

35 Kepiting Laut

7 98 Trip II

36 Kepiting (Charybdis affinis)

35 268 Trip III

37 Kepiting tutul

8 130 Trip IV

38 Apogon kiensis

5 26 Trip II

39 Geres filamentos

23 234 Trip II

40 Biji Nangka (Upeneus sulphureus)

4 38 Trip II dan IV

41 Tembang

1 21 Trip II

42 Petek (Carangoides talanparsides)

4 13 Trip II

43 Kakap totol (Lutjanus johnii)

1 46 Trip III

44 Kakap/arut (Lutjanus) 24,3-36,3

237-

720

13 5666 Trip IV

45 Bulu Ayam (Coilia lindmani)

21 123 Trip III

46 Bansa/ Lemuru (Gerres oyena)

5 120 Trip IV

47 Sebelah (Pseudohombus arsius)

4 139 Trip IV

48 Kerapu 35,2-41,5

616-

1137

2 1753 Trip IV

49 Ekor kuning 4,5-16,5

16-40 2-3 6 183 Trip IV

50 Pemukul beduk

2 118 Trip IV

51 Ikan Tempel (Echeneis naucrates) 1 Trip IV

Muara Betumbuk

Pegat Betumbuk adalah salah satu kampung di Kecamatan Pulau

Derawan, Berau, yang dilewati sungai Betumbuk dan dibagian kiri dan

kanan sungai terdapat tambak- tambak masyarakat. Wilayah Kampung

Pegat Batumbuk berbatasan langsung dengan wiIayah lautan, atau

merupakan daerah pesisir, sedangkan sebagian lain merupakan wilayah

dataran. Kampung Pegat Batumbuk merupakan kampung nelayan yang

dikenal sebagai daerah penghasil udang dan terasi di Kabupaten Berau

yang mana menghasilkan udang rata-rata kurang lebih 50 ton per tahun

dan produksi terasi rata-rata kurang sekitar 60 ton per tahun.

Muara Betumbuk merupakan perairan yang menjadi tumpuan harapan

nelayan dalam menangkap udang. di sepanjang Sungai Petumbuk tidak

diperbolehkan melakukan penangkapan ikan kecuali dengan alat tangkap

tuguk dan penglolaan perairan ini bersifat kearifan lokal. Alat tangkap yng

diperbolehkan hanya alat tangkap tuguk dan di perairan ini banyak

24

terdapat tambak masyarakat. Hasil tangkapan ikan di perairan ini sebanyak

46 jenis yang didominasi oleh ikan bete lis kuning sebanyak 730 ekor

(berat 7375 g), bete belang sebanyak 156 ekor (1453 g) dan bete (Gazza

minuta) sebanyak 462 ekor ( 2631 g , bulu ayam sebanyak 450 ekor

dengan berat 2269 g. Pada umumnya mendominasinya ikan-ikan tersebut

di atas karena tingginya bahan-bahan organik yang terdapat di perairan

tersebut.

Perairan Sungai Betumbuk yang memiliki kekeruhan yang tinggi

ini menyebabkan banyak tertangkap udang-udang sehingga penangkapan

udang banyak dilakukan di Muara Sungai Betumbuk.

Di Betumbuk ini terdapat suatu desa yang lahan dan perairannya

seluas 7000 ha yang dijadikan lahan konservasi untuk hutan bakau dan

perairan dengan nama Sungai Samera yang dikelola dengan kearifan lokal.

Bagaimana bentuk status perairan ini masih belum jelas, namun keinginan

masyarakat setempat adalah menjaga perairan tersebut agar tidak ada

tambak dan penangkapan ikan agar kelestarian sumberdaya ikan dapat

berkesinambungan.

Tabel 8. Hasil tangkapan pukat hela selama 15 menit penangkapan di Muara

Betumbuk

No Jenis ikan/udang KISARAN Jumah

Berat

total Keterangan

PT PK Berat TKG

1

Udang Loreng (Parapenaeopsis

sculptilis) 6,4-13,4 1,3-3,4 2 - 24

202 1524

Trip I, II,

III dan IV

2 Udang putih (Penaeus indicus) 6,8 -12.8 3,2-4,8 3 - 28

113 287

Trip I, II,

III dan IV

3 Udang Brown (Metapenaeus ensis)

12 57 Trip III

4 Udang Selatan

2 13 Trip II

5 Udang petak

1 7 Trip IV

6 Udang buku 7 2,1 7 I 1 7 Trip I

7 Bete lis kuning 4,8-9,3

1,5-14

I -

IV 730 7375

Trip I, II

dan IV

8 Bete belang (Scutor ruconius) 4,1-9

1-10

I -

IV 156 1453

Trip I, II

dan IV

9 Gazza minuta

462 2631 Trip II

10 Petek

1 11 Trip II

11 Leiognathus eculus

20 106 Trip IV

12 Gulama (Johnius coitor) 6,5-25,2

3- 29 1-4 414

Trip I, II,

III dan IV

13 Gulama dompok 8,6 - 11,6

4 - 16

47 657

Trip I dan

II

14 Gulama Keken (Otolithes ruber)

3 506

Trip II dan

III

15 Gulama (Johnius volgere) 6,2-12,7

15-21 1-4 72 664 Trip III

16 Buntal Kuning (Torquigener hicksi)

6 38

Trip I, II

dan III

17 Kepiting garis

19 300 Trip I

18 Rajungan

9 142 Trip II

19 Bulan Hitam (Drepane longimana)

5 7

Trip II dan

III

25

20 Arut

2 13 Trip I

21 Kakap totol (Lutjanus johni) 9,7-11,6

17-29 1 2 46 Trip IV

22 utik (Arius sagor)

274 1052

Trip I dan

II

23 Dukang (Arius oetik)

24 496

Trip III

dan IV

24 Cumi

2 30 Trip I

25 Sotong (Sepia)

3 54

Trip II dan

IV

26 Pemukul beduk/cerutu

2 50

Trip I dan

IV

27 Hilsa keele

3 39 Trip I

28 Kaca (Megalaspis cordyla)

10 45 Trip I

29 Kaca (Ambassis vachellii)

5 21 Trip III

30 Bilis (stelophorus indicus)

2 8 Trip I

31 Selaroides

19 143 Trip II

32 Puput

1 5 Trip II

33 Baji (Rogadius asper)

31 1018

Trip II dan

IV

34 Bulu Ayam (Coilia lindmani)

450 2269

Trip II dan

III

35 Mirip Betutu

3 16 Trip II

36

Lidah Panjang (Paraplagusia

bilineata)

12 171

Trip II, III

dan IV

37 Selar (Atule mate)

1 3 Trip III

38 Biji Nangka (Nemipterus nemurus)

1 5 Trip III

39 Nangka (Upeneus sulpureus)

1 7 Trip IV

40 Ekor kuning 9,6-14,5

7-38

2 45 Trip IV

41 Kepiting

22 291 Trip IV

42 Selaroides 9,2-10,1

7-10

2 17 Trip IV

43 Lopa-lopa (Pellona ditchela)

6 42 Trip IV

44 Siphania roseigastes

10 49 Trip IV

45 Megalop cyprinoides

5 49 Trip IV

46 Buntal kuning 15 515 Trip IV

Muara Mangkajang

Muara Mangkajang adalah muara Sungai Berau yang mengalir

menuju Selat Makasar. Perairan ini merupakan tempat lalu lintas kapal

dari Tanjung Redeb menuju ke Selat Makasar dan sebaliknya. Di Muara

Mangkajang ini bermuara Sungai Samera yang merupakan daerah

konservasi yang dikelola secara kearifan lokal.

Di stasiun Mangkajang tertangkap 44 jenis ikan dan 8 jenis udang

yang didominasi oleh udang brown (Metapenaeus ensis) sebanyak 476

ekor (berat 2291 g) diikuti oleh udang loreng (Parapenaeopsis sculptilis)

sebanyak 228 ekor (berat 1464 g). Ikan yang mendominasi adalah ikan

lopa-lopa (Anodontostoma chacunda) dan ikan gulama (Johnius volgere)

sebanyak 309 ekor (berat 2801 g) dan kedua ikan tersebut merupakan ikan

omnivor yang tertangkap di perairan yang masih alami.

26

Disebabkan karena stasiun Muara Mangkajang tempat lalu lintas

kapal, maka perairan ini jarang dijadikan nelayan sebagai areal

penangkapan karena sibuknya lalu lintas kapal di perairan ini.

Tabel 9. Hasil tangkapan pukat hela selama 15 menit penangkapan di Muara

Mangkajang

No Jenis ikan/udang KISARAN Jumah Berat total

Keterangan

PT PK Berat TKG

1

Udang Loreng (Parapenaeopsis

sculptilis) 6,8 -13,9 2-4,1 4 – 23 1-4 228 1464

Trip I, II, III

dan IV

2 Udang Bintik 6,8-14,5 1,5-3,8 3 – 29 1-3 59 664,6 Trip I, II dan IV

3 Udang Putih (Fenneropenaeus indicus)

29 476 Trip III dan IV

4 Udang Kipas (Cloridopsis scorpio)

15 151 Trip I dan III

5 Udang (Paraplagusia sp)

6 435 Trip I

6 Udang buku 5,6 1,7 2

2 5 Trip I dan IV

7 Udang Brown (Metapenaeus ensis) 7,1 - 9,8 1,9 - 2,9 3 -11 I –II 476 2291 Trip I dan III

8 Udang petak

14 Trip IV

9

Petek lis kuning (Photopectoralis

bindus) 6,5-9,9

2 - 14 1 – 4 205 1668 Trip I, II dan III

10 Secutor ruconius 4,8-7,7

2-6 1-4 3 10 Trip IV

11 Leiognathus equlus 9,9

14 4 1 14 Trip IV

12 Bete susu 7,8-9

7-9 3 7 54 Trip II

13 Bete moncong 7,5-10,3

6-14

7 60 Trip II

14 Ikan Gulama (Johnius coitor) 5,1 - 24,3

1 - 107 1 - 4 94 1358

Trip II, III dan

IV

15 Gulama Keken (Otolithes ruber)

1 41 Trip III

16 Gulama dompok 10,1 - 13,4

10 - 29

916 1149 Trip I dan IV

17 Gulama (Johnius volgere) 6-126

2-19 1-4 309 2801 Trip III

18 Gulama 6,4-14

2-27 2-3 42 623 Trip II

19 Buntal Kuning (Torquigener hicksi) 8,4-11

11-22

47 333 Trip I, II dan III

20 Buntal Loreng (Tetraodon nigroviridis)

4 131 Trip III

21 Buntal (Torguigener)

17 422 Trip IV

22 Lopa-lopa (Anodontostoma chacunda)

185 2438

Trip I, II, III

dan IV

23 Lopa-lopa (Pellona ditchella)

6 86 Trip IV

24 Megalospis/kaca

74 246 Trip I dan II

25 Megalaspis sp. 6,3-13,2

3-15

33 270 Trip II

26 Apogon kiensis 4,8-6,3

2-3

22 61 Trip II dan IV

27 Senangin

6 155 Trip I dan IV

28 Bawal Hitam 3,9-4,5

1-2

2 3 Trip II

29 Bawal putih (Pampus argeneteus) 12-16

28-44

7 242 Trip IV

30 Ikan Bulan (Drepane 8,2

17

1 17 Trip II

31 Tembang (Hilsa keele) 14-15,2

21-28

71 1842 Trip IV

32 Upeneus sulphureus 6,8-9,4

4-11

24 206 Trip I dan II

33 Kepiting garis

40 216 Trip I

34 Kepiting

107 578 Trip IV

35 Kepiting Laba-laba

2 14 Trip III

36 Baji/ selontok

3 71 Trip I

37 Cumi (Loligo sp)

10 147 Trip I, II dan IV

38 Banded Grunter (Terapon theraps) 14

41

1 41 Trip II

39 Olive tailed flathead (Rogadius asper) 12,4-13,3

10-Des

6 65 Trip II

40 Selar

2 9 Trip I

41 Bulu Ayam

5 32 Trip I

42 Arius oetik 11,7-17,3

15-46

13 415 Trip II

43 Ikan Lidah 8,9-20

6-30

8 193 Trip II

44 Pemukul Beduk 11,3-13,7

9-18

2 27 Trip II

45 Bulu Ayam (Coilia lindmani) 9,2-13

3-8

207 1047 Trip III

46 Dukang (Arius oetik)

2 449 Trip III

47 Biji Nangka (Nemipterus nemurus)

11 82 Trip III

48 Lidah Panjang (Paraplagusia bilineata)

1 20 Trip III

27

49 Cumi (Loligo pickfordi)

1 5 Trip III

50 Ikan Bulan (Drepane punctata)

1 8 Trip III

51 Nangka (Upeneus sulfureus)

12 74 Trip IV

52 Spotted javelinfish 10,3 17 1 17 Trip II

Sumberdaya udang Penaeid

Estuari Berau memiliki sumberdaya udang yang melimpah yang ter diri

dari udang Penaeid dari genus Penaeues, genus Fenneropenaeus, genus

Metapenaeus dan genus Parapenaeopsis . Genus Fenneropenaeus yang dominan

adalah udang putih (Fenneropenaeus indicus) yang merupakan udang ekspor.

Udang lainnya yaitu dari genus Metapenaeus (tiga jenis) dan Parapenaeopsis

(satu jenis). Jenis-jenis tetrsebut adalah udang bintik (Metapenaeus tenuipes),

udang kuning (Metapenaeus monoceros), udang brown atau udang coklat

(Metapenaeus ensis) dan udang loreng (Parapenaeopsis sculptilis). Kelima jenis

udang ini merupakan sumber mata pencarian nelayan yang

melakukanpenangkapan di Delta Berau.

Alat tangkap yang dioperasikan terdiri dari enam (6) jenis yaitu alat

tangkap jaring gondrong (trammel net), pukat (gillnet), rawai (longline) pancing

(Pole and line) dan alat tangkap pukat tarik Trawl mini serta alat tangkap yang

khusus menangkap kepiting bakau yang disebut rakang.. Khusus untuk

menangkap udang yang dimulai dari Muara sungai sampai sekitar 5 mil dari

muara. Perairan ini merupakan tempat mencari makan dan jalur migrasi udang

dari muara ke laut atau sebaliknya. Kondisi vegetasi di masing-masing stasiun

cukup baik sehingga banyak tertangkap udang dengan berbagai ukuran.

