laporan seleksi heterosis
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS JEMBERFAKULTAS PERTANIANJURUSAN BUDIDAYA PERTANIANLABORATORIUM GEN DAN PEMULIAAN TANAMAN
LAPORAN PRAKTIKUM
NAMA : IMAM TAUFIK
NIM : 081510501060
GOL / KEL : A / 3
ANGGOTA : 1. REKYAN LARASATI
2. HYANKASU ADECA
3. NURUL HUDA
4. ADRIAN SIREGAR
5. NIKA HADIYA R.
JUDUL ACARA : SELEKSI HETEROSIS
TANGGAL PRAKTIKUM : 11 APRIL 2011
TANGGAL PENYERAHAN : 18 APRIL 2011
TUJUAN : 1.Untuk mengetahui porsentase heterosis.
2.Untuk mengetahui apakah tanaman yang
berasal dari biji F1 lebih baik daripada
tetuanya.
ASISTEN : 1. EVA NURAINI
2. MINHAJIL ABIDIN
3. SELLY ROSALINA .W
4. QOIRUN NISWATIN KHASANAH
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Heterosis atau Hybrid Vigor menurut Poehlman (1979)
didefinisikansebagai peningkatan dalam ukuran atau vigor dari suatu hibrida
melebihi rata - rata kedua tetuanya. Pengaruh dari heterosis pada suatu tanaman
dapat dilihat dalam berbagai bentuk, seperti tinggi tanaman, ukuran daun, ukuran
sel, perkembangan akar, peningkatan hasil dan bentuk lainnya. Konsep heterosis
merupakan dasar dalam pembentukan hibrida yang telah banyak dipelajari pada
jagung.dalam tulisannya berkaitan dengan heterosis pada jagung, menghasilkan
midparent heterosis berkisar antara -3.6 - 72.0%, sementara better-parent heterosis
berkisar antara -9.9 - 43.0% pada karakter komponen hasil. Manifestasi heterosis
dari varietas hibrida bergantung pada keragaman genetik kedua tetuanya .
Heterosis sangat penting pada pemuliaan jagung dan tergantung dari level
dominansi serta perbedaan gen-gen yang terakumulasi. Heterosis pada jagung
telah banyak dipelajari. Hallauer dan Miranda (1988) dalam tulisannya berkaitan
dengan heterosis pada jagung, menghasilkan mid-parent heterosis berkisar antara -
3.6 - 72.0% sementara high-parent heterosis berkisar antara -9.9 - 43.0%. Galur
yang akan dijadikan tetua dalam pembentukan hibrida jagung, terlebih dahulu
diuji keunggulannya dengan metode seleksi tetua berdasarkan nilai daya gabung
(combining ability). Daya gabung terbagi menjadi dua jenis, yaitu daya gabung
umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (specific combining
ability).
Daya gabung umum (DGU) adalah kemampuan individu tetua untuk
menghasilkan keturunan yang unggul untuk suatu karakter tertentu yang
disilangkan dengan sejumlah tetua lainnya atau rata-rata penampilan keturunan
dari persilangan satu tetua dengan sejumlah tetua lainnya. Daya gabung khusus
(DGK) adalah kemampuan individu tetua untuk menghasilkan keturunan yang
unggul jika disilangkan dengan kombinasi yang spesifik dengan tetua lainnya atau
penampilan keturunan dari persilangan satu tetua dengan tetua lainnya yang lebih
baik dari daya gabung umum untuk tetua tersebut.
. Griffing (1956) melakukan analisis silang dialel untuk menduga nilai
general dan specific combining abilities dari galur murni dan hibridanya. Menurut
Setiyono dan Subandi (1996), hasil pipilan suatu hibrida F1 akan tinggi apabila
kedua tetua komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek DGU dan DGK
tinggi. Untuk umur masak, efek DGU dan DGK yang negatif sangat bermanfaat
untuk merakit varietas berumur genjah. Penelitian yang dilakukan Iriany (2002)
mengenai ketahanan jagung terhadap penyakit bulai melalui persilangan dialel
mendapatkan kesimpulan apabila suatu galur yang memiliki daya gabung umum
yang baik, maka galur tersebut memiliki karakter ketahanan terhadap penyakit
bulai.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui prosentase heterosis.
2. Untuk mengetahui apakah tanaman yang berasal dari biji f1 lebih baik dari-
pada tetuanya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Istilah hibrida ditujukan tehadap suatu varietas yang ditanam untuk
keperluan komersial yang berupa benih F1, yang dihasilkan melalui persilangan
genotipegenotipe terseleksi. Karakteristik umum varietas hibrida yang digunakan
secara komersial penggunaannya hanya terbatas pada F1 nya saja. Perbanyakan
hibrida F1 melalui persilangan acak akan menyebabkan penurunan hasil pada
generasi-generasi selanjutnya. Informasi pola heterotik dan daya gabung diantara
plasma nutfah jagung sangat penting dalam memaksimalkan pengembangan
hibrida (Beck et al., 1990).
Menurut Singh (1987) program pemuliaan jagung hibrida pada dasarnya
terdiri dari empat tahap, yaitu : 1. Pembentukan galur-galur murni yang stabil,
vigor, serta berdaya hasil benih tinggi. 2. Pengujian daya gabung dan penampilan
per se dari galur-galur murni tersebut. 3. Penggunaan galur-galur murni terpilih
dalam pembentukan hibrida yang lebih produktif. 4. Perbaikan daya hasil serta
ketahanan terhadap hama dan penyakit. Galur murni dihasilkan dari penyerbukan
sendiri hingga diperoleh tanaman yang homozigot. Hal ini umumnya memerlukan
waktu lima hingga tujuh generasi penyerbukan sendiri yang terkontrol. Galur
murni dibentuk dari varietas bersari bebas (open pollinated variety) namun ada
pula yang dibentuk dari banyak sumber yang lain seperti seperti varietas sintetik,
varietas komposit, atau populasi generasi lanjut dari hibrida (Singh 1987).
