laporan sken 1 kd

37
BAB I PENDAHULUAN Nyeri Tenggorokan, Pingsan? Seorang laki-laki umur 20 tahun datang ke praktek dokter umum, dengan keluhan nyeri tenggorokan sejak 5 hari yang lalu, didiagnosa radang tenggorokan akut, mendapat terapi antibiotika injeksi, golongan penicilin yang dilakukan oleh perawat atas perintah dokter yang memeriksa. 10 menit kemudian penderita mengeluh mual, kemudian muntah, sesak nafas, keringat dingin, kemudian jatuh pingsan. Dari pemeriksaaan sementara didapatkan : Kesadaran spoor, sesak nafas, RR: 32-36 x / menit, cepat dan dangkal, suara nafas ngorok, tekanan darah 60 mmHg palpasi, nadi 140 x / menit. Dokter segera melakukan tindakan resusitasi dan merujuk pasien ke UGD. A. Rumusan Masalah 1. Mengapa setelah pemberian penicilin bisa muncul gejala pada skenario? 2. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario? 3. Bagaimanakah farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi, kontraindikasi, efek samping dari penicilin?

Upload: fitria-marizka

Post on 25-Jul-2015

264 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Sken 1 Kd

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri Tenggorokan, Pingsan?

Seorang laki-laki umur 20 tahun datang ke praktek dokter umum, dengan

keluhan nyeri tenggorokan sejak 5 hari yang lalu, didiagnosa radang

tenggorokan akut, mendapat terapi antibiotika injeksi, golongan penicilin

yang dilakukan oleh perawat atas perintah dokter yang memeriksa. 10 menit

kemudian penderita mengeluh mual, kemudian muntah, sesak nafas, keringat

dingin, kemudian jatuh pingsan. Dari pemeriksaaan sementara didapatkan :

Kesadaran spoor, sesak nafas, RR: 32-36 x / menit, cepat dan dangkal, suara

nafas ngorok, tekanan darah 60 mmHg palpasi, nadi 140 x / menit. Dokter

segera melakukan tindakan resusitasi dan merujuk pasien ke UGD.

A. Rumusan Masalah

1. Mengapa setelah pemberian penicilin bisa muncul gejala pada

skenario?

2. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario?

3. Bagaimanakah farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,

kontraindikasi, efek samping dari penicilin?

4. Bagaimana etiologi dan patofisiologi gejala klinis?

5. Bagaimana tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang diberikan

kepada pasien di dalam skenario?

6. Apa saja indikasi rujukan ke UGD?

7. Apakah diferensial diagnosis pada kasus dalam skenario?

8. Bagaimana mekanisme, tipe, derajat dari syok anafilatik?

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui hubungan pemberian penicilin dengan gejala pada

skenario.

Page 2: Laporan Sken 1 Kd

2. Untuk mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario.

3. Untuk mengetahui farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,

kontraindikasi, efek samping dari penicilin.

4. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi masing-masing gejala

klinis yang terjadi pada pasien di skenario.

5. Untuk mengetahui tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang tepat

diberikan kepada pasien di dalam skenario.

6. Untuk mengetahui indikasi rujukan ke UGD?

7. Untuk dapat menjelaskan diferensial diagnosis pada kasus

kegawatdaruratan dalam skenario?

8. Untuk mengetahui mekanisme, tipe, dan derajat dari syok anafilatik

Page 3: Laporan Sken 1 Kd

BAB II

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

A. Jump 1: Klarifikasi Istilah

1. Sopor : tidur yang dalam ditandai dengan hilangnya ingatan, orientasi,

dan pertimbangan.

2. Resusitasi : segala usaha medik yang dilakukan pada pasien gawat

darurat untuk mencegah kematian.

3. Tekanan darah 60 mmHg palpasi : pengukuran tekanan darah pada a.

Radialis atau a. Brachialis tanpa menggunakan stetoskop dan hanya

didapati tekanan sistolik.

4. Penicilin : antibiotik golongan beta-laktam dengan kerja menghambat

mukopeptida yang digunakan untuk pembentukan dinding sel.

