laporan kasus ca nasofaring

42
cBAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring termasuk dalam 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi bersama dengan tumor ganas serviks, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor kulit. Di daerah kepala leher karsinoma nasofaring merupakan keganasan paling sering ditemukan (60%) diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, dan hipofaring (Adham, 2007) Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus baru dan 38.000 kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO, 2005). Sedangkan di Indonesia, frekusensi pasien hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit Tinggi (Adham, 2007) Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk. 1

Upload: udyani-agustina

Post on 25-Oct-2015

1.401 views

Category:

Documents


223 download

DESCRIPTION

laporan kasusCa NasofaringTHT

TRANSCRIPT

Page 1: laporan kasus Ca Nasofaring

cBAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di

antara tumor ganas THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring termasuk dalam 5 besar

tumor ganas dengan frekuensi tertinggi bersama dengan tumor ganas serviks, tumor

payudara, tumor getah bening, dan tumor kulit. Di daerah kepala leher karsinoma

nasofaring merupakan keganasan paling sering ditemukan (60%) diikuti tumor ganas

hidung dan sinus paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, dan hipofaring

(Adham, 2007)

Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus baru dan

38.000 kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO, 2005). Sedangkan di

Indonesia, frekusensi pasien hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin

Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus

di Padang dan Bukit Tinggi (Adham, 2007)

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu

problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta

letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli

sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai

gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan

hidup 5 tahun) semakin buruk.

Dalam makalah ini akan dijabarkan kasus karsinoma nasofaring yang ditemukan

di RSU Provinsi NTB.

1

Page 2: laporan kasus Ca Nasofaring

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

1. Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang

besar di bagian atas dan sempit bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak

kemudian menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal 6.

a. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,

b. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring,

sedangkan dengan laring di bawah berhubungan dengan rongga mulut

melalui ismus aditus laring.

c. Ke bawah berhubungan dengan esophagus.

Dinidng faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia

faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. (Adams , 1997)

Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,

orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas

faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring

terdapat pada bagian tengan faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan

lingual epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila

lingualis pada dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang

menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas

(Adams, 1997).

1.a. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral.

Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os.

Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra

servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba

Eustachius terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka

inferior. Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan

yang dibentuk oleh kartilago Eustachius ( Ballenger, 1997).

Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting (Adams

dalam Adams et al, 1997):

2

Page 3: laporan kasus Ca Nasofaring

Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.

Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang

dikenal sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba

eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding

lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole.

Koana posterior rongga hidung.

Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan

penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus

glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang

dilalui nervus hipoglosus.

Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus

petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital

dan arteri faringeal asenden.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat

dengan bagian lateral atap nasofaring.

Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

3

Page 4: laporan kasus Ca Nasofaring

1.b. Batas-batas nasofaring:

Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,

batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.

Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh

os vomer

Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari

mukosa bagian atas

Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior,

muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller

4

Page 5: laporan kasus Ca Nasofaring

B. Karsinoma Nasofaring

Epidemiologi

Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7

kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara

“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF

berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair

Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian

THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta

ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus,

Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-

1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien

karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.

Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari

penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against

Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964

(MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan

banyak temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg

unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.

KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagai

Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105

di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk

Hongkong), dan insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-

50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on

Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan

sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan

pula cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan

penduduk di Afrika utara dan timur tengah (Lu. 2010)

Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan apa

sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan

factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan

KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan

insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj

5

Page 6: laporan kasus Ca Nasofaring

dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-

59 tahun dan menurun setelahnya.

Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan

cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,

Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea,

Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini.

Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di

berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian

Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim

secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat.

Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara

para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas

orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa

menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa

migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok

maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF)

pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa

kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker

Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan

berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka

kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong

ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon

kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu

adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai

substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan

percobaan. (Lu. 2010)

Etiologi

Karsinoma nasofaring terjadi akibat gabungan dari faktor predisposisi genetik,

faktor lingkungan, dan infeksi virus Ebstein-Barr (Adham, 2009 & Wolden, 2001).