Dengan penyerbukan sendiri, terjadi segregasi dan penurunan vigor.
Tambahan penurunan vigor akan terlihat pada tiap generasi penyerbukan sendiri
hingga galur homozigot terbentuk. Selain mengalami penurunan vigor, individu
tanaman yang diserbuk sendiri menampakkan berbagai kekurangan seperti:
tanaman bertambah pendek, cenderung rebah, peka terhadap penyakit, dan
bermacam-macam karakter lain yang tidak diinginkan. Munculnya
fenomenafenomen tersebut dikenal dengan istilah depresi tangkar dalam atau
inbreeding depression (Poehlman 1983).
Varietas jagung hibrida pada awalnya merupakan hasil penelitian inovatif
dari George Harrison Shull, E.M. East D.F. Jones, H. K Hayes dan peneliti lain
pada tahun 1908-1909 (Poehlman 1979). Program pengembangan galur murni
bertujuan untuk menghasilkan galurgalur yang mempunyai potensi tinggi. Karena
galur murni diharapkan memiliki potensi genetik untuk menghasilkan pasangan
kombinasi hibrida yang berdaya hasil tinggi, maka galur murni tersebut harus
memiliki gen-gen yang memiliki sifat-sifat unggul tersebut. Nilai sesungguhnya
dari suatu galur murni adalah kemampuannya untuk memberikan daya gabung
yang baik apabila dikombinasikan dengan galurgalur lain Tiga tipe hibrida sudah
digunakan secara komersial, yaitu hibrida silang tunggal (single cross hybrid),
hibrida silang ganda (double cross hybrid), dan hibrida silang tiga (three-way
cross hybrid) (Sprague dan Dudley 1988).
Setiap tipe hibrida memiliki konstitusi genetik yang berbeda. Hibrida
silang tunggal adalah hibrida dari persilangan antara dua galur murni yang tidak
berhubungan satu sama lain. Galurgalur murni yang digunakan dalam silang
tunggal diasumsikan telah homozigot. Hibrida silang tiga adalah hibrida dari
persilangan antara silang tunggal dengan satu galur murni. Silang tiga berbeda
dengan modifikasi silang tunggal, dimana ketiga galur murni tidak berhubungan
sehingga lebih berbeda secara genetik dan penampilannya lebih beragam. Hibrida
silang ganda adalah progeni hibrida dari persilangan antara dua silang tunggal.
Silang ganda melibatkan empat galur murni yang tidak berhubungan satu sama
lain. Pasangan galur murni disilangkan sehingga membentuk dua silang tunggal,
kemudian disilangkan untuk menghasilkan silang ganda.
Heterosis
Pemuliaan tanaman menyerbuk silang seperti jagung didasari oleh adanya
efek heterosis atau hibrid vigor (Mohr dan Schopfer 1995). Istilah heterosis
merupakan asal kata dari stimulus of heterozygotis yang pertama kali digunakan
oleh George Harrison Shull pada tahun 1914 (Jones 1952).
Heterosis atau Hybrid Vigor menurut Poehlman (1979) didefinisikan
sebagai peningkatan dalam ukuran atau vigor dari suatu hibrida melebihi rata -
rata kedua tetuanya. Pengaruh dari heterosis pada suatu tanaman dapat dilihat
dalam berbagai bentuk, seperti tinggi tanaman, ukuran daun, ukuran sel,
perkembangan akar, peningkatan hasil dan bentuk lainnya. Chaudhari (1971)
mendefinisikan heterosis sebagai peningkatan vigor, pertumbuhan, hasil atau
fungsi dari suatu hibrida melebihi tetua, yang merupakan hasil persilangan secara
genetik suatu individu yang berbeda. Hayes et. al (1955) menyatakan heterosis
menunjukkan hasil stimulasi perkembangan, melalui mekanisme apapun, hasil
penggabungan yang berbeda. Sedangkan hybrid vigor menunjukkan perwujudan
dari efek heterosis.
Untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi, galur murni perlu
dibentuk dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara genetik sehingga
memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil persilangan (Singh 1987).
Keturunan hasil persilangan dua galur murni akan menampakkan
peningkatan vigor melampaui galur-galur tetuanya. Namun, dari ribuan galur
murni yang diuji hanya sedikit sekali yang menampakkan heterosis yang
menguntungkan secara ekonomis (Allard 1960).
Lawan dari efek heterosis adalah efek penangkaran dalam (inbreeding
depression) atau hilangnya vigor tanaman setelah perkawinan antar individu yang
berkerabat dekat (Welsh 1981). Crowder (1986) menambahkan bahwa
homosigositas yang dihasilkan oleh penangkaran dalam pada tanaman menyerbuk
silang atau hewan hasil persilangan sering mengakibatkan menurunnya ketegaran
atau vigor menjadi lemah, mulai dari ukuran, produksi tepung sari, tinggi tanaman
yang disebabkan munculnya gen - gen resesif yang tidak menguntungkan. Batasan
dari heterosis dapat berbeda - beda tergantung dari pembanding yang digunakan
(Welsh 1981). Heterosis dapat berarti perbaikan karakter F1 dibandingkan dengan
karakter induk terbaiknya. Batasan lainnya adalah membandingkan F1 dengan
rata - rata karakter induknya.
