laporan kasus malunion left supracondylar humerus

34
LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS Oleh: dr. Mira Dewi Prawira Pembimbing : dr. Kadek Ayu Candra Dewi, Sp.OT Program Pendidikan Dokter Spesialis - I Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar 2019

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

LAPORAN KASUS

MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

Oleh:

dr. Mira Dewi Prawira

Pembimbing :

dr. Kadek Ayu Candra Dewi, Sp.OT

Program Pendidikan Dokter Spesialis - I

Program Studi Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran – Universitas Udayana

Denpasar 2019

Page 2: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat-

Nya-lah laporan kasus dengan judul “Malunion Left Supracondylar Humerus” dapat

terselesaikan dengan baik.

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memperdalam pengetahuan

mengenai fraktur supracondylar serta untuk memenuhi syarat mengikuti Pendidikan

Program Studi Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit

Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Tidak lupa penulis ingin memngucapkan terima kasih kepada Dr. dr. I Nyoman

Semadi, Sp.B, Sp.BTKV selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, serta kepada dr. Kadek Ayu Candra Dewi,

Sp.OT, selaku pembimbing penulisan laporan kasus ini, atas bimbingan dan kesediaannya

meluangkan waktu untuk memberi petunjuk demi penulisan laporan kasus ini.

Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis mohon saran dan kritik demi perbaikan sari pustaka ini untuk kedepannya.

Akhir kata, semoga sari pustaka ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang tertarik

di bidan Ilmu Bedah dan bidang Bedah Orthopaedi pada khususnya.

Juni 2019

Penulis.

Page 3: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

ii

DAFTAR ISI

KATA

PENGANTAR……………………………....……………………………………… i

DAFTAR ISI………………..……….…………………………..……….………… ii

BAB 1. PENDAHULUAN ……….………………………………………………... 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………….……………………………....………...2

BAB 3. PENYAJIAN KASUS ………..…….…………………………….………..21

BAB 4. PENUTUP………………………………………………………………….27

DAFTAR PUSTAKA .………………………………………………..……..…….. 28

Page 4: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

1

BAB I

PENDAHULUAN

Tatalaksana fraktur humerus distal masih menjadi tantangan hingga saat

ini terutama dalam kelompok umur tertentu. Beberapa variabel yang penting

sebagai penentu keberhasilan penatalaksanaan fraktur humerus distal meliputi

artikulasi yang baik, fiksasi tulang yang kokoh, penyembuhan tulang, gerakan

fungsional yang normal, dan menghindari terjadinya komplikasi. Pengertian yang

baik sangat diperlukan, mengenai anatomi, morfologi fraktur, pendekatan

operatif, hingga implan yang akan digunakan, sebagai dasar untuk mengobati

fraktur jenis ini sehingga akurasi penatalaksanaan menjadi lebih baik.

Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus,

tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini paling sering terjadi pada

anak-anak, terutama pada kelompok umur 5-7 tahun. Prevalensi sekitar 55% -

75% dari semua fraktur siku pada anak- anak. Fraktur lebih sering terjadi pada

tangan kiri atau tangan yang non dominan. Beberapa penelitian terakhir

menunjukkan bahwa angka insiden kejadian fraktur suprakondiler humerus adalah

sama antara pria dan wanita. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera,

yakni fraktur jenis ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering

terjadi (98%).

Penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus fraktur pada anak-anak

secara umum dapat dibagi menjadi 2, non operatif dan operatif. Penanganan

non operatif pada anak-anak merupakan pilihan yang utama, karena masih

memiliki periostemum yang lebih aktif dan kemampuan remodeling yang baik.

Beberapa jenis deformitas yang terjadi pada nak-anak juga masih memungkinkan

terjadinya koreksi yang spontan, seperti yang disebutkan oleh Blount’s Law.

Namun tidak semua fraktur pada anak dapat ditangani secara non operatif.

Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa fraktur suprakondiler humerus pada

anak-anak memiliki hasil yang lebih baik bila ditangani secara operatif.

Page 5: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Suprakondiler Humerus

2.1.1 Definisi

Fraktur Suprakondiler Humerus adalah fraktur yang terjadi di siku, di

bagian distal humerus, tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini

dihubungkan dengan terjadinya beberapa komplikasi yaitu Volksmann iskemia,

malunion, atau gangguan neurovaskuler.1

2.1.2 Epidemiologi

Fraktur suprakondiler humerus adalah fraktur yang sering ditemukan pada

siku, sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku. Fraktur suprakondiler

humerus lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa. Tingkat

rata-rata pertahun penderita fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak

diperkirakan 177,3 / 100.000. Rentang usia puncak terjadinya fraktur

suprakondiler humerus yaitu diantara usia 5– 8 tahun, dengan perbandingan pria

dan wanita adalah 3 : 2, yang mana paling sering ditemukan pada siku kiri

atau sisi yang tidak dominan.2,3

2.1.3 Anatomi

Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior

atau posterior (gambar 2.1) Diafisis humerus terbagi menjadi dua yakni medial

dan lateral. Troklea terbungkus oleh tulang rawan artikuler di bagian anterior,

posterior dan inferior yang kemudian membentuk lengkungan kira-kira sebesar

270.4

Page 6: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

3

Gambar 2.1. A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang Humerus

Distal

Gambar 2.2 A dan B. Aliran darah intraoseus bagian dorsal dari tulang humerus

distal kiri.

Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo

distal dari medial head otot triceps dan bagian distal oleh origo anconeus.

Brachioradialis dan Ekstensor Carpi Radialis Longus berasal dari ridge

suprakondiler lateral.Common Extensor mass terdiri dari Extensor Carpi

Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan Extensor Carpi Ulnaris,

dan bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral epikondilus lateralis,

posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.4

Pendekatan posterior paling banyak dilakukan dalam pembedahan

distal humerus, karena aman untuk saraf radialis dan ulnaris (Gambar 2.3). Pada

bagian lateral dari tulang humerus, saraf radialis bercabang menjadi tiga,

yaitu medial head triceps,lower lateral brachial cutaneous nerve,

dansambungan saraf radialis di lengan bawah (posterior interosseous

Page 7: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

4

nervedansuperficial cutaneous nerve). Setelah bercabang,posterior interosseous

nerve menembus septum intermuskularis lateralis (Gambar 2.4) 4

Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrachialis terhadap

humerus, saraf ulnaris berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen

posterior dari lengan atas dengan menembus septa intermuskularis medial. Saraf

berjalan sepanjang batas anteromedial dari medial head of triceps sepanjang

septa intermuskular medialis.

Gambar 2.3 Hubungan Struktur Anatomis Pada Ekstremitas Atas

Page 8: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

5

Gambar 2.4 Tampak Posterior Fokus Pada Humerus Terhadap Sendi Siku

2.1.4 Mekanisme Cidera

Kemampuan hiperekstensi sendi siku umum terjadi pada masa kanak-

kanak, hal ini dikarenakan kelemahan ligamen yang bersifat fisiologis.

Kemudian, kolum bagian medial dan lateral dari humerus distal dihubungkan

oleh segmen tipis dari tulang antara olecranon pada bagian posterior dan

coronoid pada fosa anterior, yang menyebabkan tingginya resiko terjadinya

fraktur pada daerah tersebut.5

Fraktur suprakondiler humerus sering terjadi akibat hiperekstensi siku

(95%). Jatuh dalam keadaan tangan terentang membentuk hiperekstensi dari siku,

dengan olecranon bertindak sebagai fulcrum pada fossa.5

Bagian anterior

dari kapsul secara simultan memberikan gaya regang pada humerus bagian

distal terhadap insersinya. Tekanan ekstensi yang kontinyu akan

mengakibatkan segmen posterior humerus terdesak ke distal dan terpluntir

ke anterior, yang dapat mengakibatkan kerusakan segmen anterior neurovaskular.

Mekanisme ini mengakibatkan kerusakan periosteum anterior, namun periosteum

bagian posterior tetap intak. Arah pergeseran pada suatu bidang koronal

mengindikasikan risiko terhadap struktur jaringan otot halus. Jika patahan

Page 9: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

6

mengarah ke sisi medial, saraf radialis akan berisiko sedangkan jika mengarah ke

sisi lateral, akan menjepit arteri brachialis dan saraf medianus. 5

Tipe yang jarang terjadi (5%) yakni fraktur suprakondiler tipe

fleksi, yang diakibatkan jatuh dengan posisi siku fleksi. Patahan jenis ini, sangat

menantang untuk direduksi mengingat resiko kerusakan saraf ulnaris.5

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland terdiri atas :

1. Tipe I

Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak bergeser

atau minimal displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior

humeral yang utuh dengan atau tanpa adanya bukti cedera pada tulang.

Posterior fat pad sign merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur.

Fraktur tipe ini sangat stabil karena periosteum sirkumferensial masih

utuh.

2. Tipe II

Gartland tipe II merupakan fraktur suprakondiler disertai pergeseran (> 2

mm), dan korteks bagian posterior kemungkinan masih utuh dan

berfungsi sebagai engsel. Pada gambaran foto rontgen elbow true lateral,

garis anterior humeral tidak melewati 1/3 tengah dari capitelum. Secara

umum, tidak tampak deformitas rotasional pada posisi foto rontgen

AP karena posterior hinge masih utuh.

3. Tipe III

Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa adanya

kontak pada korteks yang cukup. Biasanya disertai dengan ekstensi pada

bidangsagital dan rotasi pada frontal dan/atau bidangtransversal.

Periosteum mengalami robekan yang luas, sering disertai dengan

kerusakan pada jaringan lunak dan neurovaskular. Keterlibatan dari

kolum medialis menyebabkan malrotasi menjadi lebih signifikan pada

bidang frontal dan diklasifikasikan sebagai tipe III. Adanya deformitas

rotasional yang tampak pada gambaran foto rontgen posisi AP

Page 10: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

7

digolongkan pula sebagai fraktur tipe III Modifikasi Klasifikasi Gartland

yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur suprakondiler humerus merupakan

jenis klasifikasi yang paling diterima dan paling banyak digunakan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Barton dkk, Nilai Kappa

terhadap variabilitas intraobserver dan interobserver dari klasifikasi ini

merupakan yang tertinggi dibanding klasifikasi yang digunakan

sebelumnya.11,13

Adapun tambahannya, yakni:

4. Tipe IV

Gartland tipe IV ditandai dengan adanya instabilitas multidireksional.

Hal ini disebabkan terjadinya inkompetensi sirkumferensial dari

periosteal hinge dan terjadinya instabilitas pada fleksi dan ekstensi.

Instabilitas multidireksional ini ditentukan pada saat pasien dalam kondisi

teranestesi saat dilakukan operasi. Instabilitas ini dapat disebabkan oleh

cedera yang terjadi atau bisa juga disebabkan secara iatrogenik, yaitu

pada saat kita mencoba melakukan reduksi.12

2.1.6 Evaluasi Klinis

Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler mengeluh

nyeri di sekitar bahu setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah

bahu atau gerakan aktif bahu yang terbatas atau deformitas yang mungkin

nampak.2,9

Ekstremitas yang cidera harus diperiksa meliputi pemeriksaan

pembengkakan jaringan lunak, laserasi, abrasi ataupun kerutan pada kulit, dan

penilaian ada atau tidaknya patah pada ekstremitas tersebut. Kerutan pada kulit

disebabkan karena fragmen proximal daripada fraktur menusuk otot brachialis

dan menyebabkan tertariknya dermis bagian dalam. Hal ini menandakan

terjadinya kerusakan jaringan lunak. Adanya perdarahan pada luka di daerah

terjadinya fraktur, merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu fraktur

terbuka.14,15

Penting untuk menilai fungsi neurovaskuler setelah dilakukan

inspeksi. Analisis terkini dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cidera

saraf terjadi sebanyak 11,3% pada pasien dengan fraktur suprakondiler.

Pemeriksaan motorik dan sensorik seharusnya dilakukan pada kasus ini.

Pemeriksaan motorik meliputi jari-jari, pergelangan tangan, dan ekstensi ibu jari

Page 11: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

8

(saraf radialis), fleksi index distal interphalangeal dan fleksi thumb

interphalangeal (AIN), thenar strength (medianus), interossei (saraf ulnaris).

Pemeriksaan sensorik meliputi area sensorik saraf radialis (dorsal first web

space), saraf medianus (palmar finger index), saraf ulnaris (palmar little finger).

Apabila diketahui lebih awal, maka defisit neurologi tersebut bersifat sementara

dan akan membaik dalam 6-12 minggu. Penilaian status vaskuler juga merupakan

hal yang penting. Indikator klinis adanya perfusi yang cukup di distal meliputi

pengisian kapiler yang normal, suhu, dan warna kulit (pink). Status vaskular

dapat dikategorikan menjadi 3 kategori: kategori I mengindikasikan bahwa

tangan mengalami perfusi yang baik, dan a. radialis teraba, kategori

II mengindikasikan bahwa tangan memiliki perfusi yang baik, namun a.radialis

tidak teraba, dan kategori III menunjukan bahwa tangan mengalami perfusi yang

sangat buruk dan tidak terabanya a. radialis.Prevalensi terjadinya vascular

compromise pada fraktur suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran

disebutkan mencapai 20 % dari studi yang dilakukan oleh Pirone dkk, 12 %

pada studi yang dilakukan oleh Shaw dkk, dan 19 % pada studi yang dilakukan

oleh Campbell dkk.

Selesai pemeriksaan, siku yang cidera sebaiknya distabilisasi

menggunakan backslab denga posisi fleksi 20-300

untuk mencegah

pergeseranfraktur, mengurangi rasa nyeri, dan mencapai kualitas radiologi yang

baik. Ekstremitas diposisikan dengan posisi yang nyaman. Berikut evaluasi klinis

pada pasien dengan farktur suprakondiler humerus dapat dilihat pada tabel 2.1.

Supraocondylar Humerus Fracture

Description Evaluation Classfication Treatment

Page 12: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

9

Common pediatric

fracture

Extraphyseal fx at thin portion of

bone (1mm)

between distal

humeral fossae

Extension type

most common

Malreduction

leads to deformity

: cubitus varus is

most common

Relatively high

incidence of

neurovascular

injury

Hx : Fall,

pain, will

not move

arm, +/-

deformity

PE : Swelling

+/-

deformity

. Good

neurovas

cular

exam

(esp.

AIN,

radial

n.,pulses)

XR :

Elbow

series.

Lateral

view :

anterior

humeral

line is

anterior

to

capitellu

m center

in

displaced

fxs.

Posterior

fat pad

indicates

fx.

Extension type

(Gartland)

o I :

Nondisplaced

o II : Partially

displaced

(post cortex

intact)

o III :

Dispalced

(no cortical

continuity)

Flexion type (Uncommon)

Type I : Long

arm cast

Types II & III : Closed

reduction &

percutaneus

pinning, 2 or 3

pins (crossed or

divergent)

Medial pins can

injure ulnar

nerve.

Open reduction

for irreducible

fractures

(uncommon)

Explore

pulseless/unper

fused extremity

for artery

entrapment

Complication : Malunion (Cubitus varus ), Neurovascular (Median Nerve/AIN),

radial nerve,brachial artery.

2.1.7 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada siku harus meliputi proyeksi anteroposterior

(AP) dan Lateral. Pada proyeksi true AP, sebaiknya diambil humerus distal

daripada siku, karena lebih akurat dalam mengevaluasi humerus distal dan

meminimalisir kesalahan dalam menentukan angulasi malalignment pada

humerus distal. Pada proyeksi AP, Sudut Baumann atau disebut juga humeral

capitellar angle adalah penanda penting dalam menilai fraktur

suprakondiler (gambar 2.5). Sudut ini dibentuk oleh perpotongan antara garis

pada sumbu humerus dengan garis yang digambarkan sepanjang lempeng

pertumbuhan kondilus lateral dari siku. Sebaiknya, sudut Baumann pada siku

kontralateral juga diambil sebagai perbandingan. Fragmen distal biasanya

berotasi medial atau internal dan deviasi varus. Kisaran normal sudut ini antara

9-26o. Penurunan sudut Baumann adalah penanda jika fraktur dalam keadaan

varus.

Page 13: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

10

Beberapa penulis tidak mengadvokasi penggunaan sudut Bauman karena

kesulitan dalam mengidentifikasi lempeng pertumbuhan capitellum. Sudut

Baumann merupakan salah satu indikator keberhasilan reduksi yang telah

dikerjakan dan berhubungan dengan carrying. angle yang mungkin terjadi.

tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak saat awal dilakukan reduksi

sampai hasil akhir, dan tidak dipengaruhi oleh pronasi maupun fleksi dari siku.

Formula yang umum digunakan adalah perubahan 5 derajat dari sudut Baumann

berhubungan dengan perubahan carrying angle sebanyak 2 derajat.2,3

Gambar 2.5 Baumann’s Angle

Sudut humeral ulnar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan

diafisis humerus dan ulna. Sudut ini berguna untuk menentukan carrying angle

Medial epicondylar epiphyseal angle, adalah alternatif dalam pemeriksaan AP

selain sudut Baumann. Sudut ini dibentuk oleh perpotongan sumbu humerus

dengan garis sepanjang medial epicondylar epiphyseal plate. Baik sudut

Baumann dan medial epicondylar epiphyseal angleberguna untuk menentukan

kecukupan reduksi fraktur suprakondiler. Pada proyeksi lateral, sebaiknya

humerus diambil sesuai posisi anatomis dan tidak eksternal rotasi. Pada proyeksi

ini, dapat dilihat anterior humeral lineyaitugaris yang memotong pusat osifikasi

capitellum dengan bagian anterior humerus. Pada fraktur suprakondiler tipe

ekstensi, capitellum terletak posterior dari garis ini. Fat-pad sign, sebagai suatu

tanda adanya efusi intraartikuler dapat juga terlihat dalam proyeksi lateral

(gambar 2.8).2,3,5

Page 14: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

11

Gambar 2.6 (kiri) Humeral Ulnar Angle; (kanan) Metaphyseal Diaphyseal Angle

Pada proyeksi lateral juga ditemukan teardrop atau bayangan

radiografis yang dibentuk oleh batas posterior fossa coronoid pada bagian

depan, batas anterior fossa olecranon pada bagian belakang, dan batas superior

pusat osifikasi capitellar pada bagian bawah. Selain itu ditemukan pula gari

coronoid dan sudut diafisis-condylar. Garis coronoid adalah garis yang

bersinggungan antara anterior prosesus coronoid dengan anterior kondilus

lateralis. Sedangkan nilai normal sudut diafisis condylar adalah 30-400

(gambar

2.7)

Gambar 2.7 (kiri-kanan): Teardrop, Sudut diafisis condylar, Garis

anterior humeral, garis coronoid.

Hasil proyeksi oblique mungkin berguna untuk melihat pergeseran

fraktur yang minimalis. Dapat pula membantu membedakan fraktur

Page 15: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

12

suprakondiler dengan kondilus yang tersembunyi, yang tidak dapat terlihat pada

proyeksi AP dan lateral. Proyeksi oblique tidak rutin dilakukan dalam

pemeriksaan cidera siku.

2.1.9 Tatalaksana

2.1.9.1 Manajemen awal

Fraktur suprakondiler yang mengalami pergeseran memerlukan

penanganan awal berupa pemasangan splint, dengan siku berada dalam posisi

yang nyaman, yaitu 20° sampai 40° dalam posisi fleksi dan

hindaripemasangan splint yang terlalu ketat.2,5

Fleksi dan ekstensi yang

berlebihan akan menyebabkan terjadinya gangguan pada aliran vaskular

dan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan kompartemen. Namun, perlu

dievaluasi lebih lanjut oleh karena sering terjadi kekakuan sendi bahu dan

kerusakan physis. Adapun pertimbangan penatalaksaan fraktur suprakondiler

adalah bagaimana mencegah kerusakan seperti sindrom kompartemen dan

mengurangi komplikasi seperti cubitus varus dan kekakuan.10

Dameron mencatat,

berdasarkan jenis fraktur, terdapat 4 macam penanganan yakni: (1) side-arm

skin traction, (2) overhead skeletal traction, (3) closed reduction and casting

with or without percutaneous pinning, dan (4) open reduction and internal

fixation.5

2.1.9.2 Penanganan dengan Traksi

Traksi sebagai terapi definitif bagi fraktur suprakondiler merupakan salah

satu pilihan terapi yang sudah lama digunakan. Kelebihan traksi, baik skin

maupun skeletal traksi diantaranya aman karena jarang terjadi iskemik

Volkmann, hasil yang baik karena jarang terjadi deformitas varus dan valgus,

dapat diaplikasikan untuk fraktur yang baru terjadi maupun yang sudah beberapa

hari, baik stabil maupun tidak stabil.10

Namun, kelemahan penanganan ini adalah

lamanya masa perawatan di rumah sakit yang berkisar antar 14 sampai 20 hari.

Pada penelitian uji klinis acak yang dilakukan oleh Kuzma, yang

membandingkan antara skin traction dengan skeletal traction dalam menangani

fraktur supracondylar humerus, bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dalam

Page 16: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

13

hal gambaran klinis, mobilitas bahu, dan prevalensi terjadinya deformitas

cubitus varus. Namun, skin traction memiliki kelebihan yakni mudah dan

tidak mempersiapkan peralatan seperti ruang operasi ataupun bius.19

Penelitian yang dilakukan oleh Gadgil dkk, bahwa skin traction efektif dan

aman untuk dilakukan pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun.20

2.1.9.3 Reduksi Tertutup Dengan Penggunaan Casting Dengan atau Tanpa

Fiksasi Pinning Perkutan

Penggunaan casting digunakan untuk patah tulang dengan pergeseran

minimal. Awalnya, reduksi tertutup dan penggunaan casting merupakan pilihan

untuk fraktur yang mengalami pergeseran, karena didapatkan hasil yang baik

pada 90% pasien dan tidak ditemukan masalah vaskularisasi atau malunion.10

Apabila ditemukan pergeseran fraktur yang sedang disertai adanya hematom

yang terfixir dengan fascia antecubital yang intak, fleksi siku cenderung

akan mengakibatkan iskemik Volkmann. Menurut Rang, fiksasi casting

adalah metode lampau merujuk pada dua kasus kontraktur Volkmann komplit

tipe lambat.10

Reduksi tertutup dan fiksasi pinning merupakan pilihan terapi fraktur

suprakondiler yang paling banyak digunakan. AAOS menyarankan reduksi

tertutup dan fiksasi pinning pada pasien dengan fraktur suprakondiler humerus

tertutup yang mengalami pergeseran (Gartland tipe II dan III, dan fleksi

displaced) dengan kekuatan rekomendasi sedang. Beberapa penelitian yang

menyokong rekomendasi tersebut menyebutkan bahwa secara statistik,

penanganan dengan fiksasi pinning lebih baik dibanding penanganan non

operatif dalam hal mencegah cubitus varus dan kehilangan gerakan,

namun lebih berisiko menimbulkan infeksi. Kesimpulannya, teknik closed

reduction and percutaneous pinning efektif untuk menangani fraktur

suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran.21 Pasien dalam pengaruh

anestesi umum, dengan posisi supinasi, palpasi batas, kemudian cek arah

pergeseran tulang. Lakukan traksi dengan fleksi lengan atas sebesar 100.

Koreksi pergeseran lateral. Dorong olecranon ke arah anterior untuk

mengoreksi pergeseran posterior, kemudian fleksi siku sebesar 400

hingga

Page 17: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

14

olecranon berada anterior terhadap epikondilus. Rotasi eksternal pada kedua

lengan atas untuk mengoreksi deformitas rotasi internal. Kedua lengan atas

semestinya rotasi dalam besaran yang sama. Apabila pergeseran ke arah medial,

pronasi lengan bawah untuk mengunci patahan, begitu pula sebaliknya. Tahan

posisi patahan yang telah tereduksi atau cek dengan menggunakan C -Arm

(Gambar 2.8). Masukkan 2 buah K-Wire 1,4 mm menggunakan teknik Judet,

dimana satu pin dimasukkan menuju kondilus lateralis sedangkan pin kedua

menuju korteks medialis.10

Selain dalam posisi supinasi, reduksi tertutup dapat

dilakukan dalam posisi pronasi (gambar 2.9). Gaya gravitasi cenderung

mempertahankan posisi pada saat pin dimasukkan. Kriteria reduksi yang dapat

diterima adalah restorasi dari sudut Baumann (> 10°) pada foto rontgen posisi

AP, gambaran kolummedial dan lateral yang utuh pada foto rontgen posisi

oblique, dan garis anterior humeral melewati 1/3 tengah dari capitelum pada

foto rontgen posisi lateral. Malalignment rotasional dapat mengganggu stabilitas

fraktur, jadi bila terdapat malrotasi, harus dilakukan pemeriksaan stabilitas

reduksi dan kemungkinan penggunaan fiksasi ketiga dengan pinning. Reduksi

dari fraktur diperoleh dengan penggunaan dua atau tiga Kirschner wire.

Dilakukan imobilisasi dengan posisi fleksi 40° sampai 60°, tergantung dari

besarnya pembengkakan dan status vaskular. Jika terdapat celah pada lokasi

fraktur atau bila fraktur tidak bisa direduksi, dan terasa seperti karet saat

melakukan reduksi, kemungkinan terjadi penjepitan pada nervus medianus dan

atau arteri brachialis pada lokasi fraktur dan harus dilakukan reduksi terbuka.

Gambar 2.8 Fat Pad Sign

Page 18: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

15

Gambar 2.9 Langkah-Langkah Reduksi Tertut

Gambar 2.10. Posisi Pronasi Pasien Saat Dilakukan Pinning Perkutan

Penelitian yang dilakukan oleh Swenson, Casiano, dan Flynn dengan

menggunakan dua pin menyilang. Penelitian Arino dkk merekomendasikan

penggunaan duapin lateral. Fiksasi pin medial dan lateral lebih stabil dibanding

dengan hanya fiksasi lateral saja, namun tidak direkomendasikan jika terdapat

edema atau cidera pada saraf ulnaris. Untuk jenis kominutif atau fraktur yang

tidak stabil, bisa digunakan pin medial dan lateral. Untuk mencegah

komplikasi cidera saraf pada saat menggunakan pin medial, dilakukan insisi

kecil pada epikondilus medial, pin di angulasikan kira-kira 400

ke arah

superiordan 100 ke arah posterior. Pin harus diteruskan hingga mencapai

korteks agar fiksasinya solid.

Penelitian pada fraktur suprakondiler humerus tertutup tipe fleksi yang

bergeser, yang dilakukan oleh Fowles dan Kassab, mencatat bahwa umum

jika terdapat lesi saraf ulnaris. Sulit pula untuk dilakukan reduksi dan hasilnya

lebih buruk dibanding tipe ekstensi.5

Page 19: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

16

2.1.9.4 Reduksi Terbuka

Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada fraktur

terbuka, gagal setelah reduksi tertutup, dan fraktur yang berhubungan dengan

gangguan vaskularisasi. Pada masa lalu, reduksi terbuka dikhawatirkan

menyebabkan terjadinya kekakuan sendi, myositis osifikan, jaringan parut

yang mengganggu kosmetik dan cedera neurovaskular iatrogenik. Tetapi,

beberapa penelitian menunjukkan rendahnya komplikasi yang disebabkan oleh

reduksi terbuka. Penelitian yang dilakukan oleh Weiland dkk, melaporkan

bahwa 52 fraktur yang mengalami pergeseran, yang telah direduksi terbuka

melalui pendekatan lateral, 10% mengalami gangguan pergerakan sendi tingkat

sedang, namun tidak ada infeksi, nonunion, atau myositis osifikan.2,5

2.1.10 Komplikasi

2.1.10.1 Cidera Saraf

Cidera saraf adalah komplikasi yang sering muncul berkaitan dengan

fraktur displaced suprakondiler, dengan prevalensi berkisar antara 5-19%. Pada

tahun 1995, Campbell dkk, menemukan kerusakan saraf medianus dalam 52%

kasus dan kerusakan saraf radialis sebanyak 28%, namun penelitian yang

dilakukan oleh Spinner dan Schreiber melaporkan bahwa yang paling sering

mengalami cedera pada fraktur suprakondiler humerus tipe ekstension adalah

saraf interosseusanterior yang ditandai dengan paralisis fleksor longus ibu jari

dan jari telunjuk tanpa disertai perubahan sensorik.2,5

Kerusakan pada saraf medianus berkaitan dengan pergeseran fragmen

distal ke arah posteromedial yang ditandai dengan sensoric loss pada distribusi

persarafan nervus medianus, disertai dengan motoric loss pada otot-otot yang

mendapat inervasi dari saraf medianus. Penyembuhan fungsi sensorik hingga 6

bulan sedangkan fungsi motorik membaik dalam waktu 7-12 minggu. Indikasi

eksplorasi adalah fungsi saraf terganggu oleh karena fraktur terbuka, setelah

dilakukan reduksi tertutup pinning perkutan.

Page 20: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

17

2.1.10.2 Cidera Pembuluh Darah

Prevalensi terjadinya insufiensi pembuluh darah berkaitan dengan fraktur

suprakondiler dilaporkan berkisar antara 5-12%. Hilangnya pulsasi arteri

radialisterjadi pada pasien dengan fraktur suprakondiler tipe III sekitar 10% -

20%. Hilangnya pulsasi arteri radialis bukan merupakan suatu

kegawatdaruratan, melainkan urgensi. `Hal ini dikarenakan, sirkulasi kolateral

masih dapat memberikan perfusi yang memadai bagi extremitas tersebut.

Bila ada pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan fraktur

suprakondiler yang disertai dengan pergeseran yang berat disertai gangguan

vaskular, dilakukan splinting pada siku dengan posisi siku fleksi 20° - 40°.

Jika pulsasi sebelum dilakukan reduksi masih teraba, dan kemudian menghilang

setelah dilakukan reduksi dan fiksasi dengan pinning, maka reduksi terbuka

harus segera dilakukan. Reduksi terbuka melalui pendekatan anterior karena

melalui pendekatan tersebut, kita dapat mengevaluasi struktur vital yang

beresiko mengalami penjeratan diantara fragmen fraktur. Jika arteri berhasil

dibebaskan dari penjeratan diantara fragmen fraktur, spasme yang terjadi pada

arteri akan dapat dikurangi, caranya dengan pemberian lidocaine,

pemanasan, dan dilakukan observasi selama 5-15 menit.2,5

Indikasi dilakukan rekonstuksi vaskuler adalah 1). denyutan tidak teraba

setelah reduksi, dengan tanda-tanda capillary refill time menurun, tekanan

kompartemen meningkat, atau pallor. 2) tidak ada denyutan pada pemeriksaan

Doppler di daerah ekstremitas noniskemik.24,25

2.1.10.3 Deformitas

Deformitas berupa angulasi pada humerus distal sering terjadi pada pasien

dengan fraktur suprakondiler. Keterbatasan remodeling yang terjadi pada

humerus distal dikarenakan physis bagian distal hanya berkontribusi sebesar

20% terhadap pertumbuhan tulang humerus2,5,10

. Penyebab yang paling

masuk akal terhadap terjadinya deformitas tersebut pada fraktur suprakondiler

adalah terjadinya malunion dibandingkan dengan terjadinya growth arrest.

Remodeling dapat terjadi pada bagian posterior, namun tidak dapat terjadi

angulasi pada bidang koronal, sehingga mengakibatkan terjadinya deformitas

Page 21: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

18

cubitus varus atau valgus. Deformitas cubitus varus adalah mengenai

kosmetik bukan fungsional atau kecacatan, deformitas yang terjadi adalah

ekstensi daripada siku. Pembedahan seperti teknik lateral closing-wedge

osteotomy, dome rotational osteotomy, dan step-cut lateral closing-wedge

osteotomy juga merupakan suatu indikasi kosmetik. Namun, osteotomy

tersebut berkaitan dengan tingkat komplikasi yang signifikan. Seperti yang

dilaporkan oleh Labelle dkk, yang menyebutkan bahwa 33% pasien mengalami

loss of correction dan atau disertai cidera saraf. Sedangkan deformitas cubitus

valgus menyebabkan kehilangan fungsional ekstensi dan paralisis saraf

tardyulnaris.2,5

.Cubitus varus dapat dicegah dengan menjaga agar garis Bauman

tetap utuh saat melakukan reduksi dan selama masa penyembuhan. Tiga

penyebab utama terjadinya deformitas berupa cubitus varus ataupun cubitus

valgus adalah (1) ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil reduksi tidak

acceptable pada gambaran radiologis, (2) Ketidakmampuan untuk

menginterpretasikan hasil radiologis yang baik karena kurangnya pengetahuan

terhadap patofisiologi dari fraktur tersebut, (3) Loss of reduction.

Penanganan terhadap deformitas cubitus varus di masa lalu hanya

berdasarkan pada permasalahan kosmetik saja, namun terdapat beberapa

masalah yang timbul jika cubitus varus tersebut tidak ditangani, yaitu dapat

berupa meningkatnya resiko terjadinya fraktur pada condylus lateral, nyeri,

tardy posterolateral rotatory instability, dimana gejala-gejala tersebut

merupakan suatu indikasi untuk dilakukannya operasi rekonstruksi dengan cara

melakukan osteotomy pada suprakondiler humerus.

2.1.10.4 Kekakuan dan Myositis Ossificans

Loss of motion jarang terjadi pada pasien fraktur suprakondiler yang

direduksi secara anatomis. Kehilangan fungsi fleksi dapat terjadi dengan

fragmen distal angulasi ke arah posterior. Henrikson dkk, melaporkan kurang

dari 5% pasien dengan suprakondiler berkaitan dengan kehilangan fungsi fleksi

atau ekstensi mencapai 50

jika dibandingkan dengan sisi yang tidak cidera.

Walaupun manipulasi dan terapi fisik dapat memicu terjadinya myositis

ossificans, namun komplikasi tersebut sangat jarang.2,5

Page 22: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

19

2.1.10.5 Sindrom Kompartemen

Sindrom kompartemen pada fraktur suprakondiler diperkirakan antara 0,1

% - 0,3 %. Sindrom kompartemen forearm dapat terjadi dengan atau tanpa cidera

arteri brachialis dan teraba atau tidaknya nadi radialis. Diagnosis sindrom

kompartemen berdasarkan lima tanda klasik yakni pain, pallor, pulselessness,

paresthesia, dan paralysis. Selain itu, adanya tahanan terhadap gerakan pasif jari

dan nyeri progresif setelah fraktur.Blakemore dkk menemukan bahwa prevalensi

terjadinya sindrom kompartemenpada forearm adalah 3 berbanding 33 pada

kasus fraktur suprakondiler disertai dengan fraktur pada radius. Battaglia dkk,

menemukan bahwa ambang posisi untuk dapat terjadinya peningkatan tekanan

intrakompartement adalah posisi fleksi elbow, antara 900– 120

0. Hal ini

menentukan pentingnya untuk melakukan imobilisasi pada siku dengan sudut

fleksi kurang dari 900

Skaggs dalam penelitian yang dilakukannya menunjukan

bahwa walaupun arteri radialis masih teraba dan capillary refill time masih

normal, namun jika disertai terjadinya echimosis dan pembengkakan yang

hebat, ancaman terhadap terjadinya suatu compartment syndrome harus tetap

diwaspadai. Perhatian khusus harus dilakukan pada fraktur suprakondiler yang

disertai cedera pada nervus medianus, karena pada pasien yang mengalami

cedera pada nervus tersebut, pasien tersebut tidak dapat merasakan terjadinya

nyeri pada kompartement bagian volarnya.

2.1.10.6 Infeksi Pin Track

Rerata terjadinya infeksi pin track pada anak-anak yang

ditangani dengan fiksasi menggunakan percutaneus Kirschner wire memiliki

rentang antara 1% - 21%. Rerata terjadinya infeksi pin track yang

berhubungan dengan terjadinya fraktur suprakondiler humerus disebutkan

antara 1% - 6,6.

2.2 Neglected Fracture

2.2.1 Definisi Fraktur

Page 23: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

20

Fraktur adalah keadaan terputusnya kontinuitas tulang, dapat berupa

patahan, retakan, runtuhan, maupun pecahan dari korteks tulang. Dapat

disebabkan oleh peristiwa trauma (kekerasan), stress berulang, atau kelainan pada

tulang (peristiwa patologis). Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa

trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan

tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan.Trauma

tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah

fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada

klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.1

2.2.2 Neglected Fracture

Neglected fraktur adalah Suatu fraktur dengan atau tanpa dislokasi yang

ditangani dengan tidak semestinya sehingga menghasilkan keterlambatan

penanganan atau kondisi yang lebih buruk dan bahkan kecatatan. Klasifikasi

neglected fracture berdasarkan beratnya kasus dibagi menjadi 4 derajat1 :

1. Neglected derajat 1

Pasien datang saat awal kejadian maupun sekarang, penanganannya tidak

memerlukan tindakan operasi dan hasilnya sama baik.

2. Neglected derajat 2

Pasien datang saat awal kejadian, penanganan tidak memerlukan tindakan

operasi, sedangkan saat ini kasusnya menjadi lebih sulit dan memerlukan

tindakan operasi. Setelah pengobatan hasilnya baik.

3. Neglected derajat 3

Keterlambatan menyebabkan kecacatan yang menetap bahkan setelah

dilakukan operasi. Jadi pasien datang saat awal maupun sekarang tetap

memerlukan tindakan operasi dan hasilnya kurang baik.

4. Neglected derajat 4

Page 24: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

21

Keterlambatan di sini sudah mengancam nyawa atau bahkan menyebabkan

kematian pasien. Pada kasus ini penanganannnya memerlukan tindakan

amputasi.

Pembagian derajat neglected fracture berdasarkan waktu, yaitu :

Derajat I : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari – 3 minggu

Derajat II : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu – 3 bulan

Derajat III : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan – 1 tahun

Derajat IV : fraktur yang telah terjadi lebih dari 1 tahun

Sedangkan fraktur yang tidak ditangani dalam waktu 72 jam dari trauma dianggap

sebagai old fracture.

Page 25: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

22

BAB III

PENYAJIAN KASUS

3.1 Identitas

a. Nama : An. N.G.A

b. Jenis Kelamin : Perempuan

c. Usia : 4 tahun

d. Agama : Hindu

e. Pekerjaan : Pelajar

f. Alamat : Br. Tibubeneng Canggu, Kuta Utara.

3.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama: Kekakuan pada siku lengan kiri

b. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien dibawa ke Poliklinik Ortopedi,

mengeluh kaku pada siku kiri. Pasien memiliki riwayat jatuh dari tempat

tidur (12/2018) .Pasien sedang bermain di tempat tidur, tiba-tiba terpeleset

dan jatuh dengan siku kirinya terbentur ke lantai. Pasien awalnya berobat

ke tukang urut tulang, nyeri membaik namum kekakuan tidak hilang.

Pasien dirujuk dari Rumah Sakit Umum Badung oleh Ahli Bedah Ortopedi

dengan diagnosis Malunion Supracondyler Left Humerus.

c. Riwayat Penyakit Dahulu: -

d. Riwayat Penyakit Keluarga: -

3.3 Pemeriksaan Fisik

a. Tanda Vital

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6

Frekuensi Nadi : 88 x/menit

Frekuensi Napas : 24 x/menit

Suhu : 36,4o C

b. Status Generalis

Kepala : normosefali (+), jejas (-), hematom (-), nyeri tekan (-)

Page 26: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

23

Mata : CA (-/-), SI (-/-)

THT : Epistaksis(-/-), Otorheae (-/-), Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)

Thorax : simetris (+), dada tertinggal saat inspirasi (-).

Jantung : S1, S2 reguler, G (-), M (-)

Paru : suara nafas vesikular (+/+), Wh (-/-), Rh (-/-)

Abdomen : Datar (+), BU (+), timpani (+), soepel (+), nyeri tekan (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, arteri dorsalis pedis kuat

angkat

c. Status Lokalis

Regio Brachialis Sinistra

Look : Deformitas (-), swelling (-), hematom (-)

Feel : Nyeri tekan (+) sekitar elbow, radialis artery (+) teraba

(+), CRT < 2", SaO2 99%, sensation (+) normal

Move : Active ROM elbow 0/80

Active ROM wrist 40/50

Active ROM MCP-IP 0/90

Thumb extension (+), OK sign (+), Wrist extension (+)

A B

Page 27: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

24

Gambar 3.1 A. Foto klinis regio brachii sinistra. B. ROM terbatas fleksi.

3.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Hasil Laboratorium

WBC : 9,25 PPT : 12,9 GDS : 91 Na : 138

HGB : 13,76 INR : 1,03 BUN : 6,70 K : 4,31

PLT : 343,50 APTT : 30,7 SC : 0,46

b. Radiologi

Gambar 3.2 Foto Klinis a/r antebrachii sinistra.

Page 28: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

25

3.5 Resume

Pasien anak perempuan berusia 4 tahun dengan keluhan utama kekakuan

pada sendi lengan kiri sejak 2 bulan SMRS. Riwayat terjatuh dari ranjang dengan

ketinggian 1 meter saat sedang bermain dengan posisi siku kiri terbentur ke

lantai.

Pemeriksaan lokalis regio brachii sinistra didapatkan nyeri tekan, neurovaskular

distal dalam batas normal dan range of movement terbatas fleksi. Pemeriksaan

penunjang berupa rontgen brachii AP/Lateral sinistra didapatkan adanya garis

fraktur pada 1/3 distal os humerus sinistra, displaced (+), mengesankan malunion,

dan disposisi epifisis dari internal condylus os humerus sinistra.

3.6 Diagnosis

Malunion Left Supracondylar Humerus

3.7 Penatalaksanaan

Rencana dilakukan Closed Wedge Osteotomy - ORIF Pinning.

3.9 Prognosis

a. Ad vitam : bonam

b. Ad fungtionam : dubia ad bonam

c. Ad Sanactionam : dubia ad bonam

A B

Page 29: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

26

Gambar 3.4 Foto Rontgen Post Operasi.

Gambar 3.5 Foto Klinis post op.

Page 30: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

27

Gambar 3.6 Foto klinis 4 bulan post op.

Page 31: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

28

BAB IV

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pasien anak perempuan berusia 4 tahun dengan keluhan utama kekakuan

pada sendi lengan kiri sejak 2 bulan SMRS. Riwayat terjatuh dari ranjang dengan

ketinggian 1 meter saat sedang bermain dengan posisi siku kiri terbentur ke

lantai.

Pemeriksaan lokalis regio brachii sinistra didapatkan nyeri tekan, neurovaskular

distal dalam batas normal dan range of movement terbatas fleksi. Pemeriksaan

penunjang berupa rontgen brachii AP/Lateral sinistra didapatkan adanya garis

fraktur pada 1/3 distal os humerus sinistra, displaced (+), mengesankan malunion,

dan disposisi epifisis dari internal condylus os humerus sinistra.

Diagnosis pasien adalah Malunion Left Supracondylar Humerus. Tatalaksana

yang diberikan berupa membersihkan kalus untuk membentuk fraktur site dan

ORIF dengan pemasangan K-wire sebanyak dua buah pada epikondilus

medialis dan epikondilus lateralis .Setelah itu dilakukan pemasangan

splinting pada bagian dorsal pada arm dan forearm. Kemudian dilakukan

pemasangan elastis verban dan armsling pada posisi 200- 40

0 yang bertujuan

untuk imobilisasi. splinting dipertahankan selama 3 minggu.

Page 32: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Salter RM. Spesific Fracture & Joint Injuries in Children. Textbook of

Disorders & Injuries of the Muskuloskeletal Sytem. 3rd

Edition.

Lippincott Wiliams& Wilkins 1999

2. Skaggs DL, Flynn JF: Supracondylar Fracture of the Distal Humerus.

In: Beaty JH, Kasser JR, (editors) Rockwood and Wilkins Fractures in

Children, 7th Edition Vol. 3. Philadelphia, Lippincott William and

Wilkins; 2010. 487-531.

3. Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of Fractures Third Edition.

Lippincott Williams & Wilkins. 2006.

4. Barel DP, Hanel DP. Fractures of The Distal Humerus. In: Wolfe SW,

Hotchkiss RN, Pederson WC, Kozin SH. Green’s Operative Hand Surgery

Sixth Edition. Churcill Livingstone Elsevier. 2010.

5. Beaty JH, Kasser JR.Supracondylar Fracture of the Distal Humerus.

In: Campbell, 11th Edition; 2007.

6. Farnsworth CL, Silva PD,Mubarak SJ. Etiology of supracondylar

humerus fracture. Journalof Pediatric Orthopaedic. 1998;18:38-42

7. Omid R, Paul D, Choi, Skaggs D. Curent concepts review.

Supracondylar Humeral

Fractures in Children. Journalof Bone Joint Surgery America,

2008;90:1121-32

8. Brubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fracture of The

Distal Humerus.

Current Review Musculoskeletal Medicine 2008. 1:190-196

9. Price CT, Flynn JM. Management Of Fractures. In: Morrissy RT,

Weinstein SL. Lovell & Winter’s Pediatric Orthopaedics, 6th Edition.

2006. Vol.2. 33. 1449-1452

10. Rang, M. Supracondylar Fractures. In: Children’s Fractures 2nd

Edition. Lippincott Company. 1983. 154-169

Page 33: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

30

11. Gartland JJ. Management of supracondylar fractures humerus in

children. Surgery Gynecology Obstetric. 1959;109(2):145-54

12. Barton KL, Karminsky CK, Green DW, Shean DJ, Skaggs DL.

Reliability of a modified Gartland classification of supracondylar

humerus fractures. Journal of Pediatric Orthopaedic. 2001;21:27-30.

13. Leich KK, Kay RM, Femino JD, Tolo VT,Storer SK, Skagss DL.

Treatment of multidirectionally unstable supracondylar humeral fractures

in children. A modified Gartland type – IV fracture. Journalof Bone Joint

Surgery America .2006. 88. P 980- 985.

14. Murray AW, Robb J. Supracondylar Fractures Of The Humerus in

Children. Elsevier.2012. 8:119-132

15. Srubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fractures of the

Distal Humerus.

Current Review Musculoskeletal Medicine. 2008. 1:190-196

16. Skaggs DL. Elbow fractures in children: Diagnosis and

Management. Journalof America Academy of Orthopaedic Surgery.

1997;5(6);303-12

17. Skaggs D, Pershad J. Pediatric elbow trauma. Pediatric

Emergency Care. 1997;13(6);425-34

18. Otsuka NY, Kasser JR. Supracondylar fractures of the humerus in

children. Journal of American Academy of Orthopaedic Surgery.

1997;5(1); 19-26

19. Kuzma J. A Comparison of Skin vs Skeletal Traction in the Management

of Childhood Humeral Supracondylar Fractures: Randomized Clinical

Trial. The International Journal of Orthopaedic Surgery. 2014. Vol 22.

No.1 Available At https://ispub.com/IJOS/22/1/14816

20. Gadgil A, Hayhurst C, Maffulli N, Dwyer JSM. Elevated, Straight-arm

traction for supracondylar fracture of the humerus in children. Journal of

bone and joint surgery.

2005. Vol 87B; 82-87.

Page 34: LAPORAN KASUS MALUNION LEFT SUPRACONDYLAR HUMERUS

31