laporan kasus d.eksfoliatif
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
DERMATITIS EKSFOLIATIF
Oleh:
Tita Luthfia S. 0810710107
Kirandip Singh 0810714015
Pembimbing:
dr. L. Kusbandono, Sp.KK
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
RSUD. DR. ISKAK TULUNGAGUNG
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dermatitis eksfoliatif yang juga dikenal sebagai eritroderma adalah suatu
penyakit kulit dengan gambaran dermatologis berupa eritema difusa dan skuama yang
meliputi lebih dari 90% area permukaan kulit (Murtiastutik et al., 2009). Insiden
dermatitis eksfoliatif berdasarkan beberapa studi bervariasi antara 0,9-71 tiap 100.000
pasien dermatologi di Amerika Serikat. Rasio kejadian dermatitis eksfoliatif pada laki-
laki lebih tinggi dari pada wanita yaitu 2:1 hingga 4:1. Dermatitis eksfoliatif lebih banyak
terjadi pada rentang usia antara 41-61 tahun (Grant-Kels et al., 2008). Sedangkan data
di RS dr. Soetomo Surabaya, melaporkan jumlah pasien dengan dermatitis eksfoliatif
sebanyak 30 orang (1,2%) dari seluruh penderita rawat inap pada tahun 2005-2007.
Perbandingan laki-laki dan perempuan 1,7:1 dengan rentang usia terbanyak ≥ 65
tahun. Dermatitis seboroik sebagai penyebab terbanyak (43,3%), diikuti dengan alergi
obat (26,7%), psoriasis vulgaris (3,3%), dermatitis kronis (3,3) dan pemfigus foliaseus
(3,3%).
Penyebab dermatitis eksfoliatif sering kali tidak diketahui atau idiopatik,
beberapa teori menyebutkan dermatitis eksfoliatif dikaitkan dengan reaksi
hipersensitivitas terhadap obat, penyakit kulit, dan penyakit sistemik, termasuk
keganasan (Djuanda et al., 2008). Gejala kinis pasien dengan dermatitis eksfoliatif
awalnya berupa eritema, yang sering disertai pruritus, terutama di bagian kepala,
ekstremitas, dan di daerah kelamin. Beberapa hari atau minggu kemudian eritema
menyebar hingga sebagian besar permukaan tubuh. Setelah itu terjadi pengelupasan
kulit atau munculnya skuama tebal yang menutup seluruh permukaan eritema. Proses
eksfoliatif juga dapat melibatkan kulit kepala dan distrofi kuku (Sehgal et al., 2004).
Dermatitis eksfoliatif merupakan penyakit kulit yang jarang terjadi namun
sebagai dokter umum harus mampu mengenali dan mengobati dermatitis eksfoliatif
dengan tepat. Pendekatan terhadap pengobatan harus mencakup mencari faktor
resiko, penghentian obat penyebab, dan mengidentifikasi adanya keganasan. Oleh
karena itu, dalam laporan kasus ini akan dibahas lebih lanjut mengenai dermatitis
eksfoliatif pada pasien laki-laki usia 63 tahun, khususnya mengenai gejala, diagnosis,
dan penatalaksanaannya.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Memahami definisi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis dan gambaran klinis
dermatitis eskfoliatifa
2. Untuk mengetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan dermatitis
eskfoliatifa
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari pembuatan laporan kasus ini antara lain :
1. Dapat memberikan pengetahuan tambahan mengenai dermatitis eskfoliatifa
2. Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosa serta melakukan
penatalaksanaan dermatitis eskfoliatifa dalam praktek klinis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Dermatitis Eksfoliativa
Dermatitis eksfoliatif yang juga dikenal sebagai eritroderma adalah suatu
penyakit kulit dengan gambaran dermatologis berupa eritema difusa dan skuama yang
meliputi lebih dari 90% area permukaan kulit (Murtiastutik et al., 2009). Dermatitis
eksfoliatif merupakan penyakit kulit yang jarang terjadi namun sebagai dokter umum
harus bisa mampu mengenali dan mengobati dermatitis eksfoliatif dengan
tepat. Penyebabnya sering kali tidak diketahui atau idiopatik, beberapa teori
menyebutkan dermatitis eksfoliatif dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas terhadap
obat, penyakit kulit, dan penyakit sistemik, termasuk keganasan (Grant-Kels et al.,
2008). Pendekatan terhadap pengobatan harus mencakup mencari faktor resiko,
penghentian obat penyebab, dan mengidentifikasi adanya suatu keganasan.
2.2 Epidemiologi
Insiden dermatitis eksfoliatif berdasarkan beberapa studi sangat bervariasi
antara 0,9-71 tiap 100.000 pasien dermatologi di Amerika Serikat. Sehgal dan Srivasta
(1986) pada sebuah penelitian prospektif di India melaporkan kejadian dermatitis
eksfoliatif adalah 35 per 100.000 pasien dermatologi, Rasio kejadian penyakit
dermatitis eksfoliatif pada laki-laki lebih tinggi dari pada wanita yaitu 2:1 hingga 4:1.
Dermatitis eksfoliatif lebih banyak terjadi pada rentang usia antara 41-61 tahun. Lebih
dari 50% kasus dermatitis eksfoliatif dilatarbelakangi oleh penyakit yang mendasarinya
dimana psoriasis merupakan penyakit terbanyak yang dapat mendasari terjadinya
dermatitis eksfoliatif yakni sebesar 25% kasus. Laporan terakhir menyatakan 87
dari160 kasus dermatitis eksfoliatif didasari oleh psoriasis berat (Grant-Kels et al.,
2008). Sedangkan data di RS dr. Soetomo Surabaya, melaporkan jumlah pasien
dengan dermatitis eksfoliatif sebanyak 30 orang (1,2%) dari seluruh penderita rawat
inap pada tahun 2005-2007. Perbandingan laki-laki dan perempuan 1,7:1 dengan
rentang usia terbanyak ≥ 65 tahun. Dermatitis seboroik sebagai penyebab terbanyak
(43,3%), diikuti dengan alergi obat (26,7%), psoriasis vulgaris (3,3%), dermatitis kronis
(3,3) dan pemfigus foliaseus (3,3%).
