laporan lokomotif disease gout,svt,chf,crf,sepsis
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 4
Lokomotif Disease
Gout, Anterior SVT, CHF, Susp. CRF, Bronkhiektasis, Susp. Sepsis
Disusun oleh :
1. Rahminawati R G1F010005
2. Rahmawati F.I G1F010013
3. Lutfi Nurindriyani G1F010021
4. Nevia Putri G.S. G1F010029
5. Herdyna Gita G1F010039
6. Zaqy Saputra G1F010045
7. Iriyanti G1F010051
8. M. Saiful H. G1F010065
9. Nadia Farchunnisa G1F010069
Asisten: Sofatul Azizah
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2013
A. JUDUL
Gout, Anterior SVT, CHF, Susp. CRF, Bronkhiektasis, Susp. Sepsis
B. DASAR TEORI
Gout adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan penyakit yang
berkaitan dengan hiperurisemia. Hiperurisemia dapat terjadi karena peningkatan sintesis
prekursor purin asam urat atau penurunan eliminasi/pengeluaran asam urat oleh ginjal,
atau keduanya. Gout merupakan diagnosis klinis sedangkan hiperurisemia adalah kondisi
biokimia. Gout ditandai dengan episode arthritis akut yang berulang, disebabkan oleh
timbunan monosodium urat pada persendian dan kartilago, dan pembentukan batu asam
urat pada ginjal (nefrolitiasis). Hiperurisemia yang berlangsung dalam periode lama
merupakan kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya
gout (Johnstone, 2005).
Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu penyakit dan
potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah dikenal sejak lama, gejalanya
biasanya terdiri dari episodik berat dari nyeri infalamasi satu sendi. Gout adalah bentuk
inflamasi arthritis kronis, bengkak dan nyeri yang paling sering di sendi besar jempol
kaki. Namun, gout tidak terbatas pada jempol kaki, dapat juga mempengaruhi sendi lain
termasuk kaki, pergelangan kaki, lutut, lengan, pergelangan tangan, siku dan kadang di
jaringan lunak dan tendon. Biasanya hanya mempengaruhi satu sendi pada satu waktu,
tapi bisa menjadi semakin parah dan dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi beberapa
sendi. Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang
ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Asam urat merupakan
senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses katabolisme purin baik dari diet maupun
dari asam nukleat endogen (asam deoksiribonukleat) (Syukri, 2007).
Gout dapat bersifat primer, sekunder, maupun idiopatik. Gout primer merupakan
akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan
ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena pembentukan asam urat yang
berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau
pemakaian obat-obatan tertentu sedangkan gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak
jelas penyebab primer, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologis atau anatomi yang
jelas (Putra, 2009).
Faktor resiko
Berikut ini yang merupakan faktor resiko dari gout adalah
1. Suku bangsa /ras
Suku bangsa yang paling tinggi prevalensi nya pada suku maori di Australia.
Prevalensi suku Maori terserang penyakit asam urat tinggi sekali sedangkan Indonesia
prevalensi yang paling tinggi pada penduduk pantai dan yang paling tinggi di daerah
Manado-Minahasa karena kebiasaan atau pola makan dan konsumsi alkohol (Luk, 2005).
2. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol meningkatkan
produksi asam urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari
metabolisme normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal
sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum (Luk, 2005).
3. Konsumsi ikan laut
Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi. Konsumsi
ikan laut yang tinggi mengakibatkan asam urat (Luk, 2005).
4. Penyakit
Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan hiperurisemia. Mis. Obesitas,
diabetes melitus, penyakit ginjal, hipertensi, dislipidemia, dsb. Adipositas tinggi dan berat
badan merupakan faktor resiko yang kuat untuk gout pada laki-laki, sedangkan penurunan
berat badan adalah faktor pelindung (Purwaningsih, 2005).
5. Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya hiperurisemia. Mis.
Diuretik, antihipertensi, aspirin, dsb. Obat-obatan juga mungkin untuk memperparah
keadaan. Diuretik sering digunakan untuk menurunkan tekanan darah, meningkatkan
produksi urin, tetapi hal tersebut juga dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk
membuang asam urat. Hal ini pada gilirannya, dapat meningkatkan kadar asam urat dalam
darah dan menyebabkan serangan gout. Gout yang disebabkan oleh pemakaian diuretik
dapat "disembuhkan" dengan menyesuaikan dosis. Serangan Gout juga bisa dipicu oleh
kondisi seperti cedera dan infeksi.hal tersebut dapat menjadi potensi memicu asam urat.
Hipertensi dan penggunaan diuretik juga merupakan faktor risiko penting independen
untuk gout (Luk, 2005).
Aspirin memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu: dosis rendah
menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat, sedangkan dosis
tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik.(Doherty, 2009)
6. Jenis Kelamin
Pria memiliki resiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan perempuan
pada semua kelompok umur, meskipun rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama
pada usia lanjut. Dalam Kesehatan dan Gizi Ujian Nasional Survey III, perbandingan
laki-laki dengan perempuansecara keseluruhan berkisar antara 7:1 dan 9:1. Dalam
populasi managed care di Amerika Serikat, rasio jenis kelamin pasien laki-laki dan
perempuan dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih muda dari 65 tahun, dan 3:1
pada mereka lima puluh persen lebih dari 65 tahun. Pada pasien perempuan yang lebih
tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi datang ke dokter didiagnosa sebagai gout, dan
proporsi dapat melebihi 50% pada mereka yang lebih tua dari 80 tahun ( Luk, 2005).
7. Diet tinggi purin
Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa HDL yang merupakan bagian dari
kolesterol, trigliserida dan LDL disebabkan oleh asupan makanan dengan purin tinggi
dalam kesimpulan penelitian tentang faktor resiko dari hiperurisemia dengan studi kasus
pasien di rumah sakit Kardinah Tegal (Purwaningsih, 2010).
PATOFISIOLOGI
1. ASAM URAT (GOUT)
Pada manusia, asam urat adalah produk akhir dari degradasi purin. Fungsi
fisiologisnya tidak diketahui sehingga dianggap sebagai sampah. Cadangan urate
meningkat beberapa kali pada individu yang mengalami gout. Akumulasi berlebih ini bisa
muncul baik dari overproduksi atau sekresi yang kurang. Purin yang merupakan sumber
asam urat berasal dari tiga sumber: purine dari makanan, perubahan asam nukleat
jaringan menjadi nukleotida purine, dan sintesis de nouvo basa purine. Abnormalitas pada
sistem enzim yang mengatur metabolisme purine bisa berakibat pada overproduksi asam
urat. Peningkatan aktivitas phosphoribosyl pyrophosphate (PRPP) synthetase berakibat
peningkatan konsentrasi PRPP, penentu pada sintesis purine. Defisiensi hypoxanthine-
guanine phosphoribosyl transferase (HGPRT) bisa berakibat pada overproduksi asam
urat. HGPRT bertanggung jawab untuk konversi guanine menjadi asam guanilat dan
hypoxanthine menjadi asam inosinat. Kedua konversi ini membutuhkan PRPP sebagai co-
substrate dan merupakan reaksi penting pada sintesis asam nukleat. Defisiensi pada
enzim HGPRT berakibat peningkatan metabolisme guanine dan hypoxanthine menjadi
asam urat dan lebih banyak PRPP untuk berinteraksi dengan glutamine pada langkah
pertama jalur sintesis purine. Ketiadaan total HGPRT berakibat sindrom Lesch-Nyhan
pada masa anak-anak, yang dicirikan dengan athetosis, spasticity, keterbelakangan
mental, dan produksi berlebihan asam urat (DiPiro, 2005).
