laporan pendahuluan kolestasis.doc

31
A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. DEFINISI Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier (Arief, 2010). Kolestasis adalah kondisi yang terjadi akibat terhambatnya aliran empedu dari saluran empedu ke intestinal. Kolestasis terjadi bila ada hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi hati (Nazer, 2010). Mitchel (2008) menjelaskan kolestasis neonatal merupakan istilah nonspesifik untuk kelainan hati dengan banyak etiologi yang mungkin terdapat pada neonatus. Pada 50% kasus tidak terdapat penyebab yang bisa diidentifikasi. Pasien penyakit ini ditemukan dengan hiperbilirubinemin terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal), hepatomegali dan disfungsi hati dengan derajat yang bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia).

Upload: rama-candra

Post on 14-Dec-2015

411 views

Category:

Documents


90 download

TRANSCRIPT

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. DEFINISI

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah

normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai

tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai

akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan

kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah

terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier (Arief, 2010).

Kolestasis adalah kondisi yang terjadi akibat terhambatnya aliran empedu dari

saluran empedu ke intestinal. Kolestasis terjadi bila ada hambatan aliran empedu dan

bahan-bahan yang harus diekskresi hati (Nazer, 2010).

Mitchel (2008) menjelaskan kolestasis neonatal merupakan istilah nonspesifik untuk

kelainan hati dengan banyak etiologi yang mungkin terdapat pada neonatus. Pada 50%

kasus tidak terdapat penyebab yang bisa diidentifikasi. Pasien penyakit ini ditemukan

dengan hiperbilirubinemin terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal), hepatomegali

dan disfungsi hati dengan derajat yang bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia).

2. EPIDEMIOLOGI

Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis neonatal

1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi α-1 antitripsin 1:20000.

Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada

hepatitis neonatal, rasionya terbalik (Arief, 2012).

3. ETIOLOGI/FAKTOR PREDISPOSISI

Penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 bagian: intrahepatic kolestasis dan ekstrahepatic

kolestasis.

a. Pada intrahepatic kolestasis terjadi akibat gangguan pada sel hati yang terjadi akibat:

infeksi bakteri yang menimbulkan abses pada hati, biliary cirrhosis primer, virus

hepatitis, lymphoma, cholangitis sclerosing primer, infeksi tbc atau sepsis, obat-

obatan yang menginduksi kolestasis.

b. Pada extrahepatic kolestasis, disebabkan oleh tumor saluran empedu, cista, striktur

(penyempitan saluran empedu), pankreatitis atau tumor pada pankreas, tekanan tumor

atau massa sekitar organ, cholangitis sklerosis primer. Batu empedu adalah salah satu

penyebab paling umum dari saluran empedu diblokir. Saluran empedu Diblokir

mungkin juga hasil dari infeksi, kanker atau jaringan parut internal. Parut dapat

memblokir saluran empedu, yang dapat mengakibatkan kegagalan hati (Richard,

2002).

Kriteria Kolestasis

Kriteria Ekstrahepatik Intrahepatik

Warna tinja

- pucat

-      kuning

79 %           

21%

26%

74%

Berat lahir (g) 3226 ± 45 2678 ± 65

Usia saat tinja dempul

(hari)

16 ± 1,5

± 2 minggu

30 ± 2

± 1 bulan

Gambaran hati

    Normal 13 % 47 %

    Hepatomegali

    Konsistensi normal

    Konsistensi padat

    Konsistensi keras

12

63

24

35

47

6

Sumber: Behrman (1999)

4. PATOFISIOLOGI

Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan

kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,

kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin

terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu

sedang bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu

adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana

permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal

(kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi

sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme

dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu.Salah

satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi

(bilirubin indirek).

Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh

transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang

mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam

empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap

aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam

empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana

aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu

menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti

inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada

transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi

terkonjugasi (Areif, 2010).

Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural:

a. Proses transpor hati

Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari

hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan

lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu.

b. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik

Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan

gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan

terganggu.

c. Sintesis protein

Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi

serum protein albumin-globulin akan menurun.

d. Metabolisme asam empedu dan kolesterol

Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan

kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA

reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer

sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas

hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi

produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.

e. Gangguan pada metabolisme logam

Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila

kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu

mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.

f. Metabolisme cysteinyl leukotrienes

Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir

dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya

akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis.

Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal.

g. Mekanisme kerusakan hati sekunder

Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati

melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan

kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan

terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-ATPase,

Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu,

sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu.Sistem

transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan

dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran

utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.

i. Proses imunologis

Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal

pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu

sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit.

Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier (Nazer, 2010)

5. KLASIFIKASI

Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:

a.       Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik.

Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan

kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan

saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik.

Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis,infeksi virus

terutama CMV  dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan

genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan berat badan lahir,

aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1

minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia,

malrotasi dan gangguan kardiovaskuler.  Deteksi dini dari kemungkinan adanya

atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi

(Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan.  

Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik

disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu

intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin

dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak

menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier.

Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan

proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam

duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi

langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai

(Anonym, 2010) 

b.      Kolestasis intrahepatik

1) Saluran Empedu

Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b)

Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu

intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut)

maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya

saluran ekstrahepatik saja.  Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan

hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik.  Kelainan yang

disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Caroli’s disease mengenai

kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik.Karena primer tidak menyerang sel hati

maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi hepatoseluler. Serum

transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali

fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai

saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali,

dan tanda-tanda hipertensi portal.

Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat neonatal

dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan

paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract.Contoh dari

sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal dominan disebabkan

haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1.Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975

merupakan penyakit multi organ pada mata (posterior embryotoxin), tulang belakang

(butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang

spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu

yang sempit).Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala organ

lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis

neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan

kerusakan pada saluran empedu (Anonym, 2010).

2) Kelainan hepatosit

Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan dan

aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang sedikit,

fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu yang rendah

sehingga mudah terjadi kolestasis.  Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus,

bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon

hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada sepsis.

Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal

hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik,

endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran histologis yang

serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler

dan serbukan sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan

kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosa

akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan metabolik

tidak dapat ditemukan (Reksoprodjo, 1995)

6. GEJALA KLINIS

Gambaran klinis pada kolestasis pada umunya disebabkan karena keadaan-keadaan:

1. Terganggunya aliran empedu masuk ke dalam usus

a. Tinja akolis/hipokolis/pucat

b. Urobilinogen/sterkobilinogen dalam tinja menurun/negatif

c. Urobilin dalam air seni negatif

d. Malabsorbsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak

e. Steatore

f. Hipoprotrombinemia

2. Akumulasi empedu dalam darah

a. Ikterus

b. Gatal-gatal

c. Hiperkolesterolemia

3. Kerusakan sel hepar karena menumpuknya komponen empedu

a. Anatomis

1) Akumulasi pigmen

2) Reaksi peradangan dan nekrosis

b. Fungsional

1) Gangguan ekskresi (alkali fosfatase dan gama glutamil transpeptidase

meningkat)

2) Transaminase serum meningkat (ringan)

3) Gangguan ekskresi sulfobromoftalein

4) Asam empedu dalam serum meningkat

Tanda-tanda non-hepatal sering pula membantu dalam diagnosa, seperti sindroma

polisplenia (situs inversus, levocardia, vena cava inferior tidak ada), sering bersamaan

dengan atresia bilier: bentuk muka yang khas, posterior embriotokson, serta adanya bising

pulmunal stenosis perifer, sering bersamaan dengan “paucity of the intrahepatic bile

ductules” (arterio hepatic displasia/Alagille’s syndrome) nafsu makan yang jelek dengan

muntah, “irritable”, sepsis, sering karena adanya kelainan metabolisme seperti

galaktosemia, intoleransi froktosa herediter, tirosinemia.

Neonatal hepatitis lebih banyak pada anak laki, sedangkan atresia bilier ekstrahepatal

lebih banyak pada anak perempuan. Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik

menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien dengan kolestasis ekstrahepatik

umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian akan mengalami

gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit. Pasien dengan kolestasis

perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan

tinggi badan bayi/anak.

7. PEMERIKSAAN FISIK

Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin

sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna kehijauan bila

kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin. Jaringan sklera

mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga

pemeriksaan sklera lebih sensitif.

Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus kota

pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang tajam dan

permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba pada

epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus kanan yang

normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena

edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal,

penyakit storage, atau keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa

pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis

hepar kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan

adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada neonatus

dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis,

purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain (Arief, 2010).

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada bayi dengan kolestasis harus dibedakan antara kolestasis intra- atau

ekstrahepatal dengan tujuan utama memperbaiki atau mengobati keadaan-keadaan yang

memang dapat diperbaiki/diobati.

