laporan kp geolistrik
DESCRIPTION
Laporan KP GeofisikaTRANSCRIPT
ABSTRAK
Geolistrik merupakan salah satu metode eksplorasi geofisika untuk menyelediki keadaan bawah permukaan dengan menggunakan sifat-sifat kelistrikan batuan. Beberapa karakteristik batuan yang dicari diantaranya adalah permeabilitas, porositas, konduktivitas dan resistivitas. Metode geolistrik dapat digunakan untuk menentukan bidang gelincir suatu lapisan, hal ini dapat terlihat dari perbedaan kontras resistivitas antar lapisan. Penelitian ini bertujuan untuk investigasi bidang gelincir di daerah Pasir Ipis, Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini terdiri dari lima lintasan dengan panjang 270 m dengan spasi antar elektroda 10 m dan jarak antar lintasan 10 m. Pengolahan data menggunakan software AGI Supersting Adminstrator versi 1.3.2.172 dan software Res2DInv versi 3.53. Hasil dari pengolahan data tersebut berupa penampang resistrivitas 2D. Dari hasil pengolahan data dapat dilihat daerah penelitian memiliki kedalaman antara 40 – 60 m.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG.
. Geolistrik merupakan salah satu metode eksplorasi geofisika untuk
menyelediki keadaan bawah permukaan dengan menggunakan sifat-sifat
kelistrikan batuan dan bagaimana cara mendeteksinya dipermukaan bumi.
Beberapa karakteristik batuan yang dicari diantaranya adalah permeabilitas,
porositas, konduktivitas dan resistivitas. Sifat – sifat suatu formasi batuan dapat
digambarkan oleh tiga parameter dasar yaitu konduktivitas listrik, permeabilitas
magnet dan permitifitas dielektrik. Sedangkan untuk metode geolistrik parameter
yang diukur dalam pengukuran diantaranya adalah potensial, arus dan medan
elektromagnetik yang terjadi baik secara alamiah ataupun akibat injeksi arus
kedalam bumi.
Pengukuran geolistrik dapat digunakan untuk pemetaan geoteknik.
Pemetaan geoteknik dipandang penting, dilihat dari salah satu fungsinya yaitu
mengurangi dampak yang ditimbulkan seperti tanah longsor. Tanah longsor
merupakan pergerakan massa tanah dan batuan yang terjadi akbiat kondisi geologi
yang rawan dan aktifitas manusia. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi nila gaya
pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan
umumnya dipengaruhi oleh batuan dan kepadatan tanah, sedangkan gaya
pendorong dipengaruhi besarnya sudut lereng, air, beban serta beran jenis tanah
batuan. Pada pengukuran ini metode geolistrik digunakan untuk menentukan
bidang gelincir yang diduga sebagai penyebab terjadinya tanah longsor ditinjau
dari nilai resistivitas pada tiap lapisan dan untuk mengetahui struktur dan
perlapisan tanah bawah permukaan di daerah Pasir Ipis, Desa Jayagiri, Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Selain itu, kerja praktek merupakan prasyarat mahasiswa sebelum
melakukan tugas akhir dalam mencapai gelar Strata 1 berdasarkan kurikulum
Program Studi Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
2
Universitas Padjadjaran. Kerja praktek dilakukan sesuai dengan keahlian dan ilmu
bidang studi; baik secara teoritis maupun aplikatif yang dapat diaplikasikan pada
dunia kerja pada suatu instansi atau perusahaan tertentu
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
1.2.1. Maksud
Maksud dari pelaksanaan kerja praktek ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui prosedur dalam akuisisi data geolistrik dan
mengolah data geolistrik.
2. Mahasiswa dapat mengenali perangkat yang digunakan dalam proses
akuisisi data geolistrik.
3. Mahasiswa dapat mengenali perangkat lunak (software) yang digunakan
dalam pengolahan data geolistrik.
1.2.2. Tujuan
1. Memperoleh data geolistrik dengan kualitas yang baik.
2. Memperoleh hasil pengolahan yang dapat menggambarkan konfigurasi
bawah permukaan yang sebenarnya dengan melakukan pengolahan data
geolistrik yang telah ditentukan.
3. Mengetahui bidang gelincir tanah longsor di daerah Pasir Ipis, Desa
Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
4. Melengkapi salah satu syarat yang berlaku di universitas.
1.3 Lokasi Pengukuran
Lokasi akuisisi data geolistrik dilakukan di daerah Pasir Ipis, Desa
Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dasar metode geolistrik
Dalam geofisika eksplorasi terdapat beberapa metode geofisika yang dapat
dimanfaatkan untuk mempelajari sifat-sifat fisika dan struktur kerak bumi yang
bertujuajn untuk mencari sumber daya alam. Salah satu metode geofisika tersbut
diantaranya metode geolistrik. Umumnya, metoda ini baik untuk eksplorasi
dangkal, sekitar 150 m.
Metoda geolistrik merupakan salah satu metoda geofisika yang
mempelajari sifat aliran listrik di dalam bumi dan bagaimana cara mendeteksinya
di permukaan bumi. Parameter yang diukur dalam pengukuran geolistrik,
diantaranya: potensial, arus, dan medan elektromagnetik yang terjadi baik secara
alamiah ataupun akibat injeksi arus ke dalam bumi. Ada beberapa metoda
geolistrik, yaitu: resistivitas (tahanan jenis), Induced Polarization (IP), Self
Potensial (SP), magnetotelluric, dan lain-lain.
