laporan kasus
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
vertigo
disusun dalam rangka penugasan blok saraf
Disusun oleh:
Nama/NIM:
Ninda Devita 08711236
Kelompok: 16
Tutor: dr. Wahyu
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2010
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penugasan ini. Sholawat serta salam kami
panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari jaman
kegelapan menuju nikmatnya Islam.
Penugasan kami kali ini berjudul “Diabetes Melitus” yang disusun sebagai penugasan
blok Endokrin. Penugasan ini disusun berdasarkan pengamatan kami di Puskesmas Sawangan
II pada tanggal 2 Juni 2010.
Penugasan ini tidak akan kami selesaikan tanpa bantuan banyak pihak. Kami
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kepala Puskesmas Sawangan
2. dr. sebagai pembimbing kami di Puskesmas Srumbung
3. dr. Nur Aisyah Jamil sebagai tutor kami dimana kami dapat berkonsultasi
4. Dan banyak pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu
Dalam penugasan ini mungkin banyak ditemukan kesalahan yang tidak kami sengaja
dan semoga itu menjadi masukan untuk kami ke depannya. Semoga penugasan ini dapat
memberi manfaat untuk banyak pihak, termasuk kami dalam memahami blok Endokrin ini.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………..i
KATA PENGANTAR………………………ii
DAFTAR ISI………………………………..iii
I. LAPORAN KASUS……………………1
II. PEMBAHASAN………………………..6
2.1 Anamnesis………………………6
Pemeriksaan Fisik……………….7
Pemeriksaan Penunjang………….8
Diagnosis…………………………9
Terapi……………………………10
III. PENUTUP……………………………….14
DAFTAR PUSTAKA………………………...15
LAMPIRAN
I. LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Tuan A
Alamat : Jalan Pandega Marta No.52, Yogyakarta
Umur : 28 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal pemeriksaan : 13 September 2010
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kepala pusing
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 1 tahun yang lalu merasa OS merasa kepalanya pusing. Pusing dirasakan
mendadak, terus-terusan, seperti dirinya diputar. Pusing dirasakan setelah lama menyetir
tanpa kacamata. Keluhan ini memberat jika posisi kepala berubah,seperti menengok,
menengadah, dan membungkuk sehingga OS tidak bisa beraktivitas. Dan keluhan membaik
jika OS beristirahat dengan kepala tidak berubah posisi dan menutup mata. OS juga
merasakan mual, tidak sampai muntah, dan kehilangan keseimbangan seperti mau jatuh saat
berjalan. Selain itu, OS merasakan matanya terasa berat, tanpa pandangan kabur ataupun
berbayang. OS tidak merasakan telinganya berdenging, susah mendengar, susah berbicara,
ataupun nyeri kepala yang berdenyut.
OS sudah pernah periksa ke dokter. Oleh dokter OS didiagnosis menderita penyakit
vertigo. Lalu oleh dokter disarankan untuk menghindari pemicu dan diberi beberapa macam
obat. Awalnya diberi mertigo, dramanin, dan merision. Dengan obat tersebut, keluhan
membaik tetapi perbaikan tersebut dicapai dengan jangka waktu yang cukup lama. Sekarang
OS diberi obat kapsul yang dimunum tiga kali sehari. Kapsul tersebut berisi paracetamol,
frisium, cafeine, vitamin B6, dan valisan B. Dengan obat ini, OS merasa keluhan lebih cepat
menghilang. Obat ini masih dikonsumsi sampai sekarang jika ada keluhan.
Anamnesis Sistem
Cerebrospinal : demam (-), pusing (+), penurunan kesadaran (-)
Kardiovaskuler : berdebar-debar (+), nyeri dada (-), keringat dingin (-)
Respirasi : sesak napas (-), batuk (-), pilek (-)
Digestiva : mual (+), muntah (-), susah menelan (-), BAB normal
Urogenital : BAK normal
Integumentum : gatal (-), kemerahan (-)
Musculoskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kelemahan otot (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit yang sama (+) sejak tahun 2000. Keluhan ini dirasakan jika kurang
tidur ataupun terlalu lama di depan komputer. Biasanya keluhan ini berlangsung 3
sampai 7 hari. Keluhan ini tidak tentu dalam setahun, pernah dalam sebulan pasien
menderita satu kali.
