laporan praktikum farmakologi kel.1

34
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sel-sel otak dikelilingi oleh membrane yang dalam keadaan normal membrane sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K + dengan konsentrasi di dalam sel neuron lebih tinggi dan sangat sulit dilalui oleh ion Na + dengan konsetrasi di luar sel neuron lebih tinggi . Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane sel diperlukan energy dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, perubahan patofisioloogi dari membran, serta rangsangan mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Jika keseimbangan potensial membran terganggu karena beberapa hal tersebut mengakibatkan kejang. Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Kejang dapat disebabkan oleh banyak factor, seperti penyakit, demam, rangsangan elektroshock atau pengaruh bahan kimia. Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntary manifestasi dari kejang. Sebagai seorang dokter kadang-kadang kita harus dapat memberikan pengobatan

Upload: nur-hasanah

Post on 29-Nov-2015

465 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sel-sel otak dikelilingi oleh membrane yang dalam keadaan normal

membrane sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K + dengan konsentrasi

di dalam sel neuron lebih tinggi dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dengan

konsetrasi di luar sel neuron lebih tinggi . Untuk menjaga keseimbangan potensial

membrane sel diperlukan energy dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat pada

permukaan sel. Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh perubahan

konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, perubahan patofisioloogi dari membran,

serta rangsangan mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik

dari sekitarnya. Jika keseimbangan potensial membran terganggu karena beberapa

hal tersebut mengakibatkan kejang.

Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.

Kejang dapat disebabkan oleh banyak factor, seperti penyakit, demam,

rangsangan elektroshock atau pengaruh bahan kimia. Konvulsi adalah gerak otot

klonik atau tonik yang involuntary manifestasi dari kejang. Sebagai seorang

dokter kadang-kadang kita harus dapat memberikan pengobatan awal untuk

menghentikan kejang yang terjadi. Phenobarbital dan diazepam merupakan

golongan antikonvulsan yang menghambat penjalaran neurotransmitter kejang

Phenobarbital diketahui memiliki efek antikonvulsi dengan membatasi

penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang proses

peghambatan dan mengurangi transmisi eksitasi. Sedangkan diazepam terutama

digunakan untuk terapi konvulsi rekuren,

Striknin dan metrazol dapat menyebab kejang. Striknin menyebabkan

perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat konvulsan kuat

dengan sifat kejang yang khas. Pada tikus striknin menyebabkan kejang tonik dari

badan dan semua anggota gerak. Striknin ternyata juga merangsang medula

spinalis secara langsung

Page 2: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

1.2. Tujuan

1.2.1. Mahasiswa dapat mengamati perubahan perilaku tikus akibat obat

konvulsan striknin dan metrazol dengan menghitung onset of action

setelah penyuntikan

1.2.2. Mahasiswa dapat membandingkan efek mekanisme kerja dari obat

konvulsan srtiknin dan metrazol

1.2.3. Mahasiswa dapat mengamati efek antikonvulsan penobarbital dan

diazepam.

1.2.4. Mahasiswa dapat membandingkan efek antikonvulsan Phenobarbital dan

diazepam

Page 3: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kejang

2.1.1. Definisi

Kejang adalah masalah neurologik yg relatif sering dijumpai.

Diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama

hidup mereka. dua puncak usia untuk insidensi kejang adalah dekade pertama

kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan

paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah

terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun

kejang juga terjadi dari jaringan otak normal dibawah kondisi patologik

tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit. Kejang

itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi

kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang

membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala

putus obat, intoksikasi obat, atau enselofati obat, atau enselofati hepertrnsi.

Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat

bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan

dalam fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Istilah 'kejang' bersifat generik,

dan dapat digunakan penjelasan lain yang spesifik sesuai karakteristik yang

diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuran,

spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi

bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang

menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik

sering disebut kejang. Kejang konvulsi biasanya menimbulkan kontraksi otot

rangka yang hebat dan involunter yang mungkin meluas dari satu bagian tubuh

keselruh tubuh atau mungkin terjadi secara mendadak disertai keterlibatan

seluruh tubuh.

Page 4: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

2.1.2. Patofisologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebih dari

sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu

keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas

muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks

serebrum kemunginan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebrum

dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.