Udang penaeid ekonomis penting dan mendominasi adalah udang putih

(Penaeus indicus) dengan tatanama yang terbaru adalah Fenneropenaeus indicus

(Teikwa & Mgaya, 2003) . Udang ini tertangkap hampir sepanjang tahun dengan

puncak musim penangkapan pada musim penghujan sampai awal musim kemarau.

Keberadaan udang ini di muara Delta Berau adalah untuk mencari makan dan

sebagian besar merupakan udang dewasa dengan TKG II sampai mendekati TKG

IV (Tabel 10). Diduga udang ini mencari makan dalam rangka proses pematangan

gonad dan pemijahannya di sekitar 5 - 10 mil dari muara Sungai. Pengamatan

yang dilakukan pada bulan Oktober menunjukkan keberadaan induk udang putih

di sekitar muara sampai didepan muara dalam konsentrasi yang tinggi. Dari

28

pengamatan terhadap tingkat kematangan gonad udang putih dan udang lainnya

mempelihatkan induk-induk udang ini berada pada TKG II – IV. Pada bulan-

bulan ini penangkapan sangat intensif dengan menggunakan pukat hela (mini

trawl) dan jaring gondrong.

Tabel. 10 Kisaran panjang total, panjang karapas dan berat udang putih

(Fenneropenaeus indicus) yang tertangkap dengan pukat hela (trawl mini) dan

jaring gondrong selama Trip I (Februari), Trip II (Mei), Trip III (Agustus) dan

Trip IV (Oktober).

Trip Stasiun KISARAN PT/PK/B

Jumah Berat

total

Alat

Tangkap PT PK Berat TKG

I

st 2 12.3 - 15.8 3.1 - 3.9 14 - 29 1 – 2 11 224 J. gondrong

St 3 6.2 -16.6 1.8 -3.5 5 - 37 1 -3 15 259 J. gondrong

st 4 9,7 - 13,2 1,6 -2,8 5 - 16 1 -2 8 98 Pukat hela

St 5 11.4 - 16 3 - 4 10 - 33 3-4 2 43 J. gondrong

12,8 3,5 28 4 1 28 Pukat hela

27 91 Pukat hela

II st 3

5 16 Pukat hela

st 5 17 199 Pukat hela

III st 6 2 29 Pukat hela

IV

st 2 8,5-9,8 3,9-4,3 7-11 3 2 18 Pukat hela

st 5 6,8-11,2 3,2-4,8 3-19 3 4 33 Pukat hela

st 6 10,5-16,2 2,2-3,7 10-29 3-4 27 447 Pukat hela

Dari Tabel 10 memperlihatkan keberadaan udang putih di estuari Berau

dalam kondisi mulai matang gonad. Ini berlawanan dengan beberapa literatur

bahwa udang penaeid berada di estuari hanya dalam ukuran juvenil. Di estuari

Berau udang penaeid yang berukuran induk terutama dari jenis Fenneropenaeus

indicus merupakan tujuan penangkapan karena bernilai ekonomis tinggi. Teikwa

& Mgaya (2003) Ukuran pertama matang gonad untuk udang putih

(Fenneropenaeus indicus) jantan 2,8 cm sedang untuk udang betina dengan

ukuran panjang karapas 3,5 cm. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa untuk ukuran

panjang karapas diatas 3 cm tertangkap pada puncak musim yaitu pada bulan

Februari dan bulan Oktober.

Udang loreng (Parapenaeopsis sculptilis) tertangkap sepanjang tahun dan

tertangkap hampir di semua stasiun selama penelitian. Udang loreng tertangkap

dalam ukuran induk pada bulan Februari dan bulan Oktober. Bulan Februari

29

merupakan puncak musim penangkapan udang dewasa yang berakhir pada bulan

Maret 2016. Untuk Tahun 2016, puncak musim penangkapan udang dimulai

pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan Maret tahun mendatang.

Tabel 11. Kisaran panjang total, panjang karapas dan berat Udang loreng

(Parapenaeopsis sculptilis) yang tertangkap dengan pukat hela (trawl mini)

selama Trip I (Februari), Trip II (Mei), Trip III (Agustus) dan Trip IV (Oktober).

Trip KISARAN

TKG Stasiun PT PK Berat

Trip I

st 1 5,3 - 10,6 1,5 - 3,5 1 - 15 1 – 2

st 2 4,2-9,5 1,8-3,5 1-10 1-3

St 3 8,2-13,2 1,8-3,8 5- 21 -

st 4 9,2 - 12,3 2,3 - 3,5 6 - 15

St 5 7,1- 9,8 4 – 11

st 6 6,8 -10,3 2 - 3,6 3 - 13 I –III

TRIP II

st 1 7,2-13,1 1,8-3,7 3-18 1-4

st 3

st4

st 5

st 6 7,2-13,1 1,8-3,7 3-18 1-4

Trip III

st 1 6,6-11,5 1,3-2,5 2-11 1-4

st 2 7-11,6 1,4-2,9 2-11 1-2

st 3 7,1-10,3 1,5-2,7 3-9 1-4

st 4 7,1-12,8 1,7-3,1 3-11

st 5 6,4-13,4 1,3-3,4 2-18

st 6

Trip IV

st 1 6,6-13,8 2,7-5,7 2-23

st 2 6,7-12 3,1-6,2 4-22

st 3 2,1-9,7 3,2-4,8 3-14

st 5 7-11,5 3,3-6,1 4-24

st6 8,9-13,9 2-4,1 4-23 1

30

c) Struktur Komunitas Ikan

Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan pada lokasi

pengamatan Stasiun 1 berdasarkan bulan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Indeks H’, C dan E pada Stasiun 1

Gambar 2 menunjukkan indeks keanekaragaman (H’) pada

Februari: 1,26 dimana biota didapatkan 10 spesies yang didominasi Ikan

Gulama (Johnius amblycephalus), pada Mei: 1,88, biota yang didapatkan 12

spesies didominasi Ikan Selar (Selaroides leptolepis), pada Agustus: 1,52,

biota yang didapatkan 9 spesies didominasi Ikan Gulama (Johnius coitor)

dan pada November: 1,91, biota yang didapatkan 9 spesies didominasi Ikan

Gulama (Johnius amblycephalus). H’ dari empat bulan pengamatan

menunjukkan bahwa pada lokasi Stasiun 1 termasuk dalam kriteria

keanekaragaman kecil. Penyebaran individu antar spesies yang berbeda di

perairan lokasi pengamatan sangat bervariasi. Menurut Odum (1971),

indeks keseragaman jenis akan tinggi jika tidak terjadi pemusatan individu

pada suatu jenis tertentu. Indeks Dominansi (C) pada Februari: 0,45, Mei:

0,20, Agustus: 0,30 dan November: 0,18. C dari empat bulan pengamatan

menunjukkan dominansi rendah. Nilai indeks dominansi (C) mendekati nol,

maka hal ini menunjukkan pada perairan tersebut tidak ada spesies yang

mendominasi (Brower at al., 1990). Indeks Keseragaman (E) pada Februari:

0,55, Mei: 0,76, Agustus: 0,69 dan November: 0,87. E pada Februari dan

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

Februari Mei Agustus November

Inde

ks

Bulan Pengamatan

H'

C

E

31

Agustus menunjukkan komunitas labil, sedangkan pada Mei dan November

menunjukkan komunitas yang stabil (Latuconsina et al., 2012).

Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan pada lokasi

pengamatan Stasiun 3 berdasarkan bulan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Indeks H’, C dan E pada Stasiun 2

Gambar 3 menunjukkan indeks keanekaragaman (H’) pada

Februari: 1,16, biota didapatkan 10 spesies didominasi Ikan Bete

(Photopectoralis bindus), Mei: 2,25, biota didapatkan 19 spesies didominasi

Ikan Dukang (Arius maculatus), Agustus: 1,44, biota didapatkan 12 spesies

didominasi Ikan Gulama (Johnius coitor) dan November: 1,46, biota

didapatkan 10 spesies didominasi Anodontostoma chacunda. H’

menunjukkan bahwa pada Februari, Agustus dan November termasuk dalam

kriteria keanekaragaman kecil, sedangkan pada Mei keanekaragaman

sedang. Lebih tingginya indeks keanekaragaman pada Mei disebabkan

adanya kehadiran ikan laut, diantaranya: Ikan Putih (Alectis indica) dan Ikan

Kerapu (Epinephelus coioides). Indeks Dominansi (C) pada Februari: 0,43,

Mei: 0,16, Agustus: 0,35 dan November: 0,30. C dari empat bulan

pengamatan menunjukkan bahwa indeks dominansi pada Stasiun 2 termasuk

dalam kriteria dominansi rendah. Indeks Keseragaman (E) pada Februari:

0,51, MeiL: 0,76, Agustus: 0,58 dan November: 0,63. E pada Februari,

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

Februari Mei Agustus November

Inde

ks

Bulan pengamatan

H'

C

E

32

Agustus dan November menunjukkan komunitas yang labil, sedangkan pada

Mei menunjukkan komunitas stabil.

Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan pada lokasi

pengamatan Stasiun 3 berdasarkan bulan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Indeks H’, C dan E pada Stasiun 3

Gambar 4 menunjukkan indeks keanekaragaman (H’) pada

Februari: 1,60, biota didapatkan 11 spesies yang didominasi Ikan Gulama

(Johnius macropterus), Mei: 2,07 biota didapatkan 12 spesies didominasi

Ikan Petek (Eubleekeria rapsoni), pada Agustus: 0,64, biota didapatkan 14

spesies didominasi Ikan Bulu Ayam (Coilia lindmani) dan November: 1,48,

biota didapatkan 12 spesies didominasi Ikan Bete (Photopectoralis bindus).

H’ dari empat bulan pengamatan menunjukkan pada Februari, Agustus dan

November termasuk dalam kriteria keanekaragaman kecil, sedangkan pada

Mei keanekaragaman sedang. Lebih tingginya indeks keanekaragaman pada

Mei disebabkan adanya kehadiran ikan laut, diantaranya: Ikan Putih (Alectis

indica), Selar (Atule mate) dan Ikan Tembang (Pellona ditchela). Indeks

Dominansi (C) pada Februari: 0,29, Mei: 0,15, Agustus: 0,74 dan

November: 0,36. C dari empat bulan pengamatan menunjukkan bahwa pada

Stasiun 3 termasuk dalam kriteria dominansi rendah. Indeks Keseragaman

(E) pada Februari: 0,67, Mei: 0,83, Agustus: 0,24 dan November: 0,59. E

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

Februari Mei Agustus November

Inde

ks

Bulan pengamatan

H'

C

E

33

pada pada Stasiun 3 pada Februari menunjukkan komunitas labil, Mei

komunitas stabil, Agustus dan November menunjukkan komunitas tertekan.

Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan pada lokasi

pengamatan Stasiun 4 berdasarkan bulan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Indeks H’, C dan E pada Stasiun 4

Gambar 5 menunjukkan indeks keanekaragaman (H’) pada

Februari: 1,48 biota didapatkan 16 spesies didominasi Ikan Bete

(Photopectoralis bindus), Mei: 1,41, biota yang didapatkan 16 spesies

didominasi Ikan Bete (Photopectoralis bindus), Agustus: 1,35, biota yang

didapatkan 13 spesies didominasi Ikan Gulama (Johnius coitor) dan

November: 1,41, biota yang didapatkan 12 spesies didominasi Ikan Kakap

(Lutjanus johnii). H’ dari empat bulan pengamatan menunjukkan bahwa

pada Stasiun 4 termasuk dalam kriteria keanekaragaman kecil. Indeks

Dominansi (C) pada Februari: 0,37, Mei: 0,41, Agustus: 0,33 dan

November: 0,32. C dari empat bulan pengamatan menunjukkan bahwa pada

Stasiun 4 termasuk dalam kriteria dominansi rendah. Indeks Keseragaman

(E) pada Februari: 0,53, Mei: 0,51, Agustus: 0,53 dan November: 0,59. E

dari empat bulan pengamatan menunjukkan termasuk dalam kriteria

komunitas labil.

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

1,20

1,40

1,60

Februari Mei Agustus November

Inde

ks

Bulan pengamatan

H'

C

E

34

Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan pada lokasi

pengamatan Stasiun 5 berdasarkan bulan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Indeks H’, C dan E pada Stasiun 5

Gambar 6 menunjukkan indeks keanekaragaman (H’) pada

Februari: 1,74 dimana biota didapatkan 11 spesies yang didominasi Ikan

Bete (Photopectoralis bindus), Mei: 1,89, biota yang didapatkan 15 spesies

didominasi Ikan Bete (Photopectoralis bindus), Agustus: 1,21, biota yang

didapatkan 11 spesies didominasi Ikan Bulu Ayam (Coilia lindmani) dan

November: 1,53, biota yang didapatkan 13 spesies didominasi Ikan Petek

(Photopectoralis aureus). H’ dari empat bulan pengamatan menunjukkan

termasuk dalam kriteria keanekaragaman kecil. Indeks Dominansi (C) pada

Februari: 0,24, Mei: 0,19, Agustus: 0,39 dan November: 0,29. C dari empat

bulan pengamatan menunjukkan termasuk dalam kriteria dominansi rendah.

Indeks Keseragaman (E) pada Februari: 0,73, Mei: 0,70, Agustus: 0,50 dan

November: 0,59. E dari empat bulan pengamatan menunjukkan termasuk

dalam kriteria komunitas labil.

Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan pada lokasi

pengamatan Stasiun 6 berdasarkan bulan disajikan pada Gambar 7.

0,000,200,400,600,801,001,201,401,601,802,00

Februari Mei Agustus November

Inde

ks

Bulan pengamatan

H'

C

E

35

Gambar 7. Indeks H’, C dan E pada Stasiun 6

Gambar 7 menunjukkan indeks keanekaragaman (H’) pada

Februari: 1,51 dimana biota didapatkan 10 spesies yang didominasi Ikan

Bete (Photopectoralis bindus), Mei: 2,18, biota yang didapatkan 15 spesies

didominasi Ikan Gulama (Johnius amblycephalus), Agustus: 1,52, biota

yang didapatkan 12 spesies didominasi Ikan Gulama (Johnius borneensis)

dan November: 1,81, biota yang didapatkan 12 spesies didominasi Ikan

Hilsa kelee. H’ dari empat bulan pengamatan menunjukkan bahwa pada

Februari, Agustus dan November termasuk dalam kriteria keanekaragaman

kecil, sedangkan Mei termasuk dalam kriteria keanekaragaman sedang.