Dalam metoda geolistrik resistivitas, arus listrik diinjeksikan ke dalam
bumi melalui dua elektroda arus, beda potensial yang terjadi diukur melalui dua
elektroda potensial. Dari hasil pengukuran arus dan beda potensial untuk setiap
jarak elektroda yang berbeda kemudian dapat diturunkan variasi harga hambatan
jenis masing-masing lapisan bawah titik ukur.
Pengukuran Geolistrik dengan menggunakan metode resistivitas bertujuan
untuk menetapkan distribusi potensial listrik pada permukaan tanah. Hal tersebut
secara tidak langsung juga merupakan penentuan resisitivitas lapisan tanah.
Dalam metode geolistrik resistivitas arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi
melalui dua elektroda arus , beda potensial yang terjadi diukur melalui dua
elektroda potensial. Dari hasil pengukuran arus dan beda potensial untuk setiap
jarak elektroda yang berbeda kemudian dapat diturunkan variasi harga hambatan
jenis masing – masing lapisan dibawah titik ukur. Metoda geolistrik digunakan
4
untuk eksplorasi mineral, reservoar air, geothermal, gas biogenik, kedalaman
batuan dasar, dan lain-lain.
2.1.1 Perumusan dasar geolistrik Resistivitas
1. Hukum Ohm
Hukum Ohm menyatakan hubungan antara nilai tahanan yang sebanding
Dengan nilai potensial dan berbanding terbalik dengan nilai arus, dimana nilai
tahanan memiliki satuan Ohm, nilai potensial memiliki satuan volt dan arus
memiliki satuan ampere.
R=VI
Dengan : R = tahanan (Ohm)
V = Beda potensial (Volt)
I = arus (Ampere)
2. Arus listrik searah
Konsep mengenai arus listrik searah merupakan konsep arus listrik I yang
melewati suatu medium dengan luas penampang A, Panjang medium L dan
memiliki beda potensial ΔV antara kedua ujungnya. Secara matematis dituliskan
sebagai :
I≈ AL
ΔVatau
I=σAL
ΔV
Dengan σ=1ρ=konstan
Kedua konsep tersebut dapat digabungkan secara matematis menjadi :
I= AΔV
ρL (2.5)
Dengan : ΔV : Beda potensial antara kedua ujung kawat (Volt)
ρ : tahanan jenis bahan (Ohm m)
L : Panjang bahan
5
V2V1
LGambar 2.1 : Arus listrik searah
I
σ : Konduktivitas (siemens/meter)
Harga tahanan jenis batuan ditentukan oleh masing – masing tahanan jenis
unsur pembentuk batuan. Hantaran listrik pada batuan yang ada didekat
permukaan tanah , sebagian besar ditentukan oleh distribusi elektrolit yang ada
dalam pori – pori batuan tersebut. Selain dari jenis batuan dan jumlah masing –
masing unsure pembentuk batuan , tahanan jenis ditentukan juga oleh factor –
factor :
1. Kesarangan (Porositas)
2. Hantaran jenis / tahanan jenis cairan yang ada dalam pori – pori batuan
3. Temperatur
4. Permeabilitas atau kesanggupan suatu bahan yang mempunyai pori – pori
untuk mengalirkan cairan.
2.1.2 Potensial dalam medium homogen
Jika suatu arus mengalir dalam medium yang homogen isotropik dan dA
merupakan elemen permukaan, J adalah rapat arus dalam ampere/meter2, maka
arus tersebut dapat dinotasikan sebagai J .Da . Berdasarkan persamaan
2.5 ,maka :
IA
=σΔVL (2.6)
6
Maka rapat arus menjadi
J=σ E (2.7)
Dengan E (volt/meter) dan σ adalah konduktivitas bahan (siemens/meter).Telah
diketahui bahwa medan listrik merupakan gradient dari potensial scalar,
E=−∇ V (2.8)
Dengan V dalam volt, maka persamaan 2.7 menjadi :
J=−σ ∇ V (2.9)
Jika muatan tersebut berada pada suhu ruangan dengan volume tertutup dengan
luas permukaan A, maka kondisi tersebut dapat ditulis :
∫AJ .dA=0
(2.10)
Menurut teorema Gauss yang menyatakan bahwa divergensi integral volume dari
suatu arus dalam suatu luasan akan sama dengan total muatan yang dilingkupi
oleh luasan tersebut, dan dinyatakan dengan :
∫v∇ . J dV =0
(2.11)
Dengan V adalah volume yang melingkupi muatan tersebut.