B. Jump 2: Menetukan dan Mendefinisikan Masalah

1. Mengapa setelah pemberian penicilin bisa muncul gejala pada

skenario?

2. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario?

3. Bagaimanakah farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,

kontraindikasi, efek samping dari penicilin?

4. Bagaimana etiologi dan patofisiologi gejala klinis?

5. Bagaimana tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang diberikan

kepada pasien di dalam skenario?

6. Apa saja indikasi rujukan ke UGD?

7. Apakah diferensial diagnosis pada kasus dalam skenario?

8. Bagaimana mekanisme, tipe, derajat dari syok anafilatik?

Page 4: Laporan Sken 1 Kd

C. Jump 3 : Menganalisis Permasalahan dan Membuat Penyataan

Sementara Mengenai Permasalahan (tersebut dalam langkah 2)

1. Penicilin pada umumnya dapat memicu reaksi alergi (tipe I, II, III, atau

IV) dan terkadang bisa menyebabkan syok anafilatik sehingga

membuat badan menjadi lemah dan lesu.

Penicilin juga dapat menyebabkan sesak nafas, takikardi, mual, dan

muntah.

2. Interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario menunjukkan adanya

tanda-tanda syok anafilatik yang berarti dalam kasus ini masuk

kedalam kegawatdaruratan medik non traumatik.

3. Macam-macam syok:

a. Syok hipovolemik : kehilangan cairan dalam waktu singkat.

b. Syok kardiogenik : gagal pompa jantung, curah jantung kecil,

perfusi jaringan turun.

c. Syok septik : akibat septikemia, terjadi kolaps jantung

kare bakteri gram (-) mengeluarkan endotoksin permeabilitas

kapiler meningkat kapasitas vaskuker meningkat jatuh dalam

keadaan syok.

d. Syok neurogenik : reflek vasovagal berlebih vasodilatasi

menyeluruh perdarahan otak.

e. Syok anafilatik : reaksi imun berlebih karena hiper

sensivitas tipe I; juga terjadi vasodilatasi menyeluruh

hipovolemik relatif; permeabilitas kapiler meningkat udem.

4. Fase syok anafilatik

a. Sensitasi : IgE menempel pada basofil atau mastofit

b. Vasoaktivasi : antigen yang sama masuk berikatan dengan

imunoglobulin memicu keluarnya histamin, sitokin bradikin

(performance mediatos)

c. Vasoreseptor : respon kompleks yang merupakan efek dari

lepasnya mediator- mediator.

Page 5: Laporan Sken 1 Kd

Histamin :permeabilitas meningkat, bronkokonstriksi

Serotonin : permeabilitas meningkat

Bradikinin : konstruksi otot polos

PAF (Platelette Activating Factor) : bronkospasme, aktivasi

dan agregasi trombosit, permeabilitas meningkat.

Prostaglandin dan leukotrien : bronkokonstriksi

5. Tipe syok anafilatik

a. Tipe cepat : reaksi kurang dari 1 jam

b. Tipe moderat : reaksi antara 1-24 jam

c. Tipe lambat : reaksi lebih dari 24 jam

6. Derajat syok anafilatik

a. Ringan : memiliki gejala sensasi hangat, sesak, kongesti hidung,

pembengkakan periorbital, pruritus

b. Sedang : gejala derajat ringan ditambah dengan adanya

bronkospasme, batuk, wajah kemerahan,ansietas, dan gatal-gatal.

c. Berat : terjadi mendadak,terjadi bronkospasme, edema jalan

napas,kontraksi otot polos abdomen, disfagia, muntah, diare,

kejang.

