laporan kasus

41
LAPORAN KASUS vertigo disusun dalam rangka penugasan blok saraf Disusun oleh: Nama/NIM: Ninda Devita 08711236 Kelompok: 16 Tutor: dr. Wahyu FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Upload: ninda-devita

Post on 09-Aug-2015

169 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS

LAPORAN KASUS

vertigo

disusun dalam rangka penugasan blok saraf

Disusun oleh:

Nama/NIM:

Ninda Devita 08711236

Kelompok: 16

Tutor: dr. Wahyu

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2010

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Page 2: LAPORAN KASUS

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayahnya

sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penugasan ini. Sholawat serta salam kami

panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari jaman

kegelapan menuju nikmatnya Islam.

Penugasan kami kali ini berjudul “Diabetes Melitus” yang disusun sebagai penugasan

blok Endokrin. Penugasan ini disusun berdasarkan pengamatan kami di Puskesmas Sawangan

II pada tanggal 2 Juni 2010.

Penugasan ini tidak akan kami selesaikan tanpa bantuan banyak pihak. Kami

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepala Puskesmas Sawangan

2. dr. sebagai pembimbing kami di Puskesmas Srumbung

3. dr. Nur Aisyah Jamil sebagai tutor kami dimana kami dapat berkonsultasi

4. Dan banyak pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu

Dalam penugasan ini mungkin banyak ditemukan kesalahan yang tidak kami sengaja

dan semoga itu menjadi masukan untuk kami ke depannya. Semoga penugasan ini dapat

memberi manfaat untuk banyak pihak, termasuk kami dalam memahami blok Endokrin ini.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

DAFTAR ISI

Page 3: LAPORAN KASUS

HALAMAN JUDUL………………………..i

KATA PENGANTAR………………………ii

DAFTAR ISI………………………………..iii

I. LAPORAN KASUS……………………1

II. PEMBAHASAN………………………..6

2.1 Anamnesis………………………6

Pemeriksaan Fisik……………….7

Pemeriksaan Penunjang………….8

Diagnosis…………………………9

Terapi……………………………10

III. PENUTUP……………………………….14

DAFTAR PUSTAKA………………………...15

LAMPIRAN

I. LAPORAN KASUS

Page 4: LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : Tuan A

Alamat : Jalan Pandega Marta No.52, Yogyakarta

Umur : 28 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal pemeriksaan : 13 September 2010

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Kepala pusing

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 1 tahun yang lalu merasa OS merasa kepalanya pusing. Pusing dirasakan

mendadak, terus-terusan, seperti dirinya diputar. Pusing dirasakan setelah lama menyetir

tanpa kacamata. Keluhan ini memberat jika posisi kepala berubah,seperti menengok,

menengadah, dan membungkuk sehingga OS tidak bisa beraktivitas. Dan keluhan membaik

jika OS beristirahat dengan kepala tidak berubah posisi dan menutup mata. OS juga

merasakan mual, tidak sampai muntah, dan kehilangan keseimbangan seperti mau jatuh saat

berjalan. Selain itu, OS merasakan matanya terasa berat, tanpa pandangan kabur ataupun

berbayang. OS tidak merasakan telinganya berdenging, susah mendengar, susah berbicara,

ataupun nyeri kepala yang berdenyut.

OS sudah pernah periksa ke dokter. Oleh dokter OS didiagnosis menderita penyakit

vertigo. Lalu oleh dokter disarankan untuk menghindari pemicu dan diberi beberapa macam

obat. Awalnya diberi mertigo, dramanin, dan merision. Dengan obat tersebut, keluhan

membaik tetapi perbaikan tersebut dicapai dengan jangka waktu yang cukup lama. Sekarang

OS diberi obat kapsul yang dimunum tiga kali sehari. Kapsul tersebut berisi paracetamol,

frisium, cafeine, vitamin B6, dan valisan B. Dengan obat ini, OS merasa keluhan lebih cepat

menghilang. Obat ini masih dikonsumsi sampai sekarang jika ada keluhan.

Anamnesis Sistem

Cerebrospinal : demam (-), pusing (+), penurunan kesadaran (-)

Kardiovaskuler : berdebar-debar (+), nyeri dada (-), keringat dingin (-)

Respirasi : sesak napas (-), batuk (-), pilek (-)

Digestiva : mual (+), muntah (-), susah menelan (-), BAB normal

Page 5: LAPORAN KASUS

Urogenital : BAK normal

Integumentum : gatal (-), kemerahan (-)

Musculoskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kelemahan otot (-)

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit yang sama (+) sejak tahun 2000. Keluhan ini dirasakan jika kurang

tidur ataupun terlalu lama di depan komputer. Biasanya keluhan ini berlangsung 3

sampai 7 hari. Keluhan ini tidak tentu dalam setahun, pernah dalam sebulan pasien

menderita satu kali.

Riwayat trauma (-)

Riwayat mondok (-)

Riwayat hipertensi dan diabetes melitus (-)

Riwayat terkena penyakit telinga (-)

Memakai kacamata, cylindris -0,75 kanan kiri

Riwayat tumor (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi di keluarga (-)

Ayah OS menderita diabetes melitus

Ibu juga memiliki keluhan yang sama

Riwayat tumor (-)

Lingkungan dan Kebiasaan

Lingkungan rumah bersih

Riwayat memakai obat-obatan tertentu (-)

Riwayat meminum alkohol (-)

Pola makan teratur, 3 kali sehari.

Sering berkerja sampai larut malam di depan komputer

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan Umum : sedang, kesadaran : compos mentis

Tanda vital :

TD : 120/80 mmHg Respirasi : 20 x/menit

Nadi : 80 x/menit Suhu : 37,5 C

Page 6: LAPORAN KASUS

Status lokalis

Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-), pemebsaran limfonodi (-), JVP 5+1cm

Thoraks :

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat, bekas luka (-), pergerakan nafas kiri-kanan

simetris

Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V garis midclavikula kiri, ketinggalan gerak napas

(-), fremitus sama kanan-kiri

Perkusi : batas jantung kanan di SIC IV midsternal

batas jantung kiri di SIC V midclavicula kiri

batas jantung atas di SIC II sternal kiri

sonir di kedua lapang paru

Auskultasi : S1 dan S2 terdengar, ronki basah (-), vesikuler (+)

Abdomen :

Inspeksi : bekas luka (-), benjolan (-), perut simetris

Auskultasi : peristaltic 5 x/menit

Perkusi : timpani di 4 kuadran, nyeri ketok (-)

Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri tekan lepas (-), ginjal tidak teraba, hepar tidak teraba,

lien tidak teraba

Ekstremitas : akral dingin (-), lemah otot (-)

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

1. Pemeriksaan Tingkat Kesadaran

GCS: E4, V5, M6= 15

2. Pemeriksaan refleks fisiologis

Refleks Biseps (+ normal/ + normal)

Refleks Triseps (+ normal/ + normal)

Refleks Brachioradialis (+ normal/ + normal)

Refleks Patella (+ normal/+ normal)

Refleks Achilles (+ normal/ + normal)

3. Pemeriksaan Refleks Patologis

Refleks Hoffma-tromner (-/-)

Refleks Babinski (-/-)

Page 7: LAPORAN KASUS

Refleks Chaddock (-/-)

Refleks Oppenheim (-/-)

Refleks Gordon (-/-)

Refleks Schaefer (-/-)

Refleks Rossolimo (-/-)

Refleks Mendel-Bechterew (-/-)

4. Pemeriksaan Sensibilitas

Sensasi taktil (+ normal/ + normal)

Sensasi nyeri superficial (+ normal/ + normal)

5. Pemeriksaan Klonus Otot

Klonus kaki (-/-)

Klonos paha (-/-)

6. Pemeriksaan motorik

Ekstremitas superior: gerak aktif/ gerak aktif

Kekuatan otot 5/ 5

Normotonus/ normotonus

Ekstremitas inferior: gerak aktif/ gerak aktif

Kekuatan otot 5/ 5

Normotonus/ normotonus

7. Pemeriksaan koordiansi

Pemeriksaan Romberg (-)

Test salah tunjuk (-)

PLANNING

1. Pemeriksaan penunjang

a. MRI

2.Penatalaksanaan

a. Farmakoterapi

-

b. Nonfarmakoterapi

DIAGNOSIS BANDING

1. Vertigo e.c kelelahan mata

2. Vertigo e.c gangguan pada sistem saraf sentral

3. Vertigo e.c neuronitis vestibular

Page 8: LAPORAN KASUS

DIAGNOSIS KERJA

Vertigo e.c kelelahan mata

TERAPI

Menurut dokter diberi:

1. Captopril 12,5 mg 2x1

2. Glibenklamid 1x1

3. Spopna sn 2x

Menurut kami diberi:

1.Tolbuntamid

2. Captopril

RENCANA TINDAKAN

1. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu dan puasa

2. Pemeriksaan profil lipid

3. Pemeriksaan faal ginjal

4. Pemeriksaan neurologi

5. Foto rontgen dada

EDUKASI

1. Pengaturan pola makan, karbohidrat dibatasi dan rendah lemak

2. Menjelaskan pentingnya kontrol berkala untuk mencegah progresifitas penyakit

3. Latihan jasmani yang rutin dan cukup akan memberikan pengaruh yang baik pada

kondisi pasien.

4. Pentingnya perawatan kaki untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada kaki

PROGNOSIS

Buruk

Page 9: LAPORAN KASUS

II. PEMBAHASAN

2.1 Alasan diagnosis

Adanya keluhan pusing merupakan gejala yang tidak khas dari suatu penyakit. Pusing

bisa diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu vertigo, presincope, dan sensasi kepala yang

abnormal (Daroff, 2005). Pada pasien ini terjadi pusing yang berputar seperti dirinya diputar

hal ini mengindikasikan adanya vertigo. Vertigo adalah keluhan yang ditandai dengan ilusi

bahwa lingkungan atau dirinya berputar (Celestino, 2007). Vertigo ini bisa terjadi karena

adanya gangguan pada sistem keseimbangan (Daroff, 2005). Sistem keseimbangan dalam

tubuh tersusun atas tiga sistem, yaitu sistem vestibular yang berada di telinga dalam, sistem

visual (retina dan korteks occipital), dan sistem propioseptik yang membawa informasi dari

sendi, kulit, dan reseptor otot (Daroff, 2005).

Sistem visual memegang peranan penting dalam sistem sensoris. Mata akan

membantu untuk tetap fokus pada titik utama dan memegang peranan penting untuk

mengatur jarak gerak (Dust, 1996). Sistem visual diatur oleh saraf kranial III, IV, dan VI

(Dust,1996). Impuls aferen saraf dari mata akan dibawa menuju korteks serebri (Dust, 1996).

Dan impuls eferen akan dibawa menuju otot-otot mata yang penting dalam fungsi retraksi

sehingga mata bisa melihat dengan jelas (Dust, 1996).

Sistem vestibular tersusun dari 3 kanalis semisirkularis dan otolit (sakulus dan

utrikulus) yang berperan sebagai reseptor sensori keseimbangan (Mumenthaler and Mattle,

2006). Krista pada kanalis semisirkularis mengatur akselerasi angular, seperti gerakan

berputar, sedangkan makula pada otolit mengatur akselerasi linear (Mumenthaler and Mattle,

2006). Sinyal dari sistem vestibularis akan dibawa oleh saraf vestibularis ke dalam nuklei

vestibular di dekat lantai ventrikel keempat (Dust, 1996). Dari sini saraf vestibular berganti

menjadi neuron kedua dan naik menuju serebelum dalam pedunculus cerebralis inferior. Ada

juga serabut yang menuju ke kortes serebri yang kemungkinan berperan untuk orientasi

kesadaran individu dalam ruangan (Dust, 1996). Dari nuklei juga keluar saraf menuju ke

dalam fascilus longitudinalis medialis yang juga menerima impuls dari saraf kranial III, IV,

dan VI yang merupakan saraf motorik mata sehingga fiksasi visula dapat dipertahankan

(Dust, 1996). Saraf tersebut juga mengembalikan stimuli eferen ke medula spinalis melalui

traktus vestibulospinalis untuk menjaga tonus otot sehingga dapat mempertahankan

keseimbangan (Dust, 1996).

Page 10: LAPORAN KASUS

Dan sistem propioseptik membawa impuls dari reseptor di fasia, sendi, dan jaringan

ikat (Dust, 1996). Impuls ini dihantarkan melalui batang otak menuju kortek serebri dan ada

yang hanya berupa sirkuit umpan balik (Dust, 1996).

Semua informasi dari ketiga sistem tersebut diolah dalam korteks serebri dan

menghasilkan keseimbangan tubuh (Daroff, 2005). Gangguan pada salah satu sistem

mangakibatkan gangguan keseimbangan (Daroff, 2005).

