laporan koas dinas

Upload: pauraranggaz

Post on 14-Oct-2015

207 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

sip

TRANSCRIPT

LAPORAN KEGIATAN PPDHROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINERyang dilaksanakan diBidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang

OlehPaura Rangga Zobda, S.KH130130100111022

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWANPROGRAM KEDOKTERAN HEWANUNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2014i

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWANROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DI BIDANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DINAS PERTANIAN KOTA MALANG

Malang, 3 - 7 Februari 2014

OlehPaura Rangga Zobda, S.KH130130100111022

Menyetujui,

Koordinator Rotasi KesmavetPembimbing Lapang

Prof. Dr. Pratiwi Trisunuwati, drh., MSDrh. Anton Pramujiono

NIP. 19480615197702 2 001NIP. 19691002 199703 1 007

Mengetahui,

Koordinator PPDH

Program Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Aulanniam, drh., DES

NIP. 19600903198802 2 001

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDULiHALAMAN PENGESAHAN iiDAFTAR ISI iiiDAFTAR TABELivDAFTAR GAMBAR vDAFTAR LAMPIRAN viDAFTAR ISTILAH DAN LAMBANG viiBAB 1. PENDAHULUAN 11.1 Latar Belakang 11.2 Rumusan Masalah 21.3 Tujuan21.4 Manfaat 3BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 42.1. Profil Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang 42.2 Kebijakan Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Zoonosis 62.3 Pemeriksaan Hewan Sebelum dan Sesudah Disembelih dan Pemeriksaan Kualitas Bahan-Bahan Asal Hewan 72.3.1 Pemeriksaan Ante mortem 82.3.2 Pemeriksaan Post mortem 92.3.3 Uji Pemeriksaan Kualitas Daging 122.3.4 Uji Pemeriksaan Kualitas Susu 14BAB 3. PELAKSANAAN KEGIATAN163.1 Waktu dan Tempat Kegiatan 163.2 Peserta dan Pembimbing PPDH 163.3 Metode Pelaksanaan Kegiatan 163.4 Jadwal Kegiatan 16BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN184.1 Struktur Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang 194.1.1 Tupoksi Seksi Bina Produksi Peternakan 194.1.2 Tupoksi Seksi Kesehatan Hewan 204.1.3 Tupoksi Seksi Kesehatan Masyarakat Veteriner 4.2 Pencegahan, Pengamatan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Di Kota Malang 214.2.1 Chronic Respiratory Disease (CRD) 244.2.2 Coccidiosis 264.3 Pengawasan Dan Pemeriksaan Kesehatan Pada Hewan Sebelum Dan Sesudah Dipotong Dan Pemeriksaan Bahan-Bahan Asal Hewan 284.3.1 Pengawasan dan Pemeriksaan Kesehatan Hewan di RPH Gadang Kota Malang 284.3.2 Pelaksanaan Pengawasan dan Pemeriksaan Bahan-Bahan Asal Hewan 39BAB 5. PENUTUP445.1 Kesimpulan445.2 Saran 44DAFTAR PUSTAKA45LAMPIRAN47

DAFTAR TABEL

TabelHalaman

3.1 Jadwal Kegiatan PPDH Rotasi Kedinasan174.1 Hasil Pemeriksaaan Organ Hati di PD-RPH Kota Malang 344.2 Hasil pengujian sampel daging dari pasar MadyopuroKec. Kedungkandang 394.3 Hasil Pemeriksaan Sampel Susu 43

DAFTAR GAMBAR

GambarHalaman

1.1 Struktur Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang 44.1 Struktur Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan 184.2 Vaksin AI (Avian influenza) yang Dibagikan Di Wilayah Kec. Kedungkandang Kota Malang 244.3 Pola Penyebaran CRD Pada Unggas Di Kota Malang 254.4 Pola Penyebaran Coccidiosis Pada Unggas Di Kota Malang 274.5 Injeksi vitamin B kompleks IM pada kambing 284.6 Penandaan pada ternak yang telah melalui pemeriksaan ante mortem. 294.7 Pola penyebaran Penyakit Fasciolosis Di Kota Malang 344.8 Hati yang terinfeksi cacing Fasciola sp. 364.9 Pengambilan Sampel Daging Di Pasar Madyopuro 374.10 Pemeriksaan Organolaptik Daging 384.11 Uji Eber Mengetahui Awal Pembusukan Daging 394.12 Pengukuran pH Sampel Daging Sapi Menggunakan pH Meter 404.13 Pengambilan Sampel Susu Pada Salah Satu Agen Penjual Susu Di Kota Malang 414.14 Uji Kebersihan Susu 424.15 Uji Berat Jenis Pada Susu 434.16 Lactoscan Milk analyzer MCC Dan Hasil Analisa 43

DAFTAR LAMPIRAN

LampiranHalaman

1. Data Populasi Ternak di Kota Malang Tahun 2013 472. Data Produksi Ternak di Kota Malang Tahun 201348

7

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKeamanan pangan merupakan persyaratan utama yang penting di era perdagangan bebas. Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya kesehatan masyarakat. Pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan fisik. Pangan asal hewan juga dapat membawa agen penyakit seperti bakteri, cacing, protozoa, dan prion (Brown, 2004). Agen penyakit tersebut dapat menular ke manusia atau yang dikenal dengan zoonosis. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sekitar 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam 2 dasawarsa terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan, sehingga pangan asal hewan lebih berbahaya dibandingkan pangan nabati karena dapat menyebabkan penyakit zoonosis pada konsumen. Perlindungan konsumen dan pencegahan penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne disease) merupakan hal penting untuk diperhatikan. Pemeriksaan terhadap kelayakan pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur oleh dokter hewan merupakan salah usaha dalam menjaga keamanan pangan asal hewan.Dokter hewan merupakan profesi yang bertanggung jawab dalam upaya menjaga kesehatan hewan dan keamanan produk asal hewan seperti susu, telur dan daging. Perlindungan terhadap masyarakat dari bahaya penyakit yang ditularkan melalui hewan secara langsung maupun tidak langsung dari produk asal hewan dilakukan melalui kesehatan masyarakat veteriner. Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) juga mempunyai peranan penting dalam terselenggaranya penyediaan bahan asal hewan yang bersifat ASUH (aman, sehat, utuh dan halal) sesuai dengan Undang- Undang Nomor 7 tahun 1996 yang mengatur tentang kewajiban pemerintah dalam menyediakan produk asal hewan yang ASUH. Produk peternakan sebagai sumber pangan baik segar maupun olahan harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari penyakit akibat mengkonsumsi pangan asal hewan. Kota Malang merupakan salah satu kota besar yang ada di Jawa timur dengan jumlah masyarakat yang besar dan tingkat kesadaran masyarakat akan konsumsi bahan pangan asal hewan yang cukup baik. Oleh karena itu, pemerintah daerah melalui Dinas Pertanian Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota Malang memiliki tugas menyelenggarakan produk asal hewan yang ASUH dengan melakukan pemeriksaan mikrobiologis, fisik dan kimiawi pada produk asal hewan yang ada khususnya di Kota Malang. Kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) kedinansan ini penting dilakukan agar mahasiswa PPDH UB sebagai calon dokter hewan mengerti berbagai aspek diantaranya studi kasus epidemiologi penyakit di lingkungan Kota Malang dan penerapan kesmavet dalam penyediaan pangan asal hewan khususnya yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota Malang.

1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang?2. Bagaimana proses pencegahan, pengamatan dan pemberantasan penyakit oleh Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Hewan Kota Malang?3. Bagaimana proses pengawasan dan pemeriksaan kesehatan pada hewan sebelum dan sesudah dipotong dan pemeriksaan bahan-bahan asal hewan oleh Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Hewan Kota Malang?

1.3 Tujuan1. Mengetahui struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang.2. Mengetahui proses pencegahan, pengamatan dan pemberantasan penyakit oleh Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Hewan Kota Malang.3. Mengetahui proses pengawasan dan pemeriksaan kesehatan pada hewan sebelum dan sesudah dipotong dan pemeriksaan bahan-bahan asal hewan oleh Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Hewan Kota Malang.

1.4 Manfaat 1. Mahasiswa dapat mengetahui struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang.2. Mahasiswa dapat mengetahui dan ikut melaksanankan proses pencegahan, pengamatan dan pemberantasan penyakit bersama dengan Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Hewan Kota Malang.3. Mahasiswa dapat mengetahui dan ikut melaksanankan proses pengawasan dan pemeriksaan kesehatan pada hewan sebelum dan sesudah dipotong dan pemeriksaan bahan-bahan asal hewan bersama Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Hewan Kota Malang.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Profil Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang

KEPALA DINASKELOMPOKJABATAN FUNGSIONALSEKRETARIATSUB BAGIAN PENYUSUNAN PROGRAMSEKSIBINA PRODUKSI PERIKANANSUB BAGIAN KEUANGANSUB BAGIAN UMUMBIDANGPETERNAKAN DANKESEHATAN HEWANBIDANGPERIKANANSEKSIBINA MUTU PERIKANANSEKSIPENGENDALIAN HAMAPENYAKITSEKSIBINA PRODUKSI PETERNAKANSEKSIKESEHATAN HEWANSEKSIKESEHATAN MASYARAKATVETERINERBIDANGBINA USAHA DAN PENYULUHANPERTANIANBIDANGTANAMANSEKSITANAMAN PANGAN DANHORTIKULTURASEKSIKEHUTANAN DAN PERKEBUNANSEKSIPERLINDUNGAN TANAMANSEKSISARANA DAN PRASARANAUSAHA PERTANIANSEKSIPENYULUHAN PERTANIANSEKSIPEMASARAN PRODUKPERTANIANUPT Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang terletak di Jalan Kol. Sugiono 176 Malang. Lokasi ini dikatakan cukup strategis karena berada di tengah kota. Bidang peternakan dan Kesehatan Hewan berada di Dinas Pertanian Kota Malang dengan struktur organisasi seperti Gambar 1.1

