laporan resmi praktikum farmakologi eksp

43
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL I PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT Nama Asisten: 1. Christine 2. Yolanda Dosen Jaga Dr.,Ika Puspita Sari, M.Si.,Apt Irfan Muris Setiawan, M.Si.,Apt Disusun oleh: Golongan IV Kelompok IV Kelas C Nama NIM TTD 1. Anita Kurniawati FA/09317 2. Annisafia Rizky Damaskha FA/09320 3. Pridiyanto FA/09323 4. Mercy Arizona FA/09326 LABORATORIUM FARMAKOLOGI dan TOKSIKOLOGI

Upload: lillyta-sari

Post on 26-Jan-2016

319 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

farmakologi

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMFARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL I

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT

Nama Asisten:

1. Christine2. Yolanda

Dosen Jaga

Dr.,Ika Puspita Sari, M.Si.,Apt

Irfan Muris Setiawan, M.Si.,Apt

Disusun oleh:

Golongan IVKelompok IV

Kelas C

Nama NIM TTD

1. Anita Kurniawati FA/09317

2. Annisafia Rizky Damaskha FA/09320

3. Pridiyanto FA/09323

4. Mercy Arizona FA/09326

LABORATORIUM FARMAKOLOGI dan TOKSIKOLOGI

BAGIAN FARMAKOLOGI dan FARMASI KLINIKFAKULTAS FARMASI UGM

YOGYAKARTA2013

Page 2: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

I. TUJUAN

Mengenal, mempraktekan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat

terhadap kecepatan absorpsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolok

ukurnya.

II. DASAR TEORI

Senyawa obat adalah zat kimia (sintetik/alami) selain makanan yang

bertujuan untuk mempengaruhi fungsi tubuh, biokimiawi, psikologis dan khususnya

untuk diagnosa, pengobatan, melunakkan, penyembuhan, atau pencegahan penyakit

pada manusia atau hewan.

Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis,

mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau

hewan.

Menurut PerMenKes 917/MenKes/Per/X/1993, obat (jadi) adalah senyawa

atau padu-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi/menyelidiki secara

fisiologis dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.

Obat merupakan sediaan atau padu-paduan bahan-bahan yang siap digunakan

untuk mempengaruhi/menyelidiki system fisiologis atau keadaan patologi dalam

rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan

kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI,

2005)

Obat yang diberikan pada pasien akan banyak mengalami proses sebelum tiba

pada tempat tujuannya dalam tubuh , yaitu tempat kerjanya atau reseptor, obat harus

mengalami beberapa proses. Obat yang masuk kedalam tubuh melalui berbagai cara

pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai

ditempat kerja dan menimbulkan efek. Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak

sekali proses dan umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga

fase:

1. Fase Farmasetik

Fase ini meliputi proses fabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk sediaan,

pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Karena itu fase ini

utamanya ditentukan oleh sifat-sifat galenik obat. Fase ini berperan dalam

ketersediaan obat untuk diabsorpsi ke dalam tubuh (ketersediaan farmasetik).

2. Fase Farmakokinetik

Page 3: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

Fase ini meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Fase

ini berperan dalam menentukan ketersediaan obat dalam plasma (ketersediaan

hayati) sehingga dapat menimbulkan efek. Fase ini termasuk bagian proses

invasi dan eliminasi. Yang dimaksud dengan invasi adalah proses-proses yang

berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat dalam organisme, sedangkan

eliminasi merupakan proses-proses yang menyebabkan penurunan konsentrasi

obat dalam organisme.

3. Fase Farmakodinamik

Fase terjadinya interaksi obat-reseptor dalam target aksi obat. Fase ini

berperan dalam menentukan seberapa besar efek obat dalam tubuh.

Suatu obat mungkin lebih efektif jika diberikan melalui salah satu cara

pemberian, tetapi tidak atau kurang efektif melalui cara pemberian yang lain.

Perbedaan ini salah satunya dapat disebabkan oleh adanya perbedaan

kecepatan absorpsi dari berbagai cara pemberian tersebut. Konsekuensinya,

efek farmakologi yang ditimbulkan juga berbeda untuk masing-masing

pemberian.

Obat dalam tubuh mengalami fase farmakokinetik, yaitu ADME

(Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi).

1. Absorpsi

Absorpsi adalah proses perpindahan obat dari tempat pemberian/aplikasi

menuju ke sirkulasi/peredaran darah yang selanjutnya mencapai target aksi

obat. Hal ini menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut.

Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tapi

secara klinik yang paling penting adalah bioavailibilitas. Istilah ini

menyatakan jumlah obat dalam persen yang mencapai sirkulasi sistemik dalam

bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena obat-obat tertentu tidak semua diabsorpsi

dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan

dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian per oral atau

dimetabolisme dihati pada first pass metabolism. Obat demikian memiliki

bioavailibilitas rendah.

Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Sifat fisika-kimia obat

b. Bentuk sediaan obat

c. Dosis obat

d. Rute dan cara pemberian

e. Waktu kontak dengan permukaan absorpsi

f. Luas permukaan tempat absorpsi

Page 4: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

g. Nilai PH cairan pada tempat absorpsi

h. Integritas membrane

i. Aliran darah pada tempat absorpsi

Jumlah obat yang diabsorpsi dipengaruhi oleh:

a. Luas permukaan absorpsi

Semakin luas permukaan absorpsi, maka jumlah obat yang diabsorpsi

semakin banyak dan semakin sempit permukaan absorpsi maka jumlah

obat yang diabsorpsi semakin sedikit.

b. Banyaknya membrane yang dilalui obat

Semakin banyak membrane yang dilalui, maka obat yang diabsorpsi

semakin sedikit. Sebaliknya, jika membrane yang dilalui sedikit maka

obat yang diabsorpsi semakin banyak.

c. Banyaknya obat yang terdegradasi

Semakin banyak obat yang terdegradasi, maka obat yang diabsorpsi

semakin sedikit, begitu pula sebaliknya.

d. Jumlah ikatan depot

Banyaknya ikatan depot obat dengan molekul tidak aktif (albumin,

lemak, tulang) berpengaruh pada jumlah obat yang diabsorpsi, yaitu

semakin banyak ikatan depot maka semakin sedikit jumlah obat yang

diabsorpsi, begitu pula dengan sebaliknya.

Mekanisme absorpsi obat dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:

a. Difusi pasif

Proses perpindahan molekul obat yang bersifat spontan, mengikuti

gradient konsentrasi, dari konsentrasi tinggi (hipertonis) ke konsentrasi

yang rendah (hipotonis), berbanding lurus dengan luas permukaan

absorpsi, koefisien distribusi senyawa yang bersangkutan, dan

koefisien difusi serta berbanding terbalik dengan tebal membrane.

b. Transpor aktif

Molekul ditranspor melawan gradient transportasi. Proses ini

memerlukan adanya energi dan dapat dihambat oleh senyawa analog,

secara kompetitif dan secara tak kompetitif oleh racun metabolisme.

c. Difusi terfasilitasi

Molekul hidrofil sulit untuk menembus merman yang komposisi

luarnya adalah lipid, maka berikatan dengan suatu protein pembawa

yang spesifik. Pembawa dan kompleks pembawa-substrat dapat

bergerak bebas dalam membran, dengan demikian penetrasi zat yang

Page 5: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

ditransport melalui membrane sel lipofil kedalam bagian dalam sel

dipermudah.