Lebih tingginya indeks keanekaragaman pada Mei disebabkan adanya

kehadiran ikan laut, diantaranya: Ikan Bawal Hitam (Parastromateus niger)

dan Ikan Kakap (Pomadasys kaakan). Indeks Dominansi (C) pada Februari:

0,28, Mei: 0,15, Agustus: 0,33 dan November: 0,22. C dari empat bulan

pengamatan menunjukkan termasuk dalam kriteria dominansi rendah.

Indeks Keseragaman (E) pada Februari: 0,65, Mei: 0,80, Agustus: 0,61 dan

November: 0,73. E menunjukkan bahwa ada Februari, Agustus dan

November termasuk dalam kriteria komunitas labil, sedangkan pada Mei

komunitas stabil.

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

Februari Mei Agustus November

Inde

ks

Bulan pengamatan

H'

C

E

36

d) Biologi Ikan

a) Tingkat kematangan gonad

Tingkat kematangan gonad ikan gulama panjang (Johnius coitor),

bete lis kuning (Photopectoralis bindus) dan bete belang (secutor

ruconius) dikumpulkan setiap bulannya mulai bulan Februari – bulan

Oktober 2016. Ikan gulama panjang dan ikan bete lis kuning tertangkap

setiap bulan sedangkan ikan bete belang tidak tertangkap pada bulan

Agustus dan September. Dilihat dari sifat reproduksi dan tertangkap ikan

lainnya menunjukkan bahwa ketiga jenis ikan tersebut adalah ikan yang

sepanjang hidupnya berada di estuari Berau. Hal ini diduga disebabkan

salinitas dasar perairan berau cukup tinggi yaitu berkisar antara 26 – 31 ‰

yang tidak jauh berbeda dengan salinitas perairan pantai. Ketiga jenis ikan

ini disebut dengan ikan demersal yang banyak tertangkap dengan pukat

tarik atau trawl.

Ikan gulama panjang (Johnius coitor)

Ikan gulama panjang merupakan ikan yang memiliki toleransi yang

besar terhadap kisaran salinitas Untuk Tahun 2016, ikan gulama dengan

TKG III terdapat sepanjang Tahun dengan puncak musim pemijahan

terjadi pada bulan Agustus. Ikan gulamo panjang bukanlah ikan ekonomis

penting, namun ikan ini merupakan salah satu penyumbang pakan alami

bagi ikan-ikan buas yang bermigrasi untuk mencari makan di estuari. Ikan

gulama menyebar di semua stasiun yang memiliki kisaran salinitas dari 18

– 31 ‰. Dalam ukuran larva dan juvenil, ikan gulama panjang hidup di

hutan mangrove dan muara -muara sungai (Mukherjee, et al 2012).

37

Gambar 8. Persentase tingkat kematangan gonad ikan gulama panjang

(Johnius coitor) dari bulan Februari – Oktober diperairan estuari Berau,

Kalimantan Timur

Bete lis kuning (Photopectoralis bindus)

Ikan bete lis kuning merupakan salah satu ikan dominan yang

tertangkap hampir di semua stasiun selama pengamatan dari bulan

Februari – Oktober 2016. Setiap bulannya tertangkap TKG III dan IV

dengan puncak musim pada bulan Mei. Beberapa literatur mengatakan

bahwa ikan bete lis kuning ini merupakan ikan yang hidup di laut,

meskipun begitu ikan ini melimpah di estuari Berau, Hal ini mungkin

disebabkan karena kisaran salinitas yang kecil antara musim kemarau

dengan musim penghujan dan salinitas estuari Betau berkisar antara 20 -

31‰ dan ikan bete lis kuning dapat mentolerir kisaran salinitas dasar yang

tinggi tersebut. Selama penelitian kisaran TKG III – IV berukuran

panjang 70 -136 mm dan untuk ikan betina dan untuk ikan jantan berkisar

antara 69 – 110 mm

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

IV

III

II

I

38

Gambar 9. Persentase tingkat kematangan gonad ikan bete lis kuning

(Photopectoralis bindus) dari bulan Februari – Oktober diperairan estuari

Berau, Kalimantan Timur

Bete belang (scutor ruconius)

Gambar 10. Persentase tingkat kematangan gonad ikan bete belang (Scutor

ruconius) dari bulan Februari – Oktober diperairan estuari Berau,

Kalimantan Timur

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

IV

III

II

I

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

IV

III

II

I

39

Dari gambar 10 dapat dilihat bahwa ikan bete belang TKG III

terdapat setiap bulan sedangkan TKG IV ditemukan pada bulan Februari,

Mei, Juni dan bulan Oktober dengan puncak pemijahan pada bulan

Oktober yang merupakan awal musim hujan. Dari beberapa laporan ikan

bete belang termasuk ikan demersal dan berdistribusi di laut cina Selatan

di perairan yang dangkal dengan salinitas rendah (Ridho et al, 2004). Dari

Gambar 10 dapat dilihat bahwa tidak ditemukan ikan bete belang pada

bulan Agustus dan September. Di Teluk Thailand yang salinitas hampir

sama dengan estuari Berau, juvenil ikan bete belang merupakan ikan

dominan, namun demikian ada saat ikan tersebut tidak ditemukan yaitu

pada bulan Agustus (Sichum dan Tantichodok, 2013). Selain di perairan

Thailand, bete belang ditemukan juga di perairan Sri Lanka (Chakrabarty

et al, 2008) dan di perairan berdistribusi di perairan Teluk Taiwan dalam

ukuran panjang 7 mm (juvenil) (Chu et al, 2011).

b) Ukuran pertama matang gonad

Ikan gulama panjang (Johnius coitor)

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

60

65

70

75

80

85

90

95

10

01

05

11

01

15

12

01

25

13

01

35

14

01

45

15

01

55

16

01

65

17

01

75

18

01

85

19

01

95

Fre

kiu

en

si

Tengah kelas (mm)

Johnius coitor betina

40

Gambar 11. kelas ukuran ikan gulama panjang (Johnius coitor) jantan dan betina

TKG III – IV di Perairan estuari Berau

Gambar 11.menunjukkan bahwa ikan gulama TKG III - IV berukuran

panjang berkisar antara 61 - 190 mm dengan modus ukuran tertinggi 100 mm.

Ikan gulamo jantan berukuran panjang berkisar antara 70 - 252 mm dentgan

modus tertinggi pada ukuran panjang 115 mm.

Bete lis kuning (Photopectoralis bindus)

Gambar 12.kelas ukuran ikan bete lis kuning betina (Photopectoralis bindus)

TKG III – IV di Perairan estuari Berau

0

5

10

15

20

25

30

60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260

Fre

kue

nsi

Tengah kelas (mm)

Johnius coitor jantan

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95

10

0

10

5

11

0

11

5

12

0

12

5

13

0

13

5

14

0

Fre

kue

nsi

Selang kelas

bete lis kuning

41

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa panjang ikan bete lis kuning yang

berada pada TKG III – IV berkisar antara 50 -136 mm dengan modus tertinggi

pada ukuran panjang 85 mm (8.5 cm). Ukuran panjang ikan bete lis kuning yang

tertangkap di perairan Berau lebih panjang dibandingkan yang tertangkap di

perairan Banyuwangi, Jawa Timur (Wiadnya et al, 2015)

Ikan bete belang (Scutor ruconius)

Bete belang (Scutor ruconius) juga merupakan ikan laut namun kottelat et

al, 1993 menyebutkan bahwa ikan bete belang ini sebagai ikan estuari.

Gambar 13. Kelas ukuran ikan bete belang (Scutor ruconius) TKG III – IV di

Perairan estuari Berau

Dari Gambar 13.dapat dilihat bahwa kelas ukuran ikan bete belang yang

matang gonad (TKG III –IV) berkisar antara 65 - 90 mm.

0

5

10

15

20

25

30

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Fre

kue

nsi

Kelas ukuran

Secutor ruconius

42

Tabel 12. Ukuran pertama matang gonad ikan gulama panjang (Johnius coitor),

bete lis kuning (Photopectoralis bindus) dan bete belang ( Scutor ruconius)

Jenis ikan Betina Jantan

Johnius coitor 83,75 100,8

Photopectoralis bindus 76,6 60,6

Scutor ruconius 48,2 45,3

Ikan gulama panjang pertama matang gonad berukuran 100,8 mm untuk

ikan jantan dan berukuran panjang 83,75 mm untuk ikan betina. Ukuran ini lebih

tinggi jika dibandingkan dengan ukuran yang banyak tertangkap yaitu berkisar

antara 70 - 180 mm dengan modus tertinggi pada ukuran panjang 75 mm untuk

ikan betian sedangkan untuk ikan jantan modus tertinggi didapatkan pada ukuran

panjang 80 mm dengan kisaran yang terbanyak tertangkap berukuran panjang 65

-160 mm. Ikan gulama tertangkap secara tidak sengaja yang ikut tertangkap

dengan pukat hela (trawl) dan hanya dibuang begitu saja ke perairan karena

tertangkap dalam jumlah yang besar. Begitu juga dengan ikan bete lis kuning dan

ikan bete belang dibuang ke perairan.

c) Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Nilai IKG Ikan Bete lis kuning (Photopectoralis bindus) berkisar 1,22–

8,00%. Nilai rata-rata IKG meningkat dengan meningkatnya kematangan gonad

(Hukom et al., 2006) (Gambar 14).

Gambar 14. IKG Ikan Bete lis kuning (Photopectoralis bindus) selama penelitian

Ikan Gulama (Johnius coitor) 0,70-8,16%. Nilai rata-rata IKG berdasarkan

TKG disajikan pada Gambar 15

0,00

2,00

4,00

6,00

III IV

IKG

(%

)

TKG

43

Gambar 15. IKG Ikan Gulama (Johnius coitor) selama penelitian

Ikan Petek (Secutor ruconius) 1,57-3,00%. Nilai rata-rata IKG berdasarkan

TKG disajikan pada Gambar 16

Gambar 16. IKG Ikan Petek (Secutor ruconius) selama penelitian

Dan Ikan Gulama (Johnius borneensis) 1,20-16,35%. Nilai rata-rata IKG

berdasarkan TKG disajikan pada Gambar 17

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

I II III IV

IKG

(%

) TKG

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

II III IV

IKG

(%

)

TKG

44

Gambar 17. IKG Ikan Gulama (Johnius borneensis) selama penelitian

Menurut Ichsan Effendie (1978), tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama

kali gonadnya masak tidak sama ukurannya. Demikian pula yang sama

spesiesnya. Lebih-lebih pada ikan yang sama spesiesnya itu tersebar pada lintang

yang perbedaannya lebih dari 5 derajat, maka akan terlihat perbedaan dalam

ukuran dan umur ketika mencapai kematangan gonad untuk pertama kalinya.

d) Kebiasaan Makanan

Hasil analisis kebiasaan makanan dengan menggunakan metode index of

proponderance (IP) diperoleh komposisi isi lambung Ikan Bete lis kuning

(Photopectoralis bindus) meliputi: detritus, cacing, dan serasah (Gambar 18).

Gambar 18.Komposisi Isi Lambung Ikan Bete lis kuning (Photopectoralis bindus)

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

I II III IVIK

G (

%)

TKG

25%

70%

5%

Cacing

Detritus

Serasah

45

Berdasarkan pada hasil analisis kebiasaan makanan dengan menggunakan

metode index of proponderance (IP) dapat dikatakan bahwa makanan utama Ikan

Bete lis kuning adalah detritus dan sebagai makanan pelengkap adalah cacing dan

serasah (James, 1984).

Hasil analisis kebiasaan makanan dengan menggunakan metode index of

proponderance (IP) diperoleh komposisi isi lambung Ikan Gulama (Johnius

coitor) meliputi: udang, ikan, moluska dan serasah (Gambar 19)

Gambar 19. Komposisi Isi Lambung Ikan Gulama (Johnius coitor)

Berdasarkan pada hasil analisis kebiasaan makanan dapat dikatakan bahwa

makanan utama Ikan Gulama (Johnius coitor) adalah udang dan ikan sebagai

makanan pelengkap adalah moluska dan serasah (Sasaki, 2001).

Kebiasaan makanan Ikan Petek (Secutor ruconius) meliputi: krustasea,

larva udang, cacing, dan serasah (Gambar 20).

Gambar 20 Komposisi Isi Lambung Ikan Petek (Secutor ruconius)

35%

25%

35%

5%

Ikan

Moluska

Udang

Serasah

40%

50%

5% 5%

Larva udang

Krustasea

Cacing

Serasah

46

Berdasarkan pada hasil analisis kebiasaan makanan dapat dikatakan bahwa

makanan utama Ikan Petek adalah krustasea dan sebagai makanan pelengkap

adalah larva udang, cacing dan serasah (Jamaes, 1984).

Hasil analisis kebiasaan makanan dengan menggunakan metode index of

proponderance (IP) diperoleh komposisi isi lambung Ikan Gulama (Johnius

borneensis) meliputi: kepiting, udang dan serasah (Gambar 21)

Gambar 21.Komposisi Isi Lambung Ikan Gulama (Johnius boerneensis)

Berdasarkan pada hasil analisis kebiasaan makanan dapat dikatakan bahwa

makanan utama Ikan Gulama (Johnius borneensis) adalah kepiting dan udang

sebagai makanan pelengkap adalah serasah (Sasaki, 2001).

