laporan kasus

50
LAPORAN KASUS KISTA OVARIUM Disusun Untuk Memenuhi Tugas Dokter Muda SMF Obsterik dan Ginekologi RSSA Malang OLEH: Endi Wiwik Novitasari 105070107121002 PEMBIMBING : dr. LEM SUPERVISOR : Dr. Hermawan Wibisono, SpOG(K) SMF/LABORATORIUM OBSTETRI GINEKOLOGI

Upload: wiwiknovitasari

Post on 25-Sep-2015

89 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

LAPORAN KASUS

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

KISTA OVARIUM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Dokter Muda

SMF Obsterik dan Ginekologi RSSA Malang

OLEH:

Endi

Wiwik Novitasari105070107121002

PEMBIMBING :

dr. LEM

SUPERVISOR :

Dr. Hermawan Wibisono, SpOG(K)

SMF/LABORATORIUM OBSTETRI GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR MALANG

2015

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

AKI di Indonesia mencapai 228/100.000 kelahiran hidup. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam (59/100.000), dan Cina (37/100.000). Ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan AKI tertinggi asia, tertinggi ke-3 di kawasan ASEAN dan ke-2 tertinggi di kawasan SEAR. Angka Kematian Ibu masih sangat tinggi di Indonesia. Sebanyak 228 ibu meninggal dunia pada setiap 100.000 kelahiran hidup. Menurut hasil kajian kinerja IGD Obstetri-Ginekologi dari RSUP Cipto Mangunkusumo, yang merupakan Rumah Sakit rujukan nasional, lima besar penyebab kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, eklampsia, sepsis, infeksi dan gagal paru. (Kementrian Kesehatan RI, 2013) Wanita ras Afrika-Amerika memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita ras kulit putih. Secara umur mortalitas dan morbiditas semakin meningkat pada wanita hamil dengan umur 35 tahun. Faktor lain yang berisiko adalah obesitas dan kehamilan ganda. (Chuningham et al. 2013)

Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan post partum, ditandai dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. Morbiditas dan mortalitas dari preeklampsia disebabkan disfungsi dari endotelial sistemik, vasospasme, dan trombosis pembuluh darah kecil yang akan mengakibatkan iskemi jaringan dan organ. (Prawirohardjo Sarwono, 2014) Preeklamsia merupakan salah satu masalah yang sering menimbulkan komplikasi pada ibu hamil maupun pada bayi. Penyakit ini ditandai dengan munculnya hipertensi dan proteinuria dan seringkali terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum 48 jam pascapersalinan (Young et al., 2010).

Preeklampsia terbagi menjadi 2 yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Preeklampsia ringan ditegakkan atas timbulnya hipertensi dengan tekanan darah 140/90 mmHg disertai proteinuria 300 mg/24 jam dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu. Sedangkan preeklampsia berat ditandai dengan tekanan darah 160/110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 g/24 jam. (Prawirohardjo Sarwono, 2014) Preeklampsia disebabkan oleh beberapa faktor yang berperan penting, yakni implantasi plasenta disertai invasi tropoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus, maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamator yang terjadi pada kehamilan normal, toleransi imunologis serta faktor genetik. (Chuningham et al. 2013)

Preeklampsia tidak selalu dapat didiagnosis secara pasti. Penatalaksanaan preeklamsia selama ini ditujukan kepada terapi simptomatis, seperti agen penurun tekanan darah, diuretik, obat-obat antikoagulasi, antikonvulsi, dan juga melahirkan janin jika gejala preeklamsia bertambah berat (Park et al.,2007). Pengontrolan tekanan darah ibu dengan antihipertensi penting untuk menurunkan insidensi perdarahan serebral dan mencegah terjadinya stroke maupun komplikasi serebrovaskuler lain akibat preeklamsia (Sidani dan siddik-sayid, 2011).

