laporan resmi imun ii (1)

144
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM IMUNOLOGI II DISUSUN OLEH : 1. Aji Iin Safitrie (PO 7234008001) 2. Ami Yudhita (PO 7234008002) 3. Andi Budiman (PO 7234008003) 4. Aniek Rosalita (PO 7234008004) 5. Anisa Ulfah (PO 7234008005) KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR JURUSAN ANALIS KESEHATAN TINGKAT III TAHUN 2010/2011

Upload: ulfah-dhahhakah

Post on 27-Jun-2015

2.391 views

Category:

Documents


54 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Resmi Imun II (1)

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

IMUNOLOGI II

DISUSUN OLEH :

1. Aji Iin Safitrie (PO 7234008001)

2. Ami Yudhita (PO 7234008002)

3. Andi Budiman (PO 7234008003)

4. Aniek Rosalita (PO 7234008004)

5. Anisa Ulfah (PO 7234008005)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

TINGKAT III

TAHUN 2010/2011

Page 2: Laporan Resmi Imun II (1)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan

taufiq dan hidayah-Nyalah laporan resmi ini dapat terselesaikan. Dan tak lupa

pula shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW,

karena beliaulah yang menuntun kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang

terang benderang dengan limpahan ilmu dan pendidikan seperti saat ini.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada

Pembimbing Praktikum mata kuliah Imunologi. Dan tak lupa pula kami

sampaikan rasa terima kasih kami kepada teman-teman yang telah mendukung,

memotivasi, serta membantu kami dalam menyelesaikan laporan resmi ini.

Kami menyadari bahwa laporan yang kami buat ini masih terdapat banyak

kekurangan. Oleh karena itu, kami dengan lapang dada dan senang hati menerima

saran maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan laporan yang

kami susun ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Samarinda, November 2010

Tim Penyusun

i

Page 3: Laporan Resmi Imun II (1)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i

DAFTAR ISI.............................................................................................. ii

PRAKTIKUM 1 : PEMERIKSAAN SEROLOGIS SIFILIS METODE

VDRL........................................................................ 3

PRAKTIKUM 2 : PEMERIKSAAN SEROLOGIS SIFILIS METODE

TPHA ……………………………………………… 17

PRAKTIKUM 3 : PEMERIKSAAN HBsAg METODE RAPID......... 33

PRAKTIKUM 4 : PEMERIKSAAN ANTI HBs METODE ELISA … 44

PRAKTIKUM 5 : PEMERIKSAAN HIV METODE RAPID ……….. 59

PRAKTIKUM 6 : PEMERIKSAAN ANTI HIV METODE RAPID... …77

DAFTAR PUSTAKA................................................................................

ii

Page 4: Laporan Resmi Imun II (1)

PEMERIKSAAN SEROLOGIS SIFILIS

METODE VDRL

3

Page 5: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

PMS (Penyakit Menular Seksual) dimaksudkan sebagai yang ditularkan

secara langsung dari seseorang ke orang lain melalui kontak seks

(http://www.explaju.com)

PMS menyebar cukup mengkhawatirkan di Indonesia baik jenis

gonorrhoeae maupun sifilis. Sifilis merupakan penyakit kelamin menular yang

disebabkan oleh bakteri spiroceta Treponema pallidum. Penularan biasanya

melalui kontak seksual, tetapi ada beberapa contoh lain seperti kontak langsung

dan congenital sifilis (penularan melalui ibu ke anak dalam uterus)

(http://www.cyberman.cbn.id)

Gejala dan tanda dari sifilis dan berlainan, sebelum perkembangan tes

serological, diagnose sulit dilakukan dan penyakit ini disebut “peniru besar”

karena sering dikira penyakit lainnya. Data yang dilansir Departemen Kesehatan

menunjukkan penderita sifilis mencapai 5000-10.000 kasus pertahun. Sementara

di China, laporan menunjukan jumlah kasus yang dilaporkan naik dari 0,2 per

100.000 jiwa pada tahun 1993 menjadi 5,7 kasus per 100.000 jiwa pada tahun

2005. Di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 36.000 kasus sifilis tiap tahunnya,

dan angka yang sebenarnya diperkirakan sekitar tiga per lima kasus ini dialami

oleh laki-laki. (http://www.cyberman.cbn.id)

Bila tidak terawat, sifilis dapat menyebabkan efek serius seperti kerusakan

system syaraf, jantung dan otot. Sifilis yang tidak terawatt dapat berakibat fatal.

Orang yang memiliki kemungkinan terkena sifilis atau menemukan pasangan

seksnya mungkin terkena sifilis dianjurkan untuk segera menemui dokter dokter

secepat mungkin. (http://www.cyberman.cbn.id)

4

Page 6: Laporan Resmi Imun II (1)

I.2 Tujuan

Untuk mendeteksi adanya antibody yang terdapat didalam serum terhadap

kuman Treponema pallidum yang menyebabkan penyakit sifilis, serta mengetahui

titer tertinggi antibody terhadap antigen.

I.3 Manfaat

Manfaat dari praktikum pemeriksaan serologis yaitu agra mahasiswa/I

dapat mengetahui dan memahami cara melakukan pemeriksaan serologis sifilis

secara VDRL / RPR.

5

Page 7: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Sifilis atau yangdisebut dengan raja singa disebabkan oleh sejenis bakteri

yang berbentuk spiral atau spirochete yang disebut Treponema pallidum. Bakteri

yang berasal dari family spirochaetaceae ini memiliki ukuran sangat kecil dan

dapat hidup hampir di seluruh bagian tubuh. Spirocaeta penyebab sifilis ini dapat

ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui hubungan genito-genital

(kelamin-kelamin) maupun oro genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat

ditularkan oleh seorang ibu ke arah bayi selama masa kehamilan

(http://www.banjarmasinpost.co.id).

Spirocaeta memperoleh akses melalui kontak antara lesi bawah terinfeksi

setiap kerusakan maupun mikroskopik dikulit, atau mukosa pejamu, sifilis dapat

disembuhkan pada tahap-tahap infeksi, tetapi bila dibiarkan, penyakit ini dapat

menjadi sistemik dan kronik (Price, 2003).

II. 2 Treponema pallidum

Treponema pallidum ialah kuman yang masuk ke dalam ordo

spirochaetales, family spirichataceae dan genus treponema. Pada tahun 1905,

Schaudinn dan Hoffman menemukan bahwa Treponem pallidum adalah kuman

penyebab sifilis. Sifilis adalah penyakit infeksi yang sangat kronik dan sejak

semula bersifat sistemik. Pada perjalanannya, infeksi ini dapat menyerang hampir

semua alat tubuh dan dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten

dan dapat ditularkan dari ibu ke janin (Harahap, 1990).

Genus treponema mencakup Treponema pallidum yang menyebabkan

sifilis; Treponema pallidum subspesies endomicum menyebabkan sifilis endemic

(bejel); dan Treponema corrateum menyebabkan penyakit pinta (Jawet, 1996).

6

Page 8: Laporan Resmi Imun II (1)

Treponema berbentuk spiral teratur, langsing berukuran lebar kira-kira 0,2

µm dan panjangnya antara 5-15 µm, terdiri atas 8-24 lekukan. Spiral melilit

teratur berjarak 1 µm satu sama lain. Organisme ini bergerak secara aktif terus

menerus berputar mengelilingi sumbu panjangnya. Sumbu panjan spiral biasanya

lurus, tetapi kadang-kadang dapat bengkok sehingga pada suatu saat organisme ini

dapat membentuk lingkaran utuh, kemudian kembali ke posisi lurus karena

demikian tipis, mikroorganisme ini tidak terlihat kecuali dengan penerangan

lapangan gelap atau dengan pewarnaan imunofluoresensi. Mikroorganisme ini

tidak terwarnai dengan baik oleh zat warna anilin, tetapi dapat terlihat dalam

jaringan bila diwarnai dengan metode impregnasi perak (Jawetz, 1996).

Bentuk protein Treponema pallidum (semua spesies) tidak dapat

dibedakan telah tercatat lebih dari 100 protein flagelin bakteri lain, ditambah

protein selubung lain yang tidak berhubungan. Teradapat banyak kelompok

lipoprotein yang telah diketahui fungsinya, diduga semua ini tampak penting

dalam respon imun. Kardiolipin adalah komponen penting dari antigen treponema

(Jawetz, 1996).

Pada manusia dengan sifilis timbul antibodi yang dipakai untuk mewarnai

Treponema pallidum dengan imunofluoresensi tidak langsung menyebabkan

terjadinya imobilisasi dan kematian Treponema pallidum atau spiroceta yang

sejenis. Spiroceta juga menyebabkan pembentukan zat tertentu yang menyerupai

antibodi, reagen yang memberikan ikatan komplemen dan flokulasi yang

ditambah dengan suspensi lipid dalam air yang diekstrak dari jaringan mamalia

normal. Regin maupun antibodi antitreponema dapat digunakan untuk diagnosis

serologis sifilis (Jawetz, 1996).

II.3 Etiologi

Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman,

yaitu Treponema pallidum yang termasuk ordo spirochaetales, family

spirochaetaceae dan genus treponema. Bakteri ini merupakan basil gram negatif

yang panjang, tipis, bergulung secara helix, berbentuk spiral atau seperti pembuka

tutup botol, panjangnya antara 6-15 µm, lebar 0,15 µm, terdiri atas 8-24 lekukan.

7

Page 9: Laporan Resmi Imun II (1)

Membiak secara pembelahan melintang pada stadium aktif terdiri setiap 30 jam

(Marwali, 1990).

Pembentukan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Di luar

badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat

hidup 72 jam (Marwali, 1990).

II.4 Patogenesis, Patologik dan Gambaran Klinik

Penularan terjadi memlalui kontak langsung dengan lesi yang mengandung

organisme treponema. Treponema dapat masuk melalui selaput lendir yang utuh

atau kulit dengan lesi. Kemudian masuk ke peredaran darah dan semua organ

tubuh. Infeksi bersifat sistemik dan manifestasinya akan tampak kemudian

(Mansjoer, 2000).

Secara klinis, sifilis dibagi dua golongan yaitu sifilis yang didapat

(akuista) dan sifilis kongenital. Sifilis yang didapat (akuista) dibagi menjadi tiga

stadium, yaitu : (Mansjoer, 2000)

II.4.1 Sifilis Stadium I

Tiga minggu (9-10 hari) setelah infeksi, timbul lesi pada tempat

Treponema pallidum masuk. Lesi umumnya hanya satu. Terjadi efek

primer berapa yang erosif, berukuran beberapa millimeter sampai 1-2 cm,

bentuk bulat atau lonjong, dasarnya bersih, merah, kulit disekitarnya

terdapat tanda radang dan bila diraba ada pengerasan (indurasi) yang

merupakan satu lapisan seperti buah kancing di bawah kain. Kelainan ini

(indolen), lesi umumnya terdapat pada alat kelamin dapat juga ekstra

genital seperti bibir, lidah, tonsil, puting susu, jari dan anus, misalnya pada

penularan ekstrakeitel. Tanpa pengobatan, lesi dapat hilang spontan dalam

4-6 minggu cepat atau lambat bergantung besarnya lesi.

II.4.2 Sifilis Stadium II

Waktu antara stadium I dan stadium II umumnya berkisar antara 6-

8 minggu. Kadang-kadang terjadi masa transisi yakni sifiilis stadium I

masih ada, saat timbul gejala sifilis II. Gejala seperti nyeri kepala, demam

sub-febril, anoreksia, nyeri pada tulang dan nyeri pada leher biasanya

8

Page 10: Laporan Resmi Imun II (1)

mendahului, kadang-kadang bersamaan dengan kelainan pada kulit. Lesi

primer dan sekunder mengandung banyak treponema dan sangat menular.

II.4.3 Sifilis Stadium III

Lesi yang khas adalah guma yang terjadi 3-7 tahun sistem infeksi.

Guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ membentuk nekrosis

sentral di kelilingi jarinan granulasi dan pada bagian luarnya terdapat

jaringan fibrosa, sifatnya destruktif. Pada semua lesi tersier, treponema

sangat jarang ditemukan, respon jaringan yang berlebihan diakibatkan oleh

beberapa bentuk hipersensitivitas terhadap organ.

Sifilis congenital dapat terjadi apabila Treponema pallidum masuk ke

plasenta dan peredaran darah janin. Oleh karena itu, kumaln langusung masuk ke

peredaran darah. Pada sifilis congenital tidak terdapat sifilis stadium I. sifilis

kongenital dibagi menjadi : (Mansjoer, 2000)

II.4.4 Sifilis Kongenital Dini

Sifilis kongenital dini dapat muncul beberapa minggu (3 minggu)

setelah bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel dan gula yang setelah

memecah membentuk erosi kuta.

II.4.5 Sifilis Kongenital Lanjut

Sifilis kongenita lanjut terdapat pada usia lebih dari 2 tahun.

Manifestasi klinis baru ditemukan pada usia 7-9 tahun dengan adanya tria

Hutchinson, yakni kelainan pada mata (keratitis inferstitial yang dapat

menyebabkan kebutaan, ketulian atau gangguan pendengaran) dan gigi

Hatchinson.

II.4.6 Stigmata

Stigmata terlihat pada sudut mulut berupa garis-garis yang jalannya

radier, gigi Hutchinson, gigi molar pertoma berbentuk seperti murbal dan

penonjolan tulang kepala (frontal bossing).

II.5 Tes Diagnostik Laboratorium

II.5.1 Bahan

9

Page 11: Laporan Resmi Imun II (1)

Bahan cairan jaringan yang dikeluarkan dari permukaan

lesi

dini untuk memperlihatkan spiroketa : serum dan darah digunakan

untuk tes serologik

II.5.2 Pemeriksaan Lapangan Gelap

Setetes cairan jaringan atau eksudat diletakkan pada objek

glass dan penutup ditekan diatasnya untuk membuat lapisan tipis.

Preparat kemudian diperiksa menggunakan mikroskop dengan

penerangan lapangan gelap. Untuk melihat ciri khas pergerakan

spiroketa

II.5.3 Imunofluoresensi

Cairan jaringan atau eksudat dioleskan pada objek glass,

dikeringkan diudara kemudian diperiksa, sediaan direkat, diwarnai

engan serum anti treponema bertanda fluoresena dan diperiksa

dengan menggunakan mikroskop imunofluoresensi untuk melihat

spiroketa yang berfluoresensi khas

II.5.4 Tes Serologis

Tes serologis untuk sifilis (STS = Serologik Tes for

Syphilis). Tes ini menggunakan antigen treponema atau antigen

non-treponema.

(Jawetz, 1996)

II.6 Tes Antigen Non-Treponema dan Antibodi Treponema

II.6.1 Test Antigen Non-Treponema

Antigen yang digunakan adalah lipid diekstraksi dari jaringan

mamalia normal. Kardiolipin murni dari jantung sapi merupakan

disosfatidil gliserol. Zat ini memerlukan tambahan lesitin dan kolesterol

atau “sensitizer” lainnya untuk bereaksi dengan regain sifilis. Reagin

adalah campuran IgM dan IgA terhadap beberapa antigen yang banyak

terdapat pada jaringan normal. Reagin ditemukan di dalam serum

10

Page 12: Laporan Resmi Imun II (1)

penderita setelah 2-3 minggu infeksi sifilis tidak diobati dan dalam cairan

spiral setelah 4-8 minggu setelah infeksi (Brooks, 1996).

Dua jenis tes untuk menentukan adanya reagin adalah :

a. Tes flokulasi (VDRL = Veneral Desease Research Laboratories; RPR =

Rapid Plasma Reagin)

Tes ini didasarkan pada kenyataan bahwa partikel anti lipid

(kardiolipid jantung sapi) tetap tersebat dalam serum normal tetapi terlihat

menggumpal bila bergabung dengan reagin. Gumpalan timbul dalam

beberapa menit, terutama bila suspense digerakkan. Tes dapat digunakan

pada cairan spiral. Antibody tidak dapat mencapai cairan serebrospinal

dari aliran darah tetapi mungkin dibentuk dalam susunan saraf pusat

sebagai respon dari infeksi sifilis.

b. Tes Ikatan Komplemen (CF = Complement Fixation)

Tes ini didasarkan pada kenyataan bahwa serum yang mengandung

reagin mengikat komplemen bila ada antigen kardiolipin. Tes ini jarang

dilakukan dibandingkan flokulasi.