Sehingga etiologi vertigo bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu vestibular perifer,

vestibular sentral, dan non vestibular (Mumenthaler and Mattle, 2006). Vestibular perifer

dikarenakan gangguan pada organ vestibular (labirin) ataupun nervus vestibulocochlear

(Mumenthaler and Mattle, 2006). Vestibular perifer adalah etiologi terbanyak dari vertigo

(Daroff, 2005) Sedangkan vestibular sentral terdapat lesi di nukleus vestibular atau batang

otak (Mumenthaler and Mattle, 2006). Keduanya dapat terjadi karena infeksi, trauma, dan

tumor (Daroff, 2005). Pada non vestibular terjadi karena gangguan di luar vestibular, seperti

vertigo visual, vertigo psikogenik, vertigo cervikal (Mumenthaler and Mattle, 2006).

Setiap jenis vertigo mempunyai manifestasi yang khas. Hal ini yang dapat membantu

mendiagnosis penyakit yang diderita pasien. Seperti yang terlihat pada tabel berikut:

(Mumenthaler and Mattle, 2006)

Selain itu menurut Celestino (2007), vestibular perifer memiliki karakteristik nausea

dan vomiting yang berat, tinnitus, kehilangan pendengaran yang fluktuaktif,

ketidakseimbangan tubuh, sedikit defisit pada pemeriksaan neurologis, dan serangan yang

akut. Sedangkan pada vestibular sentral ditemukan nausea dan vomiting yang sedang, ataxia,

ada defisit pada pemeriksaan neurologis, gangguan pendengaran jarang terjadi, dan serangan

yang kronik.

Sedangkan menurut Lalwani (2007), diagnosis vertigo dapat dilihat dari lamanya

serangan berlangsung.

Page 11: LAPORAN KASUS

Table 56–2. Differential Diagnosis of Vertigo Based on the Timeframe of Vertigo and the Presence or Absence of Hearing Loss.

Time No Associated Hearing Loss Hearing Loss Present

Seconds Benign positional paroxysmal vertigo Perilymphatic fistulaCholesteatoma

Minutes Vertebral basilar insufficiencyMigraines

Hours Vestibulopathy Meniere disease

Days Vestibular neuronitis Labyrinthitis

Weeks Central nervous system disorders

Lyme disease

Multiple sclerosis

Acoustic neuroma

Autoimmune processes

Psychogenic

Berdasarkan uraian di atas, didapatkan beberapa diagnosis banding dan diagnosis

kerja:

1. Vertigo e.c kelelahan mata

Vertigo e.c kelelahan mata adalah salah satu jenis vertigo non vestibular di

mana penyebab vertigo tidak berasal dari sistem vestibular sentral maupun perifer

(Mumenthaler and Mattle, 2006). Dan pada pasien ini terdapat gangguan pada

mata. Mata adalah salah satu organ sensorik yang penting untuk sistem

keseimbangan. Untuk melihat objek dengan jelas, mata mempunyai daya

akomodasi dengan cara mencembungkan atau memipihkan lensa mata sehingga

bayangan jatuh tepat di retina (Guyton, 2007). Jika melihat benda jauh, maka otot-

otot siliaris di sekitas lensa mata akan berelaksasi sehingga terjadi pendataran

lensa dan akan terjadi hal sebaliknya jika melihat benda yang dekat (Goyton,

2007).

Pada pasien ini terdapat gangguan akomodasi mata, yaitu miopi. Miopi

merupakan gangguan akomodasi mata di mana bayangan tetap jatuh di depan

retina walaupun otot siliaris sudah berelaksasi maksimal (Guyton, 2007). Hal ini

terjadi karena jarak lensa yang terlalu jauh atau lensa mata yang terlalu kuat daya

biasnya (Guyton, 2007). Miopi menyebabkan seseorang tidak bisa melihat benda

yang jauh (Guyton, 2007). Orang dengan miopi mempunyai titik jauh yang

terbatas (Guyton, 2007).

Page 12: LAPORAN KASUS

Selain itu pemicu munculnya vertigo pada pasien adalah kurang tidur, terlalu

lama di depan komputer, dan menyetir tanpa kacamata. Saat menyetir, di depan

komputer, atau beraktivitas membutuhkan penglihatan yang fokus agar mata

sebagai salah satu organ keseimbangan dapat memberingan infoemasi yang tepat

tentang keadaan sekitar. Pasien ini mempunyai miopi sehingga otot siliaris harus

terus-terusan berelaksasi untuk menatap benda yang jauh sehingga terjadi

kelelahan otot siliaris sehingga bayangan tidak jatuh tepat di retina. Hal ini

menyebabkan mata tidak dapat memberikan informasi yang tepat ke korteks

serebri. Ketidaktepatan impuls ini menyebabkan terjadinya vertigo. Kelelahan

tubuh juga berkontibusi terhadap terjadinya vertigo. Saat tubuh lelah maka kontrol

refleks autonom untuk keseimbangan di batang otak akan menurun sehingga

timbul vertigo (Mumenthaler and Mattle, 2006).

Vertigo e.c kelelahan mata menjadi diganosis kerja dikarenakan pada pasien

ini ditemukan anusea dan vormiting yang ringan, tanpa gangguan pendengaran,

penglihatan, atau berbicara. Pada pemeriksaan neurologis juga tidak ditemukan

kelainan. Riwayat memakai kacamata dan adanya faktor pencetus yang

berhubungan dengan kelelahan mata menguatkan diagnosis.

2. Vertigo e..c gangguan pada sistem saraf sentral

Vertigo sentral adalah vertigo yang dikarenakan penyakit pada sistem saraf sentral

(Marill, 2009).Gangguan ini dapat berupa perdarahan dan iskemuk pada

serebelum, nukleus vestibular, dan bagian lain di batang otak. Hal ini terjadi pada

sistem arteri vertebrobasilar. Penyebab lain dapat berupa tumor, trauma, infeksi,

dan multiple skelrosis

Vertigo sentral menjadi diagnosis banding karena pada pasien terdapat nausea dan

vormiting yang tidak terlalu berat, tidak adanya gangguan pendengaran, dan

adanya riwayat DM pada keluarga yang merupakan salah satu fakroe resiko

terjadinya iskemuk arteri.