Crowder (1986) menyatakan dua teori yang menjadi dasar genetis
heterosis yaitu teori dominansi (dominant) dan teori lewat dominansi (over
dominant). Pada teori dominansi diduga adanya peran dari faktor - faktor dominan
dari banyak gen yang menimbulkan efek heterosis, sedangkan pada teori lewat
dominansi, heterosis terjadi karena adanya tanggapan dan interaksi dari keadan
heterozigot. Informasi mengenai pengaruh heterosis dalam persilangan galur
inbrida menentukan dalam pemilihan galur sebagai tetua yang potensial untuk
memperoleh hibrida berdaya hasil tinggi. Salah satu acuan dalam menentukan
matrik persilangan galur inbrida adalah asal-usul tetuanya (Moentono 1987).
Heterosis yang tinggi diduga diperoleh dari tetua hibrida yang berbeda secara
genetik dan mempunyai potensi hasil tinggi (Virmani et. al. 1981).
Konsep heterosis merupakan dasar dalam pembentukan hibrida unggul.
Galur yang akan dijadikan tetua dalam pembentukan hibrida jagung, terlebih
dahulu diuji keunggulannya dengan metode seleksi tetua berdasarkan nilai daya
gabung (combining ability).
Daya Gabung
Faktor utama yang menentukan keunggulan hibrida adalah daya gabung
galur murni. Pada awalnya, daya gabung merupakan konsep umum untuk
mengklasifikasikan galur murni secara relatif menurut penampilan hibridanya
(Hallauer dan Miranda 1988).
Melalui persilangan buatan di antara semua pasangan tetuanya, dapat
diketahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida, besarnya nilai heterosis, daya
gabung, dan dugaan besarnya ragam genetik suatu karakter. Hasil tinggi dapat
diperoleh apabila kombinasi antar galur memiliki nilai heterosis dan daya gabung
khusus yang besar. Daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan nilai
daya gabung khusus yang tinggi (Silitonga et. al. 1993)
Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua, yang
bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida dengan penampilan
superior. Konsep daya gabung sangat penting dalam pemuliaan, berkaitan dengan
prosedur pengujian galur-galur berdasarkan penampilan kombinasi keturunannya.
Nilai masing-masing galur terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan
keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur - galur lain (Allard 1960).
Poespodarsono (1988) mengartikan daya gabung sebagai kemampuan
genotipe untuk memindahkan sifat yang diinginkan kepada keturunannya. Daya
gabung terbagi menjadi dua jenis, yaitu daya gabung umum (general combining
abilty) dan daya gabung khusus (spesific combining ability). Daya gabung umum
(DGU) adalah kemampuan individu tetua untuk menghasilkan keturunan yang
unggul untuk suatu karakter tertentu yang disilangkan dengan sejumlah tetua
lainnya atau rata - rata penampilan keturunan dari persilangan satu tetua dengan
sejumleh tetua lainnya. Daya gabung umum yang baik adalah nilai rata – rata
kombinasi mendekati nilai rata – rata keseluruhan persilangan. Daya gabung
khusus (DGK) adalah kemampuan individu tetua untuk menghasilkan keturunan
yang unggul jika disilangkan dengan kombinasi yang spesifik dengan tetua
lainnya atau penampilan keturunan dari persilangan satu tetua dengan tetua
lainnya yang lebih baik dari daya gabung umum untuk tetua tersebut (Poehlman
dan Sleeper 1990).
Daya gabung umum relatif lebih penting dari daya gabung khusus untuk
galur-galur murni yang belum diseleksi. Sebaliknya, daya gabung khusus lebih
penting dari daya gabung umum untuk galur-galur murni yang telah diseleksi
sebelumnya terhadap peningkatan hasil (Sprague dan Tatum 1942).
Pengujian daya gabung dapat dilakukan dengan metode diallel cross,
yakni evaluasi terhadap seluruh kombinasi hibrida silang tunggal dari sejumlah
galur murni (Stoskopf et al., 1993).
Henderson (1952) menyatakan bahwa daya gabung umum tidak memiliki
arti, kecuali bila nilainya dibandingkan pada lebih dari satu individu dan populasi
penguji serta lingkungan yang ditentukan. Chaudhari (1971) menyatakan daya
gabung khusus digunakan untuk menduga suatu persilangan dengan beberapa
kombinasi yang ada relatif lebih baik atau lebih buruk dari yang diharapkan
dengan dasar rata – rata penampilan dari galur yang dilibatkan. Secara umum,
menurut Henderson (1952) daya gabung khusus merupakan konsekuensi dari
interaksi gen intra alel (dominan) dan interaksi gen inter alel (epistasis).
Daya gabung umum (DGU) yang tinggi menunjukkan bahwa tetua
tersebut memiliki daya gabung yang baik. Sedangkan nilai DGU yang rendah,
berarti tetua yang bersangkutan mempunyai daya gabung rata-rata yang lebih
rendah dibandingkan dengan tetua - tetua yang lain. Nilai positif atau negatif dari
DGU tergantung pada karakter yang diamati dan bagaimana cara menilainya.
Daya gabung khusus (DGK) yang tinggi menunjukkan bahwa tetua tersebut
memiliki kombinasi persilangan yang tinggi dengan salah satu dari tetua - tetua
yang digunakan (Sutjahjo 1987).