1. Genetik

Analisis genetik pada populasi endemik menunjukkan orang-orang dengan

kelemahan pada gen HLA memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk menderita

karsinoma nasofaring.

6

Page 7: laporan kasus Ca Nasofaring

2. Lingkungan

Penelitian-penelitian menunjukkan konsumsi makanan yang mengandung volatile

nitrosamine (misalnya ikan asin), paparan formaldehide, akumulasi debu kapas, asam,

caustic, proses pewarnaan kain, merokok, nikel, alkohol, dan infeksi jamur pada cavum

nasi meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring.

3. Virus Ebstein-Barr

Infeksi EBV pada manusia bermanifestasi menjadi beberapa bentuk penyakit. Virus

ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis, limfoma burkit dan karsinoma nasofaring.

Infeksi EBV-1 dan EBV-2 telah dihubungkan dengan kejadian karsinoma nasofaring di

Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediterania, Afrika, dan Amerika Serikat. Dijumpainya

Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya

kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai

peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap

EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya

stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit

keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa

menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak

cukup untuk menimbulkan proses keganasan. (Lu. 2010)

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam

limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel

kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara

berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2).

Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan

limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya

EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi

immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel

nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang

diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan

PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr

dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi

dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang

menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi

normal atau dapat terjadi perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel yaitu

7

Page 8: laporan kasus Ca Nasofaring

interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel

sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,

EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan

virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal

tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen

tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur

protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada

ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada

ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF

(tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel

B dan menghambat respon imun lokal.

Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring

(KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih

dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu.

Meskipun demikan ada peneliti yg mencoba menghubungkannya dengan merokok,

secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan

perokok.

PATOLOGI

Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior nasofaring

berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, sehingga sumbatan hidung

merupakan gangguan yang sering timbul. Penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat

muara tuba Eustachius sehingga akan menimbulkan gangguan pendengaran dan

penumpukan cairan di telinga tengah. Di bagian posterior dinding nasofaring

melengkung ke atas dan kedepan, terletak di bawah korpus os sphenoid dan bagian

basilar os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-tempat

tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring atau fossa

Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum. Tumor

dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masing-masing menimbulkan

gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus

kavernosus dan fossa cranii media menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan

kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di sekitar selubung

karotis/jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan gangguan pada N.IX, N.X,

8

Page 9: laporan kasus Ca Nasofaring

N.XI, dan N.XII. Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke

lateral dan bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1997).

Secara makroskopis tumor dapat berupa massa yang menonjol pada mukosa dan

memiliki permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau

massa yang menggantung dan infiltrate. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada

nasofaring.

Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu :

1. Bentuk ulseratif

Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa

rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius

dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan

jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan

sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa

deengan diferensiasi baik.

2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative

Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara

tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah anggur atau polipoid.

Jarang dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil.

Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.

3. Bentuk eksofitik

Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya

ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor jenis ini

biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring.

Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana

dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa

limfasarkoma.

Manifestasi Klinis

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala

nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis, atau gejala di

leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis rigan atau sumbatan hidung, untuk itu

nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena

9

Page 10: laporan kasus Ca Nasofaring

sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak tampak karena

masih berada dibawah (creeping tumor) (Adham, 2007)

Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena tempat asal

tumor dekat muara tuba eustasius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus,

rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien

dengan gangguan pendengaran ini kemudian baru di sadari bahwa penyebabnya adalah

karsinoma nasofaring (Adham, 2007)

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa

lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma

ini. Penjalaran melalui foramen lacerum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan

dapat pula ke V, sehingga tidak jarang diplopialah gejalayang membawa pasien terlebih

dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan

oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti (Adham, 2007)

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika

penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.

Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf

otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak

dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk (Adham, 2007).

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong

pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan ini (Adham, 2007).