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap Ikan Bete lis kuning dan Ikan

Petek maka dapat dikatakan bahwa ikan ini bersifat omnivora (Yamashita, 1987;

Nasir, 2000). Jenis ikan Gulama dapat digolongkan kedalam ikan yang bersifat

karnivora (Bianchi, 1985). Pada Gambar terlihat bahwa komposisi jenis-jenis

makanan Ikan Gulama hampir semuanya tergolong fauna bentik (spesies

dernersal). Hal ini dapat dirnengerti karena Ikan Gulama merupakan kelompok

ikan demersal atau benthopelagic pada daerah pantai dan muara-muara sungai

yang bervegetasi mangrove (Kottelat et al., 1993; Kuo & Shao, 1999) serta ikan

pemakan dasar (benthic feeder) dengan ciri posisi mulut yang subterminal (Bond,

1979). Keberadaan udang dalam lambung ikan setiap waktu pengamatan juga

dapat menggambarkan bahwa makanan tersebut tersedia di daerah perairan selama

waktu penelitian. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa Ikan Gulama

45%

45%

10%

Udang

Kepiting

Serasah

47

memanfaatkan crustacea (udang dan juvenil udang) sebagai makanan utamanya

dan digolongkan sebagai karnivora mikro (Inger & Chin in Kottelat et al., 1993).

e) Parameter Pertumbuhan

Dari penelitian Tahun 2016, didapatkan beberapa jenis ikan yang

berdistribusi di sepanjang perairan estuari Berau dan tertangkap sepanjang Tahun.

Jenis - jenis tersebut yaitu ikan bete lis kuning (Photopectoralis bindus) dan bete

belang (Scutor ruconius). Seluruh jenis ikan bete yang tertangkap di perairan

estuari berau disebut dengan ikan bete, sebagai pembedaan ikan bete yang

dijadikan objek penelitian maka dinamakan kedua jenis ikan tersebut dengan

bete lis kuning dan bete belang sesuai dengan ciri-ciri bentuk tubuhnya.

Pertumbuhan adalah suatu proses yang terjadi dalam tubuh organisme

yang menyebabkan perubahan ukuran panjang dan berat tubuh dalam periode

waktu tertentu. Pertumbuhan juga dapat didefinisikan sebagai pertambahan

biomas dalam suatu populasi yang dihasilkan oleh suatu material asimilasi dari

dalam lingkungannya (Aziz, 1989).

Pertumbuhan ikan target

Data distribusi frekuensi panjang ikan gulama panjang, bete lis kuning dan

bete belang dikumpulkan dari bulan Februari - Oktober 2016. Distribusi frekuensi

panjang tersebut dikelompokkan dalam bulanan kemudian dibuat kelas-kelas

dengan selang kelas 10 mm dan dianalisis dengan program ELEFAN (Electronic

Length Frequency Analysis) dalam FISAT (FAO-ICLARM Stock Assessment

Tool)(Pauly, 1981). Hasil dari beberapa parameter populasi ketiga jenis ikan

tersebut yang dihitung berdasarkan grafik Length- Converted Catch Curve dari

ELEFAN (Gambar 22) didapatkan beberapa parameter populasi ketiga jenis ikan

tersebut (Tabel 11)

48

Johnius coitor Photopectoralis bindus Scutor Ruconius

Gambar 22. Grafik Length- Converted Catch Curve dari ELEFAN

Tabel 13. Beberapa parameter populasi ikan gulama panjang (Johnius coitor),

bete lis kuning (Photopectoralis bindus) dan ikan bete belang (Scutor ruconius)

Jenis ikan

L∞

(mm) K/th M Z F E

Johnius coitor 360,75 0,21 0,83 1,32 0,49 0,37

Photopectoralis bindus 132 0,59 0,85 2,88 2,03 0,70

Scutor ruconius 103 0,91 1,21 2,89 1,68 0,58

L∞ adalah panjang dan berat ikan terbesar (maksimum) yang tercatat

selama periode pengumpulan data. Selanjutnya dibuat pendugaan umur ketiga

jenis ikan tersebut yang diestimasi dengan memakai rumus pertumbuhan VON

BERTA LANFFY sebagai berikut :

Lt = L∞ [1-e -k (t-to)

]

Parameter pertumbuhan lainnya yaitu to dicari dengan menggunakan persamaan

empiris (Pauly 1980) yang didapatkan t0 = 0,096587. Dengan demikian

persamaan VON BERTA LANFFY untuk ikan gulama panjang menjadi : Lt =

360,75(1-e-0,21(t+0,097)

)

49

Gambar 23. Simulasi pertumbuhan panjang ikan gulama (Johnius coitor) di

perairan estuari Berau

Untuk ikan dengan Loo 132, K 0,59/Tahun dan to 0,96 didapatkan persamaan

VON BERTA LANFFY sebagai berikut (Gambar ..) :

Lt = 132(1-e-0,59(t+0, 096)

)

Gambar 24. Simulasi pertumbuhan panjang ikan bete lis kuning (Photopectoralis

bindus) di perairan estuari Berau

Parrameter populasi untuk ikan bete belang Ikan bete belang (Scutor

ruconius) didapatkan Loo 103 mm, K 0,91 dan to .Dengan demikian persamaan

VON BERTALANFFY didapatkan :

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0 50 100 150 200

Pan

jan

g (m

m)

Umur (bulan)

Johnius coitor Lt = 360,75 [1-e -0,21 (t-0,09658)]

0

50

100

150

0 100 200 300 400 500

Pan

jan

g (m

m))

Umur (bulan)

Photopectoralis bindus

Lt = 132(1-e-0,59(t+0, 096))

50

Gambar 25. Simulasi pertumbuhan panjang ikan bete belang (scutor ruconius) di

perairan estuari Berau

f) Pendugaan Stok Metode Hidroakustik

Kepadatan Stok :

Kepadatan stok ikan di Estuari Berau ditentukan dengan alat echo sounder

BIOSONIC DT-X yang ditempatkan di atas kapal dengan penempatan transducer

bim terbagi (split beam echosounder) 200 KHz pada sisi kiri luar kapal 3 GT

dengan sistem side mounted. Penelitian yang dilaksanakan di Perairan Estuari

Berau pada bulan Okt 2016 dilaksanakan dengan jalur survey berbentuk zigzag

dan lurus.

0

20

40

60

80

100

120

0 50 100 150 200 250

Pan

jan

g (m

m)

Umur (bulan)

Lt = 103(1-e-0,173(t+0,062))

51

Gambar 26. Bentuk trek pengambilan data akustik di Estuari Berau, Okt 2016

Densitas rata-rata ikan

Dari hasil pengolahan data didapatkan rata-rata densitas, dari gambar dapat dilihat

bahwa nilai rata-rata densitas absolut cenderung merata kecuali agak meningkat

pada esdu 60-73, densitas rata-rata tertinggi terdapat pada esdu 60 yaitu 8.6

ind/m3, sedangkan rata-rata terkecil adalah pada esdu 118, yaitu 0.0.06 ind/m

3,

dengan rata-rata 1 ind/m3.

52

Gambar 27 . Profil densitas rata-rata secara horizontal

Gambar .28 Profil Kedalaman rata-rata secara horizontal

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

9,0

10,0

1 9

17

25

33

41

49

57

65

73

81

89

97

10

5

11

3

12

1

12

9

13

7

14

5

15

3

16

1

16

9

17

7

18

5

De

nsi

tas

(In

d/m

3)

ESDU

-9,0

-8,0

-7,0

-6,0

-5,0

-4,0

-3,0

-2,0

-1,0

0,0

1 8

15

22

29

36

43

50

57

64

71

78

85

92

99

10

6

11

3

12

0

12

7

13

4

14

1

14

8

15

5

16

2

16

9

17

6

18

3

19

0

Ke

dal

aman

(m

)

ESDU

53

Gambar 29. Sebaran Kedalaman

Jumlah dan komposisi target (target strength) menurut stara kedalaman

perairan

Hasil akustik menunjukkan bahwa target strength (TS) pelagis paling

banyak terdeteksi adalah pada nilai TS -53 yang ekuivalen dengan Panjang 11.2

cm dan paling rendah pada nilai TS -46, -45, -44 dan -43 yang ekuivalen dengan

panjang 25.0, 28.1, 31.5, dan 35.4 cm . (Gambar 30).

Secara umum ikan-ikan dengan ukuran yang lebih besar lebih banyak

terdeteksi pada kedalaman yang lebih dalam, hal ini sesuai dengan perbedaan

swimming layer dari masing-masing ukuran ikan. Ikan dengan ukuran lebih besar

cenderung berenang di perairan dalam dibandingkan ikan berukuran kecil. Nilai

komposisi dari masing-masing target ini ini digunakan dalam penentuan

komposisi berat dalam proses konversi untuk mendapatkan nilai biomassa ikan

perairan Estuari Berau.

54

Gambar 30. Komposisi nilai target Srenght

Hubungan panjang-berat (length-weight relationship)

Hubungan panjang-berat ikan digunakan untuk mengkonversi ukuran

panjang dugaan menjadi berat ikan dugaan, data panjang berat dari ikan-ikan yang

ditangkap di perairan Estuari Berau. Pada penentuan biomassa perairan Estuari

Berau, data yang digunakan adalah Ikan Petek Lis Kuning (Photopectoralis

bindus) Hubungan panjang berat Petek Lis Kuning (Photopectoralis bindus)

disertakan pada Gambar

Gambar 31. Grafik hubungan panjang-berat ikan Petek Lis Kuning

(Photopectoralis bindus)

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

8.9 10.0 11.2 12.5 14.1 15.8 17.7 19.9 22.3 25.0 28.1 31.5 35.4

-55 -54 -53 -52 -51 -50 -49 -48 -47 -46 -45 -44 -43

% K

om

po

sisi

Dugaan Panjang (cm) dan Target Strenght (db)

y = 0,0156x3,0596 R² = 0,9358

0

5

10

15

20

25

30

0 2 4 6 8 10 12

Be

rat

Panjang

55

Dari data panjang berat ikan yang diperoleh didapatkan persamaan biologi

untuk ikan pelagis W = 0,015 L0.935

. Grafik hubungan panjang dan berat kedua

jenis ikan tersebut dikemukakan pada Gambar 31

Dugaan Biomassa

Dari hasil perhitungan didapatkan luas perairan Estuari Berau yang

disurvey adalah kurang lebih adalah 114.8 mil2

atau 24413 . Luas perairan inilah

yang dipakai sebagai acuan dalam penentuan volume perairan untuk menentukan

biomassa perairan jadi didapatkan nilai biomassa total untuk perairan Estuari

Berau yang disurvey adalah 61 ton dengan kepadatan 249/km2 atau 2.5 kg/ha

(Tabel 14 ).

Tabel 14. Biomassa Ikan di Estuari Berau

Nilai TS

(dB) -55 -54 -53 -52 -51 -50

-49 -48 -47 -46 -45 -44 -43 -42 -41 TOTAL

Panjang

(cm) 9 10 11 13 14 16 18 20 22 25 28 32 35 40 45

Bobot

(gram) 12 17 24 34 49 70 99 141 200 285 405 575 818 1164 1655

Komposisi

individu

(%)

1 3 15 14 22 16 12 5 5 3 4 1 1 1 1

100

Biomassa

(Kg) 36 258 2056 2819 6386 6336 6909 3845 5468 5184 8601 1747 2485 3534 5026

60691

Biomassa

(Ton) 0.04 0.26 2.06 2.82 6.39 6.3362 6.909 3.845 5.468 5.184 8.601 1.747 2.485 3.534 5.026413 61

Kepadatan

stok

(ton/km2)

0.00 0.00 0.01 0.01 0.03 0.03 0.03 0.02 0.02 0.02 0.04 0.01 0.01 0.01 0.0

0.2

Kepadatan

stok

(Kg/ha) 0 0.01 0.08 0.1 0.26 0.26 0.28 0.16 0.224 0.21 0.35 0.07 0.102 0.14 0.20589 2.5

Sebaran densitas ikan pelagis secara horisontal

Penyebaran ikan secara horisontal juga memperlihatkan pola yang hampir

sama, dimana densitas tinggi banyak diketemukan di esdu 60 - 73 daerah muara

Guntungan dan Badak-Badak (Gambar 32).

56

Gambar 32. Sebaran Ikan secara Horozontal di Perairan Estuari Berau.

g) Fitoplankton dan Zooplankton

Komposisi jenis fitoplankton yang ditemukan di estuari Berau tahun

2016 selama pengamatan bulan Februari ditemukan 36 jenis yang terdiri dari 1

jenis dari kelas Cyanophyceae, 6 jenis dari Chlorophyceae, 17 jenis dari kelas

Bacillariphyceae, 1 jenis dari kelas Pyrrhophyceae dan 1 jenis dari kelas

Chrysophyceae. Bulan Mei terdiri dari 20 jenis yang terdiri 10 jenis dari kelas

Bacillariophyceae, 7 jenis dari kelas Chlorophyceae dan 3 jenis dari kelas

Cyanophyceae. Sedangkan bulan Agustus 2016 ditemukan 26 jenis yang terdiri

dari 19 jenis dari kelas Baccilariophyceae, 6 jenis dari kelas Chlorophyceae dan 1

jenis kelas Cyanophycea.

Kelimpahan fitoplankton bulan Februari 2016 berkisar antara 12 – 69

sel/L, bulan Mei 2016 berkisar antara 0 – 191 sel/L dan bulan Agustus berkisar

antara 111 – 426 sel/L. Kelimpahan plankton bulan Februari tergolong cukup

rendah. Hal ini diduga karena tipe perairan estuari Berau tergolong dalam perairan

yang oligotrofik. Menurut Welch (1952), suatu perairan oligotrofik ditandai

57

dengan kuantitas plankton yang rendah yaitu kurang dari 2000 sel/L dengan

jumlah jenis yang sedikit

Gambar 33. Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton

Komposisi jenis zooplankton yang ditemukan di estuari Berau dapat

dilihat pada Gambar 33. Selama pengamatan trip 1 bulan Februari 2016

ditemukan 10 jenis yang terdiri dari 4 jenis dari kelas Mastigophora, 1 jenis dari

kelas Dinophyceae, 1 jenis dari kelas Monogononta dan 4 jenis dari kelas

Crustacea. Pada bulan Mei 2016 ditemukan 11 jenis yang terdiri dari 4 jenis dari

kelas Sarcodina, 4 jenis dari kelas Ciliata, 1 jenis dari kelas Rotifer dan 2 jenis

dari kelas Crustacea. Bulan Agustus ditemukan 9 jenis yang terdiri dari 3 jenis

0

100

200

300

400

500

st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6

Ke

limp

ahan

stasiun

Kelimpahan Fitoplankton Estuari Berau Tahun 2016

Februari

Mei

Agustus

0

20

40

60

80

100

st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6

Ke

limp

ahan

Zo

op

lan

kto

n

stasiun

Kelimpahan Zooplankton Estuari Berau tahun 2016

Februari

Mei

Agustus

58

kelas Sarcodina, 3 jenis dari kelas Ciliata, 1 jenis dari kelas Rotifer dan 2 jenis

dari kelas Crustacea.