Informasi yang diperoleh dari pendugaan nilai DGU dan DGK sangat
penting dalam suatu program pemuliaan. Sesuai dengan pendapat dari Soewarso
(1982) bahwa informasi genetik yang diperoleh dari pengujian DGU dan DGK
dan resiprokalnya akan berguna untuk menentukan tetua dan metode pemuliaan
yang sesuai dalam rangka perbaikan sifat - sifat tanaman. Daya gabung yang
didapat dari persilangan antar seluruh tetua dapat memberikan informasi tentang
kombinasi - kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil
tinggi. Hasil yang tinggi dapat diperoleh pada kombinasi yang memiliki efek
heterosis dan daya gabung khusus yang besar. Galur yang memiliki nilai daya
gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan nilai daya gabung khusus
yang tinggi pula (Silitonga et. al. 1993).
Menurut Setiyono dan Subandi (1996), hasil pipilan suatu hibrida F1 akan
tinggi apabila kedua tetua komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek
DGU dan DGK tinggi. Untuk umur masak, efek DGU dan DGK yang negatif
sangat bermanfaat untuk merakit varietas berumur genjah.
Persilangan Dialel
Persilangan dialel adalah sebuah set persilangan yang dilakukan
melibatkan sejumlah ”n” galur dalam seluruh kombinasi persilangan yang
mungkin (Singh dan Chaudhary, 1979). Analisis persilangannya disebut analisis
dialel yang menyediakan informasi tentang parameter genetik, DGU dan DGK
tetua dan turunannya. Salah satu metode yang umum digunakan untuk analisis
dialel adalah dengan pendekatan Metode Griffing. Menurut Griffing (1956),
terdapat empat macam metode yang bisa digunakan untuk analisis dialel, yaitu :
1. Metode I : kombinasi lengkap p2, terdiri dari tetua, F1 dan persilangan
resiprokalnya.
2. Metode II : ½ p (p + 1) kombinasi terdiri dari tetua dan F1.
3. Metode III : p (p – 1) kombinasi terdiri dari F1 dan resiprokalnya.
4. Metode IV : ½ p (p – 1) kombinasi terdiri dari F1 saja.
Pemilihan metode yang akan digunakan tergantung dari tujuan analisisnya.
Dalam penentuan tetua - tetua yang akan dipakai dalam persilangan, interpretasi
hasil analisis dialel dibagi ke dalam dua kelompok model (Griffing, 1956), yaitu :
1. Model tetap (fixed model), dengan menggunakan tetua - tetua tertentu yang
merupakan genotipe yang dimaksud. Estimasi yang diperoleh hanya berlaku untuk
genotipe yang dimasukkan ke dalam pengujian, tidak berlaku untuk populasi lain.
2. Model acak (random model), dengan menggunakan tetua - tetua yang
merupakan contoh acak dari populasi tetua yang dimaksud. Estimasi yang
diperoleh diinterpretasikan berkaitan dengan populasi tetua, darimana genotipe
diambil secara acak.
Dalam analisis dialel, dapat diperoleh berbagai informasi yang berguna
bagi pemulia untuk menentukan bahan dan metode untuk program pemuliaannya.
Salah satu cara peningkatan produksi jagung nasional adalah penggunaan varietas
unggul. Jagung hibrida salah satu varietas unggul yang dianjurkan pemerintah
untuk ditanam, terutama untuk lahan beririgasi. Pada saat ini, jagung hibrida
sudah banyak ditanam petani. Di Jawa Barat, luas penanaman jagung hibrida
44,9% dari luas pertanaman jagung (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, 1998).
Gejala heterosis dan daya hasil tinggi pada F1 mempunyai arti yang sangat
penting dalam pembentukan varietas hibrida. Heterosis adalah peningkatan nilai
suatu karakter dari hibrida F1 dibandingkan dengan nilai rata-rata kedua tetuanya
(Fehr, 1987; Matzinger et al., 1962; Crowder, 1986; Hallauer dan Miranda, 1981).
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan praktikum Seleksi Heterosis ini dilakukan di Laboratorium
Produksi jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember pada hari senin
tanggal 11 April 2011 pukul 07.00 Wib.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Alat tulis
2. Kalkulator
3.2.2 Bahan
1. Data persilangan tinggi tanaman kedelai varietas Galunggung
3.3 Cara Kerja
1. Mengukur tinggi tanaman yang diamati dari tetua jantan, betina dan F1.
2. Semua pengamatan dilakukan dengan sejumlah ulangan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Tinggi Tanaman Kedelai
N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata - rata
P1 40 51 64 70 36 55 43 45 89 60 50.3
P2 46 63 60 53 47 37 40 63 77 63 54.9
F1 38 50 73 60 50 44 46 57 63 71 55.2
Heterobeltiosis ( high parents ) = = 0.55 %
Heterobeltiosis ( mind parents ) = x 100 % = 4.94 %
Heterobeltiosis ( Low parents ) = x 100 % = 9.74 %
4.2 Pembahasan
Setelah melakuakan kegiatan praktikum maka diperoleh data seperti pada
table diatas, didapatkan bahwa dalam sebuah persilangan antara 2 induk yang
memiliki sifat yang baik, memiliki keturunan yang lebih baik antara
keduanyaPada dasarnya tanaman penyerbuk silang adalah heterozigot dan
heterogenus. Satu individu dan individu lainnya genetis berbeda. Karena
keragaman genetis yang umumnya cukup besar dibanding dengan tanaman
penyerbuk sendiri dalam menentukan kriteria seleksi diutamakan pada sifat
ekonomis yang terpenting dulu, tanpa dicampur aduk dengan sifat – sifat lain
yang kurang urgensinya. Pengertian yang bertalian dengan keseimbangan Hardy-
Weinberg pengertian mengenai silang dalam, macam – macam gen dan
sebagainya sangat membantu memahami sifat – sifat tanaman penyerbuk silang
dan metode – metode seleksinya.