Stadium

Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma nasofaring dibagi

menjadi: (Adham, 2007)

T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya

T0 : Tidak tampak tumor

T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring

T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga nasofaring

T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring

T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak

N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional

N0 : tidak terdapat pembesaran kelenjar

N1 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan

10

Page 11: laporan kasus Ca Nasofaring

N2 : terdapat pembesaran kelenjar kontralateral atau bilateral yang masih dapat

digerakkan

N3 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral, kontralateral, atau bilateral yang

sudah melekat dengan jaringan sekitar

M : metastasis, menggambarkan keberadaan metastasis jauh

M0 : tidak terdapat metastasis jauh

M1 : terdapat metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0

T1, T2, T3, N1 M0

Stadium IV : T4 N0, N1 M0

T1 – T4 N2,N3 M0

T1 – T4 N0 – N3 M1

DIAGNOSIS

Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis karsinoma

nasofaring:

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Pemeriksaan nasofaring

3. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik

ditunjang dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi yang diperiksa

adalah hasil biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush). Biopsi nasofaring dilakukan

dengan anestesi topikal melalui 2 jalur, yaitu melalui hidung dan mulut:

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind

biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka

media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan

biopsi.

11

Page 12: laporan kasus Ca Nasofaring

Biopsi melalui mulut dilakukan dengan bantuan kateter nelaton yang

dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang merada dalam mulut

ditaik dan diklem bersama dengan ujung kateter di hidung, sehingga palatum

molle tertarik ke atas. Daerah nasofaring dilihat dengan kaca laring. Biopsi

dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut. Tumor akan terlihat

lebih jelas menggunakan nasofaringoskop. Bila dengan cara ini masih belum

didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret

di daerah lateral nasofaring dalam keadaan narkosis. (Wolden, 2001)

4. Pemeriksaan patologi anatomi

Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO sebelum

tahun 1991 terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi, yang terbagi lagi menjadi tipe

diferensiasi baik, sedang, dan buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, dan pada

umumnya batas sel cukup jelas.

3. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual

memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli

yang prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif, sedangkan

jenis dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan radioterapi.

Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO pada tahun

1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:

1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi

2. Karsinoma non-keratinisasi

Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi

(WHO, 2005).

5. Pemeriksaan radiologi

Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan diagnosis yang

lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor

yang lebih tepat, mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan

sekitar.

Foto polos

Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto polos pada

umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar, sedangkan bula kecil

12

Page 13: laporan kasus Ca Nasofaring

mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor yang terjadi pada submukosa, atau

penyebaran yang belum terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui foto polos.

Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari kemungkian

tumor pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden, 2001)

o Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak

o Posisi basis cranii atau submentoforteks

o Tomogram lateral daerah nasofaring

o Tomogram anteroposterior daerah nasofaring

CT-Scan

Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos adalah

kemampuan untuk membedakan berbagai densitas pada daerah nasofaring.

CT Scan mampu membedakan berbagai densitas pada jaringan lunak maupun

perubahan-perubahan pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai

perluasan tumor ke jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran

intracranial (Wolden, 2001).

DIAGNOSIS BANDING

1. Hiperplasia adenoid

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-

anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat

suatu massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan

umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda

infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.

2. Angiofibroma juvenilis

Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala

menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak

infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang

berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma,

walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja karena

penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding

belakang sinus maksilaris yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini kaya

akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab

13

Page 14: laporan kasus Ca Nasofaring

gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan

angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.

3. Tumor sinus sphenoidalis

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya

tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaan

pertama.

4. Neurofibroma

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga

menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. secara C.T-Scan, pendesakan

ruang para faring kearah medial dapat membantu membedakan kelompok tumor

ini dengan KNF.

5. Tumor kelenjarr parotis

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak

agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring.

pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kearah medial

yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.

6. Chordoma

Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi

mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul

kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau

destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada

pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak

memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering

bermetastasis ke kelenjar getah bening.

7. Meningioma basis kranii

Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang

menyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii.

Gambaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum

penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian

14

Page 15: laporan kasus Ca Nasofaring

zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis

tumor ini.

TATALAKSANA

Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam

penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma

nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah

radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.

Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60

) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada

kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah

bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan

sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode

brakhioterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat

ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak

menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini

diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum

tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.

Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian

radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping

sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion

Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju. (Harry, 2002)

Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada

metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis

4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah

tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran

terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan

supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah

didaerah leher tengah. (Harry, 2002)

Dosis radiasi

15

Page 16: laporan kasus Ca Nasofaring

Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu

dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah

“cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”

Komplikasi radioterapi dapat berupa :

a) Komplikasi dini

Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang

diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

- Anoreksi

- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis yang

terkena radiasi)

- Eritema

b) Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Penurunan pendengaran

- Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama

pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter.

Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi

kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk

mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung

adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak

tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan

yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan.

Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan sebgainya bisa diberikan obat-obatan

simptomatik terhadap keluhan ini seperti avomit, avopreg. (Harry, 2002)

Kemoterapi

16

Page 17: laporan kasus Ca Nasofaring

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan

kambuh. (Harry, 2002)

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila

setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara

makroskopis.

- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko

kekambuhan dan metastasis jauh).

Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang

membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro

intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang

memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah

anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan

kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum

tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika.

Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih

lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.

(Wolden, 2001)

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,

yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada

paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi

faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek

samping pemberian kemoterapi. (Wolden, 2001)

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan

radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan

survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.

(Harry, 2001)

Manfaat Kemoradioterapi adalah

17

Page 18: laporan kasus Ca Nasofaring

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan

hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel

hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen.

Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel

hipoksia.

2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif

terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki

manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat

terpapar radiasi.

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum

radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed

tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping

itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik

seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV

dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response )

sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa

radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ

preservation). (Wolden, 2001)

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan

kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat

memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or

concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.

Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap

kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap

radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu

mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat

recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. (Wolden, 2001)

Kelemahan Kemoradioterapi

18

Page 19: laporan kasus Ca Nasofaring

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,

leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan

sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat

fatal.

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan

dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak

diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai

jadwal pemberian. (Harry, 2001)

Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal

(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan

sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering

digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.

Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan

nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau

adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang

dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan

suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu

pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus

Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

PROGNOSIS

Faktor terpenting untuk menentukan prognosis adalah stadium dari kanker.

Pada studi tahun 2002 yang menggunakan TNM staging system,

menunjukkan angka harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sebesar 98%,

stadium II A-B, 95%, stadium III 86%, dan stadium IV 73%.

Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terkena berumur

lebih muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki prognosis yang

lebih baik.

19

Page 20: laporan kasus Ca Nasofaring

Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat

menentukan prognosis dari pasien (WHO, 2005)

PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein

Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan

resiko tinggi.

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan

untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan

sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-

kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA

anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan

karsinoma nasofaring secara lebih dini.

20

Page 21: laporan kasus Ca Nasofaring

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : Ny. “J”

Umur : 52 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Sekarbela

Tanggal Pemeriksaan : 30 april 2013

ANAMNESIS

Keluhan utama:

Nyeri kepala belakang

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke RSU Provinsi NTB dengan keluhan nyeri kepala sejak 1 tahun yang

lalu, namun keluhan pasien semakin memberat sejak 1 bulan yang lalu, keluhan sakit

kepala juga disertai dengan nyeri pada kedua mata, namun penglihatan ganda

disangkal. Wajah terasa kebas dan seperti tertarik kearah kiri. Pasien juga mengaku

benjolan muncul pada leher kanan dan kiri yang muncul sejak ± 3 bulan lalu.