2.3 Etiologi
Penyebab paling umum dari dermatitis eksfoliatif adalah pada pasien dengan
riwayat penyakit kulit sebelumnya (52%), hipersensitif terhadap obat (15%), keganasan
(5%) yakni cutaneous T cell lymphoma (CTCL) atau sezary syndrome. Sekitar 20%
dari kasus dermatitis eksfoliatif tidak dicetuskan oleh penyakit yang mendasarinya dan
diklasifikasikan sebagai idiopatik (Earlia et al., 2007; Grant-Kels et al., 2008).
Penyakit kulit yang dilaporkan menyebabkan dermatitis eksfoliatif antara lain
psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dan pityriasis rubra
pilaris. Dermatosis lain yang terkait dengan dermatitis eksfoliatif dapat dilihat pada
tabel berikut :
Selain dicetuskan oleh penyakit, dermatitis eksfoliatif juga dapat ditimbulkan
akibat reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Beberapa obat seperti golongan calcium
channel blocker, antiepilepsi, antibiotik, allopurinol, gold, lithium, quinidine, cimetidin
dan dapsone adalah yang paling sering mencetuskan terjadinya dermatitis eksfoliatif.
Berikut ini tabel yang menunjukkan beberapa jenis obat yang berkaitan dengan
dermatitis eksfoliatif :
Dermatitis eksfoliatif merupakan eksaserbasi dari penyakit kulit lokal
sebelumnya pada lebih dari separuh pasien. Beberapa faktor pencetus timbulnya
dermatitis eksfoliatif antara lain:
- Penghentian kostikosteroid topical atau oral, methotrexate, dan agen biologis
- Konsumsi obat (lithium, terbinafine, dan antimalaria
- Iritan topikal, seperti tar
- Penyakit sistemik
- Infeksi, termasuk HIV
- Fototerapi
- Kehamilan
- Stress emosional
Beberapa pasien dengan dermatitis eksfoliatif yang kronik idiopatik dilaporkan
berkembang menjadi CTCL atau Sezary Syndrome. Beberapa teori menyebutkan
bahwa stimulasi terus menerus dari sel limfosit T pada dermatitis eksfoliatif kronik
dapat menyebabkan perkembangan menjadi CTCL (Grant-Kels et al., 2008).
2.4 Patogenesis
Patogenesis timbulnya dermatitis eksfoliatif berkaitan dengan patogenesis dari
kelainan yang mendasari timbulnya penyakit ini. Mekanisme bagaimana kelainan yang
mendasari dermatitis eksfoliatif akan bermanifestasi, seperti dermatosis yang
menimbulkan dermatitis eksfoliatif, atau bagaimana timbulnya dermatitis eksfoliatif
secara idiopatik hingga saat ini belum diketahui secara pasti (Earlia et al., 2007).
Patogenesis dermatitis eksfoliatif merupakan bahan perdebatan.Dalam
beberapa tahun terakhir, telah disetujui oleh para ahli bahwa kondisi ini merupakan
hasil reaksi sekunder terhadap interaksi yang sitokin dan molekul adhesi selular.
Interleukin (IL) -1, IL-2, IL-8, molekul adhesi ICAM-1, tumor necrosis factor dan
interferon gamma adalah sitokin yang diduga memiliki peran dalam pathogenensis
eksfoliatif dermatitis (Sehgal et al., 2004).
Dermatitis eksfoliatif merupakan hasil dari peningkatan secara dramatis dari
tingkat pergantian pada lapisan epidermis. Pada pasien dengan penyakit ini, tingkat
mitosis dan jumlah absolut sel kulit germinative lebih tinggi dari normal. Selain itu,
waktu yang diperlukan bagi sel epidermis untuk matang secara normal juga menurun.
Proses kompresi dari proses pematangan yang cepat ini secara keseluruhan
menyebabkan pengelupasan dari epidermis. Epidermis yang normal mengalami
beberapa pengelupasan kulit setiap hari nya. Epidermis mengandung beberapa bahan
yang penting seperti asam nukleat, protein terlarut, dan asam amino. Namun, pada
dermatitis eksfoliatif, jumlah kehilangan protein dan asam folat sangat tinggi.
Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m2 permukaan kulit atau lebih sehingga
menyebabkan hilangnya protein yang cukup tinggi sehingga pasien jatuh pada kondisi
hipoproteinemia. Bila kondisi ini terus berlangsung, dapat menyebabkan edema perifer
akibat ekstravasasi cairan ke ruang ekstraselular (Djuanda et al., 2009).
Pada dermatitis eksfoliatif, juga terjadi eritema yang biasanya mendahului
munculnya skuama. Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat. Hal ini yang menyebabkan permukaan
kulit pasien teraba lebih panas. Akibat proses ini, kehilangan panas melalui kulit akan
bertambah, sehingga pasien merasa dingin atau menggigil. Selain itu penguapan
cairan yang meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Kehilangan panas ini juga
menyebabkan hipermetabolisme kompensatoar dan peningkatan laju metabolisme
basal (Djuanda et al., 2009).
2.5 Gejala dan Tanda Klinis
Secara klinis, tahap pertama dermatitis eksfoliatif adalah eritema, yang sering
dimulai sebagai pruritus tunggal atau ganda, terutama di bagian kepala, ekstremitas,
dan di daerah kelamin. Setelah beberapa hari atau minggu, eritema cenderung
menyebar sampai ke sebagian besar permukaan kulit disertai dengan pruritus..