2. Distribusi

Setelah obat diabsorpsi kedalam aliran darah, untuk mencapai tepat pada letak

dari aksi harus melalui membrane sel yang kemudian dalam peredaran,

kebanyakan obat-obatan didistribusikan melalui cairan badan. Distribusi

merupakan transfer obat yang reversible antara letak jaringan dan plasma. Pola

distribusi menggambarkan permainan dalam tubuh oleh beberapa factor yang

berhubungan dengan permeabilitas, kelarutan dalam lipid dan ikatan pada

makromolekul. Distribusi obat dibedakan menjadi dua fase berdasarkan

penyebarannya dalam tubuh. Fase pertama terjadi segera setelah penyerapan

yaitu kedalam organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati,

ginjal, dan otak. Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas, yaitu

mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik jaringan diatas yang meliputi

otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Factor-faktor yang berhubungan dengan

distribusi obat dalam badan adalah:

a. Perfusi darah melalui jaringan

b. Kadar gradient, PH, dan ikatan zat dengan makromolekul

c. Partisi kedalam lemak

d. Transport aktif

e. Sawar

f. Ikatan obat dengan protein plasma

3. Metabolisme

Biotransformasi atau metabolisme adalah proses perubahan struktur kimia

obat didalam tubuh yang dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat

diubah menjadi bentuk yang lebih polar atau lebih mudah larut didalam air dan

sukar larut didalam lemak sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Selain

intu pada umumnya obat diubah menjadi bentuk inaktif, sehingga proses

biotransformasi menentukan dalam mengakhiri kerja obat.

4. Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk

metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ginjal merupakan

organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi pada ginjal merupakan resultan dari

tiga proses yaitu filtrasi diglomerulus, sekresi aktif di tubulus proximal dan

Page 6: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

reabsorpsi pasif di tubulus proximal dan distal. Ekskresi obat selain pada

ginjal juga dapat terjadi melalui air liur, keringat, air mata, air susu dan

rambut.

Obat dapat menimbulkan efek apabila terjadi interaksi atau kontak dengan

obat terlebih dahulu. Kontak terjadi pada tempat dimana obat diberikan.

Berikut ini ada beberapa cara pemberian obat berdasarkan ada tidaknya

intervensi saluran pencernaan (melewati gastrointestinal)

a. Enteral

Merupakan cara pemberian obat melalui saluran pencernaan, umumnya

obat ditujukan untuk efek secara sistemik. Contoh pemberian obat secara

enteral yaitu:

1. Per oral (p.o)

Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan dan pemberian

melalui mulut. Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum

karena mudah digunakan, relative aman, murah dan praktis (dapat dilakukan

sendiri tanpa keahlian dan alat khusus). Kerugian dari pemberian obat secara

peroral adalah efeknya lama, mengiritasi saluran pencernaan, absorpsi obat

tidak teratur, tidak 100% obat diserap. Tidak diserapnya obat secara 100%

dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:

Jumlah makanan dalam lambung

Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau enzim

gastrointestinal, misalnya insulin yang harus diberikan secara peroral

akan dirusak oleh enzim proteolitik dari saluran gastrointestinal.

Pada keadaan pasien muntah-muntah sehingga obat tidak dapat

diabsorpsi.

Dikehendaki kerja awal yang cepat.

Ketersediaan hayati yaitu persentase obat yang diabsorpsi tubuh dari

suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk memberi efek terapeutik.

Tujuan penggunaan obat melalui oral terutama untuk memperoleh efek

sistemik, yaitu obat masuk melalui pembuluh darah dan beredar ke seluruh

tubuh setelah terjadi absorpsi obat dari bermacam-macam permukaan

sepanjang saluran gastrointestinal. Tetapi ada obat yang memberi efek lokal

dalam usus atau lambung karena obat yang tidak larut, misalnya obat yang

digunakan untuk membunuh cacing dan antasida yang digunakan untuk

menetralkan asam lambung.

Page 7: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

2. Sublingual

Merupakan cara pemberian obat melalui mukosa mulut. Keuntungannya

absorpsi lebih cepat daripada peroral, karena pada mukosa mulut banyak

terdapat pembuluh darah. Namun cara pemberian ini tidak bisa digunakan

untuk obat yang rasanya tidak enak sehingga jenis obat yang dapat diberikan

secara sublingual sangat terbatas.

3. Per rektal

Biasanya cara pemberian ini dilakukan pada penderita muntah muntah, tidak

sadar, dan pasien pasca bedah. Umumnya metabolisme lintas pertamanya

sebesar 59%. Namun, cara pemberian melalui rektal dapat mengiritasi mukosa

rektum, absorpsinya tidak sempurna, dan tidak teratur.

b. Parenteral

Cara pemberian ini tidak memasukkan obat ke dalam tubuh melalui

saluran cerna. Pemberian obat secara intravaskuler termasuk ke dalam

parenteral.

Berdasarkan ada tidaknya proses absorbsi, pemberian obat dibagi menjadi 2,

yakni:

1. Intravaskuler

Merupakan cara pemberian obat yang pengaplikasiannya pada pembuluh

darah, meliputi intra vena dan intra cardiac, intra arterial. Intravena tidak

mengalami proses absorpsi karena semua obat masuk sirkulasi sistemik,

bioavalibilitasnya 100% serta kadarnya akurat. Namun, efek toksik mudah

terjadi dan tidak dapat ditarik kembali jika ada kesalahan dosis, serta perlu

teknik medik khusus. Intra cardiac merupakan cara pemberian yang langsung

dimasukkan ke dalam pembuluh darah cardiac.

2. Ekstravaskuler

Merupakan pemberian obat yang aplikasinya di luar pembuluh darah. Ada 3

macam, yaitu:

a. Intra muscular (i.m)

Pemberian obat melalui suntikan dalam jaringan otot, umumnya pada otot

pantat dan otot paha (gluteus maximus) di mana tidak terdapat banyak

pembuluh darah dan saraf sehingga relative aman untuk digunakan. Obat

dengan cara pemberian ini dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi.

Page 8: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi.

Obat yang sukar larut dalam air akan mengendap di tempat suntikan sehingga

absorpsinya lambat atau terjadi tagositosis dari partikel obat. Contoh obat

yang absorpsinya tidak sempurna adalah Ampicillin, Cephadrin,

Chlordiazepodixide, Diazepam, Dicloxacilin, Digoksin, Pherylbutazone,

Phenytoin, Quinine. Sebaliknya, obat yang larut dalam air akan diabsorpsi

dengan cepat. Absorpsi biasanya berlangsung dalam waktu 10-30 menit.