Asam urat juga bisa overproduksi sebagai konsekuensi dari peningkatan
penghancuran asam nukleat jaringan, seperti pada myeloproliferasi dan kelainan
limfoproliferasi. Purine dari makanan memegang peranan penting pada pembentukan
hiperurisemia pada absennya gangguan pada metabolisme dan ekskresi purine.
Penyimpanan asam urat pada cairan sinovial mengakibatkan inflamasi yang melibatkan
mediator kimia yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan
aktivitas kemotaktik untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kristal urat oleh
leukosit berakibat lisis sel dengan cepat dan pelepasan enzim proteolitik ke sitoplasma.
Reaksi inflamasi yang muncul dihubungkan dengan sakit persendian yang hebat,
erythema, panas dan membengkak. Sekitar dua per tiga asam urat yang diproduksi tiap
hari diekskresikan di urine. Sisanya dieliminasi melalui saluran cerna setelah degradasi
enzimatik oleh bakteri kolon. Penurunan ekskresi asam urat di urine di bawah tingkat
produksi mengakibatkan hperurisemia dan peningkatan cadangan natrium urate. Tophi
(deposit urat) jarang pada subjek gout dan merupakan komplikasi akhir dari
hiperurisemia. Tempat paling umum untuk deposit tophaceous pada pasien dengan gout
artritis berulang adalah pada dasar jempol kaki, sisi luar telinga, olelacranon bursae,
tendon Achiles, lutut, pergelangan tangan dan tangan (DiPiro, 2005).
Manajemen Nyeri Pada Gout (Harris et al., 1999)
2. CHRONIC RENAL FAILURE
Hampir 1 juta unit nefron ada pada setiap ginjal yang menyumbang kepada
jumlah akhir laju filtrasi glomerulus (LFG). Tanpa mengambil kira penyebab
kerusakan jaringan ginjal, yang progresif dan menahun, ginjal mempunyai keupayaan
untuk terus mempertahankan LFG menerusi hiperfiltrasi dan mekanisme kompensasi
kerja yaitu hipertrofi pada nefron yang masih berfungsi. Keupayaan ginjal ini dapat
meneruskan fungsi normal ginjal untuk mensekresi bahan buangan seperti urea dan
kreatinin sehingga bahan tersebut meningkat dalam plasma darah hanya setelah LFG
menurun pada tahap 50% dari yang normal. Kadar kretinin plasma akan mengganda
pada penurunan LFG 50%. Walaupun kadar normalnya adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2
mg/dL, ia menunjukkan penurunan fungsi nefron telah menurun sebanyak 50%
(Arora, 2010).
Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi dan
hipertrofi, walaupun amat berguna, tetapi telah menyebabkan kerusakan ginjal yang
progresif. Ini dipercayai terjadi karena berlaku peningkatan tekanan pada kapilari
glomerulus, yang seterusnya bisa mengakibatkan kerusakan kapilari tersebut dan
menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian glomerulosklerosis segmental dan fokal
(Arora, 2010).
Antara faktor-faktor lain yang menyebabkan kerusakan jaringan ginjal yang
bersifat progresif adalah :
1. Hipertensi sistemik
2. Nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal
3. Proteinuria
4. Hiperlipidemia
Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir
metabolisme protein yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun dalam darah.
Ini menyebabkan uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh penderita. Semakin
banyak timbunan produk bahan buangan, semakin berat gejala yang terjadi.
Penurunan jumlah glomerulus yang normal menyebabkan penurunan kadar
pembersihan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan
menurunnya LFG, ia mengakibatkan penurunan pembersihan kreatinin dan
peningkatan kadar kreatinin serum terjadi. Hal ini menimbulkan gangguan
metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea dan vomitus
yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan
ureum kreatinin yang sampai ke otak bisa mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan
gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu blood urea nitrogen
(BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat
dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan
cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung kongestif. Penderita akan menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan
asupan zat oksigen dengan kebutuhan tubuh. Dengan tertahannya natrium dan cairan
bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan risiko kelebihan volume cairan
dalam tubuh, sehingga perlu diperhatikan keseimbangan cairannya. Semakin
menurunnya fungsi ginjal, terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Juga terjadi penurunan produksi hormon
eritropoetin yang mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya filtrasi melalui
glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum
kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal
kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan
adanya hipertensi (Smeltzer, 2001).
Nefrolitiasis asam urat terjadi pada 10-25% pasien dengan gout. Faktor yang
membuat individu rentan terhadap nefrolitiasis asam urat termasuk ekskresi
berlebihan asam urat melalui urin, urin yang asam, dan urin yang pekat. Pada
nefropati asam urat akut, gagal ginjal akut terjadi sebagai hasil dari penghalangan
aliran urine sekunder sehingga terjadi presipitasi kristal asam urat yang masif pada
tubulus pengumpul dan ureter. Sindrome ini sering terjadi pada pasien dengan
myeloproliferasi atau kelainan limfoproliferasi dan hasil dari keganasan yang masif,
terutama ketika memulai kemoterapi. Nefropati urat kronik disebabkan penyimpanan
jangka panjang kristal urat pada parenkim ginjal (DiPiro, 2005).
3. CONGESTIVE HEART FAILURE
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi baik pada
jantung dan secara sistemik. Jika stroke volume kedua ventrikel berkurang oleh
karena penekanan kontraktilitas atau afterloadyang sangat meningkat, maka volume
dan tekanan pada akhir diastolik dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Ini akan
meningkatkan panjang serabut miokardium akhir diastolik, menimbulkan waktu
sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, terjadi dilatasi
ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa baik tapi, tapi peningkatan
tekanan diastolik yang berlangsung lama/kronik akan dijalarkan ke kedua atrium dan
sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat
yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema
sistemik. Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan
tekanan arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem
saraf dan humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi
miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena ; perubahan yang terkhir ini akan
meningkatkan volume darah sentral.yang selanjutnya meningkatkanpreload.
Meskipun adaptasi – adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac output,
adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena itu , takikardi dan
peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia pada pasien
– pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan peningkatan preload dapat
memperburuk kongesti pulmoner (Noer, 2001).
Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi
perifer ;adaptasi ini dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ – organ vital,
tetapi jika aktivasi ini sangat meningkatmalah akan menurunkan aliran ke ginjal dan
jaringan. Resitensi vaskuler perifer dapat juga merupakan determinan
utama afterload ventrikel, sehingga aktivitas simpatis berlebihan dapat meningkatkan
fungsi jantung itu sendiri. Salah satu efek penting penurunan cardiac output adalah
penurunan aliran darah ginjal dan penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan
menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem rennin – angiotensin – aldosteron juga
akan teraktivasi, menimbulkan peningkatan resitensi vaskuler perifer selanjutnta dan
penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi sodium dan cairan. Gagal
jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin vasopresin dalam sirkulasi
yang meningkat, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi cairan.
Pada gagal jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial akibat peningkatan
tekanan atrium, yang menunjukan bahwa disini terjadi resistensi terhadap efek
natriuretik dan vasodilator (Noer, 2001).
Algoritma Manajemen CHF (Howleet, 2008)
4. ANTERIOR SUPRA VENTRIKULER TAKIKARDI
5. SUPRAVENTRICULAR ARRHYTHMIAS
SVT adalah takikardi (denyut jantung di atas 100 x/menit) yang disebabkan
oleh impuls listrik yang berasal di atas ventrikel.
Supraventrikular takikardi ( SVT ) ditandai oleh frekuensi jantung yang cepat
( 150-280/menit) dan teratur, yang berasal dari suatu rangkaian 3 atau lebih kontraksi
prematur fokus supraventrikular. SVT mungkin ditemukan pada jantung yang secara
anatomi normal atau dapat disertai dengan saluran pintas pada salah satu sindrom pre-
eksitasi ( Wolf Parkinson White ).
Terdapat 2 mekanisme dasar terjadinya SVT yaitu automatisasi dan reentri.
Automatisasi terjadi karena terdapat fokus ektopik di dalam atrium, AV junction atau
sistem his purkinje yang menimbulkan ritme automatik.
Reentri terjadi karena terdapat 3 keadaan yang memungkinkannya, yaitu
terdapat 2 konduksi yang menyatu pada kedua ujungnya, terdapat blok searah pada
salah satu konduksi, dan aliran lambat pada konduksi tanpa blok memungkinkan
terangsangnya konduksi yang lain karena mempunyai masa refrakter dan konduksi
yang berbeda.
Kira-kira pada 1/3 kasus SVT tidak dijumpai kelainan kardiovaskular. Pada
bayi dan anak kelainan ini paling sering disebabkan oleh reentri pada sindrom WPW (
35-69%), kemudian reentry nodus AV (23%), SVT ektopik automatik (20%) dan
reentry nodus SA (15%).
SVT dapat terjadi pada penyakit jantung kongenital, yang lebih sering dengan
anomali ebstein katup trikuspidalis dan transposisi benar ( corrected ) pembuluh-
pembuluh darah besar. Pada anak-anak SVT dapat dipercepat dengan pemajanan pada
amin simpatomimetik yang biasanya terdapat pada dekongestan yang dijual bebas.
SVT melibatkan komponen sistem konduksi dengan atau tanpa berkas His dan dapat
dibagi menjadi 3 kategori besar, yaitu :
1. re-entrant tachycardias using an accessory pathway
2. re-entrant tachycardias without an accessory pathway
3. Ectopic or automatic tachycardias
5. BRONKHIETASIS
Menurut Brunner & Suddarth (2002) patofisiologi dari bronkiektasis dimulai
dari infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat
bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat,
infeksi melebar sampai ke peribronkial, sehingga dalam kasus bronkiektasis selular,
setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir
bebas melalui bronkus. Brokiektasis biasanya setempat, menyerang lobus segmen
paru. Lobus yang paling bawah sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya
menyebabkan alveoli disebelah distal obstruksi mengalami kolaps (atelektasis).
Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang
berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan
penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual
terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang di inspirasi
(ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksimia.
KLASIFIKASI
Menurut Sudoyo (2006) berdasarkan atas bronkografi (bentuknya) dan
patologi, bronkiektasis dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Bronkiektasis tabung (Tubular, Cylindrikal, Fusiform Bronchiectasis)
Bronkiektasis bentuk ini merupakan brokiektasis yang paling ringan. Bentuk
ini sering ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronkiektasis kronik.
2. Bentuk kantong (Saccular Bronchiectasis)
Bentuk ini merupakan bentuk brokiektasis yang klasik Ditandai dengan
dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler, bentuk ini kadang-
kadang berbentuk kista.
3. Varicose Bronchiectasis
Merupakan gabungan dari kedua bentuk sebelumnya. Istilah ini digunakan
karena bronkus menyerupai varises pembuluh vena.
GEJALA KLINIS
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada
luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi
lanjut. Ciri khas penyakit ini adalah adanya hemoptisis dan pneumonia berulang.
Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit yang berat, dan
dapat tidak nyata atau tanpa gejala penyakit yang ringan. Tanda dan gejala dari
bronkiektasis diantaranya ialah sebagai berikut :
1. Batuk
Hemoptisis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik,
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi hari sesudah
ada posisi tidur atau bangun dari tidur. Sputum terdiri atas tiga lapisan :
a. Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mucus
b. Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva
c. Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus
yang rusak
2. Hemoptisis
Terjadi akibat nekrosis atau dekstruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh
darah (pecah) dan timbul pendarahan.
3. Sesak napas (dispnea)
Timbulnya sesak napas tergantung pada luasnya bronkiektasis, kadang-kadang
menimbulkan suara mengi akibat adanya obstruksi bronkus.
4. Demam berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami
infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul
demam (demam berulang)
5. Kelainan Fisik
a. Sianosis
b. Jari tabuh (clubbing finger)
c. Bronki basah
d. Wheezing
Elizabeth, 2001
6. SEPSIS
SIRS (Systemic inflammatory Respons Syndrome) adalah sindrom dengan dua
atau lebih kondisi yaitu 1. Demam (>38⁰C) atau hipotermia (<36⁰C); 2. Tachypnea
(>24 breaths/min); 3. Takikardi (HR> 90 kali/menit); 4. Leukositosis (>12,000/µL),
leukopenia (<4,000/µL),atau >10% bands; mungkin memiliki etiologi noninfeksi.
Sepsis sendiri adalah SIRS yang terbukti atau diduga terjadi karena mikroba (Dipiro,
2005) . Sepsis adalah respon host yang bersifat sistemik dan merugikan dari infeksi
menuju sepsis berat dan mengalami sepsis shock (Dellinger et al, 2013).
Sepsis dapat disebabkan oleh jamur, bakteri (gram negative atau positif), dan
virus. TNF- α merupakan mediator utama sepsis. Pada pasien sepsis, kadar TNF-α
meningkat bersamaan dengan respon inflamasi awal. Alur perkembangan sepsis
bersifat kompleks dan multifaktorial, melibatkan berbagai macam mediator dan sel.