Keseimbangan Hardy-Weinberg
Banyaknya genotipe suatu keturunan hasil perkawinan bisa diduga dan
diperhitungkan, hanya ketepatan peramalan sangat tergantung pada beberapa
faktor misalnya jumlah lokus serta allele yang dimiliki, genotipe orang tua serta
banyaknya gamet yang dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Keturunan – keturunan tersebut semakin banyak, akan merupakan suatu populasi
genetis yang semakin berkembang karena adanya persilangan antara individu –
individunya. Dalam perkembangannya, mungkin suatu populasi akan menjadi
lebih baik atau sebaliknya, sesuai dengan perubahan komposisi gen yang
dimilikinya.
Dalam populasi kita hanya bisa mengerti genotipe dan menduga genotipenya.
Dari sini bisa dihitung frekuensi gen dalam populasi tersebut.
Frekuensi gen A = P + ½ H = 0,25 + ½ (0,10) = 0,30 = p
Frekuensi gen a = a + ½ H = 0,65 + ½ (0,10) = 0,70 = q
Apabila dalam populasi terjadi kawin acak maka perbandingan genotipe pada
generasi berikutnya yaitu :
AA = p2 = (0,3)2 = 0,09
Aa = 2pq = 2(0,7)(0,3) = 0,42
Aa = q2 = (0,7)2 = 0,49
Frekuensi gen A = 0,09 + ½ (0,42) = 0,30
Frekuensi gen a = 0,49 + ½ (0,42) = 0,70
Dari contoh di atas ternyata frekuensi genotipe berubah sedangkan frekuensi
gennya tetap. Ini disebabkan populasi tersebut belum ada dalam keseimbangan
(equilibrium), tetapi pada generasi selanjutnya frekuensi gen dan genotipenya
akan selalu konstan.
Frekuensi gen pada generasi keturunan tidak tergantung dari frekuensi
genotipe orang tuanya tetapi tergantung dari frekuensi gen orang tuanya.
Perubahan Frekuensi Gen
Pada uraian di atas populasi bisa mencapai equilibrium bila tak ada gaya –
gaya yang dapat mengubah frekuensi gen. Faktor – faktor yang penting yang
mengubah equilibrium adalah seleksi, mutasi dan migrasi.
Bagi pemulia tanaman faktor seleksi adalah penting. Seleksi ini dapat terjadi
secara alamiah maupun buatan (dilakukan oleh manusia). Secara alam, misalnya,
suatu individu mempunyai keturunan yang lebih sedikit dibandingkan rata–rata
individu yang lain sehingga frekuensinya semakin berkurang atau keadaan
lingkungan mempengaruhi individu–individu yang akan disidangkan atau
dibuang. Kecepatan perubahan gen ini tergantung dari :
1. Intensitas seleksi (banyaknya individu yang diseleksi)
2. Frekuensi gen yang diseleksi
3. Sifat gen yang diseleksi, dominan atau resesif
Seleksi dengan intensitas tertentu akan lebih efektif bila sifat yang diseleksi
banyak terdapat dalam populasi dan tidak efektif bila sifat tersebut jarang. Sering
dikatakan bahwa kemajuan seleksi mula – mula tepat tetapi kemudian menurun
pada generasi yang lebih lanjut. Ternyata hal ini tidak demikian. Apabila suatu
sikap yang disukai jarang terdapat dalam populasi (frekuensi rendah), kemudian
diseleksi dengan intensitas yang tetap dari generasi ke generasi maka generasi
permulaan kemajuan seleksi amat lambat. Tetapi pada generasi yang lebih lanjut
frekuensi gen yang diseleksi dalam populasi bertambah sehingga kemajuan seleksi
dalam populasi bertambah sehingga kemajuan seleksi makin cepat sampai
mencapai maksimum kemudian menurun lagi.
Silang dalam adalah hasil persilangan antara individu yang ada hubungan
keluarga atau pembuahan sendiri dan mengarah ke peningkatan homozigot.Silang
dalam memberikan akibat buruk dari individu – individu dalam suatu populasi.
Efek silang dalam lebih dikenal dengan istilah depresi silang dalam.
Pada tanaman penyerbuk silang : seperti jagung maka akibat silang dalam
(yakni dipresi = tekanan silang-dalam) sangat nyata sekali. Tanaman menjadi
lebih rendah, ketegapan fekunditas yang menjadi turun serta bertambahnya sifat –
sifat yang mengakibatkan kelemahan tanaman secara keseluruhan. Dengan
demikian silang dalam sebaiknya dihindari, kecuali kalau prosesnya terkontrol
dengan tujuan penciptaan hibrida, dengan memanfaatkan heterosis sebesar –
besarnya.
Silang dalam yang paling tepat adalah dari proses silang diri. Setiap kali
proses silang diri berjalan maka 50% dari heterozigot akan terhambur, sehingga
pada generasi silang diri ke 7 dan ke 8, maka populasi tanaman praktis akan
mewakili oleh individu – individu homosigous pada sesuatu lokal.
Besar kecilnya dipresi silang dalam pada berbagai tanaman tidak sama
besarnya. Contoh, bawang mengalami silang dalam yang lebih ringan dibanding
jagung. Pada tanaman penyerbuk sendiri dipresi silang dalam tidak ada artinya.
