laporan klorinasi

28
I. TUJUAN Mengetahui jumlah khlor yang dibutuhkan untuk air baku dengan kualitas tertentu sehingga tercapai titik breakpoint chlorination (BPC) II. DASAR TEORI 1. Klorinasi Klorinasi adalah proses desinfeksi dengan menggunakan Klor pada pengolahan air bersih maupun air limbah. Proses klorinasi dimaksudkan untuk membunuh bakteri yang ada yang dapat membahayakan kesehatan kita. Dalam klorinasi dikenal istilah Chlorine Dosage, Chlorine Demand, Chlorine Residual, Ketersediaan residu klorin bebas, dan Residu Klorin terkobinasi. Chlorine dosage adalah jumlah klorin yang ditambahkan, biasanya dinyatakan dalam mg/L. Chlorine demand adalah jumlah klorine yang tidak tersedia sebagai desinfektan sebagai akibat reaksi dari berbagai senyawa. Chlorine residual adalah jumlah klorin sebagai desinfektan setelah waktu kontak tertentu. Ketersediaan residu klorin bebas adalah jumlah dari residu klorin yang tersedia di dalam air bersih dan air limbah. Sementara residu klorin terkombinasi adalah jumlah dari residual klorin yang telah terkombinasi dengan ammonia atau organik nitrogen lainnya seperti cloroamine dan masih memiliki kekuatan desinfeksi 2. Reaksi Kimia pada Klorinasi Klorin yang umum digunakan ada dalam bentuk klorin bebas atau dalam bentuk hypochlorite. Keduannya merupakan agen oksidasi potensial yang biasanya sebagian akan hilang dalam reaksi sehingga di perlukan perhitungan chlorine demand. 2.1.Reaksi dengan air Klorin beraksi dengan air membentuk asam hypochlorous dan asam hydrochloric Cl 2 + H 2 O HOCl + H + + Cl - H + Cl [HOCl ] [Cl 2 ] = 4 x 10 4 (at 25 o C) Pada pH 2 sampai 3 reaksi diatas didominasi oleh klorin bebas. Hal ini bisa menyebabkan terbentuknya trikloroamin (NCl 3 ). Untuk meminimalisasi efek ini maka diperlukan air dengan kualitas yang bagus sebelum masuk ke tahap klorinasi. Sementara pada larutan encer dan pH diatas 4 reaksi diatas bergeser ke arah kanan dan hanya ada sedikit sekali Cl 2 di dalam air. Asam

Upload: saiful-rapier-amin

Post on 04-Aug-2015

2.933 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: laporan Klorinasi

I. TUJUAN

Mengetahui jumlah khlor yang dibutuhkan untuk air baku dengan kualitas

tertentu sehingga tercapai titik breakpoint chlorination (BPC)

II. DASAR TEORI

1. Klorinasi

Klorinasi adalah proses desinfeksi dengan menggunakan Klor pada

pengolahan air bersih maupun air limbah. Proses klorinasi dimaksudkan untuk

membunuh bakteri yang ada yang dapat membahayakan kesehatan kita. Dalam

klorinasi dikenal istilah Chlorine Dosage, Chlorine Demand, Chlorine Residual,

Ketersediaan residu klorin bebas, dan Residu Klorin terkobinasi. Chlorine dosage

adalah jumlah klorin yang ditambahkan, biasanya dinyatakan dalam mg/L.

Chlorine demand adalah jumlah klorine yang tidak tersedia sebagai desinfektan

sebagai akibat reaksi dari berbagai senyawa. Chlorine residual adalah jumlah

klorin sebagai desinfektan setelah waktu kontak tertentu. Ketersediaan residu

klorin bebas adalah jumlah dari residu klorin yang tersedia di dalam air bersih

dan air limbah. Sementara residu klorin terkombinasi adalah jumlah dari residual

klorin yang telah terkombinasi dengan ammonia atau organik nitrogen lainnya

seperti cloroamine dan masih memiliki kekuatan desinfeksi

2. Reaksi Kimia pada Klorinasi

Klorin yang umum digunakan ada dalam bentuk klorin bebas atau dalam

bentuk hypochlorite. Keduannya merupakan agen oksidasi potensial yang

biasanya sebagian akan hilang dalam reaksi sehingga di perlukan perhitungan

chlorine demand.

2.1.Reaksi dengan air

Klorin beraksi dengan air membentuk asam hypochlorous dan asam

hydrochloric

Cl2 + H2O HOCl + H+ + Cl

-

H+ Cl− [HOCl ]

[Cl 2]= 4 x 10−4 (at 25

oC)

Pada pH 2 sampai 3 reaksi diatas didominasi oleh klorin bebas. Hal ini bisa

menyebabkan terbentuknya trikloroamin (NCl3). Untuk meminimalisasi efek

ini maka diperlukan air dengan kualitas yang bagus sebelum masuk ke tahap

klorinasi. Sementara pada larutan encer dan pH diatas 4 reaksi diatas

bergeser ke arah kanan dan hanya ada sedikit sekali Cl2 di dalam air. Asam

Page 2: laporan Klorinasi

Hypochlorous adalah asam lemah dan hanya sedikit terdisosiasi pada pH

dibawah 6.

HOCl H+ + OCl

-

H+ OCl −

[HOCl ]= 2.7 x 10−8 ( at 20

oC)

Dibawah ini merupakan grafik hubungan antara pH dengan konsentrasi

HOCl dan OCl-

2.2. Reaksi dengan Impurities dalam Air

Klorin dan asam hypochlorous bereaksi dengan berbagai macam substrat,

termasuk ammonia dan material humus.

a. Reaksi dengan Amonia

Amonia ada didalam air sebagai kesetimbangan antara ion amonium dan

hidrogen. Amonia bereaksi dengan klorin atau asam hypochlorous

membentuk monokloramin, dikloramin, dan trikloramin tergantung

jumlah relatif masing msing komponen dan pH reaksi.

NH3 + HOCl NH2Cl + H2O (Monokloramin)

NH2Cl + HOCl NHCl2 + H2O (Dikloramin)

NHCl2 + HOCl NCl3 + H2O (Trikloramin)

Page 3: laporan Klorinasi

Monokloramin dan dicloramin memiliki kekuatan desinfeksi yang kuat

sehingga menjadi pertimbangan dalam perhitungan residu klorin

b. Reaksi Lainnya

Klorin bereaksi dengan berbagai maca material. Sebagian besar bereaksi

dengan reduktor. Hasil samping dari reaksi ini harus diperhatikan karena

kadang kadang hasil samping reaksinya berbahaya untuk kesehatan kita.