Gambar 2.1 Struktur Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang

Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan dinaungi oleh seorang Kepala Bidang dan membawahi tiga seksi di dalamnya, yaitu Seksi Bina Produksi Peternakan, Seksi Kesehatan Hewan (Keswan), dan Seksi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Tugas pokok dan fungsi masing masing seksi telah diatur dalam Peraturan Walikota No. 53 tahun 2012 tentang Tugas Pokok Dan Fungsi Dinas Pertanian. Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan melaksanakan tugas pokok pembinaan pengembangan peternakan dan kesehatan hewan. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan mempunyai fungsi :1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis bidang peternakan dan kesehatan hewan.2. Pengumpulan dan pengolahan data dalam rangka perencanaan teknis bidang peternakan dan kesehatan hewan.3. Penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program di bidang peternakan dan kesehatan hewan.4. Penyusunan program pengembangan peternakan dan kesehatan hewan.5. Pelaksanaan pembinaan pengembangan teknologi produksi.6. Pelaksanaan penyebaran, pengembangan dan redistribusi ternak.7. Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kemitraan budidaya ternak.8. Pelaksanaan pengendalian penyakit dan pelayanan kesehatan hewan.9. Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis Rumah Sakit Hewan /Klinik Hewan, Pos Kesehatan Hewan, Rumah Potong Hewan, agen susu dan kios daging.10. Pelaksanaan pengawasan peredaran, penyimpanan dan penggunaan sarana dan prasarana produksi peternakan dan kesehatan hewan.11. Pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan hewan potong, hygiene bahan-bahan asal hewan dan produk ikutannya serta sanitasi lingkungan.12. Pelaksanaan pengendalian pemotongan hewan besar betina yang bertanduk.13. Pemberian pertimbangan teknis perijinan usaha dibidang peternakan dan kesehatan hewan.14. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang peternakan dan kesehatan hewan;15. Penyiapan bahan dalam rangka pemeriksaan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan.16. Pelaksanaan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan Dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA);17. Pelaksanaan Standar Pelayanan Publik (SPP) dan Standar Operasional dan Prosedur (SOP).18. Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern (SPI).19. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM).20. Pengevaluasian dan pelaporan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi; dan21. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai dengan tugas pokoknya.

2.2 Kebijakan Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit ZoonosisPengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis yang dapat mendukung dari sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) yaitu:1. Sistem surveilans dan monitoring nasional terhadap penyakit zoonosis pada ternak dan satwa liar.2. Sistem kewaspadaan dini dan darurat penyakit (early warning system and emergency preparedness).3. Sistem informasi kesehatan hewan (Sikhnas).4. Sistem kesehatan masyarakat veteriner (Siskesmavet).Kegiatan Surveilans Yang Dilaksanakan Sebagai Salah Satu Strategi Pendukung Dalam Penanggulangan Penyakit Zoonosis Di Indonesia adalah:1. Surveilans anthrax (monitoring pre & pasca vaksinasi).2. Surveilans rabies (monitoring pre & pasca vaksinasi).3. Surveilans avian influenza (deteksi dini, penentuan subtipe, monitoring pasca vaksinasi, epidemiologi molekuler, sentinel dan kompartemen/zona bebas).4. Surveilans brucellosis (penentuan prevalensi/zoning, pemotongan reaktor, monitoring vaksinasi).5. Surveilans salmonellosis (monitoring pullorum dan enteritidis di peternakan pembibitan unggas/petelur).6. Surveilans BSE (pengambilan sampel otak dari Rumah Pemotongan Hewan atau hewan yang menunjukkan gejala syaraf).Pedoman tentang strategi pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit Avian Influenza (Al) telah ditetapkan melalui SK Direktorat Jenderal Peternakan No. 17 / Kpts / PD. 640 / F / 02 / 04. Inti program tersebut adalah pelaksanaan sembilan tindakan strategis yang meliputi 1) Peningkatan Biosekuriti; 2) Vaksinasi; 3) Depopulasi (pemusnahan terbatas) didaerah tertular; 4) Pengendalaian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas; 5) Surveilans dan penelusuran; 6) Pengisian kembali (restocking); 7) Pemusnahan menyeluruh (Stamping out) di daerah tertular; 8) Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness); dan 9) Monitoring dan evaluasiKebijakan pengendalian dan pemberantasan avian influenza (AI) dipengaruhi oleh berbagai faktor antaralain faktor perwilayahan. Bagi daerah bebas AI, dilaksanakan pengawasan ketat pemasukan unggas dan limbah peternakan unggas ke daerah tersebut. Bagi daerah endemik AI, dilaksanakan biosekuriti, vaksinasi unggas secara reguler mencakup seluruh populasi unggas, dan depopulasi (pemusnahan unggas sekandang dengan unggas yang tertular AI). Sedangkan bagi daerah tertular baru, dilaksanakan stamping-out pada peternakan tertular dengan radius 1 km.

2.3 Pemeriksaan Hewan Sebelum dan Sesudah Disembelih dan Pemeriksaan Kualitas Bahan-Bahan Asal HewanPangan asal hewan seperti daging bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan fisik. Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang dapat membawa agen penyakit seperti bakteri, cacing, protozoa, dan prion (Brown, 2004). Agen penyakit tersebut dapat menular ke manusia atau yang dikenal dengan zoonosis. WHO (2005), menyebutkan bahwa sekitar 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam 2 dasawarsa terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan, sehingga pangan asal hewan lebih berbahaya dibandingkan pangan nabati karena dapat menyebabkan penyakit zoonosis pada konsumen. Perlindungan konsumen dan pencegahan penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne disease) merupakan hal penting untuk diperhatikan. Pemeriksaan ante mortem, post mortem dan uji kualitas daging merupakan usaha dalam menjaga keamanan pangan asal hewan.

2.3.1 Pemeriksaan Ante mortemPemeriksaan ante mortem adalah suatu pemeriksaan fisik saat ternak masih hidup (Nurit, 2012). Pemeriksaan ante mortem harus segera dilakukan setelah ternak tiba di RPH, kecuali ada suatu alasan untuk mengistirahatkan ternak terkait kesejahteraan hewan. Ternak yang tidak lolos dalam pemeriksaan dinyatakan tidak layak untuk disembelih (untuk konsumsi manusia). Pemeriksaan pada tahap ini memungkinkan untuk mendeteksi tanda-tanda penyakit sebelum dilakukan penyembelihan (Nurit, 2012).Pemeriksaan ante mortem ini sangat penting dilakukan karena merupakan salah satu proses pencegahan penyakit dari hewan kepada konsumen. Menurut Kartasudjana (2001), hal-hal yang perlu dilakukan saat pemeriksaan ante mortem adalah:1. Mengamati status gizi dan keaktifan hewan, dengan melihat penampilan (performance) tubuh secara keseluruhan. Hewan dengan status gizi jelek ditandai dengan kekurusan (cachexia), yakni ditunjukkan dengan pertulangan yang menonjol.2. Melihat seluruh selaput lendir yang ada yaitu conjunctiva, mulut, hidung, preputium atau vulva dan rectum terhadap warna dan kebasahan /kelembaban. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mencegah penularan penyakit dari hewan ke manusia. 3. Pengecekan kondisi gigi, warna mukosa gigi dan bau mulut. Pengecakan gigi untuk memastikan apakah ternak sudah poel atau belum. Perlakuan tersebut juga digunakan untuk mengetahui umur sapi yang akan dipotong. Pemeriksaan umur ternak harus dilakukan dengan teliti dan benar agar tidak tertukar antara daging dari ternak muda yang kualitasnya baik dengan yang berasal dari ternak yang sudah tua yang kualitasnya kurang baik. Umur sapi yang dipotong umumnya lebih dari satu tahun. 4. Melihat bagian anus dan ekor apakah terdapat bekas feses. Sapi sehat memiliki anus yang bersih. Apabila terlihat adanya sisa feses pada anus, kemungkinan sapi terkena diare yang dapat disebabkan oleh Bovine Virus Diarea atau enteritis. 5. Pemeriksaan kulit dan rambut dilakukan dengan melihat kondisi kulit secara umum. Adanya luka pada kulit akibat cedera, ektoparasit, dan karena sebab lainnya. Untuk pemeriksaan keadaan rambut, dilakukan dengan melihat kekusaman dan kebersihan rambut.6. Pemeriksaan ante mortem dilakukan oleh keur master di bawah pengawasan dokter hewan. Pemeriksaan ante mortem ini dilakukan pada pagi hari kemudian diistirahatkan selama 8-12 jam sebelum dilakukan pemotongan. Hewan yang telah diperiksa dan dinyatakan sehat diberi tanda dengan cat pada tubuhnya. Dahulu penandaan sapi yang sehat dilakukan menggunakan besi panas, tetapi hal tersebut mengakibatkan kulit rusak dan tidak laku dijual, sehingga penandaan diganti dengan menggunakan cat semprot.