Karena aksi dari mediator, berbagai jenis sel diaktifkan. Makrofag juga diaktifkan dan
memproduksi sitokin inflamasi. Sitokin ini kemudian mempengaruhi sel dalam range
yang luas, termasuk sel endothelial, limposit, hepatosit, neutrofil dan platelet. Sel
endotel memproduksi bebagai jenis sitokin yang memediasi mekanisme primer dari
cedera dengan sepsis. Saat terjadi luka atau cedera, sel endothelial memungkinkan sel
yang bersirkulasi seperti granulosit dan penyusun plasma msuk ke jaringan yang
mengalami inflamasi, yang mungkin mengakibatkan kerusakan organ (Dipiro,2009).
Arteriol menjadi kurang responsive terhdap vasokontriktor ataupun
vasodilator. Pembuluh darah kapiler kurang diperfusi, dan terjadi infiltasi neutrofil
dan kebocoran protein kedalam venule. Disfungsi pulmonary mungkin terjadi
dikarenakan oleh mekanisme destruktif dari neutrofil yang ditarik ke jaringan paru-
paru karena aksi dari IL-8 (Dipiro,2009).
Aktifasi dari komplemen pada sepsis mengakibatkan konsekuensi
patofisiologis antara lain generasi dari toksin anafilaksis dan substansi lain yang
menambah atau memperbesar respon inflamasi. Stimulasi dari kemotaksis leukosit,
fagositosis dengan pengeluaran enzim lisosom, agregasi dan adhesi dari platelet dan
neutrofil meningkat, dan produksi dari radikal toksik superoxide juga berkaitan dalam
aktifasi komplemen. Diantara respon-respon tersebut, pengeluaran histamine dari sel
mast dan mengakibatkan peningkatan pada permeabilitas kapiler dan “third spacing”
dari cairan pada intersisil (Dipiro,2009).
Proses inflamasi pada sepsis juga berhubungan langsung dengan system
koagulasi. Mekanisme proinflamasi yang mendorong sepsis muncul juga prokoagulan
dan antifibrinolitik, sedangkan mekanisme fibrinolitik juga dapat bertugas menjadi
anti-inflamasi. Substansi endogenus penting yang terlibat pada inflamasi sepsis adalah
protein C aktif, yang meningkatkan fibrinolisis dan menghambat inflamasi. Kadar
protein C berkurang pada pasien sepsis (Dipiro,2009).
Dipiro, 2009.
Dokumen Farmasi Pasien (DFP)
Nama pasien : Sy. SNM
TB : 155 cm
BB : 43 kg
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM : 0700xx
Alamat : Kembaran Banyumas
Status : Jamkesmas
Ruang : ICCU
Umur : 65 th
MRS : 14-10-2011
KRS : 18-10-2011
Keluhan Utama :
Masuk ke IGD karena sesak nafas 2 hari, tidak bisa BAK, udema tungkai
bawah, sebelumnya bengkak dan nyeri di daerah jempol sudah seminggu, mulanya
dipikir rematik, namun karena sesak nafas dibawa ke IGD
Riwayat Penyakit Dahulu:
Paru dan liver, bronkhiektaksis, katarak OD matur + konjungtivitis, OS
immature
Riwayat Penggunaan Obat:
Eritromisin 2x250, ambroxol 3x1, salbutamol 2x2 mg, ventolin 2,5 mg/8 jam
untuk bronkhiektasis, polidemisin 3x1 gtt untuk katarak
Diagnosis:
Asam urat, anterior SVT, CHF, susp. CRF, bronkhiektasis.
Data klinik
Nilai
normal
14/10 15/10 16/10 17/10 18/10
Tekanan Darah 120/80 110/63 70/38 84/57 89/46 67/41
Nadi 60-100 111 97 187 115 92
Respirasi 16-20 21 16 22 25 26
Suhu 36-37 37,2 36 36,7 36,7 36
Udem kaki Tidak udem ++ ++ ++ ++ ++
Balance cairan +495 -1110 -178 +826
Batuk Tidak batuk + + + + +
Data Laboratorium
Parameter Satuan Nilai Normal 14/10 15/10 16/10 17/10 18/10
CKMB mg/L <10 66 ↑
Trombosit 150-450rb 117000 ↓
Ureum Mg/dL 15-40 62,1 ↑
Cr 0,5-1,7 1,61
Hb g/dl 12,1-15,3 11,9 ↓
Kalium mEq/L 3,5-5 5,1 6,1 ↑ 3,3 ↓
Natrium mEq/L 135-147 133 ↓ 131 ↓
Cl mEq/L 95-110 88 ↓ 87 ↓
Leukosit 4-11 rb 34760 ↑ 10380
Albumin g/d 3,8-5 2,65 ↓
Asam urat mg/dL 2,4-5,7 10 ↑ 9,4 ↑
Hasil EKG :
SVT, Right Axis Deviation, Right Vetricular Hyperthrophy, Abnormal QRS-T angle,
PrimarynT-wave abnormal.
NB *Warna merah menandakan penurunan ; *warna biru menandakan peningkatan
*Interpretasi Data Klinik Pasien
Pasien melakukan pemeriksaan baik data klinik maupun data laboratorium
selama dirawat di rumah sakit. Berikut adalah penjelasan data klinik dan data
laboratorium dari Sy. SNM. Data diambil dari tanggal 14- 18 Oktober. Hasil
pemeriksaan tekanan darah hari pertama pada tanggal 14 pasien sudah mengalami
hipotensi, ini dilihat dari hasil yang ditunjukkan dengan TD pasien 110/63. Dari
pemeriksaan pemeriksaan hari selanjutnya TD pasien semakin mengalami penurunan
berturut-turut hingga pada pemeriksaan tanggal 18 TD pasien mencapai 67/41.
Tekanan darah normalnya 120/80 mmHg. Penurunan tekanan darah ini karena riwayat
CHF yang diderita pasien, sehingga jantung tidak dapat memompa darah secara
normal. Dalam hal ini pasien juga didiagnosa SVT.
Udem di kaki pasien akibat manifestasi dari penyakit Cronic Renal Failure
(CRF) sehingga adanya retensi cairan di dalam tubuh dan karena riwayat asam urat
yang diderita pasien karena adanya penumpukan purin sehingga terjadi over produksi
asam urat. CKMB pasien naik (berada di atas nilai normal) yaitu 66 dari nilai normal
yang kurang dari 10. Hal ini dikarenakan riwayat kondisi CHF pasien.
Trombosit turun dikarenakan adanya anemia. Turunnya nilai trombosit juga
disebabkan manifestasi dari penyakit kronis yang diderita pasien. Sebagaimana
diketahui pasien didiagnosa CRF, CHF dan memiliki riwayat penyakit paru dan liver.