II.6.2 Test Antibodi Treponema

Uji antibodi treponema yang digunakan secara luas saat ini adalah

Fluorescent Treponemal Antibody-Absorbed Double Strain Test (FTA-

Abs. 05), uji mikrohemaglutinasi. Treponema pallidum (MHA-TP) dan uji

treponema hemaglutinasi untuk sifilis (HATTS). Pemakaian uji-uji ini

biasanya terbatas untuk konfirmasi hasil positif uji non treponema (VDRL

atau RPR) (Sacher, 2004).

11

Page 13: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB III

METODE KERJA

III.1 Waktu dan Tempat Praktikum

Pemeriksaan serologi sifilis metode VDRL ini dilaksanakan pada hari:

jum’at, 24 September 2010 dan bertempat di Laboratorium Kesehatan Samarinda.

III.2 Prinsip

Bersatunya antibodi dengan antigen Treponemal membentuk

hemaglutinasi.

III.3 Metode

Praktikum VDRL ini menggunakan metode hemaglutinasi.

III.4 Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :

a. Slide test dasar putih

b. Batang pengaduk

c. Yellow tape

d. Mikropipet

e. Rotator

f. Rak dan tabung reaksi

g. Pipet tetes

h. sentrifuge

III.5 Reagensia

a. Reagen RPR

b. NaCl 0,9 %

12

Page 14: Laporan Resmi Imun II (1)

III.6 Sampel

Sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah :

Nama : Anisa Ulfah

Umur : 20 tahun

III.7 Cara Kerja

1. Pemeriksaan RPR

a. Dibiarkan sampel dan reagen dalam suhu kamar selama 10-30 menit

b. Diambil 50 l sampel di taruh ditengah lingkaran slide test

c. Ditambah 1 tetes/20 µl reagen RPR dan diaduk dengan batang

pengaduk

d. Dirotator pada kecepatan 100 rpm, selama 8 menit

e. Diamati dan dibaca hasilnya, bila hasil reaktif dilanjutkan pengenceran

2. Pengenceran

a. Dipipet 50 µl NaCl 0,9 %, masing-masing ke-6 lingkaran larutan test

b. Dipipet 50 µl serum, dicampur dengan NaCl 0,9% (fisiologis) pada

lingkaran 1, dihisap dan dikeluarkan 5-10 kali dengan pipet

c. Dipipet 50 µl campuran lingkaran 1, dicampur dengan NaCl 0,9% pada

lingkaran ke-2, dihisap lalu dikeluarkan 5-10 kali

d. Dilakukan seterusnya sampai dengan lingkaran ke-6 dan dibuang 50 µl

campuran pada lingkaran ke-6

e. Diratakan dengan batang pengaduk, dimulai pengenceran tertinggi

f. Ditambahkan 1 tetes reagen RPR pada setiap lingkaran slide test,

dirotator 8 menit dengan kecepatan 100 rpm

g. Dibaca hasil pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan flokulasi

13

Page 15: Laporan Resmi Imun II (1)

III.8 Interpretasi Hasil

Reaktif Non Reaktif

14

Page 16: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

Dari hasil pemeriksaan serologi sifilis secara VDRL / RPR,di dapatkan

hasil yaitu:

Nama : Anisa Ulfah

Umur : 20 tahun

Hasil : Non reaktif ( - )

IV.2 Pembahasan

Pemeriksaan serologis sifilis menggunakn metode diagnosa tidak langsung

nontreponema antigen RPR (rapid plasma reagin) secara kuantitatif. Pada suatu

analisa kuantitatif, maka jumlah atau kuantitet dari suatu bahan yang dicari harus

dapat diukur dan dinyatakan dalam satu satuan atau unit yang berarti. Dalam tes

serologi,kadar dari antibodi di dalam tes serum biasanya di tentukan dengan

pengenceran serum secara progresif dengan suatu larutan pengenceran (diluent )

tertentu sedangkan,satuan kuantitatifnya dinyatakan dalam bentuk titer dari

antibodi didalam serum. Titer adalah harga kebalikan dari pengenceran serum

yang terbesar yang masih memberi reaksi positif ( Handojo,1982 ).

Dasar – dasar pemilihan uji serologis untuk sifilis perlu ditinjau dari

beberapa sudut,yaitu ( Handojo,1982 ) :

a. Sensitifitas

b. Presisi

c. Akurasi,yang amat di pengaruhi oleh spesifitas dari tes tersebut

d. Nilai fisiopatologik dari tes, artinya bila tidak ada penyakit tes

negatif atau titer rendah, bila ada penyakit tes positif dengan titer yang

sesuai dengan derajat penyakitnya dan bila telah sembuh tes menjadi

negatif lagi / titer turun ke taraf sebelum menderita penyakit.

e. Kepraktisan

15

Page 17: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Dari praktikum pemeriksaan serologis sifilis terhadap sampel didapatkan

hasil non-reaktif (negatif sifilis)

V.2 Saran

a. Sebaiknya orang yang terinfeksi sifilis, secepat mungkin diobati dan

tidak menularkan kepada orang lain.

b. Selama pengobatan sifilis, sebaiknya tetap rutin untuk melakukan

pemeriksaan RPR dengan pengenceran serum, yang berguna untuk

memantau hasil pengobatan sifilis.

16

Page 18: Laporan Resmi Imun II (1)

PEMERIKSAAN SEROLOGIS SIFILIS

METODE TPHA

17

Page 19: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Penyakit Menular (PMS) dimaksudkan sebagai penyakit yang ditularkan

secara langsung dari seseoran ke orang lain melalui kontak seks

(www.explaju.com).

PMS menyebabkan infeksi alat reproduksi yang harus dianggap serius.

Bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan menyebabkan

penderitaan, kemandulan, dan kematian. Perempuan mempunyai resiko lebih

besar terkena PMS dibandingkan dengan pria, sebab alat reproduksi perempuan

lebih rentan. Dan seringkali berakibat lebih parah karena gejala awal tidak segera

dikenali, sedangkan penyakit melanjut ke tahap lebih parah

(www.nurularifin.com).

PMS menyebar cukup mengkhawatirkan di Indonesia. Baik jenis

gonorchea maupun jenis sifilis. Sifilis merupakan penyakit menular yang

disebabkan oleh bakteri spiriseta, Treponema pallidum. Penularan biasanya

melalui kontak seksual, tetapi ada beberapa contoh lain seperti kontak langsung

dan kongenital sifilis (penularan dari ibu ke anak dalam uterus)

(www.cyberman.cbn.net.id).

Gejala dan tanda dari sifilis banyak dan berlainan, sebelum perkembangan

tes serologikal, diagnosa sulit dilakukan dan penyakit ini sering disebut ”Peniru

Besar” karena sering dikira penyakit lainnya. Data yang dilansir Departemen

Kesehatan menunjukkan penderita sifilis mencapai 5.000 – 10.000 jiwa pada

tahun 2005. Di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 36.000 kasus sifilis setiap

tahunnya, dan angka sebenarnya diperkirakan lebih tinggi. Sekitar tiga per lima

kasus ini dialami oleh laki – laki (www.cybermann.cbn.net.id).

Bila tidak terawat, sifilis dapat menyebabkan efek serius seperti kerusakan

sistem saraf, jantung, dan otak. Sifilis yang tidak terawat dapat berakibat fatal.

18

Page 20: Laporan Resmi Imun II (1)

Orang yang terkena siflis atau menemukan pasangan yang terkena siflis

dianjurkan untuk segera menemui dokter secepat mungkin

(www.cyberman.cbn.net.id).

I.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum serologi sifilis yaitu untuk mendeteksi adanya

antibodi yang terdapat dalam serum terhadap kuman Treponema pallidum yang

menyebabkan penyakit sifilis, serta mengetahui titer tertinggi antibodi terhadap

antigen.

I.3 Manfaat

Manfaat dari praktikum pemeriksaan serologis sifilis secara RPR (Rapid

Plasma Reagin) dan TPHA (Treponema pallidum Hemagglutination Assay) yaitu

agar mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menerapkan prosedur

pemeriksaan ini secara tepat dan benar atau sesuai dengan prosedur yang telah

ditentukan.

19

Page 21: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Sifilis atau yang disebut dengan ”Raja Singa”, disebabkan oleh sejenis

bakteri yang berbentuk spiral atau spirochete yang dikenal dengan Treponema

pallidum. Bakteri yang berasal dari famili Spirochaetaceae ini, memiliki ukuran

sangat kecil dan dapat hidup hampir di seluruh bagian tubuh. Spirochaeta

penyebab sifilis ini dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui

hubungan genito – genital (kelamin – kelamin) maupun oro – genital (seks oral).

Infeksi ini juga dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa

kehamilan (www.banjarmasinpost.co.id).

Spirochaeta memperoleh akses melalui kontak langsung dari lesi bawah

terinfeksi dengan setiap kerusakan walaupun mikroskopik, di kulit, atau mukosa

pejamu. Sifilis dapat disembuhkan pada tahap – tahap infeksi, tetapi bila

dibiarkan, penyakit ini dapat menjadi sistemik dan kronik.

II.2 Etiologi

Pada tahun 1905, penyebab sifilis ditemukan oleh Schauddin dan Hoffman

yaitu Treponema pallidum, yang berordo Spirochaetales, familia

Sprirochaetaceae, dan genus Treponema. Bakteri ini merupakan basil gram

negatif yang panjang, tipis, bergulung secara heliks, berbentuk spiral, atau seperti

pembuka tutup botol, panjangnya antara 6 – 15 µm, lebar 0,15 µm, terdiri atas

delapan sampai dua puluh empat lekukan. Membiak secara pembelahan

melintang, pada stadium aktif terjadi selama tiga puluh jam (Marwali, 1990).

Pembentukkan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar tubuh. Di luar

tubuh, kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk tranfusi dapat

hidup selama tujuh puluh dua jam (Marwali, 1990).

20

Page 22: Laporan Resmi Imun II (1)

II.3 Struktur Antigenik

Treponema pallidum tidak dapat dibiakkan secara in vitro, yang jelas

memiliki ciri khas, terbatas dari antigennya. Terdapat asam sialat pada permukaan

organisme, yang berfungsi untuk menghambat aktivasi jalur komplemen

alternatif. Treponema pallidum memiliki hialurodinase yang menguraikan asam

hialurinat dalam substansi dasar jaringan dan diduga meningkatkan kemampuan

invasif organisme. Bentuk protein Treponema pallidum (semua subspesies) tidak

dapat dibedakan; telah tercatat lebih dari 100 protein antigen. Endoflagel terdiri

dari 3 protein inti yang homolog terhadap protein flagelin bakteri lain, ditambah

protein selubung yang tidak berhubungan. Terdapat banyak kelompok lipoprotein

yang telah diketahui fungsinya, diduga semua ini tampak penting dalam respon

imun. Kardiolipin adalah komponen penting dari antigen Treponema (Jawetz,

1996).

Pada manusia dengan sifilis, timbul antibodi yang dapat dipakai untuk

mewarnai Treponema pallidum dengan immunofluoresensi tidak langsung,

menyebabkan terjadinya imobilisasi dan kematian Treponema pallidum,

pengikatan komplemen pada suspensi Treponema pallidum atau Spirochaeta yang

lain. Spirochaeta juga menyebabkan pembentukan zat tertentu yang menyerupai

antibodi, reagen, yang memberikan test ikatan komplemen dan flokulasi yang

positif dengan suspensi lipid dalam air yang diekstrak dari jaringan mamalia

normal. Reagen maupun antibodi anti treponema dapat digunakan untuk diagnosa

serologi sifilis (Jawetz, 1996).

II.4 Patogenesis dan Patologi

a. Sifilis yang didapat, infeksi alamiah oleh Treponema pallidum terbatas

pada manusia. Infeksi pada manusia biasanya disebarkan melalui kontak seksual,

lesi penyebab infeksi terdapat pada 10 – 20 % kasus, lesi primernya terdapat di

dalam rektum., perional, atau mulut, atau dimana saja di dalam tubuh. Treponema

pallidum mungkin dapat menembus selaput mukosa utuh, atau dapat masuk

melalui epidermis yang rusak ( Jawetz, 1996 ).

21

Page 23: Laporan Resmi Imun II (1)

Spiroketa berkembang biak pada tempat masuk, sebagian menyebar ke

kelenjar getah bening yang terdekat dan kemudian mencapai aliran darah.

Peradangan ditandai terutama oleh limfosit dan sel – sel plasma. Lesi primer

selalu tumbuh spontan, tetapi 2 – 10 minggu kemudian timbul lesi – lesi sekunder.

Lesi sekunder juga mereda secara spontan. Lesi primer dan sekunder mengandung

banyak spiroketa dan sangat menular. Lesi yang menular dapat timbul lagi dalam

3 – 5 tahun setalah infeksi, tetapi sesudah ittu orang tersebut dapat menularkan

penyakit lagi ( Jawetz, 1996 ).

Pada kira – kira 30% kasus, infeksi karena sifilis berkembang secara

spontan sampai sembuh sempurna tanpa pengobatan.. pada 30% lainnya, infeksi

yang tidak diobati akan tetap laten. Pada sisanya, akan berkembang menjadi

”stadium tersier”. Pada semua lesi tersier, Treponema sangat jarang ditemukan,

respon jaringan yang berlebihan diakibatkan oleh beberapa bentik

hipersensitivitas terhadap organisme. Namun, Treponema kadang – kadang dapat

ditemukan dalam mata atau susunan saraf pusat pada sifilis yang lanjut (Jawetz,

1996).

b. Sifilis kongenital, wanita hamil penderita sifilis dapat menularkan

Treponema pallidum pada janin melalui plasenta mulai kira – kira minggu ke 10 –

15 kehamilan. Beberapa janin yang terinfeksi akan mati dan mengakibatkan

keguguran, lainnya lahir mati meskipun aterm. Lainnya dapat hidup tetapi

menunjukkan tanda – tanda sifilis kongenital pada anak : keratitis intestinal, gigi

Hutchinson, saddle nose, periostitis, dan berbagai kelainan susunan saraf pusat.

Pengobatan yang adekuat pada ibu selama kehamilan dapat mencegah sifilis

kongenital. Titer reagin dalam darah anak meningkat bila infeksi aktif, tetapi

makin menurun bila antibodi secara pasif dipindahkan dari ibu. Infeksi kongenital

pada anak menimbulkan antibodi antitreponema (Jawetz, 1996).

c. Penyakit percobaan, kulit, testis, dan mata kelonci percobaan diinfeksi

dengan Treponema pallidum manusia. Hewan tersebut membentuk chancre yang

banyak mengandung spiroketa, dan organismenya menetap dalam kelenjar getah

22

Page 24: Laporan Resmi Imun II (1)

bening, limpa, dan sumsum tulang selama hewan tersebut hidup, walaupun

penyakit tidak berlangsung progresif (Jawetz, 1996).

II.5 Manifestasi Klinik

Pembagian menurut WHO ialah sifilis dini dan lanjut dengan waktu

diantaranya 2 tahun, ada yang mengatakan 4 tahun. Sifilis dini dapat menyebarkan

penyakit karena terdapat Treponema pallidum pada lesi kulitnya, sedangkan sifilis

lanjut tidak menular karena Treponema pallidum tidak ada. Pembagian sifilis

secara klinis ialah sifilis kongenital dan sifilis didapat (Mansjoer, 2000).

Sifilis terdiri dari beberapa tahapan yaitu (Entjang, 2003):

a. Stadium Primer

Terjadi setelah ± 3 minggu setelah penularan. Stadium ini ditandai dengan

munculnya luka yang kemerahan dan basah di daerah vagina, poros usus

atau mulut. Luka ini disebut chancre, dan muncul di tempat Spirochaeta

masuk untuk pertama kalinya. Pembengkakan kelenjar getah bening juga

ditemukan pada stadium ini. Setelah beberapa minggu chancre tersebut

akan menghilang, stadium yang sangat menular.

b. Stadium sekunder

Sifilis sekunder biasanya terjadi 6 – 8 minggu setelah penularan, biasanya

para penderita akan mengalami ruam, khususnya di telapak kaki dan

tangan. Mereka juga dapat menemukan adanya luka – luka di bibir mulut,

tenggorokan, vagina, dan dubur. Padsa stadium ini, timbul gejala demam,

malaise, kelenjar limfe regional membengkak dan keras, tetapi tidak sakit,

timbul ruam kemerahan pada kulit yang biasanya simestris bilateral.

c. Stadium laten (lanjut)

Jika sifilis stadium sekunder masih belum dapat diobati juga, maka para

penderita akan mengalami apa yang disebut dengan sifilis laten. Hal ini

maksudnya yaitu semua gejala penyakit akan menghilang, namun penyakit

tersebut sesungguhnya masih bersarang dalam tubuh, dan bakteri

penyebabnya pun masih bergerak di seluruh tubuh. Stadium laten ini

23

Page 25: Laporan Resmi Imun II (1)

sangat destruktif dan terjadi gumma (jaringan radang) pada kulit, selaput

lendir, tulang, jantung, ginjal, dan paru – paru.

d. Stadium lanjut (setelah bertahun – tahun)

Penyakit ini akhirnya dikenal sebagai sifilis tersier. Pada stadium ini,

Treponema pallidum telah menyerang seluruh tubuh, dan dapat merusak

otak, jantung, batang otak, sumsum tulang belakang

.

