laporan kasus

18
BAB I PENDAHULUAN Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah nasal maupun temporal konjungtiva bulbi menuju kornea pada daerah interpalpebra yang dapat menutupi seluruh kornea atau bola mata. Asal kata pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya sayap. Pterygium dapat unilateral ataupun bilateral dengan derajat pertumbuhan yang berbeda. Bila terdapat pada kedua mata lebih sering pada bagian nasal daripada temporal. Pterygium merupakan satu dari banyak kelainan oftalmik yang patogenesis penyakitnya belum jelas. Adapun faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi UV sinar matahari, iritasi kronik, dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter. Pterygium tersebar di seluruh dunia tetapi lebih banyak pada daerah beriklim panas dan kering, juga tinggi pada daerah yang berdebu. Prevalensi pterygium pada kedua mata di Indonesia pada kedua mata ditemui 3,2% sedangan pterygium pada salah satu mata 1.9%. Di Sulawesi Utara prevalensi pterygium pada kedua mata ditemui pada 321 orang (4,5%) sedangkan pada salah satu mata ditemui pada 259 orang (3,6%) dari 7196 responden. 1

Upload: rafaeljohannes

Post on 13-Apr-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

LAPKAS

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS

BAB I

PENDAHULUAN

Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah nasal maupun temporal

konjungtiva bulbi menuju kornea pada daerah interpalpebra yang dapat menutupi seluruh

kornea atau bola mata. Asal kata pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang

artinya sayap.

Pterygium dapat unilateral ataupun bilateral dengan derajat pertumbuhan yang

berbeda. Bila terdapat pada kedua mata lebih sering pada bagian nasal daripada temporal.

Pterygium merupakan satu dari banyak kelainan oftalmik yang patogenesis penyakitnya

belum jelas. Adapun faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni

radiasi UV sinar matahari, iritasi kronik, dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.

Pterygium tersebar di seluruh dunia tetapi lebih banyak pada daerah beriklim panas

dan kering, juga tinggi pada daerah yang berdebu. Prevalensi pterygium pada kedua mata di

Indonesia pada kedua mata ditemui 3,2% sedangan pterygium pada salah satu mata 1.9%. Di

Sulawesi Utara prevalensi pterygium pada kedua mata ditemui pada 321 orang (4,5%)

sedangkan pada salah satu mata ditemui pada 259 orang (3,6%) dari 7196 responden.

Berikut akan dilaporkan laporan kasus mengenai pterygium yang diambil dari pasien di Poli

Mata RS. Prof. dr. R. D. Kandou Manado.

1

Page 2: LAPORAN KASUS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFENISI

Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah nasal maupun temporal

konjungtiva bulbi menuju kornea pada daerah interpalpebra yang dapat menutupi seluruh

kornea atau bola mata. Asal kata pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang

artinya sayap.

Pterygium bisa unilateral atapun bilateral dengan derajat pertumbuhan yang berbeda.

Bila terdapat pada kedua mata lebih sering pada bagian nasal daripada temporal. Pterygium

merupakan satu dari banyak kelainan oftalmik yang patogenesis penyakitnya belum jelas.

Adapun faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi UV

sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.

FAKTOR RESIKO

1. Radiasi Ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah terpapar

sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan

sel dan proliferasi sel.

2. Faktor Genetik

Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,

kemungkinan diturunkan autosom dominan

3. Faktor lain

Iritasi kontak atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea. Debu, kelembaban

yang rendah, dan trauma yang kecil dari bahan partikel tertentu, mata kering dan virus

papiloma juga merupakan penyebab dari pterygium.

PATOGENESIS

Mekanisme patogenesis yang tepat yang melandasi perkembangan pterygium masih

jadi perdebatan. Terdapat beberapa teori tentang patogenesis pterygium yang berkembang

sekarang berupa teori degenerasi, inflamasi, neoplasma, tropik, ataupun teori yang

menghubungkan dengan sinar UV. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor

2

Page 3: LAPORAN KASUS

gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti

TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase,

migrasi sel, dan angiogenesis.

Secara histopatologik ditemukan, epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah

menjadi epitel berlapis gepeng. Pada puncak pterigium, epitel kornea menaik dan pada

daerah ini membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi

sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam

kornea serta merusak membran bowman dan stroma kornea bagian atas

KLASIFIKASI

Berdasarkan stadium, pterygium dibagi kedalam 4 stadium yaitu.

Stadium 1 :jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium 2 :jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih

dari 2 mm melewati kornea.

Stadium 3 :jika pterygium melebihi stadium 2 tapi tidak melebihi pinggiran pupil mata

dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).

Stadium 4 :jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu

penglihatan.

Berdasarkan tipenya, pterygium dibagi atas 3 :

Tipe 1 :pterygium kecil hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya

saja. Stocker's line atau deposit besi dapa dijumpai pada epitel kornea dan kepala

pterygium. Sering asimptomatik.