Kelimpahan zooplankton pada bulan Februari berkisar 1 -10 ind/L dan

bulan Mei 2016 berkisar antara 4 – 71 ind/L, bulan Agustus berkisar 27-97

ind/L. Adanya perbedaan kelimpahan total tersebut disebabkan karena pada bulan

Februari kondisi air besar atau musim hujan dan pada bulan Mei termasuk dalam

musim kering atau air surut. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah

zooplankton, selain jumlah fitoplankton yang kurang, waktu pengambilan

zooplankton serta pengaruh arus. Menurut Wetzel (2001) bahwa beberapa jenis

zooplankton akan bermigrasi kedasar perairan pada siang hari dan pada malam

hari baru menuju ke permukaan, pengaruh sinar matahari dan keberadaan

banyaknya jumlah ikan juga akan mempengaruhi jumlah zooplankton di perairan.

Rata-rata indeks keanekakeragaman jenis fitoplankton pada bulan Februari

berkisar antara 1,58 - 2,05, bulan Mei berkisar antara 0,00 - 2,03 dan bulan

Agustus 2,01 – 2,53. Sedangkan indeks keanekaragaman zooplankton bulan

Februari berkisar 0,00 – 0,87, bulan Mei berkisar 0,00 – 1,80 dan bulan Agustus

berkisar antara 0,46 – 1,68. Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman seluruh

nilai yang terhitung berada dalam kategori rendah dan sedang karena memiliki

nilai keanekaragaman kurang dari 3. Walaupun banyak teori yang menyatakan

bahwa estuaria merupakan perairan yang sangat subur namun karena tingginya

kekeruhan dan flukstuasi salinitas maka jenis fitoplankton yang hidup sangat

terbatas. Nybakken (1992) menyatakan pada perairan estuaria yang memiliki

kekeruhan tinggi produktifitas primer tidak berasal dari fitoplankton,namun

berasal dari detritus dan bakteri yang terdapat disubstrat dasar perairan. Hasil

penelitian sebelumnya tahun 2016 didapatkan data indeks keanekaragaman

fitoplankton pada buan Februari 2016 berkisar antara 1,36 - 2,29 dan bulan Mei

berkisar antara 1,93 - 2,28. Sedangkan indeks keanekaragaman zooplankton bulan

Februari berkisar 0,83 - 2.15 dan bulan Mei berkisar 0,91 – 1,65.

59

Gambar 34. Indeks Keanekaragaman Fitoplankton dan zooplankton

Untuk melihat adanya spesies yang dominan dalam setiap stasiun

diperlukan indeks dominansi. Nilai ini akan menerangkan besarnya tingkat

dominansi satu spesies terhadap spesies lainnya dalam stasiun. Nilai indeks

dominansi spesies fitoplankton pada bulan Februari 2016 berkisar 0,14–0,26,

bulan Mei 0,00 -0,39 dan bulan Agustus 0,009–0,15. Sedangkan nilai indeks

dominansi spesies zooplankton pada bulan Februari 2016 berkisar 0,50–1,00,

bulan Mei berkisar 0,20-1,00 dan bulan Agustus 0,21-0,7. Nilai indeks

dominansi (C) ini menunjukkan hasil yang rendah pada jenis fitoplankton. Indeks

dominansi pada zooplankton mendekati satu. Menurut Odum (1971) jika indeks

dominansi mendekati satu menunjukkan ada dominansi dari satu atau beberapa

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6

Ind

eks

Ke

ane

kara

gam

an

stasiun

Indeks Keanekaragaman Fitoplankton Estuari Berau Tahun 2016

Februari

Mei

Agustus

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6

Ind

eks

Ke

ane

kara

gam

n

stasiun

Indeks Keanekaragaman Zooplankton Estuari Berau Tahun 2016

Februari

Mei

Agustus

60

genera zooplankton. Berdasarkan data hasil penelitian tahun 2016 didapatkan nilai

indeks dominansi spesies fitoplankton pada bulan Februari 0,14–0,39 dan Mei

0,12 -0,24. Sedangkan nilai indeks dominansi spesies zooplankton pada bulan

Februari 0,13–0,57 dan bulan Mei berkisar 0,22-0,53.

Gambar 35 Indeks Dominansi Zooplankton

h) Makroozoobenthos

Komposisi jenis makrozoobentos

Makrozoobentos yang ditemukan bulan Februari 2016 penelitian terdiri

dari 6 kelas, 24 famili, 27 genera. Komposisi kelas makrozoobentos terdiri dari

Crustacea (12%), Echinodermata (1%), Bivalvia (16%), Gastropoda (5%),

Oligochaeta (1%) dan Polychaeta (64%). Komposisi kelas ang paling

mendominasi adalah kelas Polychaeta.

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6

Ind

eks

Do

min

ansi

stasiun

Indeks Dominansi Zooplankton Estuari Berau Tahun 2016

Februari

Mei

Agustus

61

Gambar 36. Komposisi Makrozoobenthos trip 1-2

Pada bulan Mei 2016, makrozoobentos ditemukan 2 kelas, 18 famili.

Komposisi makrozoobentos terdiri dari Bivalvia (81%) dan Gastropoda (19%).

Komposisi kelas ang paling mendominasi adalah kelas Bivalvia. Hal ini didukung

oleh Kennish (1990) bahwa Moluska (Bivalvia dan Gastropoda) dan Polychaeta

merupakan kelompok organisme ciri khas dari komunitas bentik estuaria, karena

kemampuan adaptasi organisme tersebut sangat baik terhadap perairan estuaria

yang fluktuatif.Persentase makrozoobentos bulan Mei 2016 tersaji pada Gambar

36

12% 2%

16%

5%

1%

64%

Komposisi Makrozoobentos Estuari Berau bulan Februari 2016

Crustacea

Echinodermata

Bivalvia

Gastropoda

Oligochaeta

Polychaeta

81%

19%

Komposisi Makrozoobentos Estuari Berau bulan Mei 2016

Bivalvia

Gastropoda

62

Pada Trip 3, Bulan Agustus 2016 ditemukan makrozoobentos yang terdiri

dari 7 kelas, 27 famili dan 34 genera. Komposisi makrozoobentos terdiri dari

Crustacea (9%), Echinodermata (1%), Bivalvia (12%), Gastropoda (4%),

Oligochaeta (1%) dan Polychaeta (71%).

Gambar 37 Komposisi Makrozoobenthos Trip 3

Kepadatan Makrozoobentos

Kepadatan makrozoobentos yang ditemukan di perairan estuari Berau

bulan Februari 2016 berkisar antara 178 – 467 ind/m2. Pada stasiun 6, tidak

ditemukan sampel makrozoobentos. Kepadatan terendah ditemukan di stasiun 5.

Muara Batumbuk sedangkan tertinggi terdapat pada stasiun 4. Muara Guntungan.

Bulan Mei 2016, kepadatan makrozoobentos di perairan estuari Berau berkisar

antara 4-1333 ind/m2. Pada stasiun 1 dan 5, sampel tidak terambil. Kepadatan

terendah ditemukan pada stasiun 6 dan tertinggi terdapat pada stasiun 4. Bulan

Agustus 2016, kepadatan makrozoobentos di perairan estuari Berau berkisar

antara 267-899 ind/m2. Kepadatan terendah ditemukan pada stasiun 2 dan

tertinggi terdapat pada stasiun 4.

Penelitian sebelumnya, kepadatan makrozoobentos pada bulan Februari,

Mei dan Agustus 2016 berkisar antara 44-4489 ind/m2, 0-5000 ind/m

2 dan 33-

1465 ind/m2. Banyaknya jumlah spesies yang sama pada bulan Februari, Mei dan

Agustus 2016 diduga makrozoobentos tersebut masih hidup selama waktu

10% 1%

13%

4%

1% 71%

Komposisi Makrozoobentos Estuari Berau Trip 3 Tahun 2016

Crustacea

Echinodermata

Bivalvia

Gastropoda

Oligochaeta

Polychaeta

63

pengambilan sampel. Sedangkan perbedaan jumlah spesies pada bulan tersebut

diduga merupakan populasi berbeda dan munculnya populasi yang baru.

Gambar 38. Kelimpahan Makrozoobenthos

Kepadatan makrozoobentos perairan estuari Berau didominasi oleh kelas

Bivalvia, Gastropoda dan Scaphopoda. Hal ini disebabkan karena ketiga kelas

tersebut termasuk phylum Moluska, di mana Moluska merupakan salah satu

phylum yang memiliki anggota paling banyak di antara anggota organisme

perairan yang lain (80.000 spesies hidup dan 35.000 spesies fosil) (Barnes, 1987).

Kepadatan makrozoobentos kelas Scaphopoda dan Gastropoda semakin

kearah laut nilainya cenderung meningkat. Meningkatnya kepadatan Scaphopoda

dan Gastropoda kearah laut disebabkan karena organisme tersebut dapat

beradaptasi dengan kecepatan arus yang kuat. Adaptasi kelas Scaphopoda (family

Dentallidae dan Siphonodentaliidae) adalah kaki berbentuk seperti kerucut untuk

mengubur diri di dalam substrat dan dapat hidup pada perairan yang lebih dalam,

sedangkan kelas Gastropoda memiliki kaki berbentuk mendatar untuk bergerak

dan memiliki kemampuan melekat kuat pada habitat yang bervariasi (Barnes,

1974).

Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Makrozoobentos

Indeks keanekaragaman dan dominansi merupakan indeks-indeks biologi

yang sering digunakan untuk menduga dan mengevaluasi kondisi suatu

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6

Ke

limp

ahan

(in

d/c

m2 )

Stasiun

Kelimpahan Makrozoobentos Estuari Berau Tahun 2016

Februari

Mei

Agustus

64

lingkungan perairan. Kondisi suatu lingkungan perairan umumnya dapat

dikatakan baik (stabil) bila memiliki indeks keanekaragaman yang tinggi serta

dominansi ang rendah (spesies yang mendominasi).

Menurut Ludwig dan Reynold (1988), gabungan informasi dan jumlah

jenis dan kepadatan seperti uraian di atas adalah sebagai refleksi dari kekayaan

jenis bentos dan pola penyebaran kelimpahan yang menyebar di antara spesies

makrozoobentos. Kedua komponen tersebut dalam suatu komunitas mempunyai

nilai indeks keanekaragaman yang sangat penting untuk menjelaskan karakteristik

maupun kualitas suatu lingkungan perairan.

Gambar 39 Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos

Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) bulan Februari 2016 berkisar

antara 0,74-2,78. Bulan Mei berkisar antara 0-2,46 dan bulan Agustus 1,04-2,3.

Dibandingkan penelitian sebelumnya bulan Februari 2016 berkisar antara 0 -2,31.

Sedangkan pada bulan Mei berkisar antara 0 -2,22 dan bulan Agustus 1,05–2,59.

Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman seluruh nilai yang terhitung berada

dalam kategori rendah dan sedang karena memiliki nilai keanekaragaman kurang

dari 3.

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6

Ind

eks

Ke

ane

kara

gam

an

Stasiun

Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos Estuari Berau Tahun 2016

Februari

Mei

Agustus

65

Gambar 40. Indeks Dominansi Makroozoobentos

Untuk melihat adanya spesies yang dominan dalam setiap stasiun

diperlukan indeks dominansi. Nilai ini akan menerangkan besarnya tingkat

dominansi satu spesies terhadap spesies lainnya dalam stasiun. Nilai indeks

dominansi spesies pada bulan Februari 2016 berkisar 0,07 – 0,59. Bulan Mei

berkisar 0,1-1 memperlihatkan adanya dominansi spesies. Hal ini ditunjukkan

pada nilai indeks dominansi yang mendekati angka satu. Sedangkan bulan

Agustus 2016 berkisar 0,16 – 0,5. Pada tahun 2016, indeks dominansi berkisar 0 –

1,0 dan bulan Mei 2016 berkisar 0 -0,6. Sedangkan pada bulan Agustus berkisar

0,1 – 0,4.

i) Kondisi Lingkungan Perairan

a) Salinitas

Berdasarkan Nontji (1987) salinitas adalah jumlah berat semua garam

(dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air yang dinyatakan dalam satuan per

seribu (‰) atau per miligram per liter (ppt). Salinitas permukaan di estuari

perairan Berau berkisar 9- 29.5 ppt dengan rata-data 18 ppt, tertinggi di stasiun 6

mengkajang dan terendah di stasiun 1 sei simon. Gradien salinitas ini sesuai

dengan yang dikemukakan oleh Nybakken, (1988) Keberadaan salinitas di

estuaria mencirikan adanya gradien salinitas, mulai dari dominasi air laut sampai

ke dominasi air tawar di hulu estuaria. Gradien salinitas tersebut berubah secara

0,00

0,20

0,40

0,60

0,80

1,00

St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6

Ind

eks

Do

min

ansi

Stasiun

Indeks Dominansi Makrozoobentos Estuari Berau Tahun 2016

Februari

Mei

Agustus

66

dinamik, sesuai dengan perubahan debit air sungai, pasang surut serta arus

perairan pantai. Pernyataan ini dilengkapi oleh Odum (1993) yang menyatakan

gambaran salinitas di estuaria dapat berfluktuasi dan tergantung pada musim,

topografi, pasang surut serta jumlah air tawar. Berdasarkan Effendie (2003),

Salinitas menggambarkan padatan total dalam air setelah semua karbonat

dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida,

dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas perairan tawar adalah kurang

dari 0,5‰, perairan payau berkisar antara 0,5 sampai dengan 30‰ dan perairan

laut antara 30 sampai dengan 40‰. Selanjutnya Wibisono (2005) menyatakan

salinitas merupakan salah satu faktor kandungan substansi dalam air muara yang

sudah umum keberadaannya (conservative constituent) dan oleh sebab itu,

konsentrasinya tidak dipengaruhi oleh proses bio-geo-chemical, tetapi hanya

dipengaruhi oleh proses pencampuran serta disebabkan oleh curah hujan lokal,

proses evaporasi dan/atau pembekuan yang bisa mengakibatkan menurunnya

salinitas.