Namun, kecepatan absorpsi juga bergantung pada vaskularitas tempat suntikan

dengan kecepatan peredaran darah antara 0,027-0,07 ml/menit. Molekul yang

kecil langsung diabsorpsi ke dalam kapiler sedangkan molekul yang besar

masuk ke sirkulasi melalui saluran getah bening. Absorpsi obat cara suntikan

i.m pada pria lebih cepat daripada wanita karena pada wanita lebih banyak

terdapat jaringan adipose.

o Keuntungannya:

Keuntungan obat dalam gastrointestinal dapat dihindari

Efek obat cepat

Fleksibel dan accurable jika diberikan pada penderita

yang mengalami collaps, shock, dan bagi yang sukar

menelan.

o Kerugiannya:

Lebih mahal

Jika terjadi efek toksik sulit diatasi

Perlu keahlian khusus dalam pemakaian obat

o Terdapat juga efek samping pemberian obat melalui i.m, yaitu:

Nyeri

Peningkatan kreatinfasfokinase dalam serum akibat dari

trauma yang kadang-kadang menyebabkan nervus

sciatica setelah pemberian intraglutal

b. Subkutan (s.c)

Pemberian obat melalui injeksi ke dalam jaringan di bawah kulit. Bentuk

sediaan yang mungkin diberikan dengan cara ini antara lain larutan dan

suspensi dalam volume lebih kecil dari 2 ml, misalnya insulin. Obat diabsorpsi

secara lambat sehingga intensitas efek sistemik dapat diatur. Pemberian obat

dengan cara ini dilakukan bila obat tidak diabsorpsi pada saluran pencernaan

atau dibutuhkan kerja obat secara tepat, misalnya pada situasi akut. Pemberian

Page 9: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

subkutan hanya boleh digunakan untuk obat-obat yang tidak menyebabkan

iritasi pada jaringan.

o Keuntungannya:

i. Absorpsinya lambat dan diperpanjang

ii. Efek obat lebih teratur dan cepat disbanding per oral

iii. Fleksibel bagi penderita yang collaps dan disorientasi

iv. Berguna pada kondisi darurat

o Kerugiannya:

i. Tidak boleh untuk obat-obat yang iritatif/dicampur dengan

vasokonstriktor.

ii. Variable absorpsi tergantung aliran darah

c. Intra peritoneal (i.p)

Obat diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau terkena hati,

karena dapat menyebabkan kematian. Di dalam rongga perut ini, obat

diabsorpsi secara cepat karena pada mesentrium banyak mengandung

pembuluh darah. Dengan demikian absorpsinya lebih cepat dibandingkan

peroral dan intramuscular. Obat yang diberikan secara i.p akan diabsorpsi pada

sirkulasi portal sehingga akan dimetabolisme di dalam hati sebelum mencapai

sirkulasi sistemik.

d. Intra vena (i.v)

Biasanya tidak mengalami absorpsi, kadar diperoleh dengan cepat, tepat, dan

dapat disesuaikan respon serta dapat digunakan untuk larutan iritatif. Namun,

cara pemberian intravena biasanya efek toksik mudah terjadi, dan tidak dapat

ditarik jika terjadi kesalahan perhitungan dosis, juga bagi obat yang larut

dalam larutan minyak tidak boleh diberikan karena mengendapkan konstituen

darah, serta bagi intravena penyuntikan dengan cara perlahan-lahan sambil

mengawasi respon.

Selain cara pemberian, ada faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat,

antara lain sebagai berikut:

1. Faktor Kimia

i. Ukuran partikel

Semakin kecil ukuran partikel berarti luas permukaan absorpsi

obat akan lebih besar sehingga akan memudahkan obat

diabsorpsi.

Page 10: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

ii. Kecepatan disolusi

Kecepatan terlepasnya zat aktif dari bentuk sediaannya.

Semakin cepat zat aktif terlepas dari bentuk sediaannya maka

semakin cepat absorpsinya.

iii. Ionisasi

Obat dalam bentuk ion lebih mudah larut dalam air, sedangkan

obat dalam bentuk molekul lebih mudah larut dalam lipid. Obat

tak terionkan lebih mudah diabsorpsi.

iv. Kadar obat

Semakin tinggi kadar obat, tingkat absorpsinya akan semakin

besar. Namun, perlu diperhatikan juga kadar toksis minimum

obat tersebut.

2. Faktor Fisiologis

i. Luas permukaan absorpsi

Semakin luas permukaan absorpsi, semakin cepat absorpsinya.

ii. Kecepatan aliran darah

Semakin cepat aliran darah, semakin cepat absorpsinya.

iii. Pengosongan lambung

Jika obat diberikan bersama dengan makanan, maka proses

pengosongan lambung akan lebih lama, sehingga obat di

lambung dihancurkan oleh asam dan tak terabsorpsi.

iv. Motilitas obat

Jika gerakan peristaltik usus yang mendorong obat besar dan

cepat, maka absorpsinya akan semakin cepat.

Page 11: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

III. CARA PERCOBAAN

1. Bahan dan alat yang digunakan

Bahan:

Natrium pentobarbital 3.5 % / Natrium Thiopental, Natrium

Hexobarbital alkohol 70 %

Alat:

- Split injeksi dan jarum (1-2 ml)

- Jarum berujung tumpul (untuk per oral)

- Sarung tangan

- Stopwatch

2. Cara kerja

diambil 4 mencit dan dimasukkan ke dalam tempat mencit

mencit ditimbang dan diperhitungkan volume Na-Thiopental yang akan

diberikan (dosis=55 mg/BB)

Na-Thiopental diberikan pada mencit dengan cara pemberian yang berbeda pada tiap

mencit

Per Oral Intramuskular Intraperitonial Subkutan

dicatat waktu reflek balik badan

dihitung onset dan durasi

dibandingkan hasilnya dengan uji statistika analisis varian pola searah dengan taraf kepercayaan 95 %

Page 12: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

IV. HASIL PERCOBAAN

No Bobot wadah (gram)

Bobot wadah + mencit (gram)

Bobot mencit (gram)

Vol Na-Thiopental (ml)

I 83.1 112.8 29.8 0.328

II 83.1 105.1 22.0 0.242

III 82.8 110.5 27.7 0.030

IV 83.1 109.5 26.4 0.290

# Perhitungan volume Na-ThiopentalDosis x berat mencit (gram)

Mencit I; Per oral55 x 29.8

Mencit II; Subkutan55 x 22.0

Mencit III; Intramuskular55 x 27.7

Mencit IV; Intraperitonial55 x 26.4

#Data onset dan durasi

No Cara pemberian Onset (detik) Durasi (detik)

1. Per oral a. -b. -c. -d. 3195e. 326

a. -b. -c. -d. 818e. 3702

2. Sub kutan a. -b. 1482c. 4738d. 503e. -

a. –b. 1158c. 912d. 3550e. –

3. Intra muskular a. – a. –

VolumeStok x

Volume 5 x 1000= 0.328

Volume5 x 1000

= 0.242

Volume 50 x 1000= 0.030

Volume 5 x 1000= 0.290

Page 13: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

b. 1556c. 2347d. 364e. 2755

b. 176c. 9012d. 1251e. 2342

4. Intra peritonial a. 20b. 1566c. 123d. 887e. 3532

a. 2880b. 805c. –d. 263e. 1291

Keterangan:

Warna biru : dijadikan data untuk analisis

V. Pembahasan

Pada percobaan kali ini bertujuan untuk mengenal, mempraktekkan dan

membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya

menggunakan data farmakologi sebagai tolok ukurnya. Dari percobaan ini

diharapkan dapat diketahui pengaruh cara pemberian obat terhadap daya absorbsi

yang selanjutnya akan berpengaruh pada efek farmakologi obat.