Sebagai tahap pertama dalam pendekatan diagnosa, harus dibuktikan apakah ada

kelainan hepatobilier atau tidak. Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah:

a. Hapusan darah tepi

b. Bilirubin dalam air seni

c. Sterkobilinogen dalam air seni

d. Tes fungsi hepar yang standar: Heymans vd Bergh, SGOT, SGPT, alkali fosfatase

serta serum protein

Bila dari pemeriksaan tersebut masih meragukan, dilakukan pemeriksaan lanjutan

yang lebih sensitif seprti BSP/kadar asam empedu dalam serum. Bila fasilitas terbatas

dapat hanya dengan melihat pemerikasaan bilirubin air seni. Hasil positf menunjukkan

adanya kelainan hepatobilier. Bila ada bukti keterlibatan hepar maka dilakukan tahap

berikutnya untuk membuktikan kelainan intra/ekstrahepatal, mencari kemungkinan

etiologi, dan mengidentifikasi kelainan yang dapat diperbaiki/diobati. Pemeriksaan yang

dilakukan adalah:

a. Terhadap infeksi/bahan toksik

b. Terhadap kemungkinan kelainan metabolik

c. Mencari data tentang keadaan saluran empedu

Untuk pemeriksaan terhadap infeksi yang penting adalah:

a. Virus:

1) Virus hepatotropik: HAV, HBV, non A non B, virus delta

2) TORCH (Toxoplasma, Rubella, CMV, Herpes)

3) Virus lain: EBV, Coxsackie’s B, varisela-zoster

b. Bakteri: terutama bila klinis mencurigakan infeksi kuman leptospira, abses piogenik

1) Parasit: toksoplasma, amuba, leismania, penyakit hidatid

2) Bahan toksik, terutama obat/makanan hepatotoksik

c. Pemeriksaan kelainan metabolik yang penting:

1) Galaktosemia, fruktosemia

2) Tirosinosis: asam amino dalam air seni

3) Fibrosis kistik

4) Penyakit Wilson

5) Defisiensi alfa-1 antitripsin

Data tentang saluran empedu diperoleh melalui pemeriksaan Rose Bengal Excretion

(RBE), Hida Scan, USG atau Biopsi hepar. Bila dicurigai ada suatu kelainan saluran

empedu dilakukan pemeriksaan kolangiografi.

9. KRITERIA DIAGNOSTIK

Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara kolestasis

intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini obstruksi bilier

ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik seperti

sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan medikamentosa.

10. PENANGANAN

Pengobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran empedu ke dalam

usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi pedoman dalam

penatalaksanaannya, yaitu:

1. Sedapat mungkin mengadakan perbaikan terhadap adanya gangguan aliran empedu

2. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya kolestasis

3. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan fatal

yang dapat mengganggu proses regenerasi hepar

4. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan

5. Sedapat mungkin menghindari segala bahan/keadaan yang dapat

mengganggu/merusak hepar

Dalam hal ini pengobatan dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu:

1. Tindakan medis

a. Perbaikan aliran empedu: pemberian fenobarbital dan kolestiramin, ursodioxy

cholic acid (UDCA).

b. Aspek gizi: lemak sebaiknya diberikan dalam bentuk MCT (medium chain

triglyceride) karena malabsorbsi lemak.

c. Diberikan tambahan vitamin larut lemak (A, D, E, dan K)

2. Tindakan bedah

Tujuannya untuk mengadakan perbaikan langsung terhadap kelainan saluran empedu

yang ada. Operasi Kasai (hepatoportoenterostomy procedure) diperlukan untuk

mengalirkan empedu keluar dari hati, dengan menyambungkan usus halus langsung

dari hati untuk menggantikan saluran empedu (lihat gambar di bawah). Untuk

mencegah terjadinya komplikasi cirrhosis, prosedur ini dianjurkan untuk dilakukan

sesegera mungkin, diupayakan sebelum anak berumur 90 hari. Perlu diketahui bahwa

operasi Kasai bukanlah tatalaksana definitif dari atresia biliaris, namun setidaknya

tindakan ini dapat memperbaiki prognosis anak dan memperlambat perjalanan menuju

kerusakan hati (Nezer, 2010).

3. Terapi suportif

a. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis

b. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung

lemak rantai sedang (Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral,

progrestimil

c. Vitamin yang larut dalam lemak

1) A : 5000-25.000 IU

2) D : calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari

3) E : 25-200 IU/kk/hari

4) K1 : 2,5-5 mg : 2-7 x/ minggu

d. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe

e. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA

reductase inhibitor contohnya kolestipol, simvastatin

f. Pruritus :

1) Atihistamin : difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati

Rifampisin : 10 mg/kg/hari

2) Kolestiramin : 0,25-0,5g/kg/hari

11. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

a. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi dari kolestasis neonatus ini adalah

hiperlipidemia/xantelasma dan gagal hati.

b.      Prognosis

Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran

histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya

sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-

86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka

keberhasilannya hanya 34-43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka

angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12

bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-faktor

yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari,

adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier

ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.