Ureum naik karena adanya Cronic Renal Failure (CRF). Kenaikan ini akibat
penumukan ureum di dalam darah karena kerusakan ginjal yang tidak dapat
mengeksresikan ureum yang seharusnya di keluarkan melalui urin.
Hb pada pasien mengalami penurunan dari batas normal yang berkisar 12,1-
15,3 g/dl namun Hb pasien hanya sekitar 11,9 pada pemeriksaan tanggal 17/10.
Penurunan nilai Hb dikarenakan adanya anemia. Karena pada pasien anemia, terjadi
ketidaknormalan produksi sel-sel darah yang salah satunya adalah hemoglobin.
Parameter elektrolit juga diperiksa, seperti nilai natrium, kalium, dan klorida
diman dalam hasil pemeriksaan mengalami kenaikan dan penurunan. Ini semua
menendakan adanya gangguan fungsi ginjal.
Leukosit mengalami kenaikan karena merupakan tanda dari adanya sirs. SIRS
adalah respon inflamasi sistemik terhadap suatu kondisi klinis yang ditandai oleh 2
atau lebih gejala berikut ini Suhu >38oC atau <36oC Denyut Nadi >90 kali per menit
Respirasi >20 kali per menit PaCo2 <32 mmHg WBC Count >12.000 cells/mm3,
<4.000 cells/mm3 atau >10% band cells. Dari kriteria diatas, pasien mengalami 3
gejala yaitu naiknya respirasi, denyut nadi, dan suhu tubuh.
Pada pemeriksaan Albumin, didapat nilainya dibawah batas normal. Hal ini
menendakan adanya Cronic Renal Failure (CRF). Nilai data laboratorium asam urat
adanya kenaikan. Hal ini karena ketidaknormalan dalam sistem enzim yang mengatur
metabolisme purin yang dapat menyebabkan overproduksi asam urat.
Drug Related Problem
No Problem Paparan problem Rekomendasi
1. Pasien mengalami
brokiektasis yang
menyebabkan pasien
batuk berdahak. Sputum
tersebut dapat
mengandung bakteri.
Bronkiektasis merupakan
kelainan dengan adanya
dilatasi saluran napas yang
abnormal dan permanen yang
timbu lsebagai akibat dari
infeksi bronkial kronis.
Antibiotic merupakan terapi
pengobatan yang penting
karena dapat meningkatkan
kualitas hidup, gejala dan
mengurangi inflamasi jalan
napas (Paul T. King, and
Peter W. Holmes, 2012).
Jika tidak dilakukan
kultur maka, first-line
terapi adalah amoxicillin
dengan dosis 500 mg 3x
sehari (M C Pasteuret al.,
2010)
2 Pasien mengalami batuk. Salah satu gejala bronkiektasis Penggunaan Ambroksol
adalah batuk berdahak. Pada
kasus ini pasien mengalami
batuk berdahak dan telah
mengganggu jalan pernapasan
sehingga membutuh kan terapi
untuk mengeluarkan sputum
tersebut.
yang berindikasi untuk
penyakit saluran napas
akut dan kronis yang
disertai sekresi bronkial
yang abnormal,
khususnya pada
eksaserbasi dan bronkitis
kronis, bronkitis asmatik,
asma bronkial. Dosis
dewasa: sehari 3 kali 1
tablet.
3 Pasien mengeluhkan
sesak nafas selama 2 hari
dan respiratory rate
meningkat.
Sesak napas yang dialami
pasien merupakan salah satu
gejala bronkhiektasis yang
diderita pasien. Timbulnya
sesak napas tergantung pada
luasnya bronkiektasis, kadang-
kadang menimbulkan suara
mengi akibat adanya obstruksi
bronkus.
Pemberian O2 digunakan
terapi tambahan untuk
mengatasi sesak pasien.
Pemberian O2 nasal 4
lt/mnt. Kerja O2 untuk
mempertahankan PaO2 >
60 mmHg atau SaO2 >
90% untuk mencegah
hipoksia sel & jaringan,
menurunkan kerja nafas,
menurunkan kerja otot
jantung (Lacy, 2009).
4 Pasien terdiagnosa gout
dan telah terjadi
pembengkakan dan nyeri
di daerah jempol yang
sudah sampai seminggu.
Gout timbul berupa sendi yang
sangat nyeri dan meradang
akibat deposisi kristal urat.
Pasien akan datang dengan
keluhan sendi kemerahan
Pemberian kortikosteroid
dalam bentuk sediaan
injeksi. Injeksi artikular
kortikosteroid sangat
berguna bila NSAID atau
disertai nyeri akut, seringkali
pada ibu jari kaki (Gleadle,
2007)
kholkisin bermasalah,
misalnya pada pasien
dengan gagal jantung
kronis atau gangguan
ginjal atau hati (Anonim,
2006)
5 Pasien mengalami asam
urat (gout).
Penyakit asam urat adalah
jenis artritis yang sangat
menyakitkan yang disebabkan
oleh penumpukan kristal pada
persendian, akibat tingginya
kadar asam urat di dalam
tubuh. Penyakit asam urat
merupakan akibat dari
konsumsi zat purin secara
berlebihan. Purin diolah tubuh
menjadi asam urat, tapi jika
kadar asam urat berlebih,
ginjal tidak mampu
mengeluarkan sehingga kristal
asam urat menumpuk di
persendian. Akibatnya sendi
terasa nyeri, bengkak dan
meradang.
allopurinol baik
digunakan untuk
profilaksis serangan gout
berulang pada produksi
asam urat berlebih.
Dimulai dengan low dose
(100 mg/hari) setelah
serangan akut berakhir,
dan titrasi 100 mg/hari
dengan interval 1 minggu
sampai serum asam urat
tercapai pada < 6 mg/dL.
(Dipiro, 2008).
6 Pasien mengalami
hipotensi
Pasien mengalami CHF
sehingga dapat menimbukan
penurunan curah jantung yang
berhubungan dengan
perubahan kontraktilitas
miokardial, perubahan
frekuensi, irama, dan kondisi
listrik, perubahan struktural.
Pemberian injeksi
dopamin sebagai terapi
untuk pasien. Digunakan
untuk terapi gagal jantung
pada pasien dengan
hipotensi sistemik yang
jelas atau syok
jantung.Mekanismenya
Manifestasi yang terjadi
adalah takkardi, disritmia,
perubahan gambaran pola
EKG, perubahan tekanan
darah (hipotensi/hipertensi),
penurunan keluaran urine, nadi
perifer tidak teraba, edema,
nyeri dada.
menstimulasi reseptor
adrenergik dan
dopaminergi, dosis
rendah menstimulasi
dopaminergik dan
memperbaiki renal dan
vasodilatasi
mesenterik( Lacy, 2009).
Dosisnya 5 mcg/kg/menit.
7 Pasien mengalami SVT/
takikardi
Pasien mengalami takikardi
hal ini dapat dilihat dari heart
rate pasien yang tinggi dan
hasil EKG.