Sebagai contoh, klorin bereaksi dengan organik membentuk

trihalometane (THM) yang merupakan senyawa karsinogenik. Klorin

bereaksi dengan H2S membentuk HCl dan S. Klorin juga bereaksi

dengan Fe2+

, Mn2+

, dan NO2-

. Klorin bereaksi dengan ion bromida

membentuk HOBr dan Cl-

Br- + HOCl HOBr + Cl

-

HOBr juga merupakan desinfektan, tetapi bereaksi lebih cepat

dibandingkan dengan klorin. Ketika air mengandung bromida, klorin

akan menjadi lebih reaktif. HOBr juga bereaksi dengan organik.

Klorin juga bereaksi dengan phenol membentuk mono-, di-,

triklorophenol yang merupakan penyebab rasa dan bau pada air.

3. Sifat Khlor dan Kloramin

3.1.Khlor

Khlor merupakan unsur halogen dengan nomor atom 17. Khlor yang biasa

digunakan dalam proses desinfeksi adalah klorin (Cl2), Kaporit (Ca(OCl)2),

NaOCl, dan asam hipoklorit. Klorin merupkan gas yang reaktif yang bisa

mengoksidasi hampir semua senyawa. Khlor adalah bahan desinfektan

yang efektif untuk air yang jernih dan pH tidak asam. Saat ini penggunaan

klorin paling banyak digunakan dibandingkan desinfektan lainnya karena

harganya yang murah dan cukup efektif. Selain itu klorin akan menyisakan

residu yang akan menjamin air tetap steril selama proses distribusi

3.2.Kloramin

Khloramin adalah senyawa khlor hasil reaksi dengan amonia. Denyawa

yang termasuk kloramin adalah mono-, di-, dan trikloramin. Pembentukan

senyawa kloramin dari klorin dengan amonia dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain perbandingan mol dan pH. Apabila perbandingan mol

antara klorin dengan amonia adalah 1 : 1 maka akan terbentuk mono-, dan

dikloramin. Sementara, pada pH rendah pembentukan dikloramin lebih

Page 4: laporan Klorinasi

dominan. Apabila rasio mol klorin terhadap amonia 1.5 atau lebih, maka

akan terbentuk trikloramin, N2 dan NO2-

. pH juga merupakan parameter

penting, dalam hal ini pH berpengaruh pada rasio mol klorin terhadap

amonia dan apakah akan terbentuk trikloramin, N2 atau NO2-

4. Mekanisme atau Cara Kerja Khlor

Senyawa klorin bekerja membunuh bakteri yang ada di dalam air. Klorin

membunuh dengan merusak striktur sel bakteri. Kerusakan yang diakibatkan oleh

klorin adalah

4.1.Perusakan Kemampuan Permeabilitas Sel

Khlor bebas merusak membran dari sel bakteri, hal ini menyebabkan sel

kehilangan permeabilitasnya dan merusak fungsi sel lainnya. Paparan Khlor

menyebabkan kebocoran protein, RNA dan DNA. Sel mati merupakan hasil

pelepasan TOC dan material yang menyerap sinar UV, pengurangan sintesis

protein dan DNA. Perusakan kemampuan permeabilitas oleh khlor juga

penyebab kerusakan spora bakteri

4.2. Perusakan Asam Nukleat dan Enzim

Klorin juga bisa merusak asam nukleat dan enzim bakteri. Enzim merupakan

katalis alami dari berbagai macam reaksi sel. Salah satu akibat pengurangan

aktifitas katalis adalah penghambatan akumulasi hidrogen peroksida yang

merupakan senyawa racu didalam tubuh bakteri.

5. Grafik Klorinasi dan Breakpoint Chlorination

Grafik klorinasi merupakan grafik yang menggambarkan hubungan antara

dosis klorin dengan residu klorin. Grafik tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut:

Page 5: laporan Klorinasi

Seperti terlihat di grafik diatas pada zona I terjadi oksidasi klorin. Pada

zona II terjadi pembentukan Kloramin. Klormain terbentuk sebagai hasil reaksi

asam hypochlorous dan klorin bebas dengan amonia. Pada tahap ini juga terjadi

pembentukan senyawa chloro-organik. Pada zona III kloroamin mulai terurai dan

berkurang. Pada tahap ini juga terdapat BPC (breakpoint chlorination) atau titik

retak klorinasi. Break Point Chlorination (titik retak klorinasi) adalah jumlah klor

yang dibutuhkan sehingga :

semua zat yang dapat dioksidasi teroksidasi

amoniak hilang sebagai gas N2

masih ada residu klor aktif terlarut yang konsentrasinya dianggap perlu

untuk pembasmian kuman-kuman selama proses distribusi

Pada zona IV terjadi pembentukan klorin bebas. Klorin bebas memiliki

kekuatan desinfeksi yang sangant kuat, tetapi keberadaan mereka hanya sesaat

karena klorin sangat reaktif sehingga cepat sekali hilang keberadaannya didalam

air. Karena alasan inilah free klorin harus dibiarkan bereaksi dulu agar

membentuk mono-, dan dikloramin yang bertahan lebih lama didalam air

Page 6: laporan Klorinasi

6. Macam Macam Desinfektan

6.1. Residu Klorin

Residu Klorin ada desinfektan yang dibahas dalam laporan praktikum ini.

Klorin merupakan desinfektan yang efektif pada air yang jernih, dan pH tidak

alkalin. Saat ini penggunaan klorin paling banyak digunakan dibandingkan

desinfektan lainnya karena harganya yang murah dan cukup efektif. Selain itu

klorin akan menyisakan residu yang akan menjamin air tetap steril selama

proses distribusi

6.2. Klorin dioksida

Klorin dioksida merupakan agen pengoksidasi yang lebih kuat daripada klorin.

Proses desinfeksi menggunakan klorin dioksida tidak terlalu bergantung

dengan pH seperti pada penggunaan klorin. Hal ini menyebabkan residu klorin

lebih tahan lama dalam air. Akan tetapi penggunaan klorin dioksida kurang

efektif untuk desinfeksi agen virus sehingga penggunaannya terbatas. Klorin

dioksida terutama digunakan sebagai kontrol rasa dan bau. Klorin dioksida

tidak akan bereaksi dengan amonia sehingga penggunan klorin dioksida pada

air yang mengandung amonia jauh lebih efektif dibandingkan dengan klorin.

