laporan skenario a blok 9

119
3 LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A BLOK 9 DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5 Tutor : Drs. Djoko Marwoto, MS. Akbar Rizky Wicaksana 04011381320003 Aulia Alvianti Akbar 04011181320003 Chyntia Tiara Putri 04011181320047 Elisabeth Gerda Sitompul 04011181320011 Esty Risa Mubarani 04011181320033 Nabilla Faradilla Aryadinata 04011181320085 Nilam Siti Rahmah 04011181320083 Nurul Rizki Syafarina 04011181320105 Nyayu Aisyah 04011181320099 Rani Juliantika 04011181320089 Rikka Wijaya 04011281320037 Risti Maulani Sindih 04011181320097 Sherly Wahyuni 04011181320091 Tri Kurniati 04011181320065

Upload: balkis-humairoh

Post on 07-Dec-2015

268 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tutorial

TRANSCRIPT

3

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A

BLOK 9

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5

Tutor : Drs. Djoko Marwoto, MS.

Akbar Rizky Wicaksana 04011381320003

Aulia Alvianti Akbar 04011181320003

Chyntia Tiara Putri 04011181320047

Elisabeth Gerda Sitompul 04011181320011

Esty Risa Mubarani 04011181320033

Nabilla Faradilla Aryadinata 04011181320085

Nilam Siti Rahmah 04011181320083

Nurul Rizki Syafarina 04011181320105

Nyayu Aisyah 04011181320099

Rani Juliantika 04011181320089

Rikka Wijaya 04011281320037

Risti Maulani Sindih 04011181320097

Sherly Wahyuni 04011181320091

Tri Kurniati 04011181320065

PENDIDIKAN DOKTER UMUM

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SRIWIJAYA

2014

3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan tugas tutorial

skenario A blok 9 ini dapat terselesaikan dengan baik.

Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem

pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan laporan tugas tutorial ini terutama Drs. Djoko Marwoto, MS. selaku tutor.

Laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan

sangat bermanfaat untuk perbaikan di kemudian hari.

Palembang, 28 Mei 2014

Penyusun

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................. 2

DAFTAR ISI................................................................................................................................. 3

HASIL TUTORIAL DAN BELAJAR MANDIRI

I. Skenario A Blok 9.................................................................................................................... 4

II. Klarifikasi Istilah .................................................................................................................... 4

III. Identifikasi Masalah................................................................................................................ 5

IV. Analisis Masalah..................................................................................................................... 6

V. Keterkaitan antarmasalah ....................................................................................................... 24

VI. Learning Issues....................................................................................................................... 25

VII. Sintesis................................................................................................................................... 26

- Kerangka konsep..................................................................................................................... 26

- Anatomi – Histologi Nasofaring............................................................................................. 27

- EBV .............................................................................................................................… … 29

- Central Dogma........................................................................................................................ 36

- Nutrigenomik.......................................................................................................................... 46

- Karsinogenesis........................................................................................................................ 49

- Polimorfisme........................................................................................................................... 55

- Karsinoma Nasofaring............................................................................................................ 58

- Tumor...................................................................................................................................... 68

- PCR-RFLP.............................................................................................................................. 71

- Pemeriksaan Serologi............................................................................................................. 76

VIII. Kesimpulan…………………...…………………………………………...…………………..79

Daftar Pustaka.........................................................................................................................….. 80

3

I. SKENARIO A BLOK 9

Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, mempunyai kebiasaan

mengkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya. Dia datang ke Rumah Sakit

dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6 bulan yang lalu.Kemudian dokter

melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri. Untuk menegakkan

diagnosis dokter melakukan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), pemeriksaan serologi serta

PCR-RFLP. Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedangkan

pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap EBV. Hasil

pemeriksaan PCR-RFLP menunjukkan adanya polimorfisme.

II. KLARIFIKASI ISTILAH

No Istilah Arti

1 Tumor pembengkakan atau pembesaran abnormal yang merupakan salah

satu tanda utama peradangan

2 Patologi anatomi spesialisasi medis yang berurusan dengan diagnosis penyakit

berdasarkan pada pemeriksaan mikroskopik dan molekuler atas

organ, jaringan dan sel

3 Serologi ilmu yang mempelajari reaksi antigen antibodi secara in vitro

4 PCR-RFLP tekhnik yang mengeksploitasi variasi sequence DNA yang homolog,

sample DNA dipecah sampai menjadi bagian- bagian kecil dengan

enzim restriksi dan nantinya akan menghasilkan fragmen resktriksi

lalu dipisahkan berdasarkan panjangnya masing-masing dengan gel

elektroforesis

5 Karsinoma nasofaring pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial nasofaring

yang cenderung menginflitrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan

metastasis

6 Titer antibody pengukuran tentang berapa banyak antibody pada organisme yang

3

telah diproduksi dan mengenali epitop tertentu

7 EBV Epstein-Barr Virus yang merupakan virus dsDNA penyebab

karsinoma nasofaring

8 Polimorfisme ketika dua atau beberapa fenotip yang berbeda ada dalam populasi

suatu spesies

III. IDENTIFIKASI MASALAH

No Masalah Konsen

1 Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri

sejak 6 bulan yang lalu.

VVVV

2 Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, mempunyai kebiasaan

mengkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya

VVV

3 Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di

sebelah kiri.

VV

4 Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedangkan

pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap

EBV.

-

5 Hasil pemeriksaan PCR-RFLP menunjukkan adanya polimorfisme. -

3

IV. ANALISIS MASALAH

1. Dia datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri sejak 6 bulan

yang lalu.

a. Bagaimana anatomi dan histologi bagian leher?

a. Rongga Hidung

Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di

sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam

vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis

(cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior,

media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi

oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus

untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel

sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan

epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang

bersinaps dengan neuron olfaktorius otak),  sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar

Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan

silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya

vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang

masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.

b. Sinus dan Nasofaring 

Sinus paranasalis adalah rongga bilateral di tulang frontal, maksila, ethmoid,

dan sfenoid tengkorak. Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel respiratorik yang lebih tipis

dengan sedikit sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan

menyatu dengan periosteum di bawahnya. 

Di bagian posterior rongga hidung, nasofaring adalah bagian pertama faring,

yang berlanjut sebagai orofaring ke arah kaudal yaitu bagian posterior rongga mulut.

Nasofaring terletak diantara basis cranial dan pallatum mole,menghubungkan rongga

hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak

beraturan,diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing masing sekitar 3 cm, diameter depan

belakang 2-3 cm,dapat dibagi menjadi dinding anterior,superior,inferior dan 2 dinding

lateral yang simetri bilateral.Dinding supero-posterior.Dinding superior dan posterior

3

bersambung dan miring membentuk lengkungan,diantara kedua dinding tidak terdapat batas

anatomis yang jelas. Nasofaring dilapisi oleh epitel respiratorik dan memiliki tonsila

pharyngealis di media dan muara bilateral tuba auditorius untuk setiap telinga tengah.

Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-

macam, yaitu epitel kolumner simpleks bersilia, epitel kolumner berlapis, epitel kolumner

berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada ahun 1954, Ackerman

dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut

akan berubah menjadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum

molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali.

Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi

keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain

di nasofaring.Keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada: dinding atas nasofaring atau

basis kranii dantempat di mana terdapat adenoid, di bagian depan nasofaring yaitu terdapat

di pinggir koana dan dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rossenmulleri sampai

dinding faring dan palatum molle.

c. Laring 

Laring adalah saluran kaku yang pendek (4cm x 4cm) untuk udara antara faring

dengan trakea. Dindingnya diperkuat oleh kartilago hialin dan kartilago elastis yang lebih

kecil (di epiglotis, cuneiformis, cornikulatum, dan cartilago arytenoid superior), yang

kesemuanya dihubungkan oleh ligamen.

d. Epiglotis

Yang terjulur dari tepian laring, meluas ke dalam faring dan memiliki permukaan

lingual dan laringeal.  Seluruh permukaan lingual dan bagian apikal permukaan laringeal

ditutupi oleh epitel berlapis gepeng. Pada beberapa titik permukaan laringeal epiglotis ,

epitelnya beralih menjadi epitel bertingkat silindris bersilia.

e. Trakea

Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa pada

lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana ujung

bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet

dan sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk

3

mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga lumen

trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk

tapal kuda tersebut terdapat ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang

memungkinkan pengaturan lumen dan mencegah distensi berlebihan.

f. Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid yang berada di regio servikal di sebelah anterior laring, terdiri

atas dua lobus yang disatukan oleh isthmus. Pada masa embrionik tiroid berkembang dari

endoderm saluran cerna di dekat dasar bakal lidah. Parenkim tiroid yang terdiri atas jutaan

struktur epitel bulat yang disebut folikel tiroid. Setiap folikel terdiri atas selapis epitel

dengan lumen sentral yang terisi dengan suatu substansi gelatinosa yang disebut koloid. 

Kelenjar tiroid dilapisi dan dari kapsula ini, septa terjulur ke dalam parenkim,

dan membaginya menjadi lobulus dan membawa pembuluh darah, saraf dan pembuluh

limfe. Folikel terkemas rapat, yang terpisah satu sama lain hanya oleh sebaran jaringan ikat

retikular. Sel folikel memiliki bentuk yang bervariasi dari skuamosa hingga kolumnar

rendah.

3

Histologi Kelenjar Tiroid

g. Kelenjar Paratiroid 

Terdiri atas empat massa oval kecil masing-masing berukuran 3x6 mm dengan

berat total sekitar 0,4 gram. Kelenjar paratiroid terletak di belakang kelenjar tiroid, satu

pada masing-masing kutub atas dan bawah dan umumnya terbenam dalam simpai

kelenjar yang besar. Setiap kelenjar paratiroid terdapat dalam simpai yang menjulurkan

septa ke dalam kelenjar, tempat septa tersebut berbaur dengan serat retikuler.

h. Kelenjar Getah Bening

Kelenjar getah bening adalah struktur berbentuk buncis dan bersimpai, yang

umumnya berdiameter 2-10mm dan tersebar di seluruh tubuh sepanjang pembuluh

limfe. Kelenjar getah bening ini ditemukan pada ketiak dan selangkangan, di sepanjang

pembuluh besar leher, dan banyak dijumpai dalam toraks dan abdomen, khususnya

dalam mesenterium. Organ berbentuk ginjal ini merupakan  tempat masuknya pembuluh

limfe dan lekukan konkaf, yakni hilum, tempat masuknya saraf dan keluarnya vena dan

pembuluh limfe dari organ. Suatu simpai jaringan ikat mengelilingi kelenjar getah

bening, dan menjulurkan trabekula ke bagian dalam organ. Sel terbanyak di kelenjar

getah bening adalah limfosit, makrofag, dan APC lain, sel plasma, dan sel retikular, sel

dendritik folikular terdapat di dalam nodul limfoid. Berbagai susunan sel dan stroma

serabut retikular yang menyangga sel membentuk korteks, medula, dan parakorteks

yang menyusup.

3

b. Bagaimana patofisiologi benjolan di leher sebelah kiri pada kasus?

Benjolan di leher sebelah kiri adalah bentuk dari neoplasma ganas,

pertumbuhannya cepat dan tidak terkendali, mengakibatkan penyebaran sel tumor ganas

atau anak sebar (metastasis) yang mekanisme pembentukannya karena infeksi virus

Epstein-Barr yang dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan

dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma

nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein

tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi yang mempetahankan kelangsungan

hidup virus di dalam sel host yaitu di daerah nasofaring yang merupakan lapisan

transisional.

c. Mengapa benjolan terjadi di sebelah kiri, bukan di sebelah kanan?

Benjolan yang merupakan gejala akut dapat ditandai dengan kelenjar getah

bening pada leher membesar. Terdapat benjolan padat pada leher kiri dan atau   kanan.

d. Bagaimana manifestasi dari benjolan di leher?

Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utamasulitnya

menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran kekelenjar getah

beningsangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub

mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus

limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu NodusRouvier. Di dalam kelenjar ini

sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehinggakelenjar menjadi besar dan tampak

sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya

sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus

kelenjar dan mengenai otot dibawahnya.Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit

digerakkan. Keadaan ini merupakan gejalayang lebih lanjut lagi.

e. Bagaimana penatalaksanaan benjolan tersebut ?

Penatalaksanaan nya dapat dilakukan dengan bantuan CT Scan leher unrtuk melihat

batas area tumor, MRI dapat dilakukan dan lebih detail dibanding CT Scan , foto leher

untuk melihat deviasi tulang servical akibat desakan tumor . penatalaksanaan nya berupa

eksisi total merupakan pembedahan dengan mengambil keseluruhan massa kista, tetapi bila

tumor besar dan telah menyusup ke organ penting seperti trakea, esofagus atau pembuluh

darah ekstirpasi total sulit dilakukan . maka penanganan dengan pengambilan sebanyak-

banyaknya kista, kemudian pasca bedah dilakukan infiltrasi bleomisin subkutan untuk

3

mencegah kambuhan . pembedahan sebaiknya dilakukan setelah periode neonatus karena

mortalitas akibat pembedahan pada periode neonatus cukup tinggi .

2. Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda, mempunyai kebiasaan

mengkonsumsi terasi, ikan asin dan produk awetan lainnya.

a. Apa saja kandungan yang terdapat dalam terasi, ikan asin dan produk awetan?

Kandungan gizi yang terdapat pada terasi, ikan bakar, ikan asin di satu sisi baik

karena mengandung protein, lemak, vitamin & mineral, serta garam namun disisi lain

makanan itu semua beserta produk-produk awetan lainnya banyak mengandung

nitrosamine yaitu senyawa yang berbahaya yang bersifat karsinogenik.

b. Apa dampak mengkonsumsi makanan tersebut pada kasus ini?

Hubungan antara kandungan makanan yang diawetkan dengan Ca-nasopharinx

berkaitan dengan suatu senyawa yaitu nitrosamine, terbentuknya nitrosamine dapat

terjadi pada saat proses pengolahan makanan (seperti ketika diawetkan), protein dapat

berubah menjadi asam amino bebas yang selanjutnya menjadi senyawa amin. Selain

senyawa amin yang berasal dari asam amino, terdapat juga senyawa amin yang berasal

dari ikan asin, yaitu alkilamin. Reaksi antara nitrit dan alkilamin akan membentuk

nitrosamine yang bersifat karsinogenik paling kuat antara karsinogenik kimiawi. Factor

konsumsi makanan yang diawetkan, difermentasi, dan diasapi dapat meningkatkan

kandungan xenobiotik nitrosamine yang berkaitan erat dengan KNF.

c. Bagaimana pengaruh usia, jenis kelamin dan etnis terhadap gejala dan penyakit

yang diderita Tn. Aam?

Berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi, Tn. Aam Syaroni menderita

karsinoma nosofaring. Pengaruh usia, jenis kelamin, etnis dan kebiasaan mengonsumsi

makanan tertentu merupakan faktor resiko dari karsinoma nasofaring. Karsinoma

nasofaring dapat terjadi pada segala usia, namun umumnya menyerang usia 30-60 tahun

dan lebih sering terjadi pada laki-laki (8:1). Latar belakang etnis dan paparan kepada

(Epstein-Barr Virus) EBV bisa mempengaruhi faktor risiko perkembangan karsinoma

nasofaring. Faktor risiko yang termasuk ke dalam halayak yang berisiko ini adalah:

Orang Cina atau keturunan Asia, Paparan EBV telah berkaitan dengan karsinoma

tertentu, termasuk karsinoma nasofaring dan beberapa lymphoma, dan terlalu banyak

minum alkohol (National Cancer Institute, 2011). Pada kasus ini tn. Aam Syaroni orang

asli Sunda mempunyai kebiasaan mengkonsumsi terasi, ikan asin, dan produk aweta.

3

Tingginya kadar nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada

di dalam kandungan ikan asin memicu terjadinya karsinoma nasofaring.

Peningkatan insidensi KNF dilaporkan berkaitan erat dengan faktor makanan

seperti makanan yang diawetkan (ikan asin), difermentasi, dan diasapi. Makanan-

makanan tersebut dapat meningkatkan kandungan nitrosamin, dapat mengaktivasi

Epstein-Barr virus (EBV) dan menginduksi perkembangan KNF. Selain itu, konsumsi

minuman beralkohol juga dapat meningkatkan risiko terkena KNF.  Nitrosamin juga

disebut sebagai zatkarsinogenik karena nitrosamin dapat merusak rantai DNA.

Nitrosamin tersebut dapat mengubah pasangan basa  pada rantai DNA, karena

nitrosamin dapat mentransfer gugus metil atau etil kepada ikatan fosfat atau basa pada

rantai DNA. Biasanya pasangan basa yang sering mendapat gugus metil atau etil

tersebut adalah Guanin sehingga terbentuk senyawa nitrosoguanin.

Asal daerah juga mempengaruhi, karena jenis makanan khas yang dikonsumsi.

Misalnya daerah sunda terkenal dengan makanan-makanan yang diasap atau dibakar,

dan juga ikan asin. Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan

rasio 2-3:1 kenapa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada

hubungannya dengan faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi

umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada

daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya

umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun,

puncaknya pada umur 40-59 tahun danmenurun setelahnya. Semakin tinggi usia

seseorang, maka pertahanan tubuh akan semakin melemah sehingga lebih mudah

mengalami gangguan

d. Bagaimana pengaruh nutrisi terhadap ekspresi gen?

Saat ini sekitar 30.000 genom manusia telah dikodekan, dan bertanggung jawab

secara fungsional terhadap 100.000 peran protein dalam tubuh. Komponen bioaktif dari

suatu makanan dapat mempengaruhi genom manusia, dengan mengubah transkriptome

ataupun profil dari ekspresi gen. Sederhananya dapat diartikan bahwa semua zat-zat gizi

memiliki peran masing-masing dan mempengaruhi ekspresi dari gen. Oleh karena itu

ekspresi gen dari masing-masing orang akan berbeda karena kebutuhan akan zat-zat gizi

dari masing-masing orang juga bervariasi.

3

3. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor di sebelah kiri.

a. Apa perbedaan benjolan tumor dan benjolan lainnya?

Benjolan tumor berbeda dengan benjolan lainnya. Benjolan tumor strukturnya

mudah terlihat, pertumbuhannya lambat dan bisa berhenti bahkan menciut, tidak

menginfiltrasi jaringan sekitarnya sehingga tidak menyebar serta tidak bermetastasis.

b. Bagaimana patofisiologi tumor ?