Benjolan dirasakan nyeri jika dipegang. Pasien juga mengeluh sulit untuk membuka

mulut dan lidah tidak dapat dikeluarkan, hidung rasa tersumbat (-), ingus keluar dari

lubang hidung (-), Keluhan sering mimisan, ingus bercampur darah disangkal. Pasien

juga merasakan adanya penurunan pendengaran. Keluhan mendengar suara air

terkocok di dalam telinga disangkal, riwayat pernah keluar air dan nyeri telinga

sebelumnya juga disangkal oleh pasien. Sejak kemarin pasien mengaku lemas, dan

susah untuk berjalan.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien belum pernah menderita keluhan yang sama seperti ini sebelumnya. Tidak ada

riwayat keluar cairan dari dalam telinga kiri maupun kanan.

Riwayat penyakit keluarga/sosial: -

21

Page 22: laporan kasus Ca Nasofaring

Riwayat pengobatan: pasien pernah berobat ke RSUD sebelumnya karena keluhan

nyeri kepala yang terus menerus dirasakan namun tidak ada perubahan.

Riwayat alergi:

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, tidak pernah

meler dan bersin-bersin saat terkena debu atau dingin.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital :

Tensi : 100/70 mmHg

Nadi : 74 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 36,7⁰C

Status Lokalis

Pemeriksaan telinga

No. Pemeriksaan

Telinga

Telinga kanan Telinga kiri

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri

tarik aurikula (-)

Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri

tarik aurikula (-)

3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-), otorhea

(-)

Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-), otorhea

(-)

22

Page 23: laporan kasus Ca Nasofaring

4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-),cone of light (+)

Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-),cone of light (+)

Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri

Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),

nyeri tekan (-), deformitas (-)

Bentuk (normal), hiperemi (-),

nyeri tekan (-), deformitas (-)

Rinoskopi anterior

Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)

Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa pucat

(-), hiperemia (-)

Bentuk (normal), mukosa pucat

(-), hiperemia (-)

Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret (+,

bening ketal), massa berwarna

putih mengkilat (-).

Mukosa hiperemis, sekret (-),

massa berwara putih mengkilat

(-).

Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi (-) Edema (-), mukosa hiperemi (-)

Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus

(-)

Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus

(-)

23

Page 24: laporan kasus Ca Nasofaring

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna pucat

Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda

Lidah Permukaan lidah putih,tampakseperti sisa makanan, dan jatuh

kekiri saat berusaha dijulurkan

Geligi

Tidak dapat dievaluasi karena pasien susah membuka mulut, lebar nya 2 jari

Uvula

Palatum mole

Faring

Tonsila palatine

Fossa Tonsillaris

dan Arkus

Faringeus

Pemeriksaan wajah:

- Wajah tertarik kearah kiri

- Sudut bibir tertarik kearah kiri

Pemeriksaan mata:

- Gerak bola mata baik ke segala arah ODS

- Konfergensi ODS baik

- Tidak terdapat diplopia binokuler pada gerak bola mata ke seluruh arah atau saat

- Konfergensi

- Mata kiri ptosis

Pemeriksaan leher

Ditemukan massa pada colli dextra-sinistra, dengan karakteristik:

Ukuran: dextra ± 5 x 3 cm; sinistra: ± 6 x 5 cm

Batas: tegas

Mobilisasi: immobile terhadap jaringan di bawah dan sekitarnya

Permukaan: licin, tidak rata

Nyeri tekan: +

Keterbatasan gerak leher: -

DIAGNOSIS

24

Page 25: laporan kasus Ca Nasofaring

Tumor colli dextra-sinistra, suspect Ca. Nasofaring

DIAGNOSIS BANDING

Limfoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG

- CT-Scan

- Biopsi nasofaring

- Metastasis jauh:

Tes fungsi hepar dan ginjal

Foto thoraks

USG hepar

Hasil CT-Scan pada tanggal 04 januari 2013

Interpretasi hasil CT-Scan: tampak massa solid bulat pada nasofaring Sinus paranasal kiri dan kanan normal Terdapat infiltrasi ke intracranial

RENCANA TERAPI (sementara/simtomatik)

25

Page 26: laporan kasus Ca Nasofaring

Diet cair

Medikamentosa

Neurobion 5000 mg dalam RL/hari

Analgetik :

Asam mefenamat 3 x 500 mg

KIE pasien

Tumor yang diderita pasien memiliki kemungkinan ganas, sehingga penegakan

diagnosis dengan pengambilan sedikit jaringan dari tumor akan membantu dalam

memberikan penanganan yang tepat dan cepat.