Dengan mensubstitusikan persamaan (2.9) ke persamaan (2.11) maka didapat :
∇ . J=∇ .∇ (σV )=0
Sehingga
∇ σ .∇ V +σ ∇ 2V=0
Jika σ bernilai konstan maka akan didapatkan persamaan laplace berikut :
8
∇2V =0 (2.12)
2.1.3 Tahanan jenis semu (apparent electrical resistivity)
Tahanan jenis semu (apparent electrical resistivity) ρa dari suatu formasi
geologi diperoleh dari hubungan berikut ini:
ρa=R ( AL )
dimana R adalah tahanan terhadap arus listrik searah I (yang menyebabkan
terjadinya perbedaan potensial V) pada blok satuan dari material batuan dengan
luas penampang A dan panjang L. Di dalam material yang jenuh air, ρa
tergantung pada kepadatan dan porositas dari material dan salinitas dari fluida
yang terkandung di dalam material ini. Hukum Ohm merupakan hukum dan
konsep dasar dari cara pendugaan geolistrik tahanan jenis ini. Dengan asumsi
bahwa bumi bersifat homogen isotropik, resistivitas yang terukur merupakan
resistivitas sebenarnya dan tidak bergantung pada spasi elektroda. Pada
kenyataannya , bumi terdiri dari lapisan – lapisan dengan ρ
berbeda – beda,
sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan – lapisan
tersebut. Karenanya, harga resistivitas yang diukur seolah – olah merupakan harga
resistivitas untuk satu lapisan saja (terutama untuk spasi yang lebar). Resistivitas
semu dirumuskan dengan :
ρa=k (∆ VI )
Dimana K adalah faktor konfigurasi dan bernilai :
K= 2π
( 1r 1
− 1r2
)−( 1r3
− 1r 4
)Harga tahanan semu bergantung pada faktor geometri atau dengan kata
lain bergantung pada susunan elektroda yang digunakan.
9
A
I
L
0 NM B
a
bb
Sumber
Dalam pendugaan tahanan jenis digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Di bawah permukaan tanah terdiri dari lapisan-lapisan dengan ketebalan
tertentu.
2. Bidang batas antar lapisan adalah horizontal.
3. Setiap lapisan dianggap homogen isotropis.
Yang dimaksud dengan homogen adalah nilai tahanan jenisnya sama dan
isotropis adalah tahanan jenisnya akan menyebar ke segala arah dengan harga
yang sama.
2.1.4 Susunan (Konfigurasi) elektroda dalam pengukuran tahanan jenis
Ada beberapa macam susunan (konfigurasi) elektroda dalam pengukuran
tahanan jenis, antara lain :
1. Konfigurasi Schlumberger
Dalam susunan elektroda Schlumberger ini, jarak antara dua elektroda arus
A dan B dibuat lebih besar daripada jarak elektroda potensialnya M dan N.
Umumnya pada susunan ini elektroda – elektroda diletakkan satu garis lurus
seperti yang ditunjukan oleh gambar dibawah ini :
Gambar 2.2 Susunan Elektroda Schlumberger
11
Berdasarkan besaran fisis yang diukur susunan elektroda schlumberger ini
bertujuan untuk mengukur gradien potensial listriknya. Besar faktor geometris
untuk susunan elektroda schlumberger ini sesuai dengan persamaan :
K= 2π
( 1r 1
− 1r2
)−( 1r3
− 1r 4
)AM=BN =r1=r4=b−a /2AN=BM=r2=r1=b+a /2
sehingga :K=π ( b2
a−a
4 )
Jadi, ρa , s=π ( b2
a−a
4 ) ΔVI
2. Konfigurasi wenner
Dalam praktek aktifitas pendugaan geolistrik di lapangan, suatu arus listrik
yang besarnya diketahui dilewatkan dari suatu alat duga geolistrik ke dalam tanah,
yakni melalui sepasang elektrode arus yang dipasang, katakanlah di titik-titik A
dan B. Kemudian selisih potensialnya diukur, yaitu melalui sepasang elektrode
potensial yang ditancapkan di titik-titik M dan N. Titik-titik A, M, N, B
diusahakan berada dalam suatu garis lurus. Metode pendugaan yang
menggunakan susunan elektrode aturan Wenner (yang merupakan bentuk khusus
dari susunan Schlumberger dengan mengambil a = MN = 1/3 AB). Setiap kali
selesai dilakukan pengukuran, elektrode arus (C) dan elektrode potensial (P)
bersama-sama digerakkan atau dipindahkan dengan jarak pindah sesuai dengan
kedalaman duga menurut aturan tersebut. Jarak atau spasi elektrode-elektrode
menentukan kedalaman penetrasi arus listrik ke dalam tanah. Untuk setiap kali
pengukuran, nilai ρa dihitung atas dasar hasil pengukuran perbedaan potensial,
besar arus yang dikenakannya dan spasi dari elektrode-elektrode tersebut. Panjang
bentangan diatur sekitar 500 m untuk kedalaman duga sekitar 150 m. Dengan
12
menerapkan susunan elektrode Wenner ini (lihat gambar 1), bisa diperoleh harga-
harga serta hubungan antara nilai tahanan jenis semu (apparent specific
resistivity) ρa dengan besaran fisika R (tahanan listrik) dengan menggunakan
rumus: MN
ANAMK
.
, yang berlaku untuk konfigurasi Schlumberger (Astier, 1971)
Untuk konfigurasi Wenner berlaku ketentuan: AN = 2 MN; AM = MN, sehingga :
MNK .2
Nilai tahanan jenis semu dinyatakan berdasarkan hubungan berikut ini:
RaI
VMN
I
VKa ..2..2
Keterangan :
ρa : nilai tahanan jenis semu (ohm meter) pada kedalaman duga
ΔV : selisih atau perbedaan potensial (milivolt)
I : arus listrik (miliamper)
K : faktor geometri lapangan dari konfigurasi Wenner
13
V I
aa
a
V I
a
V I
a : jarak antara kedua elektrode potensial, yaitu MN dan jarak antara
kedua elektrode arus AB adalah L = 3a
R : tahanan yang terbaca pada alat (ohm)
3. Konfigurasi dipole-dipole
Untuk konfigurasi ini: k=n(n+1)(n+2 )πa
4. Konfigurasi pole-dipole
14
V I
5. Konfigurasi pole-pole
2.1.5 Pengukuran tahanan jenis
Berdasarkan tujuannya, metode resistivitas dibagi 2 :
a. Sounding, dipakai bila ingin mendapatkan distribusi hambatan jenis
listrik bumi terhadap kedalaman dibawah suatu titik di permukaan bumi.