Setelah itu, terjadi pengelupasan atau munculnya skuama. Proses akut biasanya
melibatkan area yang besar, sedangkan proses kronis mengenai area yang lebih kecil.
Proses eksfoliatif juga dapat melibatkan kulit kepala, dengan 25 persen pasien
mengalami alopesia. Kuku juga sering terjadi distrofi, terutama pada pasien dengan
yang sebelumnya sudah ada psoriasis (Sehgal et al., 2004).
Dermatitis eksfoliatif pada wajah dan seluruh tubuh
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien dengan dermatitis eksfoliatif
termasuk malaise, gatal-gatal dan sensasi dingin. Kedua hipertermia dan hipotermia
juga bisa terjadi. Temuan klinis yang lainnya termasuk limfadenopati, hepatomegali,
splenomegali, edema kaki dan ginekomastia (Sehgal et al., 2004).
Pengelupasan yang terjadi pada dermatitis eksfoliatif memiliki konsekuensi
metabolik berat, tergantung dari intensitas dan lama proses pengelupasan. Karena
fungsi kulit sebagai penghalang multi protektif terganggu pada dermatitis eksfoliatif,
tubuh kehilangan suhu, air, protein dan elektrolit, dan membuat diri pasien jauh lebih
rentan terhadap infeksi. Dermatitis eksfoliatif juga merupakan faktor risiko untuk
penyebaran dari methicillin-resistant Staphylococcus aureus (Djuanda et al., 2009).
Kehilangan suhu tubuh harus diperhatiankan dengan lapisan kulit pelindung
yang rusak pada pasien dengan dermatitis eksfoliatif. Hilangnya fungsi vasokonstriksi
normal pada dermis,penurunan kepekaan terhadap menggigil refleks dan ekstra
pendingin yang berasal dari penguapan cairan tubuh keluar dari lesi kulit semuanya
menjadikan disfungsi termoregulasi yang dapat menyebabkan hipotermia atau
hyperthermia. Tingkat metabolisme basal juga meningkat pada pasien dengan
dermatitis eksfoliatif.
Masing-masing gangguan fisiologis berpotensi mengancam nyawa. Hipotermia
bisa mengakibatkan penurunan denyut jantung dan hipotensi. Peningkatan aliran
darah perifer dapat mengakibatkan gagal jantung. Hipervolemia juga dapat terjadi pada
pasien dengan dermatitis eksfoliatif, berkontribusi terhadap kemungkinan terjadi gagal
jantung (Djuanda et al., 2009).
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Evaluasi laboratorium pasien dengan eritroderma umumnya tidak sangat
membantu dalam menentukan diagnosis spesifik. Nilai laboratorium yang khas
termasuk anemia ringan, leukositosis, eosinofilia, peningkatan laju sedimentasi
eritrosit, normal serum protein elektroforesis dengan elevasi poliklonal di wilayah
gamma globulin, dan peningkatan IgE levels. Jumlah darah dan studi sumsum tulang
dapat membantu diagnosis leukemia yang mendasarinya. Analisis untuk sel Sezary
mungkin membantu, tetapi hanya jika sel-sel diidentifikasi dalam jumlah besar tegas
(Grant-Kels et al., 2008).
2.5 Diagnosis
Diagnosis dermatitis eksfoliatif ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa, perlu digali mengenai kemungkinan
faktor pencetus, misal: riwayat pengobatan, riwayat penyakit kulit atau penyakit
sistemik, dan riwayat keluarga. Pasien dengan penyakit dasar psoriasis dan dermatitis
atopik, perlu ditanyakan riwayat penggunaan obat kortikosteroid topikal atau sistemik,
penyakit infeksi, penyakit sistemik, kehamilan, dan stress emosional. Selain itu, penting
juga ditanyakan mengenai onset untuk menentukan kemungkinan penyebab dermatitis
eksfoliatif. Onset dermatitis eksfoliatif karena reaksi obat biasanya cepat dan resolusi
nya pun juga lebih cepat dibandingkan dermatitis eksfoliatif karena penyebab yang
lain. Namun pengecualian untuk dermatitis eksfoliatif akibat obat antikonvulsan,
antibiotik, dan alopurinol memberikan reaksi antara 2-5 minggu setelah paparan obat
dan tetap bertahan meskipun penggunaan obat telah lama dihentikan (Grant-Kels et
al., 2008).
Gambaran klinik dermatitis eksfoliatif telah dijelaskan dalam sub bab gejala
klinis. Temuan lain yang mendukung diagnosis dermatitis eksfoliatif adalah gangguan
termoregulasi, takikardia, peningkatan kardiak output, edema perifer, limfadenopati,
hepatomegali, dan splenomegali. Pemeriksaan penunjang dengan biopsi kulit
seringkali membantu diagnosis dermatitis eksfoliatif (Grant-Kels et al., 2008).
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari dermatitis eksfoliatif antara lain adalah erupsi obat,
psoriasis vulgaris, dermatitis atopik, dan leukemia/limfoma.