Ditingkat membrane sel, fokus keang memperlihatkan beberapa fenomena

biokimiawi, termasuk yang berikut:

Instabilitas membrane sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami

pengaktifan

Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan

muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara

berlebihan

Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang

waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin

atau defisiensi GABA

Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau

elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga

terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan kesimbangan ini

menyebakan peningkatan berlebihan neurotransmitter inhibitor.

Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera

setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi

akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara

drastic meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat

menjadi 1000/detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan

glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinal (CSS) selama dan

setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami depresi selama aktivitas

kejang.

Page 5: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada

otopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi bersifat

neurokimiawi bukan structural. Belum ada faktor patologik yang

konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan

asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya

sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter

fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat meningkat atau

manyingkirkan asetilkolin.

2.1.3. Jenis Kejang

Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan

apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut

sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana

(kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang).

Kejang parsial dimulai disuatu daerah diotak, biasanya korteks

serebrum. Gejala kejang ini bergantung pada lokasi fokus di otak. Sebagai

contoh, apabila fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin

adalah kedutan otot sementara apabila fokus terletak di fokus sensorik maka

pasien mengalami gejala-gejala sensorik termasuk baal sensasi seperti ada yang

merayap atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai

beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa

representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan,

berkeringat dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia dan dejavu adalah

contoh gejala psikis pada kejang parsial. Kita harus mengamati dengan cermat

dimana kejang di mulai, karena hal ini dapat memberi petunjuk tentang lokasi

lesi. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral

disertai hilangnya kesadaran.

Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahuli dikenal

sebagai kejang psikomotorik atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus

temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi

Page 6: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik

yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip atau

rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta

yang terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior).

Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda,

bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir atau mengunyah berulang-ulang.

Pasien mungkin mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien

tetap sadar selama serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang

terjadi. Kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.

Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan

diensefalon serta ditandai dengan awitan aktifitas kejang yang bilateral dan

simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang

berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan

sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau

peringatan terlebih dahulu. Terdapat beberapa kejang generalisata.

Kejang absence (dahulu disebut petit mal) ditandai dengan hilangnya

kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai

contoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan pembicaraan, menatap kosong

atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin mengalami satu atau dua

kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang absence hampir selalu

terjadi pada anak, awitan jarang di jumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-

serangan ini mungkin menghilang stelah pubertas atau di ganti oleh kejang tipe

lain terutama kejang tonik-klonik. Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand

mal) adalah kejang epilepsi klasik. Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya

kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi

paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan

posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontinensia

urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-

otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung

beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang

Page 7: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-

gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi

kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit, hal ini terjadi pada sekitar

separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3

sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung

beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak

kebingungan, agak stupor atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode

pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya.

Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang

berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan menyebabkan efek

neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebebkan oleh

meningkatnya ketokolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlanjut lebih dari

15 menit, maka terjadi epilepsi ketokolamin yang menyebabkan timbulnya efek

sekunder atau lambat. Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat

menyebabkan henti jantung dan nafas.

Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam,

paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyarankan

bahwa kejang ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang

berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri . Kejang ini umumnya berlangsung

singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa kasus,

kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan mungkin mengalami kejang

nondemam pada kehidupan selanjutnya.

2.2. Striknin dan Metrazol

Striknin sebenarnya tidak bermanfaat untuk terai, tetapi untuk

menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat

utama di antara obat yang bekerja secara sentral.

Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, tanaman yang

banyak tumbuh di India. Striknin merupakan penyebab keracunan tidak sengaja

(accidential poisoning) pada anak. Dalam nux vomica juga terdapat alkaloid

Page 8: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

brusin yang mirip striknin baik kimia maupun farmakologinya. Brusin lebih

lemah dibandingkan striknin, sehingga efek ekstra nux vomica boleh dianggap

hanya disebabkan oleh striknin.

Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif

terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan

pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat

pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan

Dewoto, 2007)

Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini

merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba

konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.

Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang

merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah

kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu

pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada

hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga

merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin

dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut

konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang

menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung

mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi

perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor.

Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral striknin.pada

hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin

digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional berdasarkan

rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera

meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih

Page 9: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim mikrosom

sel hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam waktu 10 jam,

sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka

dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.

Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya

terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi

(opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur.

Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi

otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan

hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot

ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya.

Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat

gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang

hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat;

yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma.