Mekanisme pada tumor

Tumor tidak hanya terjadi akibat aktifasi onkogen yang berlebihan tetapi dapat

juga akibat hilangnnya atau tidak aktifnya gen yang bekerja menghambat pertumbuhan

sel yang disebut Anti-onkogen. Padapertumbuhan dan dan diferensiasi normal.anti-

onkogen bekerja menghambat pertumbuhan danmerangsang diferensiasi sel. Beberapa

anti-onkogen ialah gen p53,Rb(retinoblastoma), AP (adenomatous polyposis coli),

WT(wiliam’s Tumor), DCC dan NF-2. Dari beberapa antionkogen tadi,yang sering

ditemukan mengalami mutasi adalah p53 dan Rb yang akanmengakibatkan pembelahan

sel secara neoplastik.

Mekanisme kerja Anti-Onkogen/Tumor Supresor Gen

selama fase pertama sel yaitu G1,ada proses yang perlu dilalui oleh sel,yang

disebut check point. Pada check point ini bertujuan untuk mengecek, apakah sel

diinginkan untuk membelah atau tidak.Tumor supresor gen, berfungsi sebagai check

point untuk mengatur pembelahan sel. Beberapa yang sering mengalami mutasi Rb dan

p53.

Mekanisme kerja Rb dan p53

sebelum sel memasuki siklus sel fase S, pada fase G1 akan diadakan check

point.Pada siklus yang normal,Rb akan berikatan dengan faktor transkripsi yang disebut

E2F. faktor transkripsi ini berfungsi dalam mengaktifkan ekspresi gen dan member

sinyal bahwa pembelahan sel boleh dilanjutkan. jika E2F diikat oleh Rb,maka proses

siklus sel selanjutnya belum bisa dilakukan. Untuk melepaskan ikatan ini,diperlukan

CDKs yang telah diaktifkan oleh cycline, dan membuat Rbdifosforilisasi. fosforilisasi

Rb menyebabkan ikatan E2F dan Rb putus. dengan putusnya ikatan Rb dengan E2F,

maka E2F akan mengaktifkan ekspresi gen dan memberi sinyal agar siklus pembelahan

sel dilanjutkan. jika terjadi mutasi pada Rb, maka tidak ada yang mengikat E2F,

sehingga ekspresi gendan sinyal pembelahan sel akan diteruskan kepada S, yang akan

membawa ke pembelahan selneoplastik. selain Rb, tumor supresor gen yang bekerja

3

pada check point adalah p53.p53 ini bekerja untuk mengecek apakah terjadi kerusakan

DNA atau tidak.jika terdeteksi adanya kerusakanDNA,maka ada 2 hal yang

diperintahkan oleh p53,yaitu mengaktifkan DNA repair gen danpenghentian siklus sel

pada G1 sampai kerusakannya dapat diperbaiki.mekanisme penghentian siklus sel,yaitu

dengan mengaktifkan p21.p21 ini berfungsi untuk mencegah aktifasi CDKs oleh

cycline,sehingga CDKs tidak bisa memfosforilisasi Rb.Akibatnya E2F tetap terikat

dengan E2F. Jika terjadi mutasi pada p53. maka,kerusakan DNA tidak akan dapat

dideteksi,yang pada akhirnya akanmembawa kepada pertumbuhan sel neoplastik

- unsur penyebab onkogen : radiasi, senyawa kimia dan virus

- gejala-gejala pada tumor : munculnya benjolan yang bertambah dan membesar di

bagian tubuh

tertentu

- terjadinya penebalan jaringan

- pendarahan atau keluarnya zat cair dari tubuh

- nyeri haid yang rutin dan berkepanjangan pada wanita

- sakit atau luka berkepanjangan yang tidak sembuh-sembuh

- penurunan berat badan secara cepat

Dampaknya apabila tumor tidak di atasi dengan penanganan secara cepat, dan

jika dibiarkan akan terjadinya tumor ganas atau kanker sehingga mengalami kerusakan

jaringan-jaringan di tubuh dan dapat menyebabkan kematian

c. Apa hubungan gaya hidup dengan tumor pada kasus ?

Gaya hidup dapat berpengaruh tehadap tumor, salah satu nya pada tn.aam

syaroni kebiasaan makan makanan asin serta memakan makanan yang diawetkan dalam

musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine kebiasaan memasak

dengan bahan atau bumbu masak tertentu, selain dari faktor makanan dapat terjadi pada

faktor lingkungan seperti iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu. Selain iu

juga debu kayu, serta asap dupa (kemenyan) bisa merupakan faktor lingkungan,

tembakau, perokok berat dan hygiene mulut yang buruk telah dituduh sebagai faktor

penyebab .

3

4. Hasil pemeriksaan PA mengesankan sebagai karsinoma nasofaring, sedangkan pada

pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap EBV.

a. Bagaimana proses replikasi sel sehingga menyebabkan karsinoma? Kesalahannya

dimana?

Dalam kasus Tn. Aam Syaroni ketika RNA virus berhasil menginsersi DNA sel

normal, maka gen-gen laten yang ada pada virus seperti BCL2, LMP1 dan LMP2 akan

menyebabkan inaktivasi p53 dan antiapoptosis, yang berujung pada penurunan produksi

protein penghambat pembelahan sel. Selain itu ketika sel telah menjadi abnormal, maka

terkadang sel itu tidak membutuhkan faktor pertumbuhan agar bisa mengaktifkan

protein kinase melainkan sel itu seolah-olah bisa menghasilkan faktor pertumbuhan

sendiri sehingga sel yang telah terinfeksi (abnormal) menjadi immortal dan mampu

bereplikasi terus-menerus hingga akhirnya berkembang menjadi karsinoma.

b. Bagaimana anatomi dan histologi nasofaring?

Di bagian posterior rongga hidung, nasofaring adalah bagian pertama faring,

yang berlanjut sebagai orofaring ke arah kaudal yaitu bagian posterior rongga mulut.

Nasofaring terletak diantara basis cranial dan pallatum mole,menghubungkan rongga

hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak

beraturan,diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing masing sekitar 3 cm, diameter

depan belakang 2-3 cm,dapat dibagi menjadi dinding anterior,superior,inferior dan 2

dinding lateral yang simetri bilateral.Dinding supero-posterior.Dinding superior dan

posterior bersambung dan miring membentuk lengkungan,diantara kedua dinding tidak

terdapat batas anatomis yang jelas. Nasofaring dilapisi oleh epitel respiratorik dan

memiliki tonsila pharyngealis di media dan muara bilateral tuba auditorius untuk setiap

telinga tengah.

Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam,

yaitu epitel kolumner simpleks bersilia, epitel kolumner berlapis, epitel kolumner

berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada ahun 1954, Ackerman

dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut

akan berubah menjadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum

molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali.

Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi

keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat

lain di nasofaring.Keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada: dinding atas nasofaring

atau basis kranii dantempat di mana terdapat adenoid, di bagian depan nasofaring yaitu

3

terdapat di pinggir koana dan dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rossenmulleri

sampai dinding faring dan palatum molle.

c. Bagaimana patofisiologi karsinoma nasofaring?

Sudah hampir dipastikan karsinoma nasofaring disebabkan oleh virus Epstein-

Barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada

penderita karsinoma nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan

protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan

kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda

adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah

protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut

mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat

karsinogen yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak

terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal

inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama

pada fossa Rossenmuller.

Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel

limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam

limfosit B. Mula-mula, glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan

protein CD21 (reseptor virus) di permukaan limfosit B. Masuknya EBV ke dalam DNA

limfosit B menyebabkan limfosit B menjadi imortal. Namun, mekanisme masuknya

EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun

demikian, terdapat dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam

sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeris Imunoglobin Receptor).

Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu

• Sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi.

• EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi normal kembali.

• Terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan transformasi/perubahan

sifat sel menjadi ganas sehingga terbentutlah sel kanker.

3

d. Bagaimana penatalaksaan karsinoma nasofaring?

Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu

pencegahan dan pengobatan.

1) Pencegahan

Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang

dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan timbulnya

karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah penggunaan vaksin virus Epstein-

Barr, mengurangi dan menghindari bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi

timbulnya karsinoma nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.

2) Pengobatan

Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi,

penggunaan obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan imunoterapi.

a. Pembedahan

Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal (Diefenbach,

Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak

berkembang, dan hasilnya menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan

pada tumor metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk

membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah

retrofaring dan parafaring.

b. Radioterapi

Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya. Radioterapi

dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila sumber sinar jauh dari

tumor dan di luar tubuh penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan

tumor dan dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi

diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta

belum ada metastase ke kelenjar limfe leher.

c. Obat-obatan Sitostatika

Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal

umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai

sitostatika tunggal adalah methotrexat, metomycine C, Endoxan, Bleocyne,

Fluorouracyne, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan

radiasi dan diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat bisa juga diberikan

sebelum dan sesudah penyinaran sebagai sandwich terapy.

3

Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta

penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi obat ganda yang

dipakai antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat

dan Fluoroacil), ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA

(Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin).

d. Imunoterapi

Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik

onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan research dan trial. Untuk

karsinoma nasofaring telah dilakukan penelitian antara lain dengan menggunakan

interferon dan Poly ICLC.

e. Obat Antivirus

Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat menghambat

pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat antivirus ini penting pada

karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan EBV carrying tumor dengan DNA

EBV positif .

e. Bagaimana metode pengukuran titer antibodi terhadap EBV?

1. Haemagglutination Inhibition (HI) test 

Secara bahasa haemagglutination inhibition dapat diartikan sebagai hambatan

haemaglutinasi. Zat haemaglutinin yang terdapat dalam tubuh virus atau bakteri

tersebut bersifat antigenik yang dapat merangsang terbentuknya antibodi spesifik.

Antibodi yang terbentuk tersebut memiliki kemampuan mengambat terjadinya

aglutinasi darah yang disebabkan oleh haemaglutinin dari virus atau bakteri. Prinsip

kerja dari HI test ialah mereaksikan antigen dan serum dengan  pengenceran tertentu

sehingga dapat diketahui sampai pengenceran  berapa antibodi yang terkandung

dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit. HI test merupakan

metode uji serologis yang mudah dilakukan dan hasilnya dapat diketahui dengan

cepat.

2. Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)  

ELISA sebagai salah satu metode uji serologis mempunyai satu kelebihan yaitu

mampu mendeteksi beberapa jenis antibodi dari 1 sampel serum (tergantung dari kit

ELISA yang digunakan). ELISA  juga memiliki tingkat spesifikasi (yaitu

kemampuan mendeteksi ayam yang tidak terinfeksi atau ayam yang tidak terinfeksi

dinyatakan negatif) yang tinggi.

3

3. Agar Gel Precipitation (AGP)

Metode uji serologis ini termasuk metode yang sederhana untuk mendeteksi

antibodi terhadap berbagai virus berdasarkan reaksi positif (+) atau negatif (-).

Namun AGP akan mendeteksi semua strain virus tanpa memperhatikan serotipenya.

4. Rapid Plate Aglutination (RPA)

Cara metode uji ini juga sangat mudah, hanya dengan mencampur satu tetes

serum dengan satu tetes antigen kemudian dikocok selama 2 menit. Jika terjadi

aglutinasi (penggumpalan) maka reaksi dinyatakan  positif dan sebaliknya jika tidak

terjadi aglutinasi hasil uji serologis dinyatakan negatif. Oleh karena itu, metode uji

serologis ini hanya menunjukkan ada tidaknya titer antibodi, namun tidak bisa

menentukan tinggi rendahnya (nilai) dari antibody.

5. Serum Neutralisation (SN) test  Serum neutralisation

(SN) test merupakan metode uji serologis yang  paling mahal diantara ke-4

metode uji sebelumnya. Metode uji ini membutuhkan peralatan yang mahal. Selain

itu, dalam metode ini diperlukan telur spesific pathogenic free (SPF) untuk persiapan

kultur  jaringan atau kultur organ. Metode uji ini paling tepat digunakan untuk

mendeteksi antibodi terhadap serotipe yang berbeda dari virus yang diuji. Titer

antibodi yang dapat diuji dengan SN test antara lain IB dan FAV.

f. Apa pengaruh EBV terhadap ekspresi gen sehingga menyebabkan karsinoma

nasofaring?

Virus Ebstein Barr masuk ke dalam tubuh manusia kemudian bereplikasi dalam

sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus ini terjadi pada dua

tempat yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai menginfeksi

dengan cara berikatan dengan komplemen C3d (CD21 atau CR2).

LMP-1 terekspresi dalam fase laten maupun litik dari sel-B yang terinfeksi.

LMP-1 diperlukan untuk transformasi sel-B yang terinfeksi EBV. LMP-1 berfungsi

sebagai onkogen. Pada percobaan tikus transgenik yang mengekspresikan LMP-1 dalam

sel-B berkembang menjadi limfoma sel-B. Tikus transgenik yang mengekspresikan

LMP-1 di kulit berkembang menjadi hiperplasi epitel dengan meningkatnya ekspresi

dari keratin. LMP-1 merupakan analog fungsional dari CD40 yang merupakan anggota

reseptor TNF (tumor necrosisfactor). LMP-1 memiliki efek antiapoptotik pada sel.

3

g. Apa faktor resiko yang menyebabkan karsinoma nasofaring?

Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain virus Epstein Barr, ikan

asin, kurang konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau, asap lain, alkohol, obat

herbal, paparan pekerjaan, paparan lain, familial clustering, Human Leukocyte Antigen

Genes, dan variasi genetik lain.

a) Virus Epstein Barr

EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring. Sebagian besar infeksi EBV

tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi dan menetap secara laten . Transmisi utama

melalui saliva, Limfosit B adalah target

b) Ikan asin

Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko karsinoma

nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari

daging, ikan dan sayuran yang berpengawet selama masa kecil meningkatkan risiko

karsinoma nasofaring.

c) Buah dan Sayuran Segar

Konsumsi buah dan sayuran segar karoten terutama pada saat anak-anak, menurunkan risiko

karsinoma nasofaring. Efek protektif ini berhubungan dengan efek antioksidan dan

pencegahan pembentukan nitrosamin.

d) Tembakau

Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang

meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring.

e) Alkohol

Konsumsi alkohol tidak berhubungan dengan peningkatan risiko karsinoma nasofaring.

f) Obat Herbal

Di Filipina, penggunaan obat herbal tradisional meningkatkan risiko karsinoma nasofaring,

terutama pada orang yang mempunyai titer antibodi anti-HBV tinggi.

g) Pajanan Pekerjaan

3

Stimulasi dan infl amasi jalan nafas kronik, berkurangnya pembersihan mukosiliar, dan

perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya debu kayu di nasofaring memicu karsinoma

nasofaring, paparan ke pelarut dan pengawet kayu, seperti klorofenol juga memicu

karsinoma nasofaring. Paparan debu katun yang hebat meningkatkan risiko karsinoma

nasofaring karena iritasi dan infl amasi nasofaring langsung atau melalui endotoksin bakteri.

h) Pajanan Lain

Riwayat infeksi kronik telinga, hidung, tenggorok dan saluran napas bawah meningkatkan

risiko karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Bakteri yang menginfeksi saluran nafas

dapat mengurai nitrat menjadi nitrit, kemudian dapat membentuk bahan N-nitroso yang

karsinogenik.

i) Familial Clustering

Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien karsinoma nasofaring lebih berisiko terkena

karsinoma nasofaring. Kasus familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan tipe I non

familial.

j) Human Leukocyte Antigen Genes

Di Cina Selatan dan populasi Asia lain, Human Leukocyte Antigen-A2-B46 dan B-17

berhubungan dengan peningkatan dua sampai tiga kali lipat risiko karsinoma nasofaring.

Sebaliknya Human Leukocyte Antigen-A11 menurunkan 30%-50% risiko terkena karsinoma

nasofaring pada ras Kulit Putih dan Cina, B13 pada ras Cina, dan A2 pada ras Kulit Putih.

Sebuah meta analisis pada populasi di Cina Selatan menunjukkan peningkatan karsinoma

nasofaring pada HLAA2, B14 dan B46, dan penurunan karsinoma nasofaring pada HLA-

A11, B13 dan B22.

k) Variasi Genetik Lain

Polimorfi di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan CYP2A6 dan ketiadaan Glutation S-

transferase M1 (GSTM1) dan atau GSTT1 berhubungan dengan peningkatan risiko dua

sampai lima kali lipat terkena karsinoma nasofaring. Di Thailand dan Cina, polimorfi pada

polymeric immunoglobulin receptor (PIGR), sebuah reseptor permukaan sel memudahkan

masuknya EBV masuk ke epitel hidung dan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.

3

h. Bagaimana cara EBV dapat menginvasi tubuh?

melalui hubungan langsung antara sel pada membrane bagian apical yang dengan

limfosit yang sudah terinfeksi virus

melalui membrane basolateral, yang dimediasi oleh adanya interaksi antara integrin

β1 atau α5B1 dengan EBV

melalui penyebaran virus secara langung melalui membrane lateral yang terjadi

setelah pertama kali terinfeksi EBV

5. Hasil pemeriksaan PCR-RFLP menunjukkan adanya polimorfisme.

a. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan PCR-RFLP untuk mengetahui adanya

polimorfisme?

Pada prinsipnya, RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau

menciptakan sekuen rekognisi baru bagi enzim restriksi. Penyisipan

(inersi),penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah

rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak lagi dikenalinya situs pemotongan

enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotogan DNA. Teknik ini

dimanfaatkan untuk deteksi polimorfisme. Secara umum teknik ini menggunakan enzim

restriksi untuk mengetahui adanya polimorfisme (RFLP), dan produk hasil digesti

tersebut diamplifikasi dengan PCR (RFLP-PCR).

b. Bagaimana mekanisme terjadinya polimorfisme?

Polimorfisme suatu gen pada genom manusia disebabkan adanya mutasi pada

basanukleotida tunggal atau single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen tersebut.

SNPs merupakan varian genetic yang paling banyak dijumpai pada individu dalam suatu

spesies. Alel adalah suatu bentuk alternative sekuen DNA tertentu yang berbeda dengan

sekuenwild type (normal) pada suatu lokus gen dalam suatu kromosom. Apabila alel

tersebut ditemukan lebih dari 1% kromosom dalam suatu populasi maka keadaan ini

disebut sebagai polimorfisme genetic. Alel varian yang berlokasi pada ekson dapat

menghasilkan varian protein yang berbeda sehingga mungkin akan menghasilkan

perubahan fenotip yang nyata

c. Bagaimana hubungan polimorfisme dengan karsinoma?