2.7 Penatalaksanaan
Penyakit dermatitis eksfoliatif memerlukan perawatan medis yang serius, oleh
karena itu pasien perlu dirawat di rumah sakit. Prinsip pengobatan pasien dermatitis
eksfoliatif antara lain manajemen awal, menghindari faktor pencetus, mencegah
hipotermia, diet cukup protein, menjaga kelembaban kulit pasien, menghindari
menggaruk, mencegah infeksi sekunder baik lokal maupun sistemik, mengurangi
edema, penggunaan kortikosteroid sistemik dan agen sitistatik (Djuanda et al., 2009).
a. Manajemen awal
Pada fase ini perlu dilakukan pengawasan dan pengontrolan asupan cairan dan
elektrolit karena dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi ataupun menyebabkan
pasien menjadi gagal jantung akibat overload.
b. Menghindari faktor pencetus
Semua obat yang dianggap sebagai faktor pemicu dermatitis eksfoliatif harus
dihentikan pemakaiannya, termasuk obat-obat yang mengandung lithium dan obat
antimalaria yang dapat menjadi pencetus pada pasien dengan psoriasis.
c. Mencegah hipotermia
Pada pasien dermatitis eksfoliatif dapat timbul komplikasi berupa hipotermia
yang disebabkan gangguan pada fungsi termoregulasi di kulit sehingga kulit akan
melepaskan panas tubuh secara spontan. Untuk mencegah komplikasi tersebut perlu
dilakukan pengaturan suhu lingkungan sekitar pasien agar tetap hangat. Selain itu
untuk mencegah penguapan panas tubuh yang berlebihan dapat dimanfaatkan wet
dressings.
d. Diet cukup protein
Pada pasien dermatitis eksfoliatif terjadi penggunaan protein yang berlebihan
karena terjadi peningkatan pembentukan skuama. Kehilangan banyak protein ini akan
menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia. Karena itu asupan gizi yang cukup protein
sangat berguna dalam proses terapi pasien dermatitis eksfoliatif.
e. Menjaga kelembaban kulit
Pada pasien dermatitis eksfoliatif kulit akan cenderung kering dan bersisik. Kulit
yang kering dan menjadi retak-retak berisiko untuk terjadi infeksi sekunder yang
bersifat lokal. Untuk itu diperlukan bahan yang dapat menjaga kelembaban kulit.
Emollient merupakan bahan yang melembutkan dan melembabkan kulit. Emollient
merupakan bahan dasar untuk kosmetik dan berfungsi untuk membatasi hilangnya
cairan. Ada lima kategori emollient antara lain hidrokarbon, waxes, natural lipid
poliester, ester, dan eter dengan berat molekul rendah dan silikon.
f. Menghindari menggaruk
Penggunaan antihistamin dapat diberikan pada pasien dermatitis eksfoliatif
sebagai terapi simtomatis terhadap rasa gatal. Sensasi gatal yang timbul pada
permukaan kulit merupakan bagian dari alergi imunologi yang disebabkan oleh
histamin yakni padareseptor H1. Sehingga antihistamin H1 akan menekan reseptor H1
akibatnya rasa gatal akan berkurang.
g. Mencegah infeksi sekunder
Antibiotik sistemik diperlukan bagi pasien yang terbukti mendapat infeksi
sekunder baik yang bersifat lokal maupun sistemik. Pemberian antibiotik sistemik pada
pasien yang tidak terbukti mengalami infeksi sekunder juga memberikan keuntungan
karena kolonisasi bakteri dapat menyebabkan eksaserbasi dermatitis eksfoliatif.
h. Mengurangi edema
Pada pasien dermatitis eksfoliatif akan terjadi peningkatan pembentukan
skuama. Pembentukan skuama ini memerlukan protein sebagai bahan dasar.
Akibatnya protein di dalam tubuh menurun, terjadi hipoalbuminemia. Albumin yang
rendah di dalam darah menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga cairan
intrasel akan mengisi jaringan interstitiel (terjadi edema). Untuk mengurangi edema
dapat diberikan obat-obat diuretika.
i. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik harus dihindari pada pasien dermatitis eksfoliatif yang
dicetuskan oleh psoriasis karena dapat menyebabkan reborn flare. Dermatitis
eksfoliatif yang disebabkan oleh psoriasis berespon baik dengan metotrexat,
cyclosporin, acitretin, danmycophenolat mofetil. Kortikosteroid sistemik berguna untuk
dermatitis eksfoliatif yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas obat, spongiotic
dermatitis, dan papulo erythroderma of Ofuji. Selain itu kortikosteroid sistemik dapat
digunakan sebagai terapi empiris pada dermatitis eksfoliatif yang tidak diketahui
etiologinya. Dosis kortikosteroid yang digunakan adalah 1-2mg/kg/hari dengan tapering
off.
j. Methotrexate
Methotrexate adalah golongan antimetabolik yang awalnya ditujukan untuk
pengobatan keganasan hematologi dan beberapa tumor epitel. Kemudian obat ini
digunakan untuk mengobati penyakit yang tidak tergolong penyakit keganasan seperti
rheumatoid arthritis, asma, penyakit graft versus host, psoriasis, cutaneus cell
lymphoma dan sarcoidosis.
k. Cyclosporin
Cyclosporin adalah golongan obat imunosupresif. Selain digunakan sebagai
obat transplantasi, cyclosporin juga digunakan pada psoriasis, dermatitis atopik berat,
kadang digunakan pada rheumatoid arthtritis.
l. Mycophenolat mofetil
Mycophenolat mofetil (MMF) termasuk dalam golongan obat imunosupresif
yang merupakan etil ester asam mycofenolic yang dimetabolisme menjadi obat aktif
mycofenolic acid (MPA). Metabolit aktif MPA telah digunakan sejak dulu untuk
mengobati psoriasis rekalsitrans yang berat. MMF efektif dan aman untuk pengobatan
beberapa kelainan kulit autoimun dan inflamasi termasuk pemfigus, pemfigoid,
lupuseritematosus, dermatomiositis, pioderma gangrenosa, lichen planus, penyakit
graft versus host , dermatitis actinic kronik dan cutaneus vaskulitis
2.8 Komplikasi
Komplikasi sistemik dermatitis eksfoliatif meliputi gangguan keseimbangan
cairan danelektrolit, gangguan termoregulator, infeksi, syok kardiogenik, sindrom gawat
napas,dekompensasi pada penyakit hati kronis, dan ginekomastia. Cairan dan elektrolit
hilang melalui kapiler-kapiler yang bocor akibatnya terjadi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Hilangnya protein pada pasien dermatitis eksfoliatif terjadi melalui
pembentukan skuama yang lebih dari normal dimana pada pembentukan skuama
meningkat hingga 20-30%. Hilangnya protein yang signifikan menyebabkan negative
nitrogen balance (keseimbangan nitrogen negatif) yang dapat menimbulkan edema
dan hipoalbuminemia. Pada lesi akan mudah terbentuk kolonisasi bakteri yang akan
menimbulkanreaksi inflamasi, pecah-pecah, dan ekskoriasi pada kulit. Pasien
dermatitis eksfoliatif akibat CTCL atau HIV-AIDS sebagai penyakit yang mendasari
akan lebih rentan terjadi sepsis oleh bakteri stafilokokus (Djuanda et al., 2009).