Selanjutnya Menurut Nybakken (1988) Salinitas di daerah estuaria

berkisar antara 7 – 32‰ yang bervariasi akibat adanya air tawar yang masuk ke

perairan estuari. Selanjutnya Kennis (1994) menyatakan bahwa salinitas di estuari

berkisar antara 0,5 - 35‰ dimana salinitas ini dapat bervariasi baik secara vertical

maupun horizontal tergantung dari perbandingan antara limpasan air dari darat,

masukan air hujan dan penguapan. Berdasarkan hasil penelitian Triyanto et al.,

2012, kondisi kualitas air perairan mangrove di Kabupaten Berau dicirikan

salinitas antara 10,41 - 27,3 ppt.

Gambar 41. Sebaran Salinitas

05

101520253035

Sal P

erm

uka

an (

0/0

0)

Salinitas

Trip 1 - Februari 2016

Trip 2 - Mei 2016

Trip 3 - Agustus 2016

Trip 4 - Oktober 2016

67

b) Oksigen Terlarut

Menurut Effendi (2003) Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami

bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer.

Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan

atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Kandungan oksigen terlarut

mempengaruhi keanekaragaman organisme dalam suatu ekosistem perairan. Nilai

oksigen terlarut (DO) cukup tinggi di perairan estuari Berau yaitu berkisar antara

3 – 7.5 mg/l dengan rata-rata 6.48, tertinggi di stasiun guntungan dan terendah

distasiun badak-badak. Nilai oksigen terlarut ini hampir sama dengan penelitian

Triyanto et al., 2012, yang mengemukakan bahwa di perairan mangrove Berau

kadar oksigen terlarut berkisar antara 4,22 - 7,47 mg/L (Gambar 32). Effendi

(2003) mengemukakan bahwa perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan

perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen yang tidak kurang dari 5 mg/l dan

McNeely et al., 1979 dalam Effendie (2003) kadar oksigen terlarut pada perairan

biasanya kurang dari 10 mg/l. Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa perairan estuari Sungai Berau memiliki kandungan oksigen

yang cukup baik untuk kehidupan organisme akuatik.

Gambar 42. Sebaran Oksigen Terlarut

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

DO

(m

g/l)

DO

Trip 1 - Februari 2016

Trip 2 - Mei 2016

Trip 3 - Agustus 2016

Trip 4 - Oktober 2016

68

c) Konsentrasi Nitrat (NO3)

Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan

merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat

nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini

dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan.

Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat

adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada

kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri

Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh

bakteri Nitrobacter. Keduanya adalah bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang

dapat mendapatkan energi dari proses kimiawi. Menurut Novotny & Olem

(1994) in Effendi (2003)

Kadar nitrat diperairan estuari Berau Bulan Maret yaitu 0.0037 –

6.937 mg/l dengan rata-rata 0.925 mg/l (Gambar 44).

Gambar 43. Konsentrasi nitrat

Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1

mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran

antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia dan tinja hewan. Kadar

nitrat melebihi 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi

(pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan

tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrat dapat digunakan untuk

mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrof memiliki

kadar nitrat antara 0 – 1 mg/l, perairan mesotrof memiliki kadar nitrat antara

0

2

4

6

8

NO

3 (

mg/

l)

NO3

Trip 1 - Februari 2016

Trip 2 - Mei 2016

Trip 3 - Agustus 2016

Trip 4 - Oktober 2016

69

1 – 5 mg/l, dan perairan eutrof memiliki kadar nitrat yang berkisar antara >5

– 50 mg/l (Vollenweider, 1969 in Nontji, 1984).

e) Ortofosfat (O-PO4)

Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan

secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Setelah masuk ke dalam tumbuhan,

misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi

organofosfat. Fosfat yang berikatan dengan ferri (Fe2(PO4)3) bersifat tidak

larut dan mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob,

ion besi valensi tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi

dua (ferro) yang bersifat larut dan melepaskan fosfat ke perairan (Brown,

1987 in Effendi, 2003). Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif

kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar nitrogen; karena

sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di

perairan. Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral.

Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber

antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang

berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan

pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor

(Effendi, 2003). Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan

keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae di

perairan (algae bloom). Algae yang melimpah ini dapat membentuk lapisan

pada permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen

dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem

perairan (Boney, 1989 in Effendi, 2003).

Kandungan ortopospat di estuari Berau berkisar antara 0,0023 -

0,019 (Gambar 45).. Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan

menjadi tiga, yaitu: perairan oligotrof yang memiliki kadar ortofosfat 0,003

– 0,001 mg/l, perairan mesotrof yang memiliki kadar ortofosfat 0,011 –

0,003 mg/l, dan perairan eutrof yang memiliki kadar ortofosfat 0,031 – 0,01

mg/l.

70

Gambar 44 Nilai kadar ortopospat (O-PO4)

Berdasarkan hasil penelitian Triyanto et al., 2012, kondisi kualitas

air perairan mangrove di Kabupaten Berau dicirikan oleh pH berkisar antara

7,14 - 8,15, kadar oksigen terlarut antara 4,22 - 7,47 mg/L dan nilai BOD5

mencapai 1,04 - 7,32 mg/L, temperature berkisar antara 28,6 - 33,9°C,

salinitas antara 10,41 - 27,3 ppt dan status kesuburan perairan berdasarkan

nilai TP adalah 0,061 mg/L, TN adalah 3,285 mg/L dengan nilai maksimum

ammonium mencapai 0,200 mg/L. Kandungan klorofil-a mencapai 6,774

mg/m3. Tipe substrat perairan ada dua kategori yaitu substrat berpasir dan

lumpur berliat, dengan kandungan C substrat berkisar antara 0,11 - 4,26%

dan N substrat berkisar antara 0,01 - 0,31%.

j) Pengelolaan Estuari Berau

Estuari Berau terletak pada Kecamatan Pulau Derawan yang memiliki

5 kampung yaitu Kampung Tanjung Batu yang merupakan ibukota

Kecamatan Derawan, Kampung Semanting, Kampung Kasai, Pulau Derawan

dan Kampung Pegat. Wiryawan et al (2005) mengemukakan bahwa seluruh

kampung yang terdapat di Kecamatan Derawan berada dalam wilayah KKL

Berau

Sebagian besar masyarakat Kecamatan Pulau Derawan bermata

pencaharian sebagai nelayan baik nelayan laut maupun nelayan estuari.

nelayan yang banyak melakukan penangkapan di estuari Berau adalah

nelayan yang berasal dari 3 Kampung yaitu kampung Kasai, Semanting dan

Kampung Pegat, sedangkan dua kampung Lainnya merupakan nelayan laut di

00,005

0,010,015

0,02

O-P

O4

(m

g/l)

O-PO4

Trip 1 - Februari 2016

Trip 2 - Mei 2016

Trip 3 - Agustus 2016

Trip 4 - Oktober 2016

71

sekitar Tanjung Batu dan Pulau Derawan. Fokus utama untuk estuari Berau

adalah perikanan udang yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat

nelayan Kecamatan Pulau Derawan.

Kondisi iklim di KKL Berau terdiri atas musim hujan dan musim

kemarau. Musim hujan berlangsung pada bulan Oktober hingga Mei dengan

hari hujan rata rata 15 sampai 20 hari perbulan dan curah hujan terbesar

terjadi pada akhir atau awal musim hujan. Musim kemarau berlangsung pada

bulan Juli hingga September dengan curah hujan terendah pada bulan Juli.

Musim sangat berpengaruh terhadap aktifitas penangkapan ikan dan udang

diestuari Berau. Pada saat terjadi musim penghujan penangkapan udang

dilakukan secara intensif di muara - muara sungai sampai 3 - 5 mil ke arah

laut. Selain penangkapan udang, pada saat tertentu atau terjadi pasang konda

estuari Berau dimasuki ikan-ikan ekonomis penting dari laut antara lain ikan

bawal hitam, bawal putih , senangin, ikan kerapu dan ikan kakap. Keberadaan

ikan ini sering tidak terduga sehingga yang menjadi tumpuan harapan nelayan

adalah penangkapan udang yang bisa diprediksi keberadaanya.

Sumberdaya udang Penaeid memiliki penyebaran yang luas di daerah

tropikal dan sub tropikal yang terdiri dari tiga genera yaitu Fenneropenaeus,

Penaeus and Metapenaeus (Richmond, 2002). Sebagian besar spesies udang

Penaeid terdapat diperairan dengan dasar lumpur berpasir di area perairan

pesisir yang dangkal dan juvenil hidup di perairan hutan mangrove

(Subramaniam, 1980). Untuk perairan Berau tidak hanya juvenil yang berada

di estuari, udang dewasa banyak tertangkap di muara sungai sampai sejauh

tiga sampai lima mil dari muara.

Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya intensitas penangkapan

mulai bulan oktober 2016 adalah terakumulasi udang di sekitar muara

akibat arus laut yang kuat dan besarnya gelombang yang dibangkitkan oleh

angin timur . Hal ini menyebabkan udang - udang yang berada di muara

terdorong menjauhi muara dan berkumpul didepan perairan yang dangkal di

depan muara Sungai. Akumulasi udang ini didominasi oleh udang dewasa

dengan TKG II - IV. Diduga keberadaan udang - udang dewasa di perairan

muara adalah untuk mencari makan dalam rangka pematangan gonad.

72

Fenomena serupa dilaporkan oleh Chin dan Goh (1967) untuk perairan Sabah,

Malaysia Timur, Zalinge dan Naamin (1975) untuk perairan Cilacap Jawa

Tengah. Fenomena yang sama, yaitu produktivitas udang tinggi setelah

musim hujan, juga terjadi di Laut Arafura pada periode setelah musim angin

timur yang umumnya bercurah hujan tinggi (Naamin, 1984).

k) Rekomendasi pengelolaan

Seluruh stasiun yang diamati termasuk dalam kawasan Konservasi

Laut Berau yang ditetapkan sebagai Surat Keputusan Bupati Berau No. 70

Tahun 2004 . Dalam buku KKL Berau ini sudah menyebutkan ekosistemnya

yaitu kawasan hutan mangrove, tetapi belum menyebutkan sumberdaya ikan

dan udang yang berada di Estuari berau yang merupakan sumber mata

pencaharian masyarakat nelayan setempat. Rata - rata nelayan di Kecamatan

Pulau Derawan hanya memiliki perahu motor atau ketinting sehingga

diperkirakan operasi penangkapan tidak jauh dari muara sungai. Sejauh-jauh

nelayan tersebut menangkap udang, hanya di sekitar KKl Berau.

Untuk Tahun 2016, puncak penangkapan terjadi pada bulan Oktober

dan diperkirakan akan berakhir 3 - 4 bulan ke depan. Pada musim timur

terjadi arus laut dan gelombang yang tinggi yang terjadi di muara - muara

sungai. Berdasarkan keterangan nelayan udang yang berada dimuara sungai

tersebut merupakan udang yang berasal dari muara sungai terdorong keluar

oleh adanya arus dan gelombang yang menyebabkan udang ini bermigrasi ke

perairan yang lebih dalam untuk memijah . Migrasi udang akibat adanya

proses alam ini menyebabkan intensitas penangkapan tinggi dan penangkapan

terkonsentrasi pada pada muara-muara sungai.

Penangkapan udang dilakukan sepanjang Tahun dengan puncak

musim dimulai pada awal musim penghujan sampai akhir musim penghujan.

Untuk Tahun 2016 penangkapan udang secara intensif dilakukan mulai bulan

Oktober dan diperkirakan berakhir pada bulan Maret Tahun 2017 mendatang.

Informasi yang didapat Dari nelayan adalah adanya keluhan-keluhan hasil

tangkapan yang menurun dari Tahun ke Tahun. Berdasarkan keterangan

beberapa nelayan, sekitar Tahun 2010 pada saat musim, hasil tangkapan satu

73

perahu (panjang perahu 12 m), kalau sekarang hanya 10 – 20 kg udang

metapenaeus dan 2 – 3 kg untuk udang ekspor (Fenneropenaeus indicus).

Yang menjadi fokus perhatian untuk estuari Berau adalah perikanan

udang yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat nelayan

Kecamatan Pulau Derawan.

Dominasi udang yang tinggi diperairan tidak terlepas dari keberadaan

habitat/vegetasi perairan yang menopang kehidupan ikan. Keenam stasiun

pengamatan yang merupakan muara Sungai Selalan (Simon), Muara S. Kasai,

Muara Sungai Badak-badak, Muara Buntungan, Muara Batumbuk dan Muara

Mangkajang memiliki vegetasi yang cukup baik. Dari semua stasiun tersebut

Sungai selalang atau masyarakat setempat menyebutnya dengan Sungai

Simon merupakan stasiun yang memenuhi syarat untuk direkomendasikan

sebagai suaka perikanan khususnya untuk melindungi udang-udang

bermigrasi dari muara ke perairan laut dan sebaliknya. Sungai selalang

memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi di bagian kiri dan kanan perairan.

Dulunya perairan ini merupakan perairan suaka perikanan tetapi sekarang

sudah sebagai areal penangkapan ikan dan udang. Di Sungai Selalang hidup

satu jenis udang yang tidak tertangkap di perairan lainnya yaitu udang kuning

(Metapenaeus monoceros).

Kemudian desa petumbuk, baik itu masyarakatnya maupun

pemerintah desa telah menerapkan kearifan lokal yang sangat baik seperti

pelarangan alat tangkap trawl di sekitar kampung, muara sungai sungai dan

daerah reservat samera (sekitar mengkajang) hal ini perlu ditindaklanjuti

dengan peraturan yang lebih kuat seperti peraturan daerah atau peraturan

bupati sehingga daerah ini tetap terjaga kelestarian nya.

74

V. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

1. Perairan estuari Berau memiliki kualitas air yang cukup layak bagi

kehidupan ikan dan biota perairan lainnya. Perairan ini memiliki salinitas

yang cukup tinggi dengan kisaran 0 - 29.5 ‰ sehingga perairan ini

merupakan sumber penangkapan udang ekonomis penting. Disamping itu

di perairan Berau berkembang budidaya tambak

2. Sungai simon atau sungai selalan didominansi tangkapan jenis Udang

Loreng (Parapenaeopsis sculptilis) dan Udang Bintik (Metapenaeus

tenuipes) serta Jenis udang yang sudah mulai sulit tertangkap adalah udang

kuning (Metapenaeus monoceros) yang hanya tertangkap di perairan

Sungai Selalang (Simon) dan tidak ditemukan di muara sungai lainnya.