Disini spasi antara elektroda dengan titik pengukuran diperbesar secara
berangsur-angsur.
b. Mapping, dipakai untuk mengetahui variasi hambatan jenis bumi secara
lateral mauoun horizontal. Kedalaman dibawah permukaan yang
tersurvey adalah sama. Dalam pengukuran ini jarak antar elektroda
dipertahankan tetap dan secara bersama-sama digeser sepanjang lintasan
pengukuran.
Jadi, Metode mapping merupakan metode yang bertujuan mempelajari
variasi resistivitas lapisan bawah permukaan secara horisontal, Sedangkan
sounding dalam arah vertikal. Pada mapping, elektroda digeser namun dengan
jarak yang tetap, sedangkan sounding semakin menjauhi titik tengah.
Dalam metode mapping dengan konfigurasi wenner, elektrode arus dan
elektrode potensial mempunyai jarak yang sama yaitu C1P1= P1P2 = P2C2
sebesar a. Jadi jarak antar elektrode arus adalah tiga kali jarak antar elektrode
potensial. Perlu diingat bahwa keempat elektrode dengan titik datum harus
membentuk satu garis. Pada sounding, batas pembesaran spasi elektrode
tergantung pada kemampuan alat. Makin sensitif dan makin besar arus yang
15
dihasilkan alat maka makin leluasa dalam memperbesar jarak spasi elektrode
tersebut, sehingga makin dalam lapisan yang terdeteksi atau teramati. Sedangkan,
Pada resistivitas mapping, jarak spasi elektrode tidak berubah-ubah untuk setiap
titik datum yang diamati (besarnya a tetap).
Langkah lanjut jika pada Metoda Sounding adalah memplot harga tahanan
jenis semu hasil pengukuran versus spasi elektroda pada grafik log-log. Survei ini
berguna untuk menentukan letak dan posisi kedalaman benda anomali di bawah
permukaan.
Gambar 2.4.1 Metode Sounding
Sedangkan, metoda mapping digunakan untuk menentukan distribusi
tahanan jenis semu secara vertikal per kedalaman. Pengukurannya dilakukan
dengan cara memasang elektroda arus dan potensial pada satu garis lurus dengan
spasi tetap, kemudian semua elektroda dipindahkan atau digeser sepanjang
permukaan sesuai dengan arah yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk setiap
posisi elektroda akan didapatkan harga tahanan jenis semu. Dengan membuat peta
kontur tahanan jenis semu akan diperoleh pola kontur yang menggambarkan
adanya tahanan jenis yang sama.
16
V I
ana
a
Gambar 2.4.2 Metode Mapping
dan yang terakhir adalah resistivity 2D, cara ini merupakan gabungan
antara mepping dengan sounding. Dimana pengukuran sounding dilakukan pada
setiap titik lintasan secara lateral atau lintasan mapping dilakukan setiap
kedalaman. Konfigurasi elektroda yang digunakan diantaranya adalah konfigurasi
Weener, Dipole-Dipole, Schlumberger dan Pole-Dipole.
2.1.6 Alat Untuk Pengukuran Resistivitas
1. Power Source
Komponen yang dibutuhkan untuk melakukan pengukuran resistivitas
adalah sebuah power source, meters untuk mengukur arus dan tegangan,
elektroda, kabel dan kumparan. Kita dapat menggunakan power dc atau power ac
dengan frekuensi rendah, dianjurkan dibawah 60 Hz.
2. Elektroda dan Kabel
Dengan sumber power ac, semua elektroda yang terbuat dari baja,
alumunium atau kuningan; stainless steel merupakan kombinasi kekuatan terbaik
17
dan tahan terhadap korosi. Elektroda logam paling tidak harus mempunyai
panjang 0,5 m sehingga bisa ditancapkan dalam tanah beberapa cm untuk kontak
listrik yang baik. Pada permukaan yang sangat kering, kontak ini bisa diperbaiki
dengan memberi air pada elektroda.
Hubungan kabel, yang harus diisolasi seringan mungkin, tersobek pada
gulungan portable. Isolasi plastic lebih dapat menahan daripada isolasi karet,
melawan aberasi dan kelembapan; akan tetapi beberapa plastik dapat rusak dalam
cuaca dingin.
3. Resistivity Meter
Resisitivity meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur geolistrik
tahanan jenis. Sedangkan alat yang digunakan dalam pengukuran geolistrik
Induced polarization (IP) yaitu IP meter. Di jurusan Fisika Unpad terdapat tiga
alat untuk mengukur geolistrik, yaitu: Resisitivity Meter Naniura NRD22S dan
Naniura NRD22 serta Supersting Res dan IP Meter R8 Multichannel.