Riwayat trauma (-)
Riwayat mondok (-)
Riwayat hipertensi dan diabetes melitus (-)
Riwayat terkena penyakit telinga (-)
Memakai kacamata, cylindris -0,75 kanan kiri
Riwayat tumor (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi di keluarga (-)
Ayah OS menderita diabetes melitus
Ibu juga memiliki keluhan yang sama
Riwayat tumor (-)
Lingkungan dan Kebiasaan
Lingkungan rumah bersih
Riwayat memakai obat-obatan tertentu (-)
Riwayat meminum alkohol (-)
Pola makan teratur, 3 kali sehari.
Sering berkerja sampai larut malam di depan komputer
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan Umum : sedang, kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
TD : 120/80 mmHg Respirasi : 20 x/menit
Nadi : 80 x/menit Suhu : 37,5 C
Status lokalis
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-), pemebsaran limfonodi (-), JVP 5+1cm
Thoraks :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat, bekas luka (-), pergerakan nafas kiri-kanan
simetris
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V garis midclavikula kiri, ketinggalan gerak napas
(-), fremitus sama kanan-kiri
Perkusi : batas jantung kanan di SIC IV midsternal
batas jantung kiri di SIC V midclavicula kiri
batas jantung atas di SIC II sternal kiri
sonir di kedua lapang paru
Auskultasi : S1 dan S2 terdengar, ronki basah (-), vesikuler (+)
Abdomen :
Inspeksi : bekas luka (-), benjolan (-), perut simetris
Auskultasi : peristaltic 5 x/menit
Perkusi : timpani di 4 kuadran, nyeri ketok (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri tekan lepas (-), ginjal tidak teraba, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba
Ekstremitas : akral dingin (-), lemah otot (-)
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
1. Pemeriksaan Tingkat Kesadaran
GCS: E4, V5, M6= 15
2. Pemeriksaan refleks fisiologis
Refleks Biseps (+ normal/ + normal)
Refleks Triseps (+ normal/ + normal)
Refleks Brachioradialis (+ normal/ + normal)
Refleks Patella (+ normal/+ normal)
Refleks Achilles (+ normal/ + normal)
3. Pemeriksaan Refleks Patologis
Refleks Hoffma-tromner (-/-)
Refleks Babinski (-/-)
Refleks Chaddock (-/-)
Refleks Oppenheim (-/-)
Refleks Gordon (-/-)
Refleks Schaefer (-/-)
Refleks Rossolimo (-/-)
Refleks Mendel-Bechterew (-/-)
4. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensasi taktil (+ normal/ + normal)
Sensasi nyeri superficial (+ normal/ + normal)
5. Pemeriksaan Klonus Otot
Klonus kaki (-/-)
Klonos paha (-/-)
6. Pemeriksaan motorik
Ekstremitas superior: gerak aktif/ gerak aktif
Kekuatan otot 5/ 5
Normotonus/ normotonus
Ekstremitas inferior: gerak aktif/ gerak aktif
Kekuatan otot 5/ 5
Normotonus/ normotonus
7. Pemeriksaan koordiansi
Pemeriksaan Romberg (-)
Test salah tunjuk (-)
PLANNING
1. Pemeriksaan penunjang
a. MRI
2.Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
-
b. Nonfarmakoterapi
DIAGNOSIS BANDING
1. Vertigo e.c kelelahan mata
2. Vertigo e.c gangguan pada sistem saraf sentral
3. Vertigo e.c neuronitis vestibular
DIAGNOSIS KERJA
Vertigo e.c kelelahan mata
TERAPI
Menurut dokter diberi:
1. Captopril 12,5 mg 2x1
2. Glibenklamid 1x1
3. Spopna sn 2x
Menurut kami diberi:
1.Tolbuntamid
2. Captopril
RENCANA TINDAKAN
1. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu dan puasa
2. Pemeriksaan profil lipid
3. Pemeriksaan faal ginjal
4. Pemeriksaan neurologi
5. Foto rontgen dada
EDUKASI
1. Pengaturan pola makan, karbohidrat dibatasi dan rendah lemak
2. Menjelaskan pentingnya kontrol berkala untuk mencegah progresifitas penyakit
3. Latihan jasmani yang rutin dan cukup akan memberikan pengaruh yang baik pada
kondisi pasien.