2.3.2 Pemeriksaan Post mortemSeperti halnya pemeriksaan sebelum ternak disembelih (ante mortem), maka setelah ternak disembelih perlu ada pemeriksaan yang disebut "pemeriksaan post mortem". Pemeriksaan post mortem dilakukan setelah proses penyembelihan dan pengeluaran organ dalam. Pemeriksaan post mortem digunakan untuk menentukan kualitas daging (Karama et al., 2008). Tujuannya adalah untuk memberikan dasar ilmiah yang kuat untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemeriksaan post mortem di RPH, menjaga keamanan produk bagi konsumen, mengidentifikasi adanya lesi terkait dengan penyakit menular yang menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia atau hewan dan menghilangkan bangkai atau jaringan yang berdampak bagi kesehatan (Erick, 2012). Prosedur pemeriksaan post mortem didasarkan pada teknik organoleptik yaitu observasi (melihat), palpasi dan melakukan sayatan pada organ, limfoglandula dan daging dengan fokus utama pada deteksi dan pencegahan terhadap penyakit. Berikut ini prosedur pemeriksaan post mortem, menurut Gerser (2003), yaitu:1. Kepala Prosedur pemeriksaan post mortem pada kepala adalah sebagai berikut:a. Kepala yang sudah dipisahkan dari badan hewan digantung dengan kait pada hidung dengan bagian rahang bawah menghadap ke arah pemeriksa. Seluruh bagian kepala termasuk lubang hidung dan telinga diinspeksi dan dipalpasi. b. Lidah dikeluarkan dengan cara menyayat dengan bentuk huruf V dari dagu sejajar ke dua siku mandibula. c. Lidah ditarik dan dilakukan penyayatan pada pangkal kedua sisi lidah kemudian ditarik ke bawah sehingga bagian pangkal lidah terlihat jelas.d. Lidah kemudian diinspeksi, dipalpasi dan dikerok pada perukaan lidah untuk melihat kerapuhan papila lidah dan jika diperlukan penyayatan di bagian bawah lidah untuk melihat adanya cysticercus.e. Perhatikan selaput lendir dari palatum (langit-langit) dan bibir. Lgl. Retropharyngealis, Lgl Parotideus, Lgl. Submaxillaris dan Lgl. Mandibularis diamati (inspeksi), diraba (palpasi), dan jika perlu disayat melintang untuk melihat apakah limfoglandula normal atau terdapat kelainan. f. Penyayatan otot masseter internus dan masseter externus sejajar tulang rahang. Masseter dipotong menjadi 2 atau 3 lapisan untuk memeriksa adanya kista cysticercus pada otot mandibula.2. TrakeaPemeriksaan trakea dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan insisi pada bagian pertemuan cincin tulang rawan, untuk melihat kemungkinan ditemukannya kelainan pada mukosa lumen, peradangan, buih dan infestasi cacing.3. OesophagusPemeriksaan dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan insisi untuk melihat lumen. Kemungkinan yang ditemukan antara lain adanya cysticercus.4. Paru-paruPemeriksaan paru-paru dilakukan dengan cara menggantungkan pada kait, kemudian dilakukan inspeksi dengan mengamati seluruh permukaan paru-paru dan kemungkinan adanya perubahan warna. Selanjutnya dilakukan palpasi dan insisi pada kedua lobus paru-paru untuk mendeteksi kemungkinan adanya sarang-sarang tuberkulosis, cacing, tumor atau abses dan pemeriksaan Lgl. Mediastinalis cranialis, Lgl. Mediastinalis caudalis, dan Lgl. Bifurcatio trachealis dextra-sinestra. Paru yang sehat memperlihatkan warna merah terang, kosistensi lunak dan terdapat suara krepitasi pada saat palpasi. 5. JantungJantung dilakukan pemeriksaan dengan cara inspeksi, palpasi, dan insisi. Inspeksi dan palpasi dilakukan untuk mengamati kemungkinan adanya peradangan selaput jantung (pericarditis), pengamatan adanya ptechia, degenerasi, dan pericarditis traumatik yang diakibatkan oleh benda asing. Insisi pericardium untuk melihat adanya cairan pericardium kemudian dilakukukan insisi pada serambi dan bilik jantung untuk melihat apakah ada cysticercus pada klep jantung dan pericardium. Bagian yang abnormal diafkir dengan cara dibakar atau dikubur.6. HatiPemeriksaan hati dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan insisis pada seluruh lobus hati untuk melihat warna, ukuran, dan konsistensi. Kemungkinan adanya degenerasi dan pembendungan oleh cacing hati (Fasciola sp.). Berdasarkan pemeriksaan penyakit Fasciolosis paling sering ditemui, dengan ciri-ciri adanya penebalan pada saluran empedu, berwarna kekuning-kuningan, adanya gumpalan berwarna coklat, berlendir dan ada butiran-butiran seperti pasir. Bagian hati yang terkena Fasciolosis dilakukan pengafkiran.7. LimpaPemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh permukaan limpa untuk melihat warna, ukuran limpa dan konsistensi. Jika perlu dilakukan insisi. Limpa normal berbentuk oval memanjang, pipih, berwarna biru keabuan dan lunak. Kemungkinan yang ditemukan antara lain adanya perubahan warna dari limpa menjadi berwarna hitam pekat.8. Usus dan LambungPemeriksaan usus dan lambung dilakukan dengan cara mengeluarkan isi usus dan lambung. Pemeriksaan pada usus dilakukan untuk melihat kemugkinan adanya pembengkakan Lgl. Mesenterica. Usus disayat (insisi) untuk melihat lumen dan mukosa usus terhadap kemungkinan pendarahan serta infestasi cacing. Ke empat lambung dibuka dan dicuci untuk melihat kemungkinan adanya infestasi cacing. 9. KarkasPemeriksaan pada karkas dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh permukaan bagian luar dan dalam karkas serta limfoglandula untuk mengetahui kondisi karkas. Kemungkinan yang terjadi pada karkas yaitu adanya haemorhagi, memar, fraktura, ikterus, oedema, kista cacing dan pembengkakan limfoglandula. Limfoglandula yang diperiksa antara lain Lgl. Sub iliaca dan Lgl. Cervicalis superficialis. Selain itu dilakukan pemeriksaan ginjal dengan inspeksi dan palpasi untuk mengetahui adanya pembengkakan, oedema dan peradangan. Kemungkinan yang ditemukan pada ginjal antara lain nefritis, tumor, kista, dan calculi renalis.Waktu pemeriksaan post mortem sebaiknya dilaksanakan segera setelah ternak disembelih. Meskipun di rumah potong hewan tersedia fasilitas untuk pengolahan jeroan dan non-karkas lainnya dan juga tersedia fasilitas ruang pendingin, namun pemeriksaan post mortem terbaik adalah pada saat karkas segar setelah ternak disembelih. Apabila pada tahap awal pemeriksaan ditemukan hal yang mencurigakan maka pemeriksaan harus dilakukan dengan lebih teliti di laboratorium yang lebih lengkap dengan tenaga ahli laboratorium diagnostic (Kartasudjana, 2001).

2.3.3 Uji Pemeriksaan Kualitas Daging1. Uji Organoleptik DagingPemeriksaan organoleptik digunakan untuk melihat daging secara makroskopik. Pemeriksaan organoleptik dapat dilakukan dengan cara pengamatan warna, tekstur, konsistensi, dan bau daging. Warna daging segar disebabkan adanya pigmen merah keunguan yang disebut myoglobin yang berikatan dengan oksigen yang struktur kimianya hampir sama dengan haemoglobin. Tekstur dan konsistensi dari daging sangat ditentukan oleh protein-protein penyusunnya. Warna daging segar berwarna merah sampai merah gelap. Warna tersebut berubah menjadi merah terang apabila daging tersebut dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna merah sampai merah gelap menjadi merah terang tersebut bersifat reversible. Namun, jika daging tersebut terlalu lama terkena oksigen maka warna merah terang akan berubah menjadi cokelat. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar, mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat. Timbulnya warna coklat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak. Sampel daging rusak/busuk menunjukkan perubahan yang sangat jelas, dimana bau sudah menjadi amis, warna merah kehitaman, berlendir dan tekstur licin akibat pengeluaran lendir (Astawan, 2004).2. Uji EberPemeriksaan awal pembusukan dapat dilakukan dengan uji Eber. Jika terjadi pembusukan, maka ditandai dengan terjadi pengeluaran asap di dinding tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Pada daging sapi segar, dan daging yang disimpan pada udara dingin, dan beku hasil pemeriksaan negatif. Karena pada daging sapi segar, dan daging yang disimpan pada udara dingin, dan beku belum terbentuk gas NH3 sehingga tidak bereaksi dengan asam kuat (HCL) sehingga tidak terbentuk NH4Cl (gas). Pada daging busuk jelas terlihat gas putih (NH4Cl) pada dinding tabung karena pada daging busuk gas NH3 sudah terbentuk (Lawrie, 1995). 3. Pengukuran pH DagingStandar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun. Nilai pH daging setelah penyembelihan akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaero. Setelah hewan disembelih penyedian oksigen otot terhenti, sehingga daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan pH. pH daging segar adalah 7,2. Setelah 24 jam pH daging mengalami penurunan karena adanya aktivitas mikroba yang menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam laktat. Begitu pula yang terjadi pada daging beku. Namun, pada daging busuk pH meningkat karena penurunan aktivitas mikroba penghasil asam karena persediaan glikogen yang semakin terbatas dan diikuti aktivitas mikroba penghasil senyawa basa (Lawrie, 1995).2.3.4 Uji Pemeriksaan Kualitas Susu Susu termasuk jenis bahan pangan asal hewan, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Susu merupakan bahan makanan mengandung protein yang dibutuhkan oleh tubuh, oleh karena itu masyarakat menjadikan susu sebagai bahan pangan yang dapat diandalkan. Susu sangat peka terhadap pencemaran bakteri karena di dalam susu terkandung semua zat yang disukai oleh bakteri seperti protein, mineral, karbohidrat, lemak, dan vitamin sehingga susunan dan keadaannya akan berubah (Saleh, 2004), untuk itu susu dapat diberi perlakuan untuk mempertahankan kualitasnya seperti dengan melakukan pendinginan, pasteurisasi, kombinasi pemanasan dan pendinginan yang bertujuan menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri tersebut. Selain itu, susu juga sebagai bahan makanan yang sangat penting manfaatnya bagi manusia dan ternak, susu juga merupakan media yang dapat menyebarkan penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia maupun sebaliknya (milk born disease). Oleh karena itu, pemeriksaan kualitas susu sebelum dimanfaatkan atau sebelum pengolahan sangat perlu untuk kesehatan konsumen. Pemeriksaan terhadap susu dapat dilakukan dengan uji organoleptik, uji kebersihan, uji alkohol, uji didih dan penukuran berat jenis (BJ) (Saleh, 2004).1. Uji OrganoleptikPrinsip uji ini adalah melihat warna, rasa, dan bau. Warna susu segar berwarana putih kekuningan bergantung jenis hewan, pakan, dan jumlah lemak. Warna putih tersusun dari kalsium kaseinat dan koloid fosfat. Sedangkan warna kekuningan diakibatkan adanya karoten. Bau susu segar adalah khas bau susu, karena kandungan asam volatile dan lemak dalam susu. Susu mudah menyerap bau disekelilingnya karena diakibatkan oleh sifat lemak dalam susu yaitu oil in water type. Rasa susu segar berasa agak manis karena mengandung laktosa (Deski, 2013).