1.2 Tujuan

Laporan kasus ini bertujuan untuk membahas satu pasien dengan diagnosa preeklampsia berat di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang, sehingga diketahui:

1. Prosedurpenegakan diagnosis preeklamsia berat yang benar.

1. Deteksi dini komplikasi dari preekampsia berat

1. Manajemenpenatalaksanaan preeklamsia berat danprognosisnya

1.3 Manfaat

Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda mengenai preeklamsia berat dalam hal pelaksanaan anamnesa dan diagnosis, deteksi dini adanya komplikasi dari preeklampsia berat, penanganan awal, serta merujuk yang benar dan tepat.

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

No Reg : 11226823

Nama : Ny. SK

Umur : 32 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan: SMP

Pekerjaan: Penjahit

Status : Menikah 1x

Lama Menikah: 9 tahun

Suami : Tn. ZA

Umur : 40 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan: Salesman

Alamat : Ds. Kebonagung RT 1 / 2 Tamanharjo Malang

Tanggal MRS: 11 Maret 2015

2.2 Subjektif

Ny. SK/32 tahun/menikah 1x selama 9 tahun/ G2P1001Ab000/KB -/HPHT: 25 Juni 2014 37-38 minggu/

2.2.1 Keluhan Utama

Kenceng-kenceng pada perut

2.2.2 Perjalanan Penyakit

Pada tanggal 11 Maret 2015 pukul 16.00 pasien mengeluh kenceng-kenceng pada perut namun pasien tetap di rumah. Pada pukul 18.00 pasien mengeluh kenceng-kenceng terasa semakin kuat. Pasien kemudian pergi ke RSUD Lawang dan diperiksakan tekanan darahnya 180/110 mmHg. Karena dokter SpOG tidak ada maka disarankan dirujuk ke RSSA. Pasien kemudian berangkat ke RSSA dan tiba di IGD RSSA pukul 20.00.

Riwayat hipertensi sebelumnya dan selama kehamilan disangkal. Pandangan kabur (-), mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (+) sejak 4 hari sebelum masuk RS, pusing (-).

Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)

:

25 Juni 2014

Taksiran Persalinan

:

21 April 2015

Menarche

:

13 tahun

Siklus Haid

:

28 hari

Lama Haid

:

7 hari

ANC

:

3 x di bidan dan 2 x di dokter SpOG, terakhir kontrol tanggal 24 Februari 2015

Alergi Obat dan Makanan

:

Tidak ada

2.2.3 Riwayat Pernikahan

Pernikahan 1 kali, dengan suami sekarang selama kurang lebih 9 tahun

2.2.4 Riwayat Kehamilan/Persalinan

Sekarang ini pasien hamil anak kedua. Anak pertama pasien berusia 7 tahun. Berat badan lahir 2600 gram dan lahir aterm di bidan.

2.2.5 Riwayat Kontrasepsi

Pasien menggunakan KB suntik selama 4 tahun, kemudian berhenti selama 1 tahun yang lalu karena ingin hamil.

2.2.6 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi maupun kencing manis sebelum kehamilan. Pasien baru mengalami tekanan darah tinggi pada usia kehamilan 7 bulan. Pasien mengaku pernah mengalami kaki bengkak sejak usia kehamilan 7 bulan sampai sebelum melahirkan. Bengkak semakin besar dan mencapai pergelangan kaki.

2.2.7 Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu pasien memiliki riwayat hipertensi dan tidak memiliki riwayat kencing manis. Tidak ada lagi keluarga pasien yang memiliki riwayat hipertensi atau kencing manis.

2.2.8 Riwayat Pengobatan

Pasien menjalani ANC sebanyak 5 kali di bidan dan di dapatkan tensinya normal sekitar 120/... mmHg. Namun saat usia kehamilan 7 bulan, tekanan darah pasien 150/100. Pasien hanya diberi obat penurun tekanan darah dan rutin dikonsumsi. Pasien tidak pernah pernah minum jamu atau pijat oyok selama kehamilan.

2.2.9 Riwayat Sosial

Pasien adalah seorang penjahit dan sudah memiliki 1 anak berumur 7 tahun.

