laporan kasus malunion left supracondylar humerus
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS
Oleh:
dr. Mira Dewi Prawira
Pembimbing :
dr. Kadek Ayu Candra Dewi, Sp.OT
Program Pendidikan Dokter Spesialis - I
Program Studi Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran – Universitas Udayana
Denpasar 2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat-
Nya-lah laporan kasus dengan judul “Malunion Left Supracondylar Humerus” dapat
terselesaikan dengan baik.
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memperdalam pengetahuan
mengenai fraktur supracondylar serta untuk memenuhi syarat mengikuti Pendidikan
Program Studi Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Tidak lupa penulis ingin memngucapkan terima kasih kepada Dr. dr. I Nyoman
Semadi, Sp.B, Sp.BTKV selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, serta kepada dr. Kadek Ayu Candra Dewi,
Sp.OT, selaku pembimbing penulisan laporan kasus ini, atas bimbingan dan kesediaannya
meluangkan waktu untuk memberi petunjuk demi penulisan laporan kasus ini.
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mohon saran dan kritik demi perbaikan sari pustaka ini untuk kedepannya.
Akhir kata, semoga sari pustaka ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang tertarik
di bidan Ilmu Bedah dan bidang Bedah Orthopaedi pada khususnya.
Juni 2019
Penulis.
ii
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………....……………………………………… i
DAFTAR ISI………………..……….…………………………..……….………… ii
BAB 1. PENDAHULUAN ……….………………………………………………... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………….……………………………....………...2
BAB 3. PENYAJIAN KASUS ………..…….…………………………….………..21
BAB 4. PENUTUP………………………………………………………………….27
DAFTAR PUSTAKA .………………………………………………..……..…….. 28
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tatalaksana fraktur humerus distal masih menjadi tantangan hingga saat
ini terutama dalam kelompok umur tertentu. Beberapa variabel yang penting
sebagai penentu keberhasilan penatalaksanaan fraktur humerus distal meliputi
artikulasi yang baik, fiksasi tulang yang kokoh, penyembuhan tulang, gerakan
fungsional yang normal, dan menghindari terjadinya komplikasi. Pengertian yang
baik sangat diperlukan, mengenai anatomi, morfologi fraktur, pendekatan
operatif, hingga implan yang akan digunakan, sebagai dasar untuk mengobati
fraktur jenis ini sehingga akurasi penatalaksanaan menjadi lebih baik.
Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus,
tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini paling sering terjadi pada
anak-anak, terutama pada kelompok umur 5-7 tahun. Prevalensi sekitar 55% -
75% dari semua fraktur siku pada anak- anak. Fraktur lebih sering terjadi pada
tangan kiri atau tangan yang non dominan. Beberapa penelitian terakhir
menunjukkan bahwa angka insiden kejadian fraktur suprakondiler humerus adalah
sama antara pria dan wanita. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera,
yakni fraktur jenis ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering
terjadi (98%).
Penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus fraktur pada anak-anak
secara umum dapat dibagi menjadi 2, non operatif dan operatif. Penanganan
non operatif pada anak-anak merupakan pilihan yang utama, karena masih
memiliki periostemum yang lebih aktif dan kemampuan remodeling yang baik.
Beberapa jenis deformitas yang terjadi pada nak-anak juga masih memungkinkan
terjadinya koreksi yang spontan, seperti yang disebutkan oleh Blount’s Law.
Namun tidak semua fraktur pada anak dapat ditangani secara non operatif.
Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa fraktur suprakondiler humerus pada
anak-anak memiliki hasil yang lebih baik bila ditangani secara operatif.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur Suprakondiler Humerus
2.1.1 Definisi
Fraktur Suprakondiler Humerus adalah fraktur yang terjadi di siku, di
bagian distal humerus, tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini
dihubungkan dengan terjadinya beberapa komplikasi yaitu Volksmann iskemia,
malunion, atau gangguan neurovaskuler.1
2.1.2 Epidemiologi
Fraktur suprakondiler humerus adalah fraktur yang sering ditemukan pada
siku, sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku. Fraktur suprakondiler
humerus lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa. Tingkat
rata-rata pertahun penderita fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak
diperkirakan 177,3 / 100.000. Rentang usia puncak terjadinya fraktur
suprakondiler humerus yaitu diantara usia 5– 8 tahun, dengan perbandingan pria
dan wanita adalah 3 : 2, yang mana paling sering ditemukan pada siku kiri
atau sisi yang tidak dominan.2,3
2.1.3 Anatomi
Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior
atau posterior (gambar 2.1) Diafisis humerus terbagi menjadi dua yakni medial
dan lateral. Troklea terbungkus oleh tulang rawan artikuler di bagian anterior,
posterior dan inferior yang kemudian membentuk lengkungan kira-kira sebesar
270.4
3
Gambar 2.1. A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang Humerus
Distal
Gambar 2.2 A dan B. Aliran darah intraoseus bagian dorsal dari tulang humerus
distal kiri.
Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo
distal dari medial head otot triceps dan bagian distal oleh origo anconeus.
Brachioradialis dan Ekstensor Carpi Radialis Longus berasal dari ridge
suprakondiler lateral.Common Extensor mass terdiri dari Extensor Carpi
Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan Extensor Carpi Ulnaris,
dan bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral epikondilus lateralis,
posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.4
Pendekatan posterior paling banyak dilakukan dalam pembedahan
distal humerus, karena aman untuk saraf radialis dan ulnaris (Gambar 2.3). Pada
bagian lateral dari tulang humerus, saraf radialis bercabang menjadi tiga,
yaitu medial head triceps,lower lateral brachial cutaneous nerve,
dansambungan saraf radialis di lengan bawah (posterior interosseous
4
nervedansuperficial cutaneous nerve). Setelah bercabang,posterior interosseous
nerve menembus septum intermuskularis lateralis (Gambar 2.4) 4
Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrachialis terhadap
humerus, saraf ulnaris berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen
posterior dari lengan atas dengan menembus septa intermuskularis medial. Saraf
berjalan sepanjang batas anteromedial dari medial head of triceps sepanjang
septa intermuskular medialis.
Gambar 2.3 Hubungan Struktur Anatomis Pada Ekstremitas Atas
5
Gambar 2.4 Tampak Posterior Fokus Pada Humerus Terhadap Sendi Siku
2.1.4 Mekanisme Cidera
Kemampuan hiperekstensi sendi siku umum terjadi pada masa kanak-
kanak, hal ini dikarenakan kelemahan ligamen yang bersifat fisiologis.
Kemudian, kolum bagian medial dan lateral dari humerus distal dihubungkan
oleh segmen tipis dari tulang antara olecranon pada bagian posterior dan
coronoid pada fosa anterior, yang menyebabkan tingginya resiko terjadinya
fraktur pada daerah tersebut.5
Fraktur suprakondiler humerus sering terjadi akibat hiperekstensi siku
(95%). Jatuh dalam keadaan tangan terentang membentuk hiperekstensi dari siku,
dengan olecranon bertindak sebagai fulcrum pada fossa.5
Bagian anterior
dari kapsul secara simultan memberikan gaya regang pada humerus bagian
distal terhadap insersinya. Tekanan ekstensi yang kontinyu akan
mengakibatkan segmen posterior humerus terdesak ke distal dan terpluntir
ke anterior, yang dapat mengakibatkan kerusakan segmen anterior neurovaskular.
Mekanisme ini mengakibatkan kerusakan periosteum anterior, namun periosteum
bagian posterior tetap intak. Arah pergeseran pada suatu bidang koronal
mengindikasikan risiko terhadap struktur jaringan otot halus. Jika patahan
6
mengarah ke sisi medial, saraf radialis akan berisiko sedangkan jika mengarah ke
sisi lateral, akan menjepit arteri brachialis dan saraf medianus. 5
Tipe yang jarang terjadi (5%) yakni fraktur suprakondiler tipe
fleksi, yang diakibatkan jatuh dengan posisi siku fleksi. Patahan jenis ini, sangat
menantang untuk direduksi mengingat resiko kerusakan saraf ulnaris.5
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland terdiri atas :
1. Tipe I
Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak bergeser
atau minimal displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior
humeral yang utuh dengan atau tanpa adanya bukti cedera pada tulang.
Posterior fat pad sign merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur.
Fraktur tipe ini sangat stabil karena periosteum sirkumferensial masih
utuh.
2. Tipe II
Gartland tipe II merupakan fraktur suprakondiler disertai pergeseran (> 2
mm), dan korteks bagian posterior kemungkinan masih utuh dan
berfungsi sebagai engsel. Pada gambaran foto rontgen elbow true lateral,
garis anterior humeral tidak melewati 1/3 tengah dari capitelum. Secara
umum, tidak tampak deformitas rotasional pada posisi foto rontgen
AP karena posterior hinge masih utuh.
3. Tipe III
Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa adanya
kontak pada korteks yang cukup. Biasanya disertai dengan ekstensi pada
bidangsagital dan rotasi pada frontal dan/atau bidangtransversal.
Periosteum mengalami robekan yang luas, sering disertai dengan
kerusakan pada jaringan lunak dan neurovaskular. Keterlibatan dari
kolum medialis menyebabkan malrotasi menjadi lebih signifikan pada
bidang frontal dan diklasifikasikan sebagai tipe III. Adanya deformitas
rotasional yang tampak pada gambaran foto rontgen posisi AP
7
digolongkan pula sebagai fraktur tipe III Modifikasi Klasifikasi Gartland
yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur suprakondiler humerus merupakan
jenis klasifikasi yang paling diterima dan paling banyak digunakan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Barton dkk, Nilai Kappa
terhadap variabilitas intraobserver dan interobserver dari klasifikasi ini
merupakan yang tertinggi dibanding klasifikasi yang digunakan
sebelumnya.11,13
Adapun tambahannya, yakni:
4. Tipe IV
Gartland tipe IV ditandai dengan adanya instabilitas multidireksional.
Hal ini disebabkan terjadinya inkompetensi sirkumferensial dari
periosteal hinge dan terjadinya instabilitas pada fleksi dan ekstensi.
Instabilitas multidireksional ini ditentukan pada saat pasien dalam kondisi
teranestesi saat dilakukan operasi. Instabilitas ini dapat disebabkan oleh
cedera yang terjadi atau bisa juga disebabkan secara iatrogenik, yaitu
pada saat kita mencoba melakukan reduksi.12
2.1.6 Evaluasi Klinis
Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler mengeluh
nyeri di sekitar bahu setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah
bahu atau gerakan aktif bahu yang terbatas atau deformitas yang mungkin
nampak.2,9
Ekstremitas yang cidera harus diperiksa meliputi pemeriksaan
pembengkakan jaringan lunak, laserasi, abrasi ataupun kerutan pada kulit, dan
penilaian ada atau tidaknya patah pada ekstremitas tersebut. Kerutan pada kulit
disebabkan karena fragmen proximal daripada fraktur menusuk otot brachialis
dan menyebabkan tertariknya dermis bagian dalam. Hal ini menandakan
terjadinya kerusakan jaringan lunak. Adanya perdarahan pada luka di daerah
terjadinya fraktur, merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu fraktur
terbuka.14,15
Penting untuk menilai fungsi neurovaskuler setelah dilakukan
inspeksi. Analisis terkini dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cidera
saraf terjadi sebanyak 11,3% pada pasien dengan fraktur suprakondiler.
Pemeriksaan motorik dan sensorik seharusnya dilakukan pada kasus ini.
Pemeriksaan motorik meliputi jari-jari, pergelangan tangan, dan ekstensi ibu jari
8
(saraf radialis), fleksi index distal interphalangeal dan fleksi thumb
interphalangeal (AIN), thenar strength (medianus), interossei (saraf ulnaris).
Pemeriksaan sensorik meliputi area sensorik saraf radialis (dorsal first web
space), saraf medianus (palmar finger index), saraf ulnaris (palmar little finger).
Apabila diketahui lebih awal, maka defisit neurologi tersebut bersifat sementara
dan akan membaik dalam 6-12 minggu. Penilaian status vaskuler juga merupakan
hal yang penting. Indikator klinis adanya perfusi yang cukup di distal meliputi
pengisian kapiler yang normal, suhu, dan warna kulit (pink). Status vaskular
dapat dikategorikan menjadi 3 kategori: kategori I mengindikasikan bahwa
tangan mengalami perfusi yang baik, dan a. radialis teraba, kategori
II mengindikasikan bahwa tangan memiliki perfusi yang baik, namun a.radialis
tidak teraba, dan kategori III menunjukan bahwa tangan mengalami perfusi yang
sangat buruk dan tidak terabanya a. radialis.Prevalensi terjadinya vascular
compromise pada fraktur suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran
disebutkan mencapai 20 % dari studi yang dilakukan oleh Pirone dkk, 12 %
pada studi yang dilakukan oleh Shaw dkk, dan 19 % pada studi yang dilakukan
oleh Campbell dkk.
Selesai pemeriksaan, siku yang cidera sebaiknya distabilisasi
menggunakan backslab denga posisi fleksi 20-300
untuk mencegah
pergeseranfraktur, mengurangi rasa nyeri, dan mencapai kualitas radiologi yang
baik. Ekstremitas diposisikan dengan posisi yang nyaman. Berikut evaluasi klinis
pada pasien dengan farktur suprakondiler humerus dapat dilihat pada tabel 2.1.
Supraocondylar Humerus Fracture
Description Evaluation Classfication Treatment
9
Common pediatric
fracture
Extraphyseal fx at thin portion of
bone (1mm)
between distal
humeral fossae
Extension type
most common
Malreduction
leads to deformity
: cubitus varus is
most common
Relatively high
incidence of
neurovascular
injury
Hx : Fall,
pain, will
not move
arm, +/-
deformity
PE : Swelling
+/-
deformity
. Good
neurovas
cular
exam
(esp.
AIN,
radial
n.,pulses)
XR :
Elbow
series.
Lateral
view :
anterior
humeral
line is
anterior
to
capitellu
m center
in
displaced
fxs.
Posterior
fat pad
indicates
fx.
Extension type
(Gartland)
o I :
Nondisplaced
o II : Partially
displaced
(post cortex
intact)
o III :
Dispalced
(no cortical
continuity)
Flexion type (Uncommon)
Type I : Long
arm cast
Types II & III : Closed
reduction &
percutaneus
pinning, 2 or 3
pins (crossed or
divergent)
Medial pins can
injure ulnar
nerve.
Open reduction
for irreducible
fractures
(uncommon)
Explore
pulseless/unper
fused extremity
for artery
entrapment
Complication : Malunion (Cubitus varus ), Neurovascular (Median Nerve/AIN),
radial nerve,brachial artery.
2.1.7 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada siku harus meliputi proyeksi anteroposterior
(AP) dan Lateral. Pada proyeksi true AP, sebaiknya diambil humerus distal
daripada siku, karena lebih akurat dalam mengevaluasi humerus distal dan
meminimalisir kesalahan dalam menentukan angulasi malalignment pada
humerus distal. Pada proyeksi AP, Sudut Baumann atau disebut juga humeral
capitellar angle adalah penanda penting dalam menilai fraktur
suprakondiler (gambar 2.5). Sudut ini dibentuk oleh perpotongan antara garis
pada sumbu humerus dengan garis yang digambarkan sepanjang lempeng
pertumbuhan kondilus lateral dari siku. Sebaiknya, sudut Baumann pada siku
kontralateral juga diambil sebagai perbandingan. Fragmen distal biasanya
berotasi medial atau internal dan deviasi varus. Kisaran normal sudut ini antara
9-26o. Penurunan sudut Baumann adalah penanda jika fraktur dalam keadaan
varus.
10
Beberapa penulis tidak mengadvokasi penggunaan sudut Bauman karena
kesulitan dalam mengidentifikasi lempeng pertumbuhan capitellum. Sudut
Baumann merupakan salah satu indikator keberhasilan reduksi yang telah
dikerjakan dan berhubungan dengan carrying. angle yang mungkin terjadi.
tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak saat awal dilakukan reduksi
sampai hasil akhir, dan tidak dipengaruhi oleh pronasi maupun fleksi dari siku.
Formula yang umum digunakan adalah perubahan 5 derajat dari sudut Baumann
berhubungan dengan perubahan carrying angle sebanyak 2 derajat.2,3
Gambar 2.5 Baumann’s Angle
Sudut humeral ulnar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan
diafisis humerus dan ulna. Sudut ini berguna untuk menentukan carrying angle
Medial epicondylar epiphyseal angle, adalah alternatif dalam pemeriksaan AP
selain sudut Baumann. Sudut ini dibentuk oleh perpotongan sumbu humerus
dengan garis sepanjang medial epicondylar epiphyseal plate. Baik sudut
Baumann dan medial epicondylar epiphyseal angleberguna untuk menentukan
kecukupan reduksi fraktur suprakondiler. Pada proyeksi lateral, sebaiknya
humerus diambil sesuai posisi anatomis dan tidak eksternal rotasi. Pada proyeksi
ini, dapat dilihat anterior humeral lineyaitugaris yang memotong pusat osifikasi
capitellum dengan bagian anterior humerus. Pada fraktur suprakondiler tipe
ekstensi, capitellum terletak posterior dari garis ini. Fat-pad sign, sebagai suatu
tanda adanya efusi intraartikuler dapat juga terlihat dalam proyeksi lateral
(gambar 2.8).2,3,5
11
Gambar 2.6 (kiri) Humeral Ulnar Angle; (kanan) Metaphyseal Diaphyseal Angle
Pada proyeksi lateral juga ditemukan teardrop atau bayangan
radiografis yang dibentuk oleh batas posterior fossa coronoid pada bagian
depan, batas anterior fossa olecranon pada bagian belakang, dan batas superior
pusat osifikasi capitellar pada bagian bawah. Selain itu ditemukan pula gari
coronoid dan sudut diafisis-condylar. Garis coronoid adalah garis yang
bersinggungan antara anterior prosesus coronoid dengan anterior kondilus
lateralis. Sedangkan nilai normal sudut diafisis condylar adalah 30-400
(gambar
2.7)
Gambar 2.7 (kiri-kanan): Teardrop, Sudut diafisis condylar, Garis
anterior humeral, garis coronoid.
Hasil proyeksi oblique mungkin berguna untuk melihat pergeseran
fraktur yang minimalis. Dapat pula membantu membedakan fraktur
12
suprakondiler dengan kondilus yang tersembunyi, yang tidak dapat terlihat pada
proyeksi AP dan lateral. Proyeksi oblique tidak rutin dilakukan dalam
pemeriksaan cidera siku.
2.1.9 Tatalaksana
2.1.9.1 Manajemen awal
Fraktur suprakondiler yang mengalami pergeseran memerlukan
penanganan awal berupa pemasangan splint, dengan siku berada dalam posisi
yang nyaman, yaitu 20° sampai 40° dalam posisi fleksi dan
hindaripemasangan splint yang terlalu ketat.2,5
Fleksi dan ekstensi yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya gangguan pada aliran vaskular
dan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan kompartemen. Namun, perlu
dievaluasi lebih lanjut oleh karena sering terjadi kekakuan sendi bahu dan
kerusakan physis. Adapun pertimbangan penatalaksaan fraktur suprakondiler
adalah bagaimana mencegah kerusakan seperti sindrom kompartemen dan
mengurangi komplikasi seperti cubitus varus dan kekakuan.10
Dameron mencatat,
berdasarkan jenis fraktur, terdapat 4 macam penanganan yakni: (1) side-arm
skin traction, (2) overhead skeletal traction, (3) closed reduction and casting
with or without percutaneous pinning, dan (4) open reduction and internal
fixation.5
2.1.9.2 Penanganan dengan Traksi
Traksi sebagai terapi definitif bagi fraktur suprakondiler merupakan salah
satu pilihan terapi yang sudah lama digunakan. Kelebihan traksi, baik skin
maupun skeletal traksi diantaranya aman karena jarang terjadi iskemik
Volkmann, hasil yang baik karena jarang terjadi deformitas varus dan valgus,
dapat diaplikasikan untuk fraktur yang baru terjadi maupun yang sudah beberapa
hari, baik stabil maupun tidak stabil.10
Namun, kelemahan penanganan ini adalah
lamanya masa perawatan di rumah sakit yang berkisar antar 14 sampai 20 hari.
Pada penelitian uji klinis acak yang dilakukan oleh Kuzma, yang
membandingkan antara skin traction dengan skeletal traction dalam menangani
fraktur supracondylar humerus, bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dalam
13
hal gambaran klinis, mobilitas bahu, dan prevalensi terjadinya deformitas
cubitus varus. Namun, skin traction memiliki kelebihan yakni mudah dan
tidak mempersiapkan peralatan seperti ruang operasi ataupun bius.19
Penelitian yang dilakukan oleh Gadgil dkk, bahwa skin traction efektif dan
aman untuk dilakukan pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun.20
2.1.9.3 Reduksi Tertutup Dengan Penggunaan Casting Dengan atau Tanpa
Fiksasi Pinning Perkutan
Penggunaan casting digunakan untuk patah tulang dengan pergeseran
minimal. Awalnya, reduksi tertutup dan penggunaan casting merupakan pilihan
untuk fraktur yang mengalami pergeseran, karena didapatkan hasil yang baik
pada 90% pasien dan tidak ditemukan masalah vaskularisasi atau malunion.10
Apabila ditemukan pergeseran fraktur yang sedang disertai adanya hematom
yang terfixir dengan fascia antecubital yang intak, fleksi siku cenderung
akan mengakibatkan iskemik Volkmann. Menurut Rang, fiksasi casting
adalah metode lampau merujuk pada dua kasus kontraktur Volkmann komplit
tipe lambat.10
Reduksi tertutup dan fiksasi pinning merupakan pilihan terapi fraktur
suprakondiler yang paling banyak digunakan. AAOS menyarankan reduksi
tertutup dan fiksasi pinning pada pasien dengan fraktur suprakondiler humerus
tertutup yang mengalami pergeseran (Gartland tipe II dan III, dan fleksi
displaced) dengan kekuatan rekomendasi sedang. Beberapa penelitian yang
menyokong rekomendasi tersebut menyebutkan bahwa secara statistik,
penanganan dengan fiksasi pinning lebih baik dibanding penanganan non
operatif dalam hal mencegah cubitus varus dan kehilangan gerakan,
namun lebih berisiko menimbulkan infeksi. Kesimpulannya, teknik closed
reduction and percutaneous pinning efektif untuk menangani fraktur
suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran.21 Pasien dalam pengaruh
anestesi umum, dengan posisi supinasi, palpasi batas, kemudian cek arah
pergeseran tulang. Lakukan traksi dengan fleksi lengan atas sebesar 100.
Koreksi pergeseran lateral. Dorong olecranon ke arah anterior untuk
mengoreksi pergeseran posterior, kemudian fleksi siku sebesar 400
hingga
14
olecranon berada anterior terhadap epikondilus. Rotasi eksternal pada kedua
lengan atas untuk mengoreksi deformitas rotasi internal. Kedua lengan atas
semestinya rotasi dalam besaran yang sama. Apabila pergeseran ke arah medial,
pronasi lengan bawah untuk mengunci patahan, begitu pula sebaliknya. Tahan
posisi patahan yang telah tereduksi atau cek dengan menggunakan C -Arm
(Gambar 2.8). Masukkan 2 buah K-Wire 1,4 mm menggunakan teknik Judet,
dimana satu pin dimasukkan menuju kondilus lateralis sedangkan pin kedua
menuju korteks medialis.10
Selain dalam posisi supinasi, reduksi tertutup dapat
dilakukan dalam posisi pronasi (gambar 2.9). Gaya gravitasi cenderung
mempertahankan posisi pada saat pin dimasukkan. Kriteria reduksi yang dapat
diterima adalah restorasi dari sudut Baumann (> 10°) pada foto rontgen posisi
AP, gambaran kolummedial dan lateral yang utuh pada foto rontgen posisi
oblique, dan garis anterior humeral melewati 1/3 tengah dari capitelum pada
foto rontgen posisi lateral. Malalignment rotasional dapat mengganggu stabilitas
fraktur, jadi bila terdapat malrotasi, harus dilakukan pemeriksaan stabilitas
reduksi dan kemungkinan penggunaan fiksasi ketiga dengan pinning. Reduksi
dari fraktur diperoleh dengan penggunaan dua atau tiga Kirschner wire.
Dilakukan imobilisasi dengan posisi fleksi 40° sampai 60°, tergantung dari
besarnya pembengkakan dan status vaskular. Jika terdapat celah pada lokasi
fraktur atau bila fraktur tidak bisa direduksi, dan terasa seperti karet saat
melakukan reduksi, kemungkinan terjadi penjepitan pada nervus medianus dan
atau arteri brachialis pada lokasi fraktur dan harus dilakukan reduksi terbuka.
Gambar 2.8 Fat Pad Sign
15
Gambar 2.9 Langkah-Langkah Reduksi Tertut
Gambar 2.10. Posisi Pronasi Pasien Saat Dilakukan Pinning Perkutan
Penelitian yang dilakukan oleh Swenson, Casiano, dan Flynn dengan
menggunakan dua pin menyilang. Penelitian Arino dkk merekomendasikan
penggunaan duapin lateral. Fiksasi pin medial dan lateral lebih stabil dibanding
dengan hanya fiksasi lateral saja, namun tidak direkomendasikan jika terdapat
edema atau cidera pada saraf ulnaris. Untuk jenis kominutif atau fraktur yang
tidak stabil, bisa digunakan pin medial dan lateral. Untuk mencegah
komplikasi cidera saraf pada saat menggunakan pin medial, dilakukan insisi
kecil pada epikondilus medial, pin di angulasikan kira-kira 400
ke arah
superiordan 100 ke arah posterior. Pin harus diteruskan hingga mencapai
korteks agar fiksasinya solid.
Penelitian pada fraktur suprakondiler humerus tertutup tipe fleksi yang
bergeser, yang dilakukan oleh Fowles dan Kassab, mencatat bahwa umum
jika terdapat lesi saraf ulnaris. Sulit pula untuk dilakukan reduksi dan hasilnya
lebih buruk dibanding tipe ekstensi.5
16
2.1.9.4 Reduksi Terbuka
Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada fraktur
terbuka, gagal setelah reduksi tertutup, dan fraktur yang berhubungan dengan
gangguan vaskularisasi. Pada masa lalu, reduksi terbuka dikhawatirkan
menyebabkan terjadinya kekakuan sendi, myositis osifikan, jaringan parut
yang mengganggu kosmetik dan cedera neurovaskular iatrogenik. Tetapi,
beberapa penelitian menunjukkan rendahnya komplikasi yang disebabkan oleh
reduksi terbuka. Penelitian yang dilakukan oleh Weiland dkk, melaporkan
bahwa 52 fraktur yang mengalami pergeseran, yang telah direduksi terbuka
melalui pendekatan lateral, 10% mengalami gangguan pergerakan sendi tingkat
sedang, namun tidak ada infeksi, nonunion, atau myositis osifikan.2,5
2.1.10 Komplikasi
2.1.10.1 Cidera Saraf
Cidera saraf adalah komplikasi yang sering muncul berkaitan dengan
fraktur displaced suprakondiler, dengan prevalensi berkisar antara 5-19%. Pada
tahun 1995, Campbell dkk, menemukan kerusakan saraf medianus dalam 52%
kasus dan kerusakan saraf radialis sebanyak 28%, namun penelitian yang
dilakukan oleh Spinner dan Schreiber melaporkan bahwa yang paling sering
mengalami cedera pada fraktur suprakondiler humerus tipe ekstension adalah
saraf interosseusanterior yang ditandai dengan paralisis fleksor longus ibu jari
dan jari telunjuk tanpa disertai perubahan sensorik.2,5
Kerusakan pada saraf medianus berkaitan dengan pergeseran fragmen
distal ke arah posteromedial yang ditandai dengan sensoric loss pada distribusi
persarafan nervus medianus, disertai dengan motoric loss pada otot-otot yang
mendapat inervasi dari saraf medianus. Penyembuhan fungsi sensorik hingga 6
bulan sedangkan fungsi motorik membaik dalam waktu 7-12 minggu. Indikasi
eksplorasi adalah fungsi saraf terganggu oleh karena fraktur terbuka, setelah
dilakukan reduksi tertutup pinning perkutan.
17
2.1.10.2 Cidera Pembuluh Darah
Prevalensi terjadinya insufiensi pembuluh darah berkaitan dengan fraktur
suprakondiler dilaporkan berkisar antara 5-12%. Hilangnya pulsasi arteri
radialisterjadi pada pasien dengan fraktur suprakondiler tipe III sekitar 10% -
20%. Hilangnya pulsasi arteri radialis bukan merupakan suatu
kegawatdaruratan, melainkan urgensi. `Hal ini dikarenakan, sirkulasi kolateral
masih dapat memberikan perfusi yang memadai bagi extremitas tersebut.
Bila ada pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan fraktur
suprakondiler yang disertai dengan pergeseran yang berat disertai gangguan
vaskular, dilakukan splinting pada siku dengan posisi siku fleksi 20° - 40°.
Jika pulsasi sebelum dilakukan reduksi masih teraba, dan kemudian menghilang
setelah dilakukan reduksi dan fiksasi dengan pinning, maka reduksi terbuka
harus segera dilakukan. Reduksi terbuka melalui pendekatan anterior karena
melalui pendekatan tersebut, kita dapat mengevaluasi struktur vital yang
beresiko mengalami penjeratan diantara fragmen fraktur. Jika arteri berhasil
dibebaskan dari penjeratan diantara fragmen fraktur, spasme yang terjadi pada
arteri akan dapat dikurangi, caranya dengan pemberian lidocaine,
pemanasan, dan dilakukan observasi selama 5-15 menit.2,5
Indikasi dilakukan rekonstuksi vaskuler adalah 1). denyutan tidak teraba
setelah reduksi, dengan tanda-tanda capillary refill time menurun, tekanan
kompartemen meningkat, atau pallor. 2) tidak ada denyutan pada pemeriksaan
Doppler di daerah ekstremitas noniskemik.24,25
2.1.10.3 Deformitas
Deformitas berupa angulasi pada humerus distal sering terjadi pada pasien
dengan fraktur suprakondiler. Keterbatasan remodeling yang terjadi pada
humerus distal dikarenakan physis bagian distal hanya berkontribusi sebesar
20% terhadap pertumbuhan tulang humerus2,5,10
. Penyebab yang paling
masuk akal terhadap terjadinya deformitas tersebut pada fraktur suprakondiler
adalah terjadinya malunion dibandingkan dengan terjadinya growth arrest.
Remodeling dapat terjadi pada bagian posterior, namun tidak dapat terjadi
angulasi pada bidang koronal, sehingga mengakibatkan terjadinya deformitas
18
cubitus varus atau valgus. Deformitas cubitus varus adalah mengenai
kosmetik bukan fungsional atau kecacatan, deformitas yang terjadi adalah
ekstensi daripada siku. Pembedahan seperti teknik lateral closing-wedge
osteotomy, dome rotational osteotomy, dan step-cut lateral closing-wedge
osteotomy juga merupakan suatu indikasi kosmetik. Namun, osteotomy
tersebut berkaitan dengan tingkat komplikasi yang signifikan. Seperti yang
dilaporkan oleh Labelle dkk, yang menyebutkan bahwa 33% pasien mengalami
loss of correction dan atau disertai cidera saraf. Sedangkan deformitas cubitus
valgus menyebabkan kehilangan fungsional ekstensi dan paralisis saraf
tardyulnaris.2,5
.Cubitus varus dapat dicegah dengan menjaga agar garis Bauman
tetap utuh saat melakukan reduksi dan selama masa penyembuhan. Tiga
penyebab utama terjadinya deformitas berupa cubitus varus ataupun cubitus
valgus adalah (1) ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil reduksi tidak
acceptable pada gambaran radiologis, (2) Ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan hasil radiologis yang baik karena kurangnya pengetahuan
terhadap patofisiologi dari fraktur tersebut, (3) Loss of reduction.
Penanganan terhadap deformitas cubitus varus di masa lalu hanya
berdasarkan pada permasalahan kosmetik saja, namun terdapat beberapa
masalah yang timbul jika cubitus varus tersebut tidak ditangani, yaitu dapat
berupa meningkatnya resiko terjadinya fraktur pada condylus lateral, nyeri,
tardy posterolateral rotatory instability, dimana gejala-gejala tersebut
merupakan suatu indikasi untuk dilakukannya operasi rekonstruksi dengan cara
melakukan osteotomy pada suprakondiler humerus.
2.1.10.4 Kekakuan dan Myositis Ossificans
Loss of motion jarang terjadi pada pasien fraktur suprakondiler yang
direduksi secara anatomis. Kehilangan fungsi fleksi dapat terjadi dengan
fragmen distal angulasi ke arah posterior. Henrikson dkk, melaporkan kurang
dari 5% pasien dengan suprakondiler berkaitan dengan kehilangan fungsi fleksi
atau ekstensi mencapai 50
jika dibandingkan dengan sisi yang tidak cidera.
Walaupun manipulasi dan terapi fisik dapat memicu terjadinya myositis
ossificans, namun komplikasi tersebut sangat jarang.2,5
19
2.1.10.5 Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen pada fraktur suprakondiler diperkirakan antara 0,1
% - 0,3 %. Sindrom kompartemen forearm dapat terjadi dengan atau tanpa cidera
arteri brachialis dan teraba atau tidaknya nadi radialis. Diagnosis sindrom
kompartemen berdasarkan lima tanda klasik yakni pain, pallor, pulselessness,
paresthesia, dan paralysis. Selain itu, adanya tahanan terhadap gerakan pasif jari
dan nyeri progresif setelah fraktur.Blakemore dkk menemukan bahwa prevalensi
terjadinya sindrom kompartemenpada forearm adalah 3 berbanding 33 pada
kasus fraktur suprakondiler disertai dengan fraktur pada radius. Battaglia dkk,
menemukan bahwa ambang posisi untuk dapat terjadinya peningkatan tekanan
intrakompartement adalah posisi fleksi elbow, antara 900– 120
0. Hal ini
menentukan pentingnya untuk melakukan imobilisasi pada siku dengan sudut
fleksi kurang dari 900
Skaggs dalam penelitian yang dilakukannya menunjukan
bahwa walaupun arteri radialis masih teraba dan capillary refill time masih
normal, namun jika disertai terjadinya echimosis dan pembengkakan yang
hebat, ancaman terhadap terjadinya suatu compartment syndrome harus tetap
diwaspadai. Perhatian khusus harus dilakukan pada fraktur suprakondiler yang
disertai cedera pada nervus medianus, karena pada pasien yang mengalami
cedera pada nervus tersebut, pasien tersebut tidak dapat merasakan terjadinya
nyeri pada kompartement bagian volarnya.
2.1.10.6 Infeksi Pin Track
Rerata terjadinya infeksi pin track pada anak-anak yang
ditangani dengan fiksasi menggunakan percutaneus Kirschner wire memiliki
rentang antara 1% - 21%. Rerata terjadinya infeksi pin track yang
berhubungan dengan terjadinya fraktur suprakondiler humerus disebutkan
antara 1% - 6,6.
2.2 Neglected Fracture
2.2.1 Definisi Fraktur
20
Fraktur adalah keadaan terputusnya kontinuitas tulang, dapat berupa
patahan, retakan, runtuhan, maupun pecahan dari korteks tulang. Dapat
disebabkan oleh peristiwa trauma (kekerasan), stress berulang, atau kelainan pada
tulang (peristiwa patologis). Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan
tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan.Trauma
tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah
fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada
klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.1
2.2.2 Neglected Fracture
Neglected fraktur adalah Suatu fraktur dengan atau tanpa dislokasi yang
ditangani dengan tidak semestinya sehingga menghasilkan keterlambatan
penanganan atau kondisi yang lebih buruk dan bahkan kecatatan. Klasifikasi
neglected fracture berdasarkan beratnya kasus dibagi menjadi 4 derajat1 :
1. Neglected derajat 1
Pasien datang saat awal kejadian maupun sekarang, penanganannya tidak
memerlukan tindakan operasi dan hasilnya sama baik.
2. Neglected derajat 2
Pasien datang saat awal kejadian, penanganan tidak memerlukan tindakan
operasi, sedangkan saat ini kasusnya menjadi lebih sulit dan memerlukan
tindakan operasi. Setelah pengobatan hasilnya baik.
3. Neglected derajat 3
Keterlambatan menyebabkan kecacatan yang menetap bahkan setelah
dilakukan operasi. Jadi pasien datang saat awal maupun sekarang tetap
memerlukan tindakan operasi dan hasilnya kurang baik.
4. Neglected derajat 4
21
Keterlambatan di sini sudah mengancam nyawa atau bahkan menyebabkan
kematian pasien. Pada kasus ini penanganannnya memerlukan tindakan
amputasi.
Pembagian derajat neglected fracture berdasarkan waktu, yaitu :
Derajat I : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari – 3 minggu
Derajat II : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu – 3 bulan
Derajat III : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan – 1 tahun
Derajat IV : fraktur yang telah terjadi lebih dari 1 tahun
Sedangkan fraktur yang tidak ditangani dalam waktu 72 jam dari trauma dianggap
sebagai old fracture.
22
BAB III
PENYAJIAN KASUS
3.1 Identitas
a. Nama : An. N.G.A
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Usia : 4 tahun
d. Agama : Hindu
e. Pekerjaan : Pelajar
f. Alamat : Br. Tibubeneng Canggu, Kuta Utara.
3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama: Kekakuan pada siku lengan kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien dibawa ke Poliklinik Ortopedi,
mengeluh kaku pada siku kiri. Pasien memiliki riwayat jatuh dari tempat
tidur (12/2018) .Pasien sedang bermain di tempat tidur, tiba-tiba terpeleset
dan jatuh dengan siku kirinya terbentur ke lantai. Pasien awalnya berobat
ke tukang urut tulang, nyeri membaik namum kekakuan tidak hilang.
Pasien dirujuk dari Rumah Sakit Umum Badung oleh Ahli Bedah Ortopedi
dengan diagnosis Malunion Supracondyler Left Humerus.
c. Riwayat Penyakit Dahulu: -
d. Riwayat Penyakit Keluarga: -
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Tanda Vital
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Frekuensi Nadi : 88 x/menit
Frekuensi Napas : 24 x/menit
Suhu : 36,4o C
b. Status Generalis
Kepala : normosefali (+), jejas (-), hematom (-), nyeri tekan (-)
23
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
THT : Epistaksis(-/-), Otorheae (-/-), Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Thorax : simetris (+), dada tertinggal saat inspirasi (-).
Jantung : S1, S2 reguler, G (-), M (-)
Paru : suara nafas vesikular (+/+), Wh (-/-), Rh (-/-)
Abdomen : Datar (+), BU (+), timpani (+), soepel (+), nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, arteri dorsalis pedis kuat
angkat
c. Status Lokalis
Regio Brachialis Sinistra
Look : Deformitas (-), swelling (-), hematom (-)
Feel : Nyeri tekan (+) sekitar elbow, radialis artery (+) teraba
(+), CRT < 2", SaO2 99%, sensation (+) normal
Move : Active ROM elbow 0/80
Active ROM wrist 40/50
Active ROM MCP-IP 0/90
Thumb extension (+), OK sign (+), Wrist extension (+)
A B
24
Gambar 3.1 A. Foto klinis regio brachii sinistra. B. ROM terbatas fleksi.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Hasil Laboratorium
WBC : 9,25 PPT : 12,9 GDS : 91 Na : 138
HGB : 13,76 INR : 1,03 BUN : 6,70 K : 4,31
PLT : 343,50 APTT : 30,7 SC : 0,46
b. Radiologi
Gambar 3.2 Foto Klinis a/r antebrachii sinistra.
25
3.5 Resume
Pasien anak perempuan berusia 4 tahun dengan keluhan utama kekakuan
pada sendi lengan kiri sejak 2 bulan SMRS. Riwayat terjatuh dari ranjang dengan
ketinggian 1 meter saat sedang bermain dengan posisi siku kiri terbentur ke
lantai.
Pemeriksaan lokalis regio brachii sinistra didapatkan nyeri tekan, neurovaskular
distal dalam batas normal dan range of movement terbatas fleksi. Pemeriksaan
penunjang berupa rontgen brachii AP/Lateral sinistra didapatkan adanya garis
fraktur pada 1/3 distal os humerus sinistra, displaced (+), mengesankan malunion,
dan disposisi epifisis dari internal condylus os humerus sinistra.
3.6 Diagnosis
Malunion Left Supracondylar Humerus
3.7 Penatalaksanaan
Rencana dilakukan Closed Wedge Osteotomy - ORIF Pinning.
3.9 Prognosis
a. Ad vitam : bonam
b. Ad fungtionam : dubia ad bonam
c. Ad Sanactionam : dubia ad bonam
A B
26
Gambar 3.4 Foto Rontgen Post Operasi.
Gambar 3.5 Foto Klinis post op.
27
Gambar 3.6 Foto klinis 4 bulan post op.
28
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pasien anak perempuan berusia 4 tahun dengan keluhan utama kekakuan
pada sendi lengan kiri sejak 2 bulan SMRS. Riwayat terjatuh dari ranjang dengan
ketinggian 1 meter saat sedang bermain dengan posisi siku kiri terbentur ke
lantai.
Pemeriksaan lokalis regio brachii sinistra didapatkan nyeri tekan, neurovaskular
distal dalam batas normal dan range of movement terbatas fleksi. Pemeriksaan
penunjang berupa rontgen brachii AP/Lateral sinistra didapatkan adanya garis
fraktur pada 1/3 distal os humerus sinistra, displaced (+), mengesankan malunion,
dan disposisi epifisis dari internal condylus os humerus sinistra.
Diagnosis pasien adalah Malunion Left Supracondylar Humerus. Tatalaksana
yang diberikan berupa membersihkan kalus untuk membentuk fraktur site dan
ORIF dengan pemasangan K-wire sebanyak dua buah pada epikondilus
medialis dan epikondilus lateralis .Setelah itu dilakukan pemasangan
splinting pada bagian dorsal pada arm dan forearm. Kemudian dilakukan
pemasangan elastis verban dan armsling pada posisi 200- 40
0 yang bertujuan
untuk imobilisasi. splinting dipertahankan selama 3 minggu.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Salter RM. Spesific Fracture & Joint Injuries in Children. Textbook of
Disorders & Injuries of the Muskuloskeletal Sytem. 3rd
Edition.
Lippincott Wiliams& Wilkins 1999
2. Skaggs DL, Flynn JF: Supracondylar Fracture of the Distal Humerus.
In: Beaty JH, Kasser JR, (editors) Rockwood and Wilkins Fractures in
Children, 7th Edition Vol. 3. Philadelphia, Lippincott William and
Wilkins; 2010. 487-531.
3. Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of Fractures Third Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
4. Barel DP, Hanel DP. Fractures of The Distal Humerus. In: Wolfe SW,
Hotchkiss RN, Pederson WC, Kozin SH. Green’s Operative Hand Surgery
Sixth Edition. Churcill Livingstone Elsevier. 2010.
5. Beaty JH, Kasser JR.Supracondylar Fracture of the Distal Humerus.
In: Campbell, 11th Edition; 2007.
6. Farnsworth CL, Silva PD,Mubarak SJ. Etiology of supracondylar
humerus fracture. Journalof Pediatric Orthopaedic. 1998;18:38-42
7. Omid R, Paul D, Choi, Skaggs D. Curent concepts review.
Supracondylar Humeral
Fractures in Children. Journalof Bone Joint Surgery America,
2008;90:1121-32
8. Brubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fracture of The
Distal Humerus.
Current Review Musculoskeletal Medicine 2008. 1:190-196
9. Price CT, Flynn JM. Management Of Fractures. In: Morrissy RT,
Weinstein SL. Lovell & Winter’s Pediatric Orthopaedics, 6th Edition.
2006. Vol.2. 33. 1449-1452
10. Rang, M. Supracondylar Fractures. In: Children’s Fractures 2nd
Edition. Lippincott Company. 1983. 154-169
30
11. Gartland JJ. Management of supracondylar fractures humerus in
children. Surgery Gynecology Obstetric. 1959;109(2):145-54
12. Barton KL, Karminsky CK, Green DW, Shean DJ, Skaggs DL.
Reliability of a modified Gartland classification of supracondylar
humerus fractures. Journal of Pediatric Orthopaedic. 2001;21:27-30.
13. Leich KK, Kay RM, Femino JD, Tolo VT,Storer SK, Skagss DL.
Treatment of multidirectionally unstable supracondylar humeral fractures
in children. A modified Gartland type – IV fracture. Journalof Bone Joint
Surgery America .2006. 88. P 980- 985.
14. Murray AW, Robb J. Supracondylar Fractures Of The Humerus in
Children. Elsevier.2012. 8:119-132
15. Srubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fractures of the
Distal Humerus.
Current Review Musculoskeletal Medicine. 2008. 1:190-196
16. Skaggs DL. Elbow fractures in children: Diagnosis and
Management. Journalof America Academy of Orthopaedic Surgery.
1997;5(6);303-12
17. Skaggs D, Pershad J. Pediatric elbow trauma. Pediatric
Emergency Care. 1997;13(6);425-34
18. Otsuka NY, Kasser JR. Supracondylar fractures of the humerus in
children. Journal of American Academy of Orthopaedic Surgery.
1997;5(1); 19-26
19. Kuzma J. A Comparison of Skin vs Skeletal Traction in the Management
of Childhood Humeral Supracondylar Fractures: Randomized Clinical
Trial. The International Journal of Orthopaedic Surgery. 2014. Vol 22.
No.1 Available At https://ispub.com/IJOS/22/1/14816
20. Gadgil A, Hayhurst C, Maffulli N, Dwyer JSM. Elevated, Straight-arm
traction for supracondylar fracture of the humerus in children. Journal of
bone and joint surgery.
2005. Vol 87B; 82-87.
31