12. PENCEGAHAN

Kolestasis neonatus dapat dicegah dan dihentikan dengan :

a. Pengawasan antenatal yang baik

b. Menghindari obat yang dapat meningkatan ikterus pada bayi pada masa kehamilan

dan kelahiran, misalnya sulfafurazole,novobiosin,oksitosin dan lan-lain

c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus

d. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus

e. Imunisasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir

f. Pemberian makanan yang dini

g. Pencegahan infeksi

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

a. Anamnesis

Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau melahirkan, berat

lahir, lingkar kepala, pertumbuhan janin (kolestasis intrahepatik umumnya berat

lahirnya < 3000 g dan pertumbuhan janin terganggu). Riwayat keluarga : riwayat

kuning, tumor hati, hepatitis B, hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar

keluarga. Resiko hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap

toksin/obat-obat.

b. Data subjektif

1) Bagaimana nafsu makan klien

2) Berapa kali makan dalam sehari

3) Banyaknya makan dalam satu kali makan

4) Apakah ada mual muntah

5) Bagaimana pola eliminasinya

6) Apakah ada anoreksia

7) Apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar

8) Apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus)

9) Bagaimanakah warna fesesnya

10) Bagaimanakah warna urinnya

c. Data Objektif

1) Bagaimana nafsu makan klien

2) Berapa kali makan dalam sehari

3) Banyaknya makan dalam satu kali makan

4) Apakah ada mual muntah

5) Bagaimana pola eliminasinya

6) Apakah ada anoreksia

7) Apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar

8) Apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus)

9) Bagaimanakah warna fesesnya

10) Bagaimanakah warna urinnya

d. Riwayat kesehatan

1) Riwayat kesehatan dahulu

Apakah ada tanda-tanda infeksi dahulu pada ibu, apakah ibu pernah

mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi.

2) Riwayat kesehatan sekarang

Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan tubuh bayi berwarna

kuning dan ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi.

3) Riwayat keluarga

Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka kemungkinan besar

merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.

e. Pengkajian fisik

Meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas,

pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan anggota keluarga,

kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi

keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain. Pengkajian secara umum dilakukan

dengan metode head to toe yang meliputi: keadaan umum dan status kesadaran, tanda-

tanda vital, area kepala dan wajah, dada, abdomen, eksteremitas, dan genita-urinaria.

Pemeriksaan fisik abdomen antaralain:

1) Inspeksi

-     Lihat keadaan klien apakah kurus, ada edema pada muka atau kaki

-     Lihat warna rambut, kering dan mudah dicabut

-     Mata cekung dan pucat

-     Lihat warna kulit pasien ada warna kuning atau tidak

-     Lihat seluruh tubuh pasien ada bekas garukan karena gatal-gatal atau tidak

2) Auskultasi

-     Dengar denyut jantung apakah terdengar bunyi S1, S2, S3 serta S4

-     Dengarkan bunyi peristaltik usus

-     Dengarkan bunyi paru – paru terutama weezing dan ronchi

3) Perkusi

-     Perut apakah terdengar adanya shitting duilnees

-     Bagaimana bunyinya pada waktu melakukan perkusi

4) Palpasi

-     Hati: bagaimana konsistensinya, kenyal, licin dan tajam pada permukaannya,

berapa besarnya dan apakah ada nyeri tekan

-     limpa : apakah terjadi pembesaran limpa

-     tungkai : apakah ada pembesaran pada tungkai

Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala)

Kulit : ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema

Mata : ikterik

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN (disusun berdasarkan prioritas)

a. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien dikeluhkan BAB encer,

BAB lebih dari 6-8 kali sehari.

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor

biologi ditandai dengan klien tampak kurus, nafsu makan menurun, klien dikeluhkan

muntah.

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi ditandai dengan

kulit klien tampak kuning, terdapat bekas garukan, kulit klien tampak bersisik.

d. Risiko keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan nutrisi tidak adekuat.

3. PERENCANAAN

1. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien dikeluhkan BAB

encer, BAB lebih dari 6-8 kali sehari.

Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan diare teratasi

dengan kriteria hasil :

Bowel Management

Frekuensi BAB normal (1x1/hari)

Melporkan tidak ada diare

HR teraba dan da;am batas normal (100-120x/menit)

Turgor kulit elastis<2 detik

Tidak terjadi confusi

Gastrointestinal Function

Klien dapat mentoleransi makanan dan minuman

Intervensi:

Manajemen Diare

1. Monitor untuk tanda dan gejala diare

Rasional: Untuk mengetahui intervensi yang sesuai

2. Monitor turgor kulit

Rasional: Turgor kulit yang tidak bagus menandakan terjadi dehidrasi akibat diare

3. Pantau frekuensi BAB

Rasional: Frekuensi BAB yang berlebihan >3kali menandakan terjadinya diare

Skin Surveilance

4. Monitor kulit pada bagian peri anal untuk terjadinya kemerahan

Rasional: Kulit yang lembab akibat adanya akumulasi kotoran dapat

mengakibatkan terjadinya kemerahan pada kulit

5. Pertahankan kondisi bagian anogenital tetap kering

Rasional: Keadaan kering mencegah terjadinya kemerahan pada kulit

Elektrolit Management

6. Monitor tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit

Rasional: Untuk mengetahui intervensi yang sesuai

7. Monitoring dan pertahankan keseimbangan intake dan output

Rasional: Agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan cairan dan elektrolit

8. Kolaborasi pemberian cairan rehidrasi melalui oral, NGT atau intravena sesuai

indikasi

Rasional: Membantu menggantikan jumlah elektrolit yang telah hilang atau

sedang hilang

Management Nutrisi

9. Dorong input nutrisi pada klien sesuai dengan kondisi klien

Rasional: Input nutrisi yang sesuai untuk meningkatkan status nutrisi klien yang

menurun akibat diare dan muntah

10. Dorong peningkatan intake protein yang sesuai

Rasional: Protein berfungsi untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan

meningkatkan sistem imun.

11. Monitoring Berat badan klien

Rasional: Untuk mengetahui status nutrisi klien dan efektifitas terapi yang

diberikan

12. Kolaborasi kepada ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan tipe nutrisi yang

dibutuhkan terhadap perbaikan nutrisi klien.

Rasional: Kolaborasi dan pemberian nutrisi yang sesuai untuk memperbaiki

status nutrisi akibat muntah dan diare

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

factor biologi ditandai dengan klien tampak kurus, nafsu makan menurun, klien

dikeluhkan muntah.

Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan kebutuhan

nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil :

a. Status nutrisi:

- Masukan nutrisi adekuat (skala 5 = no deviation from normal range)

- Masukan makanan dalam batas normal (skala 5 = no deviation from

normal range)

b. Status nutrisi : masukan nutrisi:

- Masukan kalori dalam batas normal (skala 5 = totally adekuat)

- Nutrisi dalam makanan cukup mengandung protein, lemak, karbohidrat,

serat, vitamin, mineral, ion, kalsium, sodium (skala 5 = totally adekuat)

c. Status nutrisi : hitung biokimia

- Serum albumin dalam batas normal (3,4-4,8 gr/dl) (skala 5 = no deviation

from normal range)

Intervensi :

Nutrition therapy

1. Mengindikasikan pemberian terapi nutrisi parenteral (NGT).

Rasional : Membantu pemenuhan asupan nutrisi yang adekuat.

2. Monitor makanan/cairan yang dimakan dan hitung asupan kalori tiap hari dengan

tepat.

Rasional : Mengetahui perkembangan makan/minum klien sesuai kebutuhan.

3. Monitor ketepatan diet order yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi klien.

Rasional : Mencegah klien mendapat asupan yang tidak sesuai dengan prosedur.

4. Jaga kebersihan mulut.

Rasional : Menjaga kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan

5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi

yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.

Rasional :Untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang sesuai dengan

kebutuhan klien

Fluid/ electrolyte management

1. Monitor abnormal serum elektrolit klien.

Rasional : Membantu memberikan terapi yang tepat sesuai kebutuhan.

2. Berikan intravenous infusion sesuai indikasi.

Rasional : Membantu menambah cairan/elektrolit tubuh bila asupan oral tidak

memenuhi kebutuhan.

Penanganan berat badan:

1. Timbang berat badan klien secara teratur.

Rasional : Dengan memantau berat badan klien dengan teratur dapat mengetahui

kenaikan ataupun penurunan status gizi.

2. Pantau konsumsi kalori harian.

Rasional : membantu mengetahui masukan kalori harian klien disesuaikan dengan

kebutuhan kalori sesuai usia.