2.3 Obyektif

Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis

BB : 66,5 kg

TB : 154 cm

BMI : 28,04

TD : 170/100 mmHg

Nadi : 90 x/menit, reguler

RR : 20 x/menit

Tax : 36,60C

Kepala dan leher : anemis - / - , icterus - / -

Thorax : c/ S1S2 tunggal, murmur (-)

p/ v v Rh - - Wh - -

v v - - - -

v v - - - -

Abdomen : TFU 29 cm letak janin bujur U, BJA 144x/mnt (doppler), TBJ

2635 gr, His (+) jarang

VT (setelah inj SM) : Pembukaan diameter 1 cm, eff 50%, Hodge I, KET (-) ketuban (+) warna kehijauan, presentasi kepala, denominator sulit dievaluasi, UPD ~ dbn.

Ekstremitas : akral hangat, edema -|-, anemia - | -

+ |+

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (11 Maret 2015 )

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hematologi

Hemoglobin

14,70

g/dL

11.4-15.1

Eritrosit

4,93

g/dL

4,0-5,0

Leukosit

16.420

L

4.700 -11.300

Hematokrit

42,30

%

38-42

Trombosit

109

103/L

142-424

Faal hemostasis

PPT

APTT

8,40

32,00

Detik

Detik

11,5-11,8

27,4-28,6

Faal Hati

AST/SGOT

62

U/L

0-32

ALT/SGPT

27

U/L

0-33

Albumin

2,33

g/dL

3,5 5,5

LDH

1018

U/L

240-480

Faal Ginjal

Ureum/Creatinin

50,20/1,16

mg/dL

16.6-48.5/ 3 g/dl

- InjCefazolin 3x 1gr stop

PO :

1. Cefadroxil 3 x 500 mg

1. Asammefenamat 3 x 500 mg

1. Roborantia 1 x1

1. Nifidepin 3 x 10mg

1. Methyldopa 2 x 500 mg

PMo :

1. Vital Sign

1. Keluhan

1. Objs

1. ProduksiUrin

1. Balance cairan

1. Luka operasi

BAB 3

PERMASALAHAN

3.1 Diagnosa

Bagaimana penegakan diagnosa pada kasus ini?

3.2 Penatalaksanaan

Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini?

3.3 Komplikasi

Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini?

3.4 Prognosis

Bagaimana prognosis pada kasus ini?

BAB 4TINJAUAN PUSTAKA

1.

0. Definisi

Preeklampsia merupakan suatu sindroma spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan hipertensi (tekanan darah 140/90 mmHg) dan proteinuria (temuan 0,3 g protein pada pemeriksaan 24 jam) setelah minggu ke-20 usia kehamilan. Pada keadaan tidak ditemukannya proteinuria, preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi dengan disertai tanda-tanda seperti trombositopenia, gangguan fungsi hepar, insufisiensi renal, edema paru, gangguan serebral atau visual (Hendersonet al., 2014).

Preeklampsia didiagnosa melalui pemeriksaan tekanan darah yang dilakukan sebanyak dua kali dengan selang waktu 4 jam diantaranya pada usia kehamilan minggu ke-20, dan pemeriksaan kadar protein yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pemeriksaandipstickdengan hasil +1 atau dengan pemeriksaan air seni/urin 24 jam (ACOG, 2013). Preeklampsia dapat berkembang menjadi kondisi eklampsia apabila kondisi preeklampsia tidak tertangani dengan baik. Hal ini diperlihatkan melalui gejal preeklampsia yang disertai dengan kejang (Osungbade and Ige, 2011).

0. Epidemiologi

Preeklampsia merupakan kelainan multisistem yang muncul pada 3-8% kehamilan pada negara barat dan menjadi salah satu penyebab utama morbiditas serta mortalitas di seluruh dunia. Preeklampsia berkontribusi terhadap 10-15% dari total kematian ibu di seluruh dunia dengan estimasi sekitar 50.000 wanita meninggal dunia setiap tahunnya akibat komplikasi terkait preeklampsia (Hezelgrave et al., 2012; Staff et al., 2013). Menurut WHO, angka kejadian preeklampsia berat berkisar antara 0,51-38,4%. Di negara maju, angka kejadian preeklampsia berat sekitar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7% (Oktaviansyah, 2012).

