laporan kasus - ria h1ap09039.doc
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Diare masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak terutama di negara
berkembang, dengan prakiraan sekitar 1,5 milyar episode dan 1,5-2,5 juta kematian setiap tahun
pada anak di bawah usia 5 tahun. Sekitar 85% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi
pada 2 tahun pertama kehidupan. Menurut laporan Departemen Kesehatan, di Indonesia setiap
anak mengalami episode diare sebanyak 1,6-2 kali setahun. Faktor utama untuk mengurangi
angka kematian akibat diare adalah program penggunaan cairan rehidrasi oral (CRO) secara
meluas sebagai terapi dan pencegahan terhadap terjadinya dehidrasi. Hal ini sesuai dengan
anjuran American Academy of Pediatrics (AAP) ataupun WHO. Sesungguhnya CRO dianggap
sebagai salah satu bentuk kemajuan di bidang kedokteran, karena bentuk sediaan yang
sederhana, murah dan mudah didapat.
Diare atau penyakit diare (diarrhea desease) berasal dari kata diarroia (bahasa Yunani)
yang berarti mengalir terus (to flow through), merupakan keadaan abnormal pengeluaran tinja
yang terlalu sering. Hal ini disebabkan adanya perubahan-perubahan dalam transfort air dan
elektrolit dalam usus, terutama pada keadaan dengan gangguan intestinal pada fungsi digesti,
absorpsi dan sekresi. Diare sering didefinisikan sebagai berak lembek sampai cair sebanyak ≤ 3
kali perhari. UKK Gastro-hepatologi IDAI (2009) mendefinisikan diare sebagai peningkatan
frekuensi buang air besar dan berubahnya konsistensi menjadi lebih lunak bahkan cair.
Adapun upaya tatalaksana pasien diare di Indonesia telah dibakukan sejak tahun 1986,
yaitu tidak hanya dengan cara membuat guideline (petunjuk) dan melatih petugas yang bekerja di
sarana kesehatan saja, melainkan juga dengan cara memasukkan program atau paket Pendidikan
Medik Pemberantasan Diare (PMPD) ke dalam kurikulum pendidikan Fakultas Kedokteran baik
negeri maupun swasta. Cara penularan diare pada umumnya melalui fekal oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan
penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui
lalat. (4F= field, flies, fingers, fluid).
1
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain:tidak
memberikan ASI secara penuh selama 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya
penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan atau MCK,
kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak
higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada
penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain: gizi buruk,
imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunya motilitas usus, menderita campak
dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.
Diare juga sering disertai dengan penyakit penyerta lainnya, diantaranya adalah
bronkopneumonia. Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau
beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate yang disebabkan
oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing. Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan
masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang
sudah maju. Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Dari
data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6
di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab
kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk
bronkopneumonia dan influenza (Administered by the Albert Medical Association, 2002).
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi
pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan
anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
grup B dan bakteri gram negatif seperti E. Colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi
yang lebih beeasr dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococus
pneumoniae, Haemophillus inflienzae tipe B, dan Staphylococcusaureus, sedangkan pada anak
yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae (Murray, 2005).
2
Secara klinis, umumnya pneumoni bakteri sulit dibedakan dengan pneumoni virus.
Demikian juga pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat menentukan
etiologi, namun etiologi dapat ditentukan berdasarkan 2 faktor, yaitu faktor infeksi dan non-
infeksi. Faktor infeksi pada neonatus disebabkan oleh Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial
Virus (RSV), pada bayi : Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus. Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Bakteri:
Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacteriumtuberculosa, B. Pertusis, pada
anak-anak : Virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP Organisme atipikal :
Mycoplasma pneumonia, Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa. Pada anak besar
dewasa muda: Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis. Bakteri:
Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis. Sedangkan untuk faktor non-infeksi dapat terjadi
akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus yang meliputi, bronkopneumonia hidrokarbon:
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon
seperti pelitur, minyak tanah dan bensin), bronkopneumonia lipoid: Terjadi akibat pemasukan
obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang
mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi
horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang
menangis. Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita berpenyakit berat seperti AIDS dan
respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi
terjadinya penyakit ini (Rahajoe, 2008; WHO, 2009).
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Di Indonesia, tahun
1995 ditemukan anemia pada 41% anak di bawah 5 tahun dan 24-35% anak sekolah. Anemia
secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau konsentrasi hemoglobin.
Pendekatan diagnosis anemia dimulai dari anamnesis riwayat penyakit dalam keluarga, penyakit
terdahulu, dan pemeriksaan fisik. Hal tersebut untuk memilih pemeriksaan penunjang yang tepat
sesuai penyakit yang diperkirakan.
Karena terkadang suatu penyakit banyak disertai dengan penyakit lainnya yang sering
berhubungan melalui suatu pathogenesis tertentu, sehingga dapat timbul suatu gejala yang khas
dari suatu penyakit melalui suatu komponen penegakkan diagnosis, baik dari anamnesis,
3
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Salah satu penyakit penyerta yang
muncul dari kedua penyakit diatas, yaitu diare akut dan bronkopneumonia adalah penyakit
anemia. Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau
konsentrasi hemoglobin. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh
bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak
menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-
gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal
jantung.
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia; diperkirakan
terdapat pada 43% anak-anak usia kurang dari 4 tahun. Survei Nasional di Indonesia (1992)
mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur 5 tahun menderita anemia, pada survei tahun
1995 ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24-35% dari anak sekolah menderita anemia.
Gejala yang samar pada anemia ringan hingga sedang menyulitkan deteksi sehingga sering
terlambat ditanggulangi. Keadaan ini berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kematian pada
anak.
4
BAB 2
LAPORAN KASUS
A. Identifikasi
Identitas pasien
• Nama : An. D
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Umur : 8 bulan
• BB : 9,2 kg
• MR : 66 36 74
• MRS : 10 September 2014, pukul 22. 30 WIB
Identitas orang tua pasien
• Nama Ayah/Ibu : Tn D / Ny. I
• Umur : 22 th/ 23 th
• Pendidikan : SMA/ SMA
• Pekerjaan : Swasta/ IRT
• Alamat : Jalan Hibrida 10, Kota Bengkulu
• Agama : Islam
5
I. SUBJECTIVE
B. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama : Diare sejak 2 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang: Sejak 2 hari SMRS, pasien mengalami diare. Diare terus menerus
dengan frekuensi lebih dari 10 kali dalam sehari. Konsistensi cair, berwarna kehijauan, berbau
asam, tidak ada lender dan tidak ada darah. Volume diare kurang lebih sebanyak setengah gelas
belimbing kecil untuk satu kali diare. Pasien tidak ada menangis sebelum diare. Diare disertai
dengan demam. Demam tinggi sejak 5 hari yang lalu. Demam naik turun sepanjang hari disertai
batuk berdahak dan pilek. Dahak berwarna putih kekuningan dan tidak bercampur darah. Batuk
lebih sering saat malam hari sehingga membuat pasien sering terbangun.
Sejak 1 hari SMRS setelah gejala diare, demam, batuk dan pilek muncul pasien terlihat
sesak dan nafasnya terengah-engah. Sesak terlihat terus menerus, tidak disertai dengan suara
mengi atau mengorok. Pasien sudah pernah berobat sebelumnya ke bidan, diberi obat penurun
panas dan puyer batuk, namun tidak kunjung sembuh. Di tambah dengan adanya diare dan sesak
sehingga pasien datang ke RSMY untuk berobat. Pasien juga tampak pucat, rewel, lemas, selalu
merasa haus dan ingin minum. BAK biasa, tidak ada muntah, tidak ada kejang dan tidak ada
penurunan kesadaran selama demam.
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat pasien dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluhan yang sama di keluarga pasien, riwayat
keluarga menderita diare, batuk, sesak, bersin pagi hari, asma, alergi juga disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi : Ayah bekerja sebagai buruh, ibu pasien tidak bekerja (ibu rumah
tangga). Penghasilan keluarga rata-rata per bulan Rp.1.500.000,- menanggung 1 orang anak,
biaya pengobatan ditanggung asuransi kesehatan (BPJS). Kesan sosial ekonomi : menengah
kebawah.
Riwayat Kehamilan Ibu : Selama hamil, ibu pasien rajin memeriksakan kehamilannya
secara teratur dengan bidan dan rutin meminum vitamin, riwayat trauma tidak ada, riwayat
6
demam tidak ada, riwayat minum jamu tidak ada, riwayat minuman beralkohol tidak ada, riwayat
merokok tidak ada.
Riwayat Persalinan : Ibu hamil pasien sebagai anak pertama, cukup bulan (38 minggu),
bersalin spontan, ditolong bidan, berat badan lahir 3300 gr, panjang badan 50 cm, CB SMK,
langsung menangis dan ketuban jernih.
Riwayat Imunisasi : Pasien mendapat imunisasi BCG sebanyak 1 kali pada umur 2
bulan dan ditemukan scar pada lengan atas. Imunisasi hepatitis B sebanyak 3 kali pada umur 0,
1, 6 bulan. Imunisasi polio sebanyak 4 kali pada umur 0, 2, 4, 6 bulan. Imunisasi DPT sebanyak
3 kali pada umur 2, 4, 6 bulan. Kesan imunisasi lengkap sesuai umur.