2.9 Prognosis
Prognosis jangka panjang adalah baik pada pasien dengan penyebab obat
meskipun tentu saja cenderung kambuh pada kasus idiopatik. Prognosis kasus yang
terkait dengan keganasan biasanya tergantung dari tipe dari keganasannya.
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. B
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 63 tahun
Alamat : Ds. Sugihan, Kampak, Trenggalek
Status : Menikah
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Agama : Islam
Nomor RM : 6274XX
Tanggal Pemeriksaan : 11 April 2013
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Gatal di seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh gatal di seluruh tubuh sejak 15 hari yang lalu. Gatal muncul pertama
pada kaki dan tangan, kemudian di badan, wajah, kepala, dan akhirnya seluruh tubuh.
Awalnya timbul bercak kemerahan pada kulit, kemerahan tidak disertai penonjolan
pada kulit. Beberapa hari setelah muncul kemerahan, kulit pasien mengelupas dan
terasa sangat gatal terutama 5 hari terakhir ini. Disertai demam (+) sumer dan
menggigil sejak 3 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami gatal di seluruh tubuh namun tidak separah seperti saat ini ±
1 tahun yang lalu. Saat itu pasien berobat ke mantri dan diberi obat suntikan dan obat
minum (pasien lupa nama/warnanya), pasien mengaku sembuh setelah itu. Tidak
pernah kambuh hingga sekarang ini.
Riwayat Pengobatan :
1 bulan yang lalu, pasien mengeluh badan capek-capek, pergi ke mantri dan diberi
obat tablet 3 jenis (pasien lupa nama/warna nya).
Riwayat Atopik atau Alergi :
Riwayat alergi dan atopi disangkal
Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit serupa.
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Status Dermatologis
Lokasi : Badan, ekstremitas atas kanan kiri, ektremitas bawah kanan kiri, wajah,
dan kepala
Distribusi : Universal (90% dari luas permukaan tubuh)
Ruam : Tampak makula eritematous berbatas tidak tegas, disertai skuama tebal
berwarna putih keabuan menutupi permukaan. Tampak juga terdapat
erosi dan ekskoriasi dengan dasar eritema yang tertutup krusta
berwarna kuning kehitaman. Pada kepala tampak skuama tebal
berwarna putih keabuan menutupi kulit kepala.
Body Chart :
Foto Pasien:
3.3.2 Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS 456
Gizi : Cukup
Tensi : 140/90 mmHg
Nadi : 94 x/menit, reguler kuat
Laju respirasi : 20 x/menit, reguler
Suhu aksila : 36,5 oC
Kepala-leher Konjungtiva anemis -/-; palpebra edem -/-
Pembesaran Kelenjar Leher (-)
Thorax- jantung Ictus cordis teraba di ICS VI AAL S, S1 S2
tunggal, M (-)
Thorax-paru Vesikular disemua area, tidak ada suara nafas
tambahan
Abdomen Flat, soefl, BU(+) N
Extremitas Akral hangat, edema (-)
3.4 Diagnosis Banding
Drug Eruption
Psoriasis Vulgaris
3.5 Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap
WBC
RBC
Hb
Hematokrit
Trombosit
16,350/mikroL
5,27x106 /mikroL
14 g/dL
44%
435.000/mikroL
Kimia Darah
GDP
SGOT/SGPT
BUN/Cr
Albumin
Na/K/Cl
97
16.3/20.9
81/2.9
3.1
129/6.73/96.2
3.6 Diagnosis
Dermatitis Eksfoliatif
3.7 Penatalaksanaan
- Terapi Medikamentosa :
IVFD NS 0.9% 20 cc/kgBB
Injeksi Metilprednisolon 2x1 ampul
PO : CTM 3 x 4 mg
Topikal : Krim Hidrokortison 2.5%
- Edukasi :
Menghentikan obat selain obat dari RS
Memberiatahukan pasien untuk tidak menggaruk luka agar luka tidak lecet
Menganjurkan pasien untuk banyak istirahat
Makan makanan yg tinggi kadar protein
Bila pasien masih menggigil, pasien tidak boleh mandi dulu
- Monitoring :
Keluhan subjektif
DL, serum elektrolit
3.8 Prognosis
Prognosis akan baik jika pasien mematuhi terapi pengobatan yang diberikan.
3.9 Follow Up Pasien
Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Planning
12 April
2012
Gatal
berkurang,
pasien masih
mengeluh mual
saat makan
Status Generalis :
KU : tampak sakit sedang
GCS 456
Tensi : 130/80 mmHg
Nadi : 96 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit, reguler
Tax : 36 oC
K/L : anemis -/-; palpebra
edem -/-, PKL (-)
Cor : Ictus cordis teraba di
ICS VI AAL S, S1 S2
tunggal, M (-)
Pulmo : Vesikular disemua
area, Rh (-), Wh (-)
Abd : flat, sofl, BU (+) N
Ekt : akral hangat, edema (-)
Status Dermatologis :
L: Seluruh tubuh
D : Universal
R : Tampak makula
eritematous berbatas tidak
tegas, disertai skuama tebal
berwarna putih keabuan
menutupi permukaan.