Salah satu cara untuk mengetahui pengaruh antara kedua variable tersebut, dengan

membandingakn waktu durasi dan onsetnya. Waktu onset yaitu waktu yang

diperlukan obat mulai dari proses pemberian obat sampai tmenimbulkan sirkulasi

sistemik dan menimbulkan efek. Sedangkan waktu durasi adalah waktu yang

diperlukan obat mulai memberikan efek sampai hilangnya efek. Absorbsi

(penyerapan) merupakan proses perpindahan obat dari tempat aplikasi menuju

sirkulasi sistemik, menyangkut kecepatan proses dan kelengkapan yang biasa

dinyatakan dalam % dari jumlah obat yang diberikan.

Dalam percobaan ini, hewan uji yang digunakan adalah 4 ekor mencit. Penggunaan

hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah

berjalan puluhan tahun yang lalu Hewan uji yang digunakan pada percobaan ini

adalah mencit (Mus muculus). Alasan digunakannya mencit sebagai hewan uji

percobaan ini antara lain :

1. Memiliki sistem fisiologis yang irip dengan manusia

2. Memiliki sistem fisiologis yang relatif lebih kecil dibandingkan hewan uji

lainnya (tikus, kelinci, kucing, anjing) sehingga memudahkan pengamatan

waktu absorpsi obat

3. Pengamatan mencit lebih mudah

Page 14: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

4. Lebih ekonomis

Langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah dengan menimbang

bobot mencit untuk menetapkan kadar yang sesuai bagi mencit agar tidak over dosis.

Hal ini dilakukan karena setiap cara pemberian obat memiliki volume maksimum

masing-masing dan berbeda satu sama lain. Semakin panjang rute penggunaan suatu

obat, maka semakin kecil konsentrasi obat yang mencapai sel target, sehingga volume

yang diberkan juga berbeda. Jika volume obat yang diberikan melebihi volume

maksimum maka dikhawatirkan obat akan melebihi KTM (Kadar toksik maksimum)

dan mencit akan mengalami over dosis. Akan tetap jika volume obat yang diberikan

terlalu sedikit, maka dikhawatirkan obat tidak akan mencapai KEM (Kadar Efektif

Minimum) dan tidak mengakibatkan efek pada mencit. Setelah setiap mencit

ditimbang, ditentukan mencit yang akan digunakan untuk jenis injeksi dan diberi

nomor untuk memudahkan dalam pengamatan.

Berdasarkan percobaan didapat berat mencit 1,2,3,dan 4 berturut-turut sebesar 29,8

gr; 22,0 gr; 27,7 gr; dan 26,4 gr. Dalam percobaan ini,mencit 1 dikenakan cara

pemberian per oral, mencit 2 untuk sub cutan, mencit 3 untuk intramuscular, dan

mencit 4 untuk intraperitonial.Supaya obat yang diberikan tidak over dosis atau tidak

mencapai KEM maka dilakukan perhitungan volume pemberian. Volume pemberian

dihitung dengan cara hasil kali dosis dan berat mencit (gram) dibagi dengan stok yang

dikalikan 1000 terlebih dahulu untuk mengubah satuan gram menjadi kilogram. Pada

percobaan digunakan dosis sebesar 55 mg/kgBB dan larutan stok sebesar 5 mg/ml

dan 50 mg/ml. Dalam perhitungan apabila didapatkan hasil volume pemberian

melebihi volume maksimum , maka harus dilakukan penggantian larutan stok dengan

kadar yang lebih besar. Seperti halnya yang terjadi pada mencit 3. Ketika digunakan

larutan stok 5 mg/ml maka diperoleh hasil 0,3 ml. Hasil ini melebihi volume

maksimum dari intramuscular (0,05 ml). Sehingga untuk memperkecil volume

pemberian agar tidak over dosis, larutan stok yang digunakan adalah 50 mg/ml. Dari

perhitungan tersebut diperoleh hasil 0,03 ml. Dimana hasil ini tidak melebihi volume

maksimum pada perlakuan intramuscular . Dari perhitungan diperoleh hasil volume

pemberian untuk mencit 1,2,3, dan 4 secara berturut-turut sebesar 0,33 ml;0,24

ml;0,03 ml; dan 0,3 ml. Data tersebut dibandingkan dengan volume maksimum

masing-masing cara pera pemberian pada tabel, untuk mengetahui apakah dosis

tersebut over dosis atau tidak. Berdasarkan tabel secara berturut-turur volume

maksimal untuk cara pemberian per oral, sub cutan, intramuscular, dan intraperitonial

adalah 1,0 ml;0,5-1,0 ml; 0,05 ml; dan 1,0 ml. Setelah diperbandingkan volume

pemberian dan volume maksimu maka tidak ditemukan adanya over dosis. Dengan

tidak adanya kasus over dosis pada volume obat yang diberikan, maka segera

Page 15: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

dilakukan pengambilan larutan stok yang sesuai dengan volume untuk masing-masing

perlakuan. Perlu diperhatikan bahwa khusus untuk jarum suntik perlakuan per oral

maka digunakan jarum suntik yang ujungnya tumpul . Sedangkan untuk perlakuan

lainnya, digunakan jarum suntik dengan ujung yang tajam.

Pada percobaan digunakan cairan obat Natrium thiopental atau natrium pentobarbital.

Pentothal natrium adalah salah satu dari tiga obat jenis barbiturat yang sering

digunakan untuk anestesi klinis. Namun selain mempunyai efek anestesi. Pentothal

natrium dan golongan barbiturat pada umumnya juga mempunyai efek samping yaitu

mereduksi konsumsi oksigen cerebral (CMR02). Sehingga aliran darah otak dan

tekanan intrakranial pun ikut turun. Pada sistem kardiovaskular digunakan untuk

vasodilatasi, venodilatasi dan menurunkan resiko penurunan tiba-tiba pada kontraksi

kardiak. Pada sistem respirasi pentothal natrium berfungsi sebagai depresan. Senyawa

ini dan senyawa barbiturat pada umumnya sangat bermanfaat bagi manusia khususnya

dunia kesehatan dan operasi (pembedahan) sebagai anestesi. Pada hewan uji, Natrium

thiopental dapat memberikan efek tidur pada hewan uji. Struktur molekul Natrium

Tiopental :

Setelah dipersiapkan alat dan bahannya, maka segera dilakukan penyuntikan terhadap

4 mencit sesuai dengan perlakuan masing-masing. Dalam hal ini, cara memegang

mencit harus dilakukan dengan benar agar penginjeksian dapat berjalan lancar dan

meminimalisir terjadinya salah penyuntikan. Adapun cara memegang mencit yang

benar adalah awalnya ujung ekor mencit diangkat dengan tangan kanan ataupun kiri

( tergantung nyamannya praktikan). Kemudian telunjuk dan ibu jari tangan kiri

menjepit kulit tengkuk, sedangkan ekornya tetap dipegang dengan tangan kanan

(ataupun sebaliknya). Selanjutnya, posisi tubuh mencit dibalikkan, sehingga

permukaan perut menghadap kita dan ekor dijepitkan diantara jari manis dan

kelingking tangan kiri. Dengan kondisi demikian, maka tikus siap untuk diinjeksi.