Pasien perlu dirujuk ke centre pengobatan lebih besar untuk memulai terapi

definitif terhadap tumor yang diderit.

PROGNOSIS

Menurut literatur, harapan hidup 5 tahun pada penderita ca nasofaring stadium

IV adalah 73%.

26

Page 27: laporan kasus Ca Nasofaring

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, sementara

ditegakkan diagnosis kerja suspect karsinoma nasofaring. Hasil anamnesis yang

mendukung adalah adanya keluhan nyeri kepala yang semakin memberat sejak 1 bulan

yang lalu, keluhan sakit kepala juga disertai dengan nyeri pada kedua mata, namun tidak

dirasakan penglihatan ganda. Wajah terasa kebas dan seperti tertarik kearah kiri. Pasien

juga mengaku benjolan pada leher kanan dan kiri yang muncul sejak ± 3 bulan lalu.

Benjolan dirasakan nyeri jika dipegang. Pasien juga mengeluh sulit untuk membuka

mulut dan lidah tidak dapat dikeluarkan, hidung tersumbat (-),ingus keluar dari lubang

hidung (-), Keluhan sering mimisan, ingus bercampur darah disangkal. Pasien juga

merasakan adanya penurunan pendengaran. Keluhan mendengar suara air terkocok di

dalam telinga disangkal.

Hasil pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya kelainan pada telinga, begitu juga

pada pemeriksaan hidung. Pada pemeriksaan mata tidak didapatkan adanya keterbatasan

gerak mata ataupun gangguan dan diplopia pada konvergensi, namun mata kiri terlihat

lebih kecil dari mata kanan. Pada pemeriksaan leher didapatkan adanya massa padat

terfiksir immobile yang nyeri pada penekanan pada sisi leher kanan-kiri. Massa ini

kemungkinan adalah pembesaran KBG leher, yang menunjukkan telah terdapat

metastasis secara limfogen pada karsinoma nasofaring. Pembesaran KGB juga dapat

terjadi pada limfoma. Pada pasien ini, terdapat pembesaran kelenjar bilateral, yang

meningkatkan kemungkinan terjadinya limfoma. Perlu dicari adanya pembesaran KGB di

bagian tubuh lain untuk meningkatkan kecurigaan limfoma.

CT-Scan dan biopsi dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Hasil CT-Scan

menunjukkan adanya massa nasofaring yang telah meluas ke intrakranial. Terdapat pula

pembesaran KGB di colli dextra dan sinistra. Berdasarkan hasil tersebut, stadium

karsinoma nasofaring pada pasien ini adalah T4/N3/M1 yang diklasifikasikan sebagai

stadium IV. Biopsi nasofaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti karsinoma

nasofaring.

Terapi definitif terhadap karsinoma nasofaring baru dapat dimulai bila diagnosis

pasti sudah ditegakkan. Untuk sementara terapi yang diberikan adalah terapi simtomatik

berupa analgetik untuk mengurangi nyeri dan pemberian tambahan suplemen vitamin

untuk menjaga kondisi pasien.

27

Page 28: laporan kasus Ca Nasofaring

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,

Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam.

Jakarta: EGC. Hal: 263-271

Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta:

FKUI. Hal:182-187

Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring, dalam Ballenger:

Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa

Aksara. Hal: 1020-1039

Brennan B. Review Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal of Rare Disease;

2006, available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/pdf/1750-1172-1-

23.pdf

Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan:

FK USU,2002.h. 1-11.

Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal

Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.

Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of Clinical

Oncology: Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker inc. Page: 142-

156

World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification Head and

Neck Tumours. Lyon: IARC Press. Available at:

www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php accessed: 19 December 2011.

28