7. Patpfisiologi gejala klinis pada skenario

a. Mediator inflamasi permeabilitas kapiler naik vasodilatasi

venous return menurung volume sekuncup jantung turun

cardiac output menurun tekanan darah turun hipotensi

kompensasi dengan heart rate naik takikardi

b. Sesak napas : hipereaktif bronkus bronkokonstriksi

hipersekresi mukus menyumbat jalan napas

c. Mata merah bengkak : adanya vasodilatasi pembuluh darah di

orbital.

d. Pruritus : adanya vasodilatasi mendesak saraf memicu nyeri

ringan (gatal)

Page 6: Laporan Sken 1 Kd

8. Tindakan awal yang diberikan pada pasien.

a. Posisi tredenburg, kaki lebih tinggi dari kepala

b. Airway : triple manuver chin lift, head tilt, jaw thrust

Breathing : terapi O2, intubasi endotrakeal

Circulation : terapi cairan RL atau NaCl 0,9%, dextrose 5%

c. Drugs of choice :

Adrenalin jika tekanan darah kurang dari 90 mmHg.

Pemberian secara subkutan, IM, ataupun IV

Dosis : 0,3 – 0,5 mg

0,3 – 0,5 ml dalam larutan 1 : 1000

Pada anak 0,01 mg/kgBB

Diulang tiap 5 menit dengan monitoring A,B,C

Ditambah aminofilin jika terjadi bronkospasme, dosis 5

mg/kgBB diencerkan dengan NaCl 0,9% berikan 20 menit

Kortikosteroid, antihistamin

d. Observasi tiap 6 jam

9. Indikasi rujukan ke UGD

a. Penurunan kesadaran

b. Perdarahan hebat

c. Serangan jantung

d. Panas tinggi diatas 39oC

e. Muntaber disertai dehidrasi

f. Sesak napas

g. Keadaan gelisah pada gangguan jiwa

D. Jump 4: Menginventarisasi Permasalahan – Permasalahan pada

Langkah 3

1. Mengapa setelah pemberian penicilin bisa muncul gejala pada

skenario?

2. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario?

Page 7: Laporan Sken 1 Kd

3. Bagaimanakah farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,

kontraindikasi, efek samping dari penicilin?

4. Bagaimana etiologi dan patofisiologi gejala klinis?

5. Bagaimana tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang diberikan

kepada pasien di dalam skenario?

6. Apa saja indikasi rujukan ke UGD?

7. Apakah diferensial diagnosis pada kasus dalam skenario?

8. Bagaimana mekanisme, tipe, derajat dari syok anafilatik?

E. Jump 5: Merumuskan Tujuan Pembelajaran

1. Untuk mengetahui hubungan pemberian penicilin dengan gejala pada

skenario.

2. Untuk mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan pada skenario.

3. Untuk mengetahui farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi,

kontraindikasi, efek samping dari penicilin.

4. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi masing-masing gejala

klinis yang terjadi pada pasien di skenario.

5. Untuk mengetahui tindakan resusitasi dan tindakan definitif yang tepat

diberikan kepada pasien di dalam skenario.

6. Untuk mengetahui indikasi rujukan ke UGD?

7. Untuk dapat menjelaskan diferensial diagnosis pada kasus

kegawatdaruratan dalam skenario?

8. Untuk mengetahui mekanisme, tipe, dan derajat dari syok anafilatik

F. Jump 6 : Mengumpulkan Informasi Baru

Mahasiswa secara aktif dan mandiri mepelajari tujuan pembelajaran

dan pertanyaan yang belum sempat terjawab di pertemuan pertama.

G. Jump 7 : Melaporkan, Membahas, dan Menata Kembali Informasi Baru

yang Diperoleh

Page 8: Laporan Sken 1 Kd

1. Penicilin

Penicilin sama seperti sefalosporin, monobaktam dan karbanepem

memiliki cinicin betalaktam daam strukutur kimianya sehingga

digolongkan sebagai antibiotika betalaktam. Karenanya, semua

antibiotika tersebut bekerja dengan cara yang hampir mirip yaitu

dengan menghambat sintesis mukopeptida yang dibutuhkan dalam

pembentukan dinding sel bakteri. Mekanisme kerja penicilin adalah

sebagai berikut (Yani, 2008):

a. Obat bergabung dengan penicilin binding protein

b. Hambatan sintesis dinding sel bakteri melalui gangguan proses

transpeptidase rantai peptidoglikan

c. Aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.