Sifilis kongenital dapat terjadi bila Treponema palidum masuk ke plasenta

dan peredaran darah janin. Oleh karena, langsung masuk ke peredaran darah, pada

sifilis stadium I. Sifilis kongenital dibagi menjadi (Mansjoer, 2000):

a. Sifilis kongenital dini

Sifilis kongenital dini dapat muncul beberapa minggu (3 minggu) setelah

bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel dan bula yang setelah memecah

membentuk erosi yang krusta.

b. Sifilis kongenital lanjut

Sifilis kongenital lanjut terdapat pada usia lebih dari 2 tahun. Manifestasi

klinis baru ditemukan pada usia 7 – 9 tahun dengan adanya trias

Hutchinson, yakni kelainan pada mata (keratitis interstisial yang dapat

menyebabkan kebutaaa), ketulian, dan gigi Hutchinson.

c. Stigmata

Stigmata terlihat pada sudut mulut berupa garis – garis yang jalannya

radier, gigi Hutchinson, gigi molar pertama berbentuk seperti murbai dan

penonjolan tulang kepala (frontal bossing).

II.6 Diagnosa Laboratorium

a. Pemeriksaan Lapangan Gelap

Setetes cairan jaringan atau eksudat diletakkan pada gelas alas, dan

penutup ditekankan diatasnya untuk membuat lapisan yang tipis. Preparat

kemudian diperiksa di bawah mikrskop dengan penerangan lapangan

gelap, untuk melihat ciri khas pergerakan spirochaeta. Treponema

24

Page 26: Laporan Resmi Imun II (1)

menghilang dari lesi dalam beberapa jam setelah permulaan pengobatan

antibiotika (Jawetz, 1996).

b. Tes – tes yang menggunakan reagin sebagai abtibodi dan lipoid sebagai

antigen, yaitu

- VDRL (Venereal Disease Research Laboratories) merupakan uji

presipitasi.

- RPR (Rapid Plasma Reagin) merupakan tes flokulasi terjadi reaksi

negatif semu karena terlalu banyak reagin sehingga flokulasi tidak

terjadi. Reaksi demikian disebut reaksi prozon. Jika serum

diencerkan dan di tes lagi, hasilnya menjadi positif (Marwali, 1990).

- Cardiolopin Wassermann (CWR), merupakan uji fiksasi komplemen.

c. Uji serologis yang menggunakan strain – starain saprofitik dari Treponema

Reiter Protein Complement Fixation (RPCF) merupakan uji fiksasi

komplemen.

d. Test Antibodi Treponema

Uji antibodi Treponema yang digunakan secara luas saat ini adalah

Flourescent Treponemal Antibody – Absorbed Double Strain Test (FTA –

ABS DS), uji mikrohemaglutinasi – Treponema pallidum (MHA – TP),

dan uji Treponema hemaglutinasi untuk sifilis (HATTS). Pemakaian uji –

uji ini biasanya terbatas pada konfirmasi hasil positif uji antibodi non

Treponema (VDRL atau RPR) (Sacher, 2004).

Uji FTA – ABS DS adalah suatu pemeriksaan IFA. Sebelum pemeriksaan,

serum pasien diinaktifkan dengan puas dan diserap dengan sorbent, yang

membersihkan antibodi terhadap treponema komensal yang dapat

menyebabkan hasil positif palsu (Sacher, 2004).

Test FTA – ABS adalah test yang pertama kali positif pada sifilis dini, dan

biasanya tetap positif bertahun – tahun setelah pengobatan infeksi dini

(Jawetz, 1996).

25

Page 27: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB III

METODE KERJA

III.1 Waktu dan Tempat

Praktikum pemeriksaan sifilis metode TPHA dilaksanakan pada hari

Jum’at, 15 Oktober 2010. Bertempat di Laboraturium Kesehatan Daerah

Samarinda.

III.2 M e t o d e

Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode

Haemaglutination atau Flokulasi.

III.3 P r i n s i p

”Bersatunya antibodi atau reagen dan antigen treponema sehingga

membentuk reaksi Haemaglutination.”

III.4 A l a t

1. Mikropipet dan yellow tape

2. Stik DETERMINE TPHA

III.5 Sample

Yang digunakan pada pemeriksaan kali ini adalah Serum ,milik dari :

Nama : Ami Yudhita

Umur : 20 tahun

III.6 Cara Kerja

1. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. 50µl serum diambil dengan mikropipet dan diteteskan pada stik test.

3. Diamkan selama 30 menit.

26

Page 28: Laporan Resmi Imun II (1)

4. Amati timbulnya garis merah pada control dan hasil.

III.7 Interpretasi Hasil

Control C

Test

Reaktif Non reaktif

27

Page 29: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

Dari pemeriksaan serologi sifilis dengan metode RPR, didapatkan hasil :

Sampel Ami Yudhita : Non reaktif

IV.2 Pembahasan

Pemeriksaan serologis sifilis menggunakan metode diagnosa tdak

langsung nontreponema antigen RPR secara kuantitatif. Pada suatu analisa

kuantitatif, maka jumlah dari suatu bahan yang dicari harus dapat diukur dan

dinyatakan dalam satu satuan/ unit yang berarti. Dalam tes serologi, kadar dari

antibodi di dalam tes serum biasanya ditentukan dengan pengenceran serum

secara progresif dengan suatu diluent tertentu, sedangkan satuan kuantitatifnya

dinyatakan dalam bentuk titer dari antibodi di dalam serum (Handojo, 1982).

Uji antibodi nontreponema digunakan terutama untuk menapis pasien

untuk sifilis dan untuk memantau respon terhadap pengobatan sifilis. Uji RPR

yang positif pada seorang pasien yang sedang tidak dalam masa terapi harus

dikonfirmasi dengan uji untuk antibodi treponema, karena banyak keadaan yang

dapat menyebabkan hasi positif palsu. Antibodi nontreponema muncul 1 – 4

minggu setelah infeksi dan tetap meninggi sampai terapi antimikroba dimulai,

atau pada sebagian kasus, saat pasien masuk ke fase laten infeksi. Setelah terapi

antimikroba yang efektif dimulai, titer antibodi nontreponema mulai turun, sering

mencapai kadar yang tidak terdeteksi sebelum pengobatan selesai (Sacher, 2004).

Antibodi treponema merupakan yang pertama muncul pertama setelah

infeksi dan tetap meninggi seumur hidup pada sebagian besar pasien. Antibodi

FTA –ABS DS muncul sedikit lebih belakangan dibandingkan antibodi MHA –

TP dan HATTS. Pemakaian utama uji antibodi nontreponema yang positif.

28

Page 30: Laporan Resmi Imun II (1)

Karena hasil uji antibodi treponema hanya dilaporkan secara kualitatif, dan karena

titer, walaupun jika diperiksa, sangat kurang dipengaruhi oleh terapi anti mikroba

(Sacher, 2004).

Perbedaan titer antibodi pada stadium akut dan stadium penyembuhan

dipakai untuk menentukan apakah timbulnya antibodi ini disebabkan infeksi saat

ini atau infeksi di masa lalu. Jika terjadi peningkatan titer antibodi dari stadium

akut sebanding dengan stadium penyembuhan, berarti timbulnya antibodi

disebabkan infeksi saat ini. Bila tidak terjadi peningkatan titer, berarti antibodi itu

berasal dari infeksi di masa lalu (Marwali, 1990).

Pada uji serologis non treponemal metode RPR, sensitivitasnya cukup baik

walaupun tidak sebaik FTA-abs atau ELISA, presisinya juga cukup baik. Tetapi

spesifitasnya kurang memuaskan, sebab antibodi yang dideteksi oleh tes ini bukan

suatu treponemal antibodi sehingga pada keadaan tertentu dapat memberikan false

positif. Nilai fisiopatologinya juga cukup baik. Tes ini umumnya negatif dengan

titer < ¼, pada orang – orang yang menderita sifilisvdan titernya menurun/ negatif

setelah pengobatan berhasil. Sangat baik untuk mengikuti hasil pengobatan.

Cukup praktis karena pelaksaannya cukup mudah (Handojo, 1982).

Test RPR kuantitatif mempunyai arti klinis yang klinis yang penting,

sebab :

a. Merupakan garis dasar untuk mengevaluasi hasil – hasil pemeriksaan

selanjutnya, bila pada pemeriksaan selanjutnya didapatkan :

1. Titer yang meningkat menunjukkan adanya:

- Infeksi dengan Treponema pallidum

- Reinfeksi

- Relaps pada penderita yang ”serofast”

2. Titer yang menurun menunjukkan adanya pengobatan yang adekuat

pada penderita sifilis stadium dini.

3. Titer yang tetap/ tidak berubah, menunjukkan bahwa reagin masih

tetap berada dalam darah setelah pengobatan yang adekuat seperti

yang terdapat pada penderita – penderita sifilis ”serofast”

29

Page 31: Laporan Resmi Imun II (1)

b. Dapat dipakai untuk membedakan sifilis laten yang dini dan yang lanjut,

sifilis laten yang dini, setelah pengobatan yang adekuat akan menunjukkan

penurunan titer yang secepat L II sedangkan pada sifilis laten yang lanjut,

penurunan titer terjadi amat lambat/ titer tidak berubah setelah pengobatan

yang adekuat.

c. Dapat membantu menegakkan diagnosis beberapa stadium dan sifilis seperti

dikemukakan sebelumnya.

d. Dapat dipakai untuk mengikuti hasil pengobatan, pengoobatan dapat

mengubah gambaran serologis atau tidak memberikan perubahan sama

sekali pada stadium yang lain. Penurunan kira – kira 3 tahap pengenceran 2

– 3 bulan setelah pengobatan dapat dipakai sebagai tanda dari keberhasilan

pengobatan.

Tes serologis RPR mempunyai :

a. Sangat sensitif tetapi tidak spesifik

b. Hasil positif palsu pada Lepra, TBC, Leptospirosis, campak, cacar air,

hepatitis, mononukleosis infeksiosa, infeksi Rickettsia, Tripanosomiasis,

SLE.

c. Sebagai penyaring dan pemantau hasil pengobatan

d. Untuk mendiagnosis perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan serologi untuk

deteksi antibodi treponemal.

Tes Treponema pallidum sel darah merah dibuat sedemikian rupa sehingga

dapat menyerap Treponema dari permukaannya. Jika dicampur dengan serum

yang mengandung treponema, sel berubah menjadi gumpalan. Tes ini sama

dengan test FTA – ABS dalam hal spesifitas dan sensitifitasnya, tetapi menjadi

positif pada suatu waktu selama masa infeksi (Sacher, 2004)

Jika didapatkan hasil RPR reaktif dan TPHA pula reaktif maka dapat

disimpulkan bahwa orang tersebut positif menderita sifilis.

Jika didapatkan hasi RPR rektif, sedangkan TPHA non reaktif, maka dapat

disimpulkan bahwa orang tersebut mengalami penyakit infeksi lain tetapi bukan

sifilis.

30

Page 32: Laporan Resmi Imun II (1)

Jika didapatkan hasil pada RPR non reaktif, sedangkan TPHA reaktif,

maka dapat disimpulka bahwa orang tersebut pernah mengalami sifilis dan telah

mengalami pengobatan atau penyembuhan.

Pada praktikum pemeriksaan serologi sifilis secara TPHA didapatkan hasi

± (retest/ indeterminated) atau hasil tidak dapat terbaca, hal ini dikarenakan

sampel tersebut belum dikocok selama 10 menit setelah serum dan reagen

dicampurkan, atau karena inkubasi belum dilakukan selama 1 jam, atau dapat pula

disebabkan karena pada saat masa inkubasi, sumur tersebut sudah digoyang –

goyang, dan pemeriksaan TPHA ini berkaitan dengan gaya gravitasi sehingga bila

sumur tersebut digoyang – goyang sebelum pembacaan hasil maka hasil pada

sumur tersebut tidak dapat terbaca.

31

Page 33: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Dari praktikum pemeriksaan serologis dengan metode TPHA terhadap

sampel serum dari Sdri. Ami Yudhita, berumur 20 tahun adalah non reaktif.

V.2 Saran

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi

treponemal (Pemeriksaan TPHA) yang berguna untuk membantu

menegakkan diagnosa.

Selama pengobatan sifilis, sebaiknya tetap rutin untuk melakukan

pemeriksaan RPR, dengan pengenceran serum, yang berguna untuk

memantau hasil pengobatan sifilis.

Sebaiknya orang yang terinfeksi sifilis, sesegera mungkin diobati dan tidak

menularkan kepada orang lain.

32

Page 34: Laporan Resmi Imun II (1)

PEMERIKSAAN HBsAg

METODE RAPID

33

Page 35: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang

Hati adalah organ sentral dalam metabolisme tubuh. Walaupun hanya

membentuk 2% dari berat tubuh total, hati menerima 1500 ml. Darah permenit,

atau sekitar 28% dari curah jantung, agar dapat melaksanakan fungsinya.

Hati melakukan berbagai proses metabolik terhadap konstituen-konstituen

darah yang mengalir kepadanya sebagai produk sisa atau zat gizi dan sebaliknya

banyak aktifitas hati secara langsung tercermin dalam beberapa zat yang beredar

dalam darah dan juga terdapat dicairan tubuh.

Hati terdiri dari dua jenis sel utama, hepatosit yang aktif secara metabolis

dan berasal dari epitel dan sel kuefer yang bersifat fagositik dan merupakan

bagian dari sistem retikuloendotel. Secara mikroskopis, sel-sel ini tersusun

membentuk suatu anatomink hati yang disebut lobolus, yang terdiri dari genjel-

genjel (cords) hepatosit yang ditunjang oleh kerangka retikulin disekitar

pembuluh vaskular yang disebut sinusad.

Bila hati sakit, maka satu atau lebih fungsi hepar, tetapi tidak perlu

seluruhnya akan melemah, walaupun tidak selalu dalam tingkatan yang sama.

Berbagai tes fungsi hepar merupakan tes bagi kekacauan fungsi hepar itu didalam

tubuh dan dapat tak ada tes untuk fungsi hepar sebagai suatu kesatuan.

Salah satu penyakit hepar yaitu hepatitis disebabkan oleh HAV, HBV,

HCV, HDV, HEV. Dan yang akan dibahas pada praktikum kali ini adalah HBV

yang dapat dideteksi dari adanya antigen HBS Ag dan dapat diuji salah satunya

dengan latex atau rapid.

I.2 Tujuan

Untuk mengetahui adanya antigen virus Hepatitis B Surface (HBs Ag) pada

serum penderita.

34

Page 36: Laporan Resmi Imun II (1)

I.3 Manfaat

Untuk mengetahui cara melakukan uji adanya virus Hepatitis B Surface (HBs

Ag) secara rapid.

35

Page 37: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Struktur dan Fungsi Hati

Hati berada di kuadran kanan atas rongga abdomen dan merupakan organ

terbesar didalam tubuh. Hati melakukan banyak fungsi penting yang berbeda-beda

dan tergantung pada system aliran darahnya dan sel-sel yang khusus. Hati

terbungkus oleh sebuah kapsul fibrioelastik yang disebut kapsul glison dan secara

kasar dipisahkan menjadi lobus kanan dan kiri. Kapsul Glisson mengandung

pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf. Kedua lobus hati tersusun oleh unit-

unit yang lebih kecil yang disebut lobules. Lobules terdiri dari sel sel hati yang

disebut hepatosit, yang menyatu dalam suatu lempeng-lempeng. Hepatosit dan

jaringan hati mudah mengalami regenerasi. (Corwin, 2000)

Hati memegang peranan penting dalam proses metabolik. Terdapat 3

kategori utama aktivitas hati yaitu sintesis, proses ekskretorik dan fungsi

penyimpanan energy dan zat makanan harus diolah dan kemudian disimpan,

didistribusikan atau diubah oleh hati. Hati menguraikan, mendetoksifikasi atau

mengubah dengan cara lain banyak metabolit primer dan intermediet. Menyiapkan

zat-zat tersebut untuk ekskresi, penyimpanan atau daur ulang. Hati juga

melakukan sintesis asam amino dan tempat penyimpanan primer untuk glikogen.