Namun, vertigo sentral dihilangkan dari diagnosis kerja karena pada pasien ini

tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan neurologis. Selain itu pada

anamnesis tidak ditemukan riwayat trauma, riwayat tumor, dan gangguan pada

saraf kranial lain seperti gangguan berbicara dan ngangguan melihat.

3. Vertigo e.c neuronitis vestibular

Page 13: LAPORAN KASUS

Neuronitis vestibular adalah disfungsi sistem vestibular perifer yang akut dan

diikuti oleh nausea, vormiting dan vertigo (Marill, 2009). Neuronitis vestibular ini

salah satu etiologi pada vertigo vestibularis perifer (Lalwin, 2007). Penyakit ini

disebabkan oleh infeksi virus, oklusi vaskular, dan mekanisme imunologik (Lalwin,

2007). Pada neuronitis vestibular, vertigo terjadi karena adanya kerusakan pada

nervus vestibular sehingga adanya kesalahan input ke sistem saraf sentral (Marill,

2009).

Neuronitis vestibular dijadikan diagnosis banding karena gejala penyakit ini

onsetnya mendadak, serangannya sedang sampai berat, serangan berlangsung

beberapa hari, vertigo bertambah seiring pergerakan kepala, tidak ada gangguan

pendengaran, dan pemeriksaan neurologis yang normal (Lalwin, 2007). Hal ini sesui

dengan kondisi pasien.

Namun, neuronitis vestibularis tidak dijadikan sebagai diagnosis kerja karena pada

pasien tidak ditemukan nausea dan vormiting yang berat, pemeriksaan koordinasi

yang negatif, dan yang paling penting tidak adanya riwayat infeksi.

2.2 Alasan Pemeriksaan Neurologis

a. Pemeriksaan Tingkat kesadaran

Pemeriksaan Tingkat Kesadaran harus dilakukan karena pada vertigo vestibularis

sentral terkadang terdapat penurunan kesadaran (Daroff, 2005). Hal ini

dikarenakan pada vertigo sentral bisa terdapat lesi di cerebelum atau di medula

oblongata (Daroff, 2005).

b. Pemeriksaan Refleks Fisiologis

Refleks fisiologis adalah refleks simpel yang melibatkan saraf aferen, medula

spinalis, dan saraf eferen. Integritas dari refleks bisa terganggu jika ada kerusakan

pada organ reseptor, saraf aferen, medula spinalis, saraf eferen, dan organ efektor.

Hal itu dapat menyebabkan refleks menurun atau hilang. Gangguan juga bisa

berasal dari kerusakan jalur piramidal diatas medula spinalis, yang secara normal

menginhibisi refleks fisiologis, sehingga timbul refleks yang hiperaktif (DeGowin,

2004). Karena vertigo sentral dapat terjadi kerusakan di batang otak, maka perlu

dilakukan pemeriksaan refleks fisiologis.

c. Pemeriksaan Sensibilitas

Page 14: LAPORAN KASUS

Pemeriksaan sensibilitas berfungsi untuk mencari adanya lesi di batang otak

karena lesi pada batang otak yang merupakan salah satu etiologi vertigo sentral

dapat menyebabkan gangguan sensibilitas (Mumenthaler and Mattle, 2006).

d. Pemeriksaan Refleks Patologis

Lesi pada jalur pyramidal pada bagian sentral akan mengakibatkan refleks

fisiologis yang hiperaktif dan refleks abnormal jika ada perangsangan (DeGowin,

2004). Hal ini yang menjadikan alas an perlunya pemeriksaan refleks patologis

untuk mengetahui apakah ada vertigo sentral.

e. Pemeriksaan Klonus Otot

Sistem saraf pusat berfungsi untuk menginhibisi refleks fisiologis. Kehilangan

fungsi inhibisi ini mengakibakan spasitas dan kontraksi yang ritmik dari kelompok

otot. Hal ini disebut dengan klonus yang dapat dibangkitkan dengan peregangan

otot tersebut (DeGowin, 2004). Sedangkan pada vertigo sentral terdapat lesi di

batang otak atau serebelum sehingga perlu dilakukan pemeriksaan refleks

patologis.

f. Pemeriksaan motorik

Adanya lesi pada sistem saraf sentral mengakibatkan kelainan pada pemeriksaan

motorik (DeGowin, 2004). Hal ini yang mendasari dilakukannya pemeriksaan

motorik untuk menghilangkan diagnosis banding karena vertigo sentral.

g. Pemeriksaan koordinasi

Pada pemeriksaan Romberg berfungsi untuk memeriksa adanya disfungsi dari

aparatus vestibular (DeGowin, 2004). Jika terdapat gangguan pada aparatus

vestibular, maka pasien akan kehilangan keseimbangan pada pemeriksaan ini.

Sedangkan Pemeriksaan salah tunjuk juga berfungsi untuk memeriksa adanya

gangguan pada aparatus vestibular. Jika pasien menderita lesi pada vestibular,

maka pasien tidak bisa mengulang kembali untuk menunjuk tangan pemeriksa saat

matanya terpejam (DeGowin, 2004). Kedua pemeriksaan ini berfungsi

menghilangkan diagnosis vertigo vestibularis perifer.

Selain itu seharusnya dilakukan pemeriksaan saraf cranial dan test stimulasi nystagmus.

Pemeriksaan saraf cranial berfungsi untuk mengetahui fungsi saraf cranial secara keseluruhan

karena penyebab vertigo tidak hanya berasal dari saraf kranial VII atau saraf

vestibulococlearis, tetapi bisa juga terjadi gangguan pada saraf mata (saraf III, IV, VI)

(Lalwani, 2007). Sedamgkan test stimulasi nystagmus berfungsi untuk membedakan

Page 15: LAPORAN KASUS

gangguan vestibularis peifer atau sentral (Lalwani, 2007). Jika ada vertigo perifer akan terjadi

nystagmus horizontal dan pada vertigo sentral akan terjadi nygtamous vertikal (Lalwani,

2007). Nygtamous ini bergerak dari sisi yang terkena lesi (Mumenthaler and Mattle, 2006).

Nygtamous ini terjadi karena impuls dari aparatus vestibular akan mencapai nukleus motorik

di otak sehingga terjadi gerakan abnormal dari bola mata (Mumenthaler and Mattle, 2006).