Penggunaan amoidaron
karena indikasinya untuk
ventrikular fibrilation
(VF) atau
hemodynamically-
unstable ventricular
tachycardia (VT) yang
sulit disembuhkan dengan
agen antiaritmia lain.
Amiodaron sering efektif
ketika obat-obat lain telah
gagal. Dosis yang
digunakan 800 mg/hari (2
x 400 mg)
8 Pasien mengeluhkan
susah BAK
Pasien mengeluhkan susah
BAK atau buang air kecil.
Pemberian dieuretik atau
golongan antibiotic ini juga
dapat melancarkan BAK dan
sebagai antibiotik tambahan
untuk bronkietasisnya.
Penggunaan levofloksasin
untuk mengobati infeksi
akibat pneumonia seperti
nosocomial pneumonia,
bronkitis kronik, sinusitis
bakterial akut, prostatitis,
infeksi saluran kencing,
pyelonephritis akut,
infeksi kulit. Dosisnya
500 mg sehari sekali
9 Pasien didiagnosa sepsis Sepsis adalah respon host yang
bersifat sistemik dan
merugikan dari infeksi
menuju sepsis berat dan
mengalami sepsis shock
(Dellinger et al, 2013).Sepsis
dapat disebabkan oleh jamur,
bakteri (gram negative atau
positif), dan virus. TNF- α
merupakan mediator utama
sepsis.
Penggunaan
metronidazole sebagai
terapi untuk penanganan
sepsis. Dosisnya 750 mg
sekali sehari.
10 Asupan cairan atau infuse
saat di rumah sakit
Pemberian infuse selama
dirumah sakit dengan
mempertimbangkan kondisi
pasien.
Pemberian infuse
dekstros Sebagai cairan
resusitasi pada terapi
intravena serta untuk
keperluan hidrasi selama
dan sesudah operasi
(Tatro, 2003).
TERAPI YANG DISARANKAN
Nama Obat Dosis
O2 4 l/mnt
Amoxicillin 3x1 tab
Ambroxol 3x1 tab
Allopurinol 100 mg x 1 tab
Levofloxacin 3x1tab
Inj. Triamsinolon 5 mg x 1
Dopamin 5mg x 1
Dekstrosa 0,5 - 0,75g/kgBB/jam
Amiodaron 800mg x 1 atau 400mg x 2
Metronidazole 750mg sekali sehari
MONITORING
No Parameter Nilai Normal Jadwal
Pemantauan
Tanggal Pemantauan
1. Tekanan darah 120/80 Setiap hari √ √ √ √ √
2. Nadi 60-100 Setiap hari √ √ √ √ √
3. Respirasi 16-20 Setiap hari √ √ √ √ √
4. Suhu 36-37 Setiap hari √ √ √ √ √
5. Udem kaki Tidak udem Setiap hari √ √ √ √ √
6. Balance cairan Normal Setiap hari √ √ √ √ √
7. Batuk Tidak batuk Setiap hari √ √ √ √ √
8. CKMB < 10 mg/L Saat terjadi
serangan
- - - - -
9. Trombosit Hari 1, 3, 5 √ - √ - √
10. Ureum 14-40,28
mg/dL
Hari 1, 3, 5 √ - √ - √
11. Cr 0,8-1,5 mg/dL Hari 1, 3, 5 √ - √ - √
12. Hb 14,0-18,0 g/dL Hari 1, 3, 5 √ - √ - √
13. Na 135-147
mEq/L
Hari 1, 3, 5 √ - √ - √
14. K 3,5-5,1 mEq/L Hari 1, 3, 5 √ - √ - √
15. Cl 98-107
mmol/L
hari 1, 3, 5 √ - √ - √
16. Leukosit 4800-10800/
µL
Hari 1, 3, 5 √ - √ - √
17. Albumin 3,40-5,0 g/dL Hari 1, 3, 5 √ - √ - √
18. Asam urat 2,4 – 5,7 g/dL Hari 1, 3, 5 √ - √ - √
19. Anemia Tidak anemia Setiap hari √ √ √ √ √
INFORMASI OBAT
1. O2 ( oksigen )
a. Efek Terapeutik Obat / Indikasi Obat
Digunakan untuk membantu pernafasan pada pasien yang mengalami kesulitan
bernafas / sesak nafas.Pasien hipoksia, oksigenasi kurang padahal paru normal,
oksigenasi cukup padahal paru tidak normal, pasien yg membutuhkan O2
konsentrasi tinggi, pasien dgn Pa.O2 rendah. Atau pasien dengan kadar O2 arteri
rendah dari hasil analisa gas darah,pasien dengan peningkatan kerja nafas, dimana
tubuh berespon terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan
dalamnya pernafasan serta adanya kerja otot-otot tambahan pernafasan, pasien
dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi
gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
b. Hubungan Umur Pasien dengan Obat
Tidak ada hubungan antara umur pasien dengan obat karena O2 pasti dibutuhkan
oleh semua orang.
c. Hubungan Pengobatan dengan Data Klinik dan Laboratorium
Dari data klinik dan data laboratorium pasien mengalami sesak nafas jika
beraktivitas dan berdebar. Pemberian O2 pada pasien dilakukan jika saturasi
oksigen< 90% dari keadaan normal. Oksigen sering kali diberikan melalui sungkup
muka atau selang kecil yang dimasukkan ke dalam lubang hidung. Dengan
pemberian oksigen, maka tekanan oksigen di dalam darah akan meningkat sehingga
lebih banyak oksigen yang sampai ke jantung dan kerusakan jantung dapat
diperkecil. Pasien merasa sesak dan laju respirasi yang meningkat sehingga
pemberian O2 dilakukan hingga pasien tidak merasa sesak. Jadi O2 diperlukan bagi
pasien untuk membantu pernafasan.
d. Dosis Obat
Dosis Oksigen yang digunakan adalah 2 L/menit.
e. Hubungan Pengobatan, Riwayat Pasien, Penyakit dan Riwayat Pengobatan
Tidak ada hubungan pengobatan dengan riwayat pasien, penyakit dan riwayat
pengobatan.
f. Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolute.
Suplemen O2 tidak direkomendasikan pada :
Pasien dgn keterbatasan jalan napas yg berat dgn keluhan utama dispnea, tapi dgn
Pa.O2> 60 mmHg & tdk mempunyai hipoksia kronis,
Pasien yg tdk dapat menerima terapi adekuat (Tanjung, 2003).
g. Efek samping
Keracunan oksigen, Penumpukan CO2 pasien tidak sadar, Gangguan
neurologis, Gangguan geraka cilia & selaput lender.
h. Interaksi Obat-Obat, Obat-Makanan dan Obat-Jamu
Tidak ada interaksi oksigen dengan obat-obatan lain yang masuk ke dalam tubuh.
Dan juga oksigen tidak bereaksi dengan makanan serta jamu.
i. Aturan Pemakaian Obat
Oksigen dipakai selama >15 jam per hari dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup dan meningkatkan kondisi pasien (Tatro, 2003).