3. Biodiversitas ikan cukup tinggi ditemukannya di daerah guntungan dan

mengkajang Untuk Tahun 2016, puncak penangkapan terjadi pada bulan

Oktober dan diperkirakan akan berakhir 3 - 4 bulan ke depan. Pada

musim timur terjadi arus laut dan gelombang yang tinggi yang terjadi di

muara - muara sungai. Berdasarkan keterangan nelayan udang yang

berada dimuara sungai tersebut merupakan udang yang berasal dari muara

sungai terdorong keluar oleh adanya arus dan gelombang yang

menyebabkan udang ini bermigrasi ke perairan yang lebih dalam untuk

memijah . Migrasi udang akibat adanya proses alam ini menyebabkan

intensitas penangkapan tinggi dan penangkapan terkonsentrasi pada pada

muara-muara sungai.

4. Dari pengamatan stok ikan dengan menggunakan akustik didapatkan

dugaan biomassa ikan di perairan estuari Berau sebanyak 2.5 kg/ha. Jenis-

jenis ikan yang teridentifikasi tersebut sebagian besar berupa anak-anak

ikan yang belum tumbuh besar/ dewasa. Hal ini dibuktikan dengan

percobaan penangkapan menggunakan alat tangkap pukat tarik dan data

dari hasil tangkapan nelayan sehingga dapat disimpulkan bahwa perairan

estuari Berau merupakan habitat anakan ikan dan udang yang induk-

induknya merupakan ikan laut

75

5. Dari pengamatan plankton didapatkan kelimpahan plankton berkisar antara

12 – 426 individu/ liter dan jumlah ini selalu berbeda antara bulan februari,

Mei, dan Agustus. Adanya perbedaan ini disebabkan adanya perubahan

musim. Indeks keanekaragaman plankton berkisar antara 0,83 – 2,29

dengan kategori rendah hingga sedang

6. Kepadatan makrozoobentos berkisar antara 4 – 1333 individu per m2

dengan kepadatan yang lebih tinggi ke arah laut. Hasil perhitungan Indeks

keanekaragaman makrozoobentos berkisar antara 0 – 2,59 dengan kategori

rendah sampai sedang

b. Saran

Rekomendasi Pengelolaan dapat diteruskan ke dinas terkait

dipemerintah kabupaten berau

76

DAFTAR PUSTAKA

Afriansyah, A., 2009. Konsentrasi Kadmium (Cd) dan Tembaga (Cu) dalam air,

seston, kerang dan fraksinasinya dalam sedimen di Perairan Delta Berau,

Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 88 hal.

Arifin, Z., S.P. Situmorang & K. Booij, 2010. Geochemistry og heavy metals (Pb,

Cr and Cu) in sediment and benthic communities of Berau Delta,

Indonesia. Coastal Marine Science 34 (1): 205-211.

Aziz. K.A. 1989. Pendugaan stok populasi ikan tropis. Bahan pengajaran. P.A.U.

Ilmu Hayat. IPB. Bogor . 88p

Barnes, R.S. K. and R.N. Hughes. 1999. An Introduction to Marine Ecology. 3rd

Edition. Blackwell Science Ltd. London.

Bianchi, G., 1985. FAO species identification sheets for fishery purposes. Field

guide to the commercial marine and brackish-water species of Pakistan.

Prepared with the support of PAK/77/033 and FAO (FIRM) Regular

Programme. Rome: FAO. 200 p.

Bengen, D.G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik

Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 86 pp.

Brower, J.E., J.H. Zar & C.N.V. Ende, 1990. Field and Laboratory Method for

General Ecology. 3rd

Wim. C. Brown Co Publisher. Dubuque, Lowa. 237

p.

Bond, C. E. 1919. Biology of fishes. W. B. Saunders Company. USA.

77

Chakrabarty. P., T Amarasinghe and J.S. Sparks. 2008. Rediscription of

Ponyfishes (Teleostei :Leognathidae) of Sri Lanka and the status of

Aurigequula Fowler 1918. Cey. J. Sci (Bio. Sci) 37 (2): 143 – 161.

Chu. W., Wang, J.P., Hou, Y.Y., Ueng Y.T. and P. Chu. 2011. Length weight

relationships for fishes off the Southwestern coast of Taiwan. African

Journal of Biotechnology Vol. 10(9): 3945 – 3950.

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur, 2013. Kegiatan

Penyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil

(RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur. Bidang Kelautan dan Pulau-Pulau

Kecil dan Pengawasan SDI.

Effendi, M.I. 1978. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara,

Yogyakarta, 112 hlm.

Effendie, M.I., 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p.

Effendie, M.I., 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 pp.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.

Gayanilo, F.C. & D. Pauly, 1997. FAO-ICLARM stock assessment tools.

Reference manual. FAO Computerized information series fisheries. Food

and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 261 p.

Hannachi, M. S., L. B. Abdallah, & O. Marrakchi. 2004. Acoustic Identification of

Small Pelagic Fish Species: Target Strength Analysis and School

Descriptor Classification. MedSudMed Technical Documents No.5.

78

Hukom, F.D., D.R. Purnama & M.F. Rahardjo, 2006. Tingkat kematangan gonad,

faktor kondisi, dan hubungan panjang-berat ikan tajuk (Aphareus rutilans

Cuvier, 1830) di perairan laut dalam Palabuhanratu, Jawa Barat. Jurnal

Iktiologi Indonesia, Volume 6, Nomor 1, Juni 2006. 1-9 hal.

James, P.S.B.R., 1984. Leiognathidae. In W. Fischer and G. Bianchi (eds.) FAO

species identification sheets for fishery purposes. Western Indian Ocean

(Fishing Area 51). Vol. 2. FAO, Rome. pag. var.

Kennish, M.J., 1990. Practical Handbook of Marine Science, Second Edition.

CRC. Press. Inc. Boca Raton.

Kottelat, M., A.J. Whitten, S.R. Kartikasari & S. Wirjoatmodjo, 1993. Freshwater

Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: Periplus Editions

Limited: 293 hal.

Krebs, C.J., 1972. Ecology the Experimental Analysis of Distribution and

Abudance. New York: Harper and Row Pubication.

Kuo, Shing-Rong & Shao, Kwang-Tsao. 1999. Species composition of fish in the

coastal zones of the Tsengwen estuary, with description of five new

records from Taiwan. Zoological studies 38 (4): 391-40a.

Latuconsina, H., M.N. Nessa & R.A. Rappe, 2012. Komposisi Spesies dan

Struktur Komunitas Ikan Padang Lamun di Perairan Tanjung Tiram –

Teluk Ambon Dalam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.4.

No.1, Juni 2012. Hal. 35-46.

Ludwig, J.A & J.F. Reynold. 1988. Statistic Ecology. A Primer on Methods and

Computing. John Wiley & Sons,. New York. 337 p.

79

Mac Lennan, D. N. 1992. Acoustical measurement of fish abundance. Journal

Acoust. Soc. Am. 62: 1-15.

MacLennan, D.N & Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman and

Hall.London. 325 p.

Magurran, A.E., 1988. Ecological Diversity and its measurements. Princeton

University Press. 179 pp.

Mukherjee. A., B. Mandal, Debasis. M and S. Banerjee. 2012. Study on the

Distribution of Fin Fish Juveniles in Few Selected Rivers of Indian

Sundarbans. World Journal of Fish and Marine Sciences 4 (6): 554-565.

Nasir, N.A., 2000. The food and feeding relationships of the fish communities in

the inshore waters of Khor Al-Zubair, northwest Arabian Gulf. Cybium

24(1):89-99.

Natsir, M., B. Sadhotomo, & Wudianto. 2005. Pendugaan biomassa ikan pelagis

di perairan Teluk Tomini dengan metode akustik bim terbagi. Jurnal

Penelitian Perikanan Indonesia. 11 (6): 101-107.

Nontji, A., 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk

Jakarta Serta Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan [disertasi].

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Nybakken, J.W., 1986. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan

oleh: M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, Malikusworo dan

Sukristrijono. Cetakan Pertama. PT. Gramedia Jakarta.

Odum, E.P., 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Sounders Co.

Philadelphia and London. 574 p.

80

Odum, E.P., 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh T.

Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.

Pauly, D., 1980. A Selection of sample Methods for The Stock Assesment of

Tropical Fish Stock. FAO. Fish. Circ. (729): 54 p.

Pauly, D., 1984. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish

Stock. FAO. 52 p.

Prianto, E; Husnah, S. Nurdawaty dan A. Muaka. 2006. Komposisi Jenis dan

Keragaman Plankton di Perairan Umum Bersifat Asam Pulau Bangka.

Seminar Nasional Forum Perairan Umum Indonesia III. Pusat Riset

Perikanan Tangkap.

Richmond, M.D. (Ed.) (2002) A field guide to the seashores of eastern Africa and

the western Indian Ocean Islands. Second edition. Sida, Sweden and

University of Dar es Salaam, Tanzania. 461 pp.

Ridho M.R., Kaswadji RF., Jaya I dan Nurhakim. S. 2004. Distribusi Sumberdaya

ikan demersal di Perairan Laut Cina Selatan (Distribution of Demersal

Fishes of South China Sea waters), Jurnal Ilmu Perairan dan Perikanan

Indonesia, Jilid II (2): 123 -128.

Sasaki, K., 2001. Sciaenidae. Croakers (drums). p.3117-3174. In K.E. Carpenter

and V.H. Niem (eds.) FAO species identification guide for fishery

purposes. The living marine resources of the Western Central Pacific.

Volume 5. Bony fishes part 3 (Menidae to Pomacentridae). Rome, FAO.

pp. 2791-3380.

81

Sichum, S & Tantichodok. 2013. Diversity and assemblage patterns of juvenile

and small sized fishes in nearshore habitats of the gulf of Thailand. The

Raffles Bullettin of Zoology 61 (2): 795 – 809.

Sparre, P. & S.C. Venema, 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1;

Manual. FAO, Puslitbang Perikanan, Badan Litbang Pertanian Jakarta. 438

hal.

Subramaniam, S. (1980) Studies on penaeid prawns with special reference to the

nursery environment. Ph.D. Thesis, University of Dar es Salaam. 171 pp.

Sugiharto, E., Salmani & B.I. Gunawan, 2013. Studi tingkat kesejahteraan

masyarakat nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung

Kabupaten Berau (Study on welfare level of fishing community at

Gurimbang Village, Sambaliung Subdistrict of Berau). Jurnal Ilmu

Perikanan Tropis Vol. 18 (2): 68-74.

Triyanto, N.I., Wijaya, I. Yuniarti, T. Widiyanto, F. Setiawan & F.S. Lestari,

2012. Habitat Condition of Mud Crab (Scilla serrata) in Berau Mangrove

Area, East Kalimantan. International Conference on Indonesian Inland

Waters III. Balai Riset Perikanan Perairan Umum - KKP; 8 November

2012 (dalam penerbitan).

Teikwa , E.D. and Y.D. Mgaya. 2003. Abundance and Reproductive Biology of

the Penaeid Prawns of Bagamoyo Coastal Waters, Tanzania. Western

Indian Ocean J. Mar. Sci. Vol. 2 (2): 117–126.

Walford, JT., & T.J. Lam. 1993. Development of Digestive tract and proteolitic

enzyme activity in seabass (Lates calcarifer) Larvae and juveniles.

Aquaculture.

82

Wetzel, R.G. 2001. Limnologi: Lake and river Ecosystem. Academic Press, Third

edition.

Wiadnya, D.G.R., Widodo., D. Setyohadi and Soemarno. 2015. Intra-Species

variations of Photopectoralis bindus (Family : Leiognathidae) collected

from two geographical areas in East Java, Indonesia.J. Bio& Env.Sci Vol 6

(1): 160 -168.

Wiryawan, B., M.Khazali, & M.Knight (eds.). 2005. Menuju Kawasan Konservasi

Laut Berau, Kalimantan Timur: Status sumberdaya pesisir dan proses

pengembangannya. Program Bersama Kelautan Berau TNC-WWF-Mitra

Pesisir/CRMP II USAID. Jakarta. 129 p

Wibisono, M.S., 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Gramedia. Jakarta. 224 hal.

Yamashita, Y., N. Piamthipmanus and K. Mochizuki, 1987. Gut contents analysis

of fishes sampled from the Gulf of Thailand. p.33-55. In K. Kawaguchi

(ed.) Studies on the mechanism of marine productivity in the shallow

waters around the South China Sea with special reference to the Gulf of

Thailand. Grant-in-Aid no. 61043019 for OSS, Ministry of Educ. Sci. and

Culture, Japan.