Nygtamous terdiri dari dua komponen, fase lambat dan fase cepat. Fase lambat merupakan

komponen patologik dari nystagmous, sedangkan fase cepat adalah refleks koreksi untuk

fiksasi (Mumenthaler and Mattle, 2006). Pada vertigo, nygtamous dapat dibangkitkan dengan

gerakan yang tiba-tiba pada aparatus vestibular (Mumenthaler and Mattle, 2006). Test

stimulasi nystagmus harus menggunakan kacamata Frenzel (Lalwani, 2007).

2.3 Alasan diagnosis banding

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang kami lakukan, kami menyimpulkan

beberapa penyakit yang mungkin diderita pasien:

1. Diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi neuropati, nefropati, dan penyakit jantung

koroner

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya

(Gustaviani, 2006). Kami menduga adanya diabetes militus karena adanya gejala klasik DM

pada pasien ini, yaitu polifagia, polidipsi, poliuria, dan penurunan berat badan (Gustaviani,

2006). Hal ini dapat dilihat pada anamnesis pasien mengeluhkan sering pipis terutama pada

malam hari (poliuria), sering haus walaupun sudah minum banyak (polidipsi), ingin makan

banyak (polifagia), dan penurunan berat badan dari 70kg menjadi 50kg selama 6 bulan.

Selain itu pasien juga mengeluhkan gejala lain yaitu lemas dan kesemutan.

Dari RPD didapatkan pasien dulu mengalami kelebihan berat badan, pola makan yang

tidak sehat, dan jarang berolahraga yang merupakan factor resiko DM. Umur pasien yang

sudah 80 tahun juga mempengaruhi adanya DM. Umur merupakan faktor penting yang

mempengaruhi prevalensi ataupun gangguan toleransi glukosa (Gustaviani, 2006).

Namun Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan,

maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan

diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah

Page 16: LAPORAN KASUS

dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan

untuk diagnosisDM. Ketiga dengan TTGO (PB PERKENI, 2006).

Pada pasien ini sudah dilakukan pemerikasan glukosa darah sewaktu kira-kira satu

bulan yang lalu di puskesmas, hasilnya kadar glukosa darah sewaktunya 329 mg/ dl.

Berdasarkan criteria di atas, dapat disimpulkan pasien memang menderita DM.

DM diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, dan DM tipe lain

(Gustaviani, 2006). Menurut kami, pasien kemungkinan menderita DM tipe 2. Hal ini

dikarenakan DM tipe 2 onset dimulai pada umur diatas 30 tahun dan biasanya pada pasien

obesitas (Guyton, 2008). Karakteristik ini sesuai dengan pasien kami. Nyonya T mulai

merasa keluhan pada tahun 1970, berarti saat umur pasien 40 tahun. Pasien juga memiliki

riwayat berat badan berlebih.

DM adalah penyakit yang progresif, di mana munculnya komplikasi sangat mungkin

pada penderitanya. Komplikasinya dapat bersifat akut ataupun kronik (Jameson, 2006).

Komplikasi akut bisa berupa ketoasidosis, hipoglikemia, ataupun hiperosmotik hiperglikemia

(Jameson, 2006). Sedangkan komplikasi kronisnya dapat berupa neuropati, nefropati,

penyakit jangtung koroner, ataupun retinopati (Jameson, 2006).

Pada pasien ini didapatkan adanya kesemutan di tangan dan kaki. Hal ini merupakan

salah satu manifestasi dari neuropati diabetik (Gustaviani, 2006). Selain itu nyeri pinggang

sampai ke punggung yang dirasakan juga merupakan manifestasi neuropati diabetik tipe

poliradiokulopati diabetic. Poliradiokulopati diabetik adalah suatu sindrom yang ditandai

dengan nyeri yang didistribusikan oleh satu atau lebih saraf motorik (Jameson, 2006).

Radikulopati truncal atau interkostal biasanya bermanifestasi nyeri pada dada atau abdomen

dan dapat menjalar sampai pinggang atau punggung (Jameson, 2006). Nyeri pada neuropati

bisa seperti ditusuk, disobek, atau ditikam (Gustavani, 2006).

Polineuropati distal juga ditemukan pada pasien ini. Kami dapat menyimpulkan hal

ini dari keluhan pasien luka yang sulit sembuh dan melemahnya nadi dorsalis pedis pada

pemeriksaan fisik. Neuropati akan mengubah distribusi tekanan pada kaki dikombinasikan

adanya mikroangiopati menyebabkan pelemahan nadi kemudian jika terjadi trauma luka

menjadi yang sulit sembuh sampai ulkus (Gustavani, 2006).

Pasien juga mengeluhkan buang air yang sering, volume berkurang, dan nokturia.

Keluhan ini kemungkinan karena adanya nefropati diabetik. Nefropati diabetik adalah

komplikasi kronik DM karena adanya kerusakan glomerulus dari ginjal (Gustavani, 2006).

Hiperglikemia yang kronik menyebabkan laju filtrasi glomerulus terus meningkat sehingga

terjadi penebalan membrane basalis sehingga menurunkan laju filtrasi glumerulus dan pada

Page 17: LAPORAN KASUS

stadium akhir akan terjadi gagal ginjal (Gustavani, 2006). Pada pasien ini terjadi poliuria dan

nokturia yang merupakan manifestasi klinis dari nefropati diabetik karena laju filtrasi

glomerulus yang meningkat.

Penyakit jantung koroner juga salah satu komplikasi dari DM. Hiperglikemia kronik

menyebabkan menurunnya Nitrat Oksida (NO) yang merupakan pelindung endotel sehingga

terjadi disfungsi endotel dan mempermudah terjadinya arterosklerosis pada pembuluh darah

(Gustavani, 2006). Adanya hipertensi pada pasien ini mempermudah terjadinya disfungsi

endotel dengan memediasi pembentukan radikal bebas yang berarti semakin mudah terjadi

penyakit jantung koroner (Gustavani, 2006). Penyakit jantung koroner dapat bermanifestasi

sebagai nyeri dada, sesak nafas, ataupun sinkop (Gustaviani, 2006). Pada pasien ini

didapatkan keluhan sesak nafas yang memberat saat tidur. Kemudian adanya takipneu,

kesulitan bernafas, ketertinggalan gerak, edema mata kiri, dan ronki basah menandakan

adanya gagal jantung yang merupakan akibat dari penyakit jantung koroner (Price, 2005).