2. Uji KebersihanPrinsip dari pada uji ini adalah melihat apakah susu ini bersih atau tidak. Susu yang kotor merupakan indikator sanitasi yang buruk. Kotoran yang dapat diamati antaralain rambut sapi, sisa-sisa makanan, feses, darah dan lain-lain (Deski, 2013).3. Uji AlkoholPrinsip uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki daya dehidrasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya (Deski, 2013).4. Uji DidihPrinsip pada uji didih yaitu susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah atau menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah (Deski, 2013).5. Uji Berat JenisPrinsip uji ini adalah membandingkan antara berat bahan tersebut dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Berdasarkan batasan ini, maka berat jenis tidak bersatuan. Berat jenis susu ratarata 1,0320. Berat jenis susu dipengaruhi oleh kadar padatan total dan bahan padatan tanpa lemak. Kadar padatan total susu diketahui jika diketahui berat jenis dan kadar lemaknya. Berat jenis susu biasanya ditentukan dengan menggunakan laktodensimeter atau laktometer. Lamtodensimeter adalah hidrometer dimana skalanya sudah disesuaikan dengan berat jenis susu. Prinsip kerja alat ini mengikuti hukum archimides yaitu jika suatu benda dicelupkan ke dalam suatu cairan, maka benda tersebut akan mendapat tekanan keatas sesuai dengan berat volume cairan yang dipindahkan (diisi). Jika laktometer dicelupkan dalam susu yang rendah berat jenisnya, maka laktometer akan tenggelam lebih dalam (Deski, 2013).BAB 3. PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 Waktu dan TempatKegiatan PPDH ini akan dilaksanakan pada tanggal 3 Februari 2014 sampai dengan 7 Februari 2014 dan bertempat di Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang.

3.2 Peserta dan Pembimbing PPDHPeserta adalah mahasiswa PPDH PKH Universitas Brawijaya, yang berada dibawah bimbingan Prof. Dr. Pratiwi Trisunuwati, drh., M.S yaitu:Nama: Paura Rangga Zobda, S.KHNIM: 130130100111022

3.3 Metode Pelaksanaan KegiatanMetode yang telah digunakan selama PPDH di Dinas Pertanian Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota Malang ini adalah:1. Mengikuti segala bentuk program atau kegiatan yang berhubungan dengan kedokteran hewan khususnya dalam bidang kesmavet (penjaminan mutu daging hewan) di Dinas Pertanian Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota Malang.2. Memperdalam ilmu melalui diskusi dengan koordinator lapangan dan dokter hewan yang berwenang di lokasi mengenai masalah-masalah yang terjadi di lapangan.Hasil dari pelaksanaan PPDH ini akan dilaporkan secara tertulis kepada pihak Dinas Pertanian Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota Malang dan Program Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.

3.4 Jadwal KegiatanAdapun kegiatan yang dilaksanakan selama pendidikan profesi di Dinas Pertanian Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan seperti pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan PPDH di Dinas Pertanian Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota MalangHari/TanggalJenis KegiatanPelaksanaan

Senin,3 Feb 2014 Penerimaan Mahasiswa PPDH Perkenalan masing masing seksi Briefing jadwal kegiatan Pemberian materi oleh Kabid dan masing masing Kasi Drh. Anton Drh. Hilda Drh. David Ir. Sulaiman Ir. Herina Mahasiswa PPDH

Selasa,4 Feb 2014 Pemeriksaan post mortem pada sapi, babi, dan kambing Diskusi lapang Petugas lapang Drh. Hilda Mahasiswa PPDH

Rabu, 5 Feb 2014 Pemeriksaan sampel susu dan daging Diskusi Lapang Drh. David Drh. Hilda Mahasiswa PPDH

Kamis,6 Feb 2014 Pembagian Vaksin dan desinfektan Pemberian vitamin pada kambing Pemeriksaan ante mortem Diskusi Lapang Drh. David Drh. Hilda Mahasiswa PPDH

Jumat, 7 Februari 2014 Diskusi lapang, penyusunan laporan Pelepasan mahasiswa PPDH Drh. Anton Drh. Hilda Drh. David Mahasiswa PPDH

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Struktur Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota MalangBidang Peternakan dan Kesehatan hewan membawahi tiga seksi yaitu Seksi Bina Produksi Peternakan, Seksi Kesehatan Hewan, dan Seksi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Tugas pokok dan fungsi masing masing seksi telah diatur dalam Peraturan Walikota No. 53 tahun 2012 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pertanian (Gambar 4.1).

Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malangdrh. Anton PramujionoSeksi Bina Produksi PeternakanSeksi Kesehatan HewanSeksi Kesehatan Masyarakat VeterinerKepala Seksi Bina ProduksiIr. Herina MrehardiniKepala Seksi Kesehatan Masyarakat VeterinerIr. SulaimanKepala Seksi Kesehatan Hewandrh. Hilda SariStaf:Pramita W. Rummiyat,S.PtStaf:drh. David Cahya PutraStaf:Heri SubatinSugionoFarid FerdiansyahAbdul Khodir DjaelaniAgus SlametHari Mustofa

Gambar 4.1 Struktur Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan

4.1.1 Tupoksi Seksi Bina Produksi PeternakanSeksi Bina Produksi Peternakan melaksanakan tugas pokok pendataan, perencanaan dan pembinaan pengembangan teknologi produksi peternakan. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Seksi Bina Produksi Peternakan mempunyai fungsi:1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis bidang bina produksi peternakan.2. Penyiapan bahan penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program di bidang bina produksi peternakan.3. Penyusunan rencana pengembangan produksi peternakan.4. Pelaksanaan pembinaan peningkatan teknologi produksi peternakan.5. Penyiapan penyebaran, pengembangan dan redistribusi ternak pemerintah.6. Pelaksanaan pembinaan sistem pemasaran ternak dan hasil ternak.7. Penyiapan pelaksanaan pengawasan mutu dan penggunaan pakan serta bahan baku pakan ternak.8. Pelaksanaan kaji terap teknologi peternakan;9. Penyiapan bahan pemberian pertimbangan teknis perijinan usaha produksi peternakan.10. Pelaksanaan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA).11. Pelaksanaan Standar Pelayanan Publik (SPP) dan Standar Operasional dan Prosedur (SOP).12. Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern (SPI).13. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM).14. Pengevaluasian dan pelapora pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dan15. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Bidang sesuai dengan tugas pokoknya.

4.1.2 Tupoksi Seksi Kesehatan HewanSeksi Kesehatan Hewan melaksanakan tugas pokok pembinaan kesehatan hewan dan perlindungan hewan. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Seksi Kesehatan Hewan mempunyai fungsi:1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis bidang kesehatan hewan dan perlindungan hewan.2. Penyiapan bahan penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program di bidang kesehatan hewan dan perlindungan hewan.3. Pelaksanaan pembinaan peningkatan kesehatan hewan.4. Pelaksanaan pengendalian penyakit anthropozoonosa.5. Pelaksanaan pencegahan, pengamatan dan pemberantasan penyakit hewan.6. Pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan kesehatan hewan di pasar hewan, lalu lintas hewan dan di masyarakat.7. Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis rumah sakit hewan / klinik hewan, pos kesehatan hewan, rumah potong hewan, agen susu dan kios daging.8. Pelaksanaan pengawasan peredaran, penyimpanan dan penggunaan obat-obatan hewan.9. Pelaksanaan penyiapan rekomendasi teknis perijinan usaha kesehatan hewan.10. Pelaksanaan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA).11. Pelaksanaan Standar Pelayanan Publik (SPP) dan Standar Operasional dan Prosedur (SOP).12. Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern (SPI).13. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM).14. Pengevaluasian dan pelapora pelaksanaan tugas pokok dan fungsi; dan15. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Bidang sesuai dengan tugas pokoknya.

