laporan kasus oksiuriasis
DESCRIPTION
laporan kasus oksiuriasisTRANSCRIPT
PORTOFOLIO
TATALAKSANA OKSIURIASIS
Disusun oleh
dr. Rendy Andika
Program Internship Dokter Indonesia
Rumah Sakit Umum Daerah Ahmad Ripin
Kabupaten Muaro Jambi
2014/2015
1
Nama Peserta : dr. Rendy Andika
Nama Wahana : RSUD Ahmad Ripin Muaro Jambi
Topik : Tatalaksana Oksiuriasis
Tanggal (kasus ) :
Nama Pasien : An F , 4 th No.RM : -
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Susy Andriati
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Ahmad Ripin
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Tujuan :
Bahan Bahasan : □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara Membahas : □ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ Email □
Pos
2
1. Identitas Pasien
Nama : F
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : -
Umur : 4 tahun 3 bulan
Alamat : Sekernan
2. Keluhan Utama
Keluar cacing saat BAB sejak 1 hari yang lalu
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluar cacing pada saat BAB sejak 1 hari yang lalu, berwarna putih, ukuran + 1 cm,
jumlah + 3 ekor, bergerak.
Gatal di daerah anus terutama pada malam hari (+) sejak + 1 minggu yang lalu.
BAB frekuensi 1 kali sehari, konsistensi lunak, tidak berlendir, tidak berdarah.
Pasien suka bermain di tanah dan pasir dan kadang tidak menggunakan sandal.
Riwayat demam sebelumnya disangkal.
Riwayat keluar cacing dari mulut atau hidung disangkal.
Nafsu makan menurun disangkal
Berat badan turun tidak ada, tapi dari hasil penimbangan 2 bulan yang lalu dengan
saat ini, tidak ada kenaikan.
Riwayat mual dan muntah disangkal.
Nyeri di daerah ulu hati (-), perut terasa kembung (-)
4. Riwayat Penyakit Dahulu/ Penyakit Keluarga
Pasien tidak pernah menderita keluhan seperti ini.
3
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien.
5. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tidak tampak sakit Tinggi badan : 102 cm
Kesadaran : CMC Berat badan : 15 kg
Nadi : 90 x/menit Status gizi : baik
Nafas : 22 x/menit
Suhu : 36,7 0C
Kepala : normocephal, rambut hitam
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : liang telinga lapang, membran timpani putih, reflex cahaya (+)
Mulut : mukosa basah, tonsil T1-T1, tidak hiperemis
Tenggorok : tidak hiperemis
Toraks :
Paru : normochest, pernafasan simetris kiri dan kanan, retraksi (-), suara
nafas vesikuler di kedua lapangan paru
Jantung : iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, irama teratur, bising
tidak ada
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik
KGB : tidak ditemukan pembesaran KGB
6. Pemeriksaan Penunjang
Anjuran : Swab anal + pemeriksaan dibawah mikroskop
7. Diagnosis Kerja
Oksiuriasis ec susp. Enterobius vermicularis4
8. Diagnosis Banding
---
9. Manajemen
Promotif
Memberikan edukasi kepada orang tua pasien untuk terapi pencegahan dengan memberikan obat cacing satu kali setiap 6 bulan
Memberikan edukasi kepada orang tua pasien tentang menjaga kebersihan kuku dengan secara teratur memotong kuku.
Edukasi tentang mencuci tangan setiap selesai bermain dan akan makan dengan menggunakan sabun dan selalu menggunakan alas kaki setiap keluar rumah.
Menyarankan kepada ibu pasien untuk selalu memasak makanan sampai matang dan sudah dicuci bersih sebelumnya.
Preventif
Melakukan terapi pencegahan dengan memberikan obat cacing satu kali setiap 6 bulan
Menjaga kebersihan kuku dengan cara memotong kuku secara teratur.
Mencuci tangan setiap selesai bermain dan akan makan dengan menggunakan sabun serta selalu menggunakan alas kaki setiap keluar rumah.
Selalu memasak makanan sampai matang dan sudah dicuci bersih sebelumnya.
Usahakan agar tidak jajan sembarangan apalagi di pinggir jalan.
Kuratif
Pirantel pamoat 1 x 150 mg (single dose)
Rehabilitatif
Kontrol ulang seminggu lagi.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Kecacingan atau helmintiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya
parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Parasit ini mempunyai tubuh yang
simestris bilateral dan tersusun dari banyak sel (multiseluler). Jenis cacing yang sering
ditemukan dapat menimbulkan infeksi adalah cacing ascaris lumbricoides (A.
lumbricoides), Trichuris trichiura (T. trichiura), cacing tambang Necator americanus (N.
americanus), Ancylostoma duodenalle (A. duodenalle), Enterobius vermicularis (E.
vermicularis) dan Strongyloides stercoralis (S. stercoralis) dimana cara penularannya
dapat melalui tanah atau yang disebut dengan Soil Transmitted Helminths (STH) ataupun
tidak melalui tanah.
Di Indonesia kecacingan merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai.
Angka kejadian kecacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang
beriklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur.
Kecacingan bisa menyebabkan morbiditas yang dapat menyerang semua golongan
terutama golongan penduduk yang kurang mampu sehingga beresiko terinfeksi oleh
cacing. Salah satunya banyak terjadi pada anak usia anak sekolah yang berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Pada umumnya penyakit kecacingan tersebut tidak merupakan penyakit akut
dan tidak berakibat fatal, tetapi penyakit infeksi ini mampu menyebabkan anemia,
gangguan gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan, dalam jangka panjang
kecacingan ini mampu menghambat absorbsi gizi serta nutrien-nutrien sebesar 3% dalam
kondisi ringan dan 25% jika infeksi berat.
1.1 Enterobiasis
Enterobiasis adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh
nematoda dari genus Enterobius, khususnya Enterobius vermicularis.
6
1.1.1 Epidemiologi
Enterobiasis tersebar luas di seluruh dunia terjadi pada semua golongan
sosial ekonomi dan di beberapa wilayah tingkat infeksinya sangat tinggi.
Prevalensi infeksi cacing paling tinggi pada anak-anak usia sekolah, pada
kelompok tertentu bisa mencapai 50%. Kemudian diikuti anak prasekolah, dan
prevalensi infeksi rendah pada orang dewasa. Infeksi sering terjadi pada lebih dari
satu anggota keluarga.
1.1.2 Etiologi
Enterobiasis disebabkan oleh infeksi dari Enterobius vermicularis. Manusia
terinfeksi dengan menelan telur yang mengandung embrio, yang biasanya
terbawa pada kuku jari, pakaian, seprai dan debu rumah.
1.1.3 Morfologi
Telur E. vermicularis berbentuk asimetris, tidak berwarna, mempunyai
dinding yang tembus sinar dan salah satu sisinya datar. Di dalam telur terdapat
bentuk larvanya. Seekor cacing betina memproduksi telur sebanyak 11.000 butir
setiap harinya selama 2 sampai 3 minggu, sesudah itu cacing betina akan mati.
Gambar 1. Telur cacing E. vermicularis
Cacing dewasa E. vermicularis berukuran kecil, berwarna putih, yang
betina jauh lebih besar dari pada yang jantan. Ukuran cacing jantan adalah 2-5 7
mm, cacing jantan mempunyai sayap yang dan ekornya melingkar seperti tanda
tanya. Sedangkan ukuran cacing betina adalah 8-13 mm x 0,4 mm, cacing betina
mempunyai sayap, bulbus esofagus jelas sekali, ekornya panjang dan runcing.
Uterus cacing betina berbentuk gravid melebar dan penuh dengan telur.
Gambar 2. E. vermicularis jantan dewasa Gambar 3. E. vermicularis betina dewasa
1.1.4 Siklus hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif E. vermicularis dan
tidak diperlukan hospes perantara. Cacing dewasa betina mengandung banyak
telur pada malam hari dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke daerah
perianal dan perinium. Migrasi ini disebut nocturnal migration. Di daerah
perinium tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan cara kontraksi uterus,
kemudian telur melekat di daerah tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif
dalam waktu 6 jam.
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelan telur
matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal,
berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya
berlangsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali
pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan.1
8
Gambar 4. Siklus hidup Enterobius vermicularis.
1.1.5 Cara penularan penyakit
1. Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection) atau pada
orang lain sesudah memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya
alas tempat tidur atau pakaian dalam penderita.
2. Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang
infektif.
3. Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita
sendiri, oleh karena larva yang menetas di daerah perianal mengadakan
migrasi kembali ke usus penderita dan tumbuh menjadi cacing dewasa.
1.1.6 Patogenesis dan Manifestasi klinis
Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti.
Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum dan
vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina
sehingga menyebabkan pruritus lokal. Oleh karena cacing bermigrasi ke daerah
anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar
anus sehingga timbul luka garuk di sekitar daerah anus. Keadaan ini sering terjadi
pada malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah.11
9
Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian
proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan
gangguan di daerah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat
bersarang di vagina dan di tuba fallopii sehingga menyebabkan radang di saluran
telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan
apendisitis.1
1.1.7 Diagnosis
Infeksi cacing sering diduga pada anak yang meunjukkan rasa gatal di
sekitar anus pada waktu malam hari.
Diagnosis definitif ditegakkan dengan menemukan telur parasit atau
cacing. Identifikasi mikroskopis, telur dikumpulkan di daerah perianal adalah
metode pilihan untuk mendiagnosis enterobiasis. Hal ini harus dilakukan pada
pagi hari, sebelum buang air besar dan mandi, dengan menekan pita perekat
transparan (graham scotch method, cellulose-tape slide test) pada kulit perianal
dan kemudian memeriksa pita yang ditempatkan pada slide (object glass).
1.1.8 Pengobatan penderita
1. Mebendazol
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes
yang baik. Diberikan satu tablet 100 mg 2 kali sehari selama tiga hari, untuk
semua umur, atau 1 tablet 500 mg peroral satu kali pemberian.
2. Piperazine citrate
Obat ini bekerja dengan mengganggu permeabilitas membran sel
cacing terhadap ion-ion sehingga menyebabkan hiperpolarisasi yang disertai
paralisis. Dosis Piperazine pada anak adalah 75 mg/kgBB (maksimum 3,5
gram) satu kali sehari. Obat diberikan dua hari berturut-turut. Pada infeksi
berat, pemberian Piperazine dapat diulangi 1 minggu berikutnya.
3. Pirantel Pamoat
10
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kgBB efektif untuk menyembuhkan lebih
dari 90 % kasus. Efek samping obat ringan dan dapat diterima. Sediaan
Pirantel Pamoat adalah tablet 125 mg dan 250 mg. Selain itu juga terdapat
sediaan sirup 125 mg/ 5 ml atau 250 mg/ 5 ml. Pirantel Pamoat mempunyai
keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing tambang. Obat
ini bekerja dengan menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan
meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastik.
Selain itu, Pirantel menghambat enzim kolinesterase sehingga meningkatkan
kontraksi otot Ascaris.
4. Albendazole
Albendazole bekerja dengan cara menghambat polimerisasi mikrotubulus
dan memblok pengambilan glukosa oleh larva dan cacing dewasa sehingga
pembentukan ATP pada cacing menurun dan mati. Obat ini dapat dipakai
untuk usia > 2 tahun dengan dosis 400 mg peroral, diberikan satu kali
bersama makanan. Pada kasus ascariasis berat, Albendazole diberikan selama
2-3 hari dengan dosis 400 mg/hari.
1.1.9 Pencegahan
Secara umum, dilakukan penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang
baik dan tepat guna serta higien keluarga seperti :
Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan
dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan sabun.
Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-
tahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.
11
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah
sebagai berikut :
Mengadakan kemoterapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing misalnya memakai jamban/ WC.
Makan makanan yang dimasak saja.
Terhadap enterobiasis, harus diperhatikan itu kebersihan perorangan.
Perlu ditekankan pada anak-anak untuk memotong kuku, membersihkan
tangan sesudah buang air besar, dan membersihkan daerah perianal sebaik-
baiknya serta cuci tangan sebelum makan.
Di samping itu kebersihan makanan juga perlu diperhatikan.
Hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang terkontaminasi telur
cacing E. vermicularis. Tempat tidur dibersihkan karena mudah sekali
tercemar oleh telur cacing infektif. Diusahakan sinar matahari bisa langsung
masuk ke kamar tidur, sehingga dengan udara yang panas serta ventilasi yang
baik pertumbuhan telur akan terhambat karena telur rusak pada temperatur
lebih tingi dari 46oC dalam waktu enam jam. Karena infeksi Enterobius mudah
menular dan merupakan penyakit keluarga maka tidak hanya penderita saja
yang diobati tetapi juga seluruh anggota keluarganya secara bersama-sama.
1.1.10 Prognosis
Enterobiasis dapat sembuh sendiri (self limited). Bila tidak ada reinfeksi,
tanpa pengobatanpun infeksi dapat berakhir. Pengobatan secara periodik dapat
memberikan prognosa yang baik.
Hasil Pembelajaran:
Dapat mengetahui patofisiologi infeksi enterobius
Dapat mengenali dengan tepat gejala penyakit oksiuriasis
12
Dapat mengobati secara tepat penyakit oksiuriasis.
Referensi:
Cook, Gordon C; Zumla, Alimuddin I. (2009). Manson's tropical diseases (Twentysecond ed.). Saunders Elsevier. pp. 1515–1519.
"B80: Enterobiasis" . International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) 10th Revision. World Health Organization. 2007. Retrieved 2009-12-05.
Cook GC (September 1994). "Enterobius vermicularis infection". Gut 35 (9): 1159–62..
Garcia, Lynne Shore (2009). Practical guide to diagnostic parasitology. American Society for Microbiology. pp. 246–247.
CN, Burkhart CG (October 2005). "Assessment of frequency, transmission, and genitourinary complications of enterobiasis (pinworms)". International Journal of Dermatology 44 (10): 837–40.
Caldwell JP (February 1982). "Pinworms (Enterobius Vermicularis)". Canadian
Family Physician 28: 306–9
13