Tipe 2 : disebut pterygium tipe primer advanced atau pterygium rekuren tanpa keterlibatan

zona optik.

Tipe 3 : petrygium primer dengan keterlibatan zona optik merupakan pterygium paling berat.

Berdasarkan klasifikasi lain :

1. T1 (atrofi) : pembuluh darah episklera jelas terlihat

2. T2 (intermediet) : pembuluh darah episklera sebagian terlihat

3. T3 (fleshy, opaque) :daerah lesi yang tebal dimana pembuluh darah episklera tidak terlihat

karena tertutup jaringan pterygium yang tebal.

3

Page 4: LAPORAN KASUS

GEJALA KLINIS

Pterygium dapat asimptomatik atau memberikan keluhan iritatif, merah, dan mungkin

menimbulkan astigmatisma yang akan memberikan gangguan penglihatan. Biasanya

penderita merasakan seperti ada benda asing di matanya, keluhan subjektif dapat berupa rasa

panas dan gatal.

PENATALAKSANAAN

Tidak semua pterygium memerlukan tindakan operatif, jika pterygium kecil dan tidak

mengenai kornea, tidak tampak ada tanda inflamasi dan non progresif maka hanya perlu

observasi. Biasa diberikan air mata buatan hanya sebagai lubrikasi mata. Bila pterygium

meradang dapat diberikan steroid atau tetes mata dekongestan.

Terapi umum : jauhi faktor resiko seperti sinar matahari, debu, dan udara kering

dengan kacamata pelindung khususnya ketika beraktivitas di luar rumah.

Penanganan khusus : bila terdapat tanda radang beri obat tetes mata seperti tetes mata buatan

(artificial tears) yang hanya digunakan sebagai lubrikasi mata. Perlu diperhatikan tetes mata

yang diawetkan dapat menyebabkan iritasi karena toksisitas pengawet ada permukaan okular.

Pemberian vasokonstriktor perlu kontrol dalam 2 minggu dan pengobatan dihentikan bila

sudah ada perbaikan.

Indikasi pembedahan : bila akan atau menghalangi penglihatan atau bersifat

mengiritasi mata serta untuk mengurangi resiko kekambuhan. Indikasi pembedahan untuk

pterygium tingkat 1 adalah untuk alasan kosmetik. Pada pterygium tingkat 2 diindikasikan

bila pterygium cenderung progresif dan menghalangi penglihatan. Pada prerygium tingkat 3

untuk mengmbalikan fungsi penglihatan.

Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium di

antaranya adalah:

1.Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera.

Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat

mencapai 40-75%.

2.Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini

dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.

3.Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk

memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4.Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk

membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.

4

Page 5: LAPORAN KASUS

5.Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi

bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau

difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,

Illionis)

BAB III

LAPORAN KASUS

5

Page 6: LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : Adel Rawung

Umur : 56 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Kristen protestan

Pekerjaan : Petani

Alamat : Rumengkor

Tanggal pemeriksaan : 29 April 2013

II. Anamnesis

Keluhan utama : Merasa ada benda asing pada mata kiri

Riwayat penyakit sekarang : Keluhan utama dirasakan sejak 2 bulan yang lalu,

namun tidak mempengaruhi tajam penglihatan. Keluhan yang sering dialami pasien

seperti mata merah, perih, berair, dan terasa berpasir. Bertambah perih jika terkena

asap.

Riwayat penyakit dahulu : hipertensi dan diabetes tidak diketauhi pasien

Riwayat penyakit keluarga : hanya pasien yang sakit seperti ini

III.Pemeriksaan fisik

STATUS PRESENT

Sensorium : Compos mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Frekuensi nadi : 80x/mnt, regular

Frekuensi nafas : 20x/mnt, regular

Temperatur : 36,5 0C

STATUS LOKALISATA

Kepala : Dalam batas normal

Mata : Lihat status opthalmicus

Hidung : Dalam batas normal

Leher : Dalam batas normal

Thoraks : Dalam batas normal

6

Page 7: LAPORAN KASUS

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas Superior : Dalam batas normal

Ekstremitas Inferior : Dalam batas normal

Status ophtalmologis

VOD :6/15 + 1.00 6/6 Add: + 2.75

VOS :6/15 + 1.00 6/6

Add: + 2.75

TIOD : 17,3 mmHg

TIOS : 14,6 mmHg

PD : 63/61

Segmen anterior OD : -Palpebra : tidak ada kelainan

-Konjungtiva : tidak ada kelainan

-Sklera : tidak ada kelainan

-Kornea : tidak ada kelainan

-I/P : tidak ada kelainan

-Lensa : jernih

-Pupil : isokor

-Refleks cahaya : +

Segmen anterior OS : -Palpebra : tidak ada kelainan

-Konjungtiva : jaringan fibrovaskuler (+)