Serta vitamin larut lemak (A, D, E, K) disimpan di hati. Hati mempertahankan

dan mengolah asam lemak dan trigliserida, sel-sel retikuendotel hati menyimpan

besi, tembaga dan mineral lainyang telah ddibersihkan dari darah.(Sacher, 2004)

II.2 Penyakit yang disebabkan Gangguan Hati

Penyakit yang mempengaruhi hati meliputi kelainan sekunder pada

berbagai penyakit sistemik dan kelainan primer yang lebih spesifik bagi hati itu

sendiri. Ada beberapa penyakit yang ditemukan akibat gangguan hati antara lain

hipertensi porta, pirav vena-porta, sistemik splenomegali,

36

Page 38: Laporan Resmi Imun II (1)

ikterus/jaundice/penyakit kuning, sirosis, dan hepatitis. Dari beberapa contoh ini

yang paling sering dijumpai dalam beberapa kasus adalah hepatitis. (Corwin,

2000)

Hepatitis adalah peradangan pada hati. Penyakit ini dapat disebabkan oleh

infeksi atau toksin termasuk alcohol, dan dijumpai pada kanker hati. Hepatitis

disebabkan oleh virus. Telah ditemukan 6 atau 7 kategori virus yang

menyebabkan hepatitis. (Corwin, 2000)

II.3 Hepatitis Virus

Banyak agen infeksiosa merusak hati. Terdapat beberapa virus yang

sasaran utama atau satu-satunya adalah hati. Virus-virus tersebut adalah hepatitis

A (HAV), hepatitis B (HBV), ada pula EBV, CMV, atau virus hepatitis non-A,

non-B (NANB). (Sacher, 2004)

a. Virus Hepatitis A

Penyakit yang dahulu disebut hepatitis infeksiosa atau hepatitis inkubasi singkat,

hampir selalu disebabkan oleh ingesti virus hepatitis A (HAV). Penyakit ini

ditularkan terutama melalui kontaminsi oral. Fecal akibat hygiene buruk atau

makanan yang tercemar. Waktu antara pajanan dan awitan gejala untuk HAV

adalah 4-6 minggu. Pengidap penyakit ini dapat menular sampai 2 minggu

sebelum gejala muncul. Antibody terhadap HAV akan muncul saat gejala timbul.

(Corwin, 2000)

b. Virus Hepatitis B

Hepatitis B kadang disebut juga hepatitis serum. Penyakit ini sering ditemukan,

serius dan mudah menular melalui kontak dengan darah yang mengandung virus.

Penyakit ini dapat ditemukan di semen dan cairan tubuh lainnya dan juga dapat

menular melalui hubungan kelamin. Orang yang beresiko terjangkit HBV adalah

pemakai obat-obat terlarang intravena, para pekerja kesehatan dan heteroseks

atau homoseks yang aktif secara seksual. (Corwin, 2000)

c. Hepatitis C

Dahulu disebut hepatitis non-A non-B. virus RNA ini saat ini merupakan

penyebab tersering infeksi hepatitis yang ditularkan melalui suplai darah

37

Page 39: Laporan Resmi Imun II (1)

komersial. HCV ditularkan terutama melalui transfuse darah. Individu

yang terinfeksi HCV beresiko mengalami kanker hati.

d. Hepatitis D

Hepatitis D disebut hepatitis delta yang sebenarnya adalah suatu virus

detektif yang ia sendiri tidak dapat menginfeksi hepatosit untuk

menimbulkan hepatitis. Virus ini koinfeksi dengan HBV sehingga infeksi

HBV semakin parah. Virus Hepatitis D ini meningkatkan resiko timbulnya

hepatitis Fulminan.

e. Hepatitis E

Virus RNA yang terutama ditularkan melalui ingesti akhir yang tercemar.

Virus ini tidak menimbulkan keadaan pembawa (carrier) atau

menyebabkan hepatitis kronik. Namun, dapat terjadi hepatitis fulminan

yang akhirnya menyebabkan kegagalan hati dan kematian.

II.4 Diagnosa Laboratorium untuk Hepatitis B

Diagnosa Hepatitis B seperti juga pada penyakit lainnya memegang

peranan penting dalam pengobatannya. Berbagai macam cara untuk menegakkan

diagnose Hepatitis B seperti pemeriksaan imunologis, klinis dan biopsy hati.

(Gips, 1989)

Pertanda serologi diagnosa hepatitis B salah satunya dengan pemeriksaan

HBsAg yang bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang mengidap virus

hepatitis akut atau kronik. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menetapkan

bahwa hepatitis akut disebabkan oleh virus hepatitis atau superinfeksi dengan

virus lain. (Komala, 2003)

38

Page 40: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB II

METODE KERJA

III.1 Waktu dan Tempat Praktikum

Praktikum Pemeriksaan HBsAg dilaksanakan pada hari Sabtu, 23 Oktober

2010, bertempat di Laboratorium Kesehatan Daerah Samarinda.

III.2 Prinsip

Anti HBS dalam strip akan bereaksi dengan antigen yang terdapat dalam

serum membentuk ikatan antigen-antibodi berupa garis berwarna merah.

III.3 Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain :

1. Strip test

2. Tabung reaksi

III.4 Bahan

Bahan yang digunakan adalah serum dari :

1. Nama : Ami Yudhita

Umur : 20 tahun

2. Nama : Aniek Rosalita

Umur : 19 tahun

3. Nama : Anisa Ulfah

Umur : 20 tahun

III.5 Cara Kerja

1. Buka strip dari plastik.

2. Dengan mengikuti gambar, dicelupkan strip dengan sisi panah mengarah

ke bawah ke dalam bejana serum selama ± 10 detik.

39

Page 41: Laporan Resmi Imun II (1)

3. Jangan menenggelamkannya melampaui garis tanda (marker line).

4. Tunggu selama 10 menit, lalu dibaca hasil test.

III.6 Interpretasi Hasil

Positif (+) Invalid (?) Negatif (-)

Positif (+) : Jika ada 2 garis berwarna/dadu yang terlihat di areal

control dan test.

Negatif (-) : Jika hanya 1 garis yang terlihat di areal control dan tidak

tampak garis pada bagian test.

Invalid (?) : jika tidak tampak atau tidak ada warna (dadu) pada dua

bagian yang dimaksud. Maka menunjukkan adanya

kekeliruan prosedur dan atau bahan reaksi (reagen test

telah rusak).

40

Test Line

Marker Line

Control Line

max max max max

Page 42: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 Hasil

Dari praktikum pemeriksaan HBsAg yang dilakukan didapatkan hasil :

No. Nama Umur Hasil

1. Ami Yudhita 20 tahun Negative

2. Aniek Rosalita 19 tahun Negative

3. Anisa Ulfah 20 tahun Negative

V.2 Pembahasan

Dalam preparasi sampel untuk pemeriksaan sampel sangat perlu dilakukan karena

dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Setelah dilakukan pengambilan darah, darah

sebaiknya dibekukan dahulu sebelum disentrifuge. Hal ini untuk mencegah terjadinya

lisis dan pada saat disentrifuge hasilnya adalah lemak.

Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat juga positif palsu dan negative

palsu. Ada beberapa faktor yang menimbukan hasil ini, antara lain : sampel lisis, adanya

protein atau lemak pengganggu, reagen yang digunakan telah rusak, strip yang digunakan

sudah kadaluarsa, dengan cara latex sampel yang diteteskan terlalu banyak atau terlalu

sedikit.

Pemeriksaan HBsAg secara latex lebih akurat dibandingkan dengan HBsAg

secara rapid, hal ini karena dengan pemeriksaan secara latex akan langsung terjadi reaksi

dari antigen HBsAg pada serum dan antibodi pada reagen, sedangkan cara rapid strip

yang digunakan mengandung kromogen yang dapat berubah karena oksidasi dari udara,

sehingga bila strip sudah dibuka maka harus langsung dicelupkan pada serum karena jika

tidak maka kromogen yang terdapat pada strip test akan rusak dan dapat menimbulkan

hasil yang negtif atau positif palsu.

Test darah awal untuk diagnosis infeksi HBV adalah :

a. Untuk mencari antigen HBsAg

b. Untuk mencari antibodi HBs dan Anti-HBe

41

Page 43: Laporan Resmi Imun II (1)

Test darah yang digunakan untuk diagnosis infeksi HBV dapat membingungkan,

karena ada berbagai kombinasi mempunyai arti sendiri.

Pemeriksaaan HBsAg secara latex menggunakan suatu alat dengan lingkaran

yang besar dikarenakan agar pada saat merotator alat/slide tersebut maka antigen dan

antibodi yang dicampurkan akan benar-benar homogen dan alat tersebut berwarna hitam

agar mudah melihat aglutinasinya.

Bila hasil pemeriksaan fungsi hati normal, pasien tidak perlu khawatir (meskipun

hasil HBsAg atau anti-HBv positif). Biasanya dokter menganjurkan pasien tersebut

untuk melakukan pemeriksaan (fungsi hati) secara berkala setiap 6 bulan untuk

mendeteksi kemungkinan perubahan fungsi hati atau terjadinya serokonversi. Selain itu,

perlu diperhatikan risiko penularan terhadap orang disekitarnya, terutama anggota

keluarga. Bila perlu dilakukan skrining pada anggota keluarga yang lain atau upaya

pencegahan misalnya dengan vaksinasi.

Bila hasil pemeriksaan fungsi hati menunjukkan hasil abnormal maka perlu

diperiksa lebih lanjut penanda virus lainnya yaitu HBeAg dan HBV-DNA (untuk kasus

hepatitis B atau bila HBsAg positif) serta HBV-RNA (untuk kasus hepatitis C atau anti-

HCV positif).

Fungsi pemeriksaan HBsAg adalah mengetahui apakah pasien merupakan

penderita hepatitis B yang ditandai dengan HBsAg positif. Jika pada pemeriksaan selama

> 6 bulan berturut-turut pasien memiliki HBsAg positif, maka pasien dikatagorikan

penderita hepatitis B kronik. Dan jika pada pemeriksaan muncul antibodi HBs atau anti-

HBs, maka artinya pasien sedang dalam masa penyembuhan.

42

Page 44: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa sampel serum yang

diperiksa dengan metode rapid test adalah Negatif (-).

V.2 Saran

a. Pada saat pemeriksaan, praktikan sebaiknya menggunakan APD

(handscoon / sarung tangan) agar tidak terkontaminasi dengan sampel.

b Praktikan hendaknya menjaga hygiene pribadi, salah satu caranya dengan

selalu mencuci tangan setelah melakukan pemeriksaan atau kontak dengan

serum.

c Melakukan imunisasi Hepatitis B dianjurkan untuk mencegah

terserangnya HBV/ tertular hepatitis B.

43

Page 45: Laporan Resmi Imun II (1)

PEMERIKSAAN ANTI- HBs

METODE ELISA

44

Page 46: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Terdapat lima virus hepatotrik yang menyebabkan hepatitis virus akut,

menurut perbedaan serologinya kelima virus ini di bedakan menjadi : hepatitis

virus A (VHA), hepatitis virus B (VHB), hepatitis virus C (VHC), hepatitis virus

delta (VHD) dan hepatitis virus E (VHE). Karena cara transmisi pada beberapa

virus ini sama dengan HIV tipe 1, maka seseorang dapat saja terinfeksi oleh virus

HIV dan 1 atau lebih virus hepatitis. (Muma,1997)

Dari kelima jenis virus hepatitis, hanya tiga jenis (VHB, VHC, dan VHD)

yang dapat menyebabkan infeksi kronik, yang pada beberapa kasus dapat

menyebabkan terjadinya inflamasi dan nekrosis pada hati, sirosis dan gagal hati

baik patologi yang disebabkan oleh virus-virus ini maupun respon terapeutiknya

terhadap interferon, obat yang paling sering di pakai untuk mengobati hepatitis

virus kronik, merupakan peristiwa-peristiwa imunologi sehingga adanya infeksi

HIV yang terjadi bersama infeksi virus hepatitis ini bukan saja akan mengubah

perjalanan penyakit hepatitis virus kronik tetapi juga responnya terhadap terapi.

(Muma,1997)

Saat ini dunia di laporkan bahwa terjadinya kasus hepatitis A setiap tahun

mencapai 1,4 juta. Untuk prevalensi hepatitis B ada350 juta dan untuk prevalensi

hepatitis C ada 170 juta. Indonesia termasuk daerah dengan tingkat endemisitas

yang sedang sampai tinggi. Gambaran hepatitis di Indonesia sebagaimana di

laporkan para peneliti, sebagai berikut:

1. Hepatitis akut yang di rawat sekitar 39,8 – 68,3%

2. Hepatitis non A dan non B sekitar 15,5 – 46,4%

3. Hepatitis B sekitrar 6,4 -25,4%

(Afifah,2005)

45

Page 47: Laporan Resmi Imun II (1)

I.2 Tujuan

Pemeriksaan Anti HBs metode ELISA bertujuan untuk mengetahui adanya

antibody terhadap virus Hepatitis B.

I.3 Manfaat

Manfaat pemeriksaan Anti HBs metode ELISA adalah agar mahasiswa

dapat mengetahui dan melakukan prosedurpemeriksaan dengan baik dan benar.

46

Page 48: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Hepatitis virus adalah penyakit sistemik terutam menyerang hati.

Umumnya kasus hepatitis akut pada anak-anak dan orang dewasa disebabkan oleh

satu dari penyebab berikut : virus hepatitis A, virus hepatitis B, virus hepatitis C

atau virus hepatitis E. (Jawetz, 1996)

Penyakit hepatitis tipe B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). Virus

hepatitis B adalah virus DNA, suatu virus yang termasuk family Hepadnaviridae.

Virus ini memiliki DNA yang sebagian berupa untaian tunggal (single standed

DNA) dan DNA polymerase endogen yang berfungsi menghasilkan DNA untaian

ganda (double stranded DNA). Virion lengkap HBV terdiri atas suatu struktur

berlapis ganda dengan diameter keseluruhan 42 nm. Bagian inti sebelah dalam

(inner core) yang berdiameter 28 nm dan dilapisi selaput (envelop) yang tebalnya

7 nm mengandung dsDNA dengan BM 1,6 x 106 . Bagian envelop yang

mengelilingi core terdiri atas kompleks dengan sifat biokimia heterogen. Bagian

ini mempunyai sifat antigen berbeda dengan antigen core (HBcAg) dan disebut

antigen permukaan hepatitis B surface antigen (HBsAg). (Kresno, 2001)

HBsAg adalah pembungkus bagian dalam (inti) virus dan merupakan

bagian virus yang tidak menularkan penyakit. Sedangkan bagian inti adalah

bagian yang dapat menularkan penyakit karena mengandung DNA .

II. 2 Hepatitis Tipe B

Penyakit yang dahulu disebut “hepatitis serum” atau “hepatitis inkubasi

lama”, sekarang disebut hepatitis B. virion HB infektif beredar dalam darah untuk

jangka lama dan kadang-kadang ditemukan dalam urin, feses, semen, air liur, dan

hampir seluruh cairan tubuh lain. (Sacher, 2004)

47

Page 49: Laporan Resmi Imun II (1)

HBsAg diproduksi dalam jumlah banyak oleh hepatitis yang terinfeksi dan

dilepaskan kedalam darah sebagai partikel bulat berukuran 17-25 nm dan sebagai

partikel tubuler yang berdiameter sama yang panjangnya berkisar antara 100-200

nm. Antibody terhadap HBsAg dan HBcAg masing-masing disebut anti HBs dan

anti HBc. Kekebalan anti HBs dalam sirkulasi melindungi seseorang terhadap

infeksi HBV. (Kresno, 2001)

Stabilitas HBcAg tidak selalu sama dengan stabilitas penyebaran infeksi.