4.1.3 Tupoksi Seksi Kesehatan Masyarakat VeterinerSeksi Kesehatan Masyarakat Veteriner melaksanakan tugas pokok pengembangan, pembinaan dan pengawasan di bidang kesehatan masyarakat veteriner. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Seksi Kesehatan Masyarakat Veteriner mempunyai fungsi:1. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis bidang kesehatan masyarakat veteriner.2. Penyiapan bahan penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program di bidang bidang kesehatan masyarakat veteriner.3. Pelaksanaan pembinaan peningkatan teknologi pengelolaan dan pengolahan bahan asal hewan.4. Pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan bahan-bahan asal hewan.5. Pelaksanaan pembinaan system pemasaran bahan-bahan asal hewan.6. Pelaksanaan pengendalian pemotongan hewan besar betina yang bertanduk.7. Pelaksanaan kaji terap teknologi pengelolaan bahan asal hewan.8. Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis pengelolaan bahan-bahan asal hewan.9. Pelaksanaan pengawasan, peredaran, penyimpanan dan penggunaan bahan-bahan asal hewan.10. Pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan kesehatan pada hewan sebelum dan sesudah dipotong, hygiene bahan asal hewan dan produk ikutannya serta sanitasi lingkungan.11. Pelaksanaan penyiapan rekomendasi teknis perijinan usaha kesehatan masyarakat veteriner.12. Pelaksanaan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA).13. Pelaksanaan Standar Pelayanan Publik (SPP) dan Standar Operasional dan Prosedur (SOP).14. Pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern (SPI).15. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM).16. Pengevaluasian dan pelapora pelaksanaan tugas pokok dan fungsi; dan17. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Bidang sesuai dengan tugas pokoknya.

4.2 Pencegahan, Pengamatan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Di Kota MalangSalah satu program kegiatan Seksi Kesehatan Hewan adalah pelaksanaan pencegahan, pengamatan dan pemberantasan penyakit hewan di Kota Malang. Pelaksaan program ini yaitu dengan membagikan vaksin dan desinfektan kepada peternak ayam yang ada di kota Malang. Penyakit yang harus diwaspadai oleh peternak ayam salah satunya adalah penyakit AI (Avian Influenza), penyakit ini sudah ditemukan di Provinsi Jawa Timur, tetapi jumlahnya masih rendah sehingga tindakan pencegahan sangat penting dilakukan untuk menghindari wabah AI yang sangat merugikan peternak ayam, khususnya peternak ayam mandiri. Virus penyebab flu burung tergolong famili orthomyxoviridae. Virus AI terdiri atas 3 tipe antigen yang berbeda yaitu A, B, dan C. Virus influenza A terdapat pada unggas, manusia, babi, kuda, dan mamalia lain. Namun, sebenarnya hospes utamanya adalah unggas. Sebaliknya, virus influenza B dan C hanya ditemukan pada manusia. Transmisi penyakit AI yaitu melaui feses maupun sekreta yang dikeluarkan oleh unggas yang menderita flu burung. Menurut WHO, kontak unggas liar dengan ungas ternak menyebabkan epidemik flu burung di unggas. Penularan terhadap manusia terjadi melalui udara dan sekret unggas yang terinfeksi. Virus flu burung mampu bertahan hidup dalam air sampai 4 hari pada suhu 22 0C dan dapat hidup selama 30 hari di dalam feses unggas dan di dalam tubuh unggas terinfeksi, virus ini akan mati pada pemanasan 60 0C selama 30 menit atau 90 0C selama 1 menit (Dennis. 2008).Strategi pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit Avian Influenza (Al) ini telah ditetapkan melalui SK Direktorat Jenderal Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/F/02/04. Inti program tersebut adalah pelaksanaan sembilan tindakan strategis yang meliputi 1) Peningkatan Biosekuriti; 2) Vaksinasi; 3) Depopulasi (pemusnahan terbatas) didaerah tertular; 4) Pengendalaian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas; 5) Surveilans dan penelusuran; 6) Pengisian kembali (restocking); 7) Pemusnahan menyeluruh (Stamping out) di daerah tertular; 8) Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness); dan 9) Monitoring dan evaluasi. Sedangkan dalam pelaksanaan vakisinasinya, menurut Direktorat Jendral Peternakan (2009), kebijakan vaksinasi merupakan salah satu strategi pengendalian penyakit AI yang diterapkan Pemerintah Indonesia dengan berpedoman pada ketentuan Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties atau OIE). Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi pada sektor 4, sedangkan untuk sektor 1, 2 dan 3 merupakan tanggung jawab masing-masing. Adapun strategi pemerintah dalam pelaksanaan vaksinasi AI adalah:1. Vaksin AI yang digunakan adalah vaksin inaktif (killed vaccine) yang strain virusnya homolog dengan sub tipe virus isolat lokal (strain H5)2. Vaksin yang digunakan harus telah mendapatkan nomor registrasi dari Pemerintah Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian.3. Strategi vaksinasi dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:a. Pada daerah bebas dilarang melakukan vaksinasi,b. Pada daerah kasus rendah, tidak dianjurkan melakukan vaksinasi,c. Pada daerah kasus tinggi atau endemis, dilakukan vaksinasi secara tertarget.4. Vaksinasi dilakukan 3-4 kali dalam satu tahun, dan atau sesuai petunjuk produsen yang tertera pada etiket atau brosur.5. Vaksinasi hanya dilakukan pada unggas sehat6. Cakupan vaksinasi meliputi seluruh populasi unggas terancam didaerah tertular yakni ayam buras, bebek, itik, entok, kalkun, angsa, burung merpati, ayam ras petelur dan ayam ras pedaging yang termasuk peternakan sektor 4.7. Vaksinasi dilakukan oleh petugas Dinas dan atau kader/relawan desa terdidik, yang telah dilatih dan telah mengikuti pelatihan vaksinasi (vaksinator).8. Program vaksinasi dilakukan dibawah pengawasan Dokter Hewan setempat.Sesuai dengan isi SK Direktorat Jenderal Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/F/02/04 maka Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang dibantu mahasiswa PPDH PKH UB membagikan vaksin AI di peternakan ayam di wilayah Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang. Kegiatan ini merupakan kegiatan berkala yang dilakukan Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang, untuk mengendalikan pencegahan penyakit zoonosis sekaligus melakukan penyuluhan dan tanyajawab dengan peternak. Adanya penyuluhan atau sosialisasi dari Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang diharapkan pemilik ternak dan warga di sekitar lokasi peternakan mengerti dan paham mengenai bahaya penyakit AI. Sehingga masyarakat dapat menjaga kondisi lingkungan dan kesehatannya. Vaksin yang di berikan pada peternak ayam adalah Medivac AI 0.3 (Gambar 4.2) Vaksin ini mengandung virus AI subtipe H5N1 yang telah diinaktifkan dan diemulsikan ke dalam adjuvant untuk meningkatkan dan memperpanjang daya kerja vaksin. Program vaksinasi AI ayam pedaging dilakukan pada hari ke-10 dengan injeksi SC (subcutaneous) 0,1 ml. Sedangkan, program vaksinasi AI ayam petelur dilakukan pada hari ke-10 dengan injeksi SC 0,1 ml dan pada hari ke-63 dan hari ke-119 dengan injeksi IM (intramuscular) 0,3 ml. Tujuan dari pemberian vaksinasi ini untuk merangasang pembentukan daya tahan atau daya kebal tubuh ayam terhadap penyakit AI(Dennis. 2008).

Gambar 4.2 Vaksin AI (Avian influenza) yang Dibagikan Di Wilayah Kec. Kedungkandang Kota MalangSelain melakukan program vaksinasi, Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang juga melakukan pembagian desinfektan kepada peternak ayam di wilayah Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang. Pembagian desinfektan ini bertujuan untuk mencegah timbulnya penyakit akibat buruknya manajemen kebersihan kandang. Penyakit yang dapat timbul akibat buruknya kebersihan kandang antara lain: CRD dan coccidiosis.

4.2.1 Chronic Respiratory Disease (CRD)Chronic respiratory disease (CRD) atau yang biasa disebut dengan penyakit ngorok pada ayam merupakan penyakit endemik patogen yang sangat merugikan industri perunggasan tidak saja di Indonesia (Medion, 2008; BPPH, 2007) tetapi juga di banyak negara di dunia (Ley, 2003). Di Kota Malang, kasus penyakit ini ditemukan di beberapa tempat seperti di kelurahan Wonokoyo Kecamatan Kedung Kandang, Kelurahan Mojolangu Kecamatan Lowokwaru (Gambar 4.13). Penyakit CRD disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum. Menurut OIE (2007), CRD masuk dalam notifiable diseases, artinya jika terjadi kasus CRD di lapang harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera ditanggulangi.

Gambar 4.3 Pola Penyebaran CRD pada Unggas Di Kota Malang

Penyakit ini identik sebagai penyakit kesalahan manajemen. Penerapan manajemen pemeliharaan yang kurang baik menjadi predisposisi (faktor pemicu munculnya). Meski demikian, serangan penyakit ini juga bisa disebabkan karena kualitas DOC yang kurang optimal. Pengobatan biasanya dilakukan dengan menggunakan antibiotika makrolid seperti tiamulin, tylosin, incomycin, oxytetracyclin dan enrofloxacin yang memiliki daya kerja menghambat sintesis protein (Bywater, 1991; Soeripto, 2009). Pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan biosecurity dengan pemberian desinfektan untuk memutus mata rantai bibit penyakit yang masuk ke dalam peternakan (Soeripto, 2009).