Farmako kinetik

a. Absorbsi

Peniillin G mudah rusak oleh suasana asam (pH 2), tidak

terlalu dirusak oleh keasaman lambung (pH 4). Sehingga untuk

penicilin G, jika dibandingkan dosis oral dengan dosis IM, maka

untuk dosis oral dibutuhkan 4-5x lipat lebih banyak dibanding

dosis IM. Untuk penicilin tahan asam maka dapat menghasilkan

kadar dalam plasma dengan penyesuaian dosis oral yang tidak

terlalu bervariasi. Adanya makanan dapat menghambat absorbsi

walaupun tidak secara bermakna. Penicilin V termasuk tahan asam,

namun 30% mengalami emecahan dalam saluran pencernaan atas

sehingga tidak sempat diabsorbsi.

b. Distribusi

Penicilin G didistribusikan secara luas dalam tubuh. Kadar

yang memadai dapat mencapai hati, empedu, ginjal, usus, limfe

dan semen, tetapi sukar mencapai CSS. Distribusi fenoksimetil

penicilin, penicilin isosakzolil dan metisillin sama dengan penicilin

Page 9: Laporan Sken 1 Kd

G, hanya saja terdapat perbedaan dalam hal pengikatan oleh

proptein plasma.

c. Biotransformasi

Biotransformasi penicilin umumnya dilakukan oleh

mikroba berdasarkan ada tidaknya enzim penisilinase dan amidase.

Proses biotransformasi hospes tidak terlalu berpengaruh terhadap

penisillin. Diantara semua penicilin, penicilin isosakzolil dan

metisilin tahan terhadap penisilinase, sementara semua jenis

penicilin terpengaruh oleh amidase.

d. Ekskresi

Ekskresi penicilin pada umumnya melalui sekresi tubulus

ginjal yang dapat dihambat oleh probenesid. Beberapa obat lain

juga dapat menghambat sekresi tubulus ginjal sehingga

memperpanjang masa paruh daam plasma. Namun akumulasi

jarang terjadi karena peningkatan biotransformasi oleh hepar.

Efek Samping Obat

Efek samping dapat terjadi melalui semua cara pemberian, dapat

melibatkan berbagai organ secara terpisah maupun bersama-sama dan

dapat muncul dalam bentuk ringan hingga berat. Pemberian secara

parenteral lebih sering muncul.

a. Reaksi Alergi

Merupakan bentuk efek samping yang paling sering

terjadi.sebagian besar terjadi pada pasien yang sebelumnya telah

tersensitisasi oleh penicilli, namun yang belum pernah

tersensitisasi juga dapat mengalami reaksi alergi. Manifestasi

terberat alergi adalah dalam bentuk reaksi anafilaksis.

b. Nefropati penicilin

Nefropati oleh penicilin biasanya karena penicilin G atau

meticillin berupa nefritis interstisium diprkirakan berdasarkan

Page 10: Laporan Sken 1 Kd

reaksi imun terapi yang tidak bergantung pada dosis dan lama

terapi atau efek nefrotoksik penicilin.

c. Anemia hemolitik

Berdasarkan mekanisme reaksi imun dengan zat anti IgM

atau IgG.

d. Gangguan fungsi hati

(Yani, 2008)

Penggunaan Klinik

Penggunaan klinik dari penisilin adalah untuk mengatasi infeksi

baik oleh koman gram positif maupun negatif.

a. kokus gram positif

infeksi pneumokokus (pneumonia, meningitis, endokarditis,

dan lain-lain)

infeksi streptokokus (faringitis, demam reamatik, meningitis,

pneumonia, OMA, mastoiditis, endokarditis)

infeksi Stafilokokus

b. kokus gram negatif

Infeksi meningokokus

Infeksi gonokokus

Sifilis

c. batang gram positif

difteria

klostridia

antraks

listeria

erisipeloid

d. batang gram negatif

salmonella dan shigella

haemophilus influenzae

fusospirochaeta

Page 11: Laporan Sken 1 Kd

pasteurela

Rat-bite fever

(Yani, 2008)

2. Syok Anafilaktik

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang

diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang

ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.

Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang

timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam

sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari

anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya

hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh

darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat

menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus

kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis

secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa

adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama

obstruksi saluran napas (Rehata, 2000).

Mekanisme anafilaksis

a. Fase Sensitisasi

Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai

diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan

basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas

atau saluran makan ditangkap oleh makrofag.

Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada

limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13)

yang menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma

(plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE)

spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada

reseptor permukaan sel mast (mastosit) dan basofil.

Page 12: Laporan Sken 1 Kd

b. Fase Aktivasi

Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen

yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa

granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada

kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.

Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu

terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara

lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif

lain dari granula yang disebut dengan istilah Preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari

membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan

prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah

degranulasi yang disebut Newly formed mediators.

c. Fase Efektor

Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai

efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas

farmakologik pada organ-organ tertentu. Histamin memberikan

efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang

nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi.

Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin

menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet Activating Factor

(PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas

vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor

kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang

dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan

leukotrien.

(Rehata, 2000)

Page 13: Laporan Sken 1 Kd

Derajat Berat Reaksi Anafilaksis

a. Derajat Ringan (hanya kulit dan jaringan submukosa)

Gambaran klinik antara lain: eritema luas, edema periorbita, atau

angioedema.Reaksi ringan dapat dibagi lagi, disertai atau tidak ada

angioedema.

b. Derajat Sedang (keterlibatab pernapasan, kardiovaskuler, atau

gastrointestinal.

Gambaran klinik antara lain: sesak, stridor, mengi, mual, muntah,

pusing, presinkop diaforesis, rasa tertekan di dada atau tenggorok

atau sakit perut.

c. Derajat Berat (hipoksia, hipotensi, atau defisit neurologik)

Sianosis, atau SpO2 < 92% pada tiap tingkat, hipotensi (tekanan

sistolik < 90 mmHg pada dewasa), bingung kolaps, hilang

kesadaran, atau inkontinensia.

(Rengganis, 2012)

Diagnosis

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik

sistematik yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien

terpajan oleh alergen atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul

dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas

atau syok anafilaktik yang mematikan. Tanda-tanda ini harus segera

dikenali agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-

kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal

napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal (Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Page 14: Laporan Sken 1 Kd

Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran

dikelompokkan sebagai berikut (Rengganis., 2012):

Sistem Gejala dan Tanda

Umum

Prodromal

Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada

dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum.

Pernapasan

Hidung

Laring

Lidah

Bronkus

Hidung gatal, bersin, dan tersumbat.

Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor,

edema, spasme.

Edema

Batuk, sesak, mengi, spasme

Kardiovaskuler Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi

sampai syok, aritmia. Kelainan EKG: gelombang

T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark

miokard.

Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang

disertai darah, peristaltik usus meninggi.

Kulit Urtika, angiodema, di bibir, muka, atau

ekstremitas.

Mata Gatal, lakrimasi

Susunan saraf

pusat

Gelisah, kejang

Pasien pada skenario setelah mendapat suntikan penicillin

mengeluh mual, kemudian muntah, sesak nafas, keringat dingin,

kemudian jatuh pingsan. Dari pemeriksaan sementara didapatkan :

kesadaran sopor, sesak nafas, RR : 32-36x/menit, cepat dan dangkal,

suara nafas ngorok, tekanan darah 60 mmHg palpasi, nadi 140x/menit.

Gejala klinis yang dialami pasien terjadi karena reaksi anafilaksis

yaitu perlekatan IgE sebagai reaksi antigen-antibody pada mast sel

yang mengakibatkan degranulasi jaringan sehingga mediator-mediator

Page 15: Laporan Sken 1 Kd

seperti histamin, PAF, Pg, serotonin, leukotrien dan lain-lain

dilepaskan. Pelepasan mediator-mediator ini mengakibatkan

vasodilatasi pembuluh darah, permeabilitas pembuluh darah meningkat

dan bronchokontriksi.