Polimorfisme merupakan variasi urutan genetic yang terdapat dalam suatu

individu.polimorfisme pada gen CYP2E1 yang terlibat dalam kemampuan meninaktivasi

nitrosamine yang akan menyebabkan nitrosamine karsinogenikmtidak mampu diubah

3

menjadi produk non toksik sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA yang

berasosiasi dengan timbulnya kanker khususnya Karsinoma nasofaring.

d. Apakah ada hubungan antara etnis dengan polimorfisme yang terbaca dengan

metode PCR-RFLP pada kasus?

Ada 2 referensi yang digunakan, yang pertama penelitian yang membahas

tentang hubungan polimorfisme gen PIGR dengan insiden KNF pada populasi

Indonesia, sedangkan yang kedua penelitian tentang kaitan polimorfisme gen yang

mengkode reseptor B sel T (TCRB) dengan kasus KNF pada populasi Indonesia. Kedua

penelitian ini menyepakati bahwa angka prevalensi insiden KNF yang tinggi dapat

dijumpai di Cina, Afrika Utara, dan Asia Tenggara (termasuk Thailand, Malaysia, dan

Indonesia). Selain itu, telah diketahui pula bahwa berdasarkan sejarah, nenek moyang

bangsa Indonesia berasal dari ras Mongoloid yang bermigrasi dari Cina Selatan sehingga

dapat ditemukan sebuah korelasi positif mengenai penjelasan mengapa Indonesia

menjadi salah satu daerah endemik KNF.

Hasil penelitian pertama menyimpulkan bahwa pada populasi Indonesia gen

PIGR tidak berkontribusi pada patogenesis KNF baik pada orang Cina maupun orang

Indonesia asli. Orang Cina di Indonesia telah bertukar gen timbal balik secara bebas

dengan orang Indonesia asli selama beberapa generasi, sehingga memiliki karakter

genetik berbeda dengan orang Cina di Thailand. Hal ini akan berimplikasi pada

suseptibilitasnya terhadap KNF, dimana orang Cina Thailand lebih rentan terkena KNF

dan lebih suseptibel terhadap infeksi EBV dari pada orang Thailand asli.

Hasil penelitian kedua menyimpulkan bahwa etnis Cina di Indonesia punya

peluang yang sama dengan orang Indonesia pribumi karena tidak hambatan transmisi

gen antara kedua kelompok tersebut pada beberapa generasi. Prevalensi alel A pada

TCRB cenderung meningkat pada kasus KNF sehinga dianggap berpotensi menjadi

faktor predisposisi pada patologi KNF.

Selain itu, kedua penelitian menyepakati bahwa etnis Sunda menempati

peringkat teratas dalam insiden KNF. Dipercayai bahwa etnis Sunda yang gemar makan

ikan asin, sambal terasi, dan produk awetan misalnya ikan asap yang mengandung zat

nitrosamin (suatu karsinogen) dapat menjadi faktor pembantu terjadinya peningkatan

prevalensi KNF pada populasi tersebut. Polimorfisme pada suatu gen mungkin bukan

penyebab utama terjadinya peningkatan kasus KNF namun tidak menutup kemungkinan

bahwa kecenderungan terjadinya kasus KNF dapat dipicu oleh adanya alel A pada gen

TCRB.

Tn. Aam ,42 tahun, Sunda

Terbiasa makan terasi, ikan asin, dan produk awetan

Infeksi EBV

karsinogen

Sel kanker

Karsinoma Nasofaring

Benjolan di leher kiri

3

V. KETERKAITAN ANTAR MASALAH

3

VI. LEARNING ISSUES

Pokok

Bahasan

What I

know

What I don’t know What I have to

prove

How I will

learn

Anatomi dan

Histologi

Nasofaring

Definisi Struktur Kaitan pada

kasus

- Journal

- Text book

- Pakar

- Internet

EBV Definisi Karakteristik, akibat,

mekanisme invasi

Kaitan pada

kasus

Central Dogma Definisi Karakteristik,

mekanisme, fungsi

Kaitan pada

kasus

Nutrigenomik Definisi Mekanisme, akibat,

jenis

Kaitan pada

kasus

Karsinogenesis Definisi Mekanisme, akibat Kaitan pada

kasus

Polimorfisme Definisi Mekanisme, akibat Kaitan pada

kasus

Karsinoma

Nasofaring

Definisi Patofisiologi, akibat,

gejala, faktor resiko

Kaitan pada

kasus

Tumor Definisi Patofisiologi, akibat,

gejala, faktor resiko

Kaitan pada

kasus

PCR-RFLP Definisi Mekanisme, fungsi Kaitan pada

kasus

Pemeriksaan

Serologi

Definisi Mekanisme, fungsi,

jenis

Kaitan pada

kasus

3

VII. SINTESIS

KERANGKA KONSEP

Tn. Aam Syaroni

Faktor genetik (Sunda)

Faktor lingkungan

Terbiasa makan terasi, ikan asin

dan produk awetan

Terinfeksi EBVPolymorphism

gen TCR βInsersi RNA virus ke

DNA sel normal

Gen laten diekspresiPerubahan kodon

Perubahan produksi

asam amino

EBNA1 LMP1 dan LMP2

Pertahanan EBV ↑ Produksi

BCl2 (antiapopt

osis) ↑

Inaktivasi p53

Produksi protein

penghambat pembelahan

sel

Polymorphism gen CYP2E1

Potensi onkogenik

Poor metabolizer

Nitrosamin dalam tubuh

Virus capsid antigen dan

early antigen dalam serum

Titer antibodi ↑

Sel abnormal immortal bereplikasi

terus

Kanker

3

Learning Issues

Anatomi dan Histologi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang terletak di

belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu disebut “rongga buntu

atau rongga tersembunyi”. Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares

posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah belakang adalah

jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus faring dan palatum

mole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.

Gambar 2.1 Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping

Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang

3

Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah:

1. Adenoid atau Tonsila Lushka

Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada orang dewasa

struktur ini telah mengalami regresi.

2. Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring

Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma nasofaring

atau angiofibroma nasofaring.

3. Torus Tubarius

Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium tuba)

4. Fosa Rosenmulleri

Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius. Lekuk kecil

ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut sulkus salfingo-faring. Fossa

Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid

menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya

keganasan nasofaring.

Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-macam, yaitu

epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel kolumnar berlapis bersilia,

dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato

berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi

epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan tajam dan

jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring

itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di

bawahnya.

Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi

keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat lain di

nasofaring. Moch. Zaman mengemukakan bahwa keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada:

1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.

2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.

3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring dan

palatum molle.

EBV

3

EBV merupakan virus dsDNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam

famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma

Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan KNF. KNF tidak berdiferensiasi atau WHO tipe III

100% terkait dengan EBV.Hal ini didukung oleh temuan bahwa reseptor EBV terdapat pada sel

epitel di faring, dan bahwa virus mampu menginfeksi sel epitel nasofaring in vivo. KNFadalah

penyakit yang konsisten dengan infeksi EBV sehingga eksistensi DNA-EBV di dalam cairan

tubuh dapat dipakai sebagai penanda status patologi KNF dan/atau progresivitas tumor.

Terdapat dua fase infeksi EBV yaitu litik dan laten. EBV menginfeksi sel epitel di

orofaring dan rest sel limfosit B. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik menghasilkan

replikasi virus dan pelepasan virion dari sel. Sebaliknya infeksi primer sel B biasanya

menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi 8 protein tanpa produksi virion. Latensi dari sel B

terinfeksi ini dinamakan sel limfoblastoid yang bertransformasi atau immortal dan bereplikasi

tanpa batas.

Ebstein Barr Virus (EBV) adalah virus Penyebab Kanker Nasofaring

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus dsDNA yang memiliki capsid ichosahedral

termasuk dalam family Herpesviridae, merupakan salah satu penyebab karsinoma nasofaring.

Virus Epstein-Barr virus (EBV).yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan KNF. EBV

merupakan virus utama yang menyebabkan infeksi mononucleosis, dan terutama ditemukan

dalam sel tumor nasofaring tapi tidak meliputi seluruh limfositnya. Kehadiran EBV pada KNF

dibuktikan dengan adanya serum antibodi terhadap Virus Caspid Antigen (VCA) dan Early

Antigen (EA), dimana peningkatan titer antibodi tersebut biasanya hanya terjadi pada KNF dan

tidak pada kanker lainnya serta pada individu normal.

Patogenesis Ebstein Barr Virus (EBV)

Virus Ebstein Barr masuk ke dalam tubuh manusia kemudian bereplikasi dalam sel-sel

epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus ini terjadi pada dua tempat yaitu sel

epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai menginfeksi dengan cara berikatan dengan

komplemen C3d (CD21 atau CR2). Mekanisme masuknya EBV dan terjanya infeksi

kemungkinan dengan cara: 1) melaui hubungan langsung antara sel pada membrane bagian

apical yang dengan limfosit yang sudah terifeksi virus, 2) melalui membrane basolateral, yang

dimediasi oleh adanya interaksi antara integrin β1 atau α5B1 dengan EBV, 3) melalui

penyebaran virus secara langung melalui membrane lateral yang terjadi setelah pertama kali

3

terinfeksi EBV (Tugizov at all cit Hariwiyanto). Infeksi virus pada limfosit B dimungkinkan

karena adanya ikatan antara reseptor membrane glikoprotein gp350/220 pada kapsul EBV

dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B sebagai targetnya. Setelah mengikat reseptor

CD21 pada limfisit B, EBV dalam waktu 1-2 jam akan masuk ke sitoplasma sel penjamu

kemudian terjadi fusi TR (Terminal Repeat), yang menyebabkan epitop berbentuk sirkuler,

partikel-partikel EBV akan terurai dan genom-genom EBV akan masuk ke dalam nucleus, yang

merupakan bentuk EBV infeksi laten, yang ditandai dengan proses aktivasi dan proliferasi sel

yang disebut sebagai pengabadian EBV pada sel limfosit B. Proses ini melibatkan interaksi

beberapa kompleks glikoprotein virus termasuk gH dan gL yang merupakan homolog dari

molekul gp42 dengan MHC kelas II pada limfosit B. 

Pada kondisi normal infeksi EBV dapat terkontrol dan masuk ke fase latent, dimana hanya

sedikit sel B yang terinfeksi. Fase litik dapat terjadi baik di epitel rongga mulut maupun di sel B

yang terletak berdekatan dengan epitel rongga mulut sehingga menyebabkan EBV yang

infeksious banyak terdapat di rongga mulut sehingga dapat menular pada orang lain. Pada

keganasan yang berhubungan dengan EBV, genom EBV genom EBV muncul pada setiap sel

tumor dalam bentuk episom yang latent ( latent episomal) dan genom tersebut akan

mengadakan replikasi selama pembelaha sel. Ekspresi DNA pada EBV yang berbentuk latent

episomal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam mendeteksi funsi virus pada

perkembangan KNF.

Langkah awal infeksi litik EBV ditandai dengan aktivitas protein ZEBRA yang disandi oleh gen

BZLF1 yang terdapat pada sel epitel dan limfosit B. Beberapa produk yang berbeda-beda dari

gen yang mempuyai korelasi dengan tahapan siklus replikasi litik dapat diidentifikasi dan

dikategorikan menjadi: Early Membrane Antigen (EMA), Early Intra- Celulair Atigen (EA),

Viral capcid Antigen (VCA),Late Membrane Antigen (LMA). Pada infeksi latent terjadi

ekspresi dari beberapa protein antara lain: Epstein Barr Nucleus Antigen 2 & 5 (EBNA 2 & 5)

yang dapat diteksi 2-5 jam setelah infeksi, Latent Membrane Protein 1 & 2 (LMP 1&2) yang

dapat diteksi 5-7 jam setelah infeksi.

Infeksi laten yang bersifat diam dan tidak memproduksi partikel-partikel virus yang baru,

dikaitkan salah satunya dengan KNF. Bentuk laten infeksi EBV pada KNF termasuk tipe II

dengan karakteristik terekspresinya protein LMP disamping protein EBER dan EBNA1.

Mekanisme pasti bagaimana EBV dapat menginduksi terjadinya kanker masih belum bisa

3

dipastikan. Akan tetapi penelitian selanjutnya tentang ekspresi dari gen Latent Membrane

Protein (LMP) menunjukkan bisa mengubah sel epitel nasofaring in vitro, dan diperkirakan

bahwa LMP pada sel yang terinfeksi EBV memproteksi sel tersebut dari program kematian sel

atau apoptosis. Sedangkan pada penelitian lainnya ditemukan juga gen LMP ini terdapat pada

65% penderita KNF .

KNF dibagi berdasarkan stadium-stadium yang telah ditetapkan oleh The American Joint

Commission on Cancer (AJCC). Stadium tersebut nantinya dipakai sebagai diagnostik dan

terapi serta prognostik suatu penderita KNF.

Gejala awal KNF tidak khas bahkan lebih banyak mirip dengan gejala rhinitis ataupun sinusitis.

Keluhan penderita baru tampak jelas saat tumor sudah membesar dan sudah berada pada

stadium lanjut, ini disebabkan sulitnya pemeriksaan nasofaring karena letak anatomisnya yang

berada didaerah cekungan yng sulit untuk dijangkau.

Adapun gejala-gejala yang biasa dikeluhkan oleh penderita KNF antara lain adanya benjolan

dileher(76%), gangguan di hidung (73%), gangguan telinga (62%), sakit kepala (35%),

penglihatan ganda (11%), rasa kebas diwajah (8%), penurunan berat badan (7%) dan trismus

(3%). Biasanya tanda klinis yang didapatkan pada penderita KNF saat diagnosa ditegakkan

adalah pembesaran kelenjar getah bening leher (75%) dan kelainan saraf cranial (20%).

Diagnosa pasti suatu KNF diambil melalui biopsi nasofaring yang didukung oleh visualisasi

melalui endoskopi atau pencitraan dengan potongan melintang.

Terapi saat ini terhadap KNF masih berupa radioterapi dan kemoterapi. Sedangkan pembedahan

hanya sedikit berperan didalam penatalaksanaan KNF, dimana hanya terbatas pada diseksi leher

radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase leher setelah radioterapi dan

pada pasien tertentu pembedahan penyelamatan dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring.

Infeksi Laten

3

Infeksi primer sel B biasanya menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi 8 protein tanpa

produksi virion. Pada infeksi laten, hanya sedikit dari hampir 100 gen EBV yang diekspresikan.

Gen-gen laten tersebut yakni 6 EBNA, 2 LMP, 2 Eber, dan transkrip dari BamHI A region dari

genom. Hanya EBNA-1 dan LMP1 yang juga terekspresi pada fase litik. Penelitian selanjutnya

menunjukan bahwa 5 dari gen-gen di atas penting untuk transformasi sel B.

Contoh Protein fase laten infeksi EBV

Protein Dibutuhkan Untuk

Transformasi

Fungsi

EBNA-

1

Ya Maintenance episomal, Upregulasi gen virus

EBNA-

2

Ya Upregulasi gen virus dan seluler

EBNA-

3

A,C ya, B tidak Menghambat aktivitas EBNA-2, upregulasi

gen seluler

EBNA-

LP

Mungkin Augmentasi aktivitas EBNA-2

LMP1 Ya Signaling CD40, c-jun terminase kinase,

upregulasi multiple gen seluler, onkogen

LMP2 Tidak Mencegah reaktivasi EBV dari latensi

Singkatan : EBNA (Epstein–Barr nuclear antigen); EBNA-LP, (Epstein–Barr nuclear antigen leader protein);

LMP, (latent membrane protein).

EBNA-1

EBNA-1 diekspresikan selama infeksi laten dan litik dan selalu terlibat dalam semua infeksi

EBV terkait keganasan. EBNA-1 sangat penting untuk transformasi sel-B oleh infeksi EBV.

EBNA-1 berisi glisin-alanin repeat region yang berperan sebagai cis yang menghambat

degradasi protein jalur ubiquitin-proteosomal. Jalur ini penting dalam proses pembelahan

protein menjadi peptida kecil untuk mempresentasikan molekul MHC (major histocompatibility

complex)kelas I pada T-sel sitotoksik. Kemampuan EBNA-1 untuk menghambat degradasi

inilah yang menjadi dasar pemikiran kemungkinkan sel mengekspresikan protein untuk

menghindari perusakan oleh T-sel sitotoksik terbatas kelas I. Transfer glisin-alanin yang

terulang untuk protein lain memungkinkan protein lain menghindari degradasi di proteosom.

3

EBNA2

EBNA-2 diperlukan untuk transformai sel B oleh EBV. EBNA-2 berperan sebagai upregulator

ekspresi protein virus dan seluler. EBNA-2 juga merangsang ekspresi LMP1 dan LMP2.

EBNA-2 meregulasi ekspresi CD21 (cluster of differentiaton), CD23, c-FGR, dan c-myc. CD21

adalah reseptor dan CD23 akan diekspresikan pada permukaan sel B yang telah bertransformasi

karena EBV. Bentuk terlarut dari CD23 berperan sebagai faktor pertumbuhan pada sel yang

terinfeksi EBV dan CD23 akan berperan sebagai stimulator autokrin pertumbuhan sel, c-FGR

yang merupakan tirosin kinase penting untuk pertumbuhan sel B dandisregulasi c-myc

berhubungan dengan proliferasi sel B yang tidak terkendali.

EBNA-3A,3B,3C

Ada 3 jenis protein EBNA-3 : EBNA-3A, EBNA-3B, dan EBNA-3C yang hadir bersama-sama

dalam genus virus. Protein EBNA-3 meng-upregulasikan ekspresi gen seluler dan virus. EBNA-

3C meningkatkan ekspresi CD21 dan LMP- 1, dan EBNA-3B meregulasi ekspresi CD40 dan

bcl-2( B-cell lymphoma 2)

LMP-1

LMP-1 terekspresi dalam fase laten maupun litik dari sel-B yang terinfeksi. LMP-1 diperlukan

untuk transformasi sel-B yang terinfeksi EBV. LMP-1 berfungsi sebagai onkogen. Pada

percobaan tikus transgenik yang mengekspresikan LMP-1 dalam sel-B berkembang menjadi

limfoma sel-B. Tikus transgenik yang mengekspresikan LMP-1 di kulit berkembang menjadi

hiperplasi epitel dengan meningkatnya ekspresi dari keratin. LMP-1 merupakan analog

fungsional dari CD40 yang merupakan anggota reseptor TNF (tumor necrosisfactor). LMP-1

memiliki efek antiapoptotik pada sel.