Heterosis atau ketegapan (vigor) hibrida biasanya diukur sebagai superioritas
(keunggulan) hibrida di atas rata – rata tetuanya. Ini telah dilaporkan pada banyak
tanaman, baik pada species penyerbuk sendiri maupun penyerbuk silang.
Ada 3 hipotesis genetik untuk heterosis.
1. Heterosis Dominan, heterosis disebabkan oleh pengaruh kumulatif allele
dominan pada banyak loci yang mempengaruhi sifat.
2. Heterosis Overdominan, genotipe yang superior adalah menguntungkan
pada kondisi heterozigot.
3. Heterosis Epistasi, terutama yang menyangkut pengaruh gen dominan,
dapat juga menimbulkan heterosis.
3. METODE SELEKSI PADA TANAMAN MENYERBUK SILANG
Dibedakan atas dasar :
a. Cara Pemotongan Populasi Dasar
4. Fenotipe Individu Tanaman
5. Keturunan dari Tanaman
b. Kontrol Terhadap Persilangan
6. Tanpa Kontrol terhadap Persilangan
7. Sebagian Kontrol terhadap Persilangan
8. Kontrol Penuh terhadap Persilangan
c. Model Peran Gen dalam Populasi ® Menentukan Cara Pemotongan
Populasi Dasar
9. Additif
10. Dominan
11. Epistasis
d. Tipe Uji Keturunan
12. Tanpa Uji Keturunan
13. Uji Daya Gabung Umum
14. Uji Daya Gabung Khusus
e. Macam Varietas Komersiil yang Akan Dibentuk
15. Varietas Menyerbuk Bebas/Terbuka
16. Varietas Sintetik dsb
17. Hibrida Tunggal/Ganda
18. Perbaikan Hibrida
Seleksi Berulang Fenotipis
Tujuan : Mencari individu–individu yang baik pada setiap siklus seleksi dan
dengan perkawinan acak di dalam
individu–individu baik tersebut.
Persyaratan :
a. Cara pemotongan populasi dasar ® berdasarkan fenotipe individu tanaman
b. Terdapat kontrol penuh terhadap persilangan
c. Model peran gen dalam populasi ® aditif
d. Tipe uji keturunan ® tanpa uji keturunan
e. Varietas komersiil yang akan dibentuk ® varietas menyerbuk terbuka.
SELEKSI MASSA
Individu yang dipilih dipanen ® biji dicampur tanpa uji keturunan ® untuk
generasi berikutnya.
· Seleksi hanya berdasarkan pada tetua betina ® tanpa ada kontrol persilangan
® suatu bentuk populasi kawin acak dengan seleksi
· Tujuan dari seleksi massa :
Meningkatkan genotip superior dalam populasi
· Efektivitasnya tergantung pada :
banyaknya gen dan hertabilitasnya
Seleksi massa kurang efektif untuk karakter :
Hasil ® banyak gen ® kurang tepat ® didasarkan individu – individu
tanaman.
® Disebabkan :
- Ketidakmampuan mengidentifikasi genotipe superior berdasarkan
penampilan fenotipik individu – individu tanaman
· Penyerbukan yang tidak terkendali
® Tanaman terpilih diserbuki oleh tanaman superior & inferior
· Seleksi yang ketat ® mengurangi ukuran populasi ® inbreeding depression.
Metode seleksi keturunan dan pemuliaan galur ® mengatasi kekurangan no. 1
dan 3.
Metode seleksi berulang ® dapat mengatasi kekurangan 1, 2 dan 3.
METODE SELEKSI TANAMAN MENYERBUK SILANG
Dasar–dasar yang dapat membedakan diantara metode :
a. Cara pemotongan populasi dasar
b. Ada tidaknya kontrol terhadap persilangan
c. Model perangen pada populasi bersangkutan
d. Tipe uji keturunan
e. Macam dari varietas komersiil yang akan dibentuk.
1. Seleksi Massa
a. Berdasarkan fenotipe individu tanaman
b. Tanpa kontrol persilangan atau sebagian
c. Peran gen aditif
d. Tanpa uji keturunan
e. Varietas berserbuk bebas
2. Seleksi Berulang Fenotopik
a. Berdasarkan fenotipe individu tanaman
b. Kontrol penuh atas persilangannya
c. Peran gen aditif
d. Tanpa uji keturunan
e. Varietas berserbuk terbuka
3. Seleksi Tongkol ke Baris
a. Berdasarkan fenotipe individu tanaman
b. Tanpa atau sebagian kontrol
c. Peran gen aditif
d. Uji keturunan berserbuk terbuka
e. Varietas berserbuk terbuka
4. Seleksi Berulang untuk Daya Gabung Umum
a. Berdasarkan keturunan dari tanaman
b. Kontrol penuh terhadap persilangan
c. Terutama aditif
d. Uji daya gabung umum
e. Varietas sintetik, dsb
5. Seleksi Berulang untuk Daya Gabung Khusus
a. Berdasarkan keturunan dari tanaman
b. Kontrol penuh terhadap persilangannya
c. Dominan dan aditif
d. Uji daya gabung khusus
e. Hibrida tunggal/ganda
6. Seleksi Berulang Timbal Balik
a. Keturunan dari tanaman
b. Kontrol penuh atas persilangan
c. Lewat dominan, dominan, aditif
d. Uji daya gabung umum, daya gabung khusus
e. Perbaikan hibrida (populasi hasil persilangan)
Dalam pemuliaan tanaman terdapat 3 kriteria yang dipakai dalam
menentukan efek dari heterosis yaitu hight parent, mid parent, dan low parent.