Namun, keduanya stabil pada suhu -20oC selama lebih dari 20 tahun dan tahan

terhadap pembekuan serta pencairan berulang-ulang. Virus juga tahan pada

pemanasan 37oC selama 60 menit dan tetap hidup setelah dikeringkan dan

disimpan pada suhu 25oC selama paling sedikit 1 minggu. HBV (tetapi bukan

HBsAg) peka terhadap suhu tinggi (100oC selama 1 menit) atau terhadap masa

inkubasi yang lebih lama (60oC 10 jam) bergantung pada jumlah virus yang

terdapat dalam contoh. HBsAg stabil pada PH 2,4 selama 6 jam. Tetapi

infektifitas HBV akan menghilang Natrium hipoklorit 0,5% (misalnya klor

pemutih 1:10) dapat merusak antigenitas dalam waktu 3 menit pada konsentrasi

protein yang rendah, tetapi bahan serum yang tidak di encerkan membutuhkan

konsentrasi yang lebih tinggi (5%). HBsAg didalam plasma atau produk darah

lainnya tidak dapat dirusak oleh penyinaran ultra violet dan infektifitas virus juga

tahan terhadap penyinaran tersebut. HBV menyebar secara tidak merata selama

fraksionasi etanol chon dari plasma. Sebagian besar virus tertahan dalam fraksi I

(fibrinogen, factor VIII) atau fraksi III (kompleks protrombin), sedangkan

HBsAG dipindahkan ke fraksi III (globulin gamma) dan IV (protein plasma).

(Jawetz, 1996)

II.3 Cara Penularan

VHB mudah ditularkan kepada semua orang. Sumber penularannya bisa

berasal dari darah, cairan semen (sperma), lender kemaluan wanita (secret

vagina), dan darah menstruasi.

Cara penularan hepatitis B sebagai berikut : (Afifah, 2005)

48

Page 50: Laporan Resmi Imun II (1)

1) Paranteral, terjadi penembusan kulit atau mukosa melalui suntikan, transfuse

darah, tindakan operatif, perawatan gigi, tusuk jarum, pemakaian jarum suntik

bersama, dan pembuatan tato.

2) Non parenteral, terjadi melalui hubungan antar individu yang erat dan

hubungan seksual.

3) Vertical, berasal dari ibu yang HBsAg (+) atau pengidap, ditularkan kepada

bayi yang di lahirkan.

Virus ini menyebar melalui darah manusia dan melalui hubungan seksual ,

juga dapat melalui air liur. Penularan juga dapat terjadi dari ibu kepada anaknya

yang baru lahir, terutama di Negara Cina. Karena darah dapat menyebabkan

penyakit ini, maka sebelum transfuse darah selalu dilakukan pemeriksaan

terhadap virus hepatitis. (Bateson, 1991)

II.4 Patogenesitas

Virus hepatitis B dapat mengakibatkan hepatitis akut, kronik dan

karsinoma hepatoselular. Mekanisme terjadinya kerusakan hepatoselular yang

mengawali proses perkembangan karsinoma hepatoselular belum diketahui pasti,

tetapi berbagai penelitian terakhir mengungkapkan bahwa respon imun selular

terhadap antigen HBV terlibat dalam klirens virus dan diduga bertanggung jawab

atas terjadinya karsinoma tersebut. (Kresno, 2001)

Pada hepatitis B akut, pertanda serologik yang pertama muncul dalam

darah adalah HBsAg yaitu 1-2 minggu setelah infeksi. Jumlah HBsAg semakin

meningkat dan mencapai puncaknya tidak lama setelah meningkatnya enzim

ALT. sejalan dengan berkurangannya gejala klinik, jumlah HBsAg menurun

kemudian menghilang. (Kresno, 2001)

HBeAg terdapat dalam darah segera setelah timbulnya HBe-antigenik,

akan tetapi cepat menghilang untuk kemudian diikuti munculnya anti-HBe.

Adanya HBeAg dalam serum menunjukkan berlangsungnya replikasi virus dan

menandakan derajat infektifitas yang tinggi. Serokonvensi HBeAg ke anti HBe

terjadi sekitar puncak gejala klinik. Hal ini menandakan proses penyembuhan,

49

Page 51: Laporan Resmi Imun II (1)

HBeAg yang menetap dihubungkan dengan kecendrungan penyakit menjadi

kronis.

HBcAg tidak dijumpai bebas dalam darah, tetapi anti HBc dapat dijumpai

setelah HBsAg tidak terdeteksi lagi. Mula-mula anti HBc terdiri atas IgM,

kemudian anti HBc IgG. Anti HBc IgM merupakan petunjuk infeksi akut. Adanya

anti HBc IgG disertai anti HBs menunjukkan penderita telah sembuh, tetapi anti

HBc dengan titer tinggi tanpa anti HBs menunjukkan infeksi menetap. (Kresno,

2001)

Anti HBs baru terbentuk setelah HBsAg menghilang dan penderita

sembuh, sehingga anti HBs pertanda sembuh dan adanya respon imun. Waktu

antara hilangnya HBsAg dan munculnya anti HBs dikenal dengan istilah window

periode yang dapat berlangsung selama beberapa minggu. Infeksi HBV dapat

berakhir dengan kesembuhan tetapi dapat pula berlanjut menjadi hepatitis kronik

atau menjadi carrier. (Kresno, 2001)

II.5 Gejala Klinis

Gejala klinik dan perubahan serologik yang terjadi setelah terpapar HBV

merupakan hasil interaksi antara pejamu, virus dan antigen serta antibody spesifik

yang sangat kompleks. HBsAg muncul 2-4 minggu sebelum tampak kelainan hati

atau 3-5 minggu sebelum tampak gejala klinis. Kadar tertinggi HBsAg sering kali

terdapat pada awal penyakit. Kadar HBsAg menurun perlahan-lahan dalam waktu

4-6 bulan hingga mencapai kadar yang tidak terdeteksi dengan metode ELISA

seperti yang digunakan saat ini. (Kresno, 2001)

Pada hepatitis virus (terutama tipe B) manifestasi diluar hati meliputi :

(Jawetz, 1996)

a. Suatu prodroma mirip penyakit serum yang bersifat sementara terdiri atas

urtikaria, ruam dan poliartalgia atau arthritis yang tidak berpindah dan terjadi

1-6 minggu sebelum timbulnya hepatitis pada 15-20% penderita.

b. Poliartritis nodosum

c. Glomerulonefritis

50

Page 52: Laporan Resmi Imun II (1)

Kompleks imun yang beredar diduga merupakan penyebab syndrome

tersebut. Krioglobulinemia campuran adalah suatu syndrome yang bercirikan

purpura artralgia, dan kelemahan, sering disertai dengan gangguan ginjal.

Vaskulitis dan endapan kompleks imun biasa ditemukan. Dalam banyak kasus,

kriopresipitat mengandung HBsAg atau anti HBs. (Jawetz, 1996)

Pada umumnya gejala hepatitis B ringan, gejala tersebut antara lain:

a. Selera makan hilang

b. Rasa tidak enak diperut

c. Mual sampai muntah

d. Demam ringan

e. Kadang-kadang disertai nyeri sendi

f. Nyeri bengkak pada perut kanan atas

(www.ms.wikipedia.org)

Setelah beberapa minggu akan timbul gejala utama seperti :

a. Bagian putih pada mata, tampak kuning.

b. Kulit seluruh tubuh tampak kuning.

c. Air seni berwarna gelap atau seperti the.

d. Tinja berwarna pucat.

(www.ms.wikipedia.org)

Tetapi, ada pula penderita yang tidak menunjukkan gejala-gejala sama

sekali karena hanya pembawa virus saja (carrier), sehingga penderita tidak

mengetahui bahwa dirinya mengidap virus hepatitis B dan tanpa disadari

menularkan kepada orang lain. (Silalahi, 2004)

Hepatitis B akut umumnya sembuh. Hanya 10 % menjadi hepatitis B

kronis (menahun) dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.

(www.dinkes.dki.go.id)

II.6 Diagnosa Laboratorium

II.6.1 Pemeriksaan Imunologis

a. HBsAg

51

Page 53: Laporan Resmi Imun II (1)

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui seseorang mengidap

virus hepatitis akut kronik. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk

menetapkan bahwa hepatitis akut yang diderita disebabkan oleh virus

hepatitis B atau superinfeksi dengan virus lain.

b. Anti-HBs

Anti-HBs diinterpretasikan sebagai kebal atau dalam masa

penyembuhan. Dahulu, diperkirakan HBsAg dan Anti-HBs tidak

mungkin dijumpai bersama-sama, namun ternyata 1/3 carrier HBsAg

juga memiliki HBs antibody. Hal ini disebabkan oleh infeksi dengan

subtype yang berbeda-beda. (Kresno, 2001)

II.6.2 Pemeriksaan klinik

Pada pemeriksaan klinis terjadi peningkatan transminase (SGPT biasanya

lebih tinggi dibandingkan SGOT) ialah 10-200 kali batas normal. (Kresno, 2001)

II.6.3 Biopsi Hati

Cara pemeriksaan yang mampu menegakkan diagnostic histologik yang

menyajikan kegamblangan etiologik, terapeutik, dan prognostik pada berbagai

bentuk hepatitis. (http://www.wikipedia.org)

52

Page 54: Laporan Resmi Imun II (1)

53

Page 55: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB III

METODE KERJA

III.1 Waktu dan Tempat Praktikum

Praktikum pemeriksaan Anti-HBs metode ELISA dilaksanakan pada hari

Jum’at, 29 Oktober 2010 di Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalimantan

Timur.

III.2 Prinsip

Reaksi dilakukan otomatis oleh alat. Reaksi dilakukan oleh SPR dalam

beberapa tahap. Pencucian untuk menghilangkan pembungkus antigen terbentuk

kompleksbiotin dan streptolisin menghubungkan alkalin fosfat mengkatalisis

hidrolis dan substrat menghasilkan fluoresensi, diukur pada panjang gelombang

450 nm. Intensitas dari fluoresensi sebanding dengan kualitas Anti-HBs pada

serum.

III. 3 Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :

1. Mikropipet

2. Yellow tape dan blue tape

3. Mini vidas

4. Tabung reaksi

5. Tissue

III. 4 Reagensia

Reagensia yang digunakan pada praktikum ini adalah :

1. Reagen standart (S1)

2. Reagen Kontrol 1 dan 2 (C1 dan C2)

III.5 Bahan Pemeriksaan

54

Page 56: Laporan Resmi Imun II (1)

Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah sampel dari :

1. Nama : Ami Yudhita

Umur : 20 tahun

2. Nama : Anisa Ulfah

Umur : 20 tahun

3. Nama : Aniek Rosalita

Umur : 19 tahun

III.6 Cara Kerja

a. Persiapan alat dan bahan.

b. Pembacaan MLE Card.

1. MLE Card diletakkan pada section A atau B (misal pada section A)

2. Pada layar, tampilan menu utama ditekan Master Lot Menu.

3. Kemudian tekan Read Master Lot.

4. Dipilih section A (sesuai dengan penempatan MLE Card)

5. MLE Card akan dibaca secara otomatis oleh mini vidas, untuk proses

ini alat dibiarkan selama beberapa menit.

c. Running start.

1. Kaset (strip dari SPR) diletakkan pada alat sesuai sectin yang dipilih

(misal section A)

2. Pada layar menu utama, tekan status screen.

3. Pada bagian A dipilih 1 dan S (posisi A1) untuk standar 1.

4. Kemudian ditekan 2 dan S (posisi A2) untuk standar 2 (standar dibuat

duplo).

5. Kemudian ditekan 3 dan C (posisi A3) untuk control 1.

6. Kemudian tekan 4 dan C (posisi A4 untuk control 2.

7. Kemudian ditekan 5 dan sampel ID (posisi A5) untuk sampel 1 dan

seterusnya sama untuk sampel berikutnya.

8. Standar dipipet 150 µl dan dimasukkan pada sumur dikaset atau strip

reagen pada posisi A1 dan A2.

55

Page 57: Laporan Resmi Imun II (1)

9. Kontrol 1 dan control 2 dipipet 150 µl dan dimasukkan pada sumur

dikaset atau strip reagen pada posisi A3 dan A4.

10. Sampel serum dipipet 150 µl dan dimasukkan pada sumur dikaset atau

strip reagen pada posisi A5 dan A6.

11. Kuvet pada SPR dimasukkan sesuai dengan jumlah sampel.

12. Jendela section A dan SPR ditutup.

13. Pada menu dilayar ditekan start section, pilih section A.

III.7 Interpretasi Hasil

Positif (+) : > 5 mIU/ml

Negatif (-) : < 5 mIU/ml

56

Page 58: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

Dari pemeriksaan Anti-HBs didapatkan hasil pada sampel :

a. Ami Yudhita : 186 mIU/ml

b. Aniek Rosalita: < 5 mIU/ml

c. Anisa Ulfah : 24 mIU/ml

IV.2 Pembahasan

Pemakaian Enzyme Immunoassay (EIA) untuk mendeteksi antibodi

terhadap agen penginfeksi telah berkembang pesat selama beberapa tahun

terakhir. Alasan utama adalah bahwa EIA mudah di otomatisasi dan di

instrumentasi dan bersama dengan Radio Immunassay merupakan

pemeriksaan deteksi antibody yang paling sensitive. Pada keadaan tertentu,

EIA kompetitif lebih cocok untuk mendeteksi antibodi. Dalam hal ini,

spesimen pasien yang sudah diencerkan dicampur dengan konjugat enzim

antibodi (dalam jumlah tertentu) yang ditujukan kepada antigen yang sama

dengan antibodi pasien. Konjugat antibodi pasien akan bersaing

memperebutkan tempat pengikatan antibodi (yang jumlahnya terbatas)

pada antigen yang melekat ke fase padat. Fase padat secara berhati-hati

dibilas dan direndam dalam substrat enzim. Jumlah warna yang terbentuk

berbanding terbalik dengan jumah antibodi yang ada dalam spesimen.

(Sacher, 2004)

Pada pemeriksaan anti HBs menggunakan alat mini vidas sampel/serum

akan menunjukkan hasil positif pada kadar > 5 mIU/ml karena mempunyai

sensitivitas yang cukup tinggi sehingga mampu memberikan kadar anti

HBs pada kadar > 5 mIU/ml.

57

Page 59: Laporan Resmi Imun II (1)

Pembacaan pemeriksaan MLE Card pada pemeriksaan anti HBs

menggunakan mini vidas hanya dilakukan 1 x, yaitu pada saat pertama kali

reagen kit digunakan karena MLE Card digunakan untuk mengenalkan

reagen yang akan digunakan untuk mengenalkan reagen yang akan

digunakan pada alat mini vidas. Pada pemeriksaan selanjutnya jika

menggunakan kit reagen yang baru maka MLE Card dibaca lagi, tetapi jika

pada MLE Card sama dengan MLE Card terahulu (reagen kit) sebelumnya

nomor berkode maka pembacaan MLE Card tidak perlu dilakukan.

Pembacaan standard dan kontrol dilakukan setiap 12 hari, karena jika lebih

dari 12 hari, alat mini vidas tidak bisa membaca hasil, sehingga

pemeriksaan akan terganggu. (Widmann, 1995)

58

Page 60: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Dari hasil pemeriksaan Anti HBs dengan metode ELISA, dapat di

simpulkan bahwa sampel dari:

a. Ami Yudhita

b. Aniek Rosalita

c. Anisa Ulfah

mengandung Anti HBs dalam kadar yang bervariasi.

V.2 Saran

a. Alat minividas selain untuk pemeriksaan anti HBs juga bias untuk

pemeriksaan yang lain seperti HBs Ag,T3, T4, AFP, dll, karena itu gunakan

kaset / reagen dan SPR yang sesuai / sama.

b. Setiap pemeriksaan satu kaset / strip reagen di gunakan hanya untuk satu

kali pemeriksaan, begitu juga SPR.

c. Lakukan maintenance pada jalur tray section A dan section B

menggunakan dadu busa.

d. Lakukan kalibrasi dan running control setiap 14 hari sekali.

59

Page 61: Laporan Resmi Imun II (1)

PEMERIKSAAN HIV

METODE RAPID

60

Page 62: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kasus AIDS pertama ditemukan di AS pada 1981, tetapi kasus tersebut

hanya sedikit memberi informasi tentang penyakit ini. Sekarang ada bukti jelas

bahwa AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan HIV. (Kanabus, 1999)

Kita mungkin tidak akan pernah tahu secara pasti kapan dan dimana virus

ini muncul pertama kali, tetapi yang jelas pada waktu di pertengahan abad 20-an

ini, infeksi HIV pada manusia berkembang menjadi epidemi penyakit di seluruh

dunia yang saat ini lebih dikenal sebagai AIDS. (Kanabus, 1999)

Seperti diketahui bersama, permasalahan HIV dan AIDS bukan saja

menjadi masalah nasional akan tetapi sudah menjadi masalah global karena lebih

dari 40 juta jiwa manusia hidup dengan HIV.