Permeabilitas pembuluh darah yang meningkat mengakibatkan

volume interstitial keluar ke ekstrasel sehingga jumlah oksigen yang

dibutuhkan jaringan berkurang sehingga otak kekurangan oksigen dan

terjadilah penurunan kesadaran, di skenario kesadaran pasien sopor.

Bronchokontriksi akibat reaksi anfilaksis akan menimbulkan gejala

sesak nafas pada pasien. Nadi takikardi adalah sebagai mekanisme

kompensasi kekurangan volume interstitial. Mual dan muntah yang

dialami pasien akibat hiperperistaltik usus (Perhimpunan Dokter

Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu beberapa

menit setelah terpajan oleh alergen tetapi adakalanya muncul beberapa

jam kemudian. Bentuk anafilaksis dapat unifasik seperti yang biasa

ditemukan, bifasik yang gejalanya muncul 1-8 jam kemudian dan

protrated yaitu suatu bentuk anafilaksis berat yang dapat berlangsung

5-32 jam meskipun dengan pengobatan yang intensif (Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Terapi

Apabila diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak

boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan

lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian.

Epinefrin 1 : 1000 yang diberikan adala 0,01 ml/kgBB sampai

mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap

15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah

buruk atau dari awal kondisis penyakitnya sudah berat, suntikan dapat

diberikan secara intramuskuler (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis

epinefrin dapat dinaikkan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak

Page 16: Laporan Sken 1 Kd

mengidap penyakit jantung (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit

Dalam Indonesia, 2007).

Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi,

penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi

epinefrin 1 : 1000 0,1-0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk

mengurangi absorpsi alergen tadi. Bila mungkin pasang torniket

proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit.

Torniket dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali (Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Epinefrin mempunyai efek pada α-adrenergik dan β-adrenergik

yang mengakibatkan vasokonstriksi, relaksasi otot polos bronkus, dan

mengurangi peningkatan permeabilitas venula. Ketika epinefrin gagal

dalam mengontrol reaksi anafilaksis, harus dipikirkan hipoksia karena

obstruksi pernapasan atau dihubungkan dengan aritmia jantung, atau

keduanya (Fauci,2008).

Dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan

terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem

pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem

kardiovaskular juga harus berfungsi dengan baik sehingga perfusi

jaringan memadai (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Indonesia, 2007).

Sistem Pernapasan

a. Memelihara saluran pernapasan tetap memadai. Penyebab tersering

kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya salauran napas baik

karena edema larings atau spasme bronkus. Kadang diperlukan

tindakan trakeostomi. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh

dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat

dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran

krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke

Rumah Sakit.

Page 17: Laporan Sken 1 Kd

b. Pemberian oksigen sangat penting baik pada gangguan pernapasan

maupun kardiovaskular.

c. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas

bagian bawah seperti pada asma atau status asmatikus.

(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007)

Sistem Kardiovaskular

a. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian

epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan

intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara

cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid

(plasma, dextran).

b. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem

kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi

asidosis metabolik.

c. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure).

d. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan,

para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan

infus intravena.

Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan

anafilaktsis yang berat, American Heart Association, menganjurkan

pemberian epinefrin secara endotrakeal, kemudian diikuti pernapasan

hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat. Pernah

dilaporkan selain usaha-usaha yang dilaporkan tadi terdapat beberapa

hal yang perlu diperhatikan:

a. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat

penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi

dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulan

reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian

inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropin akan memberikan

manfaat disamping pemberian aminofilin dan kortikosteroid

intravena.

Page 18: Laporan Sken 1 Kd

b. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 denganAH2 bekerja

secara sinergistik teradap reseptor yang ada di pembuluh darah.

c. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang

mengalami gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular.

(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007)

Steroid sering diberikan sebagai usaha perlindungan untuk

melawan “late” reaction yang dapat terjadi beberapa jam setelah

reaksi alergi. Pada beberapa pasien, terutama pasien dengan asma,

“late” reaction ini dapat terjadi lebih berat daripada initial reaction

(American Academy of Allergy, Asthma & Immunology, 2012).