LMP-2A, 2B

3

Fungsi LMP-2 yaitu untuk mencegah reaktivasi EBV dari fase laten sel B yang terinfeksi.

Ekspresi LMP-2 pada sel B dari seekor tikus transgenik memberikan kemungkinan bagi sel

untuk hidup dalam keadaan absennya sinyal receptor sel B yang normal. Ekspresi LMP-2 di sel

epitel menyebabkan transformasi sel tersebut

Infeksi Litik

EBV mengkodekan sekitar 90 protein yang diekspresikan selama replikasi pada fase litik.

Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik menghasilkan replikasi virus dan pelepasan

virion dari sel Seperti virus herpes lain protein ini diklasifikasikan menjadi immediate-early,

early, dan late proteins. Immediate- early protein, yang ditranskripsikan segera paska infeksi

dengan adanya penghambat sintesis protein. Early protein diekspresikan dengan adanya

penghambat sintesis DNA virus, sedangkan late protein tidak ditranskripsikan. Secara umum

gen Immediate-early penting untuk mengatur ekspresi gen dalam virus, Early protein

mengkodekan enzim yang penting untuk replikasi DNA virus, dan late protein mengkodekan

protein structural dari virion.

Contoh Protein Fase Litik pada Infeksi EBV

Protein Kelas

Ekspresi

Fungsi

BZLF1 IE Transkripsional aktivator

BRLF1 IE Transkripsional aktivator

BALF5 E DNA polymerase

BXLF1 E Thymidine kinase

BCLF1 L Viral capsid antigen

gp350 L Glikoprotein mayor virus

gp85 L Fusi virus ke limfosit B

gp42 L Terikat pada molekul MHC kelas II limfosit B

Diagnosa penyakit

Diagnosis tidak hanya berdasarkan gejala-gejala yang dialami, namun juga dengan

pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan darah memperkuat diagnosis bila ditemukan antibodi

3

terhadap virus EB. Tubuh juga biasanya menghasilkan limfosit B baru untuk menggantikan

limfosit yang terinfeksi dengan bentuk limfosit yang khas.

Pengobatan

Belum ada vaksin virus EB yang tersedia.

Acylovir dapat diberikan selama masa pengobatan, namun hanya mengurangi jumlah

pelepasan virus EB dari orofaring, tidak mempengaruhi pengekalan sel-sel B oleh virus EB,

tidak berefek pada gejala mononucleosis, dan tidak terbukti menguntungkan dalam

penatalaksanaan limfosa yang disebabkan oleh virus EB.

Untuk demam dan nyeri, diberikan asetaminofen atau aspirin. Tetapi pemakaian aspirin

dihindari untuk pasien anak-anak. Kebanyakan penderita akan sembuh sempuran. Lamanya

penyakit bervariasi. Fase akut berlangsung 2 minggu. Tetapi kelemahan bisa menetap sampai

beberapa minggu, bahkan lebih. Penyakit akibat virus EB ini bisa sampai pada kematian, bila

telah terjadi komplikasi, seperti peradangan, pecahnya limfa atau penyumbatansaluran

pernafasan.

Central Dogma

3

Yang dimaksud disini adalah Dogma central semua informasi yang terkandung dalam

DNA, kemudian akan digunakan untuk menghasilkan molekul RNA melalui transkripsi, dan

beberapa informasi pada RNA tersebut akan digunakan untuk menghasilkan protein melalui

proses yang disebut translasi.

Berikut adalah mekanisme prosesnya:

Sebenarnya dalam proses dogma central, ada beberapa referensi yang mencakup replikasi

DNA, dan ada yang tidak. Karena ada yang mengartikan dogma central adalah proses ekspresi

gen dari DNA –> RNA –> protein. Ada pula yang menyebutkan sebelum ekspresi gen

berlangsung, DNA harus dilipat gandakan  dulu.

■Replikasi

Proses replikasi DNA adalah proses pengandaan DNA dimana proses ini diperlukan dalam

pembelahan sel. Sebelum proses ekspresi gen, biasanya DNA dilipatgandakan menjadi lebih

banyak. Proses replikasi DNA pada dasarnya adalah 1 double stranded DNA dicopy menjadi 2

buah, dari 2 buah akan dicopy menjadi 4 buah. Jadi berawal dari denaturasi DNA yang akan

membuka pilinan dari double stranded menjadi single stranded. Kemudian dengan bantuan

sebuah enzim yang disebut DNA polimerase, DNA akan terikat DNA polimerase kemudian

copy DNA terjadi. Melalui prinsip replikasi DNA ini lah PCR (Polymerase Chain Reaction)

dilakukan.

Replikasi DNA semi-konservatif

Replikasi DNA bersifat semi-koservatif, artinya satu molekul DNA untai ganda

bereplikasi untuk menghasilkan dua molekul DNA baru yang identik. Masing-masing molekul

DNA baru itu terdiri dari satu rantai DNA lama dan satu rantai DNA baru (Gambar 4.2). Pada

replikasi DNA, mula-mula kedua untai DNA terpisah, kemudian masing-masing untai berfungsi

sebagai templat untuk sintesis untai DNA yang baru, sehingga proses replikasi menghasilkan

dua molekul DNA baru, masing-masing memiliki satu rantai lama dan satu rantai baru.

3

Di dalam rantai DNA, titik awal dimulainya replikasi DNA disebut sebagai ori (‘origin

of replication”). Pada bakteri Escherichia coli, replikasi dimulai dari oriC, suatu urutan DNA

spesifik yang terikat pada membran sel bakteri. Replikasi DNA berlangsung ke dua arah.

Helikase merupakan enzim yang memisahkan kedua untai DNA pada proses replikasi DNA in

vitro. Dalam molekul DNA rantai panjang, replikasi terjadi pada potongan-potongan rantai

pendek dan kedua rantai DNA induk terpisah hanya pada titik awal replikasi membentuk

molekul seperti huruf Y yang biasa disebut ’fork’ replikasi. Rantai DNA baru tumbuh dalam

arah 5’→3’ dengan penambahan molekul deoksiribonukleotida pada gugus 3’-OH. Reaksi ini

dikatalisis oleh enzim DNA polimerase. Karena kedua rantai DNA adalah antiparalel, rantai

yang berperan sebagai templat dibaca dari ujung 3’ kearah 5’. Jika sintesis selalu berlangsung

dengan arah 5’→3’ bagaimana kedua rantai bisa disintesis secara serentak? Jika kedua rantai

disintesis secara kontinu selama fork replikasi bergerak, salah satu rantai akan mengalami

sintesis dengan arah 3’→5’. Masalah ini dijelaskan oleh Reiji Okazaki pada tahun 1960.

Okazaki menemukan bahwa satu rantai DNA baru disintesis dalam bentuk potongan-potongan

pendek yang disebut ”fragmen Okazaki”. Jadi satu rantai DNA baru disintesis secara kontinu,

dan rantai lain secara diskontinu. Rantai yang disintesis secara kontinu atau ’leading strand’

adalah rantai yang sintesis 5’→3’nya berlangsung dengan arah yang sama dengan pergerakan

fork replikasi, sedang rantai diskontinu atau ’lagging strand’ adalah rantai yang sintesis 5’→3’-

nya berlangsung berlawanan dengan arah pergerakan fork replikasi (Gambar 4.3). Panjang

fragmen Okazaki berkisar antara ratusan sampai ribuan nukleotida, tergantung pada tipe sel.

Fragmen Okazaki kemudian disambungkan oleh enzim DNA ligase.

■Transkripsi

Ini merupakan tahap awal dalam proses sintesis protein yang pada akhirnya proses ini akan

mengekspresi sifat-sifat genetik yang muncul sebagai fenotip. Dan untuk mempelajari biologi

molekuler tahap dasar yang perlu kita ketahui adalah bagaimana mekanisme sintesis protein

dapat dinyatakan sebagai sehingge fenotipe.

3

Transkripsi adalah sintesis molekul RNA dalam template DNA.Proses ini terjadi dalam inti

sel (nukleus) tepatnya pada kromosom.

Komponen yang terlibat dalam proses transkripsi yaitu: DNA template yang terdiri dari basa

nukleotida Adenin (A), Guanin (G), Timin (T), Sitosin (S); enzim polimerase RNA, faktor

transkripsi, prekursor (bahan yang ditambahkan sebagai diinduksi) .

Hasil dari proses sintesis tiga jenis RNA, yaitu mRNA messeger RNA), tRNA (transfer RNA),

rRNA (RNA ribosomal).

Sebelum itu saya akan menjelaskan terlebih dahulu bagian utama dari gen. Gen terdiri atas:

promoter, bagian struktural (terdiri dari gen yang mengkode sifat yang akan diekspresikan), dan

terminator.

Sedangkan struktur RNA polimerase terdiri atas: beta, beta-prime, alpha, sigma. Pada struktur

beta dan beta-prime bertindak sebagai katalisator dalam transkripsi. struktur Sigma untuk

polimerase RNA holoenzim berlangsung hanya menempel promotor.Bagian yang disebut enzim

inti terdiri dari alfa, beta, dan beta-prime.

Tahapan dalam proses transkripsi pada dasarnya terdiri dari 3 tahap:

1. Inisiasi

Transkripsi tidak dimulai di mana saja pada DNA, tapi di hulu (upstream) dari gen

promotor. Salah satu bagian terpenting dari promoter adalah kotak Pribnow (TATA

box). Inisiasi dimulai ketika holoenzim RNA polimerase menempel pada promotor. Tahapan

dimulai dari pembentukan kompleks promoter tertutup, pembentukan kompleks promoter

terbuka, penggabungan beberapa nukleotida awal, dan perubahan konformasi RNA polimerase

karena struktur sigma holoenzim kompleks dihapus.

2. Elongasi

Proses selanjutnya adalah perpanjangan. Berikut ini adalah pemanjangan nukleotida

perpanjangan. Setelah promotor RNA polimerase melekat pada enzim tersebut akan terus

bergerak sepanjang molekul DNA, mengurai dan meluruskan heliks tersebut. Dalam

pemanjangan, nukleotida ditambahkan secara kovalen pada ujung 3 ‘molekul RNA yang baru

dibentuk. Misalnya, DNA template nukleotida A, maka nukleotida RNA yang ditambahkan

adalah U, dan seterusnya. Pemanjangan maksimum tingkat molekul transkrip RNA berrkisar

antara 30-60 nukleotida per detik. Pemanjangan kecepatan tidak konstan.

3. Terminasi

Penghentian juga tidak terjadi di sembarang tempat. Transkripsi berakhir ketika sebuah

nukleotida spesifik melihat kodon STOP.Selain itu, terlepas dari template DNA RNA ribosom.

Ekspresi informasi genetik normalnya melibatkan produksi molekul RNA yang

ditranskripsi dari templat DNA. Rantai DNA dan RNA mungkin kelihatan sama, perbedaan

3

hanya terletak pada posisi 2’ pentosa dan penggantian Tymin menjadi Urasil. RNA merupakan

satu-satunya makromulekul yang berfungsi untuk menyimpan, mentransmisikan informasi

genetik, dan sebagai katalis. Penemuan katalis RNA atau ribozim telah merubah defenisi dari

enzim. Proses sintesis molekul RNA menggunakan DNA sebagai templat disebut transkripsi.

Molekul RNA yang disintesis mempunyai urutan basa yang kompelemen dengan salah satu

rantai DNA. Proses transkripsi menghasilkan tiga jenis molekul RNA, yaitu: mRNA, tRNA dan

rRNA. Messenger RNA (mRNA) merupakan blue print yang mengkode urutan asam amino dari

satu atau lebih polipeptida yang terdapat dalam satu gen atau sekumpulan gen. Transfer RNA

(tRNA) berfungsi membaca informasi yang dikode oleh mRNA dan mentransfer asam amino

tertentu ke rantai polipeptida yang sedang tumbuh selama proses sintesis protein. Molekul

ribosomal RNA (rRNA) merupakan komponen ribosom, yang berfungsi sebagai cetakan tempat

sintesis protein terjadi.

Selama proses replikasi keseluruhan kromosom di-copy, namun transkripsi bersifat

lebih selektif. Hanya gen tertentu atau sekumpulan gen tertentu yang ditranskripsi pada suatu

waktu tertentu, dan beberapa bagian DNA genom tidak pernah ditranskripsi. Sel membatasi

ekspresi informasi genetik untuk membentuk produk gen yang dibutuhkan pada waktu tertentu.

Terdapat urutan regulator spesifik yaitu promotor pada awal gen dan terminator pada akhir gen,

yang menandakan bagian DNA mana yang akan digunakan sebagai templat. Promotor

merupakan urutan pada awal gen yang dikenali oleh RNA polimerase untuk memulai

transkripsi, dan terminator merupakan urutan yang memberikan sinyal penghentian transkripsi.

Rantai DNA yang berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis RNA disebut rantai templat.

Rantai DNA yang komplemen dengan tempat disebut rantai non-templat atau rantai pengkode.

Rantai pengkode atau coding strand identik dengan rantai RNA yang ditranskripsi, kecuali basa

T diganti dengan basa U.

3

■Translasi

Tahap selanjutnya setelah transkripsi adalah terjemahan.Penerjemahan adalah suatu proses

penerjemahan urutan nukleotida molekul mRNA yang ada dalam rangkaian asam amino yang

menyusun suatu polipeptida atau protein.

Apa yang dibutuhkan dalam proses penerjemahan adalah: mRNA, ribosom, tRNA, dan asam

amino.

Sebelumnya, saya pertama akan menjelaskan tentang struktur ribosom. Ribosom terdiri atas

subunit besar dan kecil. Ketika dua subunit digabungkan untuk membentuk sebuah

monosom. subunit kecil berisi peptidil (P), dan Aminoasil (A). Sedangkan subunit besar

mengandung Exit (E), P, dan A. Kedua subunit mengandung satu atau lebih molekul

rRNA. rRNA sangat penting untuk mengidentifikasi bakteri pada tingkat biologi molekuler,

pada prokariotik dan eukariotik 16 S 18 S.

Seperti transkripsi, terjemahan ini juga dibagi menjadi tiga tahap:

1. Inisiasi

Pertama tRNA mengikat asam amino, dan ini menyebabkan acara diaktifkan atau tRNA disebut

asilasi-amino. Amino-asilasi proses dikatalisis oleh enzim tRNA sintetase. Kemudian ribosom

mengalami pemisahan menjadi subunit besar dan kecil.Selanjutnya molekul mRNA subunit

kecil menempel pada tongkat dengan kodon awal: 5 ‘- AGGAGG – 3′. Situs order dimana

subunit kecil disebut urutan Shine-Dalgarno. Subunit kecil dapat menempel pada mRNA bila

IF-3. IF-3/mRNA-fMet IF-2/tRNA-fMet pembentukan kompleks dan asam amino yang disebut

N-formylmethionine dan memerlukan banyak GTP sebagai sumber energi. tRNA-fMet, melekat

pada kodon pembuka P subunit kecil.Selanjutnya, subunit besar menempel pada subunit

kecil. Dalam proses ini IF-1 dan IF-2 dilepas dan GTP dihidrolisis terhadap GDP, dan siap

untuk perpanjangan.

2. Elongasi

3

Perbedaan dalam proses transkripsi, terjemahan dari asam amino diperpanjang. Langkah-

langkah yang diambil dalam proses perpanjangan, yang pertama adalah pengikatan tRNA ke

sisi A pada ribosom. Transportasi akan membentuk ikatan peptida.

3. Terminasi

Terjemahan akan berakhir pada satu waktu dari tiga kodon terminasi (UAA, UGA, UAG) yang

berada dalam posisi A pada mRNA mencapai ribosom. Pada E. coli ketiga sinyal penghentian

proses translasi diakui oleh protein yang disebut faktor rilis (RF).Anil RF pada kodon terminasi

mengaktifkan enzim transferase peptidil yang menghidrolisis ikatan antara polipeptida dng

tRNA pada P dan menyebabkan tRNA kosong translokasi ke sisi memiliki E (exit).

Itulah mekanisme transkripsi dan proses penerjemahan. Proses selanjutnya adalah protein

tersebut akan diekspresikan oleh tubuh kita dalam bentuk fenotipe

Mekanisme Terbentuknya Sel Kanker

Istilah kanker berasal dari bahasa latin yang artinya adalah kepiting. Penyakit keganasan,

kanker, diibaratkan seperti capit-capit lengan kepiting oleh seorang Hippocrates, yang

mengamati bahwa penyakit kanker dapat menyebar didalam tubuh dan biasanya berakhir pada

kematian. Apakah sel kanker itu? Secara umum sel kanker didefinisikan sebagai sel yang tidak

normal, yang tumbuh serta berkembang biak secara cepat dan tidak terkendali.  Sel kanker tidak

perduli dengan keterbatasan zat makanan, ruang dan fakta kalau mereka harus berbagi dengan

sel-sel normal yang ada disekitarnya. Lebih jauh dari itu, mereka mengabaikan perintah untuk

berhenti berbiak oleh tubuh yang bersangkutan. Sel tubuh yang normal juga tumbuh, membelah

diri dan pada saat tertentu mereka akan mati. Akan tetapi pada sel kanker, mereka terus tumbuh,

memperbanyak diri dan berusaha menghindari kematiannya (apoptosis), lebih buruknya lagi

kecepatan pertumbuhan sel kanker jauh melebihi sel-sel yang normal.

Kanker atau Neoplasma ganas terbentuk atau berasal dari sel normal yang mengalami

displasia (kelainan pertumbuhan). Neoplasma itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu:

Neoplasma jinak (benigna)

Yaitu neoplasma yang hanya terjadi di daerah lokal semata. Proliferasi sel cenderung

kohesif, perluasan terjadi secara sentrifugal dengan batas yang nyata. Neoplasma jinak tidak

menyebar ke tempat yang jauh dan pertumbuhannya lamban, ukurannya kurang lebih tetap pada

ukuran yang stabil selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Ciri-ciri :

3

1. batas tegas

2. berkapsul

3. pertumbuhan lambat

4. tidak menimbulkan kematian

Neoplasma ganas (maligna)

Neoplasma ini tumbuh secara cepat dan sangat progresif jika tidak dibuang. Pola

penyebarannya menjadi tidak teratur. Neoplasma ganas tidak memiliki kapsul sehingga sulit

dipisahkan dari sekitarnya. Sel-sel ini menyerang daerah sekitarnya dengan masuk ke daerah

sekitarnya bukan mendesak. Sel-sel neoplasma ganas ini mampu memisahkan diri dari sel induk

dan memasuki sirkulasi untuk menyebar ke daerah lain. Jika sel ini menyangkut suatu jaringan

atau organ mampu menembus pembuluh darah dan membentuk tumor sekunder (proliferasi

baru).