Hampir 12 juta laki-laki dan perempuan di bawah usia 24 tahun positif

HIV di seluruh dunia. Dengan peningkatan jumlah setiap harinya.

Di seluruh dunia terdapat 40 juta pengidap infeksi HIV atau AIDS, hamper

setengahnya dalah wanita, 30 % adalah usia muda 15-24 tahun (data sampai

2001). Di Indonesia prevalensi HIV/ AIDS sebanyak 212.092 jiwa, usia 15 tahun

sebanyak 13 %, 15-49 tahun 0,11 % (data sampai 2001). (Hardjoeno, 2003)

Di Indonesia, penggunaan jarum suntik untuk obat bius merupakan

epidemi terbesar dari wabah tersebut. Lebih dari 90 persen dari penggunaan jarum

suntik diketahui tidak bersih, terutama di tiga kota besar. Di salah satu kota besar

tersebut, sebanyak 70 persen pekerja seks dilaporkan tidak menggunakan alat

pelindung seks, hanya sepuluh persen yang menggunakan kondom secara tetap.

(Kompas, 2003)

Berdasarkan data resmi dari Departemen RI pada akhir Juni 2007, secara

komulatif jumlah orang dengan HIV dan AIDS tercatat sebanyak 14.628 kasus

61

Page 63: Laporan Resmi Imun II (1)

yang terdiri dari 5.813 kasus HIV dan 9.689 kasus AIDS. Dilihat dari kelompok

umur 20-29 tahun, yaitu sebanyak 53,9 %. Kemudian disusul dengan kelompok

umur 30-39 tahun sebanyak 27,7 %. Sedangkan faktor penyebabnya telah

bergeser dimana kelompok pengguna jarum suntik menjadi penyebab utama (49,1

%), disusul oleh kelompok heteroseksual (42,1 %) dan homoseksual (4,1 %).

Ada beberapa cara/ pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus HIV,

salah satunya yaitu pemeriksaan secara rapid yang relatif mudah, singkat/ cepat,

serta didapatkan hasil yang akurat.

I.2 Tujuan

Praktikum Pemeriksaan HIV ini bertujuan untuk dapat mendeteksi adanya

virus HIV penyebab AIDS di dalam serum yang diperiksa.

I.3 Manfaat

Praktikum Pemeriksaan HIV/ AIDS ini bermanfaat agar praktikan dapat

mengetahui dan melaksanakan pemeriksaan HIV/ AIDS dengan cara rapid test

yang baik dan benar di laboratorium.

62

Page 64: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 HIV

Tipe Human Immunodeficiency Virus (HIV), berasal dari Lentivirus

primata, merupakan agen penyebab AIDS. Penyakit ini pertama kali ditemukan

pada tahun 1981 dan HIV-1 diisolasi pada akhir tahun 1983. Sejak itu, AIDS telah

menjadi epidemi di seluruh dunia, meluas jangkauannya, dan penting karena

infeksi HIV telah menyerang berbagai populasi serta daerah geografis yang

berbeda. Jutaan orang di seluruh dunia telah terinfeksi; sekali terinfeksi, individu

tersebut tetap terinfeksi sepanjang hidupnya. Dalam satu dekade, apabila tidak

diobati, sebagian besar orang yang terinfeksi HIV mengalami infeksi oportunistis

yang fatal akibat defisiensi sistem imun yang diinduksi oleh HIV. AIDS

merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di dunia

pada awal abad ke-21. (Brooks, 2007)

Human Imunnodeficiency Virus (HIV) adalah salah satu retrovirus yang

dapat menyebabkan AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrom). HIV pertama

kali ditemukan pada 1983. Dikenal dua macam suptipe HIV yaitu HIV-1 yang

menyebar ke seluruh dunia dan HIV-2 yang terutama terdapat di Afrika Barat dan

Portugal. (Hardjoeno, 2003)

Diseluruh dunia, terdapat 40 juta pengidap infeksi HIV atau AIDS, hamper

setengahnya adalah wanita, 30% adalah usia muda 15-24 tahun (data, sampai

2001). Di Indonesia pravalensi HIV ? AIDS sebanyak 212.092 jiwa. Usia 15

tahun sebanyak 13%, 15-49 tahun 0,11 % (data sampai 2001). (Hardjoeno, 2003)

II.2 SIFAT LENTIVIRUS

HIV adalah Retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukkan

banyak gambaran fisikokimia yang merupakan ciri khas family. Karakteristik

63

Page 65: Laporan Resmi Imun II (1)

morfologi HIV yang unik adalah nukleoid berbentuk silinder di dalam virion yang

matur. Nukleoid berbentuk batang yang merupakan tanda diagnostik terlihat

dengan menggunakan mikroskop electron di dalam partikel ekstraselular yang

dipotong pada sudut yang sesuai. (Brooks, 2007)

HIV terdiri dari tiga bagian utama yaitu envelope yang merupakan lapisan

terluar, capsid yang meliputi isi virus dan core merupakan isi virus. Lapisan

envelope terdiri dari lemak ganda yang terbentuk dari membrane sel pejamu serta

protein dari sel penjamu. Pada lapisan ini, tertanam glikoprotein gp41. Pada

bagiam luar glikoprotein,ini terikat molekul gp120. Pada elektrroforesis kompleks

antara gp120 dan gp41 membentuk pita gp160. Capsid merupakan lapisan protein

yang dikenal sebagai P17. Pada bagian core terdapat sepasang RNA rantai

tunggal, enzim-enzim yang berperan dalam replikasi seperti reserve transcriptase

(P61), endonuklease (P31) serta protein lainnya terutama P24. (Hardjoeno, 2003)

Lentivirus telah diisolasi dari berbagai spesies, termasuk setidaknya 26

primata selain manusia Afrika yang berbeda. Ada dua tipe virus AIDS manusia

yang berbeda: HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe ini dibedakan berdasarkan organisasi

genom dan hubungan filogenetik (evolisuonar) dengan Lentivirus primata lain.

(Brooks, 2007)

Susunan genom Lentivirus primata (manusia dan simian) sangat mirip.

Satu perbedaan adalah bahwa HIV-1 dan virus simpanse memiliki gen vpu,

sedangkan HIV-2 dan hampir semua SIV mempunyai gen vpx. (Brooks, 2007)

Lentivirus selain primata menimbulkan infeksi persisten yang mengenai

berbagai spesies hewan. Virus ini menyebabkan penyakit kronk yang melemahkan

dan kadang-kadang imunodefisiensi. Agen prototipe, virus visna (disebut juga

virus maedi), menimbulkan gejala neurologis atau pneumonia pada domba di

Iceland. Virus lain menyebabkan anemia infeksius pada kuda dan arthritis serta

ensefalitis pada kambing. Lentivirus kucing dan sapi dapat menyebabkan

imunodefisiensi. Lentivirus selain primata tidak diketahui menimbulkan infeksi

pada primata, termasuk manusia. (Brooks, 2007)

64

Page 66: Laporan Resmi Imun II (1)

II.3 CARA PENULARAN

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu

penyakit yaitu sumber infeksi, verikulum yang membawa agent, host yang rentan,

tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portaentre).

Banyak cara yang diduga menjadi ccara peenularan virus HIV, namun

hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui:

a. Transmisi seksual

Penularan melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun

heteroseksual merupakan penularan infeksi yang paling sering terjadi.

Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serviks.

b. Transmisi transplasental

1) Transmisi parental

a) Akibat penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lainnya (alat

tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan

narkotik, suntik yang memakai jarum suntik yan tercemar secara

bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui jarum suntik

yang dipakai oleeh petugas tanpa disterilkan terlebih dahulu.

Resiko tertular cara transmisi ini kurang dari 1 %.

b) Darah, produk darah, transmisi melalui transfusi atau produk darah

memiliki resiko tertular infeksi HIV lebih dari 90%.

2) Transmisi transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai

resiko sebesar 50 %. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil,

melahirkan dan sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.

Penularan melaului air susu ibu termasuk penularan dengan resiko

rendah. (www.library.usu.ac.id)

II.4 MASA INKUBASI HIV

65

Page 67: Laporan Resmi Imun II (1)

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar

virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang

dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai ± 12 tahun dan selama

inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.

(www.library.usu.ac.id)

Selama masa inkubasi ini, penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini

terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan

laboratorium ± 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa

window periode.

Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi unutk menularkan

virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai dengan pola transmisi

virus HIV tidak menunjukka gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan

penularan terjadi pada fase inkubasi ini. (www.library.usu.ac.id)

II.5 DIAGNOSTIK LABORATORIUM

Pada awal infeksi, umumnya belum memberikan gejala yang nyata,

sehingga diagnostis infeksi oleh HIV. Pada stadium awal, umumnya berdasarkan

hasil test laboratorium. (Hardjoeno, 2003)

a. Pemeriksaan penunjang hematologi yang hasilnya secara umum meliputi :

1. Jumlah limfosit lebih kecil dari 1.000/mm3

2. Trombosit lebih kecil dari 100.000/mm3

3. Hemoglobin lebih kecil dari 12 % (Anonim, 2006)

b. Pemeriksaan kultur virus dengan menggunakan bahan dari biopsy jaringan

yang menggunakan mikroskop electron.

c. Pemeriksaan serologi dengan memeriksa darah (serum) dari penderita baik

antigen (protein virus) maupun antibody yang meliputi pemeriksaan-

pemeriksaan. (Depkes RI, 1993).

1. Western Blot. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, interpretasinya

membutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam.

2. Radio Immuno Presipitasion Assay (RIPA). Test konfirmasi yang

jarang dipakai.

66

Page 68: Laporan Resmi Imun II (1)

3. Radio Immuno Assay (RIA). Teknik RIA dipakai untuk mendeteksi

antigen maupun antibody yang kadarnya rendah.

4. Immunoflouresensi (IF) sulit dikerjakan, mahal, lama dan masih

ddapat memberikan hasil yang tidak benar, false positif, false negatif,

intermediet.

5. Passive Hemaglutination (PHA)

6. Rapid test

7. Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay (ELISA)

Pemeriksaan antibody HIV paling banyak menggunakan metode ini.

ELISA pada mulanya digunakan untuk screening darah donor dan pemeriksaan

darah kelompok resiko tinggi/ tersangka AIDS. Pemeriksaan ELISA harus

menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian

dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan metode

Western Blot.

Dasar dalam menegakkan diagnose AIDS adalah :

1. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium)

2. Adanya tanda-tanda immunodeficiency

3. Adanya gejala infeksi opportunistic. (www.library.usu.ac.id)

ELISA dari berbagai macam kit yang ada dipasarkan mempunyai cara

kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada

biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polisterin atau sumur

microplate, serum atau plasma yang akan diperiksa diinkubasikan dengan antigen

tersebut selama 30 menit atau 2 jam, kemudian di cuci.

(www.cerminduniakedokteran.com)

ELISA terdapat IgG (Immunoglobulin G) yang menempel pada biji-biji

atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan

antibody. Antibody anti-IgG tersebu terlebih dahulu sudah diberi label dengan

enzim (alkali fosfatase, horseradish peroksidase) sehingga setelah kelebihan

enzim dicuci habis, maka enzim yang tinggal akan bereaksi dengan kadar IgG

yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat.

(www.cerminduniakedokteran.com)

67

Page 69: Laporan Resmi Imun II (1)

Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light

chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibody dapat lebih

spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap test selalu

diikutkan control positif dan negative untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga

kadar ditas cut off value atau diatas absorbance level specimen akan dinyatakan

positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya

menunjukkan suatu infeksi HIV dimasa lampau.

(www.cerminduniakedokteran.com)

Test ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 2-3 masa sakit

selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat

ditemukan virus HIV/partikel HIV dalam penurunan jumlan sel T4 (gratik).

Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi setelah 3 bulan

IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS

menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk kedalam sel tubuh). HIV

sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah sel T4 akan

kembali normal. (www.cerminduniakedokteran.com)

Hasil pemeriksaan ELISA, harus diinterpretasi dengan hati-hati karena

tergantung dari fase penyakit. Pada umunya, hasil akan positif pada fase timbul

gejala pertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini

AIDS (pre AIDS phase). (www.cerminduniakedokteran.com)

Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilai sensitifitas

tertinggi 98-100 % western blot, memberi nilai spesifik 99,6 %-100%. Walaupun

begitu,.prediktive value hasil test positif tergantung dari prepalensi HIV

dimasyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive positif value adalah

100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5 %-100% predictive value dari

hasil negatif ELISA dari masyarakat sekitar 99,9 %-76,9% pada kelompok resiko

tinggi. (www.cerminduniakedokteran.com)

Disamping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu

diperhatikan adalah: (www.cerminduniakedokteran.com)

1. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibody, bukan antigen (akhir-

akhir ini sudah ditemukan test ELISA unutk antigen). Oleh karena itu, test

68

Page 70: Laporan Resmi Imun II (1)

uji baru akan positif bila penderita akan mengalami serokonversi yang

lamanya 2-3 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau

lebih (pada keadaan immunocompromissed). Kasus dengan infeksi HIV

lateks selama 3-4 bulan.

2. Pemeriksaan ELISA hanya terdapat antigen IgG. Penderita AIDS pada

taraf permulaan hanya mengandung IgM sehingga tidak akan terdeteksi.

Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu.

3. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV-1. Bila test ini

digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24% tetapi HIV-2

paling banyak ditemukan di Afrika.

4. Masalah false positif pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada

keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini

disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan

dalam test kemurniannya berbeda dengan HIV dialam. Oleh karena itu,

test ELISA harus dikonfirmasi dengan test lain.

Test ELISA mempunyai spesifitas dan sensitifitas cukup tinggi, walaupun

hasil negative, test ini tidak dapat menjamin bahwa seseorang bebas 100% dari

HIV terutama pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah

memakai recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap enveloped dan core.

(www.cerminduniakedokteran.com)

69

Page 71: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB III

METODE KERJA

III.1 WAKTU

Praktikum Pemeriksaan HIV ini dilaksanakan pada hari Jum’at, tanggal

29, bulan Oktober dan tahun 2010.

III.2 TEMPAT

Praktikum Pemeriksaan HIV ini pelaksanaannya bertempat di Balai

Laboratorium Kesehatan Daerah Samarinda, Kalimantan Timur.

III.3 METODE

Rapid Test.

III.4 PRINSIP

Dengan adanya HIV 1, 2, O yang merupakan 3 garis HIV dengan rapid

test device adalah suatu rapid kromatografi immunoassay untuk mendeteksi

kualitatif dan antibody terhadap HIV 1, 2, O di dalam serum, plasma atau darah

lengkap.

III.5 ALAT

a. Tabung reaksi. d. Mikropipet 50 µL.

b. Rak tabung. e. Tip kuning.

c. Sentrifuge. f. Timer.

III.6 BAHAN

Sampel serum dari ± 5 mL darah vena yang telah disentrifuge pada

kecepatan 3000 RPM selama ± 15 menit;

70

Page 72: Laporan Resmi Imun II (1)

a. Sampel 1 b. Sampel 2

Nama : Anita Mandasari Nama : Cahyani Rahayu

Umur : 19 tahun Umur : 20 tahun

Jenis kelamin : Perempuan Jenis kelamin : Perempuan

III.7 REAGENSIA

a. Strip HIV merk “ONCOPROBE”.

b. Buffer HIV merk “ONCOPROBE”.

III.8 CARA KERJA

a. Keluarkan kaset dari referigator.

b. Biarkan kaset dan sampel yang akan digunakan pada suhu ruangan.

c. Keluarkan kaset dari kemasannya.

d. Letakkan pada permukaan datar.

e. Teteskan 1 tetes atau 50 µL serum/plasma ke lubang sampel pada kaset.

f. Teteskan 1 tetes (±40 µL) buffer ke lubang yang sama untuk sampel.

g. Biarkan 10-30 menit baru kemudian baca hasil.