Arterosklerosis yang kronik menyebabkan jantung harus berusaha keras untuk memompa

darah ke seluruh tubuh sehingga jantung mengalami kepayahan dalam mengkompensasi hal

ini (Price, 2005). Sehingga dapat terjadi kegagalan jantung terutama ventrikel kiri

menyebabkan tekanan pulmonal meningkat sehingga terjadi efusi pleura yang bermanifestasi

sebagai dipsnea, takipnea, ronki basah (Price, 2005).

2. Diabetes mellitus tipe 1 dengan komplikasi neuropati, nefropati, dan penyakit jantung

koroner

DM tipe 1 memiliki manifestasi klinis yang hampir sama dengan DM tipe 2. DM tipe

1 menimbulakan manifestasi klinis seperti polifagia, polidipasi, dan poliuria (Hussain, 2010).

Hal ini juga terdapat pada pasien ini. Selain itu DM tipe 1 juga dapat menimbulkan

komplikasi kronik ataupun akut (Hussain, 2010). Sehingga DM tipe 1 dapat dijadikan

diagnosis banding

3. Sindrom Metabolik

Sindrom metabolic adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas

jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai

kompensasi (Gustaviani, 2006). Menurut WHO, sindrom metabolic jika terdapat criteria

hipertensi, dislipidemia, obesitas, gangguan metabolisme glukosa (DM tipe 2 atau TGT), dan

mikroalbuminuria >20 g/menit (Gustaviani, 2006). Dan pada pasien ini terdapat hipertensi

(tekanan darah 150/100 mmHg) dan gangguan metabolism glukosa sehingga kami

menyimpulkan kemungkinan pasien ini menderita sindrom metabolic.

Page 18: LAPORAN KASUS

2.4 Alasan diagnosis kerja

Berdasarkan uraian di atas, diagnosis kerja kami adalah DM tipe 2 dengan komplikasi

neuropati, nefropati, dan penyakit jantung koroner. Kami menyingkirkan diagnosis DM tipe

1 karena onset penyakit yang diderita pasien ini pada umur sekitar 40 tahun, adanya

obesitas, dan tidak ada gangguan autoimun yang lain. Sedangkan sindrom metabolic dapat

ditegakkan jika terdapat DM tipe 2 dengan minimal dua kriteria (Gustaviani, 2006).

Sedangkan pada pasien ini hanya ditemukan hipertensi saja.

2.5 Penatalaksanaan

2.5.1 Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis yang dipilih oleh dokter adalah glibenklamid 1 kali sehari,

captopril 12,5 mg 2 kali sehari dan sirup spopna yang berisi paracetamol dan iosin.

a. Glibenklamid

Glibenklamid atau gliburid termasuk golongan sulfonylurea generasi II. Golongan

obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogeus, kerjanya merangsang sekresi insulin

dari granul sel-sel Langerhans pancreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan

ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel yang menimbulkan depolarisasi

membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. dengan terbukanya kanal Ca, maka

ion Ca++ akan masuk ke sel , merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi

sekresi insulin dengan jumlah ekuivalen dengan peptida-C. namun pada jangka panjang

atau dosis besar dapat menyebabkan hipoglikemia (Suherman, 2007).

Glibenklamid oral akan mengalami obsorpsi di intestin, dalam darah tidak terikat

protein plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya sekitar 2

jam (Suherman, 2007).

Efek sampingnya berupa hipoglikemik, mual, muntah, diare, gejala hematologik,

susunan saraf pusat, mata, dan sebagainya. Gangguan saluran cerna dapat berkurang

dengan menurunkan dosis, menelan obat bersama makanan atau membagi obat dalam

beberapa dosis (Suherman, 2007).

Gejala susunan saraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia, dan sebagainya.

Gejala hematologik seperti leukopenia dan agranulositosis. Hipoglikemia dapat terjadi

pada pasien yang tidak mendapat dosis tepat, tidak makan cukup atau dengan gangguan

fungsi hepar atau ginjal. Kecenderungan hipoglikemia pada orang tua disebabkan oleh

kompensasi berkurang dan asupan makanan yang cenderung kurang. Selain itu,

Page 19: LAPORAN KASUS

hipoglikemia tidak mudah dikenali pada orang tua karena timbul perlahan tanpa tanda

akut dan dapat menimbulkan disfungsi otak sampai koma (Suherman, 2007).

Glibenklamid tidak dianjurkan untuk pasien usia lanjut dan insufisiensi ginjal.

Dosis awal 2,5 mg bersama sarapan dan maksimal 15 mg (Suherman, 2007).

Obat ini dipilih karena harganya yang murah dan kondisi ekonomi OS. Tetapi

seharusnya obat ini tidak boleh diberikan sesuai dengan kontraindikasinya.

b. Captopril

Menurut Nafrialdi (2007), captopril termasuk golongan ACE-inhibitor yang

banyak digunakan untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung.

Oleh karena tekanan darah pasien yang cukup tinggi dan obat ini juga baik untuk

hipertensi pada diabetes dan nefropati diabetik yang dialami pasien maka obat ini

diberikan kepada pasien dengan harapan dapat menurunkan tekanan darahnya serta

memperlambat progresivitas dari nefropatinya.

c. Parasetamol

Efek analgesik parasetamol adalah menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan

sampai sedang serta menurunkan suhu tubuh. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh

karena itu parasetamol digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan

penghambat PG yang lemah. Efek iritasi erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat

demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Wilmana, 2007).

Sehingga dokter memberikan obat ini untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien.

Parasetamol diabsorpsi cepat melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam

plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini

tersebar di seluruh cairan tubuh dan di dalam plasma 25% parasetamol terikat protein

plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diekskresi melalui ginjal,

sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi

(Wilmana, 2007).

Sesuai dengan diagnosis kerjanya yaitu DM tipe II dengan komplikasi nefropati,

neuropati dan penyakit jantung koroner maka terapi yang dipilih haruslah tepat. Namun juga

harus berhati-hati mengingat pasien jarang memeriksakan gula darah dan tekanan darahnya

atau melakukan pemeriksaan penunjang lainnya. Menurut kami, terapi farmakologinya antara

lain sebagai berikut :

a. Tolbutamid

Page 20: LAPORAN KASUS

Tolbutamid termasuk golongan sulfonilurea generasi I. Tolbutamid dikemas

dalam bentuk tablet 250 dan 500 mg. Obat ini dengan cepat dioksidasi di dalam hati

menjadi bentuk inaktif dan diekskresim melalui ginjal. Oleh karena lama kerjanya

pendek (6-10 jam) dan masa paruhnya sekitar 4-7 jam, maka biasanya diberikan

dalam dosis terbagi. Dalam darah, 91-96% tolbutamid terikat protein plasma. Dosis

lazim harian adalah 1,5-3 g, namun sebagian pasien hanya memerlukan 250-500 mg

sehari. Reaksi toksik akut jarang terjadi, terutama berupa ruam kulit (Suherman,

2007).

