laporan kasus nydya dg dr. karmini repaired

32
LAPORAN KASUS GAWAT DARURAT PERSIAPAN OPERASI PADA KASUS CEDERA KEPALA RINGAN, TRAUMA TUMPUL THORAKS, FRAKTUR OS FEMUR DEXTRA 1/3 TENGAH GRADE I, FRAKTUR OS TIBIA-FIBULA DEXTRA 1/3 DISTAL GRADE II DENGAN GENERAL ANESTESIA - INTUBASI Disusun Oleh : Nydya Parahita 0910710011 Pembimbing : dr. Karmini Yupono, SpAn, KAP LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT dr. SAIFUL ANWAR

Upload: tri-wahyudi-iman-dantara

Post on 24-Jan-2016

227 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

keren banget, kedokteran banget ini, tolong download wkwkwanestesi, buat download gratisan

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

LAPORAN KASUS GAWAT DARURAT

PERSIAPAN OPERASI PADA KASUS CEDERA KEPALA RINGAN,

TRAUMA TUMPUL THORAKS, FRAKTUR OS FEMUR DEXTRA 1/3

TENGAH GRADE I, FRAKTUR OS TIBIA-FIBULA DEXTRA 1/3 DISTAL

GRADE II DENGAN GENERAL ANESTESIA - INTUBASI

Disusun Oleh :

Nydya Parahita

0910710011

Pembimbing :

dr. Karmini Yupono, SpAn, KAP

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT dr. SAIFUL ANWAR

MALANG

2014

LAPORAN KASUS

Page 2: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. W

Usia : 60 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Lawang

Berat Badan : 60 kg

Register : 1409xxx

Jenis Pembedahan : debridement

Rencana Anestesi : General Anesthesia - Intubasi

2. Persiapan Pre Operasi

2.1 Anamnesis (13 April 2014)

A : tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan, dan benda

M : tidak didapatkan riwayat pengobatan sebelumnya

P : riwayat HT (-), DM (-), asthma (-), pembedahan (-)

L : makan terakhir jam 16.00 tanggal 12 April 2014, minum terakhir

jam 03.30 tanggal 13 April 2014

E : pasien ditabrak mobil saat sedang mengumpulkan sampah

2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (13 Februari 2014)

B1 : paten, benda asing (-), suara tambahan (-), BM > 3 Jari, Mallampati I,

spontan 20 x/m, reguler simetris, rh (-), wh (-), suara vesikuler simetris, SaO2

98 % dgn NRBM 10 lpm, retraksi intercostal (-), jejas (+) di regio thoraks.

B2 : akral hangat, CRT < 2’’, nadi radialis reguler kuat angkat, 70x/m, TD

130/80, S1-2 tunggal, murmur (-), gallop (-).

B3 : sadar penuh, GCS 456, Pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+

B4 : BAK (+), urin warna kuning pekat (+), terpasang kateter urin, produksi

urin 75cc/jam.

B5 : flat, BU (+) normal, muscular defense (-), mual (-), muntah (-).

B6 : deformitas (-), nyeri (+) à open wound reg cruris dan femur D, jejas (+)

di regio frontalis.

2.3 Pemeriksaan Penunjang (13 April 2014)

2

Page 3: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Darah Lengkap

Hb : 12,70 gr/dL (N : 13,4-17,7)

Leukosit : 15130 /µL (N : 4300-10300)

Trombosit : 194000 /µL (N : 142.000-424.000)

PCV : 93,50 % (N : 40,0-47,0)

Faal Hemostasis

PPT : 10,3 detik (K : 11,5-11,8 detik)

APTT : 25,5 detik (K : 27,4-28,6 detik)

Kimia Darah

GDA : 121 mg/dL (N: <200)

Ur/Cr : 25,9/1,07 mg/dL (N: 16,6-48,5/<1,2)

SGOT : 23 U/L (N: 0-40)

SGPT : 17 U/L (N: 0-41)

Serum Elektrolit

Natrium : 137 m mol/l (N: 136-145)

Kalium : 3,62 m mol/l (N: 3,5-5,0)

Chlorida : 110 m mol/l (N: 98- 106)

Analisis Gas Darah

pH : 7,41 (N: 7,35-7,45)

pCO2 : 35,9 mmHg (N: 35-45)

pO2 : 230,0 mmHg (80-100)

HCO3- : 23,2 mmol/L (N: 21-28)

BE : -1,6 mmol/L (N: [-3]-[+3])

SaO2 : 99,2 % (N: >95)

P/F ratio = 230,0/0,61 = 377,05

EKG : sinus rhythm dengan HR 60 x/menit.

Foto Thorax AP : dalam batas normal.

Foto Cranium AP/Lateral : dalam batas normal.

Foto regio Femur AP : fraktur terbuka Os Femur dekstra 1/3 tengah.

Foto regio Cruris AP/Lateral : fraktur terbuka Os Tibia-Fibula dekstra 1/3

distal.

CT-scan kepala : fraktur segmental Os Frontalis sisi kanan, hematosinus

frontalis kanan dan ethmoidalis kanan-kiri, sinusitis maksillaris bilateral, tissue

swelling regio frontalis bilateral, senile brain atrophy.

3

Page 4: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

2.4 Assessment

ASA 3, geriatri

Diagnosa pra bedah: CKR 456 + Obs. Trauma Tumpul Thorax + OF femur D

1/3 tengah gr. I + OF Tibia Fibula D 1/3 Distal gr. II

2.5 Planning

Tanggal dilakukan anestesi : 13 April 2014

Jenis anestesi : GA-Intubasi

Jenis pembedahan : debridement

2.6 Persiapan Operasi

2.6.1 Di UGD

Surat ijin operasi + surat ijin tindakan anestesi

Puasa minimal 6 jam pre op

IVFD NS 2000 cc + maintenance

Premedikasi: ketorolac 30 mg, ranitidin 50 mg

2.6.2 Di Kamar Operasi

Scope à Stetoskop, Laringoskop

Tubes à ETT (cuffed) size 7,5

Airway à orotracheal airway

Tape à Plaster for fixation

Introducer à Untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan

Connector à penyambung antara pipa dan alat anestesi

Suction à memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction

Obat emergensi : SA, lidokain, adrenalin, efedrin

3. Laporan Anestesi Perioperative

Diagnose pra bedah : CKR 456 + Obs. Trauma Tumpul Thorax + OF femur D

1/3 tengah gr. I + OF Tibia Fibula D 1/3 Distal gr. II

Keadaan pra bedah :

TB 160 cm, BB 60 kg

TD 110/60 mmHg, Nadi 80x/menit, suhu 36,7 °C,

Hb 12,70 gr/dL

Terakhir makan dan minum > 6 jam lalu

4

Page 5: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Jenis pembedahan : debridement

PEMBAHASAN

1. Manajemen Pasien Trauma

5

Page 6: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Trauma adalah penyebab utama kematian di Amerika sampai usia 35

tahun. Sampai dengan sepertiga dari seluruh pasien yang masuk rumah sakit di

Amerika Serikat secara langsung berhubungan dengan trauma. Lima puluh

persen kematian trauma terjadi segera , dengan 30% terjadi dalam beberapa jam

setelah cedera ("golden hours"). Karena banyak korban trauma memerlukan

operasi segera, ahli anestesi dapat secara langsung menentukan kelangsungan

hidup pasien trauma. Bahkan, anestesi sering berperan pada resusitasi primer,

dengan pemberian anestesi sebagai peran sekunder. Penilaian awal pasien

trauma dapat dibagi menjadi survei primer, sekunder, dan tersier. Survei primer

selama 2-5 menit dan terdiri dari urutan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation,

Disability, dan Exposure. Jika fungsi salah satu dari tiga sistem pertama

terganggu, resusitasi harus dimulai segera. Pada pasien sakit kritis, resusitasi

dan penilaian dilanjutkan secara bersamaan oleh tim praktisi trauma.

Pemantauan dasar termasuk electrocardiograph (EKG), tekanan darah non-

invasif, dan pulse oximetry dapat dimulai di lapangan dan dilanjutkan selama

pengobatan. Survei sekunder dan tersier yang lebih komprehensif dari pasien

mengikuti survei primer (Morgan et. al., 2006).

Pada kasus ini, pasien datang setelah ditabrak mobil saat sedang

memunguti sampah. Pasien mengalami benturan di seluruh anggota badan dan

sempat mengalami kehilangan kesadaran, tanpa adanya mual dan muntah. Saat

datang ke IGD, pasien dalam keadaan sadar penuh (alert). Jalan nafas pasien

paten, tidak terdengar suara tambahan. Pasien bernafas spontan dengan laju

pernafasan 20 kali per menit, reguler dan pergrakan dada simetris. Ditemukan

jejas di dada yang menandakan adanya trauma tumpul pada dada. Akral pasien

teraba hangat dengan capillary refill time kurang dari 2 detik. Nadi radialis teraba

reguler dan kuat angkat dengan laju 80 kali per menit, tekanan darah pasien

110/70 mmHg. Selain itu, ditemukan luka terbuka di regio frontal, femur, dan

kruris dekstra.

Dari survei primer di atas, dapat kita ketahui bahwa pasien tidak dalam

kondisi kritis saat datang ke IGD, ditandai dengan tanda vital pasien yang masih

dalam batas normal. Terdapat gangguan pada kesadaran dengan adanya

riwayat pingsan. Meskipun tidak terdapat mual dan muntah, kecurigaan terhadap

adanya cedera otak belum dapat disingkirkan. Perlu dilakukan pemeriksaan CT-

scan dan foto polos kepala untuk memastikan hal tersebut. Pada regio frontal

didapatkan jejas sehingga menimbulkan kecurigaan adanya trauma yang dapat

6

Page 7: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

mengakibatkan fraktur pada tulang wajah (Os Frontalis) yang kemudian dapat

dipastikan dengan foto polos wajah.

Pada pasien juga ditemukan jejas di regio thoraks yang menimbulkan

kecurigaan akan adanya fraktur costae, tension pneumothorax, dan contusio

pulmonum. Selain itu, didapatkan luka terbuka pada regio femur dan kruris

dekstra yang mengarah pada adanya fraktur di daerah tersebut. Oleh karena itu,

pasien perlu dilakukan pemeriksaan radiologi lebih lanjut.

Lokasi perdarahan harus diidentifikasi dan dikendalikan dengan tekanan

langsung pada luka. Perdarahan dari ekstremitas mudah dikontrol dengan

penekanan menggunakan dressings dan packs; torniket dapat menyebabkan

cedera reperfusi. Perdarahan akibat trauma dada biasanya dari arteri interkostal

dan sering melambat atau berhenti ketika paru-paru dikembangkan

menggunakan drainase selang dada. Perdarahan karena cedera intraabdominal,

tergantung pada beratnya, memungkinkan periode resusitasi cairan dan darah

saat evaluasi bedah selesai. Istilah syok menunjukkan kegagalan sirkulasi yang

mengakibatkan perfusi tidak adekuat pada organ vital dan pada pengiriman

oksigen. Meskipun ada banyak penyebab syok, pada pasien trauma biasanya

akibat hipovolemia. Respon fisiologis perdarahan antara lain takikardia, perfusi

kapiler yang buruk, dan penurunan tekanan nadi sampai dengan hipotensi,

takipnea, dan delirium. Konsentrasi serum hematokrit dan hemoglobin bukan

indikator kuat untuk kehilangan darah akut. Stimulasi saraf somatik perifer dan

cedera jaringan besar akan memperburuk penurunan curah jantung dan stroke

volume yang tampak pada syok hipovolemik. Kondisi hemodinamik yang labil

pada pasien ini menuntut pemantauan tekanan darah arteri invasif. Pada

hipovolemia berat, bentuk gelombang nadi dapat hampir menghilang selama

fase inspirasi ventilasi mekanis. Derajat hipotensi pada awal kedatangan ke

ruang gawat darurat dan ruang operasi berkorelasi kuat dengan angka kematian

(Morgan et. al., 2006).

TABEL 1. Klasifikasi Syok Berdasarkan Mekanisme dan Penyebab Umum

(Morgan et. al., 2006)

Syok Hipovolemik 

Kehilangan darah (syok hemoragik)

7

Page 8: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

  Perdarahan eksternal

    Trauma

    Perdarahan Traktus Gastrointestinal

  Perdarahan Internal

    Hematoma

    Hemothorax atau hemoperitoneum

Kehilangan plasma

  Terbakar

  Dermatitis eksfoliatif

Kehilangan cairan dan elektrolit

  Eksternal

    Muntah

    Diare

    Berkeringat (berlebihan)

    Status hiperosmolar (diabetic ketoacidosis, hyperosmolar nonketotic coma)

  Internal ("third-spacing")

    Pankreatitis

    Ascites

    Obstruksi usus

Syok Kardiogenik 

Dysrhythmia

  Tachyarrhythmia

  Bradyarrhythmia

Kegagalan memompa (sekunder terhadap myocardial infarction atau

8

Page 9: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

cardiomyopathy lain)

Disfungsi valvular akut (khususnya lesi regurgitasi)

Ruptur septum ventrikel atau free ventricular wall

Syok Obstruktif 

Tension pneumothorax

Penyakit perikard (tamponade, constriction)

Penyakit vaskuler pulmonal (massive pulmonary emboli, pulmonary

hypertension)

Cardiac tumor (atrial myxoma)

Left atrial mural thrombus

Penyakit katup obstruktif (aortic or mitral stenosis)

Syok Distributif 

Syok septik

Syok Anafilaktik

Syok Neurogenik

Obat-obatan vasodilator

Acute adrenal insufficiency

TABEL 2. Klasifikasi Klinis Syok (Morgan et. al., 2006)

  Patofisiologi Manifestasi Klinis

Mild (<20%

EBV)

Penurunan hanya pada perfusi

perifer dari organ yang mampu

menahan iskemia berkepanjangan

(kulit, lemak, otot, dan tulang). pH

arteri normal.

Pasien merasa kedinginan.

Hipotensi postural dan

takikardia. Kulit lembab, pucat,

dan teraba dingin; vena leher

kolaps; urin pekat.

Moderate

(20–40%

Penurunan perfusi sentral pada

organ, dapat menoleransi iskemia

Kehausan. Hipotensi Supinasi

dan takikardia (bervariasi).

9

Page 10: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

  Patofisiologi Manifestasi Klinis

EBV) dalam waktu singkat (hepar, usus,

ginjal). Terdapat asidosis

metabolik.

Oliguria dan anuria. Oliguria

and anuria.

Severe (>

40% EBV)

Penurunan perfusi jantung dan

otak. Asidosis metabolik parah.

Bisa terdapat asidosis respiratorik.

Agitasi, kebingungan, tingkat

kesadaran berubah. Hipotensi

supinasi dan takikardia.

Pernapasan cepat dan dalam.

Pada kasus ini, pasien datang dengan tanda vital yang masih dalam

batas normal dan tidak ditemukan maifestasi klinis dari syok. Namun, bahaya

syok masih perlu diwaspadai mengingat adanya perdarahan pada luka terbuka di

regio femur dan kruris dekstra, ditambah dengan jejas pada regio frontal dan

thoraks. Menurut Morgan et. al. (2013), pasien ini mengalami hipovolemia

dengan persentase kehilangan cairan sebanyak 5% dari berat badan (dalam

Liter).

TABEL 3. Tanda Kehilangan Cairan atau Hipovolemia (Morgan et. al., 2013)

Kehilangan Cairan (Persentase dari Berat Badan)

Tanda 5%  10%  15% 

Membran

mukosa

Kering Sangat kering Parched

Sensorium Normal Lethargik Kebas

Perubahan

orthostatik

Tidak ada Ada Ditemukan

  heart rate     Peningkatan > 15 kali

per menit

 

  Tekanan

darah

    Penurunan > 10 mm

Hg

10

Page 11: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Kehilangan Cairan (Persentase dari Berat Badan)

Tanda 5%  10%  15% 

Laju aliran

urinasi

Sedikit

menurun

Menurun Sangat menurun

Nadi Normal atau

meningkat

Meningkat > 100 kali

per menit

Ditandai meningkat >

120 kali per menit

Tekanan darah Normal Sedikit menurun

dengan variasi

respirasi

Menurun

2. Penilaian Preoperatif

Landasan dari evaluasi properatif yang efektif adalah anamnesis dan

pemeriksaan fisik, yang seharusnya mendaftar semua pengobatan yang

dikonsumsi oleh pasien di masa lalu, riwayat alergi dan obat yang

menyebabkannya, serta reaksi dan respon pasien terhadap anestesia yang

sebelumnya pernah diberikan. Selain itu, evaluasi ini perlu memasukkan

prosedur diagnostik sesuai indikasi, prosedur radiologi, atau hasil konsultasi dari

dokter di bidang lainnya. Evaluasi preoperatif merupakan panduan untuk

perencanaan anestesi: perencanaan preoperatif yang inadekuat dan persiapan

pasien yang tidak lengkap terkait dengan komplikasi anestetik (Morgan et. al.,

2013).

Evaluasi preoperatif memiliki banyak tujuan, salah satunya adalah untuk

mengidentifikasi pasien yang hasil tatalaksananya akan semakin baik dengan

prosedur medikasi tertentu (yang pada situasi tertentu menjadikan rencana

pembedahan dijadwal-ulang). Sebagai contoh, seorang pasien berumur 60 tahun

dijadwalkan akan dilakukan arthroplasty pinggul total secara elektif, juga memiliki

angina tak stabil pada arteri koronaria kiri, diprediksi kemungkinan hidup paska

operasinya meningkat jika dilakukan coronary artery bypass graft sebelum

prosedur elektif tadi. Tujuan evaluasi preoperatif lainnya adalah untuk

mengidentifikasi pasien yang kondisinya sangat buruk sehingga pembedahan

yang akan dilakukan justru mempercept kematian tanpa meningkatkan kualitas

hidupnya. Contohnya, seorang pasien dengan penyakit paru-paru kronis yang

parah, gagal ginjal stadium akhir, gagal hati, dan gagal jantung diprediksi tidak

11

Page 12: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

dapat bertahan terhadap instrumentasi fusi spinal berbagai level yang kompleks

selama 8 jam (Morgan et. al., 2013).

2.1 Anamnesis

Anamnesis preoperatif dapat menentukan permasalahan pada pasien

yang mungkin mempengaruhi pembedahan, terapi, dan prosedur diagnostik.

Ditemukannya penyakit dasar yang parah harus diketahui sebelum dilakukan

terapi apa pun. Oleh karena terdapat potensi dari interaksi obat dengan

anestesia, riwayat pengobatan yang lengkap termasuk penggunaan terapi herbal

harus ditanyakan. Hal ini termasuk juga konsumsi tembakau dan alkohol, serta

obat-obatan terlarang seperti marijuana, kokain, dan heroin. Selain itu, dokter

harus dapat membedakan antara alergi obat (ditandai dengan sesak nafas atau

rash) dan intoleransi obat (ditandai gelaja gastrointestinal). Pertanyaan detil

tentang pembedahan dan anestesi sebelumnya dapat mengungkapkan adanya

komplikasi anestesi. Riwayat masalah anestesi pada keluarga merupakan salah

satu tanda dicurigai adanya masalah anestesi keluarga seperti malignant

hyperthermia. Ulasan secara general pada sistem organ sangat penting untuk

menentukan adanya masalah medis yang belum terdiagnosis. Pertanyaan yang

ditanyakan harus mencakup fungsi kardiovaskular, pulmonal, endokrin, hepar,

renal, dan neurologis. Respon positif terhadap adanya keluhan pada fungsi-

fungsi tesebut harus digali secara detil untuk menentukan adanya gangguan

pada organ yang bersangkutan (Morgan et. al., 2006).

Pada pasien ini tidak ditemukan riwayat alergi, pengobatan, dan

pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya. Pasien datang ke IGD karena

tertabrak mobil saat sedang memunguti sampah. Pasien sempat tidak sadar,

tetapi tidak mual ataupun muntah. Pasien mengeluhkan kepalanya terasa berat

dan pusing. Pasien terakhir makan 12 jam sebelum masuk IGD. Pasien

menyangkal riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan asthma.

2.2 Pemeriksaan Fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisik berperan saling melengkapi:

pemeriksaan fisik mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada anamnesis

dan anamnesis membantu pemeriksaan fisik agar fokus pada sistem organ yang

harus diperiksa lebih teliti. Pemeriksaan fisik pada pasien sehat dan tanpa

12

Page 13: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

keluhan harus minimum mencakup pengukuran tanda-tanda vital (tekanan darah,

denyut jantung, laju pernapasan, dan temperatur) dan pemeriksaan jalan nafas,

jantung, paru-paru, dan sistem muskuloskeletal dengan menggunakan teknik

standar yaitu inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi. Pemeriksaan neurologis

singkat juga penting ketika anestesia regional akan diberikan dan dapat

digunakan untuk mendeteksi adanya defisit neurologis sebelum anestesi.

Anatomi pasien juga perlu dievaluasi secara spesifik ketika direncanakan

prosedur seperti blok saraf, anestesia regional, atau monitoring secara invasif;

terjadinya infeksi di atau dekat lokasi anestesi atau abnormalitas anatomis yang

signifikan dapat menjadi kontraindikasi dari prosedur-prosedur tersebut (Morgan

et. al., 2006).

Pentingnya pemeriksaan jalan napas harus ditekankan. Pertumbuhan gigi

pasien sebaiknya diinspeksi untuk memeriksa adanya gigi yang tanggal atau

longgar dan adanya caps, bridges, atau gigi palsu. Kondisi gigi yang ompong

(tidak bergigi) dan abnormalitas wajah dapat mengganggu pemasangan masker

saat prosedur anestesi. Micrognathia (jarak pendek antara dagu dan tulang

hyoid), gigi seri atas yang prominen, lidah besar, keterbatasan gerak sendi

temporomandibula atau cervical spine, atau leher pendek dapat merupakan

penyulit intubasi trakea. Mallampati menemukan suatu aturan yang menyatakan

adanya hubungan antara yang terlihat pada inspeksi laring langsung per oral dan

yang melalui laringoskopi. Untuk melakukan evaluasi Mallampati, pasien

didudukkan, lalu pasien diminta mengekstensikan leher dan membuka mulut

lebar-lebar, menjulurkan lidah, dan menyuarakan "aah". Dokter kemudian

menginspeksi nafas pasien, lidah, palatum durum dan mole, dan tonsil

(Birnbaumer et. al., 2002).

Skoring Mallampati (Nuckton et. al., 2006):

I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

IV. Hanya terlihat palatum durum

13

Page 14: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Gambar 1. Pemeriksaan Mallampati (Nuckton et. al., 2006)

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan fisik dengan mencakup 6B:

breath, blood, brain, bladder, bowel, dan bone. Dari pemeriksaan B1 (breath),

abnormalitas yang ditemukan berupa jejas melintang +10cm setinggi ICS II di

regio thoraks. Pada pemeriksaan B2 (blood), semua masih dalam batas normal.

Namun, pasien mengalami perdarahan pada luka terbuka di kaki kanannya

sehingga dilakukan resusitasi cairan dengan 2000cc normal saline. Pada

pemeriksaan B3 (brain), B4 (bladder), dan B5 (bowel) tidak ditemukan

abnormalitas. Sedangkan pada B6 (bone) didapatkan nyeri pada kaki kanan

pasien dan luka terbuka pada regio femur dan kruris dekstra, serta jejas pada

regio frontalis. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan anamnesis, dapat disimpulkan

diagnosis pra-bedah pada pasien ini adalah cedera kepala ringan dengan GCS

456, trauma tumpul thoraks, vulnus appertum regio femur dan kruris dekstra

dengan dugaan fraktur.

2.3 Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Lainnya

Pemeriksaan laboratorium rutin bagi pasien sehat tanpa keluhan

direkomendasikan jika pemeriksaan gagal mendeteksi adanya abnormalitas.

Pemeriksaan rutin tersebut biasanya mahal dan jarang mengganggu manajemen

perioperatif; bahkan, abnormalitas yang ditemukan sering tidak dihiraukan--atau

mengakibatkan penundaan yang tidak perlu. Dilakukannya pemeriksaan

laboratorium preoperatif menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko perioperatif

ketika ditemukan adanya abnormalitas dan terdapat penurunan risiko ketika

abnormalitas tersebut dikoreksi. Kegunaan pemeriksaan awal suatu penyakit

bergantung pada sensitivitas dan spesifisitas tes tersebut, serta prevalensi dari

14

Page 15: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

penyakit yang bersangkutan. Pemeriksaan laboratorium yang sensitif memiliki

lebih sedikit kemungkinan hasil negatif palsu, sementara pemeriksaan yang

spesifik memiliki lebih sedikit hasil positif palsu. Prevalensi penyakit bervariasi

sesuai populasi yang diperiksa dan seringkali tergantung pada jenis kelamin,

usia, latar belakang genetik, dan gaya hidup yang dipraktikkan. Oleh karena itu,

pemeriksaan akan paling efektif ketika prosedur yang digunakan spesifik dan

sensitif dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki abnormalitas yang

bersangkutan. Pemeriksaan laboratorium seharusnya berdasarkan ada atau

tidaknya dugaan suatu penyakit yang disimpulkan dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik (Morgan et. al., 2006).

Pemeriksaan kehamilan pada pasien wanita usia subur meski

sebelumnya tidak terdiagnosis hamil dapat mencegah potensi efek teratogenik

dari obat-obatan anestesia pada fetus; pemeriksaan tersebut melingkupi deteksi

choriconic gonadotropin (hCG) pada urin atau serum. Pemeriksaan rutin deteksi

AIDS (antibodi HIV) masih dalam perdebatan. Pemeriksaan rutin koagulasi dan

urinalisis tidak efektif dan menghabiskan biaya pada pasien yang sehat dan

tanpa gejala (Morgan et. al., 2006).

Pemeriksaan laboratorium pada pasien terdiri atas pemeriksaan darah

lengkap, faal hemostasis, fungsi hepar, fungsi ginjal, gula darah sewaktu, dan

analisa gas darah. Dari semua pemeriksaan, ditemukan abnormalitas pada kadar

hemoglobin, leukosit, dan packed cell volume (PCV). Terdapat penurunan sedikit

pada hemoglobin (12,70 gr/dL) dari batas normal (13,40-17,70 gr/dL) tetapi hal

ini tidak signifikan. Terdapat peningkatan kadar leukosit (15130 /µL)sebanyak

5170 /µL dari batas normal (4300-10300 /µL). Hitung leukosit yang meningkat

dapat merupakan respon dari suatu infeksi, stres, inflamasi (reaktif), atau

produksi sel leukosit yang abnormal (pada leukemia) (Naushad et. al., 2012).

Selain itu, juga terdapat peningkatan signifikan pada PCV (93,50%) sebanyak

46,50% dari persentase normalnya (40,0-47,0%). Menurut dr. Shirish Kumar

(2006), hal ini bisa disebabkan rendahnya tekanan oksigen (hipoksia), dehidrasi,

peningkatan produksi eritrosit dengan penyebab apa pun, dan proliferasi

malignan dari sel darah merah (polycythemia vera). Pada pasien ini

kemungkinan besar disebabkan adanya hipoksia dan dehidrasi akibat

perdarahan.

Pemeriksaan penunjang lainnya pada pasien adalah EKG, foto polos

regio cranium AP/Lateral, regio thoraks AP, regio femur dekstra AP, dan regio

15

Page 16: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

cruris dekstra AP/Lateral, serta CT scan kepala. Tidak ditemukan abnormalitas

pada pemeriksaan EKG, foto polos regio cranium, dan regio thoraks. Pada foto

polos regio femur didapatkan fraktur terbuka Os Femur dekstra di 1/3 tengah.

Selain itu, pada foto polos regio cruris dekstra AP/Lateral ditemukan adanya

fraktur terbuka Os Tibia-Fibula dekstra di 1/3 distal. Pada CT-scan kepala,

terdapat fraktur segmental Os Frontalis bagian kanan, hematosinus frontalis

kanan dan ethmoidalis kanan-kiri, sinusitis maksillaris bilateral, tissue swelling

regio frontalis bilateral, senile brain atrophy.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang;

pasien didiagnosis pra-bedah dengan:

cedera kepala ringan dengan GCS 456,

trauma tumpul thoraks,

fraktur terbuka Os Femur dextra 1/3 tengah grade I,

fraktur terbuka Os Tibia-Fibula dextra 1/3 distal grade II

2.4 Klasifikasi Status Fisik Pasien

Secara konvensional, dokter-dokter di banyak negara menggunakan

klasifikasi American Society Of Anesthesiologists (ASA) untuk menentukan risiko

sebelum sedasi dan anestesi pada pembedahan. Klasifikasi status fisik ASA

memiliki banyak manfaat dibandingkan dengan instrumen klasifikasi risiko

lainnya (Morgan et. al., 2013).

TABEL 4. Klasifikasi Status Fisik Pasien berdasarkan ASA (Morgan et. al., 2013)

Kelas Definisi

1 Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri

2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi

aktivitas sehari-hari

3 Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas sehari-

hari

4 Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun

tanpa operasi

5 Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tetapi tetap dilakukan

operasi sebagai upaya resusitasi

6 Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil

16

Page 17: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

untuk tujuan donor

E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas 1-6 di atas

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dalam kasus ini

dimasukkan ke dalam ASA kelas 3.

3. Anestesi pada Pasien Geriatri

Pasien geriatri mengalami penurunan berbagai fungsi organ yang juga

akan mempengaruhi prosedur dan jenis obat anestesia yang dipilih. Berikut hal-

hal yang perlu diperhatikan pada pasien geriatri berdasarkan Morgan and

Mikhail's Clinical Anesthesiology 5th Edition (2013).

Tanpa penyakit penyerta, fungsi sistolik jantung pada kondisi istirahat masih

dalam kondisi baik, bahkan pada orang berusia 80 tahunan. Peningkatan

tonus vagal dan penurunan sensitivitas reseptor adrenergik menyebabkan

penurunan laju denyut jantung.

Pasien geriatri yang menjalani evaluasi echocardiography sebelum

pembedahan memiliki insiden disfungsi diastolik dibandingkan dengan pasien

yang berusia muda.

Berkurangnya cadangan jantung pada banyak pasien geriatri diduga

merupakan manifestasi dari penurunan tekanan darah yang besar selama

induksi prosedur anestesi general. Waktu sirkulasi yang memanjang

memperlambat onset dari obat intravena, tetapi mempercepat induksi dengan

anestesia inhalasi.

Penuaan menurunkan elastisitas jaringan paru, menjadikan alveoli over-

distensi dan kolaps pada jalan nafas kecil. Volume residual dan kapasitas

residual fungsional meningkat seiring penuaan. Jalan nafas yang kolaps

meningkatkan volume residual dan kapasitan penutupan. Bahkan pada orang

normal, kapasitas penutupan melebihi kapasitas residual fungsional pada

usia 45 tahun dengan posisi supinasi dan usia 65 tahun dengan posisi duduk.

Respon neuroendokrin terhadap stres masih dalam kondisi baik, atau

mungkin dapat sedikit menurun pada pasien geriatri yang sehat. Penuaan

dikaitkan dengan penurunan respon terhadap obat-obatan adrenergik β.

Kelemahan dalam pengaturan, kemampuan konsentrasi, dan kapasitas dilusi

ion natrium merupakan predisposisi pasien geriatri pada kerentanan terhadap

dehidrasi dan overload cairan.

17

Page 18: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Massa dan aliran darah hepatik menurun seiring menuanya usia. Fungsi

hepar menurun bersama dengan menurunnya massa hepar.

Kebutuhan dosis untuk anestesia lokal dan general (konsentrasi alveolar

minimum) berkurang. Pemberian volume anestesia epidural lokal tertentu

cenderung menghasilkan penyebaran yang lebih ekstensif pada pasien

geriatri. Durasi kerja obat anestesia spinal akan menjadi lebih lama.

Penuaan menghasilkan perubahan baik pada farmakokinetik maupun

farmakodinamik. Perubahan lain terkait suatu penyakit dan variasi yang luas

antar-individu di populasi yang sama menjadikan tidak adanya generalisasi

yang mudah dipahami.

Pasien geriatri membutuhkan dosis propofol, etomidate, barbiturat, opioid,

dan benzodiazepin yang lebih rendah.

5. Masukan Oral Pasien Preoperatif

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama

pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,

semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus

dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum

induksi anestesi (Latief et. al., 2010).

Tabel 5. Masukan Oral Pasien Preoperatif (Latief et. al., 2010)

Usia pasien Intake oral Lama puasa (jam) ∑ puasa yg

diberikan

< 6 bln Clear fluid

Breast milk

Formula milk

2

3

4

20 cc/kg

6 bln – 5 thn Clear fluid

Formula milk

Solid

2

4

6

10 cc/kg

>5 thn Clear fluid

Solid

2

6

10 cc/kg

18

Page 19: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Adult,

op. pagi

Clear fuid

Solid

2

Puasa mulai jam 12 mlm

Adult,

op.

siang

Clear fluid

Solid

2

Puasa mulai jam 8 pagi

Pasien merupakan pasien dewasa yang datang ke IGD pada pagi hari,

sehingga direncanakan pembedahan siang atau sore hari. Maka seharusnya

pasien puasa minimum 6 jam sebelum pembedahan. Dari anamnesis didapatkan

bahwa pasien makan terakhir 12 jam sebelum datang ke IGD sehingga pasien

telah puasa > 12 jam sebelum pembedahan.

6. Terapi Cairan Preoperatif

Dengan hilangnya masukan oral, defisit cairan dan elektrolit dapat

berkembang dengan cepat sebagai akibat dari produksi urin yang berkelanjutan,

sekresi gastrointestinal, berkeringat, dan kehilangan cairan yang tidak disadari

pada kulit dan paru-paru (Morgan et. al., 2013).

Tabel 6. Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan (Morgan et. al., 2013)

Berat Badan Laju

10 kg pertama 4 mL/kg/jam

10 kg kedua Tambahkan 2 mL/kg/jam

Setiap kg di atas 20 kg Tambahkan 1 mL/kg/jam

Pada pasien ini, dengan berat badan 60 kg dan usia 60 tahun, maka

estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan selama puasa adalah sebagai berikut.

Estimasi = (10kg x 4mL) + (10kg x 2mL) + (40kg x 1mL)

= 40 + 20 + 40

= 100 mL/jam

7. Resusitasi Cairan pada Perdarahan Preoperatif

Terjadinya syok pada pasien trauma hampir selalu terkait dengan

kehilangan darah atau perdarahan, baik internal maupun eksternal. Terapi pada

syok yang disebabkan perdarahan adalah dengan menghentikan perdarahan

dan memberi cairan resusitasi (RL atau NS) dan/atau produk darah (transfusi).

19

Page 20: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Pada panduan Advanced Trauma Life Support (ATLS) prosedur yang dianjurkan

adalah sebagai berikut.

Pertama, hitung estimasi volume darah pasien sebelum perdarahan.

Pada orang dewasa, sekitar 7% (dalam Liter) dari berat badan (dalam

kilogram).

Tentukan kelas perdarahan sesuai tabel berikut.

Tabel 7. Kelas Perdarahan berdasarkan ATLS (Advanced Trauma Life

Support Student Course Manual, 9th ed, 2013, American College of

Surgeons, pp. 68-70).

Kelas Kehilangan

Darah

Tanda

I 15% EBV

(s/d 750mL)

Nadi < 100x/menit, SBP normal, tekanan

nadi normal, RR 14-20x/menit, urine

output > 30 mL/jam, status mental agak

cemas, dan cairan pengganti awal adalah

kristaloid (Ringer’s Lactate atau Normal

Saline).

II 15-30%

(750-1500mL)

Nadi 100-120x/menit, SBP normal,

tekanan nadi turun, RR 20-30x/menit,

urine output 20-30mL/jam, status mental

agak cemas, dan cairan pengganti awal

adalah kristaloid (Ringer’s Lactate atau

Normal Saline).

III 30-40%

(1500-2000mL)

Nadi 120-140x/menit, SBP turun, tekanan

nadi turun, RR 30-40x/menit, urine output

5-15mL/jam, status mental cemas dan

bingung, dan cairan pengganti awal

adalah kristaloid (Ringer’s Lactate atau

Normal Saline) dan/atau darah

(tergantung respon pemberian 1L

kristaloid).

IV > 40%

(> 2000mL)

Nadi > 140x/menit, SBP turun, tekanan

nadi turun, RR > 35x/menit, urine output

sangat sedikit, status mental bingung dan

letargik, dan cairan pengganti awal adalah

20

Page 21: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

kristaloid (Ringer’s Lactate atau Normal

Saline) dan darah.

Pasang 2 jalur intravena dengan jarum besar (ukuran minimum 16G)

pada vena antecubiti dan ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah

lengkap, serum elektrolit, BUN, kreatinin, faal hemostasis, dan

crossmatching; juga tes kehamilan bagi pasien wanita usia subur.

Masukkan cairan resusitasi hangat secara intravena 1-2L untuk dewasa,

secepatnya. Pada anak, diberikan 20mg/kgBB.

Respon pasien menentukan tindakan selanjutnya.

Respon Keterangan

Cepat Terdapat normalisasi hemodinamik, dan terus stabil

meskipun cairan intravena dikurangi menjadi dosis

maintenance. Biasanya pada pasien dengan kehilangan

darah < 20% EBV, dan tidak memerlukan tambahan cairan

resusitasi atau pun transfusi darah. Meski demikian, pasien

ini tetap diambil sampel darah untuk crossmatching sebagai

persiapan.

Transien Pasien merespon dengan peningkatan tanda vital dan

perbaikan perfusi. Namun, ketika cairan intravena

diperlambat sampai dosis maintenance, tanda vital dan

perfusinya memburuk lagi. Pasien-pasien ini mungkin

mengalami perdarahan berkelanjutan atau membutuhkan

lebih banyak cairan/darah. Biasanya pada pasien yang

kehilangan darah 20-40% EBV. Pasien ini memerlukan

darah dan produk darah lainnya, serta memerlukan

pembedahan segera atau pengendalian perdarahan

internal dengan angiografi.

Minimal/

tidak

merespon

Pasien memberikan respon minimum atau tidak berespon

terhadap pemberian cairan intravena awal. Pasien-pasien

ini membutuhkan pembedahan atau angiografi

pengendalian perdarahan internal sesegera mungkin. Jika

tidak segera, maka pasien ini kemungkinan besar akan

meninggal dunia.

21

Page 22: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Jangan lupa memasang kateter urin untuk memantau pengeluaran urin

sebagai salah satu indikator respon adekuat pada resusitasi cairan dan

perbaikan perfusi organ.

Pasien trauma seringkali mengalami dilatasi gaster yang dapat

menyebabkan hipotensi yang tidak dapat dijelaskan, kopromais respirasi,

dan aritmia jantung. Pasangkan selang orogastrik atau nasogastrik dan

hubungkan dengan suction untuk dekompresi lambung (Advanced

Trauma Life Support Student Course Manual, 9th ed, 2013, American

College of Surgeons, pp. 72-74).

Pasien pada kasus ini memiliki berat badan 60 kg, maka estimasi volume

darahnya (7% dari berat badan) adalah 4200 mL. Berdasarkan pemeriksaan

fisik, pasien ini dimasukkan dalam kelas I perdarahan mengingat tanda vitalnya

masih dalam batas normal dengan urine output 75 mL/jam (>30 mL/jam). Status

mental pasien masih baik dengan GCS 456, tidak gelisah atau pun cemas. Maka

diperkirakan pasien kehilangan darah sekitar 15% dari EBV, yaitu 630 mL.

Berdasarkan anjuran pada ATLS, cairan pengganti awal berupa cairan kristaloid.

Pada pasien ini kemudian diberikan Normal Saline 0,9% sebanyak 2000 mL (3 x

630 = 1890 mL) secepat mungkin (habis dalam 2 jam). Selanjutnya, pasien

diberikan cairan rumatan dengan laju 100 mL/jam seperti yang sudah dijelaskan

di atas. Pasien terus stabil dengan kondisi baik yang menandakan respon cepat.

Oleh karena itu, tidak diindikasikan transfusi pada pasien ini. Pada pasien tidak

dipasang OGT atau pun NGT.

8. Premedikasi

Premedikasi merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari

anestesia di antaranya sebagai berikut (Latief et. al., 2010).

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

22

Page 23: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Mengurangi reflek yang membahayakan

Pasien diberikan premedikasi di IGD berupa ketorolac 30 mg dan ranitidin

50 mg secara intravena. Ketorolac merupakan obat NSAIDs (Nonsteroidal Anti-

Inflammatory Drugs) yang bekerja dengan menghambat COX-1 dan COX-2

sehingga dapat menurunkan sintesis prostaglandin sebagai salah satu mediator

inflamasi yang menimbulkan nyeri. Sedangkan ranitidin adalah obat golongan

inhibitor kompetitif reseptor H2-blockers yang dapat menurunkan resiko

perioperatif berupa aspirasi pneumonia dengan menurunkan volume sekresi

gaster serta meningkatkan pH cairan gaster.

DAFTAR PUSTAKA

Advanced Trauma Life Support Student Course Manual, 9th ed, 2013, American College of Surgeons, pp. 68-74.

Birnbaumer Dianne M., Charles V. Pollack Jr. 2002. Troubleshooting and Managing The Difficult Airway, Semin Respir Crit Care Med. 2002;23(1)

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th

Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2013. Clinical Anesthesiology. 5th

Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

23

Page 24: Laporan Kasus Nydya Dg Dr. Karmini Repaired

Schreiber, M. S. 2011. The Use of Normal Saline for Resuscitation in Trauma. The Journal of Trauma Vol 70 Number 5. Lippincott Williams & Wilkins.

24