Kelemahan utama klorin dioksida adalah klorin dioksida tidak stabil dan harus

dibuat ditempat dengan reaksi klorin dalam sodium klorida. Selain itu klorin

dioksida juga harganya lebih mahal dibandingkan klorin

6.3.Ozone

Ozone (O3) adalah gas yang kurang stabil dan hanya sedikit larut dalam air.

Ozon adalah desinfektan yang efektif, ozon hampir membunuh semua bakteri

dan mikroba yang ada didalam air, tetapi karena kondisinya yang kurang stabil

sehingga ozon tidak akan meninggalkan residu didalam air seperti klorin

sehingga harus ditambahkan klorin untuk membunuh mikroba selama proses

distribusi. Kerugian lain dari penggunaan ozon adalah harganya yang jauh

lebih mahal daripada klorin.

6.4.Sinar UV

Ultraviolet merupakan suatu bagian dari spektrum elektromagnetik dan tidak

membutuhkan medium untuk merambat. Ultraviolet mempunyai rentang

Page 7: laporan Klorinasi

panjang gelombang antara 400-100 nm yang berada di antara spektrum sinar

X dan cahaya tampak . Secara umum sumber ultraviolet dapat diperoleh secara

alamiah dan buatan, dengan sinar matahari merupakan sumber utama

ultraviolet di alam. Sumber ultraviolet buatan umumnya berasal dari lampu

fluorescent khusus, seperti lampu merkuri tekanan rendah (low pressure) dan

lampu merkuri tekanan sedang (medium pressure). Lampu merkuri medium

pressure mampu menghasilkan output radiasi ultraviolet yang lebih besar

daripada lampu merkuri low pressure.

Radiasi ultraviolet merupakan suatu sumber energi yang mempunyai

kemampuan untuk melakukan penetrasi ke dinding sel mikroorganisme dan

mengubah komposisi asam nukleatnya. Absorbsi ultraviolet oleh DNA ( atau

RNA pada beberapa virus) dapat menyebabkan mikroorganisme tersebut tidak

mampu melakukan replikasi akibat pembentukan ikatan rangkap dua pada

molekul-molekul pirimidin (Snider et al, 1991). Sel yang tidak mampu

melakukan replikasi akan kehilangan sifat patogenitasnya. Radiasi ultraviolet

yang diabsorbsi oleh protein pada membran sel akan menyebabkan kerusakan

membran sel dan kematian sel. Namun perlu diperhatikan bahwa beberapa

mikroba khususnya bakteri memang mempunyai suatu system metabolik

fungsional yang bervariasi dalam mekanisme untuk memperbaiki kerusakan

asam nukleatnya . Adanya kemampuan mikroba untuk memperbaiki

kerusakan selnya. Pengaruh Intensitas Sinar Ultraviolet dan Pengadukan akan

dapat mempengaruhi efisiensi proses desinfeksi. Namun, mekanisme reaktifasi

mikroorganisme tersebut dapat diatasi dengan penggunaan dosis UV yang

sesuai. Tingkat inaktifasi mikroorganisme sangat tergantung pada dosis UV

yang digunakan. Kinetika inaktifasi mikroorganisme pada desinfeksi

menggunakan ultraviolet mengikuti Hukum Chick, pada persamaan berikut :

N = N0 . e-k.I.t

dengan :

N : jumlah mikroorganisme setelah dipapari UV pada waktu pemaparan

(t)

N0 : jumlah mikroorganisme awal (t = 0)

k : koef. tingkat inaktifasi mikroorganisme selama waktu tertentu

(tergantung pada faktor kualitas air)

I : intensitas ultraviolet

Page 8: laporan Klorinasi

Bryan et al. (1992) memodifikasi persamaan tersebut menjadi persamaan

tersebut sebagai berikut :

ln N/N0 = -k . I . t

Tanda negatif pada persamaan tersebut mengindikasikan adanya penurunan

dari jumlah mikroorganisme setelah waktu tertentu (Bryan et al., 1992).

Berdasarkan pada persamaan Hukum Chick, maka jumlah mikroorganisme

yang tersisa dapat dihitung sebagai fungsi dosis dan waktu pemaparan (White,

19925; USEPA, 1996).

Disinfeksi menggunakan radiasi UV umumnya digunakan dalam aplikasi

pengolahan air dan air limbah dalam menemukan peningkatan penggunaan

dalam pengolahan air minum. Banyak mata air menggunakan peralatan

disinfeksi UV untuk mensterilkan air pada mata air tersebut. Disinfeksi air

dengan tenaga surya adalah proses menggunakan botol PET dan sinar

matahari untuk melakukan proses mendisinfeksi air. Sebagai contoh, New

York City telah menyetujui pembangunan galon AS sebanyak 2 miliar per hari

(7.600.000 m3/d) untuk fasilitas air minum dengan proses desinfeksi

ultraviolet. Dahulu, disinfeksi UV dianggap lebih efektif untuk bakteri dan

virus dibandingkan patogen yang yang memiliki lapisan luar berbentuk kista

yang lebih besar dan melindungi DNA mereka dari sinar UV. Namun, baru-

baru ini ditemukan bahwa radiasi ultraviolet efektif untuk mengobati

Cryptosporidium mikroorganisme. Temuan ini membuat penggunaan radiasi

UV menjadi metode yang layak untuk pengolahan air minum

6.5.Iodine

Apabila air tidak keruh, iodine merupakan desinfektan yang efektif dan lebih

stabil dibandingkan dengan klorin. Iodine banyak digunakan untuk desifektan

volume kecil atau penggunaan pribadi. Tetapi untuk desinfektan skala besar

iodine tidak menguntungkan secara ekonomi karena harganya yang lebih

mahal dibandingkan dengan kaporit. Iodine hanya sedikit bereaksi dengan

organik sehingga resiko pembentukan halometane menjadi minimal, selain itu

iodine juga tidak bereaksi dengan amonia.