III.9 INTERPRETASI HASIL

a. Positif

Terbentuk 2/3 garis berwarna, satu pada zona garis test 1 atau 2 (atau 1

dan 2) dan satu pada zona garis control. Hal ini berarti pada serum, plasma

dan darah terdapat antibody HIV -1/. Garis warna pada zona 1 medapatkan

infeksi HIV-1 dan garis pada zona 2 menandakan infeksi HIV-2.

71

Page 73: Laporan Resmi Imun II (1)

b. Negatif

Terbentuk satu garis warna hanya

pada zona garis control. Ini berarti

pada serum, plasma dan darah tidak

terdapat HIV.

c. Invalid

Jika tidak timbul garis warna pada

zona control, maka test dinyatakan

gagal. Ulangi test dengan alat baru.

72

HIVT1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

Oncoprobe

HIVT1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

Oncoprobe

HIVT1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

Oncoprobe

HIVT1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

Oncoprobe

HIVT1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

Oncoprobe

Page 74: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 HASIL

Dari Praktikum Pemeriksaan HIV yang telah dilaksanakan dengan metode

Rapid Test, diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Sampel 1 : Non-reaktif (-)

b. Sampel 2 : Non-reaktif (-)

IV.2 PEMBAHASAN

Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA, aglutinasi atau

dotblot immunobinding assay. WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari

pemeriksaan antibody terhadap HIV, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan

populasi dan keadaan penderita. Strategi tersebut adalah: (Anonim, 2006)

a. Strategi pertama

Dilakukan satu kali pemeriksaan antibody, bila pemeriksaan reaktif, maka

dianggap sebagai kasus infeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif

dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan

pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (> 99%).

b. Strategi kedua

Menggunakan 2 kali pemeriksaan terhadap serum yang pada pemeriksaan

pertama memberikan hasil reaktif. Perlu diperhatikan bahwa pada

pemeriksaan pertama digunakan reagensia dengan sensitivitas dan pada

pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda

jenis antigen atau tekhniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama.

Bila hasil pemeriksaan yang kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai

terinfeksi HIV, namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non-

73

Page 75: Laporan Resmi Imun II (1)

reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Bila hasil

tidak sama, maka dilaporkan sebagai intermediate.

c. Strategi ketiga

Menggunakan tiga kali pemeriksaan terhadap serum yang pada dua

pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Bila hasil pemeriksaan

antara ketiga pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil pertama reaktif,

maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau indeterminate bila

penderita yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau

tidak beresilo tertular HIV, maka hasil pemeriksaan ketiga dipakai

reagensia yang berbeda asal antigen atau tekhniknya, serta memiliki

spesifisitas yang lebih tinggi.

Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif (reaktif) dari tiga tes

yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang

biasanya dengan memakai metode Western Blot. (Lubis, 1992)

Pada setiap tes dilakukan control positif dan negatif untuk dipakai sebagai

pedoman, sehingga kadar di atas cut off value atau di atas absorban level

spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam.

Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV dimasa lampau.

Beberapa kendala pada tes ELISA yang harus diperhatikan adalah: (Lubis,

1992)

a. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibody bukan antigen.

b. Pemeriksaan ELISA hanya terdapat antigen jenis IgG.

c. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV-1.

d. Masalah false positif pada tes ELISA, hasil ini sering ditemukan pada

keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini

disebabkan karena morfologi HIV hasil biakkan jaringan yang digunakan

dalam tes kemurniannya berbeda dengan HIV di alam.

Sampel dengan antibody di bawah gray zone (nilai cut off 15%) dianggap

negatif tidak dapat ditentukan hasilnya dan harus dites ulang duplo menggunakan

sampel yang sama. Apabila tes ulangan positif, sampel dites konfirmasi dengan

74

Page 76: Laporan Resmi Imun II (1)

metode pelengkap, misalnya: western blot, tes immunofluoresensi dan lain-lain,

terutama untuk menentukan tipe infeksi. (Hardjoeno, 2003)

Beberapa hal tentang kebaikan tes ELISA adalah nilai sensitivitas yang

tinggi : 98-100%. Walaupun begitu, predictive value hasil tes positif tergantung

dari prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive

antara 5-100%. Predictive value dari hasil negative ELISA pada masyarakat

sekitar 59,99%- 76,9% pada kelompok resiko tinggi.

Hasil pemeriksaan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-hati dari fase

penyakit. Pada umumnya hasil akan positif pada fase timbul gejala pertama AIDS

(AIDS Phase) dan sebagian kecil akan negative pada fase dini AIDS.

(www.cerminduniakedokteran.com)

75

Page 77: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB V

PENUTUP

V.1 KESIMPULAN

Dari hasil Praktikum Pemeriksaan HIV yang telah diperoleh, dapat dibuat

kesimpulan:

a. Sampel 1

Nama : Anita Mandasari

Umur : 19 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Hasil pemeriksaan : Non-reaktif (-)

b. Sampel 2

Nama : Cahyani Rahayu

Umur : 20 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Hasil pemeriksaan : Non-reaktif (-)

bahwa dari kedua hasil di atas tidak terdapat antibody terhadap HIV di dalam

sampel serum yang diperiksa.

V.2 SARAN

a. Sebaiknya pada saat melakukan pemeriksaan HIV/ AIDS mengunakan

sarung tangan.

b. Untuk mendiagnosa pasien HIV/ AIDS harus mengunakan strategi III

dengan tingkat spesifik dan sensitifitas yang baik.

c. Pemeriksaan antibodi terhadap HIV, hendaknya dilakukan dengan

menggunakan 3 merk yang berbeda. Tujuannya adalah agar mendapatkan

76

Page 78: Laporan Resmi Imun II (1)

hasil yang menyakinkan dan dapat di pertanggung jawabkan

kebenarannya.

d. Pemeriksaan HIV dianjurkan kepada setiap orang yang merasa dirinya

memiliki resiko terinfeksi HIV/ AIDS.

77

Page 79: Laporan Resmi Imun II (1)

PEMERIKSAAN ANTI HIV

METODE RAPID

78

Page 80: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Kasus AIDS pertama ditemukan di AS pada 1981, tetapi kasus tersebut

hanya sedikit memberi informasi tentang penyakit ini. Sekarang ada bukti jelas

bahwa AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan HIV. (Kanabus, 1999)

Kita mungkin tidak akan pernah tahu secara pasti kapan dan dimana virus

ini muncul pertama kali, tetapi yang jelas pada waktu di pertengahan abad 20-an

ini, infeksi HIV pada manusia berkembang menjadi epidemi penyakit di seluruh

dunia yang saat ini lebih dikenal sebagai AIDS. (Kanabus, 1999)

Seperti diketahui bersama, permasalahan HIV dan AIDS bukan saja

menjadi masalah nasional akan tetapi sudah menjadi masalah global karena lebih

dari 40 juta jiwa manusia hidup dengan HIV.

Hampir 12 juta laki-laki dan perempuan di bawah usia 24 tahun positif

HIV di seluruh dunia. Dengan peningkatan jumlah setiap harinya.

Di seluruh dunia terdapat 40 juta pengidap infeksi HIV atau AIDS, hamper

setengahnya dalah wanita, 30 % adalah usia muda 15-24 tahun (data sampai

2001). Di Indonesia prevalensi HIV/ AIDS sebanyak 212.092 jiwa, usia 15 tahun

sebanyak 13 %, 15-49 tahun 0,11 % (data sampai 2001). (Hardjoeno, 2003)

Di Indonesia, penggunaan jarum suntik untuk obat bius merupakan

epidemi terbesar dari wabah tersebut. Lebih dari 90 persen dari penggunaan jarum

suntik diketahui tidak bersih, terutama di tiga kota besar. Di salah satu kota besar

tersebut, sebanyak 70 persen pekerja seks dilaporkan tidak menggunakan alat

pelindung seks, hanya sepuluh persen yang menggunakan kondom secara tetap.

(Kompas, 2003)

Berdasarkan data resmi dari Departemen RI pada akhir Juni 2007, secara

komulatif jumlah orang dengan HIV dan AIDS tercatat sebanyak 14.628 kasus

79

Page 81: Laporan Resmi Imun II (1)

yang terdiri dari 5.813 kasus HIV dan 9.689 kasus AIDS. Dilihat dari kelompok

umur 20-29 tahun, yaitu sebanyak 53,9 %. Kemudian disusul dengan kelompok

umur 30-39 tahun sebanyak 27,7 %. Sedangkan faktor penyebabnya telah

bergeser dimana kelompok pengguna jarum suntik menjadi penyebab utama (49,1

%), disusul oleh kelompok heteroseksual (42,1 %) dan homoseksual (4,1 %).

Ada beberapa cara/ pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus HIV,

salah satunya yaitu pemeriksaan secara rapid yang relatif mudah, singkat/ cepat,

serta didapatkan hasil yang akurat.

I.2 TUJUAN

Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV ini bertujuan untuk dapat mendeteksi

adanya antibody virus HIV penyebab AIDS di dalam serum yang diperiksa.

I.3 MANFAAT

Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV ini bermanfaat agar praktikan dapat

mengetahui dan melaksanakan pemeriksaan anti-HIV dengan cara rapid test yang

baik dan benar di laboratorium.

80

Page 82: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 HIV

Tipe Human Immunodeficiency Virus (HIV), berasal dari Lentivirus

primata, merupakan agen penyebab AIDS. Penyakit ini pertama kali ditemukan

pada tahun 1981 dan HIV-1 diisolasi pada akhir tahun 1983. Sejak itu, AIDS telah

menjadi epidemi di seluruh dunia, meluas jangkauannya, dan penting karena

infeksi HIV telah menyerang berbagai populasi serta daerah geografis yang

berbeda. Jutaan orang di seluruh dunia telah terinfeksi; sekali terinfeksi, individu

tersebut tetap terinfeksi sepanjang hidupnya. Dalam satu dekade, apabila tidak

diobati, sebagian besar orang yang terinfeksi HIV mengalami infeksi oportunistis

yang fatal akibat defisiensi sistem imun yang diinduksi oleh HIV. AIDS

merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di dunia

pada awal abad ke-21. (Brooks, 2007)

Human Imunnodeficiency Virus (HIV) adalah salah satu retrovirus yang

dapat menyebabkan AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrom). HIV pertama

kali ditemukan pada 1983. Dikenal dua macam suptipe HIV yaitu HIV-1 yang

menyebar ke seluruh dunia dan HIV-2 yang terutama terdapat di Afrika Barat dan

Portugal. (Hardjoeno, 2003)

Diseluruh dunia, terdapat 40 juta pengidap infeksi HIV atau AIDS, hamper

setengahnya adalah wanita, 30% adalah usia muda 15-24 tahun (data, sampai

2001). Di Indonesia pravalensi HIV ? AIDS sebanyak 212.092 jiwa. Usia 15

tahun sebanyak 13%, 15-49 tahun 0,11 % (data sampai 2001). (Hardjoeno, 2003)

II.2 SIFAT LENTIVIRUS

HIV adalah Retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukkan

banyak gambaran fisikokimia yang merupakan ciri khas family. Karakteristik

81

Page 83: Laporan Resmi Imun II (1)

morfologi HIV yang unik adalah nukleoid berbentuk silinder di dalam virion yang

matur. Nukleoid berbentuk batang yang merupakan tanda diagnostik terlihat

dengan menggunakan mikroskop electron di dalam partikel ekstraselular yang

dipotong pada sudut yang sesuai. (Brooks, 2007)

HIV terdiri dari tiga bagian utama yaitu envelope yang merupakan lapisan

terluar, capsid yang meliputi isi virus dan core merupakan isi virus. Lapisan

envelope terdiri dari lemak ganda yang terbentuk dari membrane sel pejamu serta

protein dari sel penjamu. Pada lapisan ini, tertanam glikoprotein gp41. Pada

bagiam luar glikoprotein,ini terikat molekul gp120. Pada elektrroforesis kompleks

antara gp120 dan gp41 membentuk pita gp160. Capsid merupakan lapisan protein

yang dikenal sebagai P17. Pada bagian core terdapat sepasang RNA rantai

tunggal, enzim-enzim yang berperan dalam replikasi seperti reserve transcriptase

(P61), endonuklease (P31) serta protein lainnya terutama P24. (Hardjoeno, 2003)

Lentivirus telah diisolasi dari berbagai spesies, termasuk setidaknya 26

primata selain manusia Afrika yang berbeda. Ada dua tipe virus AIDS manusia

yang berbeda: HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe ini dibedakan berdasarkan organisasi

genom dan hubungan filogenetik (evolisuonar) dengan Lentivirus primata lain.

(Brooks, 2007)

Susunan genom Lentivirus primata (manusia dan simian) sangat mirip.

Satu perbedaan adalah bahwa HIV-1 dan virus simpanse memiliki gen vpu,

sedangkan HIV-2 dan hampir semua SIV mempunyai gen vpx. (Brooks, 2007)

Lentivirus selain primata menimbulkan infeksi persisten yang mengenai

berbagai spesies hewan. Virus ini menyebabkan penyakit kronk yang melemahkan

dan kadang-kadang imunodefisiensi. Agen prototipe, virus visna (disebut juga

virus maedi), menimbulkan gejala neurologis atau pneumonia pada domba di

Iceland. Virus lain menyebabkan anemia infeksius pada kuda dan arthritis serta

ensefalitis pada kambing. Lentivirus kucing dan sapi dapat menyebabkan

imunodefisiensi. Lentivirus selain primata tidak diketahui menimbulkan infeksi

pada primata, termasuk manusia. (Brooks, 2007)

II.3 CARA PENULARAN

82

Page 84: Laporan Resmi Imun II (1)

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu

penyakit yaitu sumber infeksi, verikulum yang membawa agent, host yang rentan,

tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portaentre).

Banyak cara yang diduga menjadi ccara peenularan virus HIV, namun

hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui:

c. Transmisi seksual

Penularan melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun

heteroseksual merupakan penularan infeksi yang paling sering terjadi.

Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serviks.

d. Transmisi transplasental

3) Transmisi parental

c) Akibat penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lainnya (alat

tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan

narkotik, suntik yang memakai jarum suntik yan tercemar secara

bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui jarum suntik

yang dipakai oleeh petugas tanpa disterilkan terlebih dahulu.

Resiko tertular cara transmisi ini kurang dari 1 %.

d) Darah, produk darah, transmisi melalui transfusi atau produk darah

memiliki resiko tertular infeksi HIV lebih dari 90%.

4) Transmisi transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai

resiko sebesar 50 %. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil,

melahirkan dan sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.

Penularan melaului air susu ibu termasuk penularan dengan resiko

rendah. (www.library.usu.ac.id)

II.4 MASA INKUBASI HIV

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar

virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang

dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai ± 12 tahun dan selama

83

Page 85: Laporan Resmi Imun II (1)

inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.

(www.library.usu.ac.id)

Selama masa inkubasi ini, penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini

terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan

laboratorium ± 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa

window periode.

Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi unutk menularkan

virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai dengan pola transmisi

virus HIV tidak menunjukka gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan

penularan terjadi pada fase inkubasi ini. (www.library.usu.ac.id)

II.5 DIAGNOSTIK LABORATORIUM

Pada awal infeksi, umumnya belum memberikan gejala yang nyata,

sehingga diagnostis infeksi oleh HIV. Pada stadium awal, umumnya berdasarkan

hasil test laboratorium. (Hardjoeno, 2003)

d. Pemeriksaan penunjang hematologi yang hasilnya secara umum meliputi :

4. Jumlah limfosit lebih kecil dari 1.000/mm3

5. Trombosit lebih kecil dari 100.000/mm3

6. Hemoglobin lebih kecil dari 12 % (Anonim, 2006)

e. Pemeriksaan kultur virus dengan menggunakan bahan dari biopsy jaringan

yang menggunakan mikroskop electron.

f. Pemeriksaan serologi dengan memeriksa darah (serum) dari penderita baik

antigen (protein virus) maupun antibody yang meliputi pemeriksaan-

pemeriksaan. (Depkes RI, 1993).

8. Western Blot. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, interpretasinya

membutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam.

9. Radio Immuno Presipitasion Assay (RIPA). Test konfirmasi yang

jarang dipakai.

10. Radio Immuno Assay (RIA). Teknik RIA dipakai untuk mendeteksi

antigen maupun antibody yang kadarnya rendah.