4.2.2 CoccidiosisCoccidiosis merupakan infestasi parasitEimeria/Isosporapada saluran pencernaan ternak baik unggas, sapi, kambing, domba, babi serta kelinci yang terjadi secara akut yang diikuti dengan rusaknya mukosa saluran pencernaan (Tampubolon, 2004). Di Kota Malang, kasus penyakit coccidiosis ini dijumpai pada spesies ayam petelur dan pedaging di wilayah Kecamatan Kedung kandang khususnya kelurahan Wonokoyo, Tlogowaru dan Buring (Gambar 4.14). Patogenitas infestasi parasit tergantung dari jumlah parasit yang menginfestasi ternak. Selain itu, ada beberapa hal dapat meningkatkan patogenitas coccidiosis pada ternak yaitu nutrisi yang kurang, sanitasi rendah, terlalu padat atau juga penyebab stress yang lain seperti transportasi, perubahan pakan yang tiba-tiba dan perubahan cuaca yang ekstrim. Sensitifitas masing-masing inang terhadap coccidiosis berbeda antara ternak muda dan tua, umumnya ternak yang lebih tua akan lebih resisten terhadap coccidiosis dengan tanpa menimbulkan gejala namun demikian mereka dapat menjadi sumber penularan untuk ternak lain yang lebih muda dan sensitif. (Parede et al., 2007).Coccidiosis dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi, pemberian koksidiostat dalam pakan, sanitasi dengan pemberian desinfektan, pengelolaan liter dan pengelolaan sampah yang baik. Hindari kondisi liter yang basah terutama pada bagian bawah tempat air minum. Obat antikoksidia biasanya ditambahkan pada pakan unggas sebagai tindakan preventif terhadap penyakit ini. Obat-obatan ini bekerja membunuh dan menghentikan perkembangan parasit. Beberapa obat-obatan seperti Inophors-Coban, Avatec menyebabkan unggas memiliki kekebalan terhadap parasit tersebut, oleh karena itu jenis obat antikoksidia harus diubah untuk mengurangi terjadinya resistensi terhadap satu jenis obat (Priadi dan Natalia, 2007).

Gambar 4.4 Pola Penyebaran Coccidiosis pada Unggas Di Kota Malang

Selain pemberian vaksin AI dan desinfektan pada peternak ayam di wilayah Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang kegiatan Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Malang juga melakukan pengobatan penyakit terhadap ternak warga yaitu pengobatan kambing milik pemerintah yang bekerja sama dengan Dinas Ketenagakerjaan Kota Malang. Pengobatan yang dilakukan adalah dengan pemberian vitamin B kompleks yang dilakukan oleh mahasiswa PPDH dibawah pengawasan drh. David dan drh. Hilda. Pengobatan ini dilakukan pada kambing jawa sebanyak 28 ekor dengan menginjeksikan vitamin B kompleks dengan dosis 2,5 ml/ekor secara intramuskuler pada musculus semimebranosus dan musculus semitendinosus. Tujuan pengobatan ini adalah untuk metabolisme karbohidrat, asam lemak dan protein, imunitas, menambah nafsu makan, dan membantu tumbuh kembang dari ternak sehingga ternak tidak mudah terserang penyakit (Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Injeksi vitamin B kompleks IM pada kambing

4.3 Pengawasan Dan Pemeriksaan Kesehatan Pada Hewan Sebelum Dan Sesudah Dipotong Dan Pemeriksaan Bahan-Bahan Asal HewanSeksi Kesehatan Masyarakat Veteriner melaksanakan tugas pokok pengembangan, pembinaan dan pengawasan di bidang kesehatan masyarakat veteriner. Tugas pokok Seksi Kesehatan Masyarakat Veteriner tersebut, antara lain adalah melakukan pengawasan dan pemeriksaan kesehatan pada hewan sebelum dan sesudah dipotong yang ada di RPH Gadang Kota Malang dan melakukan pemeriksaan bahan-bahan asal hewan berupa daging sapi dan susu sapi yang beredar di Kota Malang.4.3.1 Pengawasan dan Pemeriksaan Kesehatan Hewan di RPH Gadang Kota MalangPengawasan dan pemeriksaan kesehatan pada hewan yang akan disembelih maupun daging yang dihaslkan di RPH Gadang Kota Malang dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan ante mortem dan post mortem. Pemeriksaan antemortem dilakukan sebelum ternak disembelih dengan tujuan untuk memastikan bahwa ternak yang akan disembelih benar-benar sehat. Kegiatan pemeriksaaan ante mortem dilakukan mulai pukul 13.00 sampai 16.00. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain memeriksa kondisi umum ternak sampai gejala yang menunjukkan sebagai penyakit. Pengamatan pertama dilakukan dengan melihat tingkah laku ternak. Ternak yang sehat terlihat aktif bergerak. Pemeriksaan selanjutnya yaitu mengecek kondisi hidung dan mukosa mulut, kondisi gigi serta bau mulut. Ternak yang boleh dipotong yaitu berumur diatas satu tahun yang ditandai dengan sepasang gigi telah tangggal, hidung bersih dan basah, memiliki mukosa mulut berwarna merah muda serta tidak berbau mulut. Kondisi kulit dan rambut juga diperiksa untuk melihat ada tidaknya luka akibat cedera, ektoparasit atau sebab lain pada ternak. Ternak yang memiliki masalah ektoparasit seperti scabies tidak diperbolehkan dipotong karena berpotensi menular pada manusia. Pemeriksaan lainnya yaitu kebersihan anus dan ekor. Ternak yang mengalami diare maka akan terlihat bekas feses pada anus. Diare merupakan indikasi terjadinya gangguan saluran pencernaan sehingga perlu dilakukan karantina. Pemeriksaan ante mortem dilakukan oleh keur master di bawah pengawasan dokter hewan Hasil pemeriksaan ante mortem yaitu keputusan ternak diijinkan untuk disembelih, harus segera disembelih, ditunda penyembelihannya dan dilarang untuk disembelih. Pemeriksaan antemortem pada masa rotasi PPDH kedinasan, semua ternak yang diperiksa dinyatakan diijinkan untuk disembelih. Ternak yang diijinkan untuk disembelih ditandai dengan cat semprot warna putih yang disemprotkan pada bagian tanduk (Gambar 4.6).

Gambar 4.6 Penandaan pada ternak yang telah melalui pemeriksaanante mortem.

Pemeriksaan post mortem dilakukan setelah ternak disembelih. Bagian yang diperiksa yaitu kepala, karkas, organ pada bagian dada dan organ pada bagian perut serta pemeriksaan limfoglandula. Pemeriksaan Post mortem telah sesuai dengan Gerser, F. (2003), yaitu pada kepala dilakukan dengan cara menginspeksi bagian hidung dan palatum kemudian dilakukan insisi dan palpasi pada lidah, otot masseter, Lgl. Retropharyngealis, Lgl Parotideus, Lgl. Submaxillaris dan Lgl. Mandibularis untuk melihat ada tidaknya cysticercus. Pemeriksaan trakea dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan insisi pada bagian pertemuan cincin tulang rawan, untuk melihat kemungkinan ditemukannya kelainan pada mukosa lumen, peradangan, buih dan infestasi cacing, pemeriksaan oesophagus dilakukan dengan inspeksi, palpasi, dan insisi untuk melihat lumen terhadap kemungkinan ditemukan adanya cysticercus.Paru-paru diperiksa dengan cara palpasi dan insisi pada kedua lobus dan pemeriksaan Lgl. Mediastinalis cranialis, Lgl. Mediastinalis caudalis, dan Lgl. Bifurcatio trachealis dextra-sinestra. Pemeriksaan jantung dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi untuk mengamati kemungkinan adanya perikarditis, ptechia, degenerasi dan pericarditis traumatic kemudian dilanjutkan dengan insisi perikardium. Insisi pada bagian perikardium untuk melihat adanya cairan perikardium dan ada tidaknya cysticercus. Hati diinspeksi, palpasi, dan insisi pada seluruh lobus hati untuk melihat warna, ukuran, dan konsistensi terhadap kemungkinan adanya degenerasi, pembendungan dan cacing. Pemeriksaan selanjutnya yaitu pada limpa dengan cara inspeksi, palpasi dan insisi pada seluruh permukaan limpa untuk melihat warna, ukuran limpa dan konsistensi. Pemeriksaan pada bagian usus dan lambung dilakukan dengan cara mengeluarkan isi usus dan lambung lalu dilanjutkan dengan melihat lumen dan mukosa usus dan lambung terhadap adanya infestasi cacing. Insisi juga dilakukan pada Lgl. Mesenterica di usus, pemeriksaan karkas dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh permukaan bagian luar dan dalam karkas serta dilakukan insisi pada Lgl. Sub iliaca dan Lgl. Cervicalis superficialis untuk mengetahui kondisi karkas, pemeriksaan ginjal dilakukan dengan inspeksi, insisi, dan palpasi untuk mengetahui adanya pembengkakan, oedema dan peradangan. Hasil keseluruhan pemeriksaan postmortem yaitu keputusan daging baik untuk konsumsi, dapat dikonsumsi manusia setelah bagian yang tidak layak dikonsumsi dibuang dan dilarang untuk dikonsumsi. Pemeriksaan postmortem pada masa rotasi PPDH kedinasan, semua daging dinyatakan baik dan boleh dikonsumsi yang kemudian distempel (Pemberian stempel diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor295/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan) dan diijinkan untuk dijual di pasar. Hasil pemeriksaan post mortem terdapat hati yang terkena Fasciolosis. Organ pada kondisi ini sebenarnya memiliki warna, bau dan konsistensi normal, tetapi terdapat bagian yang tidak normal akibat adanya parasit berupa cacing. Berikut merupakan penjelasan penyakit Fasciolosis dan cara pencegahannya.a) Penyakit Fasciolosis Penyakit Fasciolosis disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica, Fasciolosis ini pada ternak menyerang organ hati dan biasa disebut liver fluke. Spesies cacing Fasciola yang menyerang ternak ruminansia di Indonesia hanya satu spesies, yaitu F. gigantica dan induk semang antaranya pun hanya satu, yaitu siput Lymnaea rubiginosa. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh van-Vezen pada tahun 1890 dan pada tahun 1921 penyakit ini sudah menyebar hampir di seluruh Indonesia dengan kejadian rata-rata 35%. Penyebaran cacing kelas trematoda ini di suatu daerah memerlukan minimal satu induk semang antara yaitu berupa siput Famili Lymnaeidae. Oleh karena itu, induk semang definitif harus berada dalam satu lingkungan dengan siput yang berperan sebagai induk semang perantara. Siklus hidup cacing F. gigantica memerlukan induk semang utama, yaitu siput L. rubiginosa. Oleh karenanya, di Asia Tenggara termasuk di Indonesia, distribusi dari F. gigantica tergantung pada keberadaan siput tersebut. Fasciolosis pada ternak biasanya tidak memperlihatkan gejala klinis yang menciri. Gejala yang mungkin terlihat berupa kekurusan, lemah, nafsu makan turun, pucat, diare, dan bulu kusam. Gejala ini mirip dengan penyakit parasiter lainnya ataupun kurang gizi, sehingga peternak tidak menyadari bahaya dari penyakit ini, sehingga pencegahan dan pengendaliannya masih kurang diperhatikan. Kejadian Fasciolosis pada ternak ruminansia berkaitan dengan daur hidup cacing Fasciola sp.. Ternak dapat terinfeksi karena memakan hijauan yang mengandung metaserkaria (larva infektif cacing hati). Sekitar 16 minggu kemudian cacing tumbuh menjadi dewasa dan hidup di saluran empedu. Cacing dewasa memproduksi telur dan keluar bersama feses. Pada kondisi yang cocok telur cacing menetas dan mengeluarkan mirasidium. Telur cacing F. hepatica akan menetas dalam 9-12 hari pada suhu 26C, sedangkan telur cacing F. gigantica akan menetas dalam 14-17 hari pada suhu 28C. Mirasidium memiliki cilia (rambut getar) dan aktif berenang untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu siput Lymnaea sp., yang kemudian menembus ke dalam tubuh siput. Dalam waktu 24 jam didalam tubuh siput, mirasidium akan berubah menjadi sporosis dan 8 hari kemudian akan berkembang menjadi redia, 1 sporosis tumbuh menjadi 1-6 redia. Redia kemudian siap keluar dari siput, bersama serkaria yang dilengkapi ekor untuk berenang, dan menempel pada benda yang terendam air seperti jerami, rumput atau tumbuhan air lainnya. Tidak lama kemudian serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista yang disebut metaserkaria (Jusmaldi, 2009). Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola sp.. Bila metaserkaria termakan oleh ternak, di dalam usus metaserkaria tersebut akan keluar dari kista menembus dinding usus menuju hati. Dalam waktu sekitar 16 minggu metaserkaria akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan mulai memproduksi telur. Cacing Fasciola sp. dapat hidup sekitar satu tahun di dalam tubuh ternak. Cacing ini akan memakan jaringan hati dan darah pada saat masih muda, dan makanan utama setelah dewasa adalah darah. Pada pemeriksaan hati sapi di rumah potong hewan, luas kerusakan hati tergantung pada infeksi dan lamanya hewan sakit (Martindah, 2005). Pada infeksi yang parah terlihat adanya perubahan berupa pembengkakan yang berair dan penyumbatan saluran empedu, jaringan hati mengeras karena terbentuk jaringan parut (cirrhosis) dan hati mengecil (atrophi). Telur cacing Fasciola sp. hanya akan menetas pada kondisi cukup air. Telur tidak tahan panas dan kering, sehingga telur yang berada dalam feses sapi yang berceceran saat digembalakan pada musim kemarau tidak banyak berperan dalam penyebaran penyakit. Telur yang berada dalam tumpukan feses jika terpapar sinar matahari akan mati dalam 2 minggu, tetapi di tempat teduh sebagian besar telur cacingnya akan mati dalam 8 minggu karena meningkatnya suhu akibat proses dekomposisi dari limbah kandang tersebut. Pertumbuhan cacing mulai saat tertelan hingga dewasa dapat memproduksi telur di dalam tubuh ternak, yang sering dikenal dengan istilah Periode Pre Paten (PPP), pada sapi 15-21 minggu dan pada kerbau 22-32 minggu. PPP ini sangat berarti dalam menetapkan jenis obat cacing yang akan dipakai untuk program pengobatan fasciolosis pada ternak (Jusmaldi, 2009).