Di Indonesia, dimana penulisan data mengenai kejadian preeklampsia dan eklampsia masih terbatas, diperkirakan insiden preeklampsia di Indonesia mencapai 7-10%. Preeklampsia di Indonesia menyumbang 39,5% kematian ibu pada tahun 2001 dan 55,56% pada tahun 2002. Ini merupakan bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu terbanyak kedua pada kehamilan setelah perdarahan dan infeksi (Buchmann, 2011; Opitasari dan Andayasari, 2014).

Risiko preeklampsia meningkat 2-5 kali lipat lebih tinggi pada wanita hamil dengan riwayat ibu pernah mengalami preeklampsia. Berdasarkan etnis, insiden preeklampsia berkisar antara 3-7% pada nulipara dan 1-3% pada multipara. Preeklampsia dapat membahayakan nyawa ibu dan anak. Pada ibu, preeklampsia menyebabkan penyakit kardiovaskuler sepeti hipertensi kronis, penyakit jantung iskemik, maupun stroke. Sedangkan pada anak, preeklampsia menyebabkan berat badan lahir rendah, peningkatan resiko stroke, penyakit jantung coroner, dan sindroma metabolik di kemudian hari (Uzan et al., 2011).

0. Klasifikasi

Preeklampsia dan eklampsia dikelompokkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menjadi 4 kelompok, yaitu:

1. Preeklampsia ringan

1. Tekanan darah maternal 140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu.

1. Tes dipstick menunjukkan proteinuria +1 atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam.

1. Preeklampsia berat

1. Tekanan darah maternal >160/110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu.

1. Tes dipstick menunjukkan proteinuria +2 atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil >5g/24 jam.

1. Atau disertai keterlibatan organ lain seperti:

1. Trombositopenia (+1 atau trombosit 20 minggu.

1. Eklampsia

1. Kejang umum dan/atau koma.

1. Ada tanda dan gejala preeklampsia.

1. Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsi, perdarahan subarakhnoid, dan meningitis).

0. Etiologi dan Faktor Risiko

Preeklampsia merupakan penyakit yang eksklusif pada masa kehamilan, resolusi dari penyakit ini terjadi hanya dengan persalinan. Sampai saat ini, penyebab pasti dari preeklampsia belum diketahui. Bukti-bukti menunjukkan adanya kecenderungan familial untuk terjadinya preeklampsia dapat diwariskan baik dari gen resesif atau gen maternal dominan dengan 50% penetrasi. Bukti lain menunjukkan hubungan antara preeklampsia dan keberadaan variasi gen angiotensinogen T235 serta peranan mutasi faktor V Leiden pada patofisiologi preeklampsia. Tidak semua kasus memiliki komponen genetik. Faktor predisposisi lain untuk terjadinya preeklampsia meliputi kelainan-kelainan yang dikarakterisasi oleh penyakit mikrovaskular seperti riwayat hipertensi, penyakit kolagen vaskular, peningkatan konsentrasi plasma dari dimetilarginin asimetris, sindrom antifosfolipid, diabetes melitus, dan juga kondisi-kondisi terkait dengan plasenta besar seperti kehamilan multipel (gemeli), mola hidatidosa, dan hydropic plasenta. Sebagai tambahan, telah didapati bahwa pada banyak wanita preeklamtik, aktivitas simpatis meningkat secara reversibel yang menyebabkan penambahan vasokonstriksi. Semua mekanisme ini menyebabkan perfusi plasenta yang buruk dan telah disepakati secara umum bahwa penurunan aliran darah ke plasenta memegang peranan penting dalam patogenesis preeklampsia (Frishman et al., 2006).

Faktor risiko yang berhubungan dengan preeklampsia yaitu kehamilan pertama, usia maternal 35 tahun, obesitas, kehamilan kembar (gemeli), riwayat keluarga dengan preeklampsia atau eklampsia, riwayat medis sebelumnya (hipertensi, preeklampsia/eklampsia,diabetes mellitus, penyakit autoimun, penyakit polikista ovarii, antiphospholipid antibody syndrome, non-immune hydrops, dan penyakit ginjal), ras maternal Afrika-Amerika, dan kehamilan mola (Alladin and Harrison, 2012; APEC, 2014).