Karena masa kerjanya yang pendek dan tidak bergantung pada fungsi ginjal,

tolbutamid merupakan obat yang paling aman untuk diberikan pada pasien usia lanjut

(Suherman, 2007).

b. ACE-inhibitor

ACE-inhibitor menghambat perubahan AT-I (angiotensin I) menjadi AT-II

(angiotensin II) sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain

itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar baradikinin dalam darah

meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi secara

langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan

menyebabkan ekskresi air dan natrium, dan retensi kalium (Nafrialdi, 2007).

Selain itu, ACE-inhibitor menurunkan retensi perifer tanpa diikuti refleks

takikardi. Besarnya penurunan tekanan darah pada pemberian akut sebanding dengan

tingginya kadar renin plasma. berkurangnya produksi AT-II akan mengurangi sekresi

aldosteron di korteks adrenal. Akibatnya terjadi ekskresi air dan natrium, sedangkan

kalium mengalami retensi sehingga ada tendensi terjadinya hiperkalemia terutama

pada gangguan fungsi ginjal (Nafrialdi, 2007).

Page 21: LAPORAN KASUS

Di ginjal ACE-inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga

meningkatkan aliran darah ginjal dan akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus. Pada

sirkulasi gromerulus, ACE-inhibitor menimbulkan vasodilatasi lebih dominan pada

arteriol eferen dibanding dengan arteriol aferen sehingga menurunkan tekanan

intraglomeruler. Efek ini dimanfaatkan untuk mengurangi proteinuria pada nefropati

diabetik dan sindrom nefrotik serta untuk memperlambat progresivitas nefropati

diabetik (Nafrialdi, 2007).

ACE-inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Obat

ini menunjukkan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin

sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia, dan obesitas. Selain

itu juga sangat baik untuk hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung

koroner dan lain sebagainya (Nafrialdi, 2007).

Efek sampingnya berupa hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, rash (10%),

edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria, efek teratogenik (Nafrialdi,

2007).

Captopril diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavailibilitas

70-75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsi sekitar 30%, oleh

karena itu captopril harus diberikan 1 jam sebelum makan. Captopril dimetabolisme

di hati dan eliminasinya melalui ginjal (Nafrialdi, 2007).

c. Paracetamol

Penulisan resep :

dr. XSIP.

Praktek : Rumah :Jl. Kaliurang Jl. ManokwariYogyakarta Condong Catur ,SlemanTelp. Telp.

Yogyakarta, Juni 2010

R/ Tolbutamid mg 500 No.XXX m.f.l.a. pulv. da in cap dtd No. S 3 d.d. cap I a.c

R/ Captopril mg 12,5 m.f.l.a. pulv. da in cap dtd No. XX S 2 d.d. cap I a.c.

R/ Paracetamol mg 500 m.f.l.a. pulv. d.t.d da in cap No. XXX S p.r. n. 3 d.d. cap I

Pro : Ny. TimbulUmur : 80 tahunAlamat : Piyungan Utara

Page 22: LAPORAN KASUS

2.5.2 Terapi Nonfarmakologis

Terapi nonfarmakologisnya adalah sebagai berikut :

1. Edukasi

Pengetahuan umum tentang diabetes seperti gejala, diagnosis, klasifikasi dan

macam pengobatan.

Evaluasi nutrisi dan pengembangan perencanaan makan (biasanya dilakukan oleh

dietisien), interaksi obat dan makanan, hubungan makanan dan kegiatan.

Hubungan latihan jasmani atau olahraga dan kemungkinan terjadinya hipoglikemi.

Pemantauan glukosa darah dan keton urin, pemilihan metode-metode

pemeriksaan, peralatannya, pencatatan data dan pemantauan sebagai sumber

informasi, perubahan atau penyesuaian perencanaan makan.

Sebab, gejala, pengobatan dan pencegahan terjadinya : hipoglikemia,

hiperglikemia dan ketoasidosis diabetik.

Sikap yang perlu diambil bila sedang sakit dan prosedur penanganan gawat

darurat.

Komplikasi menahun : deteksi, cara pengobatan, pencegahan dan rehabilitasi.

Pemeliharaan dan pemeriksaan gigi, kuku dan kulit secara teratur.

Page 23: LAPORAN KASUS

Fasilitas kesehatan yang tersedia, asuransi kesehatan, instansi, organisasi dan

lembaga yang berhubungan dengan diabetes mengenai fungsi, keuntungan dan

tanggung jawabnya.

Strategi perubahan perilaku, sasaran pengobatan, mengurangi faktor resiko dan

membantu mengatasi atau menyelesaikan masalah.

2. Perencanaan Makan

Makanan dianjurkan seimbang dengan komposisi energi dari karbohidrat, protein

dan lemak sebagai berikut : Karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak 20-

25%.

Prinsip :

a. Anjuran makanan seimbang seperti anjuran makan sehat pada umumnya

b. Tidak ada makanan yang dilarang, hanya dibatasi sesuai kebutuhan (tidak

lebih)

c. Menu sama dengan menu keluarga, gula dalam bumbu tidak dilarang

d. Teratur dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan

Prinsip pembagian porsi makanan sehari-hari :

a. Pola makan disesuaikan dengan kebiasaan makan pasien dan diusahakan porsi

tersebar sepanjang hari

b. Disarankan porsi terbagi (3 besar dan 3 kecil) :

- Makan pagi-makan selingan pagi

- Makan siang-makan selingan siang

- Makan malam-makan selingan malam

Perencanaan makan di bulan puasa :

a. Buka puasa : 50% dari kebutuhan energi sehari.

- Sebelum shalat maghrib : makanan ringan/segar

- Sesudah shalat maghrib : makanan padat/besar

b. Sesudah shalat tarawih : 10% dari kebutuhan energi sehari, berupa makanan

kecil.

c. Sahur : 40% dari kebutuhan energi sehari, berupa makanan padat/besar.

d. Untuk menghindari terjadinya hipoglikemia sebaiknya melambatkan waktu

sahur dan segera berbuka begitu tiba saatnya.

3. Latihan Jasmani

Manfaat :

Page 24: LAPORAN KASUS

a. Menurunkan kadar glukosa darah (mengurangi resistensi insulin,

meningkatkan sensitivitas insulin)

b. Menurunkan berat badan

c. Mencegah kegemukan

d. Mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi aterogenik, gangguan lipid

darah, peningkatan tekanan darah dan hiperkoagulasi darah

Berprinsip pada CRIPE

- Continuous

Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa berhenti.

Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien

melakukan jogging tanpa istirahat.

- Rythmical

Latihan olah raga harus dipilih yang berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan

relaksasi secara teratur.

Contoh : jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda, mendayung dan main

golf. Tenis atau bulu tangkis tidak memenuhi syarat karena banyak berhenti.

- Interval

Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat.

Contoh : jalan cepat diselingi jalan lambat, jogging diselingi jalan, dsb.

- Progressive

latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dan intensitas ringan

sampai sedang hingga mencapai 30-60 menit.

- Endurance

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti

jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.

Yang perlu diperhatikan sebelum latihan jasmani, lakukan :

a. Tentukan berat penyakit dan komplikasinya (penyakit jantung koroner,

hipertensi, gangguan penglihatan, gangguan fungsi ginjal dan hati, kelainan

kaki)

b. Susun program latihan jasmani sesuai berat penyakit dan tingkat kebugaran

Sasaran Heart Rate : 75-85% dari maximum Heart RateMaksimum Heart Rate : 220-umur

Page 25: LAPORAN KASUS

c. Kenakan sepatu yang sesuai, periksa kedua kaki setiap sebelum dan sesudah

latihan

d. Beri asupan makanan dan cairan yang cukup serta pemakaian obat-obatan

yang tepat

e. Pada latihan jasmani yang lama (> 1 jam) perlu asupan karbohidrat 10-15

gram (1/2 sendok makan gula pasir) setiap 30 menit

f. Lakukan Exercise Stress Test bagi mereka yang berusia > 40 tahun

g. Setiap latihan dimulai dengan peregangan/pemanasan dan diakhiri dengan

pendinginan/peregangan masing-masing 5-10 menit

h. Selalu ukur denyut nadi sebelum dan sesudah pemanasan. Ulangi lagi setelah

5 menit latihan inti. Setelah tercapai sasaran heart rate, intensitas

dipertahankan.

Hindari :

a. Berlatih pada suhu terlalu panas/dingin.

b. Bila kadar glukosa darah > 250 mg/dL, jangan melakukan latihan jasmani

berat (misal : bulu tangkis, sepak bola dan olah raga permainan yang lain).

c. Jangan teruskan bila ada gejala hipoglikemia.

Strategi menghindari Hipoglikemia :

a. Pelajari respon glukosa darah sendiri terhadap berbagai jenis latihan dengan

mengukur glukosa darah sesaat sebelum, selama dan segera setelah latihan.

b. Periksa glukosa darah sebelum dan sesudah latihan dalam kurun waktu 30

menit untuk mengetahui glukosa darah stabil atau tidak.

c. Latihan sebaiknya dilakukan 1-3 jam setelah makan.

d. Hindari berlatih pada saat insulin mencapai efek maksimal.

e. Perhatikan bahwa latihan akan meningkatkan kecepatan kerja insulin. Bila

menggunakan insulin, sebaiknya suntikan dilakukan di perut.

f. Saat berlatih, kurangi dosis insulin sampai sebesar 25%.

g. Selama atau setelah berlatih dengan keras/lama (>1 jam) perlu tambahan

makanan.

h. Perlu makanan tambahan hingga 24 jam sesudah latihan, bergantung pada

berat dan lama latihan.

Page 26: LAPORAN KASUS

h. PENUTUP

Diabetes mellitus adalah penyakit yang umum ditemukan saat ini. Berbagai penelitian

epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan

prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia (PB PERKENI, 2006). WHO memprediksi

adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun

mendatang (PB PERKENI, 2006). Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah

pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (PB

PERKENI, 2006). Karena itu dokter umum menjadi ujung tombak dalam pelayanan

kesehatan bagi penderita diabetes.

Berdasarkan PPK yang telah kami lakukan, kami menyimpulkan bahwa diagnosis dan

penatalaksaan yang awal akan mencegah progresifitas dari penyakit ini. Hal ini dibuktikan

pada pasien yang kami dapat, keterlambatan penanganan menimbulkan komplikasi yang

tidak ringan. Skreening terhadap orang-orang yang berisiko juga sangat penting untuk

mencegah timbulnya penyakit ini sehingga akan menghemat pengeluaran dan meningkatkan

kualitas kesehatan.

Selain itu sebagai dokter kita juga harus bisa menjaring pasien agar mau kontrol

secara rutin Karena memang proses kontrol mencegah terjadinya progresifitas penyakit ini.

Saran kami, sebagai dokter mungkin harus lebih aktif mengajak pasien untuk

memperhatikan perkembangan penyakitnya melalui kontrol berkala. Dan untuk pemerintah

selaku pemangku kepentingan untuk memperluas lagi cakupan jamkesmas agar pasien seperti

Page 27: LAPORAN KASUS

yang kami temui dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan tidak terbentur oleh

biaya.

DAFTAR PUSTAKA

Boulton, A., J., M., Kirsner, R., S., Vileikyte, L., Neuropathic Diabetic Foot Ulcers, New

England Journal Medicine, 2004;351:48-55.

Gustaviani, R, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, edisi 4, Balai Penerbit FK UI,

Jakarta.

Jameson, J.L., 2006, Harrison’s Endocrinology, Mc Graw Hill, New York.

Nafrialdi, 2007, Antihipertensi, Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Balai Penerbit FK UI,

Jakarta.

PB PERKENI, 2003, Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia, Jakarta.

Price, S.A., Wilson, L.M., 2005, Patofisologi: konsep klinis proses-proses penyakit, volume

2, edisi 6, EGC, Jakarta.

Suherman, S.K., 2007, Insulin dan Antidiabetik Oral, Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Balai

Penerbit FK UI, Jakarta.

William E. Boden, W., E., Taggart, D., P., Diabetes with Coronary Disease — A Moving

Target amid Evolving Therapies?, New England Journal Medicine, 2009;360;24 11.

Thielman, N.M., Guerrant, R.L., Acute Infectious Diarrhea, New England Journal Medicine,

2004;350:38-47.

Page 28: LAPORAN KASUS

Keith A Marill