Hal yang perlu diperhatikan sebelumnya adalah kita harus melakukan pendekatan

terlebih dahulu terhadap hewan uji. Hal ini bertujuan agar mencit-mencit tersebut

lebih mudah untuk dipegang. Kondisi stress pada mencit dapat membuat dirinya

Page 16: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

memberontak dan bisa melukai praktikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi

mencit diantaranya adalah kebisingan suara di dalam laboratorium dan frekuensi

perlakuan terhadap mencit tersebut. Dalam menangani mencit, semua kondisi yang

menjadi faktor internal dan eksternal dalam penanganan hewan percobaan harus

optimal, untuk menjaga kondisi mencit tersebut tetap dalam keadaan normal. Apabila

kondisinya terganggu, maka mencit tersebut akan mengalami stress. Kondisi stress

yang terjadi pada mencit akan mempengaruhi hasil percobaan yang dilakukan.

Pada percobaan ini, dilakukan 4 cara pemberian obat melalui rute-rute yang berbeda.

1. Oral

Penyuntikkan per oral merupakan rute pemberian jalur eternal melalui

gastrointestinal. Pada cara ini dilakukan dengan bantuan jarums suntik yang

ujungnya tumpul . Hal ini dikarenakan untuk menghindari atau meminimalisir

terjadinya infeksi akibat luka yang disebabkan oleh jarum suntik. Jarum suntik

dimasukkan melalui mulut mencit secara pelan-pelan melalui langit-langit kearah

belakang esophagus. Apabila jarum sudah masuk melalui esophagus maka jika

jarum itu didiamkan tanpa ditekan akan masuk sendiri sampai hampir seluruh

jarum masuk dalam mulut mencit. Setelah jarum benar-benar masuk esophagus

mencit, kemudian cairan dimasukkan sampai larutan dalam jarum suntik habis.

Pada percobaan ini, volume cairan yang digunakan 0,33 ml. Jika terasa ada

hambatan mungkin melukai saluran nafas.  Maka dari itu jarum suntik harus

ditarik dan dimasukkan kembali hingga tak ada hambatan. Jika jarum tetap

dipaksa untuk masuk, dikhawatirkan akan menyebabkan luka pada mencit dan

dapat mempengaruhi hasil percobaan.

Berdasarkan percobaan, kondisi mencit sebelum diinjeksi adalah sehat dan

bergerak aktif. Kemudian dilakukan penginjeksian per oral pada mencit. Waktu

onset dihitung dari saat pemberiaan obat hingga timbulnya efek pada mencit. Dari

percobaan didapat data waktu onset adalah 3195 detik. Sedangkan durasinya

adalah 818 detik. Secara teoritis pemberian peroral memiliki onset paling lama

karena obat harus melewati rute yang panjang dan mengalami berbagai peristiwa

sebelum mencapat tempat aksinya, yaitu sistem saraf pusat. Obat akan mengalami

first pass metabolism yaitu perubahan obat dalam proses absorpsi sebelum

memasuki sirkulasi sistemik. First pass effect ini dapat terjadi di lambung dan

usus berupa perusakan oleh enzim-enzim pencernaan. Selain itu metabolisme obat

di hati juga dapat mengubah zat aktif menjadi metabolit yang umumnya lebih

tidak aktif.

Cara pemberian obat per oral merupakan cara yang paling umum digunakan

karena mudah, aman dan murah. Akan tetapi, cara tersebut memiliki beberapa

Page 17: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

kerugian yaitu banyanyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, yaitu

obat dapat mengiritasi saluran pencernaan, sehingga tidak dapat dilakukan bila

pasien koma. Absorpsi obat terjadi secara difusi pasif, oleh sebab itu obat harus

mudah larut dalam lemak dan dalam bentuk non-ionik. Absorpsi obat dalam usus

halus lebih cepat karena epitel usus halus permukaannya luas karena berbentuk

vili yang berlipat. Sedngkan dalam lambung lebih lambat karena dindingnya

tertutup lapisan mukus yang tebal.

2. Sub Cutan

Jarum yang digunakan adalah jarum dengan ujung runcing. Penyuntikan

dilakukan di bawah kulit. Sedangkan volume cairan thiopental yang digunakan

adalah 0,24 ml. Berdasarkan percobaan, kondisi mencit sebelum diinjeksi adalah

sehat dan bergerak aktif. Kemudian dilakukan penginjeksian sub cutan pada

mencit. Penyuntikkan harus dilakukan hati-hati, karena dikhawatirkan justru

menembus daging mencit. Waktu onset dihitung dari saat pemberiaan obat hingga

timbulnya efek pada mencit. Dari percobaan didapat data waktu onset adalah 3195

detik. Sedangkan durasinya adalah 818 detik.

Penginjeksian sub cutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak

menyebabkan iritasi jaringan. Pada umumnya absorpsi terjadi secara lambat dan

konstant sehingga efeknya bertahan lama. Obat bentuk suspensi diserap lebih

lambat daripada larutan. Pemberian obat yang dicampur dengan obat

vasokonstriktor juga dapat memperlambat absorpsi obat tersebut.

Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui

bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit.

Larutan tiopental yang digunakan bersifat isotonis dan isohidris. Apabila larutan

sangat menyimpang isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan

absorpsi zat aktif tidak optimal. Absorpsi obat dapat diperlambat dengan

menambahkan Adrenaline (cukup 1:100.000-200.000) yang menyebabkan

konsentriksi pembuluh darah local, sehingga difusi obat tertahan atau diperlambat.

Sebaliknya, absorpi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase,

suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan yang

menyebabkan penyebaran dipercepat. Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih

besar dari pada penyuntikkan ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian

subkutan mikroba menetap di jaringan dan membentuk abses.

Cara ini termasuk cara pemberian parenteral (diluar saluran pencernaan)

sehingga setelah obat disuntikkan ke bawah kulit, obat akan langsung menuju ke

saluran sistemik. Daerah subkutan memilki suplai darah yang baik dari kapiler

kapiler (tersusun dari sel sel endotelia) dan pembuluh limfa. Dengan demikian

Page 18: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

obat dapat berdifusi melalui jaringan melewati dinding kapiler kemudian masuk

ke dalam sirkulasi darah. Kecepatan aliran darah dalam pembuluh kapiler sangat

menentukan kecepatan obat memasuki sirkulasi sistemik. Pada pemberian obat

secara sub kutan, obat tidak mengalami first pass metabolism karena tidak melalui

saluran pencernaan dan vena porta. Barrier yang menghambat obat memasuki

sirkulasi sistemik hanya dinding pembuluh kapiler yang tersusun atas endotelium.

Obat dengan karakter fisika kimia yang tepat akan mudah berdifusi melalui

jaringan dan dinding pembuluh kapiler untuk kemudian masuk ke sistem sirkulasi

sistemik. Oleh karena itu, onset sub kutan kurang dari intraperitonial.