Rumusnya :
1. Hight heterosis = F1 – P2 (tertinggi ) X 100 %
P2 (tertinggi)
Heterosis tetua terbaik (best/high parent heterosis) dihitung sebagai selisih
penampilan keturunan F1 dari tetua dengan penampilan lebih baik.
2. Mid heterosis = F1 – ((P1+P2) / 2) X 100 %
(P1+P2) / 2
Heterosis antara tetua (midparent heterosis) ditentukan sebagai
penyimpangan penampilan keturunan F1 dari rata-rata tetuanya. Penentuan
heterosis ini diperlukan untuk kepentingan kajian genetik namun kurang memiliki
nilai praktis. Penelitian Ordas (1997) menyimpulkan bahwa heterosis tetua tengah
(mid-parent heterosis) sebesar 32,7 % lebih tinggi dari yang diprediksikan.
Biasanya derajat kesamaan dan ketidak samaan antar kelompok unit taksonomi
ditaksir dengan suatu ukuran nilai duga hubungan fenetik. Ukuran kesamaan atau
ketidaksamaan ini mencoba melibatkan suatu koefisien tertentu dari semua ukuran
yang diperoleh pada karakter yang dipilih untuk mengklassifikasi unit taksonomi
yang digunakan. Karakter-karakter yang tidak bersegregasi tidak akan
memberikan kontribusi terhadap heterosis.
3. Low heterosis = F1 – P1 (terendah ) X 100 %
P1 (terendah)
Tetua terendah ( low parents ) dihitung dengan selisih sebagai penampilan
keturunan F1 dari tetua dengan penampilan lebih rendah.
Dalam kaitannya dengan heterosis yang dipengaruhi oleh interaksi banyak
factor dan bukanlah factor genetik tunggal yang mempngaruhinya dapat di
perkuat oleh hipotesis yang banyak diakui orang, yaitu dominance hypothesis dan
over dominan hypothesis.
1. Teori Hipotesis Dominan
Teori hipotesis dominan ialah teori faktor pertumbuhan yang diinginkan
bersifat dominan pertama kali dikemukakan secara matematis oleh Bruce pada
tahun 1910. Walaupun hipotesis ini dikemukakan secara singkat, namun derivasi
matematis yang disajikan oleh Bruce dapat dipertanggung jawabkan. Derivasi
matematis yang dikemukakan oleh Bruce mencakup sejumlah pasangan gen,
beberapa kisaran frekuensi gen, dan berbagai tingkat dominansi. Gambaran yang
menonjol dari teori Bruce ini adalah bahwa heterosis akan terjadi bila tetua
berbeda frekuensi gennya dan dalam keadaan hadirnya dominansi, dan sekaligus
merupakan implementasi teori genetik Mendel. Banyak para pakar yang menjadi
pendukung teori ini menjelaskan bahwa heterosis diwujudkan oleh akumulasi
dominan faktor-faktor yang diinginkan pada berbagai lokus yang berbeda
(Hallauer dan Miranda, 1988). Dapat pula dikatakan bahwa vigor hibrida
merupakan interaksi dari faktor-faktor dominan dan terkumpul sifat-sifat
dominan. Dapat digambarkan sebagai berikut:
AA bb CC dd x aa BB cc DD
2 + 1 + 2 + 1 = 6 1 + 2 + 1 + 2 = 6
Aa Bb Cc Dd
2 + 2 + 2 + 2 = 8
2. Teori Hipotesis Overdominan
Teori hipotesis yang kedua ialah teori overdominan, teori ini didasarkan pada
premis bahwa heterosigositas itu sendiri merupakan penyebab heterosis, yang
merupakan suatu bentuk penjabaran non-Mendel. Pada tahun 1936, East
melakukan review terhadap teori ini dan membuktikan bahwa faktor pertumbuhan
yang diinginkan bersifat dominan tidak memadai untuk menjelaskan fenomena
heterosis. East selanjutnya mengusulkan bahwa alel ganda pada suatu lokus
terdifferensiasi sedemikian rupa yang memberikan fungsi fisologis yang
maksimal. Secara singkat suatu persilangan akan semakin baik sifatnya bila
disilangkan dengan heterozigot yang semakin jauh, dapat digambarkan sebagai
berikut :
aa bb CC DD x AA BB cc dd
1 + 1 + 1 + 1 = 5 1 + 1 + 1 + 1 = 5
Aa Bb Cc Dd
2 + 2 + 2 + 2 = 8
Silang dalam pada tanaman adalah hasil persilangan antara individu yang
ada hubungan keluarga atau pembuahan sendiri dan mengarah ke peningkatan
homozigot. Silang dalam memberikan akibat buruk dari individu – individu dalam
suatu populasi. Efek silang dalam lebih dikenal dengan istilah depresi silang
dalam.
Pada tanaman penyerbuk silang : seperti jagung maka akibat silang dalam
(yakni dipresi = tekanan silang-dalam) sangat nyata sekali. Tanaman menjadi
lebih rendah, ketegapan fekunditas yang menjadi turun serta bertambahnya sifat –
sifat yang mengakibatkan kelemahan tanaman secara keseluruhan. Dengan
demikian silang dalam sebaiknya dihindari, kecuali kalau prosesnya terkontrol
dengan tujuan penciptaan hibrida, dengan memanfaatkan heterosis sebesar –
besarnya.
Silang dalam yang paling tepat adalah dari proses silang diri. Setiap kali
proses silang diri berjalan maka 50% dari heterozigot akan terhambur, sehingga
pada generasi silang diri ke 7 dan ke 8, maka populasi tanaman praktis akan
mewakili oleh individu – individu homosigous pada sesuatu lokal.