0. Patofisiologi

Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar, teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

1. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

1. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

1. Teori adaptasi kardiovaskular

1. Teori genetik

1. Teori defisiensi gizi

1. Teori inflamasi (Prawirohardjo, 2011).

Sebuah model 2 tahap preeklampsia telah diusulkan sebagai konsep untuk menjelaskan patofisiologi preeklampsia. Tahap pertama, yaitu penurunan perfusi plasenta dianggap sebagai "akar penyebab". Hal ini kemudian pada beberapa, namun tidak semua wanita, akan berkembang ke tahap kedua, yaitu sindrom maternal multisistemik dari preeklampsia (Roberts and Gammill, 2005).

Pada kehamilan normal, arteri spiralis akan mengalami remodeling pada minggu ke-9-12 usia kehamilan. Vili sitotrofoblas akan masuk ke sepertiga bagian dalam miometriumdan arteri spiralis akan kehilangan endotelium sehingga membuat diameter lumen pembuluh darah meningkat 4 kali lipat. Dinding pembuluh darah juga mengalami modifikasi dengan hilangnya sebagian besar serabut otot polos. Modifikasi struktural tersebut berhubungan dengan perubahan fungsional sehingga arteri spiralis menjadi pembuluh yang lembek dan memiliki resistensi rendah sehingga kurang sensitif, atau bahkan tidak sensitif, terhadap zat-zat vasoaktif. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Respon imun juga memfasilitasi perkembangan plasental yang normal. Dalam desidua uterus, limfosit dan makrofag ibu akan membantu trofoblas menginvasi miometrium dan arteri spiralis (Redman and Sargent, 2005; Prawirohardjo, 2011; Uzan et al., 2011).

Pada preeklampsia, terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis yang mensuplai ruang intervillous. Remodeling dapat tidak terjadi sama sekali ataupun hanya terbatas pada bagian superfisial arteri yang terletak di desidua dan tidak mencapai sepertiga bagian dalam miometrium. Kelainan ini disebabkan karena kegagalan produksi molekul adhesi endotel dari trofoblas atau kegagalan/lemahnya signaling sistem imun oleh trofoblas mencegah invasi yang mendalam yang diperlukan untuk remodeling arteri pada keadaan normal.Kelainan ini mungkin juga berhubungan dengan jalur nitric oxide, yang memberi kontribusi besar terhadap pengendalian tonus pembuluh darah. Selain itu, hambatan sintesis nitrit oksida maternal mencegah terjadinya implantasi embrio. Peningkatan resistensi arteriuterina meningkatkan sensitivitas terhadap vasokonstriksi sehingga menyebabkan iskemia plasenta kronis dan stress oksidatif. Iskemia plasenta kronis ini menyebabkan komplikasi pada janin, termasuk retardasi pertumbuhan intrauterine (IUGR) dan kematian intrauterin. Di samping itu, stress oksidatif akan menginduksi pelepasan zat-zat seperti radikal bebas, lipid teroksidasi, sitokin, dan serum soluble vascular endothelial growth factor 1 (sVEGF1) ke dalam sirkulasi maternal. Keadaan ini menyebabkan disfungsi endotel dengan hiperpermeabilitas vaskular, trombofilia, dan hipertensi sebagai kompensasi penurunan aliran arteri uterina akibat vasokonstriksi perifer (Redman and Sargent, 2005; Uzanet al., 2011).

Gambar 4.1 Plasentasi Abnormal pada Preeklampsia

(Redman and Sargent, 2005)

Disfungsi endotel bertanggung jawab terhadap tanda-tanda klinis pada ibu, seperti kerusakan pada endotel hepar yang berkonstribusi pada sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzymes and Low Platelet count), kerusakan pada endotel serebri menyebabkan gangguan neurologis refrakter, atau bahkan eklampsia. Berkurangnya faktor pertumbuhan endotel vaskular pada podosit menyebabkan endoteliosis lebih mampu memblok celahdiafragma pada membrana basalis, menyebabkan penurunan lebih lanjut terhadap filtrasi glomerulus dan menyebabkan proteinuria. Pada akhirnya, disfungsi endotel dapat menyebabkan anemia hemolitik mikroangiopati dan hiperpermeabilitas vaskular yang berhubungan dengan rendahnya serum albumin sehingga menyebabkan edema, khususnya di tungkai bawah atau paru-paru (Uzan et al., 2011).