83

L A M P I R A N

84

KUALITAS AIR BERAU TRIP 1 2016

St

. Nama Daerah

Tanggal /

waktu Posisi

SUHU UDAR

A (0c)

SUH

U

AIR (0c)

DEPTH(

M)

KECE

RAHA

N (CM)

DO (mg/l)

Perm

DO (mg/l)

Dasar

DO

AV

CO2 Perm

(mg/l)

CO2 Dasar

(mg/l)

CO2

AV

SAL (o/oo)

Perm

SAL (o/oo)

Dasar

SAL

AV

1 Sei.Simon 18 Feb 2016

/ 10.00 N 02° 11’ 07.4" E

117° 53’ 37.6" 29 29 9.6 120 6.14 6.71 6.42 2.2 0.88 1.54 5 24

14.5

2 Mr.Kasai 17 Feb 2016

/ 16.27

N 02° 11’ 15.6" E

117° 55’ 27.6" 28 29 4.5 110 7.03 6.38 6.71 1.76 0 0.88 9 27

18

3 Badak-Badak 17 Feb 2016

/ 10.40

N 02° 09’ 03.7" E

117° 55’ 55.4" 31 30 4.2 100 4.93 5.74 5.33 2.2 0.44 1.32 15 18

16.5

4 Mr.Guntungan 17 Feb 2016

/ 13.14 N 02° 05’ 47.4" E

117° 54’ 33.4" 28 29 5.5 110 6.71 6.06 6.38 0.44 0.88 0.66 20 30

25

5 Mr.Batumbuk 17 Feb 2016

/ 14.33

N 02° 04’ 15.8" E

117° 54’ 19.5" 28 30 1.7 110 7.19 7.03 7.11 0.88 0 0.44 18 22

20

6 Mr.Mengkajang 18 Feb 2016

/ 14.50

N 02° 00’ 53.8" E

117° 50’ 42.2" 27 30 9.2 140 6.46 8.08 7.27 0.88 1.32 1.1 25 26

25.5

St

. Nama Daerah

O-PO4

mg/l

Total N-NH3

mg/l

NO3

(mg/l)

NO2 (mg/l

)

CLO

ROFIL

(mg/l

)

TSS

(mg/l)

TDS

(mg/l) DHL ( COD

TURBIDITY

(NTU)

TOT. ALKAL

I (mg/l)

HARDNEST

(mg/l)

pH

Kadar

BO

Terlarut (%)

1 Sei.Simon 0.0053 0.0632 0.2596 0.0218

TTD 67 Or 35.82 12 13.47 72 3303.3 7.42 0.828

2 Mr.Kasai 0.0088 0.0883 0.1684

0.03

97

0.13

12 122 Or 38.56 0.75 31.3 81.5 4104.1 7.53 0.828

3 Badak-Badak 0.0088 0.0672 0.2246

0.0036

21 278 Or 40.23 28 118 85.5 4434.4 7.53 0.808

4 Mr.Guntungan 0.0041 0.0804 0.1579

0.01

81 TTD 108 Or 39.45 15 8.79 82 4254.3 7.51 0.885

5 Mr.Batumbuk 0.007 0.0184 0.2702

0.03

94

0.11

66 86 Or 34.18 TTD 22.5 68 3053.1 7.54 0.459

6 Mr.Mengkajang 0.0058 0.0553 0.2982

0.05

52 TTD 90 Or 38.22 15 16.21 76 3903.9 7.51 11

85

KUALITAS AIR BERAU TRIP 2 2016

St. Nama Daerah Tanggal / waktu Posisi

SUHU

UDARA (0c)

SUHU

AIR (0c)

DEPT

H(M)

KECERAHA

N

(CM)

DO (mg/l)

Perm

DO

(mg/l) Dasar

DO AV

CO2

Perm (mg/l)

CO2

Dasar (mg/l)

CO2

AV

SAL

(o/oo) Perm

SAL

(o/oo) Dasar

1 Sei.Simon 29 Mei 2016 /

11.35 N 02° 11’ 07.4" E

117° 53’ 37.6" 36 31 10.7 65 5.41 7.11 6.26 0 0 0 5 13

2 Mr.Kasai 30 Mei 2016 /

10.30

N 02° 11’ 15.6" E

117° 55’ 27.6" 29 30 6 65 4.53 7.19 5.86 0.88 0.88 0.88 15 25

3 Badak-Badak 30 Mei 2016 /

12.05

N 02° 09’ 03.7" E

117° 55’ 55.4" 28 29 5 140 4.69 8.00 6.34 1.32 0 0.66 15 29

4 Mr.Guntungan 30 Mei 2016 /

15.30

N 02° 05’ 47.4" E

117° 54’ 33.4" 31 31 8.8 130 8.40 6.71 7.56 1.76 0 0.88 14 20

5 Mr.Batumbuk 29 Mei 2016 /

17.00

N 02° 04’ 15.8" E

117° 54’ 19.5" 31 32 1.5 74 6.63 6.63 6.63 0 0 0 10 10

6 Mr.Mengkajang 31 Mei 2016 /

14.50

N 02° 00’ 53.8" E

117° 50’ 42.2" 33 33 9.3 360 5.66 6.06 5.86 0.88 1.32 1.1 21 26

St. Nama Daerah O-PO4

mg/l

Total N-NH3

mg/l

NO3

(mg/l)

NO2

(mg/l)

CLOROFIL

(mg/l)

TSS

(mg/l) DHL ( COD

TURBIDITY

(NTU)

TOT. ALKAL

I (mg/l)

HARDNE

ST (mg/l) pH

1 Sei.Simon 0.003 0.0957 0.0643 0.0036 22.61 Out Of Range

35.44 0.832 43.2 75 160.16 7.44

2 Mr.Kasai 0.0023 0.034 0.1176 0.0004 23.94 Out Of

Range 39.14 0.832 10.06 84.5 350.35 7.49

3 Badak-Badak 0.0023 0.0123 0.0037 0.0126 25.84 Out Of Range

42.52 0.5824 7.45 92 460.46 7.68

4 Mr.Guntungan 0.0023 0.0062 0.0147 0.0055 10.5 Out Of

Range 40.4 0.6656 6.69 85.5 260.26 7.61

5 Mr.Batumbuk 0.0023 0.0278 0.114 0.023 0.84 Out Of Range

21.53 22 13.94 56 350.35 7.21

6 Mr.Mengkajang 0.0023 0.0123 0.0257 0.0083 14.79 Out Of

Range 37.97 0.832 5.29 83.5 390.39 7.52

86

KUALITAS AIR BERAU TRIP 3 2016

St. Nama Daerah Tanggal / waktu Posisi

SUHU

UDARA (0c)

SUHU

AIR (0c)

DEPTH

(M)

KECER

AHAN (CM)

DO

(mg/l) Perm

DO

(mg/l) Dasar

DO

AV

CO2 Perm

(mg/l)

CO2 Dasar

(mg/l)

CO2

AV

SAL

(o/oo) Perm

SAL

(o/oo) Dasar

SAL

AV

1 Sei.Simon 2 Agustus 2016

/ 11.50 N 02° 11’ 07.4" E

117° 53’ 37.6" 33 30 8.4 60 4.61 7.92 6.26 0.88 0.88 0.88 10 10 10

2 Mr.Kasai 2 Agustus 2016

/ 09.24

N 02° 11’ 15.6" E

117° 55’ 27.6" 29 30 4.5 35 5.25 6.38 5.82 0.88 0.88 0.88 19 20 19.5

3 Badak-Badak 2 Agustus 2016

/ 10.40

N 02° 09’ 03.7" E

117° 55’ 55.4" 33 30 3.3 50 5.90 6.46 6.18 0.88 0.44 0.66 16 18 17

4 Mr.Guntungan 2 Agustus 2016

/ 15.10 N 02° 05’ 47.4" E

117° 54’ 33.4" 33 31 8 105 6.30 7.35 6.83 0.44 0.88 0.66 30 26 28

5 Mr.Batumbuk 3 Agustus 2016

/ 10.46 N 02° 04’ 15.8" E

117° 54’ 19.5" 27 30 1.5 30 5.49 5.66 5.58 0.88 0.88 0.88 25 25 25

6 Mr.Mengkajang 3 Agustus 2016

/ 13.15

N 02° 00’ 53.8" E

117° 50’ 42.2" 31 31 6.6 70 5.82 7.35 6.59 0.88 1.32 1.1 31 28 29.5

St. Nama Daerah O-PO4

mg/l

Total N-NH3

mg/l

NO3

(mg/l)

NO2

(mg/l)

CLOROF

IL (mg/l)

TDS

(mg/l) DHL ( COD

TURBIDITY

(NTU)

TOT. ALKALI

(mg/l)

HARDNES

T (mg/l) pH

1 Sei.Simon 0.0161 0.0082 3.018 0.0023 3.7063 Orr 14630 8.15 173 25 2002 7.25

2 Mr.Kasai 0.018 0.0234 6.973 0.0029 4.9663 Orr 25470 6.16 477 33 3700 7.09

3 Badak-Badak 0.019 0.0207 2.793 0.0019 7.6855 Orr 23040 6.32 163 32 3580 7.38

4 Mr.Guntungan 0.0124 0.0327 1.423 0.0056 6.3014 Orr 31580 8.32 75.1 40 3868 7.54

5 Mr.Batumbuk 0.0161 0.0262 3.550 0.002 5.3795 Orr 29690 4.66 189 38 4749 7.49

6 Mr.Mengkajang 0.0095 0.0011 1.514 0.0051 3.5708 Orr 33920 5.82 68.5 45 4404 7.53

87

KUALITAS AIR BERAU TRIP 4 2016

St

. Nama Daerah

Tanggal /

waktu Posisi

SUHUU

DARA (0c)

SUHU

AIR (0c)

DEPT

H(M)

KECERAHA

N

(CM)

DO

(mg/l) Perm

DO

(mg/l) Dasar

DO AV

CO2

Perm (mg/l)

CO2

Dasar (mg/l)

CO2 AV

SAL

(o/oo) Perm

SAL

(o/oo) Dasar

SAL

AV

1 Sei.Simon

24 Oktober

2016 /

11.30

N 02° 11’ 07.4" E 117° 53’ 37.6"

31 29 10 22 4.77 4.53 4.65 0.88 0 0.44 5 25 15

2 Mr.Kasai

24 Oktober

2016 /

13.25

N 02° 11’ 15.6"

E 117° 55’ 27.6" 29 29 5 60 5.41 5.17 5.29 0.88 0 0.44 21 22 21.5

3 Badak-Badak 25 Oktober

2016 /

09.58

N 02° 09’ 03.7"

E 117° 55’ 55.4" 28 29 4 58 4.28 5.33 4.81 1.32 0.88 1.1 5 32 18.5

4 Mr.Guntungan

25 Oktober

2016 / 13.48

N 02° 05’ 47.4"

E 117° 54’ 33.4" 31 32 9.5 98 5.17 5.49 5.33 0.44 0 0.22 8 31 19.5

5 Mr.Batumbuk

25 Oktober

2016 / 16.00

N 02° 04’ 15.8"

E 117° 54’ 19.5" 27 30 1.7 90 5.33 5.58 5.45 0.44 0 0.22 11 20 15.5

6 Mr.Mengkajang

26 Oktober

2016 / 16.19

N 02° 00’ 53.8"

E 117° 50’ 42.2" 27 28 10 145 3.10 2.85 2.98 0 0 0 20 28 24

St

. Nama Daerah

O-PO4

mg/l

Total N-NH3

mg/l

NO3

(mg/l)

NO2

(mg/l)

CLOR

OFIL (mg/l)

TDS

(mg/l) COD

TURBID

ITY (NTU)

TOT.

ALKALI (mg/l)

HARD

NEST (mg/l)

pH

Kadar BO

Terlarut

(mg/l)

1 Sei.Simon 0.0064 0.0455 0.1466 0.0385 0 21183 2.16 69.2 8.3 98.1 6.78 24.65

2 Mr.Kasai 0.0079 0.0909 0.2122 0.0718 0 18739 1.66 43.6 10.8 86.09 7.17 25.28

3 Badak-Badak 0.0079 0.0909 0.1237 0.0312 0 24588 1.83 48.8 7.5 118.12 7.4 24.96

4 Mr.Guntungan 0.0032 0.0909 0.174 0.0089 0 24269 2.16 12.7 4.5 112.11 7.62 23.7

5 Mr.Batumbuk 0.0032 0.0909 0.1099 0.0377 0 17099 3 8.07 3.9 95.1 7.41 25.28

6 Mr.Mengkajang 0.0079 0.6818 0.4412 0.013 3.36 28899 2 128 34.2 105.11 7.38 22.12

7 Samera 0.035 0.2727 0.3847 0.0629 0 21697 2.33 40 33.5 96.1 7.45 24.96

88

LAMPIRAN DOKUMENTASI LAPANGAN

Koordinasi dengan DKP Kab. Berau Koordinasi dengan DKP Kab. Berau

Kunjungan dengan UPTD. DKP Kab. Berau

Kunjungan dengan UPTD. DKP Kab. Berau

Tim Monev BP3U Sampling Kualitas Air

Sampling dengan Mini Trawl Sampling dengan Larva

89

Sampling Kualitas Air Identifikasi hasil Tangkapan

Identifikasi hasil Tangkapan Wawancara dengan nelayan

Hasil Tangkapan Ikan dan Udang menggunakan Alat Tangkap Trawl

Kakap merah totol (Lutjanus johnii) Kakap merah (Lutjanus timorensis)

90

Bambangan (Lutjanus malabaricus) Lemuru (Pentaprion longimanus)

Telkara perchlet (Ambassis vachelli) Spotted javelinfish (Pomadasys kaakan)

Heart-headed flathead (Sorrogona tuberculata)

Olive-tailed flathead (Rogadius asper)

Lidah panjang (Cynoglossus lingua)

Bawal putih Bawal hitam

91

Ikan tembang

Psetrodes erumei

Ikan Gulama (Siganus canalicatus) Ikan Gulama (Pennahia

macrophthalmus)

Ikan Gulama (Johnius coitor) Ikan Gulama (Johnius volgere)

92

Leiognathus bindus Ikan Bete-bete (Leignathus moretoniensis)

Ikan Selar (Atule mate) Opisthopterus tardoore

Ikan Bulan (Drepane punctata) H. toshi

Gerres filamentosus Ikan Mata Besar (Gerres oyena)

93

Benus (Saurida undosquamis) Ikan Pemukul Bedug (Synadus indicus)

Ikan Layur (Trichirus lepturus) Ikan Lome (Harpadon nehereus)

Nemipterus nematopus Polydactylus plebius

Bete-bete sirip panjang (Ulua aurochs)

Megalaspis sp

94

Ikan Bulu Ayam (Coilia lindmani) Ikan Mata Besar (Gerres oyena)

Ikan Kapas-kapas Anodontostoma chacunda

Dukang (Arius anaculatus) Arius sagor

Sotong (Sepia recurvirostra) (Sapiella weberi)

95

Ikan Buntal (Torquigener sp) Buntal loreng (Tetraodontidae)

Pterois rosselli

JENIS-JENIS UDANG DI ESTUARI BERAU TAHUN 2016

Udang loreng(Parapenaeopsis sculpitilis) Udang brown

96

(Macrobrachium equides) (Metapenaeus lysianassa)

(Penaeus indicus) (Metapenaeus eboracensis)

Udang kipas

JENIS-JENIS KEPITING DI ESTUARI BERAU TAHUN 2016

Kepiting renang (Charybdis annulata) Kepiting laba-laba (family Dorripidae)

97