Resistivity Meter Naniura NRD22S dan Naniura NRD22 merupakan alat
ukur geolistrik konvensional yang masih menggunakan 1 channel (gambar 1.1).
data yang dipeoleh dari pengukuran dengan menggunakan Resistivity Naniura
NRD22S yaitu harga beda potensial (V) dan arus (I). Data V dan I ini kemudian
diolah untuk mendapatkan harga tahanan jenis semu (ρ apparenth). Resistivity
Meter NRD22S/NRD22 banyak digunakan untuk pengukuran sounding 1D,
sedangkan untuk pengkuran 2D relatif masih jarang digunakan karena harus
membuat dahulu geometri pengukuran (stacking chart), tabel akuisisi, membuat
format konversi data lapangan ke format data software (dilakukan secara manual),
dan pelaksanaan pengukuran di lapangan yang cukup lama. Misalnya untuk
pengukuran geolistrik 2D dengan panjang lintasan 250 meter dengan
menggunakan konfigurasi Wenner, waktu yang dibutuhkan sekitar 4 – 6 jam
tergantung kondisi medan di lapangan.
18
Gambar 2.5 Pengenalan alat resistivity meter
Spesifikasi Resistivity Meter Naniura NRD22S terdiri dari dua bagian,
yaitu bagian pemancar (transmitter) dan penerima (receiver).
Pemancar (transmitter) terdiri dari:
Catu daya (power supply) : 12/24 V, minimal 6 AH
Daya keluar (output power) : 200 W untuk catudaya 12 V dan
300 W untuk catudaya 24 V
Tegangan keluar (output voltage) : 350 V maksimum untuk catu daya
12V dan 450V untuk catu daya 24 V
Arus maksimum (max current) : 2000 mA
Ketelitian arus (current accuracy) : 1 mA
Sistem Pembacaan : digital
Catu daya digital meter : 9 V baterai kering
Fasilitas : current loop indicator
19
Sedangkan bagian penerima (receiver) terdiri dari:
Impedansi maksimum (input impedance) : 10 Mohm
Batas ukur pembacaan (range) : 0.1 mV – 500 V
Ketelitian (accuracy) : 0.1 mV
Kompensator kasar : 10 x putar
Kompensator halus : 1 x putar
Sistem pembacaan : digital
Catu daya digital meter : 3V(dua buah baterai kering
AA)
Fasilitas pembacaan : hold (data disimpan di
memory)
Massa alat : 10 kg
Supersting Res dan IP Meter R8 Multichannel merupakan alat yang biasa
digunakan untuk mengukur geolistrik tahanan jenis 1D/2D/3D dan geolistrik
induced polarization (IP) 2D/3D. Data pengukuran yang diperoleh dari alat ini
sudah merupakan harga tahanan jenis semu (ρ apparenth) yang tersimpan di
memori alat. Alat ini terdiri dari 1 switch box, 28 elektroda, bentangan kabel
maksimal 945 m (gambar 1.2). Di Asia Tenggara alat Supersting Res dan IP meter
R8 Multichannel ini hanya ada di Unpad dan Pusat Survey Geologi (PSG).
Beberapa kelebihan pengukuran resistivity 2D/3D dan IP 2D/3D dengan
menggunakan alat geolistrik Supersting Res dan IP Meter Multichannel, yaitu:
Pengukurannya relatif lebih cepat dibandingkan menggunakan Resistivity
Meter Naniura NRD22S atau IP meter konvensional. Dengan menggunakan
Supersting Res dan IP IP R8, pengukuran dengan panjang lintasan 810 – 945
m dengan tiga konfigurasi membutuhkan waktu sekitar 4 – 5 jam tergantung
kondisi medan.
Tidak perlu melakukan konversi data secara manual yang membutuhkan
waktu cukup lama karena sudah tersedia software AGIS Admin untuk
melakukan konversi data pengukuran tersebut.
20
Hasil pengukuran bisa langsung di lapangan (quick look).
2.1.7 Intepretasi data resistivitas
Intepretasi data pendugaan resistivitas dibagi menjadi dua macam, yaitu
interpratasi langsung dan interpretasi tidak langsung.
Intepretasi Tidak langsung
Intepretasi tidak langsung dilakukan denagn cara kita membuat model
dulu lalu dicocokan dengan data dari lapangan sedangkan dalam intepretasi
langsung data lapangan diolah sedemikian sehingga kita bisa memperoleh
parameter lapisan langsung dari data lapangan.
Intepretasi tidak langsung dilakukan dengan cara kita membuat model
lapisan tanah dari model itu dihitung fungsi resistivitas semu lalu dicocokan
dengan harga resistivitas semu hasil pengukuran dari lapangan yang disebut curve
matching . Dalam curve matching fungsi resistivitas semu yang dihitung tersebut
berupa kurva-kurva teoritis, sehingga kita tinggal mencocokan kurva – kurva
teoritis tersebut dengan kurva resistivitas semu dari lapangan. Harga atau nilai
dari tahanan jenis lapangan (ohm meter) pada kedalaman duga (m) diplot terhadap
jarak spasi elektrodenya pada suatu kertas grafik log-log, yang membentuk kurve
atau garis-garis lengkung. Untuk tujuan interpretasi stratigrafi, maka kurve hasil
lapangan ini dibandingkan dengan kurve yang sudah baku (standard curve) dan
sudah diterbitkan. Kurve-kurve ini merupakan model teoritis untuk suatu geometri
lapisan-lapisan yang dibuat secara sederhana.