Dua teori umum yang saling terkait, yaitu teori genetik dan teori imunologi. Adanya beberapa gen yang rentan mungkin merupakan penyebab preeklampsia. Gen ini mungkin berinteraksi dalam sistem hemostatik dan kardiovaskular, serta dalam respon inflamasi. Beberapa telah diidentifikasi dan dalam beberapa studi kandidat gen telah memberikan bukti adanya kaitan preeklampsia terhadap beberapa gen, seperti angiotensinogen pada 1-q42-43 dan eNOS pada 7q36; lokus penting utama lainnya adalah 2p12, 2p25, 9p13, dan 10q22.1 (Uzan et al., 2011).

Preeklampsia dapat dianggap sebagai gangguan dari sistem kekebalan tubuh ibu yang mencegahnya untuk mengenali unit fetoplasenta. Produksi berlebihan dari sel-sel imun menyebabkan sekresi tumor necrosis factor alpha yang menginduksi apoptosis dari sitotrofoblas ekstravili. Sistem antigen leukosit manusia (HLA) juga tampaknya memainkan peran dalam invasi yang tidak sempurna dari arteri spiralis, pada wanita dengan preeklampsia menunjukkan kurangnya tingkat HLA-G dan HLA-E. Selama kehamilan normal, interaksi antara sel-sel ini dan trofoblas adalah karena sekresi vascular endothelial growth factor (VEGF) dan placental growth factor(PGF) oleh sel-sel natural killer (NK). Tingginya kadar larut fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1), antagonis VEGF dan PGF, telah ditemukan pada wanita dengan preeklampsia. Faktor-faktor ini akan meningkat 4-8 minggu sebelum onset penyakit. Oleh karena itu, hal ini mungkin berguna sebagai indikator dari preeklampsia (Uzan et al., 2011).

Gambar 4.2 Patofisiologi Preeklampsia (Magee et al., 2014)

0. Kriteria dan Penegakan Diagnosis

Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa akan ditemukan keluhan antara lain nyeri abdomen, sakit kepala, muntah, pandangan kabur, kejang, oliguria, dan sesak. Dari pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah di atas 140/90 mmHg, dapat juga didapatkan nyeri pada right upper quadran abdomen dan epigastrium. Hal ini terjadi karena edema hati dan hematoma atau perdarahan subcapsular (Park and Brewster, 2007).

Sindroma HELLP kadang-kadang menyertai disfungsi hati dan merupakan penanda keparahan preeklampsia. HELLP juga dapat menyebabkan koagulopati yang menyebabkan perdarahan dari membran mukosa dan menyebabkan kematian pada 2-24% kasus. Temuan neurologis sebagai akibat dari edema serebri, biasanya digambarkan sebagai reversible posterior leukoencephalopathy syndrome (RPLS), berhubungan dengan sakit kepala, muntah, kebingungan, gangguan visual, dan kejang. Keterlibatan ginjal pada akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal, biasanya disebabkan oleh ATN dari perdarahan atau sepsis dan membaik setelah resolusi preeklampsia. Sesak napas dapat merupakan hasil dari edema paru akibat kebocoran kapiler (Park and Brewster, 2007).

Dari pemeriksaan penunjang ditemukan penurunan kadar platelet akibat meningkatnya konsumsi dan destruksi intravaskular. Konsentrasi hemoglobin dapat meningkat karena penurunan volume intravaskular. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan janin menjadi terbatas (intrauterine growth restriction). Asam urat, BUN, dan serum kreatinin akan meningkat. Peningkatan kadar asam urat ini terjadi karena menurunnya renal clearance dan meningkatnya produksi asam urat dari jaringan yangiskemik dan stress oksidatif. Temuan ini memprediksi hasil yang lebih buruk karena asam urat mempotensiasi kerusakan vaskular pada preeklampsia (Park and Brewster, 2007).