Ciri-ciri :

1. batas tidak tegas

2. tidak berkapsul

3. pertumbuhan cepat

4. metastase

5. menimbulkan kematian

Mekanisme pembentukan neoplasma atau tumor ganas disebut dengan Karsinogenesis.

Karsinogenesis merupakan suatu proses multi-tahap. Sebagian besar karsinogen sebenarnya

tidak reaktif (prokarsinogen atau karsinogen proximate), namun di dalam tubuh diubah menjadi

karsinogen awal (primary) atau menjadi karsinogen akhir (ultimate). SitokromP450 suatu

mono-oksidase dependen retikulum endoplasmik sering mengubah karsinogen proximate

menjadi intermediate defisien elektron yang reaktif (electrophils). Intermediate (zat perantara)

yang reaktif ini dapat berinteraksi dengan pusat-pusat di DNA yang kaya elektron (nucleophilic)

untuk menimbulkan mutasi. Interaksi antara karsinogen akhir dengan DNA semacam ini dalam

suatu sel diduga merupakan tahap awal terjadinya karsinogenesis kimiawi. DNA sel dapat pulih

kembali bila mekanisme perbaikannya normal, namun bila tidak sel yang mengalami perubahan

dapat tumbuh menjadi tumor yang akhirnya nampak secara klinis. Ko-karsinogen (promoter)

sendiri bukan karsinogen. Promoter berperan mempermudah pertumbuhan dan perkembangan

sel tumor dormant atau latent. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya tumor dari fase awal

tergantung pada adanya promoter tersebut dan untuk kebanyakan tumor pada manusia periode

laten berkisar dari 15 sampai 45 tahun. 

3

Proses transformasi sel normal menjadi sel ganas melalui displasi terjadi melalui mekanisme

yang sangat rumit, tetapi secara umum mekanisme karninogenesis ini terjadi melalui tiga tahap

yaitu:

Inisiasi

Adalah proses yang melibatkan mutasi genetik yang menjadi permanen dalam DNA sel. Dipicu

oleh insiator (bahan yg mampu menyebabkan mutasi gen) à initiated cells. Sel-sel masih mirip

dengan sel normal.

Promosi

Merupakan suatu tahap ketika sel mutan berproliferasi. Diakibatkan karena klon yang tidak

stabil dan mengalami inisiasi, dipaksa untuk berproliferasi dan menjalani mutasi tambahan

sehingga akhirnya berkembang menjadi tumaor ganas (neoplasma). Initiated cells dipicu oleh

promotor (terus menerus/berulang) à transformed cells. Perubahan informasi genetik, sintesis

DNA, replikasi meningkat à lesi insitu. Hormon sering menjadi promotor yang merangsang

pertumbuhan sel ganas.Misalnya Esterogen dapat merangsang pertumbuhan kanker pada

payudara dan ovarium. 

Progresi

Sutau tahap ketika klon sel mutan mendapatkan satu atau lebih karakteristik neoplasma ganas

seiring berkembangnya tumor, sel menjadi lebih heterogen akibat mutasi tambahan terhadap

gen. 

Perubahan Protoonkogen menjadi onkogen à onkoprotein

Perubahan fenotip: klinik terdpt benjolan (tumor). Contohnya Perubahan karyotip kromosom.

Beberapa subklon ini dapat memperlihatkan perilaku ganas yang lebih agresif atau lebih mampu

untuk menghindari seranganoleh sistem imun. Selama stadium ini, massa tumor yang meluas

mendapat lebih banyak perubahan yang memungkinkan tumor menginvasi jaringan yang

berdekatan, membentuk pasokan darahnya sendiri(angigenesis), atau masuk melalui pembuluh

darah dan bermigrasi ke bagian tubuh lainnya yang letaknya berjauhan untuk membentuk tumor

sekunder

Pertanyaannya adalah, bagaimana sel kanker ini dapat tumbuh dan berjalan lebih cepat dari

sel normal, yang pada akhirnya mereka akan mencari pembuluh- darah atau -lymph untuk

selanjutnya menyebar ke organ tertentu didalam tubuh (metastasis). Ada tiga tipe gen yang

bertanggung jawab atas proses seperti yang tersebut diatas, yaitu: gen-gen yang jahat

(oncogenes), gen-gen yang baik (tumor suppressor genes) dan gen-gen yang berfungsi

memperbaiki gen lain yang rusak (mismatch-repair genes).

3

Terbentuknya sel kanker dan  kemampuannya untuk ‘berjalan’, metastasis, adalah suatu

proses yang sangat kompleks, yang melibatkan benyak gen didalamnya. Pada perjalanannya,

satu sel kanker harus  melepaskan diri dari kelompoknya (primary tumor) untuk mengadakan

invasi kedaerah sekitarnya, berusaha menembus pembuluh lymph atau secara langsung mencari

pembuluh darah, berjuang melawan proses pertahanan tubuh (hos immune defense), berhenti

diorgan tujuannya dan memulai berkembang biak di lingkungan barunya (secondary tumor).

Metastasis tumor ganas dapat melalui bermacam-macam, yaitu :

1. Infiltratif

Adalah penyebaran ke jaringan sekitarnya, terjadi secara perlahan-lahan, sel-sel kanker

menyebuk ke dalam jaringan sehat sekitarnya atau di dalam ruang antara sel.

2. Limfogen

Yaitu sel-sel kanker masuk ke dalam pembuluh limfe dan merupakan embolus masuk ke dalam

kelenjar getah bening regional dan melekat pada simpainya.

3. Hematogen

Yaitu lewat pembuluh darah. Masuknya sel-sel kanker ke dalam pembuluh darah.

4. Implantasi

Biasanya terjadi di meja operasi, misal : jika alat telah digunakan untuk operasi dan dipakai

untuk operasi lagi tanpa disterilkan terlebih dahulu.

5. Perkontinuitatum

Yaitu kontak langsung, misalnya tumor gaster menjalar ke ovarium.

Dari sekian banyak oncogene yang berperan dalam proses metastasis, Ras-superfamily dari 

small GTP-binding proteins merupakan yang paling banyak dipelajari. Ras-superfamily terdiri

dari 130  members diantaranya Ras, Rho, Arf/Sar 1 dan Rab/Ran-subfamilies. Semua aspek dari

sel berjalan, invasi, termasuk didalamnya polarisasi dari sel,  remodeling cytoskeletal dan

penerimaan signal-signal keganasan dari luar sel dikendalikan oleh Rho-GTPases. Rho-

GTPases  subfamily terdiri dari  monomeric GTP-binding proteins dengan berat molekul

rendah, ~20-30 kilo-Dalton (kDa), yang pada sel fibroblast normal juga sangat dibutuhkan

untuk sel bermigrasi, akan tetapi  over-ekspresi dari protein-protein ini akan merangsang sel-sel

epitel untuk bermigrasi pula. Ada tiga kelas Rho family yang paling banyak dipelajari, RhoA,

Rac1 dan CDC42, yang merupakan central dogma dari icon sel berjalan. Rho sendiri memiliki

tiga isoforms di dalam human genome: RhoA, RhoB dan RhoC, tetapi ketiganya memiliki

fungsi yang berbeda dalam keganasan. RhoA dan RhoC merupakan aktor utama dalam

proliferasi dan transformasi sel menjadi ganas, sementara itu RhoB merupakan tumor

3

suppressor gene yang akan menjadi balance dari kedua-rekannya yang lain.2Rho protein sangat

berperan dalam meregulasi perubahan bentuk sel, polaritas dan pergerakannya melalui

mekanisme kontraksi  actin myosin,  cell adhesion, dan microtubule dynamic. Layaknya seperti

manusia, sel kanker juga memiliki kerangka, otot dan indra peraba, yang kombinasi dari

semuanya akan membuat sel kanker dapat berjalan kearah yang dia inginkan

Hal yang paling nyata dari keterlibatan RhoA dan RhoC dalam membuat sel menjadi ganas

adalah apabila kita mempelajarinya langsung pada pasien dengan kanker ganas. Ekspresi

berlebihan dari RhoA dan RhoC kami temukan pada pasien kanker esophagus stadium lanjut,

dimana keberadaanya berhubungan dengan parameter klinis seperti: kedalaman  invasi masa

tumor, distant metasta is, invasi ke pembuluh lymph dan pembuluh darah. Disamping itu

pasien-pasien yang positif memiliki ekspresi yang berlebihan dari RhoA ini akan memiliki

prognosis yang jauh lebih buruk.

Sementara itu RhoC diidentifikasikan oleh Merajver group (The University of Michigan

Cance Cente , Ann Arbo , MI, USA) sebagai marker keganasan bagi pasien kanker payudara. 

flamatory breast cancer (IBC) adalah phenotype yang sangat invasive dan memiliki kemampuan

metastasis yang tinggi, Merajver  et al., mendapatkan  bahwa RhoC terekspresi pada lebih dari

90% penderita IBC  dibandingkan yang non-IBC.

Uniknya dari kedua Rho protein ini, RhoA dan RhoC, tidak didapatkan kerusakan gen

(mutation) didalamnya. Ekspresi yang berlebihan dari Rho-family disebabkan karena regulasi

yang salah di Rho-regulatory proteinnya (yang perlu ATP untuk aktifitasnya).Secara

biomolekular, kedua jenis Rho protein ini memiliki 94% primary sequence yangidentik (hanya

berbeda  11 asam-amino saja), perbedaan dasarnya hanya terdapat di daerah  C-terminal.

Sedangkan pada daerah  N-terminal,  mengandung banyak asamamino yang mengikat  GTP

bersama dengan  region swi ch-1 dan  witch-2 untuk mengaktifkannya dari status  GDP-bound

menjadi  GTP-bound, dengan kata lain N-terminal adalah daerah yang penting untuk memulai

aktifitasnya.

Nutrigenomik

Nutrigenomik adalah ilmu yang mempelajari hubungan molekuler antara zat makanan

dan respon gen, yang bertujuan supaya dapat meramalkan bagaimana perubahan pada unsur-

unsur tersebut dapat mempengaruhi kesehatan manusia.Nutrigenomik merupakan ilmu

pengetahuan baru, sehingga memiliki beberapa definisi yang berbeda. Nutrigenomik

3

mempunyai fokus pada pengaruh zat gizi terhadap genome, proteome, dan metabolome,

sehingga nutrigenomik dihubungkan dengan gagasan mengenai kebutuhan zat gizi perseorangan

berdasarkan genotipnya.

Kaput dan Raymond L Rogriguez ( 2004), pakar biologi molekuler dan seluler

Universitas California, mengemukakan konsep dasar berkembangnya ilmu ini dilandasi oleh

fakta-fakta yang telah terdokumentasi dan dikenal sebagai 5 prinsip nutrigenomik, yaitu

pertama, zat-zat makanan, baik langsung maupun tak langsung, berpengaruh pada genom

manusia, yang dalam aksinya dapat mengubah ekspresi atau struktur gen. Kedua, pada kondisi

tertentu dan bagi beberapa individu, diet merupakan faktor risiko yang serius sebagai penyebab

munculnya sejumlah penyakit. Ketiga, besarnya pengaruh nutrien pangan dapat menyehatkan

atau menyebabkan sakit tergantung pada susunan genetik masing-masing individu. Keempat,

beberapa gen yang diregulasi oleh diet memainkan peranan dalam inisiasi, insiden, progresi,

dan atau keparahan suatu penyakit kronis. Kelima, konsumsi makanan yang didasarkan pada

pengetahuan akan kebutuhan gizi (nutrisi), status gizi, dan genotipe individu dapat digunakan

untuk mencegah, meredakan, atau menyembuhkan penyakit kronis.

Kaitan ini terlihat dalam pengaruh makanan terhadap alergi dan kegemukan (obesitas). Ada

orang yang memiliki alergi terhadap makanan tertentu dan ada yang tidak. Begitupula ada orang

yang mudah menjadi gemuk atau kurus dan ada pula yang tidak.

Saat ini para ilmuwan sudah menemukan gen-gen yang mempengaruhi obesitas yaitu LEP,

LEPR, PC1, MC4-R, NROB2, dan POMC. Sebuah terapi bisa jadi lebih efektif atau kurang

3

efektif pada seorang pasien obesitas bergantung pada profil genetiknya. Misalnya, terapi leptin

akan efektif pada pasien yang terdapat mutasi pada gen leptin. Nutrigenomik membantu dokter

untuk memilih pengobatan yang bersifat individu berdasarkan pada profil genetik pasien.

Contoh aplikasi lainnya adalah dalam bidang sport nutrition. Berbekal teknologi analisa

genetik, peneliti di bidang sport nutrition dapat mengetahui dengan pasti apa yang terjadi dalam

sel otot saat dan setelah olahraga intesif dan bagaimana performa dan pemulihannya dapat

diperbaiki. Bagian paling penting dalam bidang baru ini adalah pertumbuhan dan kekuatan otot.

Dengan bantuan teknik genetik molekuler, dokter dapat menentukan sumber protein dan

mikronutrien terbaik untuk membantu perkembangan otot.

Terapi Nutrigenomik Berbasis RNA

Pada tahun 2004, dr. Ami Yasko, Ph.D, N.D. seorang molecular biologist telah sukses

besar dalam menerapkan terapi nutrigenomik berbasis RNA untuk mengobati autisme. Dr. Yasko

telah menemukan bahwa toksin dari lingkungan, toksisitas logam berat, infeksi virus kronik,

radang dan defisiensi genetik sebagai penyebab utama autisme. Dia telah berhasil

menyembuhkan banyak anak autism dengan suplemen gizi berbasis RNA sehingga diberi nama

terapi nutrigenomik berbasis RNA.

Tahap-tahap terapi Autisme dr. Yasko meliputi pemetaan genetik untuk menentukan

program nutrisi, program pembersihan usus besar, detoksifikasi logam berat, pembuangan toksin

lingkungan, menghambat inflamasi, dan memanfaatkan dukungan nutrisi berbasis RNA untuk

mengkoreksi mutasi genetik dan memperbaiki tautan genetik yang lemah. Memperbaiki defek

DNA yang spesifik adalah target utama terapi gen tetapi ini tidak dipakai dalam aplikasi klinik.

Lebih masuk akal dan lebih mudah untuk mengkoreksi masalah pada tingkat RNA. Mengkoreksi

seluruh defek DNA tidak praktis secara klinik. Namun, memberikan pengganti nukleotida RNA

spesifik untuk memperbaiki defek cetakan asli DNA dapat dilakukan oleh terapi berbasis RNA

dr. Yasko.

Nutrigenomik yang sekarang sedang berkembang mengubah arah penelitian dan praktik

pengaturan nutrisi. Meskipun ahli nutrisi saat ini sudah dapat memberikan rekomendasi nutrisi

secara personal, namun di masa depan mereka akan menggunakan pengetahuan ini untuk

meningkatkan kualitas rekomendasi nutrisi untuk populasi.

Kajian nutrigenomik memberitahu makanan apa yang kita butuhkan dan makanan apa yang

harus kita hindari, apabila dikaji berdasarkan database gen yang berasosiasi dengan suatu

3

penyakit. Makanan yang kita makan tersusun atas molekul kimia yang mampu menginduksi

ekspresi gen. Komposisi kebutuhan gizi berbasis profil genotip akan memberian pengetahuan

tentang jenis-jenis pangan apa saja yang sesuai untuk dikonsumsi. Pengetahuan ini penting untuk

menjaga kesehatan dan menghindarkan dari potensi penyakit kronis yang mungkin menyerang

sehingga kebutuhan terhadap obat juga dapat dikurangi. Nutrigenomik adalah ilmu yang

mempelajari hubungan antara faktor genetik dengan nutrisi yang memiliki komposisi spesifik dan

yang mampu menginduksi ekspresi gen dalam tubuh. Nutrigenomik merupakan aplikasi genomik

dalam pengembangan teknologi baru, seperti transkriptomik, proteomik, metabolomik, dan

epigenomik berbasis pada analisis fungsi gen dan ekspresinya.

Efek dari variasi genetik ini dipengaruhi oleh lokasi gen tersebut dan ekspresi protein dari

gen tersebut dan berefek terhadap proses matobolisme gen-gen terkait (genes cascade).

Perubahan dalam gen juga memberikan dampak yang berbeda terhadap populasi (ras) yang

berbeda. Susunan DNA tertentu juga memiliki ketahanan terhadap penyakit tertentu. Oleh karena

itu, perkembangan ilmu nutrigenomik merupakan momen yang krusial untuk merevolusi

pemahaman manusia terhadap apa yang dimakannya. Beberapa komponen nutrisi essensial juga

dapat mempengaruhi perubahan aktivitas gen dan kesehatan, seperti karbohidrat, asam amino,

asam lemak, kalsium, zinc, selenium, folate dan Vitamin A, C & E, dan juga komponen bioaktif

non-essesial mempengaruhi secara signifikan terhadap kesehatan.

Karsinogenesis

Kanker terjadi karena ada kerusakan dan transformasi protoonkogen dan supressorgen

sehingga terjadi perubahan dalam cetakan protein dari yang telah diprogramkan semula yang

mengakibatkan timbulnya sel kanker. Karena itu terjadi kekeliruan transkripsi dan translasi gen

sehingga terbentuklah protein abnormal yang terlepas dari kendali normal pengaturan dan

3

koordinasi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Proses karsinogenosis adalah proses bertahap suatu

multisteps proses, sedikitnya ada tiga tahapan yaitu inisiasi, promosi, dan progresi.

a. Inisiasi

Tahap permulaan dimana sel normal berubah menjadi premaligna. Karsinogen

harus merupakan mutagen yaitu zat yang dapat menimbulkan mutasi gen. Pada tahap

inisiasi karsinogen bereaksi dengan DNA menyebabkan amplifikasi gen dan produksi

copy multiple gen. Pada proses inisiasi ini karsinogen yang merupakan inisiator adalah

mutagen, cukup terkena sekali paparan karsinogen, keadaan ini permanen dan

irreversibel, proses ini tidak merubah ekspresi gen.