Fungsi resistivitas semu dapat dinyatakan sebagai fungsi dari setengah
bentangan elektroda arus per tebal lapisan pertama , yaitu :
ρa=ρ1 f ( AB2 d1
)Dimana : ρa = Resistivitas lapisan pertama
AB /2 = Bentangan elektroda arus
21
d1 = Tebal lapisan pertama
Dalam fungsi resistivitas semu tersebut terkandung semua informasi parameter
lapisan. Harga – harga batas diperoleh untuk AB/2 besar dan AB/2 kecil, untuk
AB/2 besar kurva resistivitas semu akan menuju harga resistivitas yang terdalam
sedangkan untuk AB/2 kecil akan menuju resistivitas lapisan teratas. Jika ρa
dilukiskan terhadap AB/2 d1 dengan membuat parameter lapisan tetap akan
diperoleh suatu kurva untuk parameter – parameter lapisan tertentu.
Penafsiran Data Lapangan dengan Metoda Pencocokan Kurva
Interpretasi geolistrik resistivity dapat dilakukan dengan metoda
pencocokan kurva (curve matching / the auxiliary point method) yang bisa
dilakuakn secara manual ataupun komputerisasi. Secara manual bisa dilakukan
dengan menggunakan kurva matching dan kertas bilog, secara komputerisasi
dapat dilakukan dengan menggunakan program Resint, Resis, Resix, Resty, dan
lain-lain.
Dalam pengukuran dengan mengggunakan metoda geolistrik resistivity,
hasil pengukurannya masih merupakan tahanan jenis semu. Tahanan jenis terukur
diplot sebagai fungsi jarak elektroda memiliki bentuk yang sama dengan lengkung
teoritik jika diplot dalam skala yang sama. Lengkung ini dapat dibandingkan
langsung dengan lengkung teoritik dengan cara superposisi dengan sumbu tegak
dan datar, dengan menjaga agar kedua lengkung tersebut tetap sejajar. Kurva
lapangan ini menggmabarkan susunan batuan yang ada di bawah permukaan.
Dalam melakukan interpretasi kurva lapangan dilakukan dengan
mencocokannya terhadap kurva induk dua lapis (teoritik). Untuk interpretasi
kurva lapangan yang terdiri dari beberapa lapisan dapat digunakan kurva induk
dua lapis dan diperlukan kurva bantu. Kurva bantu diturunkan secara reduksi
dimana anggapan bahwa lapisan-lapisan bumi yang homogen dan isotropis diganti
dengan suatu lapisan fiktif dengan ketebalan d dan harga tahanan jenisnya ρa .
22
AB/2
aTipe - H
a
AB/2
Tipe - K
Tipe - A
aaAB/2AB/2
Tipe - Q
KURVA BANTU
Macam-macam kurva bantu:
1. Kurva batu tipe A : bentuk kurva monoton baik. Bentuk kurva semacam
ini dapat dihubungkan dengan perubahan resistivitynya ρ1< ρ2< ρ3 .
2. Kurva bantu tipe H : kurva lapangan mempunyai bentuk yang
mengandung minimum. Hala ini dihubungkan dengan adanya urutan tiga
lapisan yang resistivitasnya berubah menurut: ρ1> ρ2< ρ3 .
3. Kurva bantu tipe K : kurva lapangan mempunyai bentuk yang
mengandung maksimum, dan dihubungkan dengan adanya uruten tiga
lapisan resistivitasnya berubah menurut: ρ1< ρ2> ρ3 .
4. Kurva bantu tipe Q : tipe kurva bantu ini kebalikan dari kurva tipe A,
bentuknya monoton turun dan dapat dihubungkan dngan perubahan
keadaan resistivitasnya dimana: ρ1> ρ2> ρ3 .
23
2.2 Res2Dinv
Res2dinv adalah program komputer yang secara automatis menentukan
model resistivity 2 dimensi (2-D) untuk bawah permukaan dari data hasil survey
geolistrik (Griffithsand Barker 1993). Model 2-D menggunakan program inversi
dengan teknik optimasi least-square non linier dan subroutine dari pemodelan
maju digunakan untuk menghitung nilai resistivitas semu dengan teknik finite
difference dan finite element.
Data hasil survei geolistrik disave dengan ekstensi *.dat dengan data
dalam file tersebut tersusun dalam order sebagai berikut :
Line 1 – Nama dari garis survei
Line 2 – Spasi elektroda terpendek
Line 3 – Tipe pengukuran (Wenner = 1, Pole-Pole =2, Dipole-dipole=3, Pole-
dipole = 4, Schlumberger = 7)
Line 4 – Jumlah total datum point
Line 5 – Tipe dari lokasi x untuk datum point. Masukkan 0 bila letak
elektroda pertama diketahui. Gunakan 1 jika titik tengahnya
diketahui.
Line 6 – Ketikkan 1 untuk data IP dan 0 untuk data resistivitas
Line 7 – Posisi x, spasi elektroda, (faktor pemisah elektroda (n) untuk dipole-
dipole, pole-pole, dan Wenner-Sclumberger) dan harga resistivitas
semu terukur pada datum point pertama
Line 8 – Posisi x, spasi elektroda dan resistivitas semu yang terukur untuk
datum point kedua
Dan seterusnya untuk datum point berikutnya. Setelah itu diakhiri dengan empat
angka 0.