3. Intramuscular

Pemberian secara intra muscular adalah injeksi obat yang dilakukan pada

gluteus maximus (otot paha) dari mencit dengan menggunakan spuit berujung

runcing. Sebelum menginjeksi obat, posisi hewan harus terlentang dan kaki agak

ditarik keluar agar paha bagian luar terlihat, lalu bagian paha mencit terlebih

dahulu diraba untuk menemukan otot paha mencit yang ditunjukkan dengan

adanya tonjolan melintang dan terasa sedikit kenyal. Jika saat diraba terasa keras,

berarti itu bukan otot paha melainkan tulang paha, dan jika injeksi dilakukan pada

bagian tulang dapat menyebabkan cacat di tulang paha mencit. Injeksi dilakukan

dengan sudut kira kira 45 derajat dari otot sehingga obat masuk dengan sempurna

ke dalam serabut otot lurik, sebab absorpsi diharapkan akan berlangsung dengan

menembus dinding pembuluh darah kapiler yang terdapat pada dinding bundel

otot dimana tidak banyak mengandung lemak. Oleh karena itu, secara teori

pemberian obat melalui intra muscular memiliki waktu onset tercepat kedua

setelah injeksi per oral sebab obat akan langsung terabsorpsi ke sirkulasi sistemik,

tidak melewati First Pass Elimination di hepar dan hidrolisis oleh enzim-enzim

pencernaan. Yang berperan sebagai barrier obat di sini dalah pembuluh darah

kapiler.

Pada pemberian secara intra muskular digunakan stock 50 mg/ml dengan dosis

55 mg/kgBB, sehingga volume maksimal yang bisa diberikan adalah 0,03 ml.

Sebelum diinjeksikan, kondisi mencit sehat dan bergerak aktif, setelah obat

diinjeksikan, perilaku mencit menunjukkan perubahan. Perubahan tersebut

ditandai dengan keadaan mencit yang berjalan miring-miring dan tidak bergerak

aktif lagi. Dari percobaan diperoleh waktu onset intra muscular adalah 364 detik

dan durasi 1251 detik.

Keuntungan :

a. Efek yang ditimbulkan lebih cepat dan teratur bila dibandingkan dengan

pemberian per oral

Page 19: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

b. Dapat diberikan pada penderita yang tidak sadar, tidak kooperatif, atau

muntah-muntah

c. Sangat berguna dalam kondisi darurat

d. Obat dilepas pelan- pelan

e. Cocok untuk obat yang iritatif bila diberikan secara sub cutan

Kerugian :

a. Obat-obatan dalam larutan dalam minyak atau bentuk suspensi akan

diabsorpsi sangat lambat dibandingkan larutan dalam air. Semakin kecil

pertikel suspensi, kecepatan absorpsi semakin meningkat.

b. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik misalnya digoksin,

fenitoin, dan diazepam akan mengendap di tempat suntikan sehingga

absorpsinya akan berjalan dengan lambat, tidak teratur, dan tidak lengkap.

(Joenoes, 2002)

c. local iritasi di tempat injeksi

d. kecepatan absorbsi tergantung kecepatan aliran darah ke otot

e. perlu keahlian khusus dalam pemakaian obat

f. jika ada efek toksik sukar dihindari

4. Intraperitoneal

Pemberian secara intra peritoneal adalah injeksi obat yang dilakukan pada

rongga perut mencit dengan sudut kontak agak miring terhadap permukaan perut

dari mencit dengan menggunakan spuit berujung runcing. Sebelum menginjeksi

obat, posisi hewan juga harus terlentang, kemudian bagian perut yang diinjeksi

adalah bagian yang berada pada tengah garis yang sejajar jika ditarik dari ujung

kepala hingga bagian bawah perut mencit. Jarum yang dimasukkan tidak boleh

terlalu dalam agar tidak menembus organ usus dan dapat berakibat pada

kebocoran usus hingga berujung kematian. Agar jarum dipastikan telah masuk ke

dalam rongga perut, jarum diputar sedikit hingga dirasakan ada rongga yang

ditembus jarum. Jika dirasa sudah tembus dan tidak terlalu dalam, obat

diinjeksikan. Di dalam rongga perut, obat akan diabsorpsi dengan cepat karena

pada mesentrium (sebagian dari selaput perut/peritoneum yang selain usus juga

menyelubungi organ perut lain dan berlanjut sebagai lapisan dalam dari rongga

perut) banyak pembuluh darah, sehingga permukaan absorpsinya lebih luas.

Namun, pemberian secara Intra peritoneal (IP) tidak dilakukan pada manusia

karena resiko infeksi besar, dan berbahaya. (Anonim, 1995).

Page 20: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

Secara teoritis, onset Intra peritoneal paling pendek dibandingkan dengan cara

pemberian lainnya. Dengan kata lain, efek yang ditimbulkan melalui pemberian

secara intra peritoneal sangat cepat.

Pada pemberian secara intra peritoneal digunakan stock 5 mg/ml dengan dosis

55 mg/kgBB, sehingga volume maksimal yang bisa diberikan adalah 0,2904~0,3

ml. Sebelum diinjeksikan, kondisi mencit sehat dan bergerak aktif, setelah obat

diinjeksikan, perilaku mencit menunjukkan perubahan. Perubahan tersebut

ditandai dengan keadaan mencit yang berjalan miring-miring dan tidak bergerak

aktif lagi.Dari hasil percobaan diperoleh waktu onset intra peritoneal 887 detik

dan waktu durasi 263 detik.

Keuntungan :

a. Efek yang ditimbulkan lebih cepat dan teratur bila dibandingkan dengan

pemberian peroral

b. Dapat diberikan pada penderita yang tidak sadar, tidak kooperatif, atau

muntah-muntah

Kerugian :

a. Tidak dapat dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi terlalu besar,

bisanya dilakukan pada hewan

b. kemungkinan infeksi sangat besar

Pada literatur, onset yang paling cepat adalah pada pemberian obat

intraperitonial dan paling lambat pada pemberian obat per oral. Hal ini terjadi

karena :

Intraperitonial, rongga peritoneum mempunyai permukaan absorpsi yang

sangat luas sehingga obat dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat.

( dr.sjamsuir munaf,1994 )

Peroral, obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor

karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor penghambat seperti

protein plasma.

Sementara hasil dari percobaan menunjukkan bahwa waktu onset kurang

sesuai dengan teori, sebab intra muscular memilki waktu onset paling cepat,

sedangkan onset per oral paling lama. Sedangkan waktu durasinya yang paling

cepat adalah intra peritoneal dan yang paling lambat adalah sub cutan. Pada

literatur, durasi yang paling cepat adalah pada pemberian obat intraperitonial

dan paling lambat pada pemberian obat per oral.

Page 21: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

Bedasrkan hasil tersebut, ada yang tidak sesuai teori yakni onset paling cepat

dan durasi paling lambat. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor

diantaranya:

Mekanisme injeksi yang salah, yakni meliputi tempat penyuntikan yang

kurang tepat disebabkan praktikan yang masih kurang berpengalaman dalam

melakukan injeksi terhadap hewan uji.

Pengamatan waktu onset dan durasi yang keliru

Kesalahan pada perhitungan waktu saat obat mulai berefek, yaitu dengan

terlihatnya aktivitas mencit yang menurun dan dicatat sebagai waktu onset.