-Sklera : hiperemis

-Kornea : tidak ada kelainan

-I/P : tidak ada kelainan

-Lensa : jernih

-Pupil : isokor

-Refleks cahaya : +

Pemeriksaan Slit Lamp : Tidak dilakukan

Pemeriksaan Histopatologi : Tidak dilakukan

IV. Diagnosis kerja

7

Page 8: LAPORAN KASUS

Pterygium grade 1 okulus sinistra

V. Diagnosis banding

Pinguekula

Pseudopterygium

VI. Terapi

Umum : Menghindari faktor pencetus

Khusus : Artificial tears, obat tetes mata anti-inflamasi

VII. Prognosis

Quo ad Vitam : Bonam

Quo ad functional : Bonam

PEMBAHASAN

8

Page 9: LAPORAN KASUS

Pterygium tersebar diseluruh dunia tetapi lebih banyak pada iklim panas dan kering.

Prevalensi juga tinggi pada daerah yang berdebu. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang

terjadi pterygium, prevalensi pterygium meningkat dengan umur terutama dekade ke 2 dan ke

3 kehidupan. Indisen tinggi pada 20 sampai 49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada

umur muda dibandingkan dengan umur muda. Laki-laki 4x lebih besar beresiko daripada

perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, dan riwayat paparan

lingkungan di luar rumah.

Dari anamnesis pasien didapatkan keluhan utama rasa mengganjal pada mata sebelah

kiri sejak 2 bulan yang lalu. Pasien tidak mengeluh adanya penurunan tajam penglihatan,

namun pada riwayat penyakit sekarang ditemukan adanya mata merah, perih, dan berair.

Pada status opthalmologis didapatkan jaringan fibrovaskular pada konjungtiva dan hiperemis

pada sklera mata kiri. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja pada

pasien ini yaitu pterygium grade 1 oculli sinistra.

Berdasarkan stadium pterygium dibagi 4 stadium yaitu:

Stadium I : jika pterygium hanya terbatas hanya pada limbus kornea

Stadium II :melewati limbus, belum mencapai pupil, tidak melebihi 2mm melewati

kornea

Stadium III :jika pterygium melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata

dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4mm)

Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu

penglihatan

Tidak semua pterygium memerlukan tindakan operatif, jika pterygium kecil dan tidak

mengenai kornea tidak tampak tanda-tanda inflamasi dan non pogresif maka hanya dilakukan

observasi saja. Pasien dapat diberikan air mata buatan sebagai lubrikasi mata, bila meradang

bisa diberikan steroid topikal. Terpai dibagi atas umum dan khusus. Terapi umum yaitu

menganjurkan pasien menghindari faktor pencetus seperti menggunakan kacamata, paparan

sinar matahari dalam waktu lama, terutama sinar ultra violet, serta iritasi mata kronis oleh

debu dan kekeringan. Terapi khusus dengan menggunakan obat tetes mata buatan seperti

tetes mata buatan (artificial tears) hanya sebagai lubrikasi mata saja dan tidak terdapat efek

pengobatan pada air mata buatan hanya untuk memberikan rasa nyaman.

Namun harus diperhatikan bahwa sering menggunakan tetes mata yang diawetkan

dapat menyebabkan iritasi karena toksisitas pengawet pada permukaan okular. Bila tetes mata

9

Page 10: LAPORAN KASUS

lebih dari 3 atau 4 kali sehari bisa diberikan tetes mata yang tidak diawetkan selain itu

pemberian dapat diberikan obat tetes mata anti-inflamasi jika terdapat inflamasi.

Terapi eksisi pterygium diindikasikan bila akan atau telah menghalangi jaras

penglihatan atau bersifat mengiritasi mata. Indikasi pembedahan pterygium tingkat I adalah

untuk alasan kosmetik. Pada pterygium tingkat II pembedahan diindikasikan bila pterygium

cenderung bersifat progresif dan cenderung menghalangi jaras penglihatan sedangkan pada

pterygium tingkat III diindikasikan untuk mengembalikan fungsi penglihatan.

Dilihat dari kasus ini prognosis pasien baik. Pterygium tidak mengancam jiwa selain

itu tindakan pembedahan juga cenderung aman dan memiliki prognosis yang baik.

DAFTAR PUSTAKA1. Ilyas S. Buku ilmu penyakit mata, 4th ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI;2012

10

Page 11: LAPORAN KASUS

2. Ilyas, S., Tanzil,M., Salamun, Azhar,Z. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. Balai

penerbit FKUI;2008

PTERYGIUM GRADE 1 OKULUS SINISTRA

11

Page 12: LAPORAN KASUS

OLEH:KELOMPOK 1

RESIDEN PEMBIMBINGdr. Inga M. D. Santoso

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2013

DAFTAR ISI

12

Page 13: LAPORAN KASUS

BAB I

PENDAHULUAN............................................................ 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA................................................... 2

BAB III

LAPORAN KASUS......................................................... 6

BAB IV

PEMBAHASAN............................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA....................................................... 11

13