b) Sifat Biologi Siput Lymnaea rubiginosa dan Cara Pengendalian Penyakit FasciolosisL. rubiginosa merupakan siput air tawar yang memerlukan air dalam hidupnya berada pada air dangkal yang mengalir seperti pada lahan tanaman padi (sawah). Sawah irigasi merupakan habitat yang cocok, di mana siput dapat berkembang biak dengan cepat dan populasinya tetap tinggi sampai menjelang panen. Siput dapat menyebar secara cepat karena kebiasaannya mengapung di permukaan air dan terbawa arus air ke tempat lain. Pada kondisi kering, selama 2 minggu tanpa hujan, sebagian besar siput (>90%) akan mati (Jusmaldi, 2009).Pengendalian Fasciolosis pada ternak ruminansia pada prinsipnya memutus daur hidup cacing. Secara umum, strategi pengendalian Fasciolosis didasarkan pada musim (penghujan/basah dan kemarau/kering). Pada musim penghujan, populasi siput mencapai puncaknya dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi. Sehingga diperlukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap infeksi cacing Fasciola sp. yaitu dengan cara: 1. Limbah kandang yang digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi harus sudah difermentasikan terlebih dahulu, sehingga telur cacing Fasciola sp. sudah mati. 2. Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan memotong 1-1,5 cm dari tanah. 3. Jerami dijemur selama 2-3 hari di bawah sinar matahari dan dibolak-balik selama penjernuran sebelum digunakan untuk pakan. 4. Penyisiran jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk mengurangi pencemaran metaserkaria. 5. Tidak menggembalaan ternak di daerah berair atau yang tercemar oleh metaserkaria cacing hati. 6. Pengobatan pada ternak sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Pemberian obat cacing dapat membunuh segala stadium perkembangan cacing hati cukup dilakukan sekali saja sekitar 6-8 minggu. Apabila menggunakan obat cacing yang hanya mampu membunuh cacing dewasa saja sebaiknya dilakukan dua kali setahun (Martindah, 2005). Mengingat bahwa Fasciolosis merupakan penyakit parasiter pada ternak ruminansia yang gejala klinisnya tidak jelas, maka sosialisasi tentang siklus hidup parasit dan semua faktor yang berkaitan dengan Fasciolosis, perlu dilakukan agar masyarakat dapat lebih memahami tentang penyakit ini, sehingga kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap Fasciolosis dapat meningkat. Salah satu upaya sosialisasi tersebut adalah melalui penyuluhan dengan pendekatan partisipatif, yang melibatkan semua lini yang terkait seperti Dokter Hewan, penyuluh, peternak, dan peneliti (Martindah, 2005). Hasil pemeriksaan post mortem pada 10 organ hati dapat dilihat pada tabel 4.1, pola penyebarannya dapat dilihat pada gambar 4.7 dan hati yang terinfeksi cacing Fasciola sp. dapat dilihat pada gambar 4.8. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaaan Organ Hati di PD-RPH Kota MalangNo.Asal SapiJumlah Hati Yang DiperiksaPrevalensiJumlah Yang Diperiksa

TerinfeksiTidak Terinfeksi

1. Kota dan Kab. Malang4640%10

Keterangan : Perhitungan angka prevalensi Point Prevalen Rate = x K (Konstanta=100%)=x 100% = 40%

Gambar 4.7 Pola Penyebaran Penyakit Fasciolosis Di Kota Malang

Gambar 4.8 Hati yang terinfeksi cacing Fasciola sp. Cacing Fasciola sp. di tunjuk oleh panah berwarna merah.Hasil pemeriksaan terhadap penyakit Fasciolosis menunjukkan bahwa Kota Malang termasuk daerah endemis penyakit Fasciolosis hal ini dapat diketahui dari hasil pemeriksaan organ hati di PD-RPH Gadang, dari 10 organ hati yang dilakukan pemeriksaan terdapat 4 hati yang terinfeksi penyakit Fasciolosis. Angka pervalensi, dalam epidemiologi didefinisikan sebagai banyaknya jumlah kasus penyakit yang terjadi dalam suatu populasi dalam kurun waktu tertentu atau jumlah total kasus dalam populasi dibagi dengan jumlah individu dalam populasi. Angka prevalensi dapat digunakan untuk memperkiraan seberapa sering kejadian penyakit yang berada dalam suatu populasi terjadi selama periode waktu tertentu. Hal ini membantu dokter atau ahli kesehatan lain memahami kemungkinan diagnosis terhadap suatu penyakit. Intepretasi hasil dari penghitungan prevalensi ini adalah semakin tinggi tingkat prevalensi di suatu populasi menunjukkan bahwa semakin tinggi pula jumlah penyakit yang menjangkit di populasi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Kesimpulan dari pemeriksaan organ hati di PD-RPH Gadang menunjukkan bahwa kejadian penyakit Fasciolosis pada sapi yang terdapat di Kota Malang memiliki tingkat kejadian yang rendah hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan prevalensi yaitu sebesar 40%.

4.3.2 Pelaksanaan Pengawasan dan Pemeriksaan Bahan-Bahan Asal HewanSelain pemeriksaan ante mortem dan post mortem di PD-RPH Kota Malang Bidang Peternakan dan Kesehetan Hewan Kota Malang juga melakukan pengawasan dan pemeriksaan bahan-bahan asal hewan yaitu melakukan pemeriksaan daging sapi di pasar Madyopura Kelurahan Madyopuro Kecamatan Kedungkandang dan pemeriksaan sampel susu dari agen penjual susu yang tersebar di Kota Malang.a) Sampel Daging Sapi dari Pasar Madyopura Kelurahan Madyopuro Kecamatan Kedungkandang Kota Malang Sampel yang didapat dari pasar Madyopura sebanyak enam sampel daging sapi dari enam pedagang yang berbeda. Sampel yang didapat dimasukkan dalam kantong plastik dengan diberi label nama dan alamat penjual daging. Pemeriksaan daging dilakukan dengan uji organoleptik, pengukuran pH, dan uji eber.