Riwayat Nutrisi : ASI diberikan secara ekslusif selama 6 bulan sejak lahir, minum
diberikan semau anak, lama menyusui 5 – 10 menit. Setelah umur 6 bulan, selain mengkonsumsi
ASI, anak juga sudah makan makanan pendamping ASI yaitu bubur promina.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
BB sekarang : 9,2 kg
TB : 79 cm
LiLa : 15 cm
LK : 40 cm
Jumlah Gigi susu
VI V IV III II I I II III IV V VI
VI V IV III II I I II III IV V VI
Motorik kasar : sudah bisa duduk
Motorik Halus : sudah bisa mengambil sesuatu
Bicara dan Bahasa : sudah bisa meniru bicara, mama
Sosialisasi dan kemandirian : memasukkan benda ke dalam mulut
7
II. OBJECTIVE
C. Pemeriksaan Umum
Status present : Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis
Tanda vital :
N : 155x/menit, regular, tegangan dan isi cukup
RR : 60x/menit, regular
T : 38,7 °C (aksila)
Status Gizi : BB terukur x 100% = 9,2 x 100 % = 108 % (kesan : gizi baik)
BB ideal 8,5
Status gizi :
BB/U : Z score diantara 0 dan -2
PB/U : Z score diantara 0 dan -2
Kesan : Gizi baik
D. Pemeriksaan Fisik
Kepala Normocephally, LK: cm, rambut
hitam tersebar merata, UUB cekung,
wajah simetris, tidak ada
pembengkakan, tidak ada deformitas
Mata CA +/+, SI +/+, tidak ada edema
palpebra, tidak ada secret, mata
cekung
8
Hidung Tidak ada secret, konka tidak
hiperemis, ada napas cuping hidung
Mulut Sianosis, tidak ada stomatitis, mukosa
pipi tidak ada kelainan, faring
hiperemis, tonsil T1/T1, lidah tampak
bersih
Gigi susu
V IV III II I I II III IV V
V IV III II I I II III IV V
Telinga Tidak ada secret, tidak ada NT tragus-
mastoid
Leher Tidak ada pembesaran KGB, tidak ada
pembesaran tiroid
Thorax Inspeksi
umum
Bentuk dada simteris, pergerakan dada simteris (statis-
dinamis), ada retraksi dinding dada (ringan), tidak ada
deformitas, tidak tampak pembengkakan
Paru I: dada simetris, ada retraksi dinding dada (ringan)
suprasternal dan intercostals
P: tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran KGB aksila,
supraklavikula, stem fremitus simetris sama kiri dan
kanan
P: sonor di semua lapangan paru
A: vesikuler di semua lapangan paru, tidak ada
wheezing, ada ronki basah halus di kedua lapang
9
paru
Jantung I: IC terlihat di SIC 4 LMS
P: IC teraba di SIC 4 LMS
P: batas jantung dbn
A: BJ I/II normal, regular, tidak ada murmur, tidak ada
gallop
Abdomen I Perut datar, lemas, tidak ada pembengkakan, tidak ada benjolan,
kulit tampak pucat
A Bising usus meningkat lebih dari 10x/menit, tidak ada bruit
arterial
P Tidak terdapat NT di semua region abdomen, HL tidak teraba,
ballottement ginja tidak teraba, kandung kemih tidak teraba, tidak
teraba massa, turgor kulit menurun
P Tympani diseluruh region abdomen
Genitalia Bentuk penis, testis dan scrotum normal, tidak ada benjolan, tidak ada
pembengkakan, tidak ada secret. Anus ada.
Ekstremitas Udema pada ekstremitas superior dan inferior tidak ada, ujung
ekstremitas tampak pucat, akral teraba dingin, CRT > 2 detik
E. Pemeriksaan Penunjang
10
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 10 September 2014 :
- Leukosit : 25.800 mm3
- Trombosit : 676.000 sel/mm3
- Hb : 7,4 gr/dl
- Ht : 24 %
- Malaria : Negatif
- Thypoid : Negatif
III. ASSESMENT
- Diare akut dengaan dehidrasi sedang
- Bronkopneumonia
- Anemia
IV. PLANNING
- O2 0,5 liter/menit
- IVFD KN3B VIII gtt/menit makro
- Ampisilin 3x300 mg
- Gentamisin 2x20 mg
- Sanmol syr 4x1½ cth
- L-Bio 2x1 sachet
- Zinked 1x20 mg (2 cth)
- Oralit 100 cc
- Bromheksin syr 3x1,8 mg (1/2 cth)
- Transfuse PRC 1x100 cc
- R/ Fhoto Rontgen Thorax
- Pemeriksaan hematologi : Hematokrit, haemoglobin, leukosit, trombosit
- Elektrolit : Na, K, Cl
- Feses
V. FOLLOW UP11
11 September 2014
S : diare (+) menurun (pagi ini 2x), demam (-), muntah (-), sesak (-), batuk berdahak putih
kekuningan (+)
O : KU TSS, kesadaran CM, S : 36,5 0C (aksila), P : 30x/menit, N : 100x/menit
Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut, ubun-ubun
cekung (+) menurun.
Mata : Konjungtiva palpebra anemis menurun, sklera ikterik menurun,
edema palpebra - / -, Mata cekung +/+ menurun
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada, tidak ada sekret
Telinga : Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus - / -, nyeri tekan mastoid - / -
Mulut : Bibir tidak sianosis, bibir dan mukosa mulut kering, lidah tidak
kotor, gusi berdarah (-), Caries gigi (-)
T1- T1, faring tidak hiperemis, nyeri saat menelan (-)
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Toraks
Paru : I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri kanan.
Retraksi dinding dada (-)
P : Stem fremitus kanan = kiri
P : Sonor seluruh lapangan paru
A : Vesikuler normal, wheezing (-), ronki basah halus (+)
Jantung : I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus Cordis tidak teraba
P : Tidak dilakukan.
A : Bunyi Jantung I-II (+), murmur (-), gallop (-), irama
reguler
Abdomen : I : Datar, lemas
A : Bising usus (+) meningkat
P : lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali lambat,
12
hepar/limfa tidak teraba
P : Timpani
Ekstremitas Superior Inferior
Sianosis (-)/(-) (-)/(-)
Edema (-)/(-) (-)/(-)
Akral hangat (+)/(+) (+)/(+)
Cap. refill <2’ <2’
A : Diare akut dengan dehidrasi sedang (perbaikan), Bronkopneumonia (perbaikan),
Anemia (perbaikan)
P :
- IVFD KN3B VIII gtt/menit makro
- Ampisilin 3x300 mg
- Gentamisin 2x20 mg
- Sanmol syr 4x1½ cth
- L-Bio 2x1 sachet
- Zinked 1x20 mg (2 cth)
- Oralit 100 cc
- Bromheksin syr 3x1,8 mg (1/2 cth)
- Transfuse PRC 1x100 cc
- R/ Fhoto Rontgen Thorax
- Pemeriksaan hematologi : Hematokrit, haemoglobin, leukosit, trombosit
- Elektrolit : Na, K, Cl
- Feses
12 September 2014
S : diare (-), demam (-), muntah (-), sesak (-), batuk berdahak putih kekuningan (+)
13
O : KU TSS, kesadaran CM, S : 37,2 0C (aksila), P : 32x/menit, N : 111x/menit,
Laboratorium : Hb 10,8 gr/dl
Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut, ubun-ubun
cekung (-).
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra - / -, Mata cekung (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada, tidak ada sekret
Telinga : Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus - / -, nyeri tekan mastoid - / -
Mulut : Bibir tidak sianosis, bibir dan mukosa mulut kering, lidah tidak
kotor, gusi berdarah (-), Caries gigi (-)
T1- T1, faring tidak hiperemis, nyeri saat menelan (-)
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Toraks
Paru : I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri kanan.
Retraksi dinding dada (-)
P : Stem fremitus kanan = kiri
P : Sonor seluruh lapangan paru
A : Vesikuler normal, wheezing (-), ronki basah halus (+)
menurun
Jantung : I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus Cordis tidak teraba
P : Tidak dilakukan.
A : Bunyi Jantung I-II (+), murmur (-), gallop (-), irama
reguler
Abdomen : I : Datar, lemas
A : Bising usus (+) normal
P : lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit normal,
hepar/limfa tidak teraba
14
P : Timpani
Ekstremitas Superior Inferior
Sianosis (-)/(-) (-)/(-)
Edema (-)/(-) (-)/(-)
Akral hangat (+)/(+) (+)/(+)
Cap. refill <2’ <2’
A : Diare akut dengaan dehidrasi sedang (perbaikan), Bronkopneumonia (perbaikan),
Anemia (perbaikan)
P :
- IVFD KN3B VIII gtt/menit makro
- Ampisilin 3x300 mg
- Gentamisin 2x20 mg
- Sanmol syr 4x1½ cth
- L-Bio 2x1 sachet
- Zinked 1x20 mg (2 cth)
- Oralit 100 cc
- Bromheksin syr 3x1,8 mg (1/2 cth)
- R/ Fhoto Rontgen Thorax
- Pemeriksaan hematologi : Hematokrit, haemoglobin, leukosit, trombosit
- Elektrolit : Na, K, Cl
- Feses
13 September 2014
S : diare (-), demam (-), muntah (-), sesak (-), batuk berdahak putih (+)
O : KU TSS, kesadaran CM, S : 36,8 0C (aksila), P : 29x/menit, N : 108x/menit
Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut, ubun-ubun
15
cekung (-).
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra - / -, Mata cekung (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada, tidak ada sekret
Telinga : Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus - / -, nyeri tekan mastoid - / -
Mulut : Bibir tidak sianosis, bibir dan mukosa mulut kering, lidah tidak
kotor, gusi berdarah (-), Caries gigi (-)
T1- T1, faring tidak hiperemis, nyeri saat menelan (-)
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Toraks
Paru : I : Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri kanan.
Retraksi dinding dada (-)
P : Stem fremitus kanan = kiri
P : Sonor seluruh lapangan paru
A : Vesikuler normal, wheezing (-), ronki basah halus (+)
menurun
Jantung : I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus Cordis tidak teraba
P : Tidak dilakukan.
A : Bunyi Jantung I-II (+), murmur (-), gallop (-), irama
reguler
Abdomen : I : Datar, lemas
A : Bising usus (+) normal
P : lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit normal,
hepar/limfa tidak teraba
P : Timpani
Ekstremitas Superior Inferior
Sianosis (-)/(-) (-)/(-)
16
Edema (-)/(-) (-)/(-)
Akral hangat (+)/(+) (+)/(+)
Cap. refill <2’ <2’
A : Diare akut dengan dehidrasi sedang (perbaikan), Bronkopneumonia (perbaikan),
Anemia (perbaikan)
P :
- Anak boleh pulang dan dirawat dirumah
17
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
A. Diare Akut Dengan Dehidrasi Sedang
Pasien seorang bayi laki-laki berumur 8 bulan datang dengan keluhan diare sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Diare terus menerus dengan frekuensi lebih dari 10 kali dalam
sehari. Konsistensi cair, berwarna kuning, berbau asam, tidak ada lender dan tidak ada darah.
Volume diare kurang lebih sebanyak setengah gelas belimbing kecil untuk satu kali diare. Pasien
tidak ada menangis sebelum diare. Diare disertai dengan demam. Demam tinggi sejak 5 hari
yang lalu. Riwayat diare sebelumnya disangkal dan riwayat di keluarga yang menderita diare
juga disangkal. Karena pasien selalu rewel, gelisah dan diare yang tidak kunjung berhenti serta
pasien sudah terlihat lemas dan mata terlihat cekung walaupun ibu pasien sudah berusaha
berobat ke bidan terdekat, namun diare tidak kunjung sembuh sehingga ibu pasien langsung
membawa pasien ke RSMY. Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan pasien tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis, rewel dan gelisah. Nadi 155x/menit dan suhu 38,7 0C.
Diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja yang cair dengan frekuensi ≥ 3x/hari
disertai perubahan konsistensi tinja (lembek atau cair) dengan atau tanpa darah/lendir dalam
tinja, disertai atau tanpa muntah. Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari disebut diare akut
dan bila berlangsung lebih dari 14 hari disebut diare persisten. Diare akut di negara berkembang
umumnya merupakan diare infeksius yang disebabkan virus, bakteri dan parasit. Pada diare
infeksius terjadi pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi serta reabsorpsi
cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan gangguan
keseimbangan asam basa. Selain itu terjadi invasi dan destruksi pada sel epitel, penetrasi ke
lamina propria serta kerusakan mikrovili yang dapat menimbulkan keadaan maldigesti dan
malabsorpsi. Bila penderita tidak mendapatkan penanganan adekuat pada akhirnya dapat
mengalami invasi sistemik.
Penyebab diare dapat dibedakan menjadi 2 bagian ialah penyebab langsung dan penyebab
tidak langsung. Ditinjau dari sudut patofisiologi kehilangan cairan tubuhpenyebab diare akut
dapat dibagi dalam diare sekresi dan diare osmotic. Diare sekresi (secretory diarrhea)
18
disebabkan oleh infeksi virus, kuman-kuman pathogen dan apatogen, hiperperistaltik usus halus
yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia makanan (misalnya keracunan makanan,
makanan yang pedas, sudah basi dll), gangguana saraf, hawa dingin, alergi dsb. Defisiensi imun
terutama SIgA (secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan terjadinya bakteri/jamur
tumbuh berlipat ganda (overgrowth). Diare osmotic (osmotic diarrhea), disebabkan oleh
malabsorpi makanan, KKP (kekurangan kalori protein), BBLR dan bayi baru lahir.
Gambar 1. Berbagai Penyebab Diare.
Pathogenesis penyakit diare akut oleh infeksi diawali dengan masuknya mikroorganisme
ke dalam saluran pencernaan, kemudian akan berkembangbiak setelah berhasil melewati asam
lambung. Mikroorganisme tersebut akan membentuk toksin (endotoksin). Adanya ransangan
19
pada mukosa usus yang menyebabkan terjadinya hiperperistaltik dan sekresi cairan usus
mengakibatkan terjadinya diare. Sehingga akan menimbulkan manisfestasi klinik dengan mula-
mula anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meninggi, nafsu makan berkurang, kemudian
timbul diare. Tinja makin cair, bisa memgandung darah atau lendir, warna tinja akan berubah
menjadi kehijauan karena bercampur empedu. Karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya
lecet karena tinja makin lama makin asam akibat banyaknya asam laktat yang terjadi dari
pemecahan laktosa yang tidak dapat diserap oleh usus. Gejala muntah dapat terjadi sesudah dan
sebelum diare. Bila penderita telah banyak kehilangan air dan elektrolit, terjadila gejala
dehidrasi. Berat badan turun, pada bayi ubun-ubun besar cekung, tonus dan turgor kulit
berkurang, selaput lender mulut dan bibir terlihat kering.
Gejala klinik Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera
Masa tunas
Panas
Mual muntah
Nyeri perut
17-72 jam
+
Sering
Tenesmus
24-48
jam
++
Jarang
Tenesmu
s kramp
6-72 jam
++
Sering
Tenesmus
kolik
6-72 jam
-
+
-
6-72 jam
++
-
Tenesmus
kramp
48-72 jam
-
Sering
Kramp
Nyeri kepala
Lamanya
sakit
Sifat tinja
Volume
Frekuensi
Konsistensi
Darah
Bau
Warna
Leukosit
-
5-7 hari
Sedang
5-10x/hr
Cair
-
Langu
Kuning
hijau
-
+
> 7 hari
Sedikit
>10x/hr
Lembek
Sering
-
Merah-
hijau
+
+
3-7 hari
Sedikit
Sering
Lembek
Kadang
Busuk
Kehijauan
+
-
2-3 hari
Banyak
Sering
Cair
-
+
Tak
berwarna
-
-
Variasi
Sedikit
Sering
Lembek
+
Tidak
Merah-
hijau
-
-
3 hari
Banyak
Cair
-
Amis khas
Seperti air
cucian beras
-
20
Lain-lain Anorexia Kejang Sepsis Meteoris
mus
Infeksi
sistemik
Tabel 1. Gejala Khas Diare Akut oleh Berbagai Penyebab
Pada kasus dengan keluhan utama diare sejak 2 hari, terus menerus dengan frekuensi
lebih dari 10 kali dalam sehari. Konsistensi cair, berwarna kuning, berbau asam, tidak ada lendir
dan tidak ada darah. Volume diare kurang lebih sebanyak setengah gelas belimbing kecil untuk
satu kali diare. Pasien tidak ada menangis sebelum diare. Diare disertai dengan demam. Demam
tinggi sejak 5 hari yang lalu. Riwayat diare sebelumnya disangkal dan riwayat di keluarga yang
menderita diare juga disangkal. Dari gejala yang ada dan lamanya waktu terjadinya diare yaitu
kurang dari 14 hari, dapat ditarik kesimpulan pasien diatas mengalami diare akut. Selain itu,
pasien selalu rewel, gelisah dan diare yang tidak kunjung berhenti serta pasien sudah terlihat
lemas dan mata terlihat cekung. Pasien selalu merasa haus dan ingin minum. Pada pemeriksaan
fisik lainnya didapatkan ubun-ubun besar cekung dan turgor kulit sudah menurun. Dari
pemeriksaan fisik dan gejala yang ada, pasien mengalami diare akut dengan dehidrasi sedang.
Gejala/Tanda Klasifikasi dehidrasi*
Tanpa dehidrasi Ringan-sedang Berat
Keadaan
umum
Baik, Sadar Gelisah Letargi/Tidak sadar
Mata Normal Cekung Sangat cekung
Rasa haus Minum biasa, tidak
haus
Sangat haus Tidak bisa minum
Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat Kembali sangat lambat
(≥ 2 detik)
Tabel 2. Penentuan Derajat Dehidrasi Pada Diare.
- Pembacaan tabel dari kanan ke kiri.
21
- Kesimpulan derajat dehidrasi ditentukan bila dijumpai ≥ 2 gejala/tanda pada kolom yang
sama.
Tabel 3. Penilaian Derajat Dehidrasi Beserta Rencana Terapi.
Untuk mendukung diagnosis ditambahkan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium dalam menegakkan diagnosis kausal yang tepat sehingga dapat memberikan obat
yang tepat pula. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dikerjakan yaitu pemeriksaan tinja,
pemeriksaan darah dan intubasi duodenal. Pemeriksaan tinja dengan cara makroskopik,
mikroskopik, biakan kuman, tes resistensi berbagai antibiotika, dan pemeriksaan pH serta kadar
gula, jika diduga ada intoleransi laktosa. Pemeriksaan darah yaitu darah lengkap, pemeriksaan
elektrolit, pH dan cadangan alkali (jika dengan pemberian RL i.v masih terdapat asidosis), kadar
ureum (untuk mengetahui adannya gangguan faal ginjal). Intubasi duodenal dilakukan pada diare
kronik untuk mencari kuman penyebab.
Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak), penderita harus segera dibawa ke petugas
atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat, yaitu dengan oralit.
Bila terjadi dehidrasi berat, penderita harus segera diberikan cairan intravena dengan ringer
laktat sebelum dilanjutkan terapioral. Berikan makanan selama diare untuk memberikan gizi
pada penderita terutama pada anak tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat
badan. Berikan cairan termasuk oralit dan makanan sesuai yang dianjurkan. Anak yang masih
mimun ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula diberikan lebih sering
22
dari biasanya. Anak Usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapat makanan padat
harus diberikan makanan yang mudah dicerna sedikit sedikit tetapi sering. Setelah diare berhenti
pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan
anak. Apabila diketemukan penderita diare disertai dengan penyakit lain, maka diberikan
pengobatan sesuai indikasi, dengan tetap mengutamakan rehidrasi. Tidak ada Obat yang aman
dan efektif untuk menghentikan diare.
Pada terapi diberikan cairan rehidrasi oral (CRO) oralit 75 ml/kgBB dalam 3 jam untuk
mengganti kehilangan cairan yang telah terjadi dan sebanyak 5-10 ml/kgBB setiap diare cair.
Dimana WHO menganjurkan pemberian oralit untuk mengganti cairan yang hilang melalui diare,
pemberian oralit berguna untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan mengobati dehidrasi
(treatment) pada diare akut. Bila pemberian oralit gagal dilakukan pemberian cairan secara
intravena dan penderita harus dirawat di rumah sakit. Rehidrasi parenteral (intravena) adalah
ringer laktat atau KaEN 3B atau NaCL dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan berat badan.
Status hidrasi dievaluasi secara berkala. BB 3-10 kg : 200 mL/kgBB/hari, BB 10-15 kg : 175
mL/kgBB/hari, BB > 15 kg : 135 mL/kgBB/hari.
Rencana terapi A
Untuk mengobati diare di rumah
(Penderita diare tanpa dehidrasi )
Gunakan cara ini untuk mengajari ibu :
Teruskan mengobati anak diare dirumah
Berikan terapi awal bila terkena diare lagi
1. Berikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah dehidrasi
Gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan , seperti larutan oralit,makanan yang cair
(seperti sup,air tajin ) dan kalau tidak ada air matang . Gunakan larutan oralit untuk anak
seperti dijelaskan dalam kotak dibawah (catatan jika anak berusia kurang dari 6 bulan dan
belum makan makanan padat lebih baik diberi oralit dan air matang dari pada makanan
yang cair ).
Berikan larutan ini sebanyak anak mau , berikan jumlah larutan oralit seperti dibawah.
Teruskan pemberian larutan ini hingga diare berhenti.
23
2. Beri anak makan untuk mencegah kurang gizi
Teruskan ASI
Bila anak tidak mendapat ASI berikan susu yang biasa diberikan, untuk anak kurang dari
6 bulan dan belum mendapat makanan padat , dapat diberikan susu
Bila anak 6 bulan atau lebih atau telah mendapat makanan padat
Berikan bubur lbila mungkin dicampur dengan kacanf-kacangan, sayur, daging atau
ikan , tambahkan 1 atau 2 sendok the minyak sayur tiap porsi
Berikan sari buah segar atau pisang halus untuk menanbahkan kalium
Berikan makanan yang segar masak dan haluskan atau tumbuk makanan dengan baik
Bujuk anak untuk makan , berikan makanan sedikitnya 6 kali sehari
Berikan makanan yang sama setelah diare berhenti, dan diberikan porsi makanan
tambahan setiap hari selama 2 minggu
3. Bawa anak kepada tugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3 hari atau menderita
sebagai berikut :
Buang Air besar cair lebih sering
Muntah berulang-ulang
Rasa haus yang nyata
Makan atau Minum sedikit
Demam
Tinja berdarah
Jika akan di beri larutan oralit di rumah, tunjukkan kepada ibu jumlah oralit yang diberikan
setiap habis buangair besar dan berikan oralit yang cukup untuk 2 hari.
- Tunjukkan kepada ibu cara memberikan oralit
24
- Berikan sesendok the tiap 1-2 menit untuk anak dibawah umur 2 tahun
- Berikan beberapa teguk dari gelas untuk anak lebih tua
- Bila anak muntah, tunggulah 10 menit kemudian berikan cairan lebih lama ( misalnya
sesendok tiap 2-3 menit
- Bila diare berlanjut setelahoralit habis beritahu ibu untuk memberikan cairan lain seperti
dijelaskan dalam cara pertama atau kembali kepada petugas kesehatan untuk mendapat
tambahan oralit.
Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan
Tunjukan cara memberikannya sesendok the tiap 1 –2 menit untuk anak di bawah 2 tahun
beberapa teguk dari cangkir untuk anak yang lebih tua
Periksa dari waktu bila ada masalah
Bila anak muntah tunggu 10 menit dan kemudian teruskan pemberian oralit tetapi lebih
lambat, misalnya sesendok tiap 2 –3 menit
Bila kelopak mata anak bengkak hentikan pemberian oralit dan air masak atau ASI beri
oralit sesuai Rencana tetapi A bila pembengkakan telah hilang
25
Setelah 3-4 jam nilai kembali anak menggunakan bagan penelian kemudian pilih rencana terapi
A, B atau C untuk melanjutkan terapi.
Bila tidak ada dehidrasi , ganti ke rencana terapi A, Bila dehidras telah hilang anak
biasanya kemudian mengantuk dan tidur
Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/ sedang ulang Rencana terapi B , tetapi
tawarkan makanan susu dan sari buah seperti rencana terapi A
Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat ganti dengan rencana terapi C
Bila ibu harus pulang sebelum menyelesaikan rencana terapi B.
Tunjukkan jumlah orait yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di rumah
Berikan oralit untuk rehidrasi selama 2 hari lagi seperti dijelaskan dalam rencana terapi A
Tunjukkan cara melarutkan oralit
Jelaskan 3 cara dalam rencana terapi A untuk mengobati anak dirumah
- Memberikan oralit atau cairan lain hingga diare berhenti
- Memberi makan anak sebagaimana biasanya
- Membawa anak ke petugas kesehatan.
26
Catatan :
- Bila mungkin amati penderita sedikitnya 6 jam setelah rehidrasi untuk memastikan
bahwa ibu dapat menjaga mengembalikan cairan yang hilang dengan memberi oralit.
27
- Bila umur anak diatas 2 tahun dan kolera baru saja berjangkit di daerah Saudara pikiran
kemungkinan kolera dan beri antibiotika yang tepat secara oral begitu anak sadar.
Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri (diare berdarah) atau kolera.
Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mengganggu keseimbangan flora usus sehingga
dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium difficile akan tumbuh yang menyebabkan
diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional dapat mempercepat
resistensi kuman terhadap antibiotik. Untuk disentri basiler, antibiotik diberikan sesuai dengan
data sensitivitas setempat, bila tidak memungkinkan dapat mengacu kepada data publikasi yang
dipakai saat ini, yaitu kotrimoksazol sebagai lini pertama, kemudian sebagai lini kedua. Bila
kedua antibiotik tersebut sudah resisten maka lini ketiga adalah sefiksim. Metronidazol 50
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis merupakan obat pilihan untuk amuba vegetative. Antibiotika
diberikan hanya pada kolera, disentri basiler, amubiasis dan giardiasis atau adanya penyakit
penyerta (sepsis, pneumonia, dan lain-lain). Pemberian antidiare dan antimuntah tidak dianjurkan
karena tidak terbukti menguntungkan bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan usus atau
membuat bayi tertidur lama bahkan menimbulkan kematian pada bayi (WHO, 2009).
Setelah rehidrasi selesai, makanan segera diberikan walaupun diare masih terus
berlangsung, pemberian makanan bertujuan untuk mencegah terjadinya kurang kalori protein
karena anak yang menderita diare akan kehilangan berat badan sebanyak 1% setiap harinya,
mempercepat rehabilitasi mukosa usus yang rusak dan mengurangi pemecahan lemak dan
protein tubuh sehingga mengurangi pembentukan asam-asam organik dan mencegah terjadinya
asidosis metabolic. Selain itu ASI (Air Susu Ibu) pada anak yang menderita diare harus tetap
diberikan. ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur tetap
diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan dan sebagai pengganti nutrisi yang hilang.
Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Anak tidak boleh dipuasakan,
makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering (lebih kurang 6 x sehari), rendah serat, buah
buahan diberikan terutama pisang.
Keberadaan oralit sebagai terapi pencegahan dehidrasi telah menurunkan angka kematian
yang disebabkan diare akut, dari 5 juta anak/tahun menjadi 3.2 juta/tahun. Sayangnya oralit tidak
dapat mengurangi keparahan diare (pengeluaran tinja, frekuensi dan lamanya diare). Zink
28
termasuk dalam trace element, yaitu elemen-elemen yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah
yang sangat kecil dan mutlak diperlukan. Sumber zink terbaik pada makanan adalah protein
hewani terutama daging, hati, kerang dan telur. Manfaat pemberian zink pada diare telah
dibuktikan pada banyak studi di berbagai negara terutama di negara berkembang. Umumnya
studi tersebut merupakan studi acak tersamar ganda. WHO juga telah merekomendasikan
pemberian zink untuk terapi diare akut, 10 mg untuk anak usia < 6 bulan dan 20 mg untuk anak ≥
6 bulan selama 10 sampai 14 hari.
Mekanisme Kerja Zink pada Diare Akut
Mekanisme yang menjelaskan pengaruh zink terhadap diare adalah sebagai berikut. Diare
akut pada anak di negara berkembang umumnya diare infeksius, zink mempunyai efek terhadap
enterosit dan sel-sel imun yang berinteraksi dengan agen infeksius pada diare. Zink terutama
bekerja pada jaringan dengan kecepatan turnover yang tinggi seperti saluran cerna dan sistem
imun dimana zink dibutuhkan untuk sintesa DNA dan protein. Zink bekerja pada tight junction
level untuk mencegah meningkatnya permeabilitas usus, mencegah pelepasan histamin oleh sel
mast dan respon kontraksi serta sekretori terhadap histamin dan serotonin pada usus dan
mencegah peningkatan permeabilitas endotel yang diprakarsai TNFα yang juga merangsang
kerusakan permeabilitas epitel usus.
Zink menstabilkan struktur membran dan memodifikasi fungsi membran dengan cara
berinteraksi dengan oksigen, nitrogen dan ligan sulfur makromolekul hidrofilik serta aktivitas
antioksidan. Zink melindungi membran dari efek agen infeksius dan dari peroksidasi lemak. Pada
usus tikus, defisiensi zink menurunkan absorpsi air dan natrium dan dapat mempengaruhi
aktivitas disakaridase. Pada studi lain yang juga dilakukan pada tikus didapatkan bahwa zink
menginhibisi cAMP yang meningkatkan sekresi klorida dengan menghambat saluran membran
basolateral kalium.
Probiotik sebagai Terapi Diare Akut
Probiotik berasal dari bahasa Yunani pro bios yang berarti untuk kehidupan. Pada
pertemuan para ahli yang digagas oleh The Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO) dan WHO didefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang bila
diberikan dalam jumlah adekuat dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan pejamu.
29
Terdapat tiga genus bakteri asam laktat yang sering dipergunakan sebagai probiotik:
Lactobacillus, Bifidobacterium dan Streptococcus. Lactobacillus merupakan probiotik yang
paling banyak diteliti manfaatnya bagi manusia khususnya Lactobacillus rhamnosus strain GG
(Lactobacillus GG). Terdapat 22 studi yang telah dilakukan untuk membuktikan manfaatnya
bagi kesehatan, umumnya sebagai terapi diare akut pada anak dan secara bermakna mengurangi
keparahan diare akut. Dosis untuk pemberian Lacto B adalah < 1 tahun : 2 x 1 bungkus dan 1-8
tahun : 3 x 1 bungkus.
Diare dengan penyakit penyerta
a) Pendahuluan
Anak yang menderita diare ( diare akut atau diare persisten ) mungkin juga disertai dengan
penyakit lain. Tatalaksana penderita tersebut selain berdasarkan acuan baku tatalaksana diare
juga tergantung dari penyakit yang menyertai. Penyakit yang sering terjadi bersamaan dengan
diare :
- Infeksi saluran napas ( bronkhopneumonia , bronkhiolitis dll )
- Saluran susunan saraf pusat ( meningiitis , ensefalitis , dll )
- Infeksi saluran kemih
- Infeksi sistemis lain ( sepsis , campak,dll )
- Kurang gizi ( KEP berat , kurang vit a , dll )
- Penyakit yang dapat disertai dengan diare tetapi lebih jarang terjadi : Penyakit jantung
yang berat / gagal jantung dan Penyakit ginjal / gagal ginjal
b) Tatalaksana
Dalam penatalaksanaan harus dipertimbangkan :
1. Kemampuan untuk makan minum per oral
2. Fungsi dan kemampuan sistem sirkulasi.
3. Cadangan jantung yang rendah misal pada pneumonia berat ( akibat risiko cor pulmonalle akut
) atau KEP berat ( akibat atropi dan hipoksia otot jantung ). Dehidrasi terjadi pada seluruh
kompartemen cairan: Intarvaskuler, ekstraseluler dan intraseluler ).Sedangkan kita memberi kan
cairan rehidrasi melalui kompartemen intravaskuler. Dibutuhkan waktu bagi cairan menyebar ke
30
kompartemen lain. Jadi kita seperti berhadapan dengan hipervolumia temporer. Berkurangnya
cadangan kardiovaskuler menyebabkan rehidrasi cepat menjadi berbahaya sehingga kita harus
menyesuaikan kecepatan pemberian cairan rehidrasi ( lihat tatalaksana diare dengan KEP berat ).
4. Penyakit atau keadaan yang memerlukan restriksi cairan.
5. Pada ensefalitis atau dekompensasi kordi kita harus menyadari jumlah cairan yang kita
perhitungkan didasarkan pada asumsi tertentu. Misalnya pada dehidrasi berat diperkirakan
berdasarkan kehilangan cairan 12,5 % dan berat badan. Akan tetapi dapat saja pada kasus
tertentu kehilangan cairan hanya 10 %, sehingga kalau kita melakukan rehidrasi berdasarkan
rumus, mungkin anak akan mendapat cairan sedikit lebih banyak dari yang dibutuhkan. Pada
umumnya anak dapat mentolerir kelebihan ini. Tetapi pada keadaan khusus kelebihan ini dapat
berbahaya langkah penyesuaian yang diambil antara lain memberikan cairan 3/4 atau 80 % dari
perhitungan, diikuti dengan observasi yang lebih ketat, tentu kita juga harus memperlambat
kecepatan pemberian cairan rehidrasi.
6. Fungsi ginjal
Dapat dimengerti bahwa gangguan fungsi ginjal mengharuskan kita menyesuaikan
jumlah, komposisi elektrolit dan asam basa pemberian cairan.
7. Interaksi perjalanan penyakit
Pada KEP berat telah tercermin intraksi perjalanan penyakit diare dan penyakit yang
menyertainya. Interaksi ini juga dapat terjadi pada penyakit penyerta lain. Misalnya pada
meningitis bakterial yang diobati dengan seftriakson, sefalosporin yang dielminasi melalui
empedu .dapat menimbulkan gangguan ekosistem usus dan memperberat diare. Berdasarkan
pemasalahan yang telah disebutkan di atas, langkah penyesuain dapat mencakup :
a) Terapi cairan
Kebutuhan cairan anak dalam keadaan diare dapat dipilah menjadi :
- Untuk mengatasi cairan yang hilang ( mencegah dehidrasi ) jumlahnya sekitar 25 – 50
ml/kg BB. Kadar natriumnya sekitar 50 mmol. Ditambah basa dan kalium.
- Untuk rehidrasi komposisinya lebih kurang sama dengan komposisi cairan ekstra seluler (
kadar natrium sekitar 140 mmol ) jumlahnya pada dehidrasi berat 100 –125 ml/kg BB
ditambah suplementasi untuk mengatasi deficit kalium dan basa. Untuk memenuhi
kebutuhan jumlahnya sekitar 100 ml/kg BB kadar natrium sesuai kebutuhan sekitar 30
31
mmol dan kalium 20 mmol. Pada anak dengan diare tanpa gangguan penyakit penyerta
cairan rehidrasi diberikan dalam bentuk oralit secara oral atau ringer laktat secara
intravena. Cairan pencegah dehidrasi dalam bentuk oralit atau cairan rumah tangga secara
oral. Pemenuhan kebutuhan diberikan dalam bentuk “makan minum seperti biasa”. Jika
akibat penyakit penyerta anak tidak mungkin minum peroral , maka ketiga kelompok
cairan tersebut diatas harus diberikan secara intravena jumlahnya pada dehidrasi berat
sekitar 250 ml/kg BB pada dehidrasi yang lebih ringan jumlahnya tentu harus disesuaikan
komposisi natrium yang harus diberikan sekitar 60 – 75 mmol, Sejalan dengan kebutuhan
suplementasi kalium dan basa cairan yang kira-kira mendekati komposisi yang
dibutuhkan adalah cairan Darrow glukosa.
- Karena umunya kita juga memperlambat kecepatan pemberian cairan sebagai acuan kita
dapat memakai rumus lama yang diajukan oleh Soetedjo, yaitu 60 ml ,pada empat jam
pertama sisanya diberikan dalam 20 jam berikutnya, Jika kita berhadapan dengan risiko
overhidrasi yang lebih besar atau penyakit penyertanya mengharuskan dilakukan retriksi
pembrian cairan jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 75 – 80 % dari
perhitungan. Disamping itu diperlukan pengawasan yang lebih ketat untuk dapat
melakukan penyesuaian – penyesuaian yang cepat dan tepat. Penderita diawasi tiap 30
menit hal yang perlu diperhatikan kemajuan hidrasi jumlah dan frekuensi diare serta
keadaan anak sesuaipenyakit penyertanya bila perlu kecepatan pemberian cairan dapat
dinaikam ,diturunkan. Setelah 4 – 6 Jam dilakukan penilaian penyeluruh tentang status
hidrasi anak. Berdasarkan hasil penilaian ini jumlah sisa cairan /24 jam yang harus
diberikan dapat disesuaikan. Sebagai pegangan praktis dapat dipakai acuan berikut :
- Penderita dengan dehidrasi tidak berat yang dapat minum, dilakukan rehidrasi dengan
oralit : 75 ml / kg BB, diberikan dalam 4 jam
- Selama periode ini ASI diteruskan, bila bayi < 6 bulan dan tidak mendapat ASI ,berikan
juga air masak 100-200 ml
- Setelah 3-4 jam. Harus diselingi dengan pemberian makanan
- Setelah 4 jam dilakukan penilaian kembali apakah sudah terhidrasi , bila belum
pemberian oralit diulang kembali
32
- Bila telah tercapai rehidrasi selanjutnya penderita diberikan oralit tiap kali diare
sebanyak: 100 ml untuk bayi berumur < 1 tahun, 200 ml untuk anak berumur 1 – 4 tahun
dan 300 ml untuk anak yang lebih besar dari 4 tahun
- Penderita dengan dehidrasi tidak berat yang tak dapat minum
- Rehidrasi dilakukan dengan pemberian cairan intravena dengan larutan Darrow glukosa
sebanyak: Untuk anak berumur < 12 bulan yaitu Jam pertama : 15 ml/kg BB dan Jam
berikutnya 60 ml/kg BB, Untuk anak berumur > 12 bulan, ½ jam pertama 15 ml / kg BB,
jam berikutnya 60 ml / kg BB
- Penderita dengan dehidrasi berat, rehidrasi dilakukan dengan pemberian cairan intravena
dengan larutan Darrow glukosa sebanyak: Untuk anak berumur < 12 bulan yaitu Jam
pertama : 20 ml / kg BB dan Jam berikutnya 80 ml / Kg BB, Untuk anak berumur > 12
bulan yaitu ½ jam pertama 20 ml/ kg BB dan Jam berikut 80 ml / kg BB
- Setelah 4 jam (untuk anak besar) atau 6 jam (untuk bayi) dilakukan penilaian kembali
Bila telah rehidrasi, pemberian cairan intravena diteruskan 100 ml /kg BB / 24 jam,
b) Terapi Nutrisi
Kita tetap berpegangan pada patokan tidak memuasakan anak dengan diare, Jjika
pemberian makanan secara enteral. Tidak dapat dilakukan maka kita harus memberikan nutrisi
parenteral, cara yang digunakan dapat dianalogjikan dari cara yang diuraikan pada Tatalaksana
diare Persisten. Sesuai dengan kemajuan keadaan umum anak kita harus memberikan makanan
secara oral begitu keadaan memungkinkan. Tentu saja kita harus memperhatikan kebutuhan
terapi nutrisi khusus sesuai dengan penyakit penyerta yang dihadapi.
c) Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa untuk menanggulangi penyakit penyerta tentu harus diberikan
seoptimal mungkin, bila diperlukan pemberian antibiotik, perlu dipertimbangkan penggunaan
antibiotik yang tidak meninbulkan efek samping yang memperburuk diare, begitu pula kita harus
mempertimbangkan dampak pemakaian obat yang mempunyai efek samping terhadap fraktus
gastrointestinal.
Pencegahan diare
1. Tujuan
33
Tujuan Pencegahan adalah untuk tercapainya penurunan angka kesakitan
2. Upaya Kegiatan Pencegahan daire
Hasil penelitihan terakhir menunjukkan ,bahwa cara pencegahan yang benar dan efektif yang
dapat dilakukan adalah
- Memberikan ASI
- Memperbaiki makanan pendamping ASI
- Menggunakan air bersih yang cukup
- Mencuci Tangan
- Menggunakan Jamban
- Membuang tinja bayi yang benar
- Memberikan imunisasi campak
a) Pemberian ASI
Asi adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam
bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna diserap secara optimal oleh bayi Asi saja sudah
cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan, tidak ada makanan lain yang
dibutuhkan selama masa ini. Asi steril, berbeda dengan sumber susu lain : susu formula atau
cairan lain disiapkan dengan air atau bahan-bahan yang terkontaminasi dalam botol yang kotor.
Pemberian Asi saja, tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol,
menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare.
Keadaan seperti ini disebut disusui secara penuh. Bayi –bayi harus disusui secara penuh sampai
mereka berumur 4-6 bulan. Setelah 6 bulan dari kehidupnya, pemberian Asi harus diteruskan
sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih).
Asi mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibidi dan zat-zat
lain yang dikandungnya. Asi turut memberikan perlindungan terhadap diare Pada bayi yang baru
lahir pemberian Asi secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap diare
daripada pemberian Asi yang disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi-bayi yang disusui
mencegah tumbuhnya bakteri penyabab diare. Pada bayi yang tidak diberi Asi secara penuh,
pada 6 bulan pertama kehidupan, risiko mendapat diare adalah 30 x lebih besar. Pemberian susu
formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula, biasanya
menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk.
34
b) Makanan Pendamping Asi
Pemberian makanan pendamping Asi adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan
dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi
sebab perilaku pemberian makanan pendamping Asi dapat menyebabkan meningkatnya resiko
terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian
makanan pendamping Asi yang baik meliputi perhatian kapan, apa dan bagaimana makanan
pendaping Asi diberikan. Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan bara pemberian
makanan pendamping Asi yang lebih baik yaitu :
- Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi teruskan pemberian
Asi. Tambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih . Birikan
makanan lebih sering (4x sehari) setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan
yang dimasak dengan baik 4-6x sehari teruskan pemberian Asi bila mungkin.
- Tambahkan minyak, lemak dan gula kedalamnasi/bubur dan biji-bijian untuk energi.
Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging. Kacang–kacangan, buah-buahan dan
sayuran berwarna hijau kedalam makanannya, cuci tangan sebelum menyiapkan makanan
dan menyuapi anak. Suapi anak dengan sendok yang bersih.
- Masak atau rebus makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin dan
panaskan dengan bener sebelum diberikan kepada anak.
c) Menggunakan air bersih yang cukup
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal-oral
mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar
dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang
dicuci dengan air tercemar. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang bener-bener
bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang
tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu
dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari
sumbernya sampai penyimpanan dirumah. Yang harus diperhatikan oleh keluarga : ambil air dari
sumber air yang bersih, ambil dan simpan air dalam tempat yang bersih dantertutup serta
gunakan gayung khusus untuk mengambil air, pelihara atau jaga sumber air dari pencemaran
35
oleh binatang dan untuk mandi anak-anak, gunakan air yang direbus dan cuci semua peralatan
masak dan makan dengan air yang bersih dan cukup
3. Mencuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam
penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah
buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum
menyuapi makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare.
4. Menggunakan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban
mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang
tidak mempunyai jamban harus membuat, dan keluarga harus buang air besar di jamban. Yang
harus diperhatikan oleh keluarga :
- Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh anggota
keluarga.
- Bersihkan jamban secara teratur
- Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar sendiri, buang
air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan tempat anak-anak bermain serta lebih
kurang 10 meter dari sumber air, hindari buang air besar tanpa alas kaki.
5. Membuang tinja bayi yang benar
Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya , hal ini tidak benar
karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi
harus dibuang secara bersih dan benar. Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
- Kumpulkan segera tinja bayi atau anak kecil dan buang ke jamban
- Bantu anak-anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah dijangkau olehnya
- Bila tidak ada jamban plih tempat untuk membuang tinja anak seperti didalam lubang atau di
kebun kemudian ditimbun
- Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangan nya dengan sabun
6. Pemberian Imunisasi Campak
Diare sering timbul menyertai campak sehingga pemberian iimunisasi campak juga dapat
mencegah diare oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah berumur 9 bulan.
36
Edukasi kepada orangtua berdasarkan kesimpulan dari tahap-tahap pencegahan diare di
atas, yaitu : orangtua diminta untuk membawa kembali anaknya ke Pusat Pelayanan Kesehatan
bila ditemukan hal sebagai berikut: demam, tinja berdarah, makan atau minum sedikit, sangat
haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari. Orangtua dan pengasuh diajarkan
cara menyiapkan oralit secara benar.
Langkah promotif/preventif :
- ASI tetap diberikan,
- kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan,
- kebersihan lingkungan, buang air besar di jamban,
- immunisasi campak,
- memberikan makanan penyapihan yang benar,
- penyediaan air minum yang bersih,
- selalu memasak makanan.
B. Bronkopneumonia
Pasien seorang bayi laki-laki berumur 8 bulan datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Dari aloanamnesa dengan ibu pasien didapatkan sejak 5 hari
SMRS anaknya menderita batuk disertai pilek. Dahak berwarna putih kekuningan dan tidak
bercampur darah. Demam tinggi, terus menerus naik turun sepanjang hari. Sejak 1 hari SMRS
pasien menderita sesak nafas yang dirasakan tiba-tiba dan semakin berat. Sesak napas tidak
berhubungan dengan aktivitas dan cuaca. Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas
berbunyi (mengi) atau mengorok. Riwayat kontak dengan orang yang memiliki batuk lama
disangkal. Ibu pasien kemudian membawa pasien berobat ke bidan, dan tidak kunjung sembuh
sehingga ibu pasien membawa pasien ke RSMY. Pada pemeriksaan umum didapatkan
peningkatan frekuensi pernapasan 60x/menit dan demam dimana temperatur 38,7ºC (Zul Dahlan,
2009).
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkhiolus terminalis yang
mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli yang berupa infiltrat ataukonsolidasi pada
alveoli atau jaringan interstisial. Pneumonia ini dapat mengakibatkan gangguan pertukaran gas
37
setempat. Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur dan benda asing. Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting
pada perbedan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran
klinis, dan strategi pengobatan (Price, 2009).
Umumnya mikroorganime penyebab pneumonia ini terhisap ke paru bagian perifer
melalui saluran respiratori. Mula–mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penybaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukasit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis
yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang
tidak terkena akan tetap normal (Price, 2009).
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit, sehingga
stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri tertentu sering
menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi
Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak – bercak konsolidasi merata
di seluruh lapanga paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses kecil sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil karena Staphylococcus
aureus meghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan
koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi. Koagulase
berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilka bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi
koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang
menimbulkan penyakit yang serius. Pneumotokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi
biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut (Rahajoe, 2008; WHO, 2009).
38
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS. Gambaran
klinis penumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara
umum dapat dilihat berdasarkan 2 gejala yaitu, gejala infeksi umum dan gejala gangguan
respiratori. Gangguan infeksi umum berupa demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti muntah atau diare, terkadang ditemukan gejala
infeksi ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,
takipneu, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara nafas melemah, dan ronkhi. Dari anamnesis
yang berhubungan dengan keluhan utama ditanyakan gejala sesak nafas akibat penyakit respirasi
dan sesak akibat kelainan jantung. Pada kasus didapatkan gejala sesak nafas tidak berhubungan
dengan aktivitas dan cuaca. Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas berbunyi
(mengi) atau mengorok, ini menggambarkan bahwa sesak nafas akibat respirasi dan penyakit
asma dapat disingkirkan.
Selanjutnya didapatkan gejala batuk, pilek, serta dahak yang berwarna putih kekuningan
yang tidak bercampur darah, ada riwayat demam yang terus menerus naik turun, tidak ada
penurunan berat badan, riwayat kontak dengan orang dewasa yang menderita batuk lama ataupun
yang sedang menjalani pengobatan tuberculosa, hal ini dapat menyingkirkan diagnosa kearah
tuberculosa. Selanjutnya dari pemeriksaan fisik yang menunjang adalah terdapatnya pernafasan
cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, pada auskultasi ditemukan ronkhi basah
halus nyaring, maka dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan
bronkopneumonia (WHO, 2009).
Untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu darah perifer
lengkap, C-reaktif Protein (CRP), uji serologis, pemeriksaan mikrobiologis dan pemeriksaan
rontgen thoraks. Pemeriksaan darah lengkap perfier pada pneumonia yang disebabkan oleh virus
biasanya leukosit dalam batas normal, namun pada pneumonia yang disebabkan oleh bakteri
didapatkan leukositosis (15.000–40.000/mm3). Dengan dominan PMN. Leukopenia
(<5000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang–kadang
ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-
39
100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatif lebih rendah daripada glukosa darah.
Kadang–kadang terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat.
CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi
atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1
da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam
opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak, secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik
untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi
superfisial atau profunda. Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis
tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik sepert
Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan antibodi IgM dan IgG. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus,
darah, punksi pleura atau aspirasi paru. Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan darah tepi
lengkap dengan hasil meningkat dua kali lipat yaitu 25800/mm3, hemoglobin 7,4 mg/dl, hasil ini
cukup mendukung bahwa sedang terjadi proses infeksi pada pasien (WHO, 2009; Smeltzer,
2000).
Pada terapi diberikan O2 0,5 l/menit. O2 diberikan untuk mengatasi hipoksemia,
menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi kerja miokardium. Oksigen diberikan pada
anak yang menunjukkan gejala adanya tarikan dinding dada (retraksi) bagian bawah yang dalam,
SpO2< 90%, frekuensi nafas 60x/menit atau lebih, merintih setiap kali bernafas untuk bayi
muda, dan adanya head nodding (anggukan kepala). Pemberian O2 melalui nasal pronge yaitu 1-
2 l/menit atau 0,5 l/menit untuk bayi muda. Pemberian O2 melalui kateter nasal yaitu 1-6 l/menit
untuk memberikan konsentrasi O2 24-44%. Pemberian O2 melalui sungkup biasa yaitu 5-8
l/menit untuk memberikan konsentrasi oksigen 40-60%. Serta pemberian O2 melalui sungkup
reservoir yaitu 6-10 l/menit untuk memberikan konsentrasi oksigen 60-99% (Nelson, 2000;
Rahajoe, 2008).
Selanjutnya diberikan ampicilin 300 mg/12 jam, sesuai dengan teori yang dapat dilihat
berdasarkan etiologi dari bronkopneumonia akibat bakteri, bakteri yang cukup banyak
menyebabkan bronkopneumonia adalah bakteri kokus gram positif seperti streptococcus
pneumonia, dan pneumococcus. Sehingga perlu ditambah antibiotik yang lebih luas terhadap
40
bakteri gram positif, yaitu contohnya ampicilin yang merupakan golongan beta laktam yang
sensitif terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif yang tidak memiliki beta laktamase.
Pemberian paracetamol diberikan selama pasien mengalami demam, dengan dosis 10-15
mg/kgBB/kali dapat diulang 4-6 jam, pada kasus ini pasien mengalami demam yang cukup tinggi
(Nelson, 2000; Rahajoe, 2008).
Kesimpulan, dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien
didiagnosa dengan bronkopneumonia. Tatalaksana dengan pengobatan simptomatis dan suportif.
Prognosis pada kasus ini baik, Umumnya penderita bahkan dapat sembuh spontan dalam 2-3
minggu. Apalagi jika dilihat berdasarkan gambaran klinis selama perawatan pasien sudah
membaik. Keluhan juga telah berkurang secara berangsur-angsur. Hal ini ditandai dengan batuk
yang sudah mulai menghilang, demikian pula dengan retraksi serta pernapasan cuping hidung
sudah menghilang. Prognosis penderita ini adalah dubia ad bonam untuk quo advitam dan
functionam karena pada pasien ini telah dilakukan pengobatan yang adekuat serta belum ada
tanda-tanda yang mengarah pada komplikasi.
C. Anemia
Pasien seorang bayi laki-laki, berumur 8 bulan masuk ke rumah sakit dengan keluhan
diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang disertai dengan bronkopneumonia berdasarakan dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, ditambah dengan penegakkan diagnosis
lainnya dengan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pada pemeriksaan fisik lainnya ditemukan
gejala pucat pada ujung ekstremitas, sclera ikterik, konjungtiva anemis, akral dingin dan CRT >
2 detik. Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan Hb 7,4 gr/dL, Ht 24 %. Dari gejala
dan tanda yang ada, ditarik kesimpulan pasien ini mengalami anemia. Untuk dapat menentukan
jenis anemia apa yang terjadi, dibutuhkan pemeriksaan lainnya, terutama pemeriksaan penunjang
laboratorium seperti yang akan dijelaskan dibawah berikut ini.
41
Tabel 4. Batasan anemia berdasarkan umur dan jenis kelamin.
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin dengan melihat
jumlah hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit. Selain itu dengan dasar ukuran eritrosit
(mean corpuscular volume/MCV) dan kemudian dibagi lebih dalam berdasarkan morfologi
eritrositnya. Pada klasifi kasi jenis ini, anemia dibagi menjadi anemia mikrositik, normositik dan
makrositik. Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai penyebab klinis dan patologis.
Penyebab anemia secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu gangguan produksi
eritrosit yaitu kecepatan pembentukan eritrosit menurun atau terjadi gangguan maturasi eritrosit
dan perusakan eritrosit yang lebih cepat. Kedua kategori tersebut tidak berdiri sendiri, lebih dari
satu mekanisme dapat terjadi.
42
Tabel 5. Anemia berdasarkan ukuran eritrosit.
Anak anemia berkaitan dengan gangguan psikomotor, kognitif, prestasi sekolah buruk,
dan dapat terjadi hambatan pertumbuhan dan perkembangan. Anak usia kurang dari 12 bulan
dengan anemia terutama defisiensi besi kadar hemoglobinnya bisa normal, dengan nilai prediktif
positif 10-40%. Oleh karena itu diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik teliti untuk
mendeteksi dan menentukan penyebabnya sehingga pemeriksaan laboratorium dapat seminimal
mungkin. Tubuh bayi baru lahir mengambil dan menyimpan kembali besi menyebabkan
hematokrit menurun selama beberapa bulan pertama kehidupan. Oleh karena itu, pada bayi
cukup bulan kekurangan zat besi dari asupan gizi jarang menyebabkan anemia sampai setelah
enam bulan. Pada bayi prematur, kekurangan zat besi dapat terjadi setelah berat dua kali lipat
berat lahir. Penyakit terkait kromosom X seperti defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase
(G6PD), harus dipertimbangkan pada anak laki-laki. Defisiensi piruvat kinase bersifat autosomal
resesif dan berhubungan dengan anemia hemolitik kronis.
Pemeriksaan fisik penting dilakukan, temuan yang menunjukan anemia kronis termasuk
pucat (biasanya tidak terlihat sampai tingkat hemoglobin kurang dari 7 g/dL), glositis,
hepatosplenomegali, murmur, dan gagal jantung kongestif. Pada anemia akut dapat ditemukan
jaundice, takipnea, takikardi, dan hematuria.
43
Tabel 6. Pemeriksaan fisik pada pasien anemia.
Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin dan massa eritrosit,
MCV menjadi salah satu standar klasifikasi anemia menjadi mikrositik, normositik, dan
makrositik. Pemeriksaan darah perifer adalah prosedur tunggal paling berguna sebagai evaluasi
awal. Pertama-tama harus diperiksa distribusi dan pewarnaan sel. Tanda sediaan yang tidak baik
adalah hilangnya warna pucat di tengah eritrosit, bentuk poligonal, dan sferosit artefak. Sferosit
artefak, berlawanan dengan artefak asli, tidak menampakkan variasi kepucatan ditengah sel dan
lebih besar dari eritrosit yang normal. Sediaan yang tidak baik tidak boleh diinterpretasikan.
Setelah sediaan telah dipastikan kelayakannya, diperiksa pada pembesaran 50x dan kemudian
dengan 1000x. Sel-sel digradasikan berdasarkan ukuran, intensitas pewarnaan, variasi warna, dan
abnormalitas bentuk. Gangguan hemolisis eritrosit dapat diklasifikasikan menurut morfologi
predominannya. Terdapatnya stippling basofi lik dan sel inklusi juga perlu diperhatikan.
44
Gambar 2. Pendekatan diagnosis berdasarkan apusan darah tepi.
Langkah berikut adalah pengukuran jumlah retikulosit, bilirubin, tes Coombs, jumlah
leukosit, dan trombosit. Morfologi eritrosit pada apusan darah tepi dapat menunjukkan etiologi
anemia. Pengambilan dan analisis sumsum tulang dapat dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya kelainan sumsum tulang yang berkaitan dengan penyebab anemia ; pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan terakhir seandainya penyebab anemia masih belum diketahui.
45
Gambar 3. Pendekatan diagnosis berdasarkan MCV dan jumlah retikulosit.
46
Gambar 4. Penyebab gangguan morfologi sumsum tulang.
Pendekatan diagnosis anemia dimulai dari anamnesis riwayat penyakit dalam keluarga,
penyakit terdahulu, dan pemeriksaan fisik untuk mengarahkan pemilihan pemeriksaan penunjang
yang tepat sesuai dengan penyakit yang diperkirakan. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan berupa pemeriksaan darah lengkap, apusan darah tepi, pengukuran MCV, jumlah
retikulosit, bilirubin, tes Coomb, jumlah leukosit, jumlah trombosit, dan aspirasi sumsum tulang
untuk memeriksa bentuk eritroid, mieloid, dan megakariosit. Derajat anemia berdasarkan WHO,
yaitu :
Pada pasien diatas dengan Hb 7,4 gr/dL dan Ht 24 % termasuk anemia derajat 3, yaitu
anemia berat. Selanjutnya pasien diberikan transfusi darah sesegera mungkin untuk:
- semua anak dengan kadar Ht ≤ 12% atau Hb ≤ 4 g/dl47
- anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 13–18%; Hb 4–6 g/dl) dengan beberapa tampilan
klinis berikut:
• Dehidrasi yang terlihat secara klinis
• Syok
• Gangguan kesadaran
• Gagal jantung
• Pernapasan yang dalam dan berat
• Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah berparasit).
• Jika komponen sel darah merah (PRC) tersedia, pemberian 10 ml/kgBB selama 3–4 jam lebih
baik daripada pemberian darah utuh. Jika tidak tersedia, beri darah utuh segar (20 ml/kgBB)
dalam 3–4 jam.
• Periksa frekuensi napas dan denyut nadi anak setiap 15 menit. Jika salah satu di antaranya
mengalami peningkatan, lambatkan transfusi. Jika anak tampak mengalami kelebihan cairan
karena transfusi darah, berikan furosemid 1–2 mg/kgBB IV, hingga jumlah total maksimal 20
mg.
• Bila setelah transfusi, kadar Hb masih tetap sama dengan sebelumnya, ulangi transfusi.
• Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi yang umum terjadi dan
serius. Berikan komponen sel darah merah atau darah utuh, 10 ml/kgBB (bukan 20 ml/kgBB)
hanya sekali dan jangan ulangi transfusi.
48
KESIMPULAN
Sejak 2 hari SMRS, pasien mengalami diare. Diare terus menerus dengan frekuensi lebih
dari 10 kali dalam sehari. Konsistensi cair, berwarna kehijauan, berbau asam, tidak ada lender
dan tidak ada darah. Volume diare kurang lebih sebanyak setengah gelas belimbing kecil untuk
satu kali diare. Pasien tidak ada menangis sebelum diare. Diare disertai dengan demam. Demam
tinggi sejak 5 hari yang lalu. Demam naik turun sepanjang hari disertai batuk berdahak dan
pilek. Dahak berwarna putih kekuningan dan tidak bercampur darah. Batuk lebih sering saat
malam hari sehingga membuat pasien sering terbangun.
Sejak 1 hari SMRS setelah gejala diare, demam, batuk dan pilek muncul pasien terlihat
sesak dan nafasnya terengah-engah. Sesak terlihat terus menerus, tidak disertai dengan suara
mengi atau mengorok. Pasien sudah pernah berobat sebelumnya ke bidan, diberi obat penurun
panas dan puyer batuk, namun tidak kunjung sembuh. Di tambah dengan adanya diare dan sesak
sehingga pasien datang ke RSMY untuk berobat. Pasien juga tampak pucat, rewel, lemas, selalu
merasa haus dan ingin minum. BAK biasa, tidak ada muntah, tidak ada kejang dan tidak ada
penurunan kesadaran selama demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada kepala UUB cekung, mata tampak cekung,
sclera ikterik, konjungtiva anemis, terlihat napas cuping hidung, bibir sianosis, faring hiperemis,
terlihat retraksi dinding dada, terdengar suara ronkhi basah halus, kulit tampak pucat, turgor kulit
menurun, bising usus meningkat, akral dingin, CRT > 2 detik dan ujung ekstremitas tampak
pucat. Pemeriksaan penunjang didapatkan Leukosit : 25.800 mm3, Trombosit : 676.000 sel/mm3,
Hb : 7,4 gr/dl, Ht : 24 %. Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada dan setelah di diskusikan,
pasien di atas menderita diare dehidrasi sedang dengan bronkopneumonia dan anemia. Untuk
tatalaksananya diberikan berdasarkan konsensus yang telah ditetapkan oleh IDAI ditambah
dengan referensi lainnya untuk pencegahan dan penanganan non medika mentosa. Kesimpulan,
dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosa diare akut
dehidrasi sedang dengan bronkopneumonia dan anemia. Tatalaksana dengan pengobatan
simptomatis dan suportif. Prognosis pada kasus ini baik, Umumnya penderita bahkan dapat
sembuh spontan. Apalagi jika dilihat berdasarkan gambaran klinis selama perawatan pasien
sudah membaik. Keluhan juga telah berkurang secara berangsur-angsur. Hal ini ditandai dengan
49
diare yang berkurang bahkan hampir tidak ada lagi dalam 3 hari terakhir, batuk yang sudah mulai
menghilang, demikian pula dengan retraksi serta pernapasan cuping hidung sudah menghilang
serta tidak lagi pucat dan Hb sudah 10, 8 gr/dL post 1 hari transfusi. Prognosis penderita ini
adalah dubia ad bonam untuk quo advitam dan functionam karena pada pasien ini telah
dilakukan pengobatan yang adekuat serta belum ada tanda-tanda yang mengarah pada
komplikasi.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Murray Nedel’s. 2005. Text Book of Respiratology Medicine, Edisi I. Volume I United
State of America : Elseiver Saunders. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,
Volume 2. Jakarta : EGC.
2. Rahajoe, Nastini N. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi I. Jakarta IDAI.
3. Smeltzer, Suzanne C. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume I. Jakarta :
EGC.
4. WHO. 2009. Buku Saku pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/09/Buku-Saku-
Pelayanan-Kesehatan-Anak-di-RS.pdf
5. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Vander Hoorn S, Murray CJ, the Comparative Risk
Assessment Collaborating Group. Selected major risk factors and global and regional
burden of disease. Lancet. 2002;360:1347-60.
6. Subagyo B dan Santoso NB. Diare akut dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
Jilid 1, Edisi 1. Jakarta: Badan penerbit UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI.
2010:87-110
7. Pudjiadi, A.H. dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
IDAI. 2009:58-61.
8. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrheal disease, as estimated
from studies published between 1992 and 2000. Bull World Health Organ 2003; 81:197-
204.
9. Griffin PM, Ryan CA, Nyaphisi M, Hargrett-Bean N, Waldman RJ, Blake PA. Risk
factors for fatal diarrhea: a case-control study of African children. Am J Epidemiol
1988; 128:1322-9.
10. Suraatmaja Sudaryat. Diare dalam Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta:
Sagung Seto. 2007:1-24
11. Sari M, de Pee S, Martini E, Herman S, Sugiatmi, Bloem MW, et al. Estimating the
prevalence of anaemia: a comparison of three methods. Bulletin of the World Health
Organization. 2001;79:506-11.
51
12. Price, Sylvia Anderson 2009. Pathophysiology : Clinical Concepts of Disease Processes.
Alih Bahasa Peter Anugrah. Edisi 4.Jakarta : EGC.
13. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Buku Ajar Diare. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI; 1999.
14. Victora CG, Bryce J, Fontaine O, Monasch R. Reducing deaths from diarrhea through
oral rehydration therapy. Bull World Health Organ 2000; 78:1246-55.
15. American Academy of Pediatrics, Provisional Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Acute Gastroenteritis. Practice Parameter. The management of acute
gastroenteritis in young children. Pediatrics 1996; 97:424-35.
16. WHO. Management of the patient with diarrhea : programme for control of diarrhoeal
disease. Geneva: WHO; 1992.
17. Water with sugar and salt [editorial]. Lancet 1978; 2:300-1.
18. Zul Dahlan, 2000. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
19. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
18th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
20. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy
and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2008.
21. Khusun H, Yip R, Schultink W, Dillon DHS. World Health Organization Hemoglobin
Cut-Off Points for the Detection of Anemia Are Valid for An Indonesian Population. J
Nutr. 1999;129:1669-74.
22. U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF). Screening for iron defi ciency anemia -
including iron supplementation for children and pregnant women. Rockville (MD):
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ); 2006.
23. Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ. Rudolph’s Pediatrics.
21st ed. USA: McGraw-Hill; 2003. Bessman JD, Gilmer PR, Gardner FH. Improved
classifi cation of anemias by MCV and RDW. Am J Clin Pathol. 1983;80:322-6.
24. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2005.
52
25. Kohli-Kumar M. Screening for anemia in children: AAP recommendations - a critique.
Pediatrics. 2001;108:e56-7.
26. Administrated by the Alberta Medical Association. 2002. Guideline For The Diagnosis
and Management Of Community Acquired Pneumonia: Pediatrics. Available from
url:http://www.centralhealth.nl.ca/assets/PandemicInfluenza/PNEUMONIAPEDIATRIC
S.pdf\
27. Marie, R; Griffin, MD; Yuwei, Zhu; Matthew,R; Moore, MD; Cynthia, G; Whitney, MD;
Carlos, G. 2013. U.S. Hospitalizations for Pneumonia after a Decade of Pneumococcal
vaccination. Volume I. Massachusetts Medical Society: The New England Journal of
Medicine.p 34-44.
53