Fase ini berlangsung cepat. Karsinogen kimia misalnya golongan alkylating

dapat langsung menyerang tempat dalam molekul yang banyak elektronnya, disebut

karsinogen nukleofilik. Karsinogen golongan lain misalnya golongan polycyclic

aromatic hydrocarbon sebelum menyerang dikonversikan (diaktifkan) dulu secara

metabolic (kimiawi) menjadi bentuk defisit elektron yang disebut karsinogen elektrofilik

reaktif. Tempat yang diserang adalah asam nukleat (DNA/ RNA) atau protein dalam sel

terutama di atom nitrogen, oksigen dan sulfur. Air dan glutation juga diserang, dalam

beberapa kasus reaksi ini di-katalisasi oleh enzim seperti glutathione-S-transferase.

Ikatan karsinogen dengan DNA menghasilkan lesi di materi genetik. RNA yang berikatan

dengan karsinogen bermodifikasi menjadi DNA yang dimutasi. Karsinogen kimia yang

berikatan dengan DNA disebut genotoksik dan yang tidak berikatan dengan DNA disebut

epigenetik. Karsinogen genotoksik dapat juga mempunyai efek epigenetik.

Kokarsinogen dan promotor termasuk dalam karsinogen epigenetik yang menyebabkan

kerusakan jaringan kronis, perubahan system imun tubuh, perubahan hormon atau

berikatan dengan protein yang represif terhadap gen tertentu. Jadi karsinogen epigenetik

dapat mengubah kondisi lingkungan sehingga fungsi sebuah gen berubah, bukan

strukturnya. Waktu yang dibutuhkan dari pertama kali sel diserang karsinogen sampai

terbentuk lesi di materi genetik adalah beberapa menit. Sel berusaha mengoreksi lesi ini

dengan detoksifikasi kemudian diekskresi atau dapat terjadi kematian sel atau terjadi

reparasi DNA yang rusak tersebut oleh enzim sel menjadi sel normal kembali.

Karsinogen kimia dapat didetoksifikasi/ dinon-aktifkan kemudian diekskresi atau dapat

langsung diekskresi. Tetapi dari proses pengnon-aktifan ini dapat terbentuk metabolit

yang karsinogenik. Sebelum terjadi reparasi DNA dapat terjadi DNA yaitu satu siklus

proliferasi sel yang menyebabkan lesi DNA tersebut menjadi permanen disebut fiksasi

lesi. Waktu yang dibutuhkan dari pertama kali sel diserang karsinogen sampai terjadi

3

fiksasi lesi (terbentuk sel terinisiasi) adalah beberapa hari (1-2 hari). Replikasi DNA

terjadi karena terdapatnya sel nekrotik sebagai akibat karsinogen. Replikasi ini dapat

diinduksi oleh lain bahan kimia toksik, bakteri (misalnya colitis ulcerativa menjadi

kanker kolon, bronkitis kronis menjadi kanker paru pada perokok), virus, parasit

(schistosomiasis di Afrika menjadi kanker kandung kemih), defisiensi diet tertentu,

hormon dan prosedur percobaan seperti hepatektomi parsial. Pada jaringan yang

mengalami peradangan atau sedang berproliferasi (misalnya luka yang menyembuh)

atau jaringan yang berproliferasi terus menerus (misalnya sumsum tulang, epitel saluran

pencernaan) tanpa terangsang dari luarpun dapat terjadi replikasi DNA. Pada peradangan

belum diketahui apakah terjadi akibat peradangan membantu pertumbuhan sel atau

melemahnya daya tahan tubuh. Sel terinisiasi dapat mengalami kematia , bila tidak,

maka sel dapat masuk ke fase promosi. Pada akhir fase inisiasi belum terlihat perubahan

histologis dan biokimiawi hanya terlihat nekrosis sel dengan meningkatnya proliferasi

sel.

b. Promosi

Promotor adalah zat non mutagen tetapi dapat menaikkan reaksi karsinogen dan

dapat menimbulkan amplifikasi gen. Suatu promotor yang terkenal adalah esterphorbol

yang terdiri dari TPA (Tetradeconyl pharbol acetat) dan RPA (12-Retinoyl Phorbol

Acetat) yang terdapat dalam minyak kroton. Sifat-sifat promotor mengikuti kerja

inisiator, perlu paparan berkali-kali, keadaan dapat reversibel, dapat mengubah ekspresi

gen seperti hiperplasi, induksi enzym, induksi diferensiasi.

Sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak dihidupkan oleh zat yang disebut

promotor. Promotor sendiri tidak dapat menginduksi perubahan kearah neoplasma

sebelum bekerja pada sel terinisiasi, hal ini telah dibuktikan pada percobaan binatang.

Bila promoter ditambahkan pada sel terinisiasi dalam kultur jaringan, sel ini akan

berproliferasi. Jadi promotor adalah zat proliferatif. Promosi adalah proses yang

menyebabkan sel terinisiasi berkembang menjadi sel preneoplasma oleh stimulus zat lain

(promotor). Pada percobaan binatang dibuktikan terdapat karsinogen kimia yang bekerja

sendiri sebagai inisiator dan promotor disebut karsinogen komplit. Dari penyelidikan

pada kultur jaringan diketahui fase ini berlangsung bertahun-tahun (10 tahun atau lebih)

dan reversibel sebelum terbentuknya sel tumor yang otonom. Alkohol adalah promotor

untuk kanker orofarings, larings, esofagus dan hati. Alkohol sebagai promotor pada

sirosis hepatis atau kerusakan hati lain dapat menimbulkan kanker hati. Promotor lain

yaitu DES (diethylstilbestrol) adalah estrogen sintetis nonsteroid yang pernah dipakai

3

untuk terapi osteoporosis, pada tahun 1950 menimbulkan epidemi kankerendometrium.

DES dosis tinggi pernah digunakan untuk terapi abortus pada tahun 1940-50

menimbulkan kanker vagina dan serviks pada anak wanita penderita. Suplemen estrogen

untuk terapi gejala menopause yang digunakan luas pada tahun 1960 an sampai

pertengahan tahun 1970 menimbulkan epidemic kanker endometrium. Penyelidikan

epidemiologi menunjukkan penurunan insidens kanker ini ke tingkat semula sesuai

dengan penurunan penggunaannya. Terapi estrogen masih digunakan pada umumnya

dengan periode lebih pendek sehingga timbulnya kanker endometrium banyak ber-

kurang. Terapi estrogen juga terbukti meningkatkan risiko terkena kanker payudara

tetapi tidak sejelas kanker endometrium. Terapi estrogen meningkatkan penyakit

kandung empedu yang merupakan risiko kanker kandung empedu.

Penyelidikan untuk risiko kanker ovarium mendapatkan hasil yang berlawanan.

Lemak adalah promotor untuk kanker payu dara, kolon, endometrium, serviks, ovarium,

prostat dan kandung empedu. Pada kanker payu dara, endometrium dan ovarium karena

lemak menaikkan kadar estrogen. Hasil penyelidikan epidemiologis dan percobaan

binatang tidak konsisten mengenai diet yang lebih banyak lemak tidak jenuh gandanya

dari lemak jenuh gandanya dapat menaikkan risiko terkena kanker. Obat imunosupresif

misalnya azathioprine dan prednison pada penerima transplantasi organ adalah promotor

untuk macam-macam kanker terutama kanker sumsum tulang, limfoma, kanker kulit dan

sarkoma Kaposi. Parasit misalnya Clonorchis sinensis adalah promotor untuk

cholangioma dan Schistosoma haematobium di Afrika untuk kanker kandung kemih.

Steroid anabolic yang biasa digunakan atlit adalah promotor untuk hepatoma. Obat

kontraseptif estrogen dosis tinggi tanpa progesteron merupakan promotor untuk

hamartoma (dapat menyebabkan perdarahan fatal), kanker endometrium atau adenoma

hati. Setelah dipakai estrogen dosis rendah dikombinasi dengan progesteron dosis

rendah, risiko kanker menurun. Penyelidikan epidemiologis menunjukkan obat

kontraseptif sekarang tidak menurunkan atau menaikkan risiko terkena kanker payu dara

dan serviks. Terdapat bukti obat kontraseptif dapat mencegah terjadinya kanker ovarium

karena obat ini mencegah ovulasi sebagai efek progesteron (anti estrogen). Teori

kelebihan androgen yang menimbulkan kanker prostat didukung data

epidemiologisbahwa penderita sirosis hepatis dan orang yang dikastrasi sedikit yang

terkena kanker prostat. Pada binatang percobaan testosteron sebagai promotor

menyebabkan kanker prostat. Esterforbol adalah promotor untuk kanker kulit, paru dan

hati. Kurangnya serat dalam makanan antara lain menyebabkan kontak dengan

karsinogen lebih lama, memudahkan seseorang terkena kanker kolon. Dari penyelidikan

3

didapatkan serat dalam makanan mungkin menurunkan insidens kanker kolon dengan

cara mencegah interaksi asam empedu dengan enzim bakteri (flora usus) dalam usus

besar, mencegah pengikatan asam empedu dengan lain bahan kimia yang karsinogenik

dalam feses, mengurangi waktu feses dalam usus besar dan menaikkan jumlah feses

sehingga menurunkan konsentrasi karsinogen dalam usus. Di Inggris ditemukan

hubungan terbalik antara serat pentosa dengan kematian karena kanker kolon tetapi tidak

terdapat hubungan dengan jenis serat lain atau dengankeseluruhan serat. Kurangnya

vitamin (A, C, beta-karoten dan E) dan mikronutrien selenium (Se) dalam makanan

memudahkan seseorang terkena kanker kulit, hati, orofarings, serviks, kandung kemih,

kolon, lambung, esofagus, larings dan paruKemungkinan vitamin-vitamin ini

memproteksi keganasan terutama dalam bentuk kombinasi. Dalam saluran pencernaan

vitamin E dan C dapat menghalangi terbentuknya nitrosamine. Defisiensi selenium

menaikkan efek karsinogenik karsinogen kimia pada tikus besar terutama bila diberi diet

tinggi lemak tidak jenuh ganda. Di Skandinavia Utara ditemukan hubungan defisiensi

zat besi dengan risiko tinggi terkena kanker farings dan esofagus. Insidens kanker

lambung 4-5 kali lebih tinggi di negara yang lebih banyak defisiensi zat besinya

daripada di Amerika Serikat. Pada binatang defisiensi seng mempunyai hubungan

dengan kanker esofagus dan defisiensi seng dapat berinteraksi dengan alkohol

membantu terbentuknya kanker esofagus. Suplemen asam folat mencegah terjadinya

kanker serviks pada wanita yang serviksnya abnormal karena kontraseptif oral.

Konsumsi tinggi kalsium meningkatkan risiko terkena kanker prostat terutama bila

dikonsumsi melebihi 2000 mg/ hari. Kalsium banyak terdapat dalam susu skim dan

rendah lemak. Sakarin adalah promotor untuk kanker kandung kemih pada tikus

terutama bila diberikan selama 2 generasi sedangkan pada manusia belum terbukti

promotor untuk kanker. Penyelidikan epidemiologis menunjukkan risiko terkena kanker

kandung kemih meningkat 60% pada pria tetapi penyelidikan lain gagal memastikan

kenaikan ini. Siklamat adalah promotor untuk kanker kandung kemih pada binatang

percobaan sehingga pada tahun 1969 dilarang peredarannya. Kopi dihubungkan dengan

kanker kandung kemih dan pankreas pada manusia. Percobaan kultur jaringan binatang

menunjukkan kafein dalam kopi menguatkan efek karsinogenik subtansi tertentu.

Sel preneoplasma dapat tumbuh terus pada kultur jaringan sedangkan sel normal

akan berhenti tumbuh. Sel preneoplasma lebih tahan terhadap lingkungan yang tidak

mendukung dan kemampuan kloningnya lebih besar. Kebanyakan sel-sel preneoplasma

beregresi menjadi sel berdiferensiasi normal tetapi sebagian kecil mengalami

3

perkembangan progresif menjadi sel-sel neoplasma yang ireversibel. Pada akhir fase

promosi terdapat gambaran histologis dan biokomiawi yang abnormal.

c. Progresi

Pada progresi ini terjadi aktifasi, mutasi. Pada progresi ini timbul perubahan

benigna menjadi premaligna dan maligna. Dalam proses karsinogenesis ada 3

mekanisme yang terlibat: 1. Onkogen yang dapat menginduksi timbulnya kanker. 2

Anti-Onkogen atau gen supressor yang dapat mencegah timbulnya sel kanker. 3 Gen

modulator yang dapat mempengaruhi penyebaran kanker.

Fase ini berlangsung berbulan-bulan. Pada awal fase ini, sel preneoplasma dalam

stadium metaplasia berkembang progresif menjadi stadium displasia sebelum menjadi

neoplasma. Terjadi ekspansi populasi selsel ini secara spontan dan ireversibel. Sel-sel

menjadi kurang responsif terhadap sistem imunitas tubuh dan regulasi sel. Pada

esophagus epitel berlapis gepeng berubah atau metaplasia menjadi epitel selapis torak

yang kemudian berkembang menjadi jaringan dalam keadaan displasia yang kemudian

berkembang menjadi neoplasma. Pada kolon, polip adalah bentuk metaplasia. Pada

tingkat metaplasia dan permulaan displasia (ringan sampai sedang) masih bisa terjadi

regresi atau remisi yang spontan ke tingkat lebih awal yang frekwensinya makin

menurun dengan bertambahnya progresivitas lesi tersebut. Belum banyak diketahui

perubahan yang terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Batas yang pasti

perubahan lesi preneoplasma menjadi neoplasma sulit ditentukan. Pada akhir fase ini

gambaran histologis dan klinis menunjukkan keganasan. Penyelidikan terakhir

memperlihatkan terjadi aglutinasi pada permukaan sel kanker sehingga sel kanker

tumbuh terus meskipun terjadi kontak antar sel. Permukaan sel kanker mempunyai lebih

sedikit neksus (daerah kontak antar sel). Ini menunjukkan kurangnya metabolisme dan

pertukaran ion-ion antar sel yang juga menyebabkan sel kanker bertambah otonom. Hal

ini lebih nyata pada keadaan displasia yang progresif ke arah neoplasma. Semua

perubahan struktur, metabolik dan kelakuan sel ini terjadi karena mutasi yang mengenai

inti, mitokondria dan membrane endoplasma sel. Kebanyakan sel kanker mensekresi

enzim fibrinolitik yang melarutkan jaringan ikat di sekitarnya dan factor angiogenesis

yang menginduksi pembentukan kapilar darah baru di antara pembuluh darah yang

berdekatan dengan sel kanker untuk nutrisinya. Pada permukaan sel kanker terbentuk

antigen yang menimbulkan respons imun selular dan humoral untuk melawan sel kanker.

Antigen permukaan ini sering ditemukan di jaringan fetus, mempunyai hubungan

3

dengan derajat diferensiasi sel dan kekhasannya dipakai sebagai tambahan pada

diagnostik kanker.

Protoonkogen : Gen pada sel normal yg mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi

sel

Onkogen: Gen yg meningkatkan/memicu pertumbuhan autonom pd sel kanker

Onkoprotein : Protein produk dari onkogen, sama seperti protein yg dihasilkan

protoonkogen kecuali yg kehilangan elemen regulasi normal.

Polimorfisme

Polimorfisme genetik adalah adanya variasi genetik yang menyebabkan perbedaan

aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. Adanya perbedaan  ekspresi

3

genetik antara tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap nasib obat

dalam tubuh. Hal ini dapat kita tinjau terutama dari aspek metabolisme tubuh. Proses

metabolisme terjadi oleh adanya bantuan enzim. Enzim merupakan suatu protein yang

keberadaanya merupakan hasil dari ekspresi genetik (sintesis protein). Kapasitas enzim yang

dihasilkan tiap individu berbeda-beda. Hal inilah yang salah satunya yang memacu terhadap

perbedaan respon yang tubuh terhadap pemakaian obat yang sama.

Pengaruh terjadinya perbedaan variasi genetik dapat dilihat secara rinci dalam gambaran

berikut.

Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa terjadinya perbedaan ekspresi genetik, maupun

keberadaan varian genetik secara langsung dapat mempengaruhi respon yang berbeda-beda

terhadap pemakaian obat.

Dalam biologi, polimorfisme adalah ketika dua atau beberapa fenotip yang berbeda ada

dalam populasi suatu spesies - atau, dalam kata lain, kemunculan lebih dari satu bentuk. Agar

dapat disebut sebagai polimorfisme, bentuk-bentuk tersebut harus berada dalam habitat yang

sama pada waktu yang sama dan tergolong dalam populasi panmiktik (perkawinan acak).

Polimorfisme banyak muncul di alam dan terkait dengan biodiversitas, variasi genetik, serta

adaptasi. Fungsi lazimnya adalah untuk menjaga variasi bentuk dalam populasi yang berdiam di

lingkungan yang bervariasi. Contoh yang paling jelas adalah dimorfisme seksual dalam banyak

organisme. Contoh lain adalah golongan darah manusia.

Sebagai hasil dari proses evolusi, polimorfisme dapat diwariskan dan dimodifikasi oleh

seleksi alam. Dalam polifenisme, gen suatu individu memungkinkan berbagai macam bentuk, dan

lingkungan menentukan bentuk mana yang akan ditunjukkan. Dalam polimorfisme genetik, gen

menentukan bentuk. Semut menunjukkan kedua hal tersebut dalam suatu populasi.

Istilah polimorfisme genetic didefinisikan sebagai “adanya individu-individu dengan sifat

genetic yang berlainan tetapi hidup secara bersamaan dalam populasi, di mana frekuensi masing-

masing selalu tetap dan tidak berubah oleh karena adanya mutasi enetic”. Adanya perbedaan

enetic ini ene menyebabkan perbedaan fenotip (“penampilan”). Salah satunya adalah dalam hal

perbedaan respon seseorang terhadap penggunaan obat. Obat yang sama, dengan dosis yang

sama, ene memberikan efek yang berbeda pada orang yang memiliki enetic yang berbeda.

Sebagai contoh, sudah banyak informasi bahwa pada suatu ras tertentu, sekian persen

populasinya memiliki sifat asetilator lambat, sehingga obat yang mengalami proses asetilasi di

3

dalam tubuh akan lebih lambat prosesnya, dan obat akan berada dalam tubuh lebih lama,

sehingga efeknya meningkat. Informasi serupa dari populasi orang asli Indonesia masih sangat

jarang.