Besar kecilnya dipresi silang dalam pada berbagai tanaman tidak sama
besarnya. Contoh, bawang mengalami silang dalam yang lebih ringan dibanding
jagung. Pada tanaman penyerbuk sendiri dipresi silang dalam tidak ada artinya.
Silang dalam menyebabkan homozigositas, yaitu munculnya gen-gen yang
merugikan (letal) dan berkurangnya ketegaran tetapi dapat digunakan untuk
mengembangkan galur murni dari spesies menyerbuk silang. Derajat silang dalam
tergantung pada intensitas pembuahan sendiri atau perkawinan individu yang
berkerabat (Crowder, 1997). Bagi tanaman yang penyerbukan sendiri (sel-
polinatio). Artinya pembuahan bakal putik oleh serbuk sari oleh bunga satu
individu. (Yatim, 1986).
Pada proses silang dalam (selfing) yang dilakukan, keturunannya akan
mengalami kemunduran dalam hal ketegaran, berkurangnya ukuran dari standar
normal dan berkurangnya tingkat kesuburan reproduksi dibandingkan dengan
tanaman tetuanya. Kemunduran sifat-sifat ini sering disebut adanya tekanan silang
dalam. Silang dalam yang apabila berlanjut sampai beberapa generasi akan terjadi
fiksasi dalam pengelompokan sifat-sifat yang sesuai dengan komposisi genetiknya
dalam kondisi yang homozigot. Kemunduran yang terjadi pada suatu galur inbred
sebagai akibat proses selfing dari generasi ke generasi akan mengalami kemajuan
genetik pada F1 bila dua galur inbred yang tidak berkerabat disilangkan sesuai
dengan teori munculnya heterosis (Mangundidjojo, 2007).
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari percobaan mengenai seleksi heterosis tanaman kedelai
varietas galunggung maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Tinggi tanaman kedeliahasil persilangan lebih tinggi daripada tetua
terbaik, tetua tengah, dan tetua terjelek yang masing-masing sebesar pada
tanaman kedelai adalah 0.55 %, 4.94 %, dan 9.74 %.
2. Heterosis yang tinggi pada F1 diduga diperoleh dari tetua hibrida yang
berbeda secara genetik dan mempunyai potensi hasil tinggi. Didapat rumus
perhitungan heterosis yaitu
Hight heterosis = F1 – P2 (tertinggi ) X 100 %
P2 (tertinggi)
Mid heterosis = F1 – ((P1+P2) / 2) X 100 %
(P1+P2) / 2
Low heterosis = F1 – P1 (terendah ) X 100 %
P1 (terendah)
5.2 Saran
Pada praktikum yang telah dilaksanakan saran saya bahwa ketelitian dan
kehati-hatian dalam melakukan penghitungan nilai heterosis sangat dibutuhkan
bagi seorang pemulia. Sehingga kesalahan dalam menulis angka walaupun sedikit
akan berpengaruh terhadap kevalidan data/nilai heterosis.
DAFTAR PUSTAKA
Allard RW.1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons Inc. University of California. New York. Page 150-165.
Baker RJ. 1978. Issue in Diallel Analysis. Crop Sci (18): 533-536.
Bari AS, Musa, Sjamsudin E.1974. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 91 hal.
Beck DL, Vasal SK, Carossa J. 1990: Heterosis and Combining Ability ofCIMMYT’s Tropical Early and Intermediate Maturity Maize (Zea mays L.)Germplasm. Maydica, 35, 279–285
Betrán FJ, Beck D, Bänziger M, and Edmeades GO. 2003. Genetic Analysis ofInbred and Hybrid Yield Under Stress and Nonstress Environments inTropical Maize. Crop Sci. 43:807-817.
Budiman, LF. dan Sujiprihati S. 2000. Evaluasi Hasil dan Pendugaan Nilai Heterosispada Delapan Jagung Hibrida dalam: Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
Bioteknologi Pertanian Departemen Pertanian Jakarta. Hal. 320-327.
Chaudary HK. 1971. Elementary Principles of Plant Breeding 2nd edition. Oxford and IBH Publishing Co. India.
Crowder, L.V. 1986. Genetika Tumbuhan. Gajah Mada University Press. 449 hlm.
Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. 1998. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Tahun 1997.
Hadiatmi, Sri G. Budiarti, dan Sutoro. 2005. Evaluasi Heterosis Tanaman Jagung. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Makmur, A., 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta.
Moentono, M.D. 1997. Daya hasil dan tingkat tanggapan heterosis hibrida jagung yang melibatkan galur inbrida eksotik. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 16(1):33-40.
Nasir, M. 2002. Bioteknologi Potensi Dan Keberhasilannya Dalam Bidang Pertanian. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Setiyono, R.T. dan Subandi. 1996. Analisis heterosis dan daya gabung pada jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 15(1):30-34.
Silitonga, T.S., Minantyorini, L. Cholisoh, Warsono, dan Indarjo. 1993. Evaluasi daya gabung padi bulu dan cere. Penelitian Pertanian 1:6-14.
Suryo. 2005. Genetika strata 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sutaryo, B,. Purwantoro, A., Nasrullah. 2003. Heterosis Standar Hasil Gabah Dan Analisis Lintasan Beberapa Kombinasi Persilangan Padi Pada Tanah Berpengairan Teknis. Fakultas Pertanian UGM. Ilmu Pertanian Vol. 10 No. 2, 2003 : 70-78