Untuk desinfeksi per 1 liter air biasanya diperlukan 2 % larutan iodine dalam

etanol dengan waktu kontak kurang dari 30 menit. Penggunaan iodine

Page 9: laporan Klorinasi

melebihi 2 mg/L membuat akan menyebabkan air agak berasa dan berbau khas

iodine. Penggunaan iodin diatas 4 mg/L dapat menimbulkan reaksi alergi pada

beberapa individu.

7. Metode Penentuan Total Chlorine Residual

7.1. Metode Iodometri

Metode ini berdasar pada kemampuan klorin dan residual klorin untuk

mengoksidasi I- menjadi I2 . reaksi yang terjadi sebagai berikut:

Cl2 + 2I- I2 + 2Cl

- (1)

I2 + amilum blue colour (test kualitatif) (2)

Pembentukan I2 yang ditandai dengan warna biru ketika diberi amilum

dapat dijadikan bukti keberadaan residual klorin tetapi tidak dapat

dijadikan indikasi jumlah residual klorin di dalam sampel. Untuk

menentukan jumlah residual klorin yang ada diperlukan titrasi dengan

larutan tiosulfat standar. Titrasi dilakukan sampai warna biru tepat hilang.

Warna biru yang hilang menandakan semua iodin telah bereaksi. Apabila

larutan terlalu pekat (Iodine > 1mg/L) maka titrasi dilakukan sebelum

penambahan amilum dan apabila larutan sudah encer (Iodine <1 mg/L )

ditambahkan amilum untuk kemudian dititrasi lagi dengan larutan standar

tiosulfat. Reaksi yang terjadi adalah

I2 + 2Na2S2O3 Na2S4O6 + 2NaI (3)

I2 + 2S2O32-

S4O62-

+ 2I-

(4)

Jumlah larutan tiosulfat yang digunakan dapat digunakan untuk

mencari jumlah iodin dengan menggunakan perbandingan mol reaksi (3)

dan (4). Jumlah iodin inilah yang digunakan untuk menentukan jumlah

residual klorin menggunakan perbandingan mol reaksi (1)

7.2. Metode Orthotolidine

Pada tahun 1909 Phelps mengajukan penggunaan orthotolidine sebagai

indikator klorometrik untuk residual klorin. Hasil yang diperoleh dari uji

ini kurang akurat dan diketahui bahwa orthotolidane merupakan senyawa

toxic sehingga saat ini meode ini sudah dihilangkan dari “Standar Methode”

Page 10: laporan Klorinasi

8. Faktor yang Mempengaruhi Klorinasi

8.1. Konsentrasi Desinfektan dan Waktu Kontak

Inaktivasi mikrooorganisme patogen oleh senyawa desinfektan dalam

hal ini adalah klorin/residual klorin bertambah sesuai dengan waktu kontak,

dan idealnya mengikuti kinetika reaksi orde satu. Inaktivasi terhadap

waktu mengikuti garis lurus apabila data diplot pada kertas log-log.

Nt/No = e-kt

Dimana

No = Jumlah mikroorganisme pada waktu = 0

Nt = Jumlah mikroorganisme pada waktu = t

K = decay constant atau konstanta pemusnahan (waktu-1

)

t = Waktu

Namun demikian data inaktivasi di lapangan menunjukan deviasi dari

kinetik orde satu seperti grafik berikut:

Gambar 7.1 : Kurva inaktivasi mikroorganisme didalam proses desinfeksi

Kurva C pada grafik diatas menunjukan deviasi dari kinetika orde satu.

Bagian ujung kurva merupakan akibat adanya subpopulasi dari populasi

heterogen mikroorganisme yang resisten terhadap desinfektan. Kurva A

menunjukan populasi mikroorganisme homogen yang sensitif terhadap

desinfektan. Sedangkan kurva B menunjukan populasi mikroorganisme

yang agak resisten terhadap desinfektan.

Efektifitas desinfektan dapat digambarkan sebagai C.t. C adalah

konsentrasi desinfektan dan t adalah waktu yang diperlukan untuk proses

inaktivasi sejumlah presentasi tertentu dari populasi pada kondisi tertentu

Page 11: laporan Klorinasi

(pH dan suhu). Hubungan antara populasi desinfektan dengan waktu

kontak diberikan oleh hukum watson sebagai berikut:

K = Cnt

Dimana

K = Konstanta mikroorganisme tertentu yang terpapar desinfektan pada

kondisi tertentu

C = Konsentrasi desinfektan (mg/L)

t = waktu yang diperlukan untuk memusnahkan prosentase tertentu dari

populasi (menit)

n = koefisien pelarut

Apabila t diplot terhadap C pada kertas logaritma ganda (log-log), n

adalah slope atau kemiringan dari garis lurus. Nilai n menunjukan

pentingnya konsentrasi desinfektan atau waktu kontak dalam proses

inaktivasi mikroorganisme. Apabila n < 1 proses desinfeksi lebih

dipengaruhi oleh waktu kontak dibandingkan dengan konsentrasi

desinfektan. Apabila n > 1 konsentrasi desinfektan merupakan faktor

dominan yang mempengaruhi proses desinfeksi. Namun demikian nilai n

umumnya mendekati 1.

Penentuan nilai C.t dapat melibatkan temperatur dan pH dari medium

suspensi. Sebagai contoh persamaan dikembangkan untuk mengetahui

inaktivasi kista dari Giardia Lambia pada proses pengolahan dengan

desinfektan khlor (Clark, 1989; Hubler, 1987)

𝐶. 𝑡 = 0.9847𝐶0.1758𝑝𝐻2.7519𝑇−0.1467

Dimana:

C = Konsentrasi khlor (C < 4,23 mg/L)

t = waktu untuk inaktivasi 99.99 % kista

pH = pH (antara 6 – 8)

T = temperatur (antara 0.5 – 5 oC)

Nilai C.t untuk mikroorganisme patogen dapat dilihat pada tabel dibawah

ini:

Page 12: laporan Klorinasi

Tabel: Harga Ct untuk inaktivasi mikroba dengan desinfektan khlor (T =

5oC, pH = 6.0)

Cara lain untuk menggambarkan efektifitas desinfektan tertentu adalah

dengan mengetahui koefisien kematian (Lethality coefficient) dan

persamaannya ditunjukan sebagai berikut (Moris, 1975)

λ = 4,6 / Ct99

Dimana:

4,6 = natural log of 100

C = konsentrasi sisa desinfektan (mg/L)

t99 = waktu kontak sampai inaktivasi 99 % mikroorganisme

8.2. Pengaruh pH

Dalam hal desinfeksi dengan senyawa khlor, pH akan sangat

mengontrol jumlah HOCl (asam hipoklorit) dan OCl-

(ion hipoklorit)

dalam larutan. HOCl 80 kali lebih efektif dibandingkan OCl- untuk E. Coli.

Didalam proses desinfeksi dengan khlor, harga Ct meningkat sejalan

dengan kenaikan pH. Sebaliknya inaktivasi bakteri, virus, dan kista

protozoa umumnya lebih efektif pada pH tinggi. Pengaruh pH pada

inaktivasi mikroba dengan kloramin tidak diketahui secara pasti karena

adanya hasil yang bertentangan.

8.3.Temperatur

Inaktivasi patogen dan parasit meningkat sejalan dengan meningkatnya

temperatur.

8.4.Pengaruh Kimia dan Fisik pada Desinfeksi

Page 13: laporan Klorinasi

Beberapa senyawa kimia yang dapat mempengaruhi proses desinfeksi

antara lain adalah senyawa nitrogen anorganik maupun organik, besi,

mangan, dan hidrogen sulfida. Senyawa organik terlarut juga menambah

kebutuhan khlor dan keberadaanya menyebabkan penurunan efisiensi

proses desinfeksi.

Kekeruhan didalam air disebabkan adanya senyawa anorganik (misal

lumpur, tanah liat, oksida besi) dan zat organik serta sel sel mikroba.

Kekeruhan dapat menurunkan daya desinfeksi dari khlor karena partikel

kekeruhan dapat menghalangi khlor berkontak dengan mikroba. Untuk itu

sebelum proses desinfeksi air harus diolah dulu untuk menghilangkan

kekeruhan. Gabungan TOC (Total Organic Carbon) dan kekeruhan akan

meningkatkan kebutuhan khlor sehingga tidak ekonomis.

9. Baku Mutu Khlor

Tidak ada baku mutu khlor yang digunakan. Hal ini disebabkan karena

jumlah khlor atau desinfektan yang dipakai berdasarkan kebutuhan kita. Tetapi

pada umumnya pengguanaan khlor untuk desinfektan harus memenuhi kriteria:

Semua zat yang dapat dioksidasi teroksidasi

Amoniak hilang sebagai gas N2

masih ada residu klor aktif terlarut yang konsentrasinya dianggap perlu

untuk pembasmian kuman-kuman selama proses distribusi

Tetapi, Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengeluarkan standard

residual klorin yang harus tersisa didalam sistem distribusi untuk membunuh

mikroba selama proses pendistribusian seperti tabel dibawah ini

Saluran Distribusi Residual klorin (mg/L)

At all points in a piped supply 0.5

At standposts and wells 1.0

In tanker trucks, at filling 2.0

Page 14: laporan Klorinasi

10. Aplikasi Data Klorin dan Breakpoint Chlorination

Penentuan kebutuhan deinfektan pada pengolahan air bersih dan air

limbah merupakan pertimbangan penting dalam pendesainan. Hal ini karena

data ini akan menjadi pertimbangan ukuran kapasitas unit desinfeksi, jumlah

kebutuhan desinfektan, bentuk penampung, dan sebagainya

Pada desain instalasi pengolahan, dosis desinfektan jumlahnya harus

tepat. Tepat dalam hal ini harus menguntungkan secara ekonomi, dapat

membunuh semua mikroba selama proses pengolahan dan distribusi serta

tidak meninggalkan senyawa berbahaya. Dosis klorin yang optimum

didapatkan dari percobaan iodometri ini. Karena setiap air memiliki

kandungan yang berbeda maka diperlukan Quality control dalam pengolahan

air bersih dan air limbah yang diukur setiap periode waktu tertentu.

III. ALAT DAN BAHAN

1. Alat

- Buret 25 mL

- Pipet 5 mL, 1 mL

- Kertas pH

- Karet penghisap

2. Bahan

- Asam asetat (glacial) yang pekat

- Kalium iodida KI kristal (hablur)

- Standar natrium tiosulfat Na2S2O3

- Indikator kanji

- Air Hujan

- Air Suling

Page 15: laporan Klorinasi

IV. PROSEDUR PERCOBAAN

Ambil sampel (air hujan) Pindahkan ke botol

winkler @100 ml (9

botol)

Tambahkan Kaporit 0.5; 1.0;

1.5; 2.0; 2.5; 3.0; 3.5 ml pada

botol 1-7

Diamkan 30 menit

@ 5 ml asam asetat pekat,

dikocok, cek pH (pH 3-4) Tambahkan KI @ 1

gram

Titrasi dengan Na2S2O3 0.01 N

sampai warna kuning hampir

hilang (botol 1-7)

tambahkan kanji 3 tetes

(botol 1-7)

Titrasi sampai warna biru

hilang (botol 1-7)

Page 16: laporan Klorinasi

Membuat Blanko & penentuan BPC

V. DATA PENGAMATAN

Waktu detensi 30 menit

Botol Titrasi Na2S2O3 Awal Titrasi Na2S2O3 Akhir Total Na2S2O3

(mL) Vawal Vakhir Vawal Vakhir

1 - - 36 36.3 0.3

2 36.3 36.5 36.5 36.9 0.6

3 36.9 37.6 37.6 38 1.1

4 38 38.6 38.6 39.4 1.4

5 39.4 40.1 40.1 40.4 1

6 40.4 41.5 41.5 42.9 2.5

7 42.9 44.8 44.8 46.3 3.4

100 ml air keran 5 ml asam asetat pekat + 3

tetes indikator kanji

Apabila warna biru keluar

titrasi dengan larutan standar

Na2S2O3, jika tidak keluar

titrasi dengan iodine 0.0282 N

sampai warna biru dan titrasi

dengan Na2S2O3 standar

sampai warna hilang

Ulangi langkah untuk botol

8 & 9 tetapi dengan waktu

kontak 5 menit dan 2 jam

Evaluasi waktu kontak

5, 30 menit, dan 2 jam

terhadap BPC

Page 17: laporan Klorinasi

Blanko

Titrasi Iodin Titrasi Tiosulfat

Vawal Vakhir Vawal Vakhir

15.8 16.3 46.3 47.6

Total 0.5 1.3

Titrasi Tiosulfat > titrasi Iodin maka blanko bernilai Positif

Waktu detensi 5 menit

Botol Titrasi Na2S2O3 Awal Titrasi Na2S2O3 Akhir Total Na2S2O3

(mL) Vawal Vakhir Vawal Vakhir

8 48 48.8 48.8 50 2

Waktu detensi 2 jam

Botol Titrasi Na2S2O3 Awal Titrasi Na2S2O3 Akhir Total Na2S2O3

(mL) Vawal Vakhir Vawal Vakhir

9 50 50.6 50.6 51.2 1.2

VI. PENGOLAHAN DATA

Pengolahan data bteakpoint chlorination

Botol 2

mg ClO2/L = 𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉

= 0.6−0.4 𝑥 0.087 𝑥 35453 𝑥 1

100

= 6.17 mg/l

Botol 3

mg ClO2/L = 𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉

= 1.1−0.4 𝑥 0.087 𝑥 35453 𝑥 1

100

= 21.6 mg/l

Botol 4

mg ClO2/L = 𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉

= 1.4−0.4 𝑥 0.087 𝑥 35453 𝑥 1

100

Page 18: laporan Klorinasi

= 30.48 mg/l

Botol 5

mg ClO2/L = 𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉

= 1−0.4 𝑥 0.087 𝑥 35453 𝑥 1

100

= 18.51 mg/l

Botol 6

mg ClO2/L = 𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉

= 2.5−0.4 𝑥 0.087 𝑥 35453 𝑥 1

100

= 64.77 mg/l

Botol 7

mg ClO2/L = 𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉

= 3.4−0.4 𝑥 0.087 𝑥 35453 𝑥 1

100

= 92.53 mg/l

Data yang diperoleh kemudian di plot ke dalam gravik dosis Klorin vs

Residual klorin

0102030405060708090

100

0 1 2 3 4

Re

sid

ual

Klo

rin

Dosis Klorin

grafik residual klorin vs dosis klorin

Breakpoint

Chlorination

Page 19: laporan Klorinasi

Pengolahan data hubungan waktu kontak dengan klorinasi

5 Menit

mg ClO2/L = 𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉

= 2−0.4 𝑥 0.087 𝑥 35453 𝑥 1

100

= 49.35 mg/l

30 Menit

mg ClO2/L = 𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉

= 1.1−0.4 𝑥 0.087 𝑥 35453 𝑥 1

100

= 21.59 mg/l

2 jam

mg ClO2/L = 𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉

= 1.2−0.4 𝑥 0.087 𝑥 35453 𝑥 1

100

= 24.67 mg/l

Grafik hubungan waktu kontak terhadap titik BPC

0

10

20

30

40

50

60

0 50 100 150

BP

C

Waktu Kontak

Grafik hubungan BPC vs waktu kontak

Page 20: laporan Klorinasi

VII. ANALISIS

1. Analisis Percobaan

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah khlor yang

dibutuhkan untuk air baku dengan kualitas tertentu sehingga tercapai titik

breakpoint chlorination (BPC). Sebelum melakukan percobaan praktikan

melakukan persiapan yaitu mengumpulkan sampel air hujan. Alasan

penggunaan air hujan karena air hujan memiliki kualitas yang hampir sama

dengan air olahan yang siap untuk diklorinasi dalam pengolahan air bersih. Air

hujan yang dipakai oleh kelompok praktikan adalah air hujan dari talang di

gedung K Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. sampel yang diambil

sebanyak minimal 900 mL.

Setelah melakukan persiapan, praktikan melakukan pengujian untuk

mengetahui breakpoint chlorination (BPC). Pertama praktikan memasukan

100 mL sampel kedalam botol Winkler. Setelah itu praktikan menambahkan

larutan kaporit kedalam masing masing sampel sebanyak 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; 2,5;

3,0; 3,5 mL kemudian botol winkler ditutup dan sampel dihomogenkan

dengan cara mengocoknya. Kaporit (Ca(OCl)2) ini akan segera larut dan

terionisasi menurut reaksi

Ca(OCl)2 Ca2+

+ 2OCl-

Selanjutnya OCl – akan membentuk kesetimbangan dengan air menurut reaksi

HOCl H+ + OCl

-

Pada 20oC reaksi ini memiliki konstanta kesetimbangan 2,7 x 10

-8

Sampel kemudian didiamkan selama 30 menit. Pendiaman sampel 30 menit ini

disebut waktu kontak. Penggunaan waktu 30 menit karena menyesuaikan

waktu kontak yang ada di dalam sistem pengolahan air minum.

Setelah itu, praktikan kemudian menentukan konsentrasi dari khlor

aktif. Caranya, pertama tambahkan asam asetat pekat (glacial) sebanyak 5 ml

ke dalam masing-masing sampel. Tujuan penambahan asam asetat pekat ini

adalah agar kondisi sampel asam dengan pH 3-4 (pH diukur dengan kertas

pH) . Hal ini karena reaksi oksidasi iodin oleh residual klorin optimum pada

kondisi tersebut. optimum karena pada pH tersebut senyawa yang akan

mengoksidasi klorin ada pada jumlah yang paling banyak. Kemudian

tambahkan KI sebanyak 1 gram, dan homogenkan lagi sampel dengan cara

mengocoknya. Akibat penambahan KI, larutan sampel berubah warna menjadi

Page 21: laporan Klorinasi

kuning kecoklatan. Hal ini terjadi karena terjadi oksidasi ion iodida dari KI

menjadi iodin (I2) menurut reaksi:

OCl- + 2 KI + 2 HAs I2 + 2 KAs + Cl

- + 2 H2O

NH2Cl + 2 KI + 2 HAs I2 + KAs + KCl + NH 4As

Atau dapat disederhanakan dalam persamaan ion bersih menjadi

Cl2 + 2I- I2 + 2Cl

-

Iodin yang terbentuk akan semakin banyak dengan pertambahan

jumlah kaporit. Hal ini ditunjukan dengan semakin kuning larutan pada botol

sampel dengan jumlah kaporit lebih banyak. Iodin yang terbentuk ini akan

semakin jelas dengan penambahan indikator amilum. Setelah ditambah

amilum iodin akan berubah menjadi biru tua.