Polimorfisme adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkkan adanya

bentuk yang berbeda dari struktur dasar yang sama. Suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika

alelyang sering ditemukan frekuensinya tidak kurang dari 99% pada lokus yang

bersangkutan.Menurut hukum Hardy-Weinberg dikatakan polimorfisme bila frekuensi alel

polimorfik lebih dari 2%. Contohnya adalah golongan darah A merupakan suatu fenotip yang

mempunyai polimorfik alel IA, IO sehingga pasangan genotipnya adalah IAIA atau

IAIO (Nussbaum et al, 2001).

Polimorfisme suatu gen pada genom manusia disebabkan adanya mutasi pada

basanukleotida tunggal atau single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen tersebut. SNPs

merupakan varian genetic yang paling banyak dijumpai pada individu dalam suatu spesies. Alel

adalah suatu bentuk alternative sekuen DNA tertentu yang berbeda dengan sekuenwild type

(normal) pada suatu lokus gen dalam suatu kromosom. Apabila alel tersebut ditemukan lebih

dari 1% kromosom dalam suatu populasi maka keadaan ini disebut sebagai polimorfisme

genetic. Alel varian yang berlokasi pada ekson dapat menghasilkan varian protein yang berbeda

sehingga mungkin akan menghasilkan perubahan fenotip yang nyata (Nussbaum et al, 2001).

Polimorfisme ini diturunkan menurut hokum Mendel sehingga dapat digunakan untuk

menganalisis keturunan. Mutasi pada suatu gen yang menyandi enzim yangberperan dalam

metabolisme suatu substansi menyebabkan adanya variasi aktivitas enzim yang dapat lebih

tinggi atau lebih rendah atau pula tidak memberikan efek apapun. Dengan demikian individu

dengan potensi peningkatan aktivasi dan rendahnya kemampuan detoksifikasi menjadi lebih

rentan terhadap kanker. Polimorfisme genetic telah membuat populasi manusia terbagi menjadi

dua sub group yang mempunyai kemampuan memetabolisme yang berbeda. Sub group yang

mempunyai kemampuan metabolisme berkurang atau menurun disebut sebagai poor

metabolizer ataufenotip PM dan sub group dengan metabolisme normal yang disebut extensive

metabolizer atau fenotip EM. Polimorfisme pada CYP2E1 yang terlibat dalam kemampuan

menginaktivasi nitrosamin (fenotip PM) akan menyebabkan nitrosamine yang karsinogenik

tidak mampudiubah menjadi produk non toksik sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA

yang berasosiasi dengan timbulnya kanker khususnya KNF. Salah satu teknik yang secara

luas digunakan untuk mendeteksi variasi pada tingkat DNAadalah restriction fragment length

polymorphism (RFLP). Deteksi RFLP dilakukan berdasarkan perbedaan profil pita-pita DNA

suatu produk PCR yang dipotong dengan enzim restriksi endonuklease misalnya yang dapat

memotong DNA dengan sekuen DNA tertentu. Perbedaan panjang DNA ini dapat dilihat dengan

3

elektroforesis pada gel dan divisualisasi dengan sinar UV (Sambrook, 2003). Keunikan alel

CYP2E1 juga berkaitan dengan tingginya resiko KNF di beberapa kelompok etnis Asia

(Hildesheimet al, 1995). Gen yang menyandi enzim CYP2E1 terletak di kromosom 10q24.3-q.

Gen ini terdiri atas 9 ekson dan 8 intron yang regulasinya melibatkan mekanisme transkripsi

dan post transkripsi yang kompleks (Hildesheimet al, 1995). Gen CYP2E1 pada populasi

dijumpai dalam bentuk polimorfik yang bervariasi. Pada manusia gen CYP2E1 dipertahankan

dalam secarafungsional. Beberapa alel polimorfik yang telah diidentifikasi disebabkan adanya

mutasi-mutasi pada regio 5’UTR (substitusi C-1054T dan insersi 96 bp) dan intron. Substitusi

T7668A pada daerah intron 6 gen CYP2E1 yang dapat dideteksi dengan metode Restriction

Fragment Length Polymorphism (RFLP) dengan menggunakan enzim restriks dihubungkan dengan

kepekaan terjadinya KNF pada etnis Cina di Taiwan (Hildesheimet al,1995). Selain itu,

substitusi C-1054T pada 5’UTR (Promoter) gen CYP2E1 yang bersifat homozigot dapat

dideteksi dengan enzim restriksi Rsa (alel c2) juga mempunyai resiko tinggi untuk terkena KNF

(Hildesheimet al, 1995). Penelitian ini hanya membatasi untuk mengidentifikasi polimorfisme

pada situs restriksi saja karena alasan biaya. Uji serologi IgA karakter KNF EBNA1+VCA p-18

pada penderita keluhan kronis.

Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan

predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Keganasan ini termasuk 5 besar bersama

3

kanker mulut rahim, payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak tumor

yang paling banyak ditemukan (Roezin, 2003).

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang mempunyai predisposisi rasial yang

sangat mencolok. Insidennya paling tinggi pada ras Mongoloid terutama pada penduduk di

daerah Cina bagian selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia

penyakit ini ditemukan pertamakali oleh Banker pada tahun 1926, kemudian laporan kasus dalam

jumlah cukup banyak baru setelah tahun 1953. Keganasan ini ditemukan lebih banyak pada laki-

laki dari perempuan dalam perbandingan 2,5:1.

Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur

berbentuk kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial

yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah.

Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker tersebut.

Etiologi

Ada 3 faktor penyebab terjadinya kanker nasofaring, yaitu adanya infeksi Virus Epstein

Barr (EBV), faktor genetik, dan faktor lingkungan yang memungkinkan terjadinya insidens yang

tinggi pada kanker nasofaring di Cina.

a. Virus Epstein Barr (EBV)

Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker

nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi

sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa

penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker

nasofaring.

Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga

dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Virus

tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan

dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi,

adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.

b. Faktor Genetik

Telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring. Penelitian

pertama menemukan adanya perubahan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan

karsinoma nasofaring adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Perubahan

3

genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan

genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik.

Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari

kanker nasofaring.

c. Faktor Lingkungan

Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya kanker

nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan

tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam jumlah yang

besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar. Faktor lain yang diduga

berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu

bakar, asap dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas

antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan. Belakangan ini

penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese herbal medicine atau CHB)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya kanker nasofaring, infeksi

Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang

lama juga mempunyai resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.

Pada kelompok KNF ditemukan penderita laki-laki sebanyak 33 orang (60%) dan

perempuan sebanyak 17 orang (34%). Dalam hal ini laki-laki lebih berpotensi untuk menderita

KNF dua kali lebih besar daripada perempuan. Jumlah penderita KNF terbanyak pada usia 31-40

tahun sebesar 28% diikuti kelompok umur 41-50 tahun sebesar 26%. Lebih dari 80% penderita

KNF terdiagnosis antara usia 30-50 tahun. Rerata usia terdiagnosis adalah 45 tahun di daerah

endemik.

Epidemiologi

Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga

sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,

Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, negara-negara Afrika

Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga

penyebabnya karena memakan makanan yang diawetkan dengan nitrosamin pada musim dingin.

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak

ditemukan di Indonesia, jumlahnya mencapai 60% dari jumlah keseluruhan tumor ganas daerah

3

kepala dan leher. Di semua pusat pendidikan dokter di Indonesia dari tahun ke tahun, karsinoma

nasofaring selalu menempati urutan pertama di bidang THT. Frekuensinya hampir merata di

setiap daerah.

Patofisiologi

Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama

pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi

dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses

apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen penekan tumor (TSGs) yang

menghambat penghentian proses siklus sel.

Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan

Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur

oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami

mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel

secara patologis.

3

Manifestasi Klinis

Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi beberapa

kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher, gejala mata dan

gejala saraf.

1. Gejala Hidung/Nasofaring

Harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:

Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia lebih

dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.

Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika

terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus paranasal.

Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung

(epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung tidak ada

kelainan.

2. Gejala Telinga

Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga terasa penuh

seperti terisi air, berdengung atau gemrebeg (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan pendengaran

yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan tumor atau karsinoma

nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi sumbatan.

3. Gejala Tumor Leher

Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari

karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas tumor

leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di

belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah

bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil,

hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.

4. Gejala Mata

Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara teliti,

penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas yang

dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang letaknya di atas

foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat

memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV, sehingga menyebabkan

kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma

optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami kebutaan.

3

5. Gejala Saraf

Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa gejala

subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau kepala terasa

berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan (disfagia).

Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan yang

berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan

melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai

seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi

tulang tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk.

Klasifikasi

Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan gambaran

histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM menurut

UICC (1992).3,10

T (Tumor Primer)

T0 = Tidak tampak tumor

T1= Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap, dll)

T2= Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam

rongga nasofaring

T3= Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring

T4= Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau

mengenai saraf-saraf otak

Tx= Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)

N0= Tidak ada pembesaran KGB

N1= Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkan

3

N2= Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias digerakkan

N3= Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang sudah

melekat pada jaringan sekitar

M (Metastasis jauh)

M0= Tidak ada metastasis jauh

M1= Terdapat metastasis jauh

Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4 stadium, yaitu:

a. Stadium I : T1 N0 M0

b. Stadium II : T2 N0 M0

c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0

d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1

Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan menjadi 3

tipe menurut WHO. Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop elektron di mana

karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini

mendapat dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.

a. Tipe WHO 1

Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1 mempunyai tipe

pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi baik

sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.

b. Tipe WHO 2

Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2 ini paling

banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian sel berdiferensiasi baik,

sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai karsinoma sel transisional.

c. Tipe WHO 3

3

Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel kanker paling

heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu disebut dengan limfoepitelioma,

karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan variasi spindel.

Gejala Klinis

Gejala kanker nasofaring dikelompokkkan dari gejala telinga, gejala hidung, gejala

neurologik dan pembesaran getah bening leher. Gejala telinga berupa tinitus, rasa penuh sampai

tuli konduktif akibat otitis media serosa atau otitis media serosa kronis, seharusnya merupakan

gejala dini. Akan tetapi sering penderita datang ke dokter yang pertama memeriksa mengabaikan

keluhan ini sehingga baru disadari setelah timbul stadium yang lanjut berupa adanya pembesaran

getah bening leher. Gejala hidung dapat berupa sumbatan, epistaksis ringan dan pilek. Pada

keadaan lanjut kanker masuk ke hidung dan sinus paranasal dengan menimbulkan gejala

sumbatan yang lebih berat. Gejala neurologik terjadi karena infiltrasi tumor ke rongga tengkorak.

Gejala neurologik yang pertama timbul karena infiltrasi tumor ke intrakranial melalui foramen

laserum mengenai saraf otak Ke III, IV, V dan VI yang mempersyarafi otot-otot mata sehingga

terjadi diplopia dan rasa baal di daerah pipi. Pada keadaan lanjut tumor akan masuk ke foramen

jugulare, mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII dengan gejala paresis atau paralisis arkus

faring (kranial IX) , kelumpuhan otot bahu (paralisis kranial XI), sering tersedak (paralisis kranial

XII). Metastase jauh yang sering terjadi adalah ke tulang, paru dan hati dengan gejala khas nyeri

pada daerah tulang yang terkena, batuk-batuk atau gejala gangguan fungsi hati.

Diagnosis

a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan adanya nasofaring, seperti di bawah

ini:

1) Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-lebih jika

tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang angulus mandibula.

2) Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika:

Disertai gejala hidung dan telinga

Disertai gejala mata dan saraf

3) Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkap

Bila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita sudah

mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan perluasan atau metastase tumor induk.

3

b. Pemeriksaan Penunjang

1) CT scan kepala dan leher

Dengan pemeriksaan ini tumor primer yang tersembunyi pun tidak terlalu sulit ditemukan.

2) Pemeriksaan Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr

Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan karenan

spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat berkisar antara 80 hingga 1280 dan terbanyak

pada titer 160.

3) Biopsi

Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan

2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya

(blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke

nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.

Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung

dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama dengan ujung

kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca

laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca tersebut atau dengan

memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa tumor akan terlihat jelas.

Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.

4) Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dapat

dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu pencegahan dan

pengobatan.

2) Pencegahan

Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang dilakukan hanya

berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan timbulnya karsinoma nasofaring

tersebut. Usaha tersebut adalah penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan

menghindari bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya karsinoma

nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.

2) Pengobatan

3

Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi, penggunaan

obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan imunoterapi.

a. Pembedahan

Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal (Diefenbach,

Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak

berkembang, dan hasilnya menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor

metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk membuang kelenjar limfe

permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah retrofaring dan parafaring.

b. Radioterapi

Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya. Radioterapi

dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila sumber sinar jauh dari tumor

dan di luar tubuh penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan tumor dan

dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi diberikan bila ada

perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta belum ada metastase ke

kelenjar limfe leher.

c. Obat-obatan Sitostatika

Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal

umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika

tunggal adalah methotrexat, metomycine C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, dan Cisplastin.

Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan diberikan pada permulaan

seri pemberian radiasi. Obat bisa juga diberikan sebelum dan sesudah penyinaran sebagai

sandwich terapy.

Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta

penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai

antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil),

ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA (Cyclophosphamide,

Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin).

d. Imunoterapi

Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik onkologi,

tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan research dan trial. Untuk karsinoma

nasofaring telah dilakukan penelitian antara lain dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC.

3

e. Obat Antivirus

Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat menghambat pertumbuhan

virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring

anaplastik yang merupakan EBV carrying tumor dengan DNA EBV positif .

Tumor

Tumor secara harfiah berarti “pembengkakan” atau “pengerasan”. Tumor adalah semua

jenis pembesaran atau pengerasan yang terbentuk dari neoplasma, massa jaringan yang

disebabkan oleh perkembangan abnormal sel-sel (neo = “baru”, plasma = “sel”). Pertumbuhan

3

sel-sel neoplasma melebihi dan tidak terkoordinasi dengan jaringan normal di sekitarnya

sehingga membentuk benjolan atau tumor.

Tumor atau neoplasma adalah pertumbuhan yang tidak normal dari jaringan tubuh. Tumor

terjadi ketika sel membelah berlebihan dalam tubuh. Tubuh selalu melakukan pembelahan sel

untuk menggantikan sel-sel yang lama dan sudah mati dengan sel-sel baru. Jika keseimbangan

pembelahan sel terganggu atau berjalan tidak normal maka disitulah tumor bisa terbentuk.

Tumor dikatakan jinak ukurannya di bawah 1-2 cm dan cenderung tidak mengalami

perkembangan dan lokasinya menetap dan tidak menyebar atau merusak jaringan lainnya.

Tapi bila dalam pengamatan ada kecenderungan membesar apalagi bila ukurannya sudah

melebihi 2 cm maka tumor bisa menjadi ganas (tumor ganas) karena bersifat menyebar, merusak

jaringan sekitarnya yang sering disebut kanker.

Penyebab.

Tumor biasanya disebabkan oleh adanya mutasi DNA di dalam sel, akumulasi dari mutasi-

mutasi ini menyebabkan timbulnya tumor. Tumor ini bisa dipicu oleh paparan bahan kimia,

paparan alkohol yang terlalu banyak, racun dari makanan atau lingkungan, paparan sinar

ultraviolet yang berlebihan, faktor genetika virus atau radiasi.

Gejala.

Gejala tumor tergantung dari lokasinya. Misalkan tumor pada paru-paru memiliki gejala

batuk, sesak napas, nyeri dada. Tumor di usus menyebabkan penurunan berat badan, diare,

sembelit, anemia dan ada darah dalam tinja.

3

Tapi kebanyakan tumor juga tidak menimbulkan gejala dan gejalanya baru muncul setelah

penyakitnya masuk stadium lanjut. Tapi gejala tumor yang paling umum adalah sering merasa

panas dingin (demam), mudah lelah, kehilangan nafsu makan, rasa tidak enak di badan, sering

berkeringat saat tidur malam hari, dan berat badan menyusut.

Pengobatan.

Jika tumor tidak membahayakan (tumor jinak) maka biasanya tidak diperlukan operasi dan

dokter tidak melakukan perawatan apa-apa. Tapi jika sudah ada kecenderungan tumbuh

membesar, pengangkatan atau operasi adalah jalan terbaik yang setelah itu dilanjutkan dengan

kemoterapi atau raditerapi untuk mematikan jaringan agar tidak menyebar dan aktif lagi.

Perbedaan Tumor dan Kanker

Tumor dan kanker mungkin diagnosis yang sama sekali tak ingin Anda dengar dari dokter

sebab kedua penyakit ini tak mudah untuk disembuhkan.

Beberapa orang juga akan segera panik ketika dokter memberitahu bahwa ada sejenis tumor

di dalam tubuhnya. Beberapa lainnya menganggap benjolan abnormal yang mereka rasakan

adalah hal biasa dan bukan kanker yang tak perlu mendapat perawatan intensif.

Sebagian orang menganggap tumor tidak ganas namun lainnya menyebutkan tumor bisa

saja ganas. Apa pun itu, yang jelas tumor dan kanker adalah dua hal yang sangat berbeda.

Namun, keduanya bisa saja terkait. Tumor adalah kondisi dimana pertumbuhan sel tidak

normal sehingga membentuk suatu lesi atau dalam banyak kasus, benjolan di tubuh.

Benjolan ini kadang keras dan kadang mengganggu fungsi bagian tubuh di mana tumor

berkembang. Sedangkan kanker merupakan suatu penyakit degeneratif yang terjadi karena

pertumbuhan kelompok sel yang tidak dapat dikontrol.

3

Harus dijelaskan bahwa tidak semua tumor bersifat kanker. Tumor dapat dibagi menjadi

dua yakni tumor jinak dan tumor ganas. Jika Anda atau seseorang menderita tumor jinak maka

tumor ini tidak akan menganggung aktivitas harian dan bisa diangkat melalui proses

operasi.Namun, jika jenis tumor yang berkembang adalah jenis yang ganas, maka bisa saja sel

kanker telah ditemukan pada pertumbuhan tumor tersebut.Ini berarti pertumbuhan primer telah

menjadi pertumbuhan sekunder sehingga beberapa diantaranya dapat menyerang bagian vital

tubuh (Metastatis).

Anda bisa mengetahui bahwa suatu bejolan adalah tumor atau kanker melalui pemeriksaan

biopsi, yakni mengambil contoh jaringan dari tubuh dan lalu melakukan serangkaian tes terhadap

contoh jaringan yang diambil.Jika memiliki tumor sebaiknya langsung menjalani pemeriksaan

biopsi untuk mengetahui apakah perkembangan tumor tersebut jinak atau ganas. Dalam hal

penanganan dan penyembuhan, tumor dan kanker sangat berbeda.