2. Amoxicillin
a. Indikasi
Pengobatan telinga, hidung, tenggorokan, GU, kulit dan struktur kulit, saluran
pernapasan bawah, dan infeksi gonore tanpa komplikasi akut yang disebabkan
oleh strain rentan organisme tertentu.
b. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap penisilin, sefalosporin, atau imipenem. Tidak digunakan
untuk mengobati pneumonia berat, empiema, bakteremia, perikarditis,
meningitis, dan arthritis septik purulen atau selama tahap akut.
c. Dosis
PO ringan sampai infeksi sedang: 500 mg tiap 12 jam atau 250 mg q 8 jam.
Infeksi berat: 875 mg tiap 12 jam atau 500 mg q 8 jam.
d. Mekanisme aksi
Menghambat sintesis mucopeptid dinding sel bakteri.
e. Efek samping
GU: nefritis interstisial (misalnya, oliguria, proteinuria, hematuria, hialin gips,
piuria), nefropati, vaginitis.
f. Interaksi
Kontrasepsi oral: dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral. Tetrasiklin:
Dapat merusak efek bakterisida amoksisilin (Tatro, 2003).
g. Amoxicillin pada kasus ini digunakan sebagai antibiotic guna menangani
bronkietasis.
3. Alopurinol
Allopurinol digunakan untuk menurunkan kadar asam urat di dalam serum dan urin
pada penanganan gout primer dan sekunder. Allopurinol bekerja dengan
menghambat xanthin oksidase, enzim yang bertugas mengubah hipoxanthine
menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat. Pada kasus ini pun allupurinol
digunakan untuk penanganan asam urat dan gout pada pasien.
4. Ambroxol
Ambroksol adalah agen sekretolitik digunakan dalam pengobatan penyakit
pernapasan yang terkait dengan lendir kental atau berlebihan. Ini adalah bahan aktif
dari Mucosolvan, Lasolvan atau Mucoangin. Zat ini adalah obat mucoactive dengan
beberapa properti termasuk tindakan sekretolitik dan secretomotoric yang
memulihkan mekanisme fisiologis clearance saluran pernapasan yang memainkan
peran penting dalam mekanisme alami tubuh pertahanan. Ini merangsang sintesis dan
pelepasan surfaktan oleh pneumocytes tipe II. Surfaktan bertindak sebagai faktor anti-
lem dengan mengurangi adhesi lendir ke dinding bronkial, dalam meningkatkan
transportasi dan dalam memberikan perlindungan terhadap infeksi dan agen
menjengkelkan. Ambroksol diindikasikan sebagai "terapi sekretolitik pada penyakit
bronkopulmonalis berhubungan dengan sekresi lendir lendir abnormal dan
transportasi terganggu. Hal mempromosikan clearance lendir, dahak memfasilitasi
dan memudahkan batuk produktif, yang memungkinkan pasien untuk bernapas secara
bebas dan mendalam. Pada kasus ini ambroksol digunakan untuk menangani
menangani bronkietashis dan symptom batuk yang diderita pasien.
5. Dekstrosa
a. Komposisi
Glukosa = 50 gr/l (5%), 100 gr/l (10%), 200 gr/l (20%).
Kemasan : 100, 250, 500 ml.
b. Indikasi
Sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan hidrasi selama
dan sesudah operasi. Diberikan pada keadaan oliguria ringan sampai sedang (kadar
kreatinin kurang dari 25 mg/100ml).
c. Kontraindikasi
Hiperglikemia.
d. Adverse Reaction
Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat menyebabkan iritasi pada
pembuluh darah dan tromboflebitis.
6. Amiodarone
a. Golongan
Antiaritmia, class III
b. Indikasi
Ventrikular fibrilation (VF) atau hemodynamically-unstable ventricular
tachycardia (VT) yang sulit disembuhkan dengan agen antiaritmia lain.
Amiodaron sering efektif ketika obat-obat lain telah gagal.
c. Mekanisme aksi
Agen antiaritmia kelas III yang menghambat stimulasi adrenergic (bersifat
memblok alpha- dan beta-), memblok kanal sodium, pottasium dan kalsium,
memperpanjang potensial aksi dan periode refrakter dalam jaringan myocardial,
menurunkan konduksi AV dan fungsi sinus node.
d. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap amiodaron, iodine atau senyawa lain dalam formulasi,
disfungsi sinus-node parah, heart block stage 2 dan 3, bradikardi yang
menyebabkan syncope, cardiogenic shock, gangguan kehamilan
e. Efek samping
Fotosensitivitas, gangguan tiroid, hipotensi, bradikardi, neuropati dan alveolitis.
f. Dosis
800 mg/hari (2 x 400 mg)
g. Alasan penggunaan
Untuk mengatasi SVT pasien
7. Dopamin
a. Golongan
Agonis adrenergic
b. Indikasi
Gagal jantung pada pasien dengan hipotensi sistemik yang jelas atau syok
jantung, untuk secara langsung memperbaiki keadaan ginjal yang tidak berfungsi
dengan baik pada pasien yang mengalami permasalahan pada pengeluaran urin.
c. Mekanisme aksi
Menstimulasi reseptor adrenergik dan dopaminergi, dosis rendah menstimulasi
dopaminergik dan memperbaiki renal dan vasodilatasi mesenterik, dosis tinggi
menstimulasi dopaminergik dan beta1-adrenergik dan memperbaiki stimulasi
kardiak dan vasodilatasi renal, dosis besar menstimulasi reseptor alpha-
adrenergik.
d. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap sulfites, pheochromocytoma, ventriculae fibrilation.
e. Efek samping
Ectopic beats, takikardi, nyeri anginal, palpitasi, hipotensi, vasokonstriksi,
headache, nausea dan vomiting, dyspnea, dan poliuria.
f. Dosis
Dosisnya 5 mcg/kg/menit
g. Alasan penggunaan
Untuk mengatasi gagal jantung dan hipotensi sitemik pasien.