Tampak juga terdapat erosi
dan ekskoriasi dengan dasar
eritema yang tertutup krusta
berwarna kuning kehitaman.
Pada kepala tampak
skuama tebal berwarna putih
keabuan menutupi kulit
kepala.
Dermatitis
Eksfoliativa
- IVFD NS 0.9%
20 cc/kgBB
- Injeksi
Metilprednisolon
2x1 ampul
- PO : CTM 3 x 4
mg
- Topikal : Krim
Hidrokortison
2.5%
13 April
2012
Pasien masih
mengeluh gatal
di seluruh
tubuh. Pasien
juga masih
mengeluh mual.
Status Generalis :
KU : tampak sakit sedang
GCS 456
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit, reguler
Tax : 36,5 oC
K/L : anemis -/-; palpebra
edem -/-, PKL (-)
Cor : Ictus cordis teraba di
ICS VI AAL S, S1 S2
tunggal, M (-)
Pulmo : Vesikular disemua
area, Rh (-), Wh (-)
Abd : flat, sofl, BU (+) N
Ekt : akral hangat, edema (-)
Status Dermatologis :
L: Seluruh tubuh
D : Universal
R : Tampak makula
eritematous berbatas tidak
tegas, disertai skuama tebal
berwarna putih keabuan
menutupi permukaan, yang
mulai mengalami
deskuamasi. Tampak juga
terdapat erosi
Dermatitis
Eksfoliativa
- IVFD NS 0.9%
20 cc/kgBB
- Injeksi
Metilprednisolon
2x1 ampul
- PO : CTM 3 x 4
mg
- Topikal : Krim
Hidrokortison
2.5%
dan ekskoriasi dengan dasar
eritema yang tertutup krusta
berwarna kuning kehitaman.
Pada kepala tampak
skuama tebal berwarna putih
keabuan menutupi kulit
kepala.
14 April
2012
Gatal
berkurang. Mual
juga berkurang.
Tadi malam
demam,
menggigil.
Status Generalis :
KU : tampak sakit sedang
GCS 456
Tensi : 120/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit, reguler
Tax : 37 oC
K/L : anemis -/-; palpebra
edem -/-, PKL (-)
Cor : Ictus cordis teraba di
ICS VI AAL S, S1 S2
tunggal, M (-)
Pulmo : Vesikular disemua
area, Rh (-), Wh (-)
Abd : flat, sofl, BU (+) N
Ekt : akral hangat, edema (-)
Status Dermatologis :
L: Seluruh tubuh
D : Universal
Dermatitis
Eksfoliativa
- IVFD NS 0.9%
20 cc/kgBB
- Injeksi
Metilprednisolon
2x1 ampul
- PO : CTM 3 x 4
mg
- Topikal : Krim
Hidrokortison
2.5%
R : Tampak makula
eritematous berbatas tidak
tegas, disertai skuama tipis
berwarna putih keabuan
menutupi permukaan, yang
mengalami deskuamasi.
Bekas erosi
dan ekskoriasi tertutup
krusta dengan dasar makula
hipopigmentasi. Pada kepala
masih tampak skuama tebal
berwarna putih keabuan
menutupi kulit kepala, yang
sebagian mengalami
deskuamasi.
15 April
2012
Gatal
berkurang,
pasien dari tadi
pagi demam
Status Generalis :
KU : tampak sakit sedang
GCS 456
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit, reguler
Tax : 37,8 oC
K/L : anemis -/-; palpebra
edem -/-, PKL (-)
Cor : Ictus cordis teraba di
ICS VI AAL S, S1 S2
Dermatitis
Eksfoliativa
- IVFD NS 0.9%
20 cc/kgBB
- Injeksi
Metilprednisolon
2x1 ampul
- PO : CTM 3 x 4
mg
- Topikal : Krim
Hidrokortison
2.5%
tunggal, M (-)
Pulmo : Vesikular disemua
area, Rh (-), Wh (-)
Abd : flat, sofl, BU (+) N
Ekt : akral hangat, edema (-)
Status Dermatologis :
L: Seluruh tubuh
D : Universal
R : Tampak skuama tipis
dengan dasar makula
hiperpigmentasi. Bekas erosi
dan ekskoriasi berupa
makula hipopigmentasi.
Pada kepala masih tampak
skuama tebal berwarna putih
keabuan menutupi kulit
kepala, yang sebagian
mengalami deskuamasi.
16 April
2012
Gatal
berkurang,
pasien masih
mengeluh mual
saat makan
Status Generalis :
KU : tampak sakit sedang
GCS 456
Tensi : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit, reguler
Tax : 37,5 oC
K/L : anemis -/-; palpebra
Dermatitis
Eksfoliativa
- IVFD NS 0.9%
20 cc/kgBB
- Injeksi
Metilprednisolon
2x1 ampul
- PO : CTM 3 x 4
mg
- Topikal : Krim
edem -/-, PKL (-)
Cor : Ictus cordis teraba di
ICS VI AAL S, S1 S2
tunggal, M (-)
Pulmo : Vesikular disemua
area, Rh (-), Wh (-)
Abd : flat, sofl, BU (+) N
Ekt : akral hangat, edema (-)
Status Dermatologis :
L: Seluruh tubuh
D : Universal
R : Tampak skuama tipis
dengan dasar makula
hiperpigmentasi. Bekas erosi
dan ekskoriasi berupa
makula hipopigmentasi.
Pada kepala masih tampak
skuama tebal berwarna putih
keabuan menutupi kulit
kepala, yang sebagian
mengalami deskuamasi.
Hidrokortison
2.5%
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis Dermatitis Eksvoliatif pada Pasien
Diagnosis dermatitis eksfoliatif ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang (Grant-Kels et al., 2008). Pada laporan kasus ini, laki-laki
63 tahun, datang ke IGD dengan keluhan gatal di seluruh tubuh. Pasien mengeluh
gatal di seluruh tubuh sejak 15 hari yang lalu. Gatal muncul pertama pada kaki dan
tangan, kemudian di badan, wajah, kepala, dan akhirnya seluruh tubuh. Awalnya timbul
bercak kemerahan pada kulit. Beberapa hari setelah muncul kemerahan, kulit pasien
mengelupas dan terasa sangat gatal terutama 5 hari terakhir ini. Disertai demam (+)
sumer dan menggigil sejak 3 hari yang lalu. Pasien pernah mengalami gatal di seluruh
tubuh namun tidak separah seperti saat ini ± 1 tahun yang lalu. Saat itu pasien berobat
ke mantri dan diberi obat suntikan dan obat minum, pasien mengaku sembuh setelah
itu. Tidak pernah kambuh hingga sekarang ini. Riwayat Pengobatan : 1 bulan yang
lalu, pasien mengeluh badan capek-capek, pergi ke mantri dan diberi obat tablet 3
jenis (pasien lupa nama/warna nya). Riwayat alergi dan atopi disangkal. Tidak ada
anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit serupa.
Dari anamnesa di atas, diperoleh data onset dermatitis eksfoliatif yang akut
dengan riwayat konsumi 3 jenis obat 1 bulan yang lalu, yang diduga merupakan salah
satu obat yang dapat menyebabkan erupsi dermatitis eksfoliatif. Onset mulai dari saat
masuk nya obat hingga muncul nya gejala bervariasi, dapat segera dalam hitungan
jam hingga 2 minggu. Terutama untuk obat-obat seperti antikonvulsan, antibiotik, dan
alopurinol, memberikan reaksi antara 2-5 minggu setelah paparan obat dan tetap
bertahan meskipun penggunaan obat telah lama dihentikan (Murtiastutik et al., 2009).
Namun, masih tidak dapat disingkirkan penyebab lain dari timbulnya dermatitis
ekfoliatif pada pasien ini. Dari riwayat penyakit dahulu, pasien mengaku tidak pernah
menderita penyakit kulit maupun penyakit sistemik. Beberapa penyakit kulit yang
disebutkan sering menyebabkan dermatitis eksfoliatif antara lain psoriasis dan
dermatitis seboroik (Earlia et al., 2009). Sedangkan beberapa penyakit sistemik yang
terkait dengan dermatitis eksfoliatif antara lain infeksi HIV, Staphylococcal scaldes skin
syndrome, penyakit keganasan limfoproliferatif seperti Sezary syndrome (Grant-Kels et
al., 2008). Untuk menyingkirkan Sezary syndrome, dapat dilakukan pemeriksaan
hapusan darah tepi. Apabila ditemukan sel limfosit atipik yang disebut Sezary Cell
dengan jumlah 1000/mm3 atau melebihi 10% dari sel-sel yang beredar (Djuanda et al.,
2007).
Temuan klinis yang didapatkan pada pasien ini adalah makula eritema berbatas
tidak tegas disertai skuama tebal berwarna putih keabuan menutupi hampir seluruh
permukaan tubuh (universal). Tampak juga erosi dan ekskoriasi dengan dasar eritema
yang tertutup krusta berwarna kuning kehitaman. Pada kepala tampak skuama tebal
berwarna putih keabuan menutupi kulit kepala. Munculnya eritema universal diikuti
dengan deskuamasi yang berlebihan ini merupakan ciri khas dari dermatitis eksfoliatifa
(Djuanda et al., 2007).
Pengelupasan yang terjadi pada dermatitis eksfoliatif memiliki konsekuensi
antara lain gangguan termoregulasi, hilangnya air, protein dan elektrolit, dan membuat
diri pasien jauh lebih rentan terhadap infeksi (Grant-Kels et al., 2008). Kehilangan suhu
tubuh harus diperhatiankan dengan lapisan kulit pelindung yang rusak pada pasien
dengan dermatitis eksfoliatif. Hilangnya fungsi vasokonstriksi normal pada dermis,
penurunan kepekaan terhadap menggigil refleks dan ekstra pendingin yang berasal
dari penguapan cairan tubuh keluar dari lesi kulit semuanya menjadikan disfungsi
termoregulasi yang dapat menyebabkan hipotermia atau hyperthermia. Seperti yang
dialami pasien ini, pasien mengeluh demam dan menggigil sejak 3 hari yang lalu,
terutama saat malam hari.
Selain itu, komplikasi sistemik dermatitis eksfoliatif adalah gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien ini ditemukan kadar Na/K/Cl yaitu
129/6.73/96.2. Kadar Na dan Cl masih dalam batas normal, namun terjadi peningkatan
kadar Kalium. Komplikasi lain yang terjadi adalah hilangnya protein yang terjadi melalui
pembentukan skuama yang lebih dari normal dimana pada pembentukan skuama
meningkat hingga 20-30%. Pada pasien ini juga ditemukan kondisi hipoalbumin ringan,
dimana kadar albumin pasien 3.1 dengan rentang normal 3.5 – 7.5. Hilangnya protein
yang signifikan menyebabkan negative nitrogen balance yang dapat menimbulkan
edema perifer. Akan tetapi pada pasien ini tidak didapatkan edema perifer. Hal ini
dikarenakan kadar albumin pasein yang tidak terlalu rendah. Pada lesi yang terjadi
erosi akan mudah terbentuk kolonisasi bakteri yang akan menimbulkan reaksi
inflamasi, pecah-pecah, dan ekskoriasi pada kulit (Grant-Kels et al., 2008). Seperti
yang terlihat pada daerah dada pasien, terdapat erosi dan eksoriasi dengan dasar
eritema dengan permukaan tertutup krusta.
4.2 Penatalaksanaan Dermatitis Eksvoliatif pada Pasien
Penyakit dermatitis eksfoliatif memerlukan perawatan medis yang serius, oleh
karena itu pasien perlu dirawat di rumah sakit. Prinsip pengobatan pasien dermatitis
eksfoliatif antara lain manajemen awal, menghindari faktor pencetus, mencegah
hipotermia, diet cukup protein, menjaga kelembaban kulit pasien, menghindari
menggaruk, mencegah infeksi sekunder baik lokal maupun sistemik, mengurangi
edema, penggunaan kortikosteroid sistemik atau agen sitostatik (Djuanda et al., 2009).
Pasien ini mendapatkan terapi IVFD NS 0.9% 20 cc/kgBB, injeksi
Metilprednisolon 2x1 ampul, CTM tablet 3 x 4 mg, dan obat topikal krim Hidrokortison
2.5%. Pemberian cairan infus NS 0.9% ditujukan untuk mempertahankan kebutuhan
elektrolit pasien. Adanya eritema diserta skuama yang universal merupakan indikasi
injeksi kortikosteroid iv pada pasien ini. Kortikosteroid yang diberikan adalah
Metilprednisolon, dengan pertimbangan efek samping yang lebih rendah dibandingkan
Prednison atau Dexamethasone. Dosis Metilprednisolon awal adalah 2x 1 amp.
Kemudian di tapering off apabila terdapat perbaikan gejala klinis pasien. Sedangkan
untuk terapi simptomatis diberikan antipruritus dengan CTM dosis 3 x 4 mg. Bila gejala
gatal berkurang/hilang, obat simtomatis tidak perlu diberikan lagi. Karena kulit pasien
dengan dermatitis eksfoliatif sangat kering dan mudah terjadi fisura, maka diberikan
krim emolien, salah satu nya dengan krim Hidrokortison 2.5%. Lama perawatan pasien
ini adalah 6 hari. Sedangkan berdasarkan studi epidemiologi pasien dermatitis
eksfoliatif yang rawat inap di RS dr. Soetomo, rata-rata perawatan nya adalah selama
8–14 hari (Earlia et al., 2009)
Edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga meliputi: menghentikan
obat selain obat dari RS, memberitahukan pasien untuk tidak menggaruk luka agar
luka tidak lecet, menganjurkan pasien untuk banyak istirahat, makan makanan yg
tinggi kadar protein, bila pasien masih menggigil, pasien tidak boleh mandi dulu.
Prognosis pada pasien ini dapat dikatakan baik, karena pasien berespon terhadap
pengobatan, yang telihat dari perbaikan gejala klinis dan hilang nya skuama dan
eritema secara bertahap. Namun, perlu diedukasikan bahwa kemungkinan penyakit
pasien dapat kambuh lagi. Oleh karena itu, harus dihindari segala sesuatu yang
menyebabkan atau memicu timbulnya dermatitis eksfoliatif pada pasien.
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
- Pasien laki-laki, usia 63 tahun, datang dengan keluhan gatal, bercak merah, dan
kulit mengelupas di seluruh tubuh. Pasien didiagnosa Dermatitis Eksfoliatif.
- Dermatitis eksfoliatif adalah suatu penyakit kulit dengan gambaran dermatologis
berupa eritema difusa dan skuama yang meliputi lebih dari 90% area permukaan
kulit. Penyebab dermatitis eksfoliatif sering kali tidak diketahui atau idiopatik,
beberapa teori menyebutkan dermatitis eksfoliatif dikaitkan dengan reaksi
hipersensitivitas terhadap obat, penyakit kulit, dan penyakit sistemik, termasuk
keganasan.
- Diagnosis dermatitis eksfoliatif ditegakkan melalui anamnesa yang cermat,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
- Prinsip pengobatan pasien dermatitis eksfoliatif antara lain manajemen awal,
menghindari faktor pencetus, mencegah hipotermia, diet cukup protein, menjaga
kelembaban kulit pasien, menghindari menggaruk, mencegah infeksi sekunder baik
lokal maupun sistemik, mengurangi edema, penggunaan kortikosteroid sistemik
atau agen sitostatik.
5.2 Saran
- Untuk menegakkan diagnosis dermatitis eksfoliatif, kita harus menyingkirkan
diagnosis banding salah satu nya dengan pemerksaan penunjang. Misalnya adalah
pemeriksaan hapusan darah tepi untuk melihat ada tidak nya sel Sezary. Dan pada
pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan tersebut.
- Kejadian mengenai dermatitis eksfoliatif masih jarang ditemui di masyarakat, maka
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari lebih dalam mengenai
dermatitis eksfoliatif.
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, A., Hamzah., M., Aisah, S. 2009. Dermatosis Eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ke-5, Hal. 197-200, FK Universitas Indonesia; Jakarta
Earlia, N., Nurharini, F., Jatmiko, A. C., Ervianti E. 2009. Penderita Eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2005–2007. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, Vol. 21, No. 2, Page 93-101
Grant-Kels, J. M., Bernstein, M. L., Rothe, M. J. 2008. Exfoliative Dermatitis. Fitzpatrick Dermatology 7th Ed, Chapter 23, Page 263-270
Murtiastutik, D., Ervianti, E., Agusni, I., Suyoso, S. 2009. Eritroderma. Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2, Chapter 6, Hal. 125-127, FK Unair/RSUD Dr. Soetomo; Surabaya
Sehgal, V. N., Srivastava, G., Sardana, K. 2004. Erythroderma/exfoliative dermatitis: a synopsis. International Journal of Dermatology, Vol. 43, Page 39–47
Trozak, D. J., Tennenhouse, Russell. J., Dermatology skills for primary care : an illustrated, Page 104-107