Tumor dapat diatasi dengan melakukan operasi pengangkatan tumor. Sebaliknya, kanker

membutuhkan waktu perawatan yang lama yang meliputi operasi, kemoterapi, terapi radiasi.

PCR-RFLP

Analisis PCR-RFLP pada daerah ITS1-ITS4 menggunakan enzim restriksi MspI sebagai

standar untuk identifikasi isolat klinis. Isolat yang dianalisis digunakan dari 6 spesies

Candidayang telah diketahui jenis spesiesnya. Penggunaan PCR dalam analisis RFLP adalah

untuk membatasi daerah yang polimorfis untuk dipotong menggunakan enzim restriksi. Jika tidak

menggunakan kombinasi PCR maka diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui pita target

hasil pemotongan enzim restriksi pada daerah yang polimorfis yaitu dengan analisis southern blot

menggunakan probe tertentu. Analisis PCR-RFLP menggunakan sepasang primer universal pada

daerah ITS1-ITS4 rDNA dari berbagai strain Candida. Pemilihan daerah ITS1-ITS4 karena

mengandung beberapa daerah yang urutannya lestari, dapat digunakan sebagai alignmen urutan

secara tepat namun daerah tersebut juga mengandung variabilitas urutan yang cukup sehingga

3

urutan non-homolog dapat digunakan sebagai marker spesifik untuk identifikasi spesies

menggunakan PCR-RFLP.

Sebelum memotong hasil produk PCR, maka dilakukan uji restriksi menggunakan

program DNASIS untuk memprediksi produk restriksi dengan enzim restriksi tertentu. Urutan

DNA didaerah ITS1-ITS4 diperoleh dari genbank yang dapat diakses secara umum, kemudian

diprediksi ukuran fragmen jika dipotong menggunakan enzim restriksi tertentu. Analisis ini dapat

membantu dalam pemilihan enzim restriksi yang digunakan.

Pemeriksaan DNA tidak lepa dari PCR/Polymerase Chain Reaction. Proses yang

berlangsung secara in vitro dalam tabung reaksi sebesar 200 µl ini mampu menggandakan atau

mengkopi DNA hingga miliaran kali jumlah semula. Maka dengan berbekal DNA yang

terkandung dalam sampel yang hanya sedikit bisa diperoleh banyak sekali informasi sesuai

kebutuhan kita.

Reaksi PCR meniru reaksi penggandaan atau replikasi DNA yang terjadi dalam makhluk

hidup. Secara sederhana PCR merupakan reaksi penggandaan daerah tertentu dari DNA cetakan

(template) dengan batuan enzim DNA polymerase.

PCR terdiri atas beberapa siklus yang berulang-ulang, biasanya 20 sampai 40 siklus. Pada

setiap siklus DNA polymerase akan menggandakan DNA sebanyak 2 kali.

Komponen PCR

Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase, komponen lain

yang dibutuhkan adalah:

Primer

Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi

sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. PCR hanya mampu

menggandakan DNA pada daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp saja, dan dengan

teknik tertentu bisa sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen

dengan DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang kita

inginkan.

3

dNTP (deoxynucleoside triphosphate)

dNTP atau building blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri atas

4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP.

Buffer

Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar

berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.

Ion Logam

Ion logam bivalen, umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim DNA

polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja.

Ion logam monovalen, kalsium (K+).

Tahapan Reaksi

Setiap siklus reaksi PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu:

Denaturasi

Denaturasi dilakukan dengan pemanasan hingga 96oC selama 30-60 detik. Pada suhu ini

DNA utas ganda akan memisah menjadi utas tunggal.

Annealing

Setelah DNA menjadi utas tunggal, suhu diturukan ke kisaran 40-60oC selama 20-40 detik

untuk memberikan kesempatan bagi primer untuk menempel pada DNA template di tempat yang

komplemen dengan sekuen primer.

Ekstensi/elongasi

Dilakukan dengan menaikkan suhu ke kisaran suhu kerja optimum enzim DNA

polymerase, biasanya 70-72oC. Pada tahap ini DNA polymerase akan memasangkan dNTP yang

sesuai pada pasangannya, jika basa pada template adalah A, maka akan dipasang dNTP, begitu

seterusnya (ingat pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu pula sebaliknya). Enzim akan

3

memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung. Lamanya waktu ekstensi bergantung pada

panjang daerah yang akan diamplifikasi, secara kasarnya adalah 1 menit untuk setiap 1000 bp.

Selain ketiga proses tersebut biasanya PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan berikut:

Pra-denaturasi

Dilakukan selama 1-9 menit di awal reaksi untuk memastikan kesempurnaan denaturasi dan

mengaktifasi DNA Polymerase (jenis hot-start alias baru aktif kalau dipanaskan terlebih dahulu).

Final Elongasi

Biasanya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72oC) selama 5-15 menit untuk

memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna. Proses

ini dilakukan setelah siklus PCR terakhir

PCR dilakukan dengan menggunakan mesin Thermal Cycler yang dapat menaikkan dan

menurunkan suhu dalam waktu cepat sesuai kebutuhan siklus PCR. Pada awalnya orang

menggunakan tiga penangas air (water bath) untuk melakukan denaturasi, annealing dan ekstensi

secara manual, berpindah dari satu suhu ke suhu lainnya menggunakan tangan. Tapi syukurlah

sekarang mesin Thermal Cycler sudah terotomatisasi dan dapat diprogram sesuai kebutuhan.

Aplikasi PCR dibidang klinis

Aplikasi PCR utama dibidang klinis adalah untuk diagnosis, dan kloning. Yang paling

sering dipakai di bidang klinis saat ini adalah untuk diagnosis, yaitu untuk deteksi patogen

infeksius dan identifikasi mutasi pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko penyakit.

            Untuk aplikasi PCR dibidang klinis tersebut, telah dikembangkan berbagai macam

teknis berbasis PCR, antara lain :

1.      RFLP-PCR (restriction fragment lenght polymorphisms)

Pada prinsipnya, teknik ini dimanfaatkan untuk deteksi polimorfisme. Secara umum teknik

ini menggunakan enzim restriksi untuk mengetahui adanya polimorfisme (RFLP), dan produk

hasil digesti tersebut diamplifikasi dengan PCR (RFLP-PCR).

3

Teknik PCR yang mirip dengan teknik diatas AFLP-PCR (amplification fragment lenght

polymorphisme) yang digunakan untuk membedakan isolat atau spesies yang berbeda

berdasarkan daerah enzim restriksi (polimorfisme daerah restriksi)

PCR-RFLP  merupakan teknik analsis  lanjutan dari produk PCR. Teknik PCR

memanfaatkan perbedaan pola pemotongan enzim restriksi atau enzim pemotong yang berbeda

pada tiap-tiap mikroorganisme. Analisis RFLP sering digunakan untukmendeteksi lokasi genetik

dalam kromosom yang menyandikan penyakit yangditurunkan (Orita et al., 1989) ataupun untuk

mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifatekonomis, seperti produksi

dan pertumbuhan.

Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)a merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

memperbanyak segmen DNA secara in vitro (Ausubel, 1995). Segmen DNAtersebut kemudian

dapat diketahui runutan nukleotidanya, salah satunya yaitudengan menggunakan enzim restriksi.

Enzim restriksi dapat memotong DNA secaraspesifik dan terbatas pada situs yang dikenalinya

(Lewin, 1994). Perbedaan polapemotongan DNA dari jenis gen yang sama antara beberapa ternak

disebut Restriction Fragment Length Polymorphism(RFLP).

Pada prinsipnya, RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau menciptakan

sekuen rekognisi baru bagi enzim restriksi. Penyisipan (inersi),penghilangan (delesi), maupun

subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak

lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotogan

DNA (Lewin,1994).

2.      VNTR-PCR (variable number of tandem repeat sequence), dan STR-PCR (short

tandem repeats). Teknik ini sering digunakan untuk tujuan forensi. Dengan menggunakan primer

yang tepat, variasi sekuens pengulangan berurutan yang terdapat pada DNA sampel dapat

diketahui.

3.      Skreening / deteksi mutasi berbasis PCR

Dahulu, skreening/ deteksi mutasi dapat dilakukan dengan PCR konvensional (misalnya

dengan BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning)) untuk mendeteksi mutasi T/A atau T /

A, atau Amplification refractory mutation system (ARMS) untuk mendeteksi point mutation

melalui priming oligonukleotida kompetitif.

4.      PCR kuantitatif

3

Untuk keperluan diagnosis dan penilaian kemajuan tetapi kadang membutuhkan

pemeriksaan yang bersifat kuantitatif. PCR konvensional dapat digunakan untuk mendapatkan

data kuantitatif tersebut dengan menggunakan kompetitor (internal exogenous standard) atau

dengan housekeeping gene (internal endogenous standard). Namun saat ini, penggunaan PCR

konvensional untuk PCR kuantitatif telah digantikan real-time PCR.

Pemeriksaan Serologi

Serologi ialah ilmu yang mempelajari reaksi antigen antibody secara invitro

Untuk dapat menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi:kita harus dapat mengisolasi atau

menemukan kuman penyebabnya. Proses isolasi atau menemukan kuman tersebut memakan

waktu yang cukup lama dan sulit dalam pelaksanaannya. Apabila sebuah kuman masuk kedalam

tubuh kita maka kuman tersebut akan merupakan suatu antigen (benda asing)bagi tubuh kita dan

selanjutnya akan merangsang tubuh kitauntuk membentuk antibody terhadap kuman tersebut.

Dengan dapat ditemukannya antibody tersebut dalam tubuh kita, mka hal ini akan membantu kita

dalam menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi. Proses untuk menemukan atau mendeteksi

adanya antigen dan antibody tersebut yang selanjutnya kita kenal dengan pemeriksaan serologi.

3

Beberapa contoh pemeriksaan serologi adalah: Widal, VDRL, Toxoplasmosis, Hepatitis, AIDS,

dsb. Dalam kuliah ini akan dibahas pemeriksaan serologi untuk Widal dan Hepatitis A dan B.

WIDAL

Pemeriksaan widal adlah pemeriksaan serologi untuk memebantu menegakkan diagnosapenyakit

demam typoid. Dalam pemeriksaan ini dipakai suspensikuman Salmonella Typhosa dan

Salmonella Paatyphosa sebagai antigen untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kedua kuman

salmonella tersebut dalam serum penderita. Apabila terjadi pertemuan antara antigen dan

antibodynya yang sejenis, maka akna terjadi proses AGGLUTINASI.

Untuk pemeriksaaan Widal, dipakai antigen O dan antigen H, sedangkan antigen Vi biasanya

dipakai untuk mendeteksi adanya karrier.

Sifat dan cirri khas antigen O adalah:

• Merupakan lapisan luar dari kuman.

• Merupakan suatu lipopolisakharida.

• Bersifat sebagai endotoxin.

• Tahan terhadap pemanasan dan alcohol.

• Tidak tahan terhadap formalin.

Sifat dan diri khas antigen H adalah:

• Terdapat pada flagella/fimbriae.

• Merupakan suatu protein.

• Tahan terhadap formalin.

• Tidak tahan terhadap panas dan alcohol.

Sifat dan cirri khas antigen Vi adalah:

• Terdapat pada kapsul kuman.

• Berperan pada karier.

Pemeriksaan serologi 

Pemeriksaan serologiSerologi merupakan cabang imunologi yang mempelajari reaksi

antigen-antibodi secara invitro.Reaksi serologis dilakukan berdasarkan asumsi bahwa agen

3

infeksius memicu host untuk menghasilkanantibodi spesifik, yang akan bereaksi dengan agen

infeksius tersebut. Reaksi serologis dapat digunakanuntuk mengetahui respon tubuh terhadap

agen infeksius secara kualitatif maupun kuantitatif.Keuntungan melakukan pemeriksaan serologis

untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit antaralain karena reaksi serologis spesifik untuk

suatu agen infeksius, waktu yang diperlukanlebih singkat daripadape,eriksaan kultur/identifikasi

bakteri, dan pengambilan sampel relatif mudah yaitu darah.Beberapa uji serologi

 

Reaksi serologis untuk salmonella TypnosaPemeriksaan serologis yang digunakan untuk

diagnosa penyakit demam typhoid yang disebabkanoleh Salmonella disebut pemeriksaan Widal.

Uji Widal dirancang secara khusus untuk membantudiagnosis demam typhoid dengan cara

mengaglutinasikan basilus typhoid dengan serum penderita. Namun,istilah ini kadang-kadang

diterapkan secara tidak resmi pada uji aglutinasi lain yang menggunakan biakanorganisme yang

dimatikan dengan panas selain Salmonella.

 Pemeriksaan Widal digunakan untuk :

Mengetahui diagnosa thypus abdominalis dan penyakit parathyposa A, B, C, D2.

Mengetahui prognosa penyakit3. 

Mengetahui ada tidaknya aglutinin dalam serum penderitaSalmonela mempunyai 3 macam

antigen, yaitu antigen H, O, dan Vi. Dari hasil pemeriksaan Widaldapat diambil kesimpulan

 

Kenaikan titer O menunjukkan masih ada infeksi aktif 2. 

Kenaikan titer H menunjukkan kemungkinan post vaksinasi atau infeksi telah berlalu3. 

Kenaikan titer Vi menunjukkan kemungkinan “karier”

Reaksi serologi untuk treponema : Reaksi serologi untuk treponema dilakukan dalam

menegakkan diagnosa penyakit sifilis. Sifilisadalah suatu penyakit yang ditularkan melalui

hubungan seksual, disebabkan oleh TreponemaPallidum.Infeksi treponema pallidum dalam

tubuh akan menimbulkan dua macam antibodi, yaitu1.

 

Antibodi non treponema (reagin)2.

3

Antibodi treponemaPemeriksaan serologi untuk treponema dibagi menjadi dua jenis yaitu1.

Non treponemal antigen test

reaksi flokulasi : Kahn, VDRL, Murata, Kline, Mazzini, Hintonpartikel antigen yang

berupa lipid akan mengalami flokulasi setelah dikocokdengan regain.

reaksi fiksasi komponen : Wasserman, Kolmerserum yang mengandung reagin dapat

mengikat komplemen jika ada cardiolipin sebagaiantigen.Oleh karena antigen yang digunakan

bukan antigen spesifik maka dapat terjadi BFPR (BiologicalFalse Positive Reaction). Penyakit

lain yang dapat menimbulkan BFPR pada test ini antara lainadalah malaria, lepra, relapsing fever,

lupus eritematosus, leptospirosis, rhemathoid arthritis.2.

Treponemal antigen test- reaksi aglutinasi : TPHA ( Treponema Pallidum Haem

Aglutination)- reaksi fiksasi komplemen : TPCF ( Treponema Pallidum Complement Fixation)-

imobilisasi : TPI (Treponema Pallidum Immobolization)- imunofluoresen : FTA ( Flouresan

Treponema Antibody)

VII. KESIMPULAN

Tn. Aam Syaroni, 42 tahun seorang WNI asli Sunda mengidap karsinoma nasofaring

akaibat terjadinya polimorfisme yang dipengaruhi oleh genetik dan didukung oleh faktor

kebiasaan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung nitrosamin serta infeksi virus

EBV yang menyebabkan gen laten diekspresi sehingga sel abnormal immortal terus

bereplikasi yang menyebabkan kanker.

3

Daftar Pustaka

Guyton, Arthur C. ; Hall, John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Jakarta : EGC.

Ward, Jeremy P. T. ; Clarke, Robert W. 2007. At a Glance Fisiologi. Jakarta : Erlangga.

Astrand PO Rodahl K. 1986. Texbook of Work Physiology, Physiological Basis of

Exercise. Third Edition. USA: Lea and McGraw Hill Book Company.

3

Snell, Richard S. 2006.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC

Alberts, B. Johnson, A. Lewis. 2002. Molecular Biology of The Cell, 4th ed. New York:

Garland Science.

Glick, B.R., Pasternak, J.J. 2003. Molecular Biotechnology, Principles and Application of

Recombinant DNA, 3rd ed. Washington DC: ASM Press.

Smith, J.E. 1996. Biotechnology 3rd ed. Cambridge University Press.

Alberts , Johnson, Lewis ,Raff , Roberts , Walter. 2008. Molecular Biology of the Cell Fifth

Edition. New York: Garland Science.

Hariwiyanto B. 2009. Peran protein EBNA1, EBNA2, LMP1 dan LMP2 Virus Ebtein Barr

sebagai factor prognosis pada pengobatan Karsinoma Nasofaring. Program Doktor Ilmu

Kedokteran dan Kesahatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Murpy K, Travers P, Walport M, Janeway’s. 2008. Immunobiology, ED.VII. New York :

Garland Science.

http://eprints.undip.ac.id/37559/1/Irwan_N-G2A008099-LAPORAN_KTI.pdf

Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa

Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.

Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan

pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999

Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001

R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997

3

Eugene B. Kern. Et al. 1993. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, EGC, Jakarta. pp;371-

373

Kurniawan A. N., 1994. Nasopharynx dan Pharynx dalam Kumpulan kuliah Patologi,

FKUI, 1994,Jakarta.pp;151-152

Pelczar and Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.

Budiani, Dyah Ratna. 2012. Petunjuk Praktikum ELISA. Surakarta: Laboratorium

Biomedik FakultasKedokteran Universitas Sebelas Maret.

Maryani, dkk. 2011.Buku Praktikum Serologi. Surakarta: Laboratorium Mikrobiologi

FakultasKedokteran Universitas Sebelas Maret.

Lequin, RM (2005). "Enzyme Immunoassay (EIA)/Enzyme-Linked Immunosorbent

Assay(ELISA)". 

Hammond EC. The epidemiological approach to the etiology of cancer. In: Kruse LC,

Reese JL, Hart LK, editors. Cancer pathophysiology, etiology and management. 4th ed. St

Louis: The C.V. Mosby Co.; 1975. p. 45-6.

Chyou PH. A prospective study of the attributable risk of cancer due to

cigarettesmoking. Am J Publ Health 1992;82 : 37-9.

Rauth AM. Radiation carcinogenesis. In: Tannock JF, Hill RP, editors. The basic

science of oncology. 2nd ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc.; 1992. p. 119-34.

Archer MC. Chemical carcinogenesis. In: Tannock JF, Hill RP, editors. The basic

science of oncology. 2nd ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc.;1992. p. 102-17.