8. Levofloksasin
a. Golongan
Antibiotik quinolone
b. Indikasi
Untuk mengobati infeksi akibat pneumonia seperti nosocomial pneumonia,
bronkitis kronik, sinusitis bakterial akut, prostatitis, infeksi saluran kencing,
pyelonephritis akut, infeksi kulit.
c. Mekanisme aksi
Sebagai enantiomer S (-) menghambat DNA-gyrase dalam organisme susceptible
dengan menghambat relaksasi supercoiled DNA dan memicu patahnya rantai
DNA. DNA gyrase (topoisomerase II) adalah suatu enzim bakterial yang penting
karena mempengaruhi struktur superhelical DNA dan penting untuk replikasi
DNA, transkripsi, perbaikan DNA, rekombinan dan transposisi.
d. Kontraindikasi
Hipersensitive terhadap levofloksasin dan komponen lain dalam formulasi atau
terhadap quinolone lain.
e. Efek samping
Nyeri dada, edema cardiovaskuler, headache, insomnia, dizziness, fatigue, nyeri,
gangguan indra perasa, nausea, diare, konstipasi, nyeri abdominal, dispepsia,
vomiting, faringitis, dyspnea.
f. Dosis
500 mg sehari sekali
g. Alasan penggunaan
Sebagai antibiotik untuk bronkiektasis
9. Triamsinolon
a. Golongan
Kortikosteroid
b. Mekanisme aksi
Mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi dari plimorfonuklear leukosit dan
mengurangi peningkatan permeabilitas kapiler, menekan sistem imun dengan
mengurangi aktivitas dan volume dari sistem limfatik, menekan fungsi adrenal
pada dosis tinggi.
c. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap triamsinolon atau komponen lain dalam formulasi,
infeksi fungal sistemik, pengobatan utama pada pasien dengan asma, infeksi
fungal, bakteri atau virus pada mulut atau tenggorokan, cerebral malaria,
idiopatik trombositopenia purpura.
d. Efek samping
pusing, faringitis, facial edema, fotosensitivitas, dismenoria, gangguan
GI,sinusitis, bronkitis, batuk, epistaxis, asma, rinitis.
e. Dosis
5mg
f. Alasan penggunaan
Untuk mengatasi nyeri yang diderita pasien.
10. Metronidazole
a. Indikasi
Untuk perawatan terapi infeksi yang serius yang disebabkan oleh bakteri
anaerob, profilaksis infeksi profofolasis, terapi amebiasis.
b. Mekanisme Kerja
Bakteri atau sel protoplasma dan sintesis DNa, menghambat sel-sel yang
mati.
c. Dosis
Dosis IV 15 mg/kg loading dose dimasukan dalam 1 hr kemudian 7.5 mg/kg
diberikan melalui infuse 1 hr q 6 hr . Dosis maksimal 4 g dalam 24 jam.
d. Interaksi
Dalam kasus ini pemberian metronidazole tidak ada interaksi dengan yang
lainnya.
e. Efek samping
Ataxia, urtikaria, mual, muntah anoreksia, diare (Tatro, 2003).
f. Alasan
Digunakan untuk menangani sepsis.
KIE ( KONSELING,INFORMASI,EDUKASI )
Apoteker memberi informasi tentang penyakitnya
Apoteker mendorong pasien untuk tetap semangat sembuh dan mengurangi beban
stress
Apoteker mengajak pasien untuk teratur dalam mengkonsumsi obat
Apoteker memberi informasi tentang fungsi obat, cara pemakaian obat dan efek
samping obat
Apoteker memberi informasi tentang terapi non farmakologi
Apoteker menjelaskan pentingnya minum obat dengan mengedukasi pasien dan
keluarganya mengenai kemungkinan terjadinya kekambuhan bila pengobatan tidak
dilanjutkan peran serta psikososial
TERAPI NON FARMAKOLOGI
Penurunan berat badan (bagi yang obes)
Menghindari makanan (misalnya yang mengandung purin tinggi) dan minuman
tertentu yang dapat menjadi pencetus gout
Meningkatkan asupan cairan / minum air putih yang cukup yaitu 8-10 gelas perhari
Mengganti obat-obatan yang dapat menyebabkan gout (mis diuretik tiazid)
Terapi es pada tempat yang sakit
Memakai masker hidung dan mulut untuk mengurangi infeksi pada saluran nafas
Konsumsi makanan cukup garam
DAFTAR PUSTAKA
Arora, P., Batuman, V, 2010, Chronic Kidney Disease. Medscape.
Aru W. Sudoyo. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid II, Edisi IV. Jakarta :
FKUI
Atul B. Mehta, A. Victor Hoffbrand. 2006. At a Glance Hematologi .Edisi
2.Jakarta:Erlangga
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC
Dellinger R. Phillip.2013. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, vol 41 no 2: 580-637.
Dipiro, J.T., et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook. Sixth edition. The Mc. Graw Hill
Company. USA
Dipiro., et al. 2009. Pharmacoterapy Handbook Seventh Edition. United States: The
McGraw-Hill Companies.
Doherty, Michael; 2009, New insights into the epidemiology of gout, Available from:
rheumatology.oxfordjournals.org [Accessed May 17, 2011]
Elizabeth. 2001. Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Harris, M.D., Hall, W., Siegel, L.B., Alloway, J.A., 1999, Gout And Hyperuricemia, Am
Fam Physician, Feb 15;59(4):925-934.
Howlett, J. G., 2008, Current Treatment Options For Early Management In Acute
Decompensated Heart Failure, Can J Cardiol, Vol 24, Suppl B July 2008, 9B-14B.
Johnstone A. Gout – the disease and non‐drug treatment. Hospital Pharmacist 2005;
12:391‐394.
Khanna, D., John D. F., Puja P. K., Sangmee B., Manjit K. S., Tuhina N., Michael H. P.,
Joan M., Susan L., Shraddha P., Marian K., Maneesh G., Fernando P., Will T.,
Frederic L., Hyon C., Jasvinder A. S., Nicola D., Sanford K., Vandana N., Danielle
J., Steven A. Y., Blake R., Gail K., Charles K., Gerald L., Daniel E. F., N.
Lawrence E., Brian M., H. Ralph S., Mark R., Neil W., and Robert T., 2012,
American College Of Rheumatology Guidelines For Management Of Gout. Part 1:
Systematic Nonpharmacologic And Pharmacologic Therapeutic Approaches To
Hyperuricemia, Arthritis Care & Research, Vol. 64, No. 10, October 2012, pp
1431–1446
Lacy, C. F., Amstrong, L., L., Goldman, R., and Lance, L., L., 2009, Drug Information
Handbook, Lexi-comp’s Reference Handbook.
Luk A J and Simkin PA. 2005. Epidemiologi of Hyperuricemia and Gout, The American
Journal of Managed Care, Vol 11, : 11 : 435 – 442.
Noer,S et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
O’Regan AW, Berman JS. Baum’s, 2004, Textbook of Pulmonary Disease 7 th Edition
Editor James D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins, Philadelphia, hal
255-274.
Purwaningsih, Tinah. 2010. Faktor-Faktor Resiko Hiperurisemia pada Studi Kasus di
Rumah Sakit Umum Kardinah Kota Tegal. Available from:
http://.undip.ac.id/24334. diakses tanggal 28 September 2013.
Putra, Tjokorda Raka. 2007. Hubungan Konsumsi Purin dengan Hiperurisemia pada
Suku Bali di Daerah Pariwisata Pedesaan. J Peny Dalam, Vol.8 No.1.
Syukri, Maimun,.2007. Asam Urat dan Hiperurisemia. Majalah Kedokteran Nusantara.
Vol 40 : 52-55
Rahmatullah P, 2001, Bronkiektasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
Ketiga,
Editor Slamet Suyono, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal 861-871.
Smeltzer SC., Bare BG., . 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta