laporan kasus - ria h1ap09039.doc

76
BAB 1 PENDAHULUAN Diare masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak terutama di negara berkembang, dengan prakiraan sekitar 1,5 milyar episode dan 1,5-2,5 juta kematian setiap tahun pada anak di bawah usia 5 tahun. Sekitar 85% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Menurut laporan Departemen Kesehatan, di Indonesia setiap anak mengalami episode diare sebanyak 1,6-2 kali setahun. Faktor utama untuk mengurangi angka kematian akibat diare adalah program penggunaan cairan rehidrasi oral (CRO) secara meluas sebagai terapi dan pencegahan terhadap terjadinya dehidrasi. Hal ini sesuai dengan anjuran American Academy of Pediatrics (AAP) ataupun WHO. Sesungguhnya CRO dianggap sebagai salah satu bentuk kemajuan di bidang kedokteran, karena bentuk sediaan yang sederhana, murah dan mudah didapat. Diare atau penyakit diare (diarrhea desease) berasal dari kata diarroia (bahasa Yunani) yang berarti mengalir terus (to flow through), merupakan keadaan abnormal pengeluaran tinja yang terlalu sering. Hal ini disebabkan adanya perubahan-perubahan dalam transfort air dan elektrolit dalam usus, terutama pada keadaan dengan gangguan intestinal pada fungsi digesti, absorpsi dan sekresi. Diare sering didefinisikan sebagai berak lembek sampai cair sebanyak ≤ 3 kali perhari. UKK Gastro-hepatologi IDAI (2009) mendefinisikan 1

Upload: wiltazirda

Post on 02-Dec-2015

248 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

Diare masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak terutama di negara

berkembang, dengan prakiraan sekitar 1,5 milyar episode dan 1,5-2,5 juta kematian setiap tahun

pada anak di bawah usia 5 tahun. Sekitar 85% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi

pada 2 tahun pertama kehidupan. Menurut laporan Departemen Kesehatan, di Indonesia setiap

anak mengalami episode diare sebanyak 1,6-2 kali setahun. Faktor utama untuk mengurangi

angka kematian akibat diare adalah program penggunaan cairan rehidrasi oral (CRO) secara

meluas sebagai terapi dan pencegahan terhadap terjadinya dehidrasi. Hal ini sesuai dengan

anjuran American Academy of Pediatrics (AAP) ataupun WHO. Sesungguhnya CRO dianggap

sebagai salah satu bentuk kemajuan di bidang kedokteran, karena bentuk sediaan yang

sederhana, murah dan mudah didapat.

Diare atau penyakit diare (diarrhea desease) berasal dari kata diarroia (bahasa Yunani)

yang berarti mengalir terus (to flow through), merupakan keadaan abnormal pengeluaran tinja

yang terlalu sering. Hal ini disebabkan adanya perubahan-perubahan dalam transfort air dan

elektrolit dalam usus, terutama pada keadaan dengan gangguan intestinal pada fungsi digesti,

absorpsi dan sekresi. Diare sering didefinisikan sebagai berak lembek sampai cair sebanyak ≤ 3

kali perhari. UKK Gastro-hepatologi IDAI (2009) mendefinisikan diare sebagai peningkatan

frekuensi buang air besar dan berubahnya konsistensi menjadi lebih lunak bahkan cair.

Adapun upaya tatalaksana pasien diare di Indonesia telah dibakukan sejak tahun 1986,

yaitu tidak hanya dengan cara membuat guideline (petunjuk) dan melatih petugas yang bekerja di

sarana kesehatan saja, melainkan juga dengan cara memasukkan program atau paket Pendidikan

Medik Pemberantasan Diare (PMPD) ke dalam kurikulum pendidikan Fakultas Kedokteran baik

negeri maupun swasta. Cara penularan diare pada umumnya melalui fekal oral yaitu melalui

makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan

penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui

lalat. (4F= field, flies, fingers, fluid).

1

Page 2: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain:tidak

memberikan ASI secara penuh selama 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya

penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan atau MCK,

kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak

higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada

penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain: gizi buruk,

imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunya motilitas usus, menderita campak

dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.

Diare juga sering disertai dengan penyakit penyerta lainnya, diantaranya adalah

bronkopneumonia. Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau

beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate yang disebabkan

oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing. Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan

masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang

sudah maju. Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah

umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia

menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Dari

data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian

nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6

di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab

kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk

bronkopneumonia dan influenza (Administered by the Albert Medical Association, 2002).

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedan dan

kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi

pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan

anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus

grup B dan bakteri gram negatif seperti E. Colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi

yang lebih beeasr dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococus

pneumoniae, Haemophillus inflienzae tipe B, dan Staphylococcusaureus, sedangkan pada anak

yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma

pneumoniae (Murray, 2005).

2

Page 3: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Secara klinis, umumnya pneumoni bakteri sulit dibedakan dengan pneumoni virus.

Demikian juga pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat menentukan

etiologi, namun etiologi dapat ditentukan berdasarkan 2 faktor, yaitu faktor infeksi dan non-

infeksi. Faktor infeksi pada neonatus disebabkan oleh Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial

Virus (RSV), pada bayi : Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,

Cytomegalovirus. Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Bakteri:

Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacteriumtuberculosa, B. Pertusis, pada

anak-anak : Virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP Organisme atipikal :

Mycoplasma pneumonia, Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa. Pada anak besar

dewasa muda: Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis. Bakteri:

Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis. Sedangkan untuk faktor non-infeksi dapat terjadi

akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus yang meliputi, bronkopneumonia hidrokarbon:

Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon

seperti pelitur, minyak tanah dan bensin), bronkopneumonia lipoid: Terjadi akibat pemasukan

obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang

mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi

horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang

menangis. Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya

bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita berpenyakit berat seperti AIDS dan

respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi

terjadinya penyakit ini (Rahajoe, 2008; WHO, 2009).

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Di Indonesia, tahun

1995 ditemukan anemia pada 41% anak di bawah 5 tahun dan 24-35% anak sekolah. Anemia

secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau konsentrasi hemoglobin.

Pendekatan diagnosis anemia dimulai dari anamnesis riwayat penyakit dalam keluarga, penyakit

terdahulu, dan pemeriksaan fisik. Hal tersebut untuk memilih pemeriksaan penunjang yang tepat

sesuai penyakit yang diperkirakan.

Karena terkadang suatu penyakit banyak disertai dengan penyakit lainnya yang sering

berhubungan melalui suatu pathogenesis tertentu, sehingga dapat timbul suatu gejala yang khas

dari suatu penyakit melalui suatu komponen penegakkan diagnosis, baik dari anamnesis,

3

Page 4: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Salah satu penyakit penyerta yang

muncul dari kedua penyakit diatas, yaitu diare akut dan bronkopneumonia adalah penyakit

anemia. Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau

konsentrasi hemoglobin. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh

bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak

menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-

gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal

jantung.

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia; diperkirakan

terdapat pada 43% anak-anak usia kurang dari 4 tahun. Survei Nasional di Indonesia (1992)

mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur 5 tahun menderita anemia, pada survei tahun

1995 ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24-35% dari anak sekolah menderita anemia.

Gejala yang samar pada anemia ringan hingga sedang menyulitkan deteksi sehingga sering

terlambat ditanggulangi. Keadaan ini berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kematian pada

anak.

4

Page 5: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

BAB 2

LAPORAN KASUS

A. Identifikasi

Identitas pasien

• Nama : An. D

• Jenis kelamin : Laki-laki

• Umur : 8 bulan

• BB : 9,2 kg

• MR : 66 36 74

• MRS : 10 September 2014, pukul 22. 30 WIB

Identitas orang tua pasien

• Nama Ayah/Ibu : Tn D / Ny. I

• Umur : 22 th/ 23 th

• Pendidikan : SMA/ SMA

• Pekerjaan : Swasta/ IRT

• Alamat : Jalan Hibrida 10, Kota Bengkulu

• Agama : Islam

5

Page 6: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

I. SUBJECTIVE

B. Riwayat Penyakit

Keluhan Utama : Diare sejak 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang: Sejak 2 hari SMRS, pasien mengalami diare. Diare terus menerus

dengan frekuensi lebih dari 10 kali dalam sehari. Konsistensi cair, berwarna kehijauan, berbau

asam, tidak ada lender dan tidak ada darah. Volume diare kurang lebih sebanyak setengah gelas

belimbing kecil untuk satu kali diare. Pasien tidak ada menangis sebelum diare. Diare disertai

dengan demam. Demam tinggi sejak 5 hari yang lalu. Demam naik turun sepanjang hari disertai

batuk berdahak dan pilek. Dahak berwarna putih kekuningan dan tidak bercampur darah. Batuk

lebih sering saat malam hari sehingga membuat pasien sering terbangun.

Sejak 1 hari SMRS setelah gejala diare, demam, batuk dan pilek muncul pasien terlihat

sesak dan nafasnya terengah-engah. Sesak terlihat terus menerus, tidak disertai dengan suara

mengi atau mengorok. Pasien sudah pernah berobat sebelumnya ke bidan, diberi obat penurun

panas dan puyer batuk, namun tidak kunjung sembuh. Di tambah dengan adanya diare dan sesak

sehingga pasien datang ke RSMY untuk berobat. Pasien juga tampak pucat, rewel, lemas, selalu

merasa haus dan ingin minum. BAK biasa, tidak ada muntah, tidak ada kejang dan tidak ada

penurunan kesadaran selama demam.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat pasien dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluhan yang sama di keluarga pasien, riwayat

keluarga menderita diare, batuk, sesak, bersin pagi hari, asma, alergi juga disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi : Ayah bekerja sebagai buruh, ibu pasien tidak bekerja (ibu rumah

tangga). Penghasilan keluarga rata-rata per bulan Rp.1.500.000,- menanggung 1 orang anak,

biaya pengobatan ditanggung asuransi kesehatan (BPJS). Kesan sosial ekonomi : menengah

kebawah.

Riwayat Kehamilan Ibu : Selama hamil, ibu pasien rajin memeriksakan kehamilannya

secara teratur dengan bidan dan rutin meminum vitamin, riwayat trauma tidak ada, riwayat

6

Page 7: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

demam tidak ada, riwayat minum jamu tidak ada, riwayat minuman beralkohol tidak ada, riwayat

merokok tidak ada.

Riwayat Persalinan : Ibu hamil pasien sebagai anak pertama, cukup bulan (38 minggu),

bersalin spontan, ditolong bidan, berat badan lahir 3300 gr, panjang badan 50 cm, CB SMK,

langsung menangis dan ketuban jernih.

Riwayat Imunisasi : Pasien mendapat imunisasi BCG sebanyak 1 kali pada umur 2

bulan dan ditemukan scar pada lengan atas. Imunisasi hepatitis B sebanyak 3 kali pada umur 0,

1, 6 bulan. Imunisasi polio sebanyak 4 kali pada umur 0, 2, 4, 6 bulan. Imunisasi DPT sebanyak

3 kali pada umur 2, 4, 6 bulan. Kesan imunisasi lengkap sesuai umur.

Riwayat Nutrisi : ASI diberikan secara ekslusif selama 6 bulan sejak lahir, minum

diberikan semau anak, lama menyusui 5 – 10 menit. Setelah umur 6 bulan, selain mengkonsumsi

ASI, anak juga sudah makan makanan pendamping ASI yaitu bubur promina.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

BB sekarang : 9,2 kg

TB : 79 cm

LiLa : 15 cm

LK : 40 cm

Jumlah Gigi susu

VI V IV III II I I II III IV V VI

VI V IV III II I I II III IV V VI

Motorik kasar : sudah bisa duduk

Motorik Halus : sudah bisa mengambil sesuatu

Bicara dan Bahasa : sudah bisa meniru bicara, mama

Sosialisasi dan kemandirian : memasukkan benda ke dalam mulut

7

Page 8: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

II. OBJECTIVE

C. Pemeriksaan Umum

Status present : Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis

Tanda vital :

N : 155x/menit, regular, tegangan dan isi cukup

RR : 60x/menit, regular

T : 38,7 °C (aksila)

Status Gizi : BB terukur x 100% = 9,2 x 100 % = 108 % (kesan : gizi baik)

BB ideal 8,5

Status gizi :

BB/U : Z score diantara 0 dan -2

PB/U : Z score diantara 0 dan -2

Kesan : Gizi baik

D. Pemeriksaan Fisik

Kepala Normocephally, LK: cm, rambut

hitam tersebar merata, UUB cekung,

wajah simetris, tidak ada

pembengkakan, tidak ada deformitas

Mata CA +/+, SI +/+, tidak ada edema

palpebra, tidak ada secret, mata

cekung

8

Page 9: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Hidung Tidak ada secret, konka tidak

hiperemis, ada napas cuping hidung

Mulut Sianosis, tidak ada stomatitis, mukosa

pipi tidak ada kelainan, faring

hiperemis, tonsil T1/T1, lidah tampak

bersih

Gigi susu

V IV III II I I II III IV V

V IV III II I I II III IV V

Telinga Tidak ada secret, tidak ada NT tragus-

mastoid

Leher Tidak ada pembesaran KGB, tidak ada

pembesaran tiroid

Thorax Inspeksi

umum

Bentuk dada simteris, pergerakan dada simteris (statis-

dinamis), ada retraksi dinding dada (ringan), tidak ada

deformitas, tidak tampak pembengkakan

Paru I: dada simetris, ada retraksi dinding dada (ringan)

suprasternal dan intercostals

P: tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran KGB aksila,

supraklavikula, stem fremitus simetris sama kiri dan

kanan

P: sonor di semua lapangan paru

A: vesikuler di semua lapangan paru, tidak ada

wheezing, ada ronki basah halus di kedua lapang

9

Page 10: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

paru

Jantung I: IC terlihat di SIC 4 LMS

P: IC teraba di SIC 4 LMS

P: batas jantung dbn

A: BJ I/II normal, regular, tidak ada murmur, tidak ada

gallop

Abdomen I Perut datar, lemas, tidak ada pembengkakan, tidak ada benjolan,

kulit tampak pucat

A Bising usus meningkat lebih dari 10x/menit, tidak ada bruit

arterial

P Tidak terdapat NT di semua region abdomen, HL tidak teraba,

ballottement ginja tidak teraba, kandung kemih tidak teraba, tidak

teraba massa, turgor kulit menurun

P Tympani diseluruh region abdomen

Genitalia Bentuk penis, testis dan scrotum normal, tidak ada benjolan, tidak ada

pembengkakan, tidak ada secret. Anus ada.

Ekstremitas Udema pada ekstremitas superior dan inferior tidak ada, ujung

ekstremitas tampak pucat, akral teraba dingin, CRT > 2 detik

E. Pemeriksaan Penunjang

10

Page 11: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 10 September 2014 :

- Leukosit : 25.800 mm3

- Trombosit : 676.000 sel/mm3

- Hb : 7,4 gr/dl

- Ht : 24 %

- Malaria : Negatif

- Thypoid : Negatif

III. ASSESMENT

- Diare akut dengaan dehidrasi sedang

- Bronkopneumonia

- Anemia

IV. PLANNING

- O2 0,5 liter/menit

- IVFD KN3B VIII gtt/menit makro

- Ampisilin 3x300 mg

- Gentamisin 2x20 mg

- Sanmol syr 4x1½ cth

- L-Bio 2x1 sachet

- Zinked 1x20 mg (2 cth)

- Oralit 100 cc

- Bromheksin syr 3x1,8 mg (1/2 cth)

- Transfuse PRC 1x100 cc

- R/ Fhoto Rontgen Thorax

- Pemeriksaan hematologi : Hematokrit, haemoglobin, leukosit, trombosit

- Elektrolit : Na, K, Cl

- Feses

V. FOLLOW UP11

Page 12: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

11 September 2014

S : diare (+) menurun (pagi ini 2x), demam (-), muntah (-), sesak (-), batuk berdahak putih

kekuningan (+)

O : KU TSS, kesadaran CM, S : 36,5 0C (aksila), P : 30x/menit, N : 100x/menit

Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut, ubun-ubun

cekung (+) menurun.

Mata : Konjungtiva palpebra anemis menurun, sklera ikterik menurun,

edema palpebra - / -, Mata cekung +/+ menurun

Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada, tidak ada sekret

Telinga : Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus - / -, nyeri tekan mastoid - / -

Mulut : Bibir tidak sianosis, bibir dan mukosa mulut kering, lidah tidak

kotor, gusi berdarah (-), Caries gigi (-)

T1- T1, faring tidak hiperemis, nyeri saat menelan (-)

Leher : Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak teraba membesar

Toraks

Paru : I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri kanan.

Retraksi dinding dada (-)

P : Stem fremitus kanan = kiri

P : Sonor seluruh lapangan paru

A : Vesikuler normal, wheezing (-), ronki basah halus (+)

Jantung : I : Iktus kordis tidak terlihat

P : Iktus Cordis tidak teraba

P : Tidak dilakukan.

A : Bunyi Jantung I-II (+), murmur (-), gallop (-), irama

reguler

Abdomen : I : Datar, lemas

A : Bising usus (+) meningkat

P : lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali lambat,

12

Page 13: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

hepar/limfa tidak teraba

P : Timpani

Ekstremitas Superior Inferior

Sianosis (-)/(-) (-)/(-)

Edema (-)/(-) (-)/(-)

Akral hangat (+)/(+) (+)/(+)

Cap. refill <2’ <2’

A : Diare akut dengan dehidrasi sedang (perbaikan), Bronkopneumonia (perbaikan),

Anemia (perbaikan)

P :

- IVFD KN3B VIII gtt/menit makro

- Ampisilin 3x300 mg

- Gentamisin 2x20 mg

- Sanmol syr 4x1½ cth

- L-Bio 2x1 sachet

- Zinked 1x20 mg (2 cth)

- Oralit 100 cc

- Bromheksin syr 3x1,8 mg (1/2 cth)

- Transfuse PRC 1x100 cc

- R/ Fhoto Rontgen Thorax

- Pemeriksaan hematologi : Hematokrit, haemoglobin, leukosit, trombosit

- Elektrolit : Na, K, Cl

- Feses

12 September 2014

S : diare (-), demam (-), muntah (-), sesak (-), batuk berdahak putih kekuningan (+)

13

Page 14: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

O : KU TSS, kesadaran CM, S : 37,2 0C (aksila), P : 32x/menit, N : 111x/menit,

Laboratorium : Hb 10,8 gr/dl

Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut, ubun-ubun

cekung (-).

Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

edema palpebra - / -, Mata cekung (-/-)

Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada, tidak ada sekret

Telinga : Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus - / -, nyeri tekan mastoid - / -

Mulut : Bibir tidak sianosis, bibir dan mukosa mulut kering, lidah tidak

kotor, gusi berdarah (-), Caries gigi (-)

T1- T1, faring tidak hiperemis, nyeri saat menelan (-)

Leher : Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak teraba membesar

Toraks

Paru : I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri kanan.

Retraksi dinding dada (-)

P : Stem fremitus kanan = kiri

P : Sonor seluruh lapangan paru

A : Vesikuler normal, wheezing (-), ronki basah halus (+)

menurun

Jantung : I : Iktus kordis tidak terlihat

P : Iktus Cordis tidak teraba

P : Tidak dilakukan.

A : Bunyi Jantung I-II (+), murmur (-), gallop (-), irama

reguler

Abdomen : I : Datar, lemas

A : Bising usus (+) normal

P : lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit normal,

hepar/limfa tidak teraba

14

Page 15: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

P : Timpani

Ekstremitas Superior Inferior

Sianosis (-)/(-) (-)/(-)

Edema (-)/(-) (-)/(-)

Akral hangat (+)/(+) (+)/(+)

Cap. refill <2’ <2’

A : Diare akut dengaan dehidrasi sedang (perbaikan), Bronkopneumonia (perbaikan),

Anemia (perbaikan)

P :

- IVFD KN3B VIII gtt/menit makro

- Ampisilin 3x300 mg

- Gentamisin 2x20 mg

- Sanmol syr 4x1½ cth

- L-Bio 2x1 sachet

- Zinked 1x20 mg (2 cth)

- Oralit 100 cc

- Bromheksin syr 3x1,8 mg (1/2 cth)

- R/ Fhoto Rontgen Thorax

- Pemeriksaan hematologi : Hematokrit, haemoglobin, leukosit, trombosit

- Elektrolit : Na, K, Cl

- Feses

13 September 2014

S : diare (-), demam (-), muntah (-), sesak (-), batuk berdahak putih (+)

O : KU TSS, kesadaran CM, S : 36,8 0C (aksila), P : 29x/menit, N : 108x/menit

Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut, ubun-ubun

15

Page 16: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

cekung (-).

Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

edema palpebra - / -, Mata cekung (-/-)

Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada, tidak ada sekret

Telinga : Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus - / -, nyeri tekan mastoid - / -

Mulut : Bibir tidak sianosis, bibir dan mukosa mulut kering, lidah tidak

kotor, gusi berdarah (-), Caries gigi (-)

T1- T1, faring tidak hiperemis, nyeri saat menelan (-)

Leher : Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak teraba membesar

Toraks

Paru : I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri kanan.

Retraksi dinding dada (-)

P : Stem fremitus kanan = kiri

P : Sonor seluruh lapangan paru

A : Vesikuler normal, wheezing (-), ronki basah halus (+)

menurun

Jantung : I : Iktus kordis tidak terlihat

P : Iktus Cordis tidak teraba

P : Tidak dilakukan.

A : Bunyi Jantung I-II (+), murmur (-), gallop (-), irama

reguler

Abdomen : I : Datar, lemas

A : Bising usus (+) normal

P : lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit normal,

hepar/limfa tidak teraba

P : Timpani

Ekstremitas Superior Inferior

Sianosis (-)/(-) (-)/(-)

16

Page 17: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Edema (-)/(-) (-)/(-)

Akral hangat (+)/(+) (+)/(+)

Cap. refill <2’ <2’

A : Diare akut dengan dehidrasi sedang (perbaikan), Bronkopneumonia (perbaikan),

Anemia (perbaikan)

P :

- Anak boleh pulang dan dirawat dirumah

17

Page 18: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

A. Diare Akut Dengan Dehidrasi Sedang

Pasien seorang bayi laki-laki berumur 8 bulan datang dengan keluhan diare sejak 2 hari

sebelum masuk rumah sakit. Diare terus menerus dengan frekuensi lebih dari 10 kali dalam

sehari. Konsistensi cair, berwarna kuning, berbau asam, tidak ada lender dan tidak ada darah.

Volume diare kurang lebih sebanyak setengah gelas belimbing kecil untuk satu kali diare. Pasien

tidak ada menangis sebelum diare. Diare disertai dengan demam. Demam tinggi sejak 5 hari

yang lalu. Riwayat diare sebelumnya disangkal dan riwayat di keluarga yang menderita diare

juga disangkal. Karena pasien selalu rewel, gelisah dan diare yang tidak kunjung berhenti serta

pasien sudah terlihat lemas dan mata terlihat cekung walaupun ibu pasien sudah berusaha

berobat ke bidan terdekat, namun diare tidak kunjung sembuh sehingga ibu pasien langsung

membawa pasien ke RSMY. Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan pasien tampak sakit

sedang, kesadaran compos mentis, rewel dan gelisah. Nadi 155x/menit dan suhu 38,7 0C.

Diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja yang cair dengan frekuensi ≥ 3x/hari

disertai perubahan konsistensi tinja (lembek atau cair) dengan atau tanpa darah/lendir dalam

tinja, disertai atau tanpa muntah. Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari disebut diare akut

dan bila berlangsung lebih dari 14 hari disebut diare persisten. Diare akut di negara berkembang

umumnya merupakan diare infeksius yang disebabkan virus, bakteri dan parasit. Pada diare

infeksius terjadi pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi serta reabsorpsi

cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan gangguan

keseimbangan asam basa. Selain itu terjadi invasi dan destruksi pada sel epitel, penetrasi ke

lamina propria serta kerusakan mikrovili yang dapat menimbulkan keadaan maldigesti dan

malabsorpsi. Bila penderita tidak mendapatkan penanganan adekuat pada akhirnya dapat

mengalami invasi sistemik.

Penyebab diare dapat dibedakan menjadi 2 bagian ialah penyebab langsung dan penyebab

tidak langsung. Ditinjau dari sudut patofisiologi kehilangan cairan tubuhpenyebab diare akut

dapat dibagi dalam diare sekresi dan diare osmotic. Diare sekresi (secretory diarrhea)

18

Page 19: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

disebabkan oleh infeksi virus, kuman-kuman pathogen dan apatogen, hiperperistaltik usus halus

yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia makanan (misalnya keracunan makanan,

makanan yang pedas, sudah basi dll), gangguana saraf, hawa dingin, alergi dsb. Defisiensi imun

terutama SIgA (secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan terjadinya bakteri/jamur

tumbuh berlipat ganda (overgrowth). Diare osmotic (osmotic diarrhea), disebabkan oleh

malabsorpi makanan, KKP (kekurangan kalori protein), BBLR dan bayi baru lahir.

Gambar 1. Berbagai Penyebab Diare.

Pathogenesis penyakit diare akut oleh infeksi diawali dengan masuknya mikroorganisme

ke dalam saluran pencernaan, kemudian akan berkembangbiak setelah berhasil melewati asam

lambung. Mikroorganisme tersebut akan membentuk toksin (endotoksin). Adanya ransangan

19

Page 20: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

pada mukosa usus yang menyebabkan terjadinya hiperperistaltik dan sekresi cairan usus

mengakibatkan terjadinya diare. Sehingga akan menimbulkan manisfestasi klinik dengan mula-

mula anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meninggi, nafsu makan berkurang, kemudian

timbul diare. Tinja makin cair, bisa memgandung darah atau lendir, warna tinja akan berubah

menjadi kehijauan karena bercampur empedu. Karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya

lecet karena tinja makin lama makin asam akibat banyaknya asam laktat yang terjadi dari

pemecahan laktosa yang tidak dapat diserap oleh usus. Gejala muntah dapat terjadi sesudah dan

sebelum diare. Bila penderita telah banyak kehilangan air dan elektrolit, terjadila gejala

dehidrasi. Berat badan turun, pada bayi ubun-ubun besar cekung, tonus dan turgor kulit

berkurang, selaput lender mulut dan bibir terlihat kering.

Gejala klinik Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera

Masa tunas

Panas

Mual muntah

Nyeri perut

17-72 jam

+

Sering

Tenesmus

24-48

jam

++

Jarang

Tenesmu

s kramp

6-72 jam

++

Sering

Tenesmus

kolik

6-72 jam

-

+

-

6-72 jam

++

-

Tenesmus

kramp

48-72 jam

-

Sering

Kramp

Nyeri kepala

Lamanya

sakit

Sifat tinja

Volume

Frekuensi

Konsistensi

Darah

Bau

Warna

Leukosit

-

5-7 hari

Sedang

5-10x/hr

Cair

-

Langu

Kuning

hijau

-

+

> 7 hari

Sedikit

>10x/hr

Lembek

Sering

-

Merah-

hijau

+

+

3-7 hari

Sedikit

Sering

Lembek

Kadang

Busuk

Kehijauan

+

-

2-3 hari

Banyak

Sering

Cair

-

+

Tak

berwarna

-

-

Variasi

Sedikit

Sering

Lembek

+

Tidak

Merah-

hijau

-

-

3 hari

Banyak

Cair

-

Amis khas

Seperti air

cucian beras

-

20

Page 21: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Lain-lain Anorexia Kejang Sepsis Meteoris

mus

Infeksi

sistemik

Tabel 1. Gejala Khas Diare Akut oleh Berbagai Penyebab

Pada kasus dengan keluhan utama diare sejak 2 hari, terus menerus dengan frekuensi

lebih dari 10 kali dalam sehari. Konsistensi cair, berwarna kuning, berbau asam, tidak ada lendir

dan tidak ada darah. Volume diare kurang lebih sebanyak setengah gelas belimbing kecil untuk

satu kali diare. Pasien tidak ada menangis sebelum diare. Diare disertai dengan demam. Demam

tinggi sejak 5 hari yang lalu. Riwayat diare sebelumnya disangkal dan riwayat di keluarga yang

menderita diare juga disangkal. Dari gejala yang ada dan lamanya waktu terjadinya diare yaitu

kurang dari 14 hari, dapat ditarik kesimpulan pasien diatas mengalami diare akut. Selain itu,

pasien selalu rewel, gelisah dan diare yang tidak kunjung berhenti serta pasien sudah terlihat

lemas dan mata terlihat cekung. Pasien selalu merasa haus dan ingin minum. Pada pemeriksaan

fisik lainnya didapatkan ubun-ubun besar cekung dan turgor kulit sudah menurun. Dari

pemeriksaan fisik dan gejala yang ada, pasien mengalami diare akut dengan dehidrasi sedang.

Gejala/Tanda Klasifikasi dehidrasi*

Tanpa dehidrasi Ringan-sedang Berat

Keadaan

umum

Baik, Sadar Gelisah Letargi/Tidak sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung

Rasa haus Minum biasa, tidak

haus

Sangat haus Tidak bisa minum

Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat Kembali sangat lambat

(≥ 2 detik)

Tabel 2. Penentuan Derajat Dehidrasi Pada Diare.

- Pembacaan tabel dari kanan ke kiri.

21

Page 22: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

- Kesimpulan derajat dehidrasi ditentukan bila dijumpai ≥ 2 gejala/tanda pada kolom yang

sama.

Tabel 3. Penilaian Derajat Dehidrasi Beserta Rencana Terapi.

Untuk mendukung diagnosis ditambahkan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan

laboratorium dalam menegakkan diagnosis kausal yang tepat sehingga dapat memberikan obat

yang tepat pula. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dikerjakan yaitu pemeriksaan tinja,

pemeriksaan darah dan intubasi duodenal. Pemeriksaan tinja dengan cara makroskopik,

mikroskopik, biakan kuman, tes resistensi berbagai antibiotika, dan pemeriksaan pH serta kadar

gula, jika diduga ada intoleransi laktosa. Pemeriksaan darah yaitu darah lengkap, pemeriksaan

elektrolit, pH dan cadangan alkali (jika dengan pemberian RL i.v masih terdapat asidosis), kadar

ureum (untuk mengetahui adannya gangguan faal ginjal). Intubasi duodenal dilakukan pada diare

kronik untuk mencari kuman penyebab.

Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak), penderita harus segera dibawa ke petugas

atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat, yaitu dengan oralit.

Bila terjadi dehidrasi berat, penderita harus segera diberikan cairan intravena dengan ringer

laktat sebelum dilanjutkan terapioral. Berikan makanan selama diare untuk memberikan gizi

pada penderita terutama pada anak tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat

badan. Berikan cairan termasuk oralit dan makanan sesuai yang dianjurkan. Anak yang masih

mimun ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula diberikan lebih sering

22

Page 23: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

dari biasanya. Anak Usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapat makanan padat

harus diberikan makanan yang mudah dicerna sedikit sedikit tetapi sering. Setelah diare berhenti

pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan

anak. Apabila diketemukan penderita diare disertai dengan penyakit lain, maka diberikan

pengobatan sesuai indikasi, dengan tetap mengutamakan rehidrasi. Tidak ada Obat yang aman

dan efektif untuk menghentikan diare.

Pada terapi diberikan cairan rehidrasi oral (CRO) oralit 75 ml/kgBB dalam 3 jam untuk

mengganti kehilangan cairan yang telah terjadi dan sebanyak 5-10 ml/kgBB setiap diare cair.

Dimana WHO menganjurkan pemberian oralit untuk mengganti cairan yang hilang melalui diare,

pemberian oralit berguna untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan mengobati dehidrasi

(treatment) pada diare akut. Bila pemberian oralit gagal dilakukan pemberian cairan secara

intravena dan penderita harus dirawat di rumah sakit. Rehidrasi parenteral (intravena) adalah

ringer laktat atau KaEN 3B atau NaCL dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan berat badan.

Status hidrasi dievaluasi secara berkala. BB 3-10 kg : 200 mL/kgBB/hari, BB 10-15 kg : 175

mL/kgBB/hari, BB > 15 kg : 135 mL/kgBB/hari.

Rencana terapi A

Untuk mengobati diare di rumah

(Penderita diare tanpa dehidrasi )

Gunakan cara ini untuk mengajari ibu :

Teruskan mengobati anak diare dirumah

Berikan terapi awal bila terkena diare lagi

1. Berikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah dehidrasi

Gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan , seperti larutan oralit,makanan yang cair

(seperti sup,air tajin ) dan kalau tidak ada air matang . Gunakan larutan oralit untuk anak

seperti dijelaskan dalam kotak dibawah (catatan jika anak berusia kurang dari 6 bulan dan

belum makan makanan padat lebih baik diberi oralit dan air matang dari pada makanan

yang cair ).

Berikan larutan ini sebanyak anak mau , berikan jumlah larutan oralit seperti dibawah.

Teruskan pemberian larutan ini hingga diare berhenti.

23

Page 24: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

2. Beri anak makan untuk mencegah kurang gizi

Teruskan ASI

Bila anak tidak mendapat ASI berikan susu yang biasa diberikan, untuk anak kurang dari

6 bulan dan belum mendapat makanan padat , dapat diberikan susu

Bila anak 6 bulan atau lebih atau telah mendapat makanan padat

Berikan bubur lbila mungkin dicampur dengan kacanf-kacangan, sayur, daging atau

ikan , tambahkan 1 atau 2 sendok the minyak sayur tiap porsi

Berikan sari buah segar atau pisang halus untuk menanbahkan kalium

Berikan makanan yang segar masak dan haluskan atau tumbuk makanan dengan baik

Bujuk anak untuk makan , berikan makanan sedikitnya 6 kali sehari

Berikan makanan yang sama setelah diare berhenti, dan diberikan porsi makanan

tambahan setiap hari selama 2 minggu

3. Bawa anak kepada tugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3 hari atau menderita

sebagai berikut :

Buang Air besar cair lebih sering

Muntah berulang-ulang

Rasa haus yang nyata

Makan atau Minum sedikit

Demam

Tinja berdarah

Jika akan di beri larutan oralit di rumah, tunjukkan kepada ibu jumlah oralit yang diberikan

setiap habis buangair besar dan berikan oralit yang cukup untuk 2 hari.

- Tunjukkan kepada ibu cara memberikan oralit

24

Page 25: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

- Berikan sesendok the tiap 1-2 menit untuk anak dibawah umur 2 tahun

- Berikan beberapa teguk dari gelas untuk anak lebih tua

- Bila anak muntah, tunggulah 10 menit kemudian berikan cairan lebih lama ( misalnya

sesendok tiap 2-3 menit

- Bila diare berlanjut setelahoralit habis beritahu ibu untuk memberikan cairan lain seperti

dijelaskan dalam cara pertama atau kembali kepada petugas kesehatan untuk mendapat

tambahan oralit.

Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan

Tunjukan cara memberikannya sesendok the tiap 1 –2 menit untuk anak di bawah 2 tahun

beberapa teguk dari cangkir untuk anak yang lebih tua

Periksa dari waktu bila ada masalah

Bila anak muntah tunggu 10 menit dan kemudian teruskan pemberian oralit tetapi lebih

lambat, misalnya sesendok tiap 2 –3 menit

Bila kelopak mata anak bengkak hentikan pemberian oralit dan air masak atau ASI beri

oralit sesuai Rencana tetapi A bila pembengkakan telah hilang

25

Page 26: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Setelah 3-4 jam nilai kembali anak menggunakan bagan penelian kemudian pilih rencana terapi

A, B atau C untuk melanjutkan terapi.

Bila tidak ada dehidrasi , ganti ke rencana terapi A, Bila dehidras telah hilang anak

biasanya kemudian mengantuk dan tidur

Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/ sedang ulang Rencana terapi B , tetapi

tawarkan makanan susu dan sari buah seperti rencana terapi A

Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat ganti dengan rencana terapi C

Bila ibu harus pulang sebelum menyelesaikan rencana terapi B.

Tunjukkan jumlah orait yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di rumah

Berikan oralit untuk rehidrasi selama 2 hari lagi seperti dijelaskan dalam rencana terapi A

Tunjukkan cara melarutkan oralit

Jelaskan 3 cara dalam rencana terapi A untuk mengobati anak dirumah

- Memberikan oralit atau cairan lain hingga diare berhenti

- Memberi makan anak sebagaimana biasanya

- Membawa anak ke petugas kesehatan.

26

Page 27: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Catatan :

- Bila mungkin amati penderita sedikitnya 6 jam setelah rehidrasi untuk memastikan

bahwa ibu dapat menjaga mengembalikan cairan yang hilang dengan memberi oralit.

27

Page 28: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

- Bila umur anak diatas 2 tahun dan kolera baru saja berjangkit di daerah Saudara pikiran

kemungkinan kolera dan beri antibiotika yang tepat secara oral begitu anak sadar.

Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri (diare berdarah) atau kolera.

Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mengganggu keseimbangan flora usus sehingga

dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium difficile akan tumbuh yang menyebabkan

diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional dapat mempercepat

resistensi kuman terhadap antibiotik. Untuk disentri basiler, antibiotik diberikan sesuai dengan

data sensitivitas setempat, bila tidak memungkinkan dapat mengacu kepada data publikasi yang

dipakai saat ini, yaitu kotrimoksazol sebagai lini pertama, kemudian sebagai lini kedua. Bila

kedua antibiotik tersebut sudah resisten maka lini ketiga adalah sefiksim. Metronidazol 50

mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis merupakan obat pilihan untuk amuba vegetative. Antibiotika

diberikan hanya pada kolera, disentri basiler, amubiasis dan giardiasis atau adanya penyakit

penyerta (sepsis, pneumonia, dan lain-lain). Pemberian antidiare dan antimuntah tidak dianjurkan

karena tidak terbukti menguntungkan bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan usus atau

membuat bayi tertidur lama bahkan menimbulkan kematian pada bayi (WHO, 2009).

Setelah rehidrasi selesai, makanan segera diberikan walaupun diare masih terus

berlangsung, pemberian makanan bertujuan untuk mencegah terjadinya kurang kalori protein

karena anak yang menderita diare akan kehilangan berat badan sebanyak 1% setiap harinya,

mempercepat rehabilitasi mukosa usus yang rusak dan mengurangi pemecahan lemak dan

protein tubuh sehingga mengurangi pembentukan asam-asam organik dan mencegah terjadinya

asidosis metabolic. Selain itu ASI (Air Susu Ibu) pada anak yang menderita diare harus tetap

diberikan. ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur tetap

diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan dan sebagai pengganti nutrisi yang hilang.

Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Anak tidak boleh dipuasakan,

makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering (lebih kurang 6 x sehari), rendah serat, buah

buahan diberikan terutama pisang.

Keberadaan oralit sebagai terapi pencegahan dehidrasi telah menurunkan angka kematian

yang disebabkan diare akut, dari 5 juta anak/tahun menjadi 3.2 juta/tahun. Sayangnya oralit tidak

dapat mengurangi keparahan diare (pengeluaran tinja, frekuensi dan lamanya diare). Zink

28

Page 29: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

termasuk dalam trace element, yaitu elemen-elemen yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah

yang sangat kecil dan mutlak diperlukan. Sumber zink terbaik pada makanan adalah protein

hewani terutama daging, hati, kerang dan telur. Manfaat pemberian zink pada diare telah

dibuktikan pada banyak studi di berbagai negara terutama di negara berkembang. Umumnya

studi tersebut merupakan studi acak tersamar ganda. WHO juga telah merekomendasikan

pemberian zink untuk terapi diare akut, 10 mg untuk anak usia < 6 bulan dan 20 mg untuk anak ≥

6 bulan selama 10 sampai 14 hari.

Mekanisme Kerja Zink pada Diare Akut

Mekanisme yang menjelaskan pengaruh zink terhadap diare adalah sebagai berikut. Diare

akut pada anak di negara berkembang umumnya diare infeksius, zink mempunyai efek terhadap

enterosit dan sel-sel imun yang berinteraksi dengan agen infeksius pada diare. Zink terutama

bekerja pada jaringan dengan kecepatan turnover yang tinggi seperti saluran cerna dan sistem

imun dimana zink dibutuhkan untuk sintesa DNA dan protein. Zink bekerja pada tight junction

level untuk mencegah meningkatnya permeabilitas usus, mencegah pelepasan histamin oleh sel

mast dan respon kontraksi serta sekretori terhadap histamin dan serotonin pada usus dan

mencegah peningkatan permeabilitas endotel yang diprakarsai TNFα yang juga merangsang

kerusakan permeabilitas epitel usus.

Zink menstabilkan struktur membran dan memodifikasi fungsi membran dengan cara

berinteraksi dengan oksigen, nitrogen dan ligan sulfur makromolekul hidrofilik serta aktivitas

antioksidan. Zink melindungi membran dari efek agen infeksius dan dari peroksidasi lemak. Pada

usus tikus, defisiensi zink menurunkan absorpsi air dan natrium dan dapat mempengaruhi

aktivitas disakaridase. Pada studi lain yang juga dilakukan pada tikus didapatkan bahwa zink

menginhibisi cAMP yang meningkatkan sekresi klorida dengan menghambat saluran membran

basolateral kalium.

Probiotik sebagai Terapi Diare Akut

Probiotik berasal dari bahasa Yunani pro bios yang berarti untuk kehidupan. Pada

pertemuan para ahli yang digagas oleh The Food and Agriculture Organization of the United

Nations (FAO) dan WHO didefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang bila

diberikan dalam jumlah adekuat dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan pejamu.

29

Page 30: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Terdapat tiga genus bakteri asam laktat yang sering dipergunakan sebagai probiotik:

Lactobacillus, Bifidobacterium dan Streptococcus. Lactobacillus merupakan probiotik yang

paling banyak diteliti manfaatnya bagi manusia khususnya Lactobacillus rhamnosus strain GG

(Lactobacillus GG). Terdapat 22 studi yang telah dilakukan untuk membuktikan manfaatnya

bagi kesehatan, umumnya sebagai terapi diare akut pada anak dan secara bermakna mengurangi

keparahan diare akut. Dosis untuk pemberian Lacto B adalah < 1 tahun : 2 x 1 bungkus dan 1-8

tahun : 3 x 1 bungkus.

Diare dengan penyakit penyerta

a) Pendahuluan

Anak yang menderita diare ( diare akut atau diare persisten ) mungkin juga disertai dengan

penyakit lain. Tatalaksana penderita tersebut selain berdasarkan acuan baku tatalaksana diare

juga tergantung dari penyakit yang menyertai. Penyakit yang sering terjadi bersamaan dengan

diare :

- Infeksi saluran napas ( bronkhopneumonia , bronkhiolitis dll )

- Saluran susunan saraf pusat ( meningiitis , ensefalitis , dll )

- Infeksi saluran kemih

- Infeksi sistemis lain ( sepsis , campak,dll )

- Kurang gizi ( KEP berat , kurang vit a , dll )

- Penyakit yang dapat disertai dengan diare tetapi lebih jarang terjadi : Penyakit jantung

yang berat / gagal jantung dan Penyakit ginjal / gagal ginjal

b) Tatalaksana

Dalam penatalaksanaan harus dipertimbangkan :

1. Kemampuan untuk makan minum per oral

2. Fungsi dan kemampuan sistem sirkulasi.

3. Cadangan jantung yang rendah misal pada pneumonia berat ( akibat risiko cor pulmonalle akut

) atau KEP berat ( akibat atropi dan hipoksia otot jantung ). Dehidrasi terjadi pada seluruh

kompartemen cairan: Intarvaskuler, ekstraseluler dan intraseluler ).Sedangkan kita memberi kan

cairan rehidrasi melalui kompartemen intravaskuler. Dibutuhkan waktu bagi cairan menyebar ke

30

Page 31: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

kompartemen lain. Jadi kita seperti berhadapan dengan hipervolumia temporer. Berkurangnya

cadangan kardiovaskuler menyebabkan rehidrasi cepat menjadi berbahaya sehingga kita harus

menyesuaikan kecepatan pemberian cairan rehidrasi ( lihat tatalaksana diare dengan KEP berat ).

4. Penyakit atau keadaan yang memerlukan restriksi cairan.

5. Pada ensefalitis atau dekompensasi kordi kita harus menyadari jumlah cairan yang kita

perhitungkan didasarkan pada asumsi tertentu. Misalnya pada dehidrasi berat diperkirakan

berdasarkan kehilangan cairan 12,5 % dan berat badan. Akan tetapi dapat saja pada kasus

tertentu kehilangan cairan hanya 10 %, sehingga kalau kita melakukan rehidrasi berdasarkan

rumus, mungkin anak akan mendapat cairan sedikit lebih banyak dari yang dibutuhkan. Pada

umumnya anak dapat mentolerir kelebihan ini. Tetapi pada keadaan khusus kelebihan ini dapat

berbahaya langkah penyesuaian yang diambil antara lain memberikan cairan 3/4 atau 80 % dari

perhitungan, diikuti dengan observasi yang lebih ketat, tentu kita juga harus memperlambat

kecepatan pemberian cairan rehidrasi.

6. Fungsi ginjal

Dapat dimengerti bahwa gangguan fungsi ginjal mengharuskan kita menyesuaikan

jumlah, komposisi elektrolit dan asam basa pemberian cairan.

7. Interaksi perjalanan penyakit

Pada KEP berat telah tercermin intraksi perjalanan penyakit diare dan penyakit yang

menyertainya. Interaksi ini juga dapat terjadi pada penyakit penyerta lain. Misalnya pada

meningitis bakterial yang diobati dengan seftriakson, sefalosporin yang dielminasi melalui

empedu .dapat menimbulkan gangguan ekosistem usus dan memperberat diare. Berdasarkan

pemasalahan yang telah disebutkan di atas, langkah penyesuain dapat mencakup :

a) Terapi cairan

Kebutuhan cairan anak dalam keadaan diare dapat dipilah menjadi :

- Untuk mengatasi cairan yang hilang ( mencegah dehidrasi ) jumlahnya sekitar 25 – 50

ml/kg BB. Kadar natriumnya sekitar 50 mmol. Ditambah basa dan kalium.

- Untuk rehidrasi komposisinya lebih kurang sama dengan komposisi cairan ekstra seluler (

kadar natrium sekitar 140 mmol ) jumlahnya pada dehidrasi berat 100 –125 ml/kg BB

ditambah suplementasi untuk mengatasi deficit kalium dan basa. Untuk memenuhi

kebutuhan jumlahnya sekitar 100 ml/kg BB kadar natrium sesuai kebutuhan sekitar 30

31

Page 32: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

mmol dan kalium 20 mmol. Pada anak dengan diare tanpa gangguan penyakit penyerta

cairan rehidrasi diberikan dalam bentuk oralit secara oral atau ringer laktat secara

intravena. Cairan pencegah dehidrasi dalam bentuk oralit atau cairan rumah tangga secara

oral. Pemenuhan kebutuhan diberikan dalam bentuk “makan minum seperti biasa”. Jika

akibat penyakit penyerta anak tidak mungkin minum peroral , maka ketiga kelompok

cairan tersebut diatas harus diberikan secara intravena jumlahnya pada dehidrasi berat

sekitar 250 ml/kg BB pada dehidrasi yang lebih ringan jumlahnya tentu harus disesuaikan

komposisi natrium yang harus diberikan sekitar 60 – 75 mmol, Sejalan dengan kebutuhan

suplementasi kalium dan basa cairan yang kira-kira mendekati komposisi yang

dibutuhkan adalah cairan Darrow glukosa.

- Karena umunya kita juga memperlambat kecepatan pemberian cairan sebagai acuan kita

dapat memakai rumus lama yang diajukan oleh Soetedjo, yaitu 60 ml ,pada empat jam

pertama sisanya diberikan dalam 20 jam berikutnya, Jika kita berhadapan dengan risiko

overhidrasi yang lebih besar atau penyakit penyertanya mengharuskan dilakukan retriksi

pembrian cairan jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 75 – 80 % dari

perhitungan. Disamping itu diperlukan pengawasan yang lebih ketat untuk dapat

melakukan penyesuaian – penyesuaian yang cepat dan tepat. Penderita diawasi tiap 30

menit hal yang perlu diperhatikan kemajuan hidrasi jumlah dan frekuensi diare serta

keadaan anak sesuaipenyakit penyertanya bila perlu kecepatan pemberian cairan dapat

dinaikam ,diturunkan. Setelah 4 – 6 Jam dilakukan penilaian penyeluruh tentang status

hidrasi anak. Berdasarkan hasil penilaian ini jumlah sisa cairan /24 jam yang harus

diberikan dapat disesuaikan. Sebagai pegangan praktis dapat dipakai acuan berikut :

- Penderita dengan dehidrasi tidak berat yang dapat minum, dilakukan rehidrasi dengan

oralit : 75 ml / kg BB, diberikan dalam 4 jam

- Selama periode ini ASI diteruskan, bila bayi < 6 bulan dan tidak mendapat ASI ,berikan

juga air masak 100-200 ml

- Setelah 3-4 jam. Harus diselingi dengan pemberian makanan

- Setelah 4 jam dilakukan penilaian kembali apakah sudah terhidrasi , bila belum

pemberian oralit diulang kembali

32

Page 33: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

- Bila telah tercapai rehidrasi selanjutnya penderita diberikan oralit tiap kali diare

sebanyak: 100 ml untuk bayi berumur < 1 tahun, 200 ml untuk anak berumur 1 – 4 tahun

dan 300 ml untuk anak yang lebih besar dari 4 tahun

- Penderita dengan dehidrasi tidak berat yang tak dapat minum

- Rehidrasi dilakukan dengan pemberian cairan intravena dengan larutan Darrow glukosa

sebanyak: Untuk anak berumur < 12 bulan yaitu Jam pertama : 15 ml/kg BB dan Jam

berikutnya 60 ml/kg BB, Untuk anak berumur > 12 bulan, ½ jam pertama 15 ml / kg BB,

jam berikutnya 60 ml / kg BB

- Penderita dengan dehidrasi berat, rehidrasi dilakukan dengan pemberian cairan intravena

dengan larutan Darrow glukosa sebanyak: Untuk anak berumur < 12 bulan yaitu Jam

pertama : 20 ml / kg BB dan Jam berikutnya 80 ml / Kg BB, Untuk anak berumur > 12

bulan yaitu ½ jam pertama 20 ml/ kg BB dan Jam berikut 80 ml / kg BB

- Setelah 4 jam (untuk anak besar) atau 6 jam (untuk bayi) dilakukan penilaian kembali

Bila telah rehidrasi, pemberian cairan intravena diteruskan 100 ml /kg BB / 24 jam,

b) Terapi Nutrisi

Kita tetap berpegangan pada patokan tidak memuasakan anak dengan diare, Jjika

pemberian makanan secara enteral. Tidak dapat dilakukan maka kita harus memberikan nutrisi

parenteral, cara yang digunakan dapat dianalogjikan dari cara yang diuraikan pada Tatalaksana

diare Persisten. Sesuai dengan kemajuan keadaan umum anak kita harus memberikan makanan

secara oral begitu keadaan memungkinkan. Tentu saja kita harus memperhatikan kebutuhan

terapi nutrisi khusus sesuai dengan penyakit penyerta yang dihadapi.

c) Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa untuk menanggulangi penyakit penyerta tentu harus diberikan

seoptimal mungkin, bila diperlukan pemberian antibiotik, perlu dipertimbangkan penggunaan

antibiotik yang tidak meninbulkan efek samping yang memperburuk diare, begitu pula kita harus

mempertimbangkan dampak pemakaian obat yang mempunyai efek samping terhadap fraktus

gastrointestinal.

Pencegahan diare

1. Tujuan

33

Page 34: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Tujuan Pencegahan adalah untuk tercapainya penurunan angka kesakitan

2. Upaya Kegiatan Pencegahan daire

Hasil penelitihan terakhir menunjukkan ,bahwa cara pencegahan yang benar dan efektif yang

dapat dilakukan adalah

- Memberikan ASI

- Memperbaiki makanan pendamping ASI

- Menggunakan air bersih yang cukup

- Mencuci Tangan

- Menggunakan Jamban

- Membuang tinja bayi yang benar

- Memberikan imunisasi campak

a) Pemberian ASI

Asi adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam

bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna diserap secara optimal oleh bayi Asi saja sudah

cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan, tidak ada makanan lain yang

dibutuhkan selama masa ini. Asi steril, berbeda dengan sumber susu lain : susu formula atau

cairan lain disiapkan dengan air atau bahan-bahan yang terkontaminasi dalam botol yang kotor.

Pemberian Asi saja, tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol,

menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare.

Keadaan seperti ini disebut disusui secara penuh. Bayi –bayi harus disusui secara penuh sampai

mereka berumur 4-6 bulan. Setelah 6 bulan dari kehidupnya, pemberian Asi harus diteruskan

sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih).

Asi mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibidi dan zat-zat

lain yang dikandungnya. Asi turut memberikan perlindungan terhadap diare Pada bayi yang baru

lahir pemberian Asi secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap diare

daripada pemberian Asi yang disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi-bayi yang disusui

mencegah tumbuhnya bakteri penyabab diare. Pada bayi yang tidak diberi Asi secara penuh,

pada 6 bulan pertama kehidupan, risiko mendapat diare adalah 30 x lebih besar. Pemberian susu

formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula, biasanya

menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

34

Page 35: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

b) Makanan Pendamping Asi

Pemberian makanan pendamping Asi adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan

dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi

sebab perilaku pemberian makanan pendamping Asi dapat menyebabkan meningkatnya resiko

terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian

makanan pendamping Asi yang baik meliputi perhatian kapan, apa dan bagaimana makanan

pendaping Asi diberikan. Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan bara pemberian

makanan pendamping Asi yang lebih baik yaitu :

- Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi teruskan pemberian

Asi. Tambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih . Birikan

makanan lebih sering (4x sehari) setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan

yang dimasak dengan baik 4-6x sehari teruskan pemberian Asi bila mungkin.

- Tambahkan minyak, lemak dan gula kedalamnasi/bubur dan biji-bijian untuk energi.

Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging. Kacang–kacangan, buah-buahan dan

sayuran berwarna hijau kedalam makanannya, cuci tangan sebelum menyiapkan makanan

dan menyuapi anak. Suapi anak dengan sendok yang bersih.

- Masak atau rebus makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin dan

panaskan dengan bener sebelum diberikan kepada anak.

c) Menggunakan air bersih yang cukup

Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal-oral

mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar

dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang

dicuci dengan air tercemar. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang bener-bener

bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang

tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu

dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari

sumbernya sampai penyimpanan dirumah. Yang harus diperhatikan oleh keluarga : ambil air dari

sumber air yang bersih, ambil dan simpan air dalam tempat yang bersih dantertutup serta

gunakan gayung khusus untuk mengambil air, pelihara atau jaga sumber air dari pencemaran

35

Page 36: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

oleh binatang dan untuk mandi anak-anak, gunakan air yang direbus dan cuci semua peralatan

masak dan makan dengan air yang bersih dan cukup

3. Mencuci tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam

penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah

buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum

menyuapi makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare.

4. Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban

mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang

tidak mempunyai jamban harus membuat, dan keluarga harus buang air besar di jamban. Yang

harus diperhatikan oleh keluarga :

- Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh anggota

keluarga.

- Bersihkan jamban secara teratur

- Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar sendiri, buang

air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan tempat anak-anak bermain serta lebih

kurang 10 meter dari sumber air, hindari buang air besar tanpa alas kaki.

5. Membuang tinja bayi yang benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya , hal ini tidak benar

karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi

harus dibuang secara bersih dan benar. Yang harus diperhatikan oleh keluarga :

- Kumpulkan segera tinja bayi atau anak kecil dan buang ke jamban

- Bantu anak-anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah dijangkau olehnya

- Bila tidak ada jamban plih tempat untuk membuang tinja anak seperti didalam lubang atau di

kebun kemudian ditimbun

- Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangan nya dengan sabun

6. Pemberian Imunisasi Campak

Diare sering timbul menyertai campak sehingga pemberian iimunisasi campak juga dapat

mencegah diare oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah berumur 9 bulan.

36

Page 37: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Edukasi kepada orangtua berdasarkan kesimpulan dari tahap-tahap pencegahan diare di

atas, yaitu : orangtua diminta untuk membawa kembali anaknya ke Pusat Pelayanan Kesehatan

bila ditemukan hal sebagai berikut: demam, tinja berdarah, makan atau minum sedikit, sangat

haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari. Orangtua dan pengasuh diajarkan

cara menyiapkan oralit secara benar.

Langkah promotif/preventif :

- ASI tetap diberikan,

- kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan,

- kebersihan lingkungan, buang air besar di jamban,

- immunisasi campak,

- memberikan makanan penyapihan yang benar,

- penyediaan air minum yang bersih,

- selalu memasak makanan.

B. Bronkopneumonia

Pasien seorang bayi laki-laki berumur 8 bulan datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1

hari sebelum masuk rumah sakit. Dari aloanamnesa dengan ibu pasien didapatkan sejak 5 hari

SMRS anaknya menderita batuk disertai pilek. Dahak berwarna putih kekuningan dan tidak

bercampur darah. Demam tinggi, terus menerus naik turun sepanjang hari. Sejak 1 hari SMRS

pasien menderita sesak nafas yang dirasakan tiba-tiba dan semakin berat. Sesak napas tidak

berhubungan dengan aktivitas dan cuaca. Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas

berbunyi (mengi) atau mengorok. Riwayat kontak dengan orang yang memiliki batuk lama

disangkal. Ibu pasien kemudian membawa pasien berobat ke bidan, dan tidak kunjung sembuh

sehingga ibu pasien membawa pasien ke RSMY. Pada pemeriksaan umum didapatkan

peningkatan frekuensi pernapasan 60x/menit dan demam dimana temperatur 38,7ºC (Zul Dahlan,

2009).

Pneumonia adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkhiolus terminalis yang

mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli yang berupa infiltrat ataukonsolidasi pada

alveoli atau jaringan interstisial. Pneumonia ini dapat mengakibatkan gangguan pertukaran gas

37

Page 38: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

setempat. Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus

paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,

virus, jamur dan benda asing. Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting

pada perbedan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran

klinis, dan strategi pengobatan (Price, 2009).

Umumnya mikroorganime penyebab pneumonia ini terhisap ke paru bagian perifer

melalui saluran respiratori. Mula–mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah

proliferasi dan penybaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami

konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya

kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin

semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukasit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis

yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag

meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris

menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang

tidak terkena akan tetap normal (Price, 2009).

Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit, sehingga

stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri tertentu sering

menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi

Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak – bercak konsolidasi merata

di seluruh lapanga paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa

konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses kecil sering

disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil karena Staphylococcus

aureus meghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan

koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi. Koagulase

berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilka bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen

menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi

koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang

menimbulkan penyakit yang serius. Pneumotokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi

biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut (Rahajoe, 2008; WHO, 2009).

38

Page 39: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga

sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam

kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS. Gambaran

klinis penumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara

umum dapat dilihat berdasarkan 2 gejala yaitu, gejala infeksi umum dan gejala gangguan

respiratori. Gangguan infeksi umum berupa demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan

nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti muntah atau diare, terkadang ditemukan gejala

infeksi ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,

takipneu, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisik dapat

ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara nafas melemah, dan ronkhi. Dari anamnesis

yang berhubungan dengan keluhan utama ditanyakan gejala sesak nafas akibat penyakit respirasi

dan sesak akibat kelainan jantung. Pada kasus didapatkan gejala sesak nafas tidak berhubungan

dengan aktivitas dan cuaca. Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas berbunyi

(mengi) atau mengorok, ini menggambarkan bahwa sesak nafas akibat respirasi dan penyakit

asma dapat disingkirkan.

Selanjutnya didapatkan gejala batuk, pilek, serta dahak yang berwarna putih kekuningan

yang tidak bercampur darah, ada riwayat demam yang terus menerus naik turun, tidak ada

penurunan berat badan, riwayat kontak dengan orang dewasa yang menderita batuk lama ataupun

yang sedang menjalani pengobatan tuberculosa, hal ini dapat menyingkirkan diagnosa kearah

tuberculosa. Selanjutnya dari pemeriksaan fisik yang menunjang adalah terdapatnya pernafasan

cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, pada auskultasi ditemukan ronkhi basah

halus nyaring, maka dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan

bronkopneumonia (WHO, 2009).

Untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu darah perifer

lengkap, C-reaktif Protein (CRP), uji serologis, pemeriksaan mikrobiologis dan pemeriksaan

rontgen thoraks. Pemeriksaan darah lengkap perfier pada pneumonia yang disebabkan oleh virus

biasanya leukosit dalam batas normal, namun pada pneumonia yang disebabkan oleh bakteri

didapatkan leukositosis (15.000–40.000/mm3). Dengan dominan PMN. Leukopenia

(<5000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang–kadang

ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-

39

Page 40: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih rendah daripada glukosa darah.

Kadang–kadang terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat.

CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi

atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1

da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam

opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak, secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik

untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi

superfisial atau profunda. Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi

bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis

tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik sepert

Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan antibodi IgM dan IgG. Untuk pemeriksaan

mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus,

darah, punksi pleura atau aspirasi paru. Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan darah tepi

lengkap dengan hasil meningkat dua kali lipat yaitu 25800/mm3, hemoglobin 7,4 mg/dl, hasil ini

cukup mendukung bahwa sedang terjadi proses infeksi pada pasien (WHO, 2009; Smeltzer,

2000).

Pada terapi diberikan O2 0,5 l/menit. O2 diberikan untuk mengatasi hipoksemia,

menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi kerja miokardium. Oksigen diberikan pada

anak yang menunjukkan gejala adanya tarikan dinding dada (retraksi) bagian bawah yang dalam,

SpO2< 90%, frekuensi nafas 60x/menit atau lebih, merintih setiap kali bernafas untuk bayi

muda, dan adanya head nodding (anggukan kepala). Pemberian O2 melalui nasal pronge yaitu 1-

2 l/menit atau 0,5 l/menit untuk bayi muda. Pemberian O2 melalui kateter nasal yaitu 1-6 l/menit

untuk memberikan konsentrasi O2 24-44%. Pemberian O2 melalui sungkup biasa yaitu 5-8

l/menit untuk memberikan konsentrasi oksigen 40-60%. Serta pemberian O2 melalui sungkup

reservoir yaitu 6-10 l/menit untuk memberikan konsentrasi oksigen 60-99% (Nelson, 2000;

Rahajoe, 2008).

Selanjutnya diberikan ampicilin 300 mg/12 jam, sesuai dengan teori yang dapat dilihat

berdasarkan etiologi dari bronkopneumonia akibat bakteri, bakteri yang cukup banyak

menyebabkan bronkopneumonia adalah bakteri kokus gram positif seperti streptococcus

pneumonia, dan pneumococcus. Sehingga perlu ditambah antibiotik yang lebih luas terhadap

40

Page 41: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

bakteri gram positif, yaitu contohnya ampicilin yang merupakan golongan beta laktam yang

sensitif terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif yang tidak memiliki beta laktamase.

Pemberian paracetamol diberikan selama pasien mengalami demam, dengan dosis 10-15

mg/kgBB/kali dapat diulang 4-6 jam, pada kasus ini pasien mengalami demam yang cukup tinggi

(Nelson, 2000; Rahajoe, 2008).

Kesimpulan, dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien

didiagnosa dengan bronkopneumonia. Tatalaksana dengan pengobatan simptomatis dan suportif.

Prognosis pada kasus ini baik, Umumnya penderita bahkan dapat sembuh spontan dalam 2-3

minggu. Apalagi jika dilihat berdasarkan gambaran klinis selama perawatan pasien sudah

membaik. Keluhan juga telah berkurang secara berangsur-angsur. Hal ini ditandai dengan batuk

yang sudah mulai menghilang, demikian pula dengan retraksi serta pernapasan cuping hidung

sudah menghilang. Prognosis penderita ini adalah dubia ad bonam untuk quo advitam dan

functionam karena pada pasien ini telah dilakukan pengobatan yang adekuat serta belum ada

tanda-tanda yang mengarah pada komplikasi.

C. Anemia

Pasien seorang bayi laki-laki, berumur 8 bulan masuk ke rumah sakit dengan keluhan

diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang disertai dengan bronkopneumonia berdasarakan dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, ditambah dengan penegakkan diagnosis

lainnya dengan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pada pemeriksaan fisik lainnya ditemukan

gejala pucat pada ujung ekstremitas, sclera ikterik, konjungtiva anemis, akral dingin dan CRT >

2 detik. Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan Hb 7,4 gr/dL, Ht 24 %. Dari gejala

dan tanda yang ada, ditarik kesimpulan pasien ini mengalami anemia. Untuk dapat menentukan

jenis anemia apa yang terjadi, dibutuhkan pemeriksaan lainnya, terutama pemeriksaan penunjang

laboratorium seperti yang akan dijelaskan dibawah berikut ini.

41

Page 42: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Tabel 4. Batasan anemia berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin dengan melihat

jumlah hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit. Selain itu dengan dasar ukuran eritrosit

(mean corpuscular volume/MCV) dan kemudian dibagi lebih dalam berdasarkan morfologi

eritrositnya. Pada klasifi kasi jenis ini, anemia dibagi menjadi anemia mikrositik, normositik dan

makrositik. Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai penyebab klinis dan patologis.

Penyebab anemia secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu gangguan produksi

eritrosit yaitu kecepatan pembentukan eritrosit menurun atau terjadi gangguan maturasi eritrosit

dan perusakan eritrosit yang lebih cepat. Kedua kategori tersebut tidak berdiri sendiri, lebih dari

satu mekanisme dapat terjadi.

42

Page 43: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Tabel 5. Anemia berdasarkan ukuran eritrosit.

Anak anemia berkaitan dengan gangguan psikomotor, kognitif, prestasi sekolah buruk,

dan dapat terjadi hambatan pertumbuhan dan perkembangan. Anak usia kurang dari 12 bulan

dengan anemia terutama defisiensi besi kadar hemoglobinnya bisa normal, dengan nilai prediktif

positif 10-40%. Oleh karena itu diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik teliti untuk

mendeteksi dan menentukan penyebabnya sehingga pemeriksaan laboratorium dapat seminimal

mungkin. Tubuh bayi baru lahir mengambil dan menyimpan kembali besi menyebabkan

hematokrit menurun selama beberapa bulan pertama kehidupan. Oleh karena itu, pada bayi

cukup bulan kekurangan zat besi dari asupan gizi jarang menyebabkan anemia sampai setelah

enam bulan. Pada bayi prematur, kekurangan zat besi dapat terjadi setelah berat dua kali lipat

berat lahir. Penyakit terkait kromosom X seperti defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase

(G6PD), harus dipertimbangkan pada anak laki-laki. Defisiensi piruvat kinase bersifat autosomal

resesif dan berhubungan dengan anemia hemolitik kronis.

Pemeriksaan fisik penting dilakukan, temuan yang menunjukan anemia kronis termasuk

pucat (biasanya tidak terlihat sampai tingkat hemoglobin kurang dari 7 g/dL), glositis,

hepatosplenomegali, murmur, dan gagal jantung kongestif. Pada anemia akut dapat ditemukan

jaundice, takipnea, takikardi, dan hematuria.

43

Page 44: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Tabel 6. Pemeriksaan fisik pada pasien anemia.

Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin dan massa eritrosit,

MCV menjadi salah satu standar klasifikasi anemia menjadi mikrositik, normositik, dan

makrositik. Pemeriksaan darah perifer adalah prosedur tunggal paling berguna sebagai evaluasi

awal. Pertama-tama harus diperiksa distribusi dan pewarnaan sel. Tanda sediaan yang tidak baik

adalah hilangnya warna pucat di tengah eritrosit, bentuk poligonal, dan sferosit artefak. Sferosit

artefak, berlawanan dengan artefak asli, tidak menampakkan variasi kepucatan ditengah sel dan

lebih besar dari eritrosit yang normal. Sediaan yang tidak baik tidak boleh diinterpretasikan.

Setelah sediaan telah dipastikan kelayakannya, diperiksa pada pembesaran 50x dan kemudian

dengan 1000x. Sel-sel digradasikan berdasarkan ukuran, intensitas pewarnaan, variasi warna, dan

abnormalitas bentuk. Gangguan hemolisis eritrosit dapat diklasifikasikan menurut morfologi

predominannya. Terdapatnya stippling basofi lik dan sel inklusi juga perlu diperhatikan.

44

Page 45: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Gambar 2. Pendekatan diagnosis berdasarkan apusan darah tepi.

Langkah berikut adalah pengukuran jumlah retikulosit, bilirubin, tes Coombs, jumlah

leukosit, dan trombosit. Morfologi eritrosit pada apusan darah tepi dapat menunjukkan etiologi

anemia. Pengambilan dan analisis sumsum tulang dapat dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya kelainan sumsum tulang yang berkaitan dengan penyebab anemia ; pemeriksaan ini

merupakan pemeriksaan terakhir seandainya penyebab anemia masih belum diketahui.

45

Page 46: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Gambar 3. Pendekatan diagnosis berdasarkan MCV dan jumlah retikulosit.

46

Page 47: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

Gambar 4. Penyebab gangguan morfologi sumsum tulang.

Pendekatan diagnosis anemia dimulai dari anamnesis riwayat penyakit dalam keluarga,

penyakit terdahulu, dan pemeriksaan fisik untuk mengarahkan pemilihan pemeriksaan penunjang

yang tepat sesuai dengan penyakit yang diperkirakan. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan berupa pemeriksaan darah lengkap, apusan darah tepi, pengukuran MCV, jumlah

retikulosit, bilirubin, tes Coomb, jumlah leukosit, jumlah trombosit, dan aspirasi sumsum tulang

untuk memeriksa bentuk eritroid, mieloid, dan megakariosit. Derajat anemia berdasarkan WHO,

yaitu :

Pada pasien diatas dengan Hb 7,4 gr/dL dan Ht 24 % termasuk anemia derajat 3, yaitu

anemia berat. Selanjutnya pasien diberikan transfusi darah sesegera mungkin untuk:

- semua anak dengan kadar Ht ≤ 12% atau Hb ≤ 4 g/dl47

Page 48: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

- anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 13–18%; Hb 4–6 g/dl) dengan beberapa tampilan

klinis berikut:

• Dehidrasi yang terlihat secara klinis

• Syok

• Gangguan kesadaran

• Gagal jantung

• Pernapasan yang dalam dan berat

• Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah berparasit).

• Jika komponen sel darah merah (PRC) tersedia, pemberian 10 ml/kgBB selama 3–4 jam lebih

baik daripada pemberian darah utuh. Jika tidak tersedia, beri darah utuh segar (20 ml/kgBB)

dalam 3–4 jam.

• Periksa frekuensi napas dan denyut nadi anak setiap 15 menit. Jika salah satu di antaranya

mengalami peningkatan, lambatkan transfusi. Jika anak tampak mengalami kelebihan cairan

karena transfusi darah, berikan furosemid 1–2 mg/kgBB IV, hingga jumlah total maksimal 20

mg.

• Bila setelah transfusi, kadar Hb masih tetap sama dengan sebelumnya, ulangi transfusi.

• Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi yang umum terjadi dan

serius. Berikan komponen sel darah merah atau darah utuh, 10 ml/kgBB (bukan 20 ml/kgBB)

hanya sekali dan jangan ulangi transfusi.

48

Page 49: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

KESIMPULAN

Sejak 2 hari SMRS, pasien mengalami diare. Diare terus menerus dengan frekuensi lebih

dari 10 kali dalam sehari. Konsistensi cair, berwarna kehijauan, berbau asam, tidak ada lender

dan tidak ada darah. Volume diare kurang lebih sebanyak setengah gelas belimbing kecil untuk

satu kali diare. Pasien tidak ada menangis sebelum diare. Diare disertai dengan demam. Demam

tinggi sejak 5 hari yang lalu. Demam naik turun sepanjang hari disertai batuk berdahak dan

pilek. Dahak berwarna putih kekuningan dan tidak bercampur darah. Batuk lebih sering saat

malam hari sehingga membuat pasien sering terbangun.

Sejak 1 hari SMRS setelah gejala diare, demam, batuk dan pilek muncul pasien terlihat

sesak dan nafasnya terengah-engah. Sesak terlihat terus menerus, tidak disertai dengan suara

mengi atau mengorok. Pasien sudah pernah berobat sebelumnya ke bidan, diberi obat penurun

panas dan puyer batuk, namun tidak kunjung sembuh. Di tambah dengan adanya diare dan sesak

sehingga pasien datang ke RSMY untuk berobat. Pasien juga tampak pucat, rewel, lemas, selalu

merasa haus dan ingin minum. BAK biasa, tidak ada muntah, tidak ada kejang dan tidak ada

penurunan kesadaran selama demam.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada kepala UUB cekung, mata tampak cekung,

sclera ikterik, konjungtiva anemis, terlihat napas cuping hidung, bibir sianosis, faring hiperemis,

terlihat retraksi dinding dada, terdengar suara ronkhi basah halus, kulit tampak pucat, turgor kulit

menurun, bising usus meningkat, akral dingin, CRT > 2 detik dan ujung ekstremitas tampak

pucat. Pemeriksaan penunjang didapatkan Leukosit : 25.800 mm3, Trombosit : 676.000 sel/mm3,

Hb : 7,4 gr/dl, Ht : 24 %. Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada dan setelah di diskusikan,

pasien di atas menderita diare dehidrasi sedang dengan bronkopneumonia dan anemia. Untuk

tatalaksananya diberikan berdasarkan konsensus yang telah ditetapkan oleh IDAI ditambah

dengan referensi lainnya untuk pencegahan dan penanganan non medika mentosa. Kesimpulan,

dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosa diare akut

dehidrasi sedang dengan bronkopneumonia dan anemia. Tatalaksana dengan pengobatan

simptomatis dan suportif. Prognosis pada kasus ini baik, Umumnya penderita bahkan dapat

sembuh spontan. Apalagi jika dilihat berdasarkan gambaran klinis selama perawatan pasien

sudah membaik. Keluhan juga telah berkurang secara berangsur-angsur. Hal ini ditandai dengan

49

Page 50: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

diare yang berkurang bahkan hampir tidak ada lagi dalam 3 hari terakhir, batuk yang sudah mulai

menghilang, demikian pula dengan retraksi serta pernapasan cuping hidung sudah menghilang

serta tidak lagi pucat dan Hb sudah 10, 8 gr/dL post 1 hari transfusi. Prognosis penderita ini

adalah dubia ad bonam untuk quo advitam dan functionam karena pada pasien ini telah

dilakukan pengobatan yang adekuat serta belum ada tanda-tanda yang mengarah pada

komplikasi.

50

Page 51: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Murray Nedel’s. 2005. Text Book of Respiratology Medicine, Edisi I. Volume I United

State of America : Elseiver Saunders. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,

Volume 2. Jakarta : EGC.

2. Rahajoe, Nastini N. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi I. Jakarta IDAI.

3. Smeltzer, Suzanne C. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume I. Jakarta :

EGC.

4. WHO. 2009. Buku Saku pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/09/Buku-Saku-

Pelayanan-Kesehatan-Anak-di-RS.pdf

5. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Vander Hoorn S, Murray CJ, the Comparative Risk

Assessment Collaborating Group. Selected major risk factors and global and regional

burden of disease. Lancet. 2002;360:1347-60.

6. Subagyo B dan Santoso NB. Diare akut dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi

Jilid 1, Edisi 1. Jakarta: Badan penerbit UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI.

2010:87-110

7. Pudjiadi, A.H. dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:

IDAI. 2009:58-61.

8. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrheal disease, as estimated

from studies published between 1992 and 2000. Bull World Health Organ 2003; 81:197-

204.

9. Griffin PM, Ryan CA, Nyaphisi M, Hargrett-Bean N, Waldman RJ, Blake PA. Risk

factors for fatal diarrhea: a case-control study of African children. Am J Epidemiol

1988; 128:1322-9.

10. Suraatmaja Sudaryat. Diare dalam Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta:

Sagung Seto. 2007:1-24

11. Sari M, de Pee S, Martini E, Herman S, Sugiatmi, Bloem MW, et al. Estimating the

prevalence of anaemia: a comparison of three methods. Bulletin of the World Health

Organization. 2001;79:506-11.

51

Page 52: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

12. Price, Sylvia Anderson 2009. Pathophysiology : Clinical Concepts of Disease Processes.

Alih Bahasa Peter Anugrah. Edisi 4.Jakarta : EGC.

13. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Buku Ajar Diare. Jakarta: Departemen Kesehatan

RI; 1999.

14. Victora CG, Bryce J, Fontaine O, Monasch R. Reducing deaths from diarrhea through

oral rehydration therapy. Bull World Health Organ 2000; 78:1246-55.

15. American Academy of Pediatrics, Provisional Committee on Quality Improvement,

Subcommittee on Acute Gastroenteritis. Practice Parameter. The management of acute

gastroenteritis in young children. Pediatrics 1996; 97:424-35.

16. WHO. Management of the patient with diarrhea : programme for control of diarrhoeal

disease. Geneva: WHO; 1992.

17. Water with sugar and salt [editorial]. Lancet 1978; 2:300-1.

18. Zul Dahlan, 2000. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

19. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.

18th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.

20. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy

and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2008.

21. Khusun H, Yip R, Schultink W, Dillon DHS. World Health Organization Hemoglobin

Cut-Off Points for the Detection of Anemia Are Valid for An Indonesian Population. J

Nutr. 1999;129:1669-74.

22. U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF). Screening for iron defi ciency anemia -

including iron supplementation for children and pregnant women. Rockville (MD):

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ); 2006.

23. Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ. Rudolph’s Pediatrics.

21st ed. USA: McGraw-Hill; 2003. Bessman JD, Gilmer PR, Gardner FH. Improved

classifi cation of anemias by MCV and RDW. Am J Clin Pathol. 1983;80:322-6.

24. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 4th ed. Philadelphia:

Elsevier; 2005.

52

Page 53: Laporan Kasus - Ria H1AP09039.doc

25. Kohli-Kumar M. Screening for anemia in children: AAP recommendations - a critique.

Pediatrics. 2001;108:e56-7.

26. Administrated by the Alberta Medical Association. 2002. Guideline For The Diagnosis

and Management Of Community Acquired Pneumonia: Pediatrics. Available from

url:http://www.centralhealth.nl.ca/assets/PandemicInfluenza/PNEUMONIAPEDIATRIC

S.pdf\

27. Marie, R; Griffin, MD; Yuwei, Zhu; Matthew,R; Moore, MD; Cynthia, G; Whitney, MD;

Carlos, G. 2013. U.S. Hospitalizations for Pneumonia after a Decade of Pneumococcal

vaccination. Volume I. Massachusetts Medical Society: The New England Journal of

Medicine.p 34-44.

53