Tabel 4.1 Kriteria Diagnosis untukPreeklampsia (ACOG, 2013)

0. Penatalaksanaan

6. Penatalaksanaan Preeklampsia Ringan

Hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan preeklampsia ringan adalah keselamatan ibu dan janin serta pemilihan cara persalinan. Langkah-langkah penatalaksanaannya juga tergantung dari hasil evaluasi keadaan ibu dan janin, usia kehamilan, ada tidaknya pecah ketuban, perdarahan vagina, dan permintaan dari pasien sendiri (ACOG, 2013; Royal College of Physicians of Ireland, 2013).

Tujuan utama dari penatalakasanaan preeklampsia ringan adalah mencegah kejang, perdarahan intrakranial, gangguan fungsi organ vital sehingga dapat melahirkan bayi yang sehat (Prawirohardjo, 2011).

1. Penatalaksanaan Antepartum

Pasien dapat dirawat secara rawat jalan. Ketika pasien mulai terdiagnosis sampai pasien melahirkan, perlu dilakukan monitoring ketat terhadap keluhan terutama yang mengarah pada tanda-tanda adanya preeklampsia berat (impending eclampsia) seperti ada tidaknya nyeri kepala hebat, penglihatan kabur, nyeri epigastrik, dan sesak napas. Keluhan mengenai gerakan janin juga perlu ditanyakan. Pasien diminta melakukan ANC secara rutin untuk mengetahui status janin dan jika perlu USG untuk mengetahui pertumbuhannya. Pengukuran tekanan darah 2 kali seminggu dan penghitungan jumlah trombosit, enzim hepar, dan ureum/kreatinin secara mingguan perlu dilakukan (Prawirohardjo, 2011; ACOG, 2013; Royal College of Physicians of Ireland, 2013).

Pasien diberi KIE untuk banyak istirahat dengan tidur miring ke kiri, namun tirah baring lama tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan risiko tromboemboli. Obat antihipertensi juga tidak perlu diberikan dan tidak ada batasan jumlah garam dalam konsumsi makanan selama fungsi ginjalnya masih bagus. Pasien disarankan banyak makan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan diberikan tambahan roboransia pranatal (Prawirohardjo, 2011; ACOG, 2013; Royal College of Physicians of Ireland, 2013).

Pada keadaan tertentu, pasien perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria rawat inap antara lain bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan kadar proteinuria selama 2 minggu dan adanya satu/lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.

1. Penatalaksanaan Intrapartum

Jika pasien sudah menunjukkan tanda-tanda inpartu dan usia kehamilan memasuki atau lebih dari 37-38 minggu atau apabila usia kehamilan 34-35 minggu atau lebih dengan tanda-tanda perburukan maka dapat dilakukan induksi persalinan. Pada kehamilan aterm (>37 minggu),persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan dan dipertimbangkan untuk melakukan induksi pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan (Prawirohardjo, 2011; ACOG, 2013).

Pada kehamilan preterm (16 kali/menit. Dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi atau setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Bila terjadi refrakter dapat diberikan salah satu obat berikut yaitu tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin (Prawirohardjo, 2011).

Pada pasien preeklampsia berat, dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi. Tujuan terapi pada wanita tanpa penyakit penyerta sebelumnya adalah sistolik antara 130-155 mmHg dan diastolik 80-105 mmHg. Pada wanita dengan penyakit penyerta sebelumnya seperti diabetes atau gangguan ginjal, maka sistolik antara 130-139 mmHg dan diastolik 80-89 mmHg. Pemberian obat dilakukan satu jenis terlebih dahulu kemudian ditingkatkan dosisnya hingga dosis maksimal sampai mencapai tujuan tekanan darah yang diinginkan. Apabila tidak tercapai, dapat diberikan dua jenis obat secara bersamaan (Prawirohardjo, 2011; Royal College of Physicians of Ireland, 2013).