3. Diagnosis Banding

Penyebab yok

Jenis Syok Penyebab

Hipovolemik Perdarahan

Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)

Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah,

obstruksi usus dan lain-lain

Kardiogenik Out flow : stenosis atrium

Inflow : stenosis mitral, miksoma atrium

kiri/thrombus

Obstruktif Tension Pneumothorax

Tamponade jantung

Emboli Paru

Septik Infeksi bakteri gram negative, misalnya: eschericia

coli, klibselia pneumonia, enterobacter,

serratia,proteus,danprovidential.

Kokus gram positif, misal : stafilokokus,

enterokokus, dan streptokokus

Page 19: Laporan Sken 1 Kd

Neurogenik Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma

tulang belakang dan spinal syok (trauma medulla

spinalis dengan quadriflegia atau para flegia)

Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan, misal

nyeri hebat

Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya

penggunaan obat anestesi

Rangsangan parasimpatis pada jantung yang

menyebabkan bradikardi jantung mendadak. Hal ini

terjadi pada orang yang pingan mendadak akibat

gangguan emosional

Anafilaksis Antibiotik : Penisilin, sofalosporin, kloramfenikol,

polimixin, ampoterisin B

Biologis : Serum, antitoksin, peptide, toksoid tetanus,

dan gamma globulin

Makanan : Telur, susu, dan udang/kepiting

Lain-lain

Gigitan binatang, anestesi local

Bagaimana mengenali berbagai macam jenis dari syok (Azis, 2008;

Guyton 2006)

Diagnostic Hipovolemik Kardiogenik Neurogenik Septik

Gejala dan

tanda

Pucat; kulit

dingin,

Basah;

takikardi;

Oliguri,

hipotensi;

peningkatan

Kulit basah,

dingin; taki-

dan

bradiaritmia

; oliguri;

hipotensi;

peningkatan

Kulit

hangat,

denyut

jantung

normal/ren

dah,

normo/olig

Demam,

kulit teraba

hangat,

takikardi,

oliguri,

hipotensi,

penurunan

Page 20: Laporan Sken 1 Kd

resistensi

perifer

resistensi

perifer

uri,

hipotensi,

penurunan

resistensi

perifer

resistensi

perifer.

Data

laboratori

um

Hematokrit

rendah ( fase

akhir)

Enzim

jantung,

EKG

Normal Hitung

neutrofil,

pengecatan

gram,

kultur

4. UGD

Kriteria Emergensi sesuai indikasi medis:

a. Kecelakaan/Ruda Paksa yang bukan kecelakaan kerja, contoh

kasus: Trauma kepala, patah tulang terbuka/tertutup, luka

robekan/sayatan pada kulit/otot

b. Serangan jantung, contoh kasus: henti irama jantung, irama jantung

yang abnormal, nyeri dada akibat penyempitan/penutupan

pembuluh darah jantung

c. Panas tinggi diatas 39 derajat Celsius atau disertai kejang

demam, contoh kasus: kejang demam

d. Perdarahan hebat, contoh diagnosis: Trauma dengan perdarahan

hebat, muntah/berak darah, abortus (keguguran) , Demam Berdarah

Dengue Grade dengan komplikasi perdarahan

e. Muntaber disertai Dehidrasi sedang s/d berat, contoh kasus:

Kholera, Gastroenteritis akut dengan dehidrasi sedang/berat, mual

dan muntah pada ibu hamil disertai dehidrasi sedang/berat

f. Sesak Napas, contoh kasus: Asma sedang/berat dalam serangan,

infeksi paru berat

Page 21: Laporan Sken 1 Kd

g. Kehilangan kesadaran, contoh kasus: Ayan/epilepsy, Syok/pingsan

akibat kekurangan cairan, gangguan fungsi jantung, alergi berat,

infeksi berat

h. Nyeri kolik, contoh kasus: kolik abdomen, kolik renal, kolik ureter,

kolik uretra

i. Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa

Pasien dengan kriteria emergensi, harus segera dibawa ke IGD

untuk diberi pertolongan lebih lanjut setelah diberi pertolongan

pertama.