3. Pantau hasil laboratorium, seperti kadar serum albumin, dan elektrolit.

Rasional : kadar albumin dan elektrolit yang normal menunjukkan status nutrisi

baik. Sajikan makanan dengan menarik.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi ditandai

dengan kulit klien tampak kuning, terdapat bekas garukan, kulit klien tampak

bersisik.

Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x24 jam diharapkan kerusakan

integritas kulit klien berkurang bahkan hilang dengan outcome :

Respon alergi local

- tidak ada kemerahan di kulit

- tidak ada rasa gatal di kulit

- tidak ada ruam di kulit

Integritas kulit

- tidak ada lesi di kulit

- tidak ada pengelupasan kulit

Intervensi

Skin surveillance

1. Inspeksi kulit klien untuk melihat adanya kemerahan dan lesi.

Rasional : Inspeksi merupakan pengkajian awal mengenai tingkat kerusakan

integritas kulit pada klien.

2. Monitor kulit klien terhadap kekeringan dan kelembaban yang berlebihan.

Rasional : Kekeringan dan kelembaban berlebihan dapat memperberat gejala

pruritus klien.

3. Monitor adanya lesiserosi kulit lebih lanjut.

Rasional : Membantu melihat perkembangan integritas kulit klien, adanya erosi dan

lesi lanjut menunjukkan gejala yang lebih berat.

Perawatan kulit

1. Hindari penggunaan bed tekstur kasar.

Rasional : Mengurangi terjadinya gesekan yang memperberat pruritus klien.

2. Anjurkan klien mandi dengan sabun antiseptic, bukan sabun biasa.

Rasional : Sabun biasa mengandung deterjen yang dapat menjadi faktor pencetus

alergi lebih lanjut.

3. Jaga tempat tidur agar tetap bersih, kering, dan bebas lipatan.

Rasional : Mengurangi terjadi gesekan kulit dan bed yang dapat memperberat rasa

gatal.

4. Sarankan pasien menggunakan pakaian yang tidak terlalu ketat dan menyerap

kering.

Rasional : Pakaian ketat dapat menimbulkan gesekan sedangkan pakaian menyerap

keringat dapat menurunkan risiko meningkatnya kelembaban

kulit yang dapat memperberat pruritus.

5. Kolaborasi : Kortikosteroid topical,antihistamin oral.

Rasional : Membantu menagatasi pruritus klien.

Managemen nutrisi

1. Kaji adanya alergi makanan tertentu pada klien.

Rasional ; Mencegah pemberian nutrisi yang memperberat gejala.

2. Berikan diet makanan sesuai kebutuhan klien; Tinggi Kalori Rendah Protein

Rasional : Tinggi kalori membantu memenuhi kebutuhan kalori klien sedangkan

rendah protein membantu menurunkan respon alergi, jika pruritus

disebabkan alergi.

4. EVALUASI

a. Diare teratasi, frekuensi BAB normal, melaporkan tidak ada diare, HR teraba dan

dalam batas normal (100-120x/menit), turgor kulit elastis<2 detik, tidak terjadi

confusi, klien dapat mentoleransi makanan dan minuman.

b. Nutrisi sesuai kebutuhan tubuh, masukan nutrisi adekuat, masukan makanan dalam

batas normal, masukan kalori dalam batas normal, nutrisi dalam makanan cukup

mengandung protein, lemak, karbohidrat, serat, vitamin, mineral, ion, kalsium,

sodium; Serum albumin dalam batas normal.

c. Kerusakan integritas kulit teratasi, tidak ada kemerahan di kuli, tidak ada rasa gatal di

kulit, tidak ada ruam di kulit, tidak ada lesi di kulit, tidak ada pengelupasan kulit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2010. available at http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/bileductdiseases.html(Diakses tanggal 8 Januari 2010).

Anonym. 2010. available at http: ://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000215.htm(Diakses tanggal 8 januari 2010).

Arief, Sjamsul. 2010. Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr Soetomo, Surabaya.

Mansjoer A. et al, 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Jakarta: Media Aesculapius, FKUI.

Nazer, Hisham. 2010. Kolestasis. available at http://emedicine.medscape.com/article/927624-overview (Diakses tanggal 8 januari 2010).

Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan. Kuliah Ilmu Bedah, hal 71 – 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.

Richard S. Snell. 2002, Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266. Jakarta: EGC.

Sherlock. S, Dooley J. 1993. Disease of the Liver and Biliary Sistem 9 th. Ed. Blackwell Scientific Publication: London.