Gambar 4.9 Pengambilan Sampel Daging Di Pasar Madyopuro

Pemeriksaan organoleptik digunakan untuk melihat daging secara makroskopik. Pemeriksaan organoleptik dapat dilakukan dengan cara pengamatan warna, tekstur, konsistensi, dan bau daging. Warna daging segar disebabkan adanya pigmen merah keunguan yang disebut myoglobin yang berikatan dengan oksigen yang struktur kimianya hampir sama dengan haemoglobin. Tekstur dan konsistensi dari daging sangat ditentukan oleh protein-protein penyusunnya. Warna daging segar berwarna merah sampai merah gelap. Warna tersebut berubah menjadi merah terang apabila daging tersebut dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna merah sampai merah gelap menjadi merah terang tersebut bersifat reversible. Namun, jika daging tersebut terlalu lama terkena oksigen maka warna merah terang akan berubah menjadi coklat. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar, mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna coklat. Timbulnya warna coklat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak. Sampel daging rusak/busuk menunjukkan perubahan yang sangat jelas, dimana bau sudah menjadi amis, warna merah kehitaman, berlendir dan tekstur licin akibat pengeluaran lendir (Astawan, 2004). Hasil pemeriksaan organolaptik menunjukkan dua dari eman sampel menunjukkan bau amis, warna merah muda disertai konsistensi daging yang tidak kenyal.

Gambar 4.10 Pemeriksaan Organolaptik Daging (Sampel A, B, C, D, E, dan F dimulai dari kiri ke kanan)

Pemeriksaan awal pembusukan dapat dilakukan dengan uji Eber. Jika terjadi pembusukan, maka ditandai dengan terjadi pengeluaran asap di dinding tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Pada daging sapi segar belum terbentuk gas NH3 sehingga tidak bereaksi dengan asam kuat (HCL) sehingga tidak terbentuk NH4Cl (gas). Pada daging busuk jelas terlihat gas putih (NH4Cl) pada dinding tabung karena pada daging busuk gas NH3 sudah terbentuk (Lawrie, 1995). Hasil uji eber menunjukkan dua sampel mulai memasuki fase pembusukan yang ditandai dengan terbentuknya awan putih pada dinding tabung reaksi (gambar 4.11)

Gambar 4.11 Uji Eber Mengetahui Awal Pembusukan Daging

Standar pH daging sapi segar yang baru disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun. Nilai pH daging setelah penyembelihan akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaero. Setelah hewan disembelih penyedian oksigen otot terhenti, sehingga daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985). pH daging segar adalah 7,2. Setelah 24 jam pH daging mengalami penurunan karena adanya aktivitas mikroba yang menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam laktat. Namun, pada daging busuk pH meningkat karena penurunan aktivitas mikroba penghasil asam laktat karena persediaan glikogen yang semakin terbatas dan diikuti aktivitas mikroba penghasil senyawa basa. Pengukuran pH dilakukan menggunakan alat pH meter (Lawrie, 1995). Menurut Yanti et al., (2008) pH daging sapi normal berkisar antara 5,466,29. Hasil pengukuran pH menunjukkan rata-rata pH daging sampel dari pasar Madyopuro berkisar antara 5,6 - 5,0 (Gambar 4.12).

Gambar 4.12 Pengukuran pH Sampel Daging Sapi Menggunakan pH Meter

Tabel 4.2 Hasil pengujian sampel daging dari pasar Madyopuro Kec. KedungkandangNama PedagangOrganoleptikpHHasil uji EberKesimpulan

WarnaBauTekstur

AMerah segarAromatisLembut5,66-Baik sekali

BMerah pucatAmisKeras 5,14++Kurang baik

CPucat sekaliAmisKeras 5,02+++Kurang baik

DMerah pucatAromatisLembut5,07+Baik

EMerah segarAromatisLembut5,12+Baik

FMerah segarAromatisLembut5,6+Baik

Kesimpulan hasil pengujian kualitas daging dapat diketahui bahwa daging yang beredar di Kota Malang memiliki kualitas yang baik serta aman untuk dikonsumsi (tabel 4.2). Tetapi ada dua sampel yaitu sampel B dan C yang memilki kualitas kurang baik karena dari hasil uji organolaptik daging menunjukkan warna pucat, konsistensi tidak kenyal, dan bau amis, pada hasil pengukuran dengan pH meter menunjukkan bahwa nilainya telah berada dibawah nilai normal daging sapi, dan hasil uji eber menunjukkan bahwa terdapat awan putih sehingga dapat disimpulkan bahwa daging sampel B dan C telah mulai menunujukkan tanda busuk sehingga tidak layak dikonsumsi.

b) Pemeriksaan Sampel Susu dari Agen Penjual Susu Yang Tersebar Di Kota MalangPemeriksaan susu dilakukan dengan mengambil sampel masing-masing 500 ml dari agen penjual susu yang tersebar di Kota Malang. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari mulai jam 06.00-08.00 pagi. Sampel susu diambil dari 7 agen yang berbeda yaitu agen susu Sumber Murni, agen susu AK , agen susu Bapak Gatot, agen susu Bapak Warsito, agen susu Bapak Warno, agen susu Nasional, agen susu Lioe. Sampel yang didapat disimpan dalam cool box untuk mencegah kerusakan sampel susu.

Gambar 4.13 Pengambilan Sampel Susu Pada Salah Satu Agen Penjual Susu Di Kota Malang

Pengujian yang dilakukan adalah uji organolaptik, uji kebersihan, uji alkohol, uji didih dan uji berat jenis. Uji Organoleptik dilakukan untuk melihat warna, rasa, dan bau. Warna susu segar berwarana putih kekuningan bergantung jenis hewan, pakan, dan jumlah lemak. Warna putih tersusun dari kalsium kaseinat dan koloid fosfat. Sedangkan warna kekuningan diakibatkan adanya karoten. Bau susu segar adalah khas bau susu, karena kandungan asam volatile dan lemak dalam susu. Susu mudah menyerap bau disekelilingnya karena diakibatkan oleh sifat lemak dalam susu yaitu oil in water type. Rasa susu segar berasa agak manis karena mengandung laktosa (Deski,2013). Hasil dari pemeriksaan ini semua sampel susu memiliki warna, bau dan rasa yang baik.Uji kebersihan adalah untuk melihat apakah susu ini bersih atau tidak. Susu yang kotor merupakan indikator sanitasi yang buruk (Deski,2013). Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa susu yang diedarkan kepada masayrakat bersih. Kotoran yang dapat diamati antaralain rambut sapi, sisa-sisa makanan, feses, darah dan lain-lain. Hasil pemeriksaan sampel susu memiliki tingkat kebersihan yang baik (gambar 4.14).

Gambar 4.14 Uji Kebersihan Susu

Uji alkohol digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman susu. Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein. Susu yang memiliki derajat keasaman yang tinggi apabila direaksikan dengan alkohol yang memiliki daya dehidrasi, maka protein didalam susu akan berkoagulasi. Hasil uji alkohol menunjukkan semua sampel negatif atau tidak terbentuk gumpalan sehingga sampel susu masih segar.Uji didih digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman susu. Prinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah. Hasil pemeriksaan susu dengan uji didih semua sampel tidak mengalami penggumpalan atau negatif, sehingga sampel susu yang diambil masih segar. Uji berat jenis memiliki prinsip membandingkan antara berat bahan tersebut dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Berdasarkan batasan Uji berat jenis, prinsip uji ini adalah membandingkan antara berat bahan tersebut dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Berdasarkan batasan ini, maka berat jenis tidak bersatuan. Berat jenis susu rata rata 1,032. Berat jenis dipengaruhi oleh kadar padatan total dan bahan padatan tanpa lemak. Kadar padatan total susu diketahui jika diketahui berat jenis dan kadar lemaknya. Berat jenis susu biasanya ditentukan dengan menggunakan laktodensimeter atau laktometer. Lamtodensimeter adalah hidrometer dimana skalanya sudah disesuaikan dengan berat jenis susu. Prinsip kerja alat ini mengikuti hukum archimides yaitu jika suatu benda dicelupkan ke dalam suatu cairan, maka benda tersebut akan mendapat tekanan keatas sesuai dengan berat volume cairan yang dipindahkan (diisi). Jika laktometer dicelupkan dalam susu yang rendah berat jenisnya, maka laktometer akan tenggelam lebih dalam (Deski,2013). Hasil pemeriksaan berat jenis lima dari tujuh sampel yang diuji diketahui memiliki berat jenis dibawah standar SNI 01-3141-1998 untuk susu segar yaitu 1,027.

Gambar 4.15 Uji Berat Jenis Pada Susu

Pengujian kandungan pada susu dilakukan dengan alat Lactoscan MCC Milk analyzer. Alat tersebut dapat menganalisa kadar lemak, berat kering tanpa lemak (BKL), kadar protein, kadar Laktosa, suhu, kadar air, kepadatan, titik beku dan konduktivitas susu. Cara penggunaan alat tersebut dengan memasukkan 40 ml sampel susu untuk uji kandungan susu dan 20 ml sampel untuk menguji pH pada wadah yang telah disediakan. Milk analyzer akan menganalisa komponen susu (gambar 4.16). Gambar 4.16 Lactoscan Milk analyzer MCC dan Hasil Analisa

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Sampel SusuNoSampelBJLemakBktlpHKebersihanAlkohol

1.SNI 01-3141-19981,028Min 3.0%Min 8,0 %6-7BersihNegatif

2.A< 1,0201,4%3,33%6,9BersihNegatif

3.B1,0202,8%5,39%7,1BersihNegatif

4.C1,0262,9%7,19%7,0BersihNegatif

5.D< 1,0202,3%4,29%7,0BersihNegatif

6.E