Prosedur pelayanan emergensi (darurat)

a. Pasien yang memenuhi kriteria emergensi atas indikasi

medis dapat berkunjung ke Unit Gawat Darurat (UGD) RS.

b. Dokter UGD akan memeriksa pasien dan memberikan

pertolongan pertama atau melakukan tindakan medis serta

memberikan resep minimal satu hari dan maksismum tiga hari

c. Bila pasien belum sembuh, maka yang bersangkutan harus

kembali ke PPK I yang

ditunjuk/pilihan untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut

atau PPK I akan merujuk ke dokter spesialis sesuai indikasi

medis (bukan atas permintaan pasien sendiri). Pelayanan

lanjutan tersebut harus mengikuti prosedur rawat jalan spesialis

di PPK II/RS

d. Bila pasien memerlukan perawatan setelah observasi di UGD,

maka pihak Rumah Sakit akan mendaftarkan pasien sebagai

pasien rawat inap

e. Selanjutnya berlaku prosedur rawat inap

Page 22: Laporan Sken 1 Kd

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

1. Pasien dalam skenario mengalami syok anafilaktik karena pemberian

injeksi penicilin.

2. Gejala dan tanda syok anafilaktik pada pasien mencakup beberapa sistem

tubuh, meliputi sistem kardiovaskuler (takikardi, hipotensi, nadi lemah),

sistem respirasi (takipneu, sesak napas), sistem gastrointestinal (mual,

muntah), dan SSP (penurunan kesadaran).

3. Prinsip penatalaksanaan syok anafilaktik adalah dengan posisi syok,

adrenalin, penilaian ABC (Airway, Breathing, Circulation), dan segera

dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

4. Syok anafilaktik dapat dihindari dan diminimalkan dengan anamnesis

yang lengkap terhadap riwayat alergi, uji sensitivitas, dan edukasi terhadap

pasien.

SARAN

1. Sebaiknya setiap tempat pelayanan kesehatan primer memiliki persediaan

adrenalin sebagai pertolongan pertama terhadap syok anafilaktik.

2. Pengkajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan

yang lebih valid mengenai kedaruratan medik pada umumnya dan syok

anafilaktik pada khususnya.

Page 23: Laporan Sken 1 Kd

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL SKENARIO 1

BLOK KEDARURATAN MEDIK

SYOK ANAFILAKTIK

DISUSUN OLEH:

1. FITRIA MARIZKA K G0009086

2. ABDULLAH M AZAM G0009002

3. ANNISA FEBRINA D G0009018

4. ARDININGSIH G0009026

5. CAESARIA SARAH S G0009042

6. FEBRIAN KANTATA G0009080

7. KRISMAWARNI G G0009116

8. NURRINI S. Y G0009160

9. RIYANI DWI HASTUTI G0009182

10. RIZAL TAHTA M G0009186

11. STEFANNY C. N G0009204

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

Page 24: Laporan Sken 1 Kd

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. 2012. Treatment of

Anaphylaxis, Preparedness and Prevention.

http://www.aaaai.org/professionals/treatment_anaphylaxis.pdf.

Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principle of Medicine (17th ed, 2008). New York:

McGraw-Hill Profesional

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rehata, NM, Syok Anafilaktik Patofisiologi dan penanganan dalam up date on

shock, pertemuan Ilmiah terpadu I FKUA Surabaya, 2000 : 69-75

Rengganis I. 2012. Anafilaksis Karena Obat.

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e674d1778222a2880e7b73db

429d4387e1a6b3ab.pdf.

Yani HI, Vincent HSG (2008). Farmakologi dan Terapi: Penicilin, Sephalosporin

dan Antibiotik Betalaktam Lainnya. Jakarta: FKUI.

Azis AL, Dharmawati I, Kushartono. 2008. Renjatan Anafilaksis in: Pedoman

Diagnosa dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. Buku 3.

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo. Surabaya. Pp. 8-9.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in: Buku

Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372.