Rekomendasi obat yang dapat diberikan antara lain:

1. Nifedipin dengan dosis awal 10-20 mg diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimal 120 mg/24 jam. Obat ini merupakan antihipertensi poten dan pemberiannya tidak boleh dilakukan sublingual karena menyebabkan penurunan darah yang cepat sehingga dapat menimbulkan fetal distress.

1. Labetolol dengan dosis awal 100 mg 2-3x/hari sampai maksimal 2,4 gr (600 mg 4x/hari). Kontraindikasi pada pasien asma.

1. Metildopa dengan dosis 250mg 3x/hari ditingkatkan sampai maksimal 1 gr 3x/hari. Efek terapeutik baru muncul setelah 24 jam. Obat ini menimbulkan efek samping berupa sedasi dan depresi.

Risiko terjadinya edema paru dan oligouria pada pasien preeklampsia berat tinggi sehingga perlu dilakukan pengelolaan cairan yang tepat dengan memonitoring input dan output cairan. Cairan yang dapat diberikan RD5 160/110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu, tanpa disertai riwayat hipertensi sebelumnya dan disertai dengan proteinuria +2. Pasien ini juga mengalami trombositopenia dan gangguan fungsi hepar yang dapat menjadi salah satu kriteria diagnosis preeklampsia berat apabila tidak ditemukan proteinuria. Adanya trombositopenia, peningkatan kadar AST, serta peningkatan LDH pada pasien ini memenuhi kriteria diagnosis sindroma HELLP sehingga pasien dapat didiagnosa mengalami sindroma HELLP yang menurut klasifikasi Mississipi termasuk dalam kelas 1 (trombosit 50.000/L). Dari hasil pemeriksaan CTG, didapatkan hasil CTG patologis yang mengindikasikan adanya fetal compromise.

10. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada preeklampsia berat tergantung pada usia kehamilannya. Penatalaksanaannya mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan (Prawirohardjo, 2011; American College of Obstetricians and Gynecology, 2013; Royal College of Physicians of Ireland, 2013). Pasien dengan preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit dilanjutkan tirah baring miring ke kiri. Secara umum, perlu dilakukan monitoring ketat terhadap tanda-tanda vital dan produksi urin serta saturasi oksigen. Keadaan janin dipantau menggunakan CTG. Pemeriksaan laboratorium diulang setiap 12 jam. Apabila ditemukan hasil yang abnormal, pemeriksaan dapat diulang setiap 4-8 jam. Pemeriksaan yang diperlukan antara lain darah lengkap, faal hati, faal hemostasis, dan serum elektrolit (Royal College of Physicians of Ireland, 2013).

Pada pasien ini, dilakukan tirah baring miring ke kiri. Monitoring dilakukan terhadap tanda-tanda vital dan CTG untuk melihat keadaan janin. Pasien juga diberikanoksigen NRBM 10 lpm sebagai upaya resusitasi intrauterin.

Untuk mencegah kejang dapat diberikan obat antikejang. Magnesium sulfat (SM) sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama. SMdiberikan sebanyak dua kali yaitu initial dose dan maintenance dose. Menurut Sarwono, initial dose diberikan 4 gram SM IV(40%dalam 10 cc)selama 15 menit. Pada pasien ini, SM yang diberikan menggunakan SM 20% sehingga yang diberikan sebanyak 20 cc. Ini dilakukan untuk mengurangi efek samping rasa panas yang diakibatkan oleh kepekatan dari SM. Pasien juga diberikan injeksi SM 40% 10 gr IM boka-boki. Untuk maintenance dosenya, menurut Sarwono dapat diberikan berupa infus 6 gr dalam larutan ringer laktat atau ringer asetat/6 jam atau diberikan 4 atau 5 gr secara IM kemudian selanjutnya 4 gr IM tiap 6 jam. Pada pasien ini diberikan SM40% 5 gr dalam RD5 tiap 6 jam IM boka-boki apabila kontraindikasi tidak ada. Pada pasien ini tidak didapatkan kontraindikasi seperti menghilangnya refleks patella, distress napas, atau oligouria(produksi urin