24
2.3 Pengenalan Gerakan Tanah
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara lempeng itu maka terbentuk daerah penunjaman memanjang di sebelah Barat Pulau Sumatera, sebelah Selatan Pulau Jawa hingga ke Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah Utara Kepulauan Maluku, dan sebelah Utara Papua. Konsekuensi lain dari tumbukan itu maka terbentuk palung samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunungapi, dan sebaran sumber gempabumi. Gunungapi yang ada di Indonesia berjumlah 129. Angka itu merupakan 13% dari jumlah gunungapi aktif dunia. Dengan demikian Indonesia rawan terhadap bencana letusan gunungapi dan gempabumi. Di beberapa pantai, dengan bentuk pantai sedang hingga curam, jika terjadi gempabumi dengan sumber berada di dasar laut atau samudera dapat menimbulkan gelombang Tsunami.
Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan gunungapi. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah pelapukan yang berada di atas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor.
PENGERTIAN TANAH LO NGSOR
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap kedalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut
26
menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.
JENIS TANAH LONGSORAda 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.
1. Longsoran TranslasiLongsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
2. Longsoran RotasiLongsoran rotasi adalah bergerak-nya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
3. .Pergerakan BlokPergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
4. Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng
27
yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
5. Rayapan TanahRaya pan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis
6. Aliran Bahan RombakanJenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunungapi. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Akuisisi Data Geolistrik
Pada praktek kerja lapangan ini pengambilan data dilakukan dengan
menggunakan alat SuperSting R8-IP Resistivity meter. Kabel dibentangkan
sepanjang 270 meter dan elektroda sebanyak 28 buah di pasang mengikuti kabel
dengan spasi antar elektroda 10 meter. Selanjutnya elektroda dihubungkan dengan
kabel. Setelah terpasang semua antara SuperSting R8-IP Resistivity meter, kabel
dan elektraoda, sebelum dilakukan pengukuran dilakukan terlebih dahulu
pengecekan apakah semua alat sudah terpasang dengan baik, apabila sudah
terpasang dengan baik maka dilakukan pengukuran sesuai dengan konfigurasi
yang kita inginkan.
3.2 Pengolahan Data Geolistrik
Data pengukuran yang tersimpan di memory alat dipindahkan dari alat ke
komputer dengan cara alat Supersting R8/IP dihubungkan dengan kabel koneksi
ke komputer, lalu dengan menggunakan software AGI Administrator maka data
dapat dipindahkan dari alat ke komputer. Setelah data dipindahkan ke komputer
maka pengolahan data dan pemodelan data dilakukan menggunakan software
AGISSAdmin dan Res2DInv. software AGISSAdmin bertujuan untuk convert
data dari format .stg ke format .dat, sedangkan software Res2DInv
menggambarkan harga resistivitas dari hasil pengukuran di lapangan.
Prosedur pengolahan data menggunakan Res2DInv :
1. Buka software Res2DInv.
2. Pilih file pada toolbar → Read data file → pilih data yang akan diolah →
reading of data file completed → oke.
3. Pilih inversion → least-squares inversion → save data, kemudian akan
muncul penampang nilai resistivitas tanpa data topografi.
4. Pilih display → show invertion result → file → read file with invertion
result → pilih data yang telah disimpan pada prosedur ke tiga.
29
5. Untuk menghilangkan data yang kurang bagus dapat melakukan langkah
berikut. Edit → Exterminate bad datum points → oke.
6. Pilih display section → include topography in model display → oke. Hal
ini bertujuan untuk memasukkan data topografi. Lalu piligh user defined
logarithmic contour interval yang berguna untuk menentukan rentang nilai
resistivitas pada kontur → pilih rentang → oke.
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengukuran
Hasil pengukuran di daerah Pasir Ipis, Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat menggunakan metode geolistrik berupa lima lintasan dengan konfigurasi Wenner dan empat lintasan dengan konfigurasi Dipole – Dipole.
4.2 Pembahasan
Pengolahan data dilakukan menggunakan software AGI Supersting Adminstrator versi 1.3.2.172 dan software Res2DInv versi 3.53. Hasil dari pengolahan data tersebut berupa penampang resistrivitas 2D. Pada penampang – penampang resistivitas di bawah ini masih memiliki error yang cukup tinggi, hal ini dikarenakan dalam akuisisi data masih belum mendapatkan data yang baik, sehingga dalam pengolahan data, nilai resistivitas yang memiliki nilai lebih dari 12.000 Ω dan memiliki nilai negatif tidak dimasukkan oleh mahasiswa. Sehingga data yang diolah semakin sedikit dan memiliki error yang lebih besar karena terdapat data yang hilang.
4.3 Penampang Resistivitas
5.1 Lintasan 1
Gambar 4.1 Penampang resistivitas lintasan 1 konfigurasi Wenner
Analisa : Penampang resistivitas diatas memiliki rentang resistivitas antara 21.2 –
2714 Ω untuk konfigurasi Wenner dengen RMS error sebesar 29.9%. Pada
penampang lintasan satu ini terlihat terdapat beberapa daerah yang berwarna biru
yang berarti memiliki resistivitas kecil yang diduga terdapat akifer namun penulis
31
tidak dapat menentukan daerah rawan longsor dari data penampang diatas
dikarenakan kurang lengkapnya data.
5.2 Lintasan 2
Gambar 4.2 Penampang resistivitas lintasan 2 konfigurasi Wenner
Analisa : Penampang resistivitas diatas memiliki rentang resistivitas antara 23.5 –
3008 Ω untuk konfigurasi Wenner dengen RMS error sebesar 36.2% dan 0.767 –
53.7 Ω. Pada lintasan dua ini selain konfigurasi Wenner terdapat juga konfigurasi
Dipole – Dipole, namun RMS error yang didapat terlalu besar sehingga tidak
dimasukkan oleh penulis. Pada penampang diatas memiliki rentang resistivitas
yang tidak terlalu jauh dengan lintasan satu dan memiliki pola – pola yang hampir
sama dengan lintasan satu.
5.3 Lintasan 3
Gambar 4.3 Penampang resistivitas lintasan 3 konfigurasi Wenner
32
Gambar 4.4 Penampang resistivitas lintasan 3 konfigurasi Dipole – Dipole
Analisa : Penampang resistivitas diatas memiliki rentang resistivitas antara 15.4 –
1971 Ω untuk konfigurasi Wenner dengen RMS error sebesar 56.7% dan 13.3 –
217907 Ω untuk konfigurasi Dipole - Dipole dengan RMS error sebesar 97%,
konfigurasi Dipole – Dipole memiliki error yang sangat tinggi, hal ini dikarenakan
pada konfigurasi Dipole – Dipole data yang diambil kurang baik pada jarak 50
meter dan banyak data yang dihapus, sehingga kurang dapat menggambarkan
permukaan bawah tanah. Namun pada jarak 90 – 240 meter memiliki pola yang
hampir sama dengan lintasan sebelumnya, sehingga diduga terdapat akifer
dibawah permukaan.
33
5.4 Lintasan 4
Gambar 4.5 Penampang resistivitas lintasan 4 konfigurasi Wenner
Gambar 4.6 Penampang resistivitas lintasan 4 konfigurasi Dipole – Dipole
Analisa : Penampang resistivitas diatas memiliki rentang resistivitas antara 21.1 –
864 Ω untuk konfigurasi Wenner dengen RMS error sebesar 21.1% dan 37.9 –
963 Ω untuk konfigurasi Dipole - Dipole dengan RMS error sebesar 26.1%.
Lintasan empat dan lintasan lima merupakan cross line dari lintasan satu, dua dan
tiga. Pada lintasan ini penulis tidak menemukan adanya daerah rawan longor,
dikarenakan daerah yang memiliki resistivitas kecil yang diduga terdapat akifer
didalamnya berada pada dataran yang lebih rendah.
34
5.5 Lintasan 5
Gambar 4.7 Penampang resistivitas lintasan 5 konfigurasi Wenner
Gambar 4.8 Penampang resistivitas lintasan 5 konfigurasi Dipole – Dipole
Analisa : Penampang resistivitas diatas memiliki rentang resistivitas antara 39.7 –
530 Ω untuk konfigurasi Wenner dengen RMS error sebesar 25.2% dan 22.9 –
33625 Ω untuk konfigurasi Dipole - Dipole dengan RMS error sebesar 77.3%.
Nilai error yang didapat cukup besar dikarenakan terdapat titik yang memiliki
nilai resistivitas sangat besar, hal ini mungkin terjadi karena pada saat
pengambilan data, pemasangan elektroda kurang baik.
35
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang
dilalkukan adalah :
1. Pengukuran resistivitas yang dilakukan di daerah Pasir Ipis Desa Jayagiri
Lembang, Kabupaten Bandung Barat terdiri dari lima lintasan dengan
panjang lintasan 270 meter, spasi antar elektroda sepuluh meter dan
jumlah elektroda yang terpasang yaitu 28 buah.
2. Hasil pengolahan data resistivitas di daerah Pasir Ipis berupa penampang
resistivitas 2D menggunakan software Res2Dinv.
3. Dari penampang resistivitas diatas dapat dilihat daerah yang memiliki
resistivitas kecil berada didataran yang lebih rendah sehingga diduga oleh
penulis bukan merupakan rawan longsor, namun tidak menutup
memungkinkan untuk terjadi longsor apabila terjadi hujan secara terus
menerus sehingga bedrock tidak mampu menahan beban diatasnya.
5.2 Saran
1. Dalam melakukan pengambilan data geolistrik diperlukan sifat teliti dan
sabar sehingga didapat data yang baik.
2. Pengukuran lebih baik menggunakan minimal dua metode sehingga dapat
dibandingkan dan memperkecil kesalahan dalam interpretasi.
3. Penyimpanan data hasil pengukuran sebaiknya disimpan dan diatur dengan
baik dana rapih sehingga tidak terdapat data yang hilang ketika pengolahan
data
36
DAFTAR PUSTAKA
Atmoko, Pitoyo Widi, 2012. Penyelidikan Zona Longsor dengan Metode resistivity 2D, GPR, dan Pemboran untuk Mitigasi Bencana Tanah Longsor (Studi Kasus di desa Jombok, kecamatan Ngantang, kabupaten Malang, Indonesia), Universitas Brawijaya
Telford, W.M., Geldart, L.P., Sheriff R.E.1990.Applied Geophysics. CambridgeUniversity Press
37