I2 + kanji (strach) warna biru

Warna biru tua ini diakibatkan dari iodin yang terperangkap didalam

rantai spiral polisakarida (Amilum adalah polisakarida yang merupakan

strukrur polimer kompleks). Larutan yang encer kemudian dititrasi dengan

larutan standard tiosulfat sampai warna biru tepat hilang. Penyebab warna biru

hilang karena iodin (berwarna biru) tepat habis bereaksi dengan tiosulfat.

Tetapi apabila larutan sampel pekat (kuning kecoklatan) sebelum diberi

indikator amilum harus dititrasi dahulu dengan larutan standard tiosulfat untuk

mengurangi kepekatan iodin (sampai warna kuning muda). Penurunan

kepekatan ini karena iodin akan bereaksi dengan tiosulfat. Setelah itu larutan

bisa ditambahkan indikator amilum. Larutan yang sudah diberi indikator

amilum kemudian di titrasi lagi dengan larutan standard tiosulfat. mL titran

merupakan akumulasi dari mL tiosulfat yang digunakan dalam satu kali titrasi

yaitu pada sebelum penambahan amilum dan setelah penambahan amilum.

Iodine yang berikatan lemah dengan amilum akan segera lepas ketika dititrasi

karena ikatan tersebut didesak oleh tiosulfat. Reaksi kimia yang terjadi selama

titrasi adalah reaksi redoks yang mengubah I2 menjadi I- menurut reaksi:

I2 + 2Na2S2O3 Na2S4O6 + 2NaI

Atau dapat dituliskan dalam persamaan ion bersih sebagai berikut:

Page 22: laporan Klorinasi

I2 + 2S2O32-

S4O62-

+ 2I-

Setelah didapatkan ml titran praktikan kemudian membuat larutan

blanko dengan air keran. Syarat larutan blanko adalah tidak mengandung

senyawa khlor didalamnya dan air keran dianggap tidak mengandung khlor

karena air keran di FT UI berasal dari air tanah. Larutan blanko diperlakukan

sama dengan larutan sampel. Hanya saja blanko tidak ditambahkan kaporit

dan setelah ditambahkan amilum, larutan dititrasi dengan larutan iodin. Hal ini

karena didalam larutan blanko tidak terdapat iodin sebagai hasil reaksi dengan

kaporit. Tujuan penambahan iodin hanya dijadikan sebagai indikator yang

ditandai dengan warna biru. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan

standard tiosulfat sampai warna biru tepat hilang.

Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan rumus

yang ada dan direpresentasikan dalam grafik dosis klorin vs khlor aktif.

Setelah didapatkan grafik BPC maka praktikan menentukan dosis

kaporit dimana terjadi BPC. Pada dosis tersebut diuji lagi dengan cara yang

sama tetapi dengan waktu kontak yang berbeda. Hal ini digunakan untuk

menguji pengaruh lamanya waktu kontak terhadap klorinasi.

2. Analisis Hasil

Data yang diperoleh berupa ml titran, ml blanko, volume sampel,

normalitas tiosulfat, dan faktor pengenceran diolah menggunakan rumus

𝐴−𝐵 𝑥 𝑁 𝑥 35453 𝑥 𝑓𝑝

𝑉. Dari pengolahan diperoleh data mg ClO2/l yang

direpresentasikan didalam grafik sebagai berikut:

0102030405060708090

100

0 1 2 3 4

Re

sid

ual

Klo

rin

Dosis Klorin

grafik residual klorin vs dosis klorin

Breakpoint

Chlorination

Page 23: laporan Klorinasi

Dari grafik diatas kita bisa menganalisanya sebagai berikut

Pada zona 1 terjadi oksidasi klorin. Klorin yang memiliki biloks 0

dioksidasi menjadi hipoklorit yang memiliki biloks +1. Tahap ini tidak selalu

ada karena khlor yang digunakan tidak selalu dalam kondisi sebagai klorin.

Selanjutnya pada zona II merupakan terjadi pembentukan kloramin dan

senyawa kloro-organik (bila sampel mengandung zat organik). Kloramin juga

biasa disebut dengan combined chlorine residual. Kloramin yang mungkin

terbentuk adalah mono-, di-, dan trikloramin. pembentukan ini tergantung

ketersediaan khlor dan amonia sebagai penyusun utamanya. Kemungkinan

reaksi pembentukan kloramin adalah sebagai berikut:

NH3 + HOCl NH2Cl + H2O (Monokloramin)

NH2Cl + HOCl NHCl2 + H2O (Dikloramin)

NHCl2 + HOCl NCl3 + H2O (Trikloramin)

Mono-, dan dikloramin mempunyai kekuatan desinfeksi yang

signifikan sehingga menjadi pertimbangan dalam perhitungan residual klorin.

Apabila perbandingan mol antara klorin dengan amonia adalah 1 : 1 maka

akan terbentuk mono-, dan dikloramin. Pembentukan ini juga bergantung pada

pH sampel. Pada pH rendah pembentukan dikloramin lebih dominan.

Sementara apabila rasio mol klorin terhadap amonia 1.5 atau lebih, maka akan

terbentuk trikloramin, N2 dan NO2-

. pH juga merupakan parameter penting,

dalam hal ini pH berpengaruh pada rasio mol klorin terhadap amonia dan

0102030405060708090

100

0 1 2 3 4

Re

sid

ual

Klo

rin

Dosis Klorin

grafik residual klorin vs dosis klorin

Breakpoint

Chlorination

Breakpoint

Chlorination

Zona I Zona II Zona III Zona IV

Page 24: laporan Klorinasi

apakah akan terbentuk trikloramin, N2 atau NO2-

. Pada zona III terjadi

penurunan residu klorin terkombinasi. Penurunan residu klorin dengan

penambahan klorin ini disebabkan oleh dekomposisi kloramin menjadi gas

nitrogen (N2). Penurunan ini suatu saat akan mencapai nilai minimum yang

kemudian disebut dengan breakpoint chlorination (klorinasi titik retak). Pada

titik ini jumlah residual klorin, amonia dan klorin terkombinasi ada pada

jumlah paling minimum. BPC digunakan untuk memperoleh free chlorine

residual yang memiliki kekuatan desinfeksi lebih baik apabila supplai air

mengandung amonia. BPC juga digunakan sebagai metode untuk

menghilangkan amonia pada pengolahan air limbah. Pada zona IV, terlihat

bahwa residu klorin jumlahnya semakin besar seiring dengan penambahan

klorin. Hal ini karena senyawa senyawa yang mungkin bereaksi dengan klorin

seperti amonia, besi dan mangan sudah tidak ada lagi, sehingga tidak akan

mengganggu pembentukan residu klorin bebas (free chlorine residual).

Pada pengolahan air bersih jumlah klorin (Chlorine Demand) menjadi

parameter yang penting. Hal ini untuk memastikan air yang terdistribusikan

tidak mengandung bahan atau mikroba yang berbahaya. Penentuan jumlah

klorin untuk tiap air sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh kandungan air

seperti jumlah amonia, besi, mangan dan lain-lain yang berbeda beda antara

satu tempat dengan tempat lainnya.Penggunaan klorin sebagai desinfektan

harus mampu membunuh seluruh mikroba yang ada dan masih menyisakan

residu klorin bebas yang memiliki kekuatan desinfeksi selama proses

distribusi untuk membunuh mikroba yang selama proses distribusi mungkin

hadir. Residu yang masih tersisa untuk proses distribusi harus memenuhi

syarat berikut ini:

Saluran Distribusi Residual klorin (mg/L)

At all points in a piped supply 0.5

At standposts and wells 1.0

In tanker trucks, at filling 2.0

Page 25: laporan Klorinasi

Sementara pengujian selanjutnya setelah didapatkan BPC adalah pengujian

waktu kontak terhadap konsentrasi residu klorin

Grafik diatas adalah grafik dari BPC terhadap waktu kontak. Tujuan

dari pengujian adalah ini untuk mengetahui hubungan waktu kontak terhadap

BPC (Residu klorin). Dari grafik terlihat bahwa semakin lama waktu kontak

BPC makin kecil (residu klorin makis sedikit). Hal ini disebabkan karena

semakin lama waktu kontak maka klorin akan semakin banyak bereaksi

dengan senyawa-senyawa yang ada di dalam sampel. Senyawa yang sudah

bereaksi sebagian tidak bisa lagi mengoksidasi Iodine sebagai indikator atau

dasar perhitungan klorin aktif sehingga jumlahnya semakin menurun terhadap

waktu.

Dalam pengolahan air bersih waktu kontak menjadi pertimbangan yang

sangat penting. Hal ini karena proses desinfeksi sebanding dengan Ct. C

adalah konsentrasi desinfektan dan t adalah waktu kontak. Semakin lama

waktu kontak maka jumlah mikroba yang terbunuh akan semakin banyak.

Tetapi ada trade off yang membatasi lamanya waktu kontak. Penentuan

lamanya waktu kontak ini nantinya berhubungan dengan desain dan kapasitas

bak penampungan dan debit yang akan debit kebutuhan. Penentuan waktu

kontak dipilih yang paling optimum secara ekonomi dan masih memenuhi

standar yang ada.

3. Analisis Kesalahan

Ada beberapa kesalahan didalam praktikum yang menyebabkan data

yang diperoleh tidak sesuai dengan literatur. Ketidaksesuaian tersebut antara

0

10

20

30

40

50

60

0 50 100 150

BP

C

Waktu Kontak

Grafik hubungan BPC vs waktu kontak

Page 26: laporan Klorinasi

lain pada volume titran yang di gunakan pada titrasi sampel untuk pengujian

waktu kontak terhadap klorinasi. Berikut kesalahan kesalahan yang mungkin

terjadi yang menyebabkan data yang diperoleh meleset:

KI yang digunakan untuk pengujian di letakan di kertas biasa. Hal ini

menyebabkan sebagian KI menempel ke kertas dan tidak bisa hilang

walaupun sudah dibilas dengan air sampel. Semakin lama KI di letakan

di kertas semakin banyak KI yang menempel. Selain itu KI

kemungkinan besar bereaksi dengan senyawa yang ada di lapisan kertas

ataupun udara sekitar. Hal ini dibuktikan dengan muncul flak hitam pada

permukaan kertas.

Terjadi kesalahan atau kecerobohan praktikan. Kesalahan yang

dimaksud adalah ternyata masih terdapat gelembung udara di buret yang

digunakan dalam titrasi. Sementara hal ini baru disadari ketika proses

titrasi untuk sampel terakhir. Sehingga akan memakan waktu lama

apabila mengulang praktikum dari awal lagi. Selain itu keterbatasan

larutan standar tiosulfat juga menjadi pertimbangan kenapa praktikum

tidak diulangi dari awal lagi.

VIII. KESIMPULAN

1. Dari praktikum BPC ini didapatkan grafik hubungan dosis klorin terhadap residu

klorin. Grafik ini yang akan digunakan sebagai acuan dosis klorin pada proses

klorinasi apabila air sampel merupakan air yang akan didesinfeksi

2. Parameter yang paling berpengaruh dalam proses klorinasi adalah C (konsentrasi

desinfektan) & t (waktu kontak). Kekuatan desinfeksi sebanding lurus dengan C dan t.

3. Semakin lama waktu kontak maka jumlah residu klorin semakin sedikit. Hal ini

terlihat di grafik hubungan antara waktu kontak terhadap BPC

4. Titik BPC pada pengujian ini terjadi apabila kaporit yang digunakan adalah 25 ml/L

Page 27: laporan Klorinasi

IX. REFERENSI

Sawyer, Mc. Carty. 1987. Chemistry For Environmental Engineering. New York:

Mc. Graw Hill

WHO seminar pack for drinking-water Quality. 2012

Snyder, C. R., Harris, C., Anderson, J. R., Holleran, S. A., Irving, L. M., Sigmon,

S. T., ... Harney, P. (1991). The will and the ways: Development and

validation of an individual differences measure of hope. Journal of

Personality and Social Psychology, 60, 570–585

Alaerts, G dan Sri Sumestika. 1984. Metode Penelitian Air. Surabaya : Usaha

Nasional.

Bryan, P.J., J.B. McClintock, K. Marion, S.A. Watts and T.S. Hopkins,

1992. Feeding deterrence and chemical defense in echinoderm body wall

tissues from the Northern gulf of mexico. Amer Zool, 32: 100-100

USEPA, 1999, EPA Guidance Manual Alternative Disinfectant and Oxidants,

pp. 8-2. Center for Environmental Research Information, Cincinati, OH.

White, G.C., 1992, Handbook of Chlorination and Alternative Disinfectant,

Van Nostrand Reinhold, New York, NY

Page 28: laporan Klorinasi

X. LAMPIRAN