4. Pentingnya perawatan kaki untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada kaki
PROGNOSIS
Buruk
II. PEMBAHASAN
2.1 Alasan diagnosis
Adanya keluhan pusing merupakan gejala yang tidak khas dari suatu penyakit. Pusing
bisa diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu vertigo, presincope, dan sensasi kepala yang
abnormal (Daroff, 2005). Pada pasien ini terjadi pusing yang berputar seperti dirinya diputar
hal ini mengindikasikan adanya vertigo. Vertigo adalah keluhan yang ditandai dengan ilusi
bahwa lingkungan atau dirinya berputar (Celestino, 2007). Vertigo ini bisa terjadi karena
adanya gangguan pada sistem keseimbangan (Daroff, 2005). Sistem keseimbangan dalam
tubuh tersusun atas tiga sistem, yaitu sistem vestibular yang berada di telinga dalam, sistem
visual (retina dan korteks occipital), dan sistem propioseptik yang membawa informasi dari
sendi, kulit, dan reseptor otot (Daroff, 2005).
Sistem visual memegang peranan penting dalam sistem sensoris. Mata akan
membantu untuk tetap fokus pada titik utama dan memegang peranan penting untuk
mengatur jarak gerak (Dust, 1996). Sistem visual diatur oleh saraf kranial III, IV, dan VI
(Dust,1996). Impuls aferen saraf dari mata akan dibawa menuju korteks serebri (Dust, 1996).
Dan impuls eferen akan dibawa menuju otot-otot mata yang penting dalam fungsi retraksi
sehingga mata bisa melihat dengan jelas (Dust, 1996).
Sistem vestibular tersusun dari 3 kanalis semisirkularis dan otolit (sakulus dan
utrikulus) yang berperan sebagai reseptor sensori keseimbangan (Mumenthaler and Mattle,
2006). Krista pada kanalis semisirkularis mengatur akselerasi angular, seperti gerakan
berputar, sedangkan makula pada otolit mengatur akselerasi linear (Mumenthaler and Mattle,
2006). Sinyal dari sistem vestibularis akan dibawa oleh saraf vestibularis ke dalam nuklei
vestibular di dekat lantai ventrikel keempat (Dust, 1996). Dari sini saraf vestibular berganti
menjadi neuron kedua dan naik menuju serebelum dalam pedunculus cerebralis inferior. Ada
juga serabut yang menuju ke kortes serebri yang kemungkinan berperan untuk orientasi
kesadaran individu dalam ruangan (Dust, 1996). Dari nuklei juga keluar saraf menuju ke
dalam fascilus longitudinalis medialis yang juga menerima impuls dari saraf kranial III, IV,
dan VI yang merupakan saraf motorik mata sehingga fiksasi visula dapat dipertahankan
(Dust, 1996). Saraf tersebut juga mengembalikan stimuli eferen ke medula spinalis melalui
traktus vestibulospinalis untuk menjaga tonus otot sehingga dapat mempertahankan
keseimbangan (Dust, 1996).
Dan sistem propioseptik membawa impuls dari reseptor di fasia, sendi, dan jaringan
ikat (Dust, 1996). Impuls ini dihantarkan melalui batang otak menuju kortek serebri dan ada
yang hanya berupa sirkuit umpan balik (Dust, 1996).
Semua informasi dari ketiga sistem tersebut diolah dalam korteks serebri dan
menghasilkan keseimbangan tubuh (Daroff, 2005). Gangguan pada salah satu sistem
mangakibatkan gangguan keseimbangan (Daroff, 2005).