(Louisa dan Dewoto, 2007)

Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV,

sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap

depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau

obat penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan anastesia

atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan yang hebat.

(Louisa dan Dewoto, 2007)

Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan

membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk

memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform untuk

mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga masih

ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung digunakan

larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur dan air (1:250) atau larutan

Page 10: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan sensorik.

(Louisa dan Dewoto, 2007)

Selain striknin, obat lain yang memiliki kemampuan eksitasi kuat pada

SSP adalah pentilentetrazol. Pentilentetrazol (pentametilentetrazol) yang di

Amerika Serikat dikenal dengan nama dagang Metrazol dan di Eropa Krdiazol

merupakan senyawa sintetik. Kejang oleh pentilentetrazol mirip hasil

perngsangan listrik pada otak dengan intensitas sebesar ambang rangsang, juga

mirip sekali dengan serangan klinik epilepsy petit mal pada manusia. Dengan

dosis yang lebih tinggi umumnya akan terjadi kejang klonik yang asinkron.

Mekanisme kerja utama pentilentetrazol ialah penghambatan system GABA-

nergik, dengan demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP.

2.3. Dilantin dan Luminal

2.3.1. Mekanisme kerja dilantin (fenitoin) dalam menghambat kejang akibat

strycnin dan metrazol

Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi,

kecuali bangkitan lena. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada

ato, C5 penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik,

sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang terdapat

pada mefenitoin dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin. Fenitoin

mempunyai efek utama pada beberapa sistem fisiologis. Senyawa ini

mengubah konduktans natrium, kalium dan kalsium, potensial membran,

dan konsentrasi asam amino dan neurotransmiter norepinephrine,

acetylcholine, dan GABA. Fenitoin menyekat potensiasi pascatetanik

dalam preparat korda spinalis, tetapi peranan dari efek ini dalam

menekan perkembangan penyebaran seizure masih belum dapat

dijelaskan.

Pada konsentrasi tinggi, fenitoin juga menghambat pelepasan

serotonin dan norepineprin, meningkatkan ambilan dopamin, dan

menghambat aktivitas monoamine oxidase (MAO). Disamping itu,

Page 11: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

secara berlawanan, fenitoin menyebabkan eksitasi pada beberapa neuron

serebral. Pengurangan permeabilitas kalsium, dengan hambatan influks

kalsium melintasi membran sel, mungkin dapat menjelaskan

kemampuan fenitoin untuk menghambat berbagai macam proses

sekretatorik yang dikendalikan oleh kalsium, termasuk rilis hormon dan

neurotransmiter.

Mekanisme kerja fenitoin kemungkinan besar melibatkan

kombinasi kerja pada beberapa tingkata. Pada kondisi terapeutik, kerja

utama dari fenitoin adalah menghambat kanal natrium dan menghambat

terjadinya potensial aksi yang berulang.

Diazepam merupakan golongan Benzodiazepam , yang terutanma

digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini

juga bermamfaat untuk terapi bangkitan kejang epilepsy parsial sederhana

misalnya bangkitan kronik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap

terapi lazim. Diazepam dapat efektif pada bangkitan lena karena menekan 3

gelombang paku dan ombak dalam satu detik.

Untuk mengatasi bangkitan ehjang status epileptikus , disuntikan 5

– 20 mg diazepam IV secara lamba . Dosis ini dapat diulang 5 – 20 menit

sampai berapa jam. Diazepam dapat menghasilkan atau mengendalikan 80 –

90 % pasien bangkitan rekuren. Pemberian per rectal dengan dosis 0,5 mg

atau 1 mg/ kg BB diazepam utuk bayi dan anak dibawah 11 tahun dapat

menghasilkan kadar 500ml dalam waktu 2 – 6 menit. Bagi anak yang lebih

besar dan orang dewasa pemberian per rectal tidak bermamfaat untuk

mengatasi kejang akut, karena kadar puncak lambat tercapai dan kadar

plasmanya rendah. Walaupun diazepam telah sering digunakan unuk

mengatasi konvulsi rekuren, belum dapat dibandingkan mamfaatnya setelah

digunakan obat lain, seperti barbiturate atau anastesi umum , untuk ini masih

diperlukan uji terkendali perbandingan efektifitas.