Padahal, waktu onset tercapai jika mencit sudah menunjukkan kehilangan

refleks balik badan.

Faktor individu dari hewan uji (mencit), contohnya faktor toleransi yaitu

reaksi yang terjadi ketika klien mengalami penurunan respon / tidak berespon

terhadap obat yang diberikan, dan membutuhkan penambahan dosis obat

untuk mencapai efek terapi yang diinginkan. Beberapa zat yang dapat

menimbulkan toleransi terhadap obat adalah nikotin, etil alkohol, opiat dan

golongan barbiturat (ntrium thiopental, fenobarbital, secobarbital, dan lain-

lain).

Dengan adanya variasi onset dan durasi dari tiap-tiap cara pemberian dapat

disebabkan oleh beberapa hal, meliputi:

1. Kelarutan obat

Kebanyakan obat pada umumnya merupakan senyawa asam lemah atau basa

lemah. Dengan demikian, apabila obat-obat tersebuta dilarutkan dalam pH

absolute rendah, maka akan praktis tidak terion. Sehingga obat yang

terabsorbsi semakin banyak.

2. Rute pemberian

Rute pemberian mempengaruhi kecepatan absorbsi obat ke dalam sistem

sirkulasi sebab cara pemberian obat akan mempengaruhi jalur obat di dalam

tubuh yang akan berpengaruh pada kecepatan absorbsi obat. Semakin banyak

membran yang harus dilalui maka semakin luas permukaan absorbsi, sehingga

semakin banyak obat yang dapat diabsorbsi.

3. Pengosongan lambung

Pada obat-obat jenis tertentu misalnya asam lemah, pengosongan lambung

akan menyebabkan pH lambung semakin rendah atau asam. Sehingga, akan

semakin banyak obat dalam bentuk tak terion yang berakibat pada peningkatan

absorbi obat.

Page 22: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

4. Luas permukaan absorbsi

Semakin luas permukaan absorpsi, maka jumlah obat yang diabsorpsi semakin

banyak dan semakin sempit permukaan absorpsi maka jumlah obat yang

diabsorpsi semakin sedikit.

Selain keempat hal tersebut, onset dan durasi dapat dipengaruhi oleh :

1.  Kondisi hewan uji dimana masing-masing hewan uji sangat bervariasi yang

meliputi produksi enzim, berat badan dan luas dinding usus, serta proses

absorbsi pada saluran cerna.

2.  Faktor teknis yang meliputi ketetapan pada tempat penyuntikan dan

banyaknya volume pemberian luminal pada hewan uji.

VI. Analisis secara Statistika

Data yang diperoleh dari percobaan kami analisis dengan ANOVA pola searah

sehingga selanjutnya dapat diinterpretasikan pengaruh cara pemberian dengan onset

dan durasi. Syarat untuk uji ANOVA adalah populasi yang diuji berdistribusi normal,

varians dari populasi tersebut adalah sama, dan sample tidak saling berhubungan /

independent. Hipotesis percobaan :

H0: Perbedaan cara pemberian tidak mempengaruhi waktu onset obat

H1: Perbedaan cara pemberian mempengaruhi waktu onset obat

H0 diterima apabila nilai signifikansi (p atau Sig.) lebih dari 0,05 sedangan bila nilai

signifikansi kurang dari 0,05 maka H0 di tolak dan H1 diterima.

1. Test of Normality

Uji pra-ANOVA adalah menguji normalitas distribusi data, yaitu dengan uji

Shapiro-Wilk. Uji Shapiro-Wilk dipilih karena jumlah data yang akan diuji kurang

dari 50. Jika data lebih dari 50, digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Dengan taraf

kepercayaan 95%, Ho dari uji Shapiro-Wilk ini adalah data terdistribusi normal dan

H1 distribusi data tidak normal. Jika nilai Signifikansi (Sig.) lebih dari 0,05 maka Ho

diterima dan H1 ditolak.

Page 23: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

Durasi dan onset signifikansinya > 0,05 maka Ho diterima, data terdistribusi

normal.

2. Test of Homogenity of Variances

Metode ini digunakan untuk melihat apakah sampel-sampel data-data mempunyai

varian yang sama. Dengan H0 : varian dari sampel-sampel adalah identik dan H1 :

varian dari sampel-sampel adalah tidak identik, diambi keputusan :

1. Jika signifikansi (Sig.) > 0,05; maka H0 diterima.

2. Jika probabilitas (Sig.) < 0,05; maka H0 ditolak.

Dari hasil analisis SPSS, diperoleh bahwa Ho diterima , varian sampel adalah

identik.

3. Uji ANOVA

Uji ANOVA dilakukan setelah uji normalitas distribusi dan varian dilakukan. Uji

ANOVA bertujuan untuk uji apakah keempat cara pemberian mempunyai rata-rata

(mean) yang sama baik untuk onset maupun durasinya. Ho data ini adalah data tidak

berbeda signifikan, dan H1 adalah data berbeda signifikan. Jika taraf signifikansinya

> 0,05 maka Ho diterima, dan data tidak berbeda signifikan, sedangkan jika taraf

signifikansinya < 0,05 maka H1 ditolak, dan data berbeda signifikan.

Page 24: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

Dari hasil analisis SPSS, diperoleh bahwa Ho diterima, data tidak berbeda signifikan.

Hasil analisis ini dipertegas dengan analisis Post Hoc (Tukey HSD Multiple

Comparison) berikut.

Dari kolom Mean difference, dapat dilihat bahwa seluruh data tidak berbeda

bermakna. Jika ada data yang menunjukkan perbedaan signifikan, akan ada tanda

bintang (*) pada angka di kolom tersebut.

Selain itu, dari kolom signifikansi juga dapatmenegaskan hasil ANOVA. Dengan

Ho adalah keempat populasi varian tidak berbeda signifikan (p atau Sig. > 0,05) dan

H1 adalah keempat varian berbeda signifikan (p atau Sig. < 0,05). Dari hasil analisis

SPSS, Sig. > 0,05, maka Ho diterima , sehingga mempertegas hasil ANOVA karena

keempat varian tidak berbeda signifikan, data yang diperoleh juga tidak berbeda

signifikan. Walaupun antardata waktu onset dan durasi pada saat percobaan terlihat

sangat berbeda, ternyata data tersebut tidak berbeda bermakna.

Page 25: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

4. Homogeneous Subsets

Uji Homogeneous subsets digunakan untuk merangkum perbedaan rata-rata .

Grup rata-rata yang tidak berbeda satu sama lain (sig < 0,05) berada dalam satu

kolom. Sedangkan, grup rata-rata yang berbeda satu sama lain, akan berada pada

kolom berbeda.

Dari hasil pada tabel tersebut, terlihat data waktu onset dan durasi berada pada

satu kolom. Sehingga dapat disimpulkan data percobaan tidak berbeda bermakna.

VII. Jawaban Pertanyaan

1. Apakah faktor- faktor yang dapat mempengaruhi absorbsi obat dari saluran

cerna?

Jawab:

a. Kemampuan obat melintasi membrane sel saluran cerna yang tersusun atas

lipid bilayer.

b. Kelarutan obat.