84

Page 86: Laporan Resmi Imun II (1)

11. Immunoflouresensi (IF) sulit dikerjakan, mahal, lama dan masih

ddapat memberikan hasil yang tidak benar, false positif, false negatif,

intermediet.

12. Passive Hemaglutination (PHA)

13. Rapid test

14. Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay (ELISA)

Pemeriksaan antibody HIV paling banyak menggunakan metode ini.

ELISA pada mulanya digunakan untuk screening darah donor dan pemeriksaan

darah kelompok resiko tinggi/ tersangka AIDS. Pemeriksaan ELISA harus

menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian

dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan metode

Western Blot.

Dasar dalam menegakkan diagnose AIDS adalah :

4. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium)

5. Adanya tanda-tanda immunodeficiency

6. Adanya gejala infeksi opportunistic. (www.library.usu.ac.id)

ELISA dari berbagai macam kit yang ada dipasarkan mempunyai cara

kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada

biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polisterin atau sumur

microplate, serum atau plasma yang akan diperiksa diinkubasikan dengan antigen

tersebut selama 30 menit atau 2 jam, kemudian di cuci.

(www.cerminduniakedokteran.com)

ELISA terdapat IgG (Immunoglobulin G) yang menempel pada biji-biji

atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan

antibody. Antibody anti-IgG tersebu terlebih dahulu sudah diberi label dengan

enzim (alkali fosfatase, horseradish peroksidase) sehingga setelah kelebihan

enzim dicuci habis, maka enzim yang tinggal akan bereaksi dengan kadar IgG

yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat.

(www.cerminduniakedokteran.com)

Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light

chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibody dapat lebih

85

Page 87: Laporan Resmi Imun II (1)

spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap test selalu

diikutkan control positif dan negative untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga

kadar ditas cut off value atau diatas absorbance level specimen akan dinyatakan

positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya

menunjukkan suatu infeksi HIV dimasa lampau.

(www.cerminduniakedokteran.com)

Test ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 2-3 masa sakit

selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat

ditemukan virus HIV/partikel HIV dalam penurunan jumlan sel T4 (gratik).

Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi setelah 3 bulan

IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS

menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk kedalam sel tubuh). HIV

sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah sel T4 akan

kembali normal. (www.cerminduniakedokteran.com)

Hasil pemeriksaan ELISA, harus diinterpretasi dengan hati-hati karena

tergantung dari fase penyakit. Pada umunya, hasil akan positif pada fase timbul

gejala pertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini

AIDS (pre AIDS phase). (www.cerminduniakedokteran.com)

Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilai sensitifitas

tertinggi 98-100 % western blot, memberi nilai spesifik 99,6 %-100%. Walaupun

begitu,.prediktive value hasil test positif tergantung dari prepalensi HIV

dimasyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive positif value adalah

100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5 %-100% predictive value dari

hasil negatif ELISA dari masyarakat sekitar 99,9 %-76,9% pada kelompok resiko

tinggi. (www.cerminduniakedokteran.com)

Disamping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu

diperhatikan adalah: (www.cerminduniakedokteran.com)

5. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibody, bukan antigen (akhir-

akhir ini sudah ditemukan test ELISA unutk antigen). Oleh karena itu, test

uji baru akan positif bila penderita akan mengalami serokonversi yang

lamanya 2-3 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau

86

Page 88: Laporan Resmi Imun II (1)

lebih (pada keadaan immunocompromissed). Kasus dengan infeksi HIV

lateks selama 3-4 bulan.

6. Pemeriksaan ELISA hanya terdapat antigen IgG. Penderita AIDS pada

taraf permulaan hanya mengandung IgM sehingga tidak akan terdeteksi.

Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu.

7. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV-1. Bila test ini

digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24% tetapi HIV-2

paling banyak ditemukan di Afrika.

8. Masalah false positif pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada

keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini

disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan

dalam test kemurniannya berbeda dengan HIV dialam. Oleh karena itu,

test ELISA harus dikonfirmasi dengan test lain.

Test ELISA mempunyai spesifitas dan sensitifitas cukup tinggi, walaupun

hasil negative, test ini tidak dapat menjamin bahwa seseorang bebas 100% dari

HIV terutama pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah

memakai recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap enveloped dan core.

(www.cerminduniakedokteran.com)

87

Page 89: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB III

METODE KERJA

III.1 WAKTU

Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV ini dilaksanakan pada hari Jum’at,

tanggal 29, bulan Oktober dan tahun 2010.

III.2 TEMPAT

Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV ini pelaksanaannya bertempat di Balai

Laboratorium Kesehatan Daerah Samarinda, Kalimantan Timur.

III.3 METODE

Rapid Test (Paralel).

III.4 PRINSIP

III.4.1 SD HIV 1/2

SD biolin 1 dan 2 menggunkan test imunokromatografi untuk mendeteksi

antibody dari semua type sama (IgG, IgM, IgA) yang spesifik untuk HIV-1 dan 2

secara stimulant didalam serum, plasma atau darah lengkap.

III.4.2 ONCOPROBE

Dengan adanya HIV 1, 2, O yang merupakan 3 garis HIV dengan rapid

test device adalah suatu rapid kromatografi immunoassay untuk mendeteksi

kualitatif dan antibody terhadap HIV 1, 2, O di dalam serum, plasma atau darah

lengkap.

III.4.3 DETERMINE

Determine HIV-1 dan 2 menggunakan test imunokromatografi untuk

mendeteksi antibody HIV-1 dan 2 secara kualitatif.

88

Page 90: Laporan Resmi Imun II (1)

III.5 ALAT

a. Tabung reaksi. d. Mikropipet 50 µL.

b. Rak tabung. e. Tip kuning.

c. Sentrifuge. f. Timer.

III.6 BAHAN

Sampel serum dari ± 5 mL darah vena yang telah disentrifuge hingga

terpisah;

a. Sampel 1 b. Sampel 2

Nama : Anita Mandasari Nama : Cahyani Rahayu

Umur : 19 tahun Umur : 20 tahun

Jenis kelamin : Perempuan Jenis kelamin : Perempuan

III.7 REAGENSIA

a. Strip HIV merk “SD HIV 1/2”.

b. Strip HIV merk “ONCOPROBE”.

c. Strip HIV merk “DETERMINE”.

III.8. CARA KERJA

III.8.1 SD HIV 1/2

a. Keluarkan kaset dari referigator.

b. Biarkan kaset dan sampel yang akan digunakan pada suhu ruangan.

c. Keluarkan kaset dari kemasannya.

d. Letakkan pada permukaan datar.

e. Masukkan 10 µL serum ke lubang sampel pada kaset.

f. Tambahkan 4 tetes buffer ke lubang yang sama untuk sampel.

g. Biarkan 5-20 menit baru kemudian baca hasil.

III.8.2 ONCOPROBE

a. Keluarkan kaset dari referigator.

89

Page 91: Laporan Resmi Imun II (1)

b. Biarkan kaset dan sampel yang akan digunakan pada suhu ruangan.

c. Keluarkan kaset dari kemasannya.

d. Letakkan pada permukaan datar.

e. Teteskan 1 tetes atau 50 µL serum/plasma ke lubang sampel pada kaset.

f. Teteskan 1 tetes (±40 µL) buffer ke lubang yang sama untuk sampel.

g. Biarkan 10-30 menit baru kemudian baca hasil.

III.8.3 DETERMINE

a. Keluarkan strip dari referigator

b. Biarkan strip dan sampel yang akan digunakan pada suhu ruangan.

c. Keluarkan strip dari kemasannya

d. Letakkan pada permukaan datar

e. Diteteskan 1 tetes atau 50 µL serum/plasma pada strip test.

f. Biarkan 15 menit baru kemudian baca hasil

III.9 INTERPRETASI HASIL

III.9.1 SD HIV 1/2 dan ONCOPROBE

a. Positif

Terbentuk 2/3 garis berwarna, satu pada zona garis test 1 atau 2 (atau 1

dan 2) dan satu pada zona garis control. Hal ini berarti pada serum, plasma

dan darah terdapat antibody HIV -1/. Garis warna pada zona 1 medapatkan

infeksi HIV-1 dan garis pada zona 2 menandakan infeksi HIV-2.

90

Page 92: Laporan Resmi Imun II (1)

a. Negatif

Terbentuk satu garis warna hanya

pada zona garis control. Ini berarti

pada serum, plasma dan darah tidak

terdapat HIV.

b. Invalid

Jika tidak timbul garis warna pada

zona control, maka test dinyatakan

gagal. Ulangi test dengan alat baru.

III.9.2 DETERMINE

a. Positif b. Negatif c. Invalid

91

HIVT1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

Oncobrope

HIVT1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

Oncobrope

HIVT1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

Oncobrope

HIVT1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

OncoprobeHIV

T1 : HIV 1/OT2 : HIV 2

C T1

T2

S

Oncoprobe

Page 93: Laporan Resmi Imun II (1)

92

Page 94: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 HASIL

Dari Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV yang telah dilaksanakan dengan

metode Rapid Test, diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Sampel 1

SD HIV 1/2 : Non-reaktif (-)

ONCOPROBE : Non-reaktif (-)

DETERMNE : Non-reaktif (-)

b. Sampel 2

SD HIV 1/2 : Non-reaktif (-)

ONCOPROBE : Non-reaktif (-)

DETERMNE : Non-reaktif (-)

IV.2 PEMBAHASAN

Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA, aglutinasi atau

dotblot immunobinding assay. WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari

pemeriksaan antibody terhadap HIV, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan

populasi dan keadaan penderita. Strategi tersebut adalah: (Anonim, 2006)

a. Strategi pertama

Dilakukan satu kali pemeriksaan antibody, bila pemeriksaan reaktif, maka

dianggap sebagai kasus infeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif

dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan

pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (> 99%).

b. Strategi kedua

Menggunakan 2 kali pemeriksaan terhadap serum yang pada pemeriksaan

pertama memberikan hasil reaktif. Perlu diperhatikan bahwa pada

93

Page 95: Laporan Resmi Imun II (1)

pemeriksaan pertama digunakan reagensia dengan sensitivitas dan pada

pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda

jenis antigen atau tekhniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama.

Bila hasil pemeriksaan yang kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai

terinfeksi HIV, namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non-

reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Bila hasil

tidak sama, maka dilaporkan sebagai intermediate.

c. Strategi ketiga

Menggunakan tiga kali pemeriksaan terhadap serum yang pada dua

pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Bila hasil pemeriksaan

antara ketiga pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil pertama reaktif,

maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau indeterminate bila

penderita yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau

tidak beresilo tertular HIV, maka hasil pemeriksaan ketiga dipakai

reagensia yang berbeda asal antigen atau tekhniknya, serta memiliki

spesifisitas yang lebih tinggi.

Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif (reaktif) dari tiga tes

yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang

biasanya dengan memakai metode Western Blot. (Lubis, 1992)

Pada setiap tes dilakukan control positif dan negatif untuk dipakai sebagai

pedoman, sehingga kadar di atas cut off value atau di atas absorban level

spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam.

Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV dimasa lampau.

Beberapa kendala pada tes ELISA yang harus diperhatikan adalah: (Lubis,

1992)

a. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibody bukan antigen.

b. Pemeriksaan ELISA hanya terdapat antigen jenis IgG.

c. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV-1.

d. Masalah false positif pada tes ELISA, hasil ini sering ditemukan pada

keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini

94

Page 96: Laporan Resmi Imun II (1)

disebabkan karena morfologi HIV hasil biakkan jaringan yang digunakan

dalam tes kemurniannya berbeda dengan HIV di alam.

Sampel dengan antibody di bawah gray zone (nilai cut off 15%) dianggap

negatif tidak dapat ditentukan hasilnya dan harus dites ulang duplo menggunakan

sampel yang sama. Apabila tes ulangan positif, sampel dites konfirmasi dengan

metode pelengkap, misalnya: western blot, tes immunofluoresensi dan lain-lain,

terutama untuk menentukan tipe infeksi. (Hardjoeno, 2003)

Beberapa hal tentang kebaikan tes ELISA adalah nilai sensitivitas yang

tinggi : 98-100%. Walaupun begitu, predictive value hasil tes positif tergantung

dari prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive

antara 5-100%. Predictive value dari hasil negative ELISA pada masyarakat

sekitar 59,99%- 76,9% pada kelompok resiko tinggi.

Hasil pemeriksaan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-hati dari fase

penyakit. Pada umumnya hasil akan positif pada fase timbul gejala pertama AIDS

(AIDS Phase) dan sebagian kecil akan negative pada fase dini AIDS.

(www.cerminduniakedokteran.com)

95

Page 97: Laporan Resmi Imun II (1)

BAB V

PENUTUP

V.1 KESIMPULAN

Dari hasil Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV yang telah diperoleh, dapat

dibuat kesimpulan:

a. Sampel 1

Nama : Anita Mandasari

Umur : 19 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Hasil pemeriksaan : Non-reaktif (-) pada ketiga merk pemeriksaan

b. Sampel 2

Nama : Cahyani Rahayu

Umur : 20 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Hasil pemeriksaan : Non-reaktif (-) pada ketiga merk pemeriksaan

bahwa dari kedua hasil di atas tidak terdapat antibody terhadap HIV di dalam

sampel serum yang diperiksa.

V.2 SARAN

a. Sebaiknya pada saat melakukan pemeriksaan Anti-HIV mengunakan

sarung tangan.

b. Untuk mendiagnosa pasien HIV/ AIDS harus mengunakan strategi III

dengan tingkat spesifik dan sensitifitas yang baik.

c. Pemeriksaan antibodi terhadap HIV, hendaknya dilakukan dengan

menggunakan 3 merk yang berbeda. Tujuannya adalah agar mendapatkan

96

Page 98: Laporan Resmi Imun II (1)

hasil yang menyakinkan dan dapat di pertanggung jawabkan

kebenarannya.

d. Pemeriksaan HIV dianjurkan kepada setiap orang yang merasa dirinya

memiliki resiko terinfeksi HIV/ AIDS.

97

Page 99: Laporan Resmi Imun II (1)

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Efi. 2005. Tanaman Obat untuk Mengatasi Hepatitis. Jakarta: Agro Media

Pustaka.

Anonim. 1991. Hepatitis. Cermin Dunia Kedokteran

Anonim. 1997. AIDS dan Penanganannya. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia PUSDIKNAKES kerja sama dengan The Ford Foundation dan

Studio Driya Media

Anonim. 2003. WHO: Indonesia Masuk Tiga besar Rawan AIDS. Paris. diakses

dari http://www.kompas.com pada tanggal 03 Desember 2007

Bateson, Malcolm. 1991. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan.

Brooks, Geo F., Janet S. Butel dan Stephen A. Morse. 2007. Jawetz, Melnick, &

Adelberg: Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 23. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Entjang, Indah. 2003. Mikrobiologi dan Patofisiologi untuk Akademik Perawat.

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Gips, dkk. 1989. Diagnosis dan Terapi Penyakit Hati dan Empedu. Jakarta : EGC

Hadi, Sujono. 2000. Epidemiologi Hepatitis Virus Indonesia, Hepatologi.

Bandung. Mandar Maju

Handojo, Indro. 1982. Serologi Klinik. Surabaya: Fakultas Kedokteran.

Harahap, Marwali. 1990. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Gramedia.

Jawetz, Melnick, dkk. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Jawetz, Melnick. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Kanabus dan Sarah Allen. 1999. Asal-usul HIV/ AIDS. Diakses dari

http://www.avert.org pada tanggal 04 Desember 2007

Kresno, Siti Boedina. 2001. Diagnosis dan Prosedur Labaratorium. Jakarta :

FKUI.

Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: EGC.

Muma, Richard. D. 1997. Hiv Manual untuk Kesehatan. Jakarta: EGC.

98

Page 100: Laporan Resmi Imun II (1)

Price, A. Sylvia, dkk. 2003. Patofisiologi. Jakarta : EGC

Sacher, Ronald. A., dkk. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.

Jakarta: EGC.

Widmann, Frances .K. 1995. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.

Jakarta: EGC.

Widmann, Francess K. 1989. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Edisi 9. Jakarta: EGC.

http://dinkes.dki.go.id

http://www.banjarmasinpost.co.id

http://www.banjarmasinpost.co.id

http://www.cyberman.cbn.net.id

http://www.cybermann.cbn.net.id

http://www.explaju.com

http://www.explaju.com

http://www.mediastore.com

http://www.nurularifin.com

http://www.nurularifin.com

http://www.wikipedia.org

99