Page 12: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

Efek samping berat dan berbahaya yang menyertai penggunaan

diazepam iv ialah obstruksi saluran nafas oleh lidah, akibat relaksasi otot.

Disamping ini dapat terjadi depresi nafas sampai henti nafass, hipotensi,

henti jantung dan kantuk.

2.3.2. Mekanisme kerja luminal (Phenobarbital) dalam menghambat kejang

akibat striknin dan metrazol

Sebagai antiepilepsi, fenobarbital menekan letupan di fokus

epilepsi. Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria,

sehingga mengurangi pembentukan fosfat berenergi tinggi. Senyawa

fosfat ini perlu untuk mensintesis neurotransmiter misalnya Ach, dan

untuk repolarisasi membran sel neuron setelah depolarisasi. Data terbaru

menunjukkan bahwa phenobarbital secara selektif menekan neuron

abnormal, menghambat penyebaran, dan menekan firing (rangsangan

depolarisasi) dari neuron fokus. Seperti fenitoin, phenobarbital menekan

high frequency-repetitive firing pada neuron yang dikultur, melalui

kerjanya pada konduktans natrium, tetapi hanya pada konsentrasi tinggi.

Juga pada konsentrasi tinggi, barbiturat menyakat beberapa arus Ca 2+ .

phenobarbhital terikat pada suatu situs pengatur alosentrik pada reseptor

GABA-benzodiazepin , dan memperkuat arus masuk yang diprakarsai

oleh reseptor GABA dengan memperlama pembukaan kanal ion Cl-.

Phenobarbhital juga menyekat respons eksitatorik yang diinduksi oleh

glutamate, terutama yang diprakarsai oleh aktivitas reseptor AMPA.

Baik penguatan inhibisi yang diprakarsai oleh GABA maupun

pengurangan eksitasi yang diprakarsai oleh glutamate dilihat pada

konsentrasi phenobarbhital yang mempunyai relevansi terapeutik.

2.4. Mekanisme Kerja Toksin dalam Menimbulkan Kejang

Tetanus dimulai ketika spora dari Clostridium tetani memasuki jaringan

rusak. Spora mengubah menjadi bakteri berbentuk batang dan menghasilkan

racun saraf tetanospasmin (juga dikenal sebagai toksin tetanus).

Page 13: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

Tetanospamin adalah toksin yang menyebabkan spasme bekerja pada

beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :

a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat

pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

b. Karakteristik dari tetanus (seperti strikmin) terjadi karena toksin

mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.

c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh

cerebral ganglioside.

d. Beberapa penderita mengalami gangguan di Autonomik Nervous System

(ANS) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti

takikardi, aritmia jantung, peninggian katekolamine dalam urine.

Kerja dari tetanospamin adalah analog dari strikmine, dimana ia

mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuro spinal

dan menginhibisi terhadap batang otak.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang

menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensyarafi otot masester

sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masester adalah otot yang paling

sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap aferen tidak hanya

menimbulkjan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis

dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu :

a. Toksi diabsorbsi melalui ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik

dibawa ke kornu anterior susunan syaraf pusat.

b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam aliran darah arteri

kemudian masuk ke dalam susunan syaraf pusat.

Toksin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara

sentripetal atau secara retrograd mencapai CNS. Penjalaran terjadi di dalam axis

Page 14: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

silinder dari sarung perineural. Teori baru mengatakan toksin menyebar melalui

aliran darah (hematogen) dan jaringan sistem limpatik.

Masa inkubasi 5-14 hari tetapi bisa lebih pendek (1 hati atau lebih lama

atau beberapa minggu).

2.5. Mekanisme Kerja Antikonvulsan dalam mengatasi kejang

Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses

inisiasi dan penyebaran kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih

cenderung bersifat membatasi proses penyebaran daripada mencegah proses

insiasi. Dengan demikian ada dua mekanisme kerja, yaitu : peningkatan inhibisi

(GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi

ion : Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmitor, meliputi :

1. Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson, contoh: fenitoin dan

karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan asam valproat (dosis

tinggi), lamotrigin, topiramat, zonisamid.

2. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus (yang berperan sebagai pace-

maker untuk membangkitakan cetusan listrik umum di korteks). Contoh :

etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.

3. Peningkatan inhibisi GABA

a. Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-. Contoh :

benzodiazepin, barbiturat

b. Menghambat degredasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake

dan metabolisme GABA. Contoh : taigabin, vigrabatrin, asam valproat,

gabapentin

4. Penurunan eksitasi glutamat, yakni melalui :

a. Blok reseptor NMDA, misalnya lamotrigin

b. Blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiramat

Page 15: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1. Metode Kerja

3.1.1. Alat

spuit 1 cc dan 3 cc

timbangan digital

stopwatch

3.1.2. Bahan

spuit 1 cc dan 3 cc

timbangan digital

stopwatch

tikus 4 ekor setiap kelompok

obat konvulsan :

i. injeksi striknin 10cc/kgBB i.p

ii. injeksi metrazol dosis 10cc/kgBB i.p

obat antikonvulsan :

i. injeksi fenobarbital 10cc/kgBB i.p

ii. injeksi diazepam dosis 10cc/kgBB i.p

3.1.3. Langkah Kerja

1. Masing-masing tikus ditimbang dengan menggunakan timbangan digital

2. Tikus I diberikan striknin secara i.p dosis 10 cc/kgBB, tepat pada saat

penyuntikan stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa tikus

tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit,

Page 16: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus

tersebut mati.

3. Tikus II diberikan metrazol secara i.p dosis 10 cc/kgBB, tepat pada

saat penyuntikan stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa

tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit,

stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus

tersebut mati.

4. Tikus III diberikan injkesi Phenobarbital secara ip dosis 10 cc/kgBB,

setelah 20 menit kemudian suntikan ip striknin dosis 10 cc/kgBB,

tepat pada saat penyuntikan striknin stopwatch dinyalakan, catat

pada menit keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang

dalam waktu 10 menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada

menit keberapa tikus tersebut mati.

5. Tikus IV diberikan injkesi Phenobarbital secara ip dosis 10 cc/kgBB,

setelah 20 menit kemudian suntikan ip metrazol dosis 10 cc

mg/kgBB, tepat pada saat penyuntikan metrazol stopwatch

dinyalakan, catat pada menit keberapa tikus tersebut kejang dan

catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit, stopwatch harus

dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus tersebut mati.

Page 17: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

OBAT

Gejala sebelum konvulsi(menggaruk- garuk)

Waktu timbul konvulsi(menit)

Tipe konvulsi Waktu kematian(menit)

I II III IV V VI I II III IV V VI I II III IV V VI I II III IV V VI

Striknin 2,00

2,55

4,00

2,51

3,48

3,26

KS

UC

TS

UC

TS

UC

KSC

TKSC

TKSC

5,003,58

5,00

3,05

4,17

3,52

Metrazole 0,07

1,13

2,00

2,00

2,01

4,00

TKS

UC

TS

UC

TKS

UC

TKASUC

TS

UC

TKS

UC1,56

6,06

4,00

7,53

5,00

Phenobarbital + Striknin

5,00

3,01

5,00

KS

UC

TS

UC

TKS

UC

18,37

7,00

Phenobarbital + Metrazole

Diazepam + Striknin

4,31

4,00

TSC

KSC

Diazepam + Metrazole

HASIL PENGAMATAN :

Ket.

K : KlonikT : TonikS : Simetris

AS : AsimetrisC : CoordinatedUC : Uncoordinate

Page 18: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil praktikum yang dilakukan diperoleh data-data dari enam kelompok

yang melaksanakan praktikum. Pada perhitungan waktu mati tikus yang diberikan

dengan striknin saja mengalami kematian cepat karena tidak ada anticonvulsi yang

diberikan untuk melawan efek striknin, sedangkan pada tikus yang diberi

Phenobarbital dan diazepam waktu kematian lebih lama tikus III dan tikus IV yang

belum mati sampai menit ke 15 diinjeksi striknin kembali.

Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini

merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba

konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran

konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang

langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi

ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu

pendengaran, penglihatan dan perabaan, efek selanjutnya adalah kematian pada

tikus yang disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan

pernapasan. Striknin ternyata juga merangsang medulla spinalis secara langsung

sehingga konvulsinya disebut juga konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007)

Pada tikus yang diberikan metrazol mula kejang cepat, Kejang oleh metrazol

mirip hasil perangsangan listrik pada otak dengan intensitas sebesar ambang

rangsang, juga mirip sekali dengan serangan klinik epilepsy petit mal pada manusia.

Dengan dosis yang lebih tinggi umumnya akan terjadi klonik yang asiknron.

Mekanisme kerja utama metrazol ialah penghambatan system GABA-ergik, dengan

demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP; adanya efek perangsangan secara

langsung masih belum dapat disingkirkan.

Page 19: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

Pada tikus yang diberikan Phenobarbital+striknin mula kejang cukup lama,

hal ini terjadi karena efek Phenobarbital yang membatasi penjalaran aktivitas dan

bangkitan dan menaikkan ambang rangsang sehingga striknin tidak memberikan

pengaruh besar pada tikus. Kematian pada tikus ini oleh karena pemberian striknin

dengan kadar yang berlebihan sehingga kerja striknin dapat melampaui kerja

Phenobarbital dan terjadi keracunan striknin.

Pemberian phenobarbital+metrazol pada tikus tidak memberikan efek, hal ini

disebakan oleh karena efek Phenobarbital yang membatasi penjalaran aktivitas dan

bangkitan dan menaikkan ambang rangsang sehingga metrazol tidak memberikan

pengaruh pada tikus.

Pada tikus yang diberikan diazepam+striknin, Seperti halnya Phenobarbital

diazepam juga merupakan golongan antikonvulsan yang menghambat penjalaran

neurotransmitter kejang ke otak, hal ini juga menyebabkan pemberian striknin tidak

memberikan efek kejang yang berarti. Pemberian striknin dengan dosis yang

berlebihan menyebabkan terjadinya keracunan striknin sehingga menyebabkan

kematian pada tikus.

Pemberian diazepam+metrazol pada tikus tidak memberikan efek apa-apa

karena diazepam mampu menghambat penjalaran neurotransmitter kejang ke otak,

hal ini juga menyebabkan pemberian metrazol tidak memberikan efek kejang.

Page 20: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dari praktikum dapat disumpulkan:

1. pemberian striknin pada hewan coba memberikan gejala awal berupa garuk-

garu hewan coba dan efek kejang tonik-klonik yang simetris terkoordinasi dengan

onset yang lebih lama dibandingkan metrazol namun lebih cepat dibandingkan

fenobarbital+striknin dan diazepam+metrazol. Pada hewan coba dengan

pemberian striknin mati dengan waktu tercepat.

2. pemberian metrazol pada sebagian besar hewan coba tidak memberikan gejala

garuk-garuk, tetapi memberikan efek kejang klonik yang simetris tidak

terkoordinasi pada hewan coba, dengan onset yang paling cepat dibandingkan

striknin, fenobarbital+striknin, dan diazepam+metrazol. Pada hewan coba denan

pemberian metrazol dengan waktu kematian lebih lama dari striknin.

3. pemberian fenobarbital+striknin pada sebagian besar hewan coba memberikan

gejala garuk-garuk dan efek kejang tonik klonik simetris tidak terkoordinasi

dengan onset dan waktu kematian terlama.

4. pemberian fenobarbital+metrazol tidak memberikan gejala awal dan efek

kejang.

5. pemberian diazepam+striknin pada sebagian besar hewan coba tidak

memberikan gejala awal, tetapi memberikan efek kejang klonik simetris

terkoordinasi terus menerus, dengan onset lebih cepat dari fenobarbital+stiknin,

tetapi lebih lambat dibandingkan yang lain.

6. pemberian diazepam+metrazol pada sebagian besar tidak memberikan gejala

awal, efek kejang dan mati

5.2. Saran

alat dan obat sebaiknya disediakan untuk masing-masing kelompok

Page 21: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

materi praktikum sebaiknya diberikan sebelum praktikum sehingga

bisa dipersiapkan

Perlu diajarkan cara menyuntik obat yang tepat ke hewan coba agar

hasil percobaan sesuai dengan teori yang ada.

Peserta praktikum perlu menjaga suasana ruangan praktikum dari

keributan agar tdak mempengaruhi hasil dari percobaan.

Page 22: Laporan Praktikum Farmakologi Kel.1

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal. 354-

356

Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam :

Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 247-248

Marjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. 11th ed Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 2006.

Medicastore. 2008. Kejang. Apotek Online dan Media Informasi Obat Penyakit.

(online), (http://www.medicastore.com, diakses 4 Mei 2008)

Mycek, MJ dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika : Jakarta,

hal. 90; 149

Utama H. & Gan. V . 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi . Dalam : Farmakologi dan

Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 179-181; 186; 188