Agar dapat diabsorbsi, obat harus dapat larut dan melepaskan zat aktifnya,

kecuali bila obat sudah dalam bentuk larutan saat diberikan ke dalam tubuh.

Obat yang diberikan dalam bentuk larutan kana lebih cepat diabsorbsi karena

tidak perlu melewati fase pelarutan.

Page 26: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

c. Bentuk sediaan obat.

Kecepatan absorbsi obat tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari bahan

pembwa bentuk obat dan juga kelaruan dalam cairan tubuh. Kecepatan

peleppasan obat dari bentuk sediaan obat per oral dapat diurutkan dari yang

paling cepat: larutan dalam air> suspensi> kapsul> tablet> tablet salut gula>

tablet salut enterik.

d. Sirkulasi darah pada tempat absorbsi

e. Luas permukaan kontak obat.

f. Rute penggunaan obat.

g. pKa obat atau pKb obat.

2. Jelaskan bagaimana cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi

obat!

Jawab:

Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi obat. Cara

pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana hubungannya

dengan kecepatan dan kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan absorbsi obat di sini

berpengaruh terhadap onsetnya sedangkan kelengkapan absorbs obat berpengaruh

terhadap durasinya misalnya lengkap atau tidaknya obat yang berikatan dengan

reseptor dan apakah ada factor penghambatnya.

Cara pemberian dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang

berpengaruh juga terhadap onset dan durasi. Pada literature dijelaskan bahwa

onset paling cepat adalah intraperitonial dan paling lambat adalah peroral. Hal ini

terjadi karena :

·     Intraperitonial mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat langsung

masuk ke dalam pembuluh darah.

·     Intramuscular mengandung lapisan lemak yang cukup kecil sehingga obat akan

terhalang oleh lemak sebelum terabasorbsi.

·    Subkutan mengandung lemak yang cukup banyak.

·     Peroral, obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor

karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor penghambat seperti

protein plasma.

Pada literature dijelaskan bahwa durasi paling cepat adalah intraperitonial dan

paling lambat adalah peroral.

3. Jelaskan keuntungan dan kerugian masing- masing cara pemberian!

Jawab:

Cara pemberian Keuntungan Kerugian

Page 27: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

Per oral mudah diberikan dan

bisa dilakukan sendiri

oleh pasien

tidak memerlukan

keahlian khusus serta

tidak memerlukan

komplikasi yang

berkaitan dengan

jarum

relatif aman

praktis

tidak memerlukan

sterilitas tinggi

lebih ekonomis

munculnya efek lama (onset

lama)

tidak sesuai bagi pasien yang

muntah, diare, tidak sadar, dan

tidak kooperatif

kurang cocok untuk obat yang

rasanya tidak enak dan iritatif

mengalami metabolisme lintas

pertama (first pass metabolism)

sebelum benar- benar didistribusi

ke tempat aksi sehingga kadar zat

aktifnya berkurang

absorbsi bervariasi dan kadar obat

dalam darah tidak bisa diprediksi

Sub kutan kerja obat terus

menerus, long time

release

kecapatan absorbsi

obat seragam

berguna pada kondisi

darurat

absorbsi tergantung pada aliran

darah

tidak boleh digunakan untuk obat

yang iritatif dan dicampur dengan

vasokonstriktor

Intra muscular kecepatan absorbsi

obat seragam

onset pendek dan

teratur

cocok untuk obat yang

iritatif bila diberikan

secara sub cutan

obat dilepas pelan-

pelan

berguna pada kondisi

darurat

lokal iritasi di tempat injeksi

kecepatan absorbsi tergantung

kecepatan aliran darah ke otot

perlu keahlian khusus dalam

pemakaian obat

jika ada efek toksik sukar

dihindari

Obat-obatan dalam larutan dalam

minyak atau bentuk suspensi akan

diabsorpsi sangat lambat

dibandingkan larutan dalam air

Obat yang sukar larut dalam air

pada pH fisiologik misalnya

digoksin, fenitoin, dan diazepam

Page 28: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

akan mengendap di tempat

suntikan sehingga absorpsinya

akan berjalan dengan lambat,

tidak teratur, dan tidak lengkap

Intra peritoneal absorbsi paling cepat

jika dibandingkan

dengan pemberian i.m,

s.c, dan p.o

sesuai bagi pasien yang

sukar menelan obat,

muntah-muntah, diare,

dan lain-lain

cara pemberiannya berbahaya dan

hanya boleh dilakukan pada

hewan

kemungkinan infeksi sangat besar

VIII. Kesimpulan

1. Berdasarkan perhitungan statistik, cara pemberin obat berpengaruh terhadap onset

dan tidak berpengaruh pada durasi.

2. Berdasarkan hasil percobaan, onset yang diperoleh yang paling cepat adalah

pemberian obat intramuscular , sedangkan yang paling lambat adalah pemberian

obat per oral. Hal ini tidak sesuai dengan teori karena teori onset yang paling

cepat adalah pemberian obat intraperitonial, sedangkan yang paling lambat sesuai

dengan teori yakni pemberian obat per oral.

3. Berdasarkan hasil percobaan, durasi yang diperoleh yang paling cepat adalah

pemberian obat intraperitonial , sedangkan yang paling lambat adalah pemberian

obat sub cutan . Hal ini sesuai dengan teori karena teori durasi yang paling cepat

adalah pemberian obat intraperitonial, sedangkan yang paling lambat adalah

pemberian obat per oral, sehingga tidak sesuai teori.

4. Hasil dari percobaan ada yang tidak sesuai dengan teori karena mekanisme injeksi

yang salah, pengamatan onset dan durasi yang keliru, dan aktor individu dari

hewan uji (mencit), contohnya faktor toleransi.

5. Durasi dan onset dipengaruhi oleh kelarutan obat, luas permukaan absorbs,

pengosongan lambung, dan rute pemberian

6. Natrium thiopental merupakan obat golongan barbiturat yang dapat memberikan

efek sedatif dan hipnotik.

Page 29: Laporan Resmi Praktikum Farmakologi Eksp

VII. Daftar Pustaka

Anief,Moh,1993,Farmasetika,Gadjahmada University Press,Yogyakarta

Anonim,1995,Farmakope Indonesia edisi IV,Depkes RI,Jakart

Ansel, H. C, 1986, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta.

Elly, 2011, Pengaruh Cara Pemberian Terhadap Absorbsi Obat, http://marermurer.blogspot.com/2011/04/pengaruh-cara-pemberian-terhadap.html, diakses tanggal 23 April 2013, Pukul 23.00 WIB

Joenoes, Z. N., 2002, Ars Prescribendi Jilid 3, Airlangga University Press,

Surabaya

Lullmann Heinz et al,2000,Color Atlas of Pharmacology,2nd

edition,Thieme,Stuttgart-New York

Mutschler,Ernest,1991,Dinamika Obat edisi V,Penerbit ITB,Bandung

Yogyakarta, 24 April 2013

Praktikan,

Nama NIM TTD

1. Anita Kurniawati FA/09317

2. Annisafia Rizky Damaskha FA/09320

3. Pridiyanto FA/09323

4. Mercy Arizona FA/09326