Sehingga etiologi vertigo bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu vestibular perifer,
vestibular sentral, dan non vestibular (Mumenthaler and Mattle, 2006). Vestibular perifer
dikarenakan gangguan pada organ vestibular (labirin) ataupun nervus vestibulocochlear
(Mumenthaler and Mattle, 2006). Vestibular perifer adalah etiologi terbanyak dari vertigo
(Daroff, 2005) Sedangkan vestibular sentral terdapat lesi di nukleus vestibular atau batang
otak (Mumenthaler and Mattle, 2006). Keduanya dapat terjadi karena infeksi, trauma, dan
tumor (Daroff, 2005). Pada non vestibular terjadi karena gangguan di luar vestibular, seperti
vertigo visual, vertigo psikogenik, vertigo cervikal (Mumenthaler and Mattle, 2006).
Setiap jenis vertigo mempunyai manifestasi yang khas. Hal ini yang dapat membantu
mendiagnosis penyakit yang diderita pasien. Seperti yang terlihat pada tabel berikut:
(Mumenthaler and Mattle, 2006)
Selain itu menurut Celestino (2007), vestibular perifer memiliki karakteristik nausea
dan vomiting yang berat, tinnitus, kehilangan pendengaran yang fluktuaktif,
ketidakseimbangan tubuh, sedikit defisit pada pemeriksaan neurologis, dan serangan yang
akut. Sedangkan pada vestibular sentral ditemukan nausea dan vomiting yang sedang, ataxia,
ada defisit pada pemeriksaan neurologis, gangguan pendengaran jarang terjadi, dan serangan
yang kronik.
Sedangkan menurut Lalwani (2007), diagnosis vertigo dapat dilihat dari lamanya
serangan berlangsung.
Table 56–2. Differential Diagnosis of Vertigo Based on the Timeframe of Vertigo and the Presence or Absence of Hearing Loss.
Time No Associated Hearing Loss Hearing Loss Present
Seconds Benign positional paroxysmal vertigo Perilymphatic fistulaCholesteatoma
Minutes Vertebral basilar insufficiencyMigraines
Hours Vestibulopathy Meniere disease
Days Vestibular neuronitis Labyrinthitis
Weeks Central nervous system disorders
Lyme disease
Multiple sclerosis
Acoustic neuroma
Autoimmune processes
Psychogenic
Berdasarkan uraian di atas, didapatkan beberapa diagnosis banding dan diagnosis
kerja:
1. Vertigo e.c kelelahan mata
Vertigo e.c kelelahan mata adalah salah satu jenis vertigo non vestibular di
mana penyebab vertigo tidak berasal dari sistem vestibular sentral maupun perifer
(Mumenthaler and Mattle, 2006). Dan pada pasien ini terdapat gangguan pada
mata. Mata adalah salah satu organ sensorik yang penting untuk sistem
keseimbangan. Untuk melihat objek dengan jelas, mata mempunyai daya
akomodasi dengan cara mencembungkan atau memipihkan lensa mata sehingga
bayangan jatuh tepat di retina (Guyton, 2007). Jika melihat benda jauh, maka otot-
otot siliaris di sekitas lensa mata akan berelaksasi sehingga terjadi pendataran
lensa dan akan terjadi hal sebaliknya jika melihat benda yang dekat (Goyton,
2007).
Pada pasien ini terdapat gangguan akomodasi mata, yaitu miopi. Miopi
merupakan gangguan akomodasi mata di mana bayangan tetap jatuh di depan
retina walaupun otot siliaris sudah berelaksasi maksimal (Guyton, 2007). Hal ini
terjadi karena jarak lensa yang terlalu jauh atau lensa mata yang terlalu kuat daya
biasnya (Guyton, 2007). Miopi menyebabkan seseorang tidak bisa melihat benda
yang jauh (Guyton, 2007). Orang dengan miopi mempunyai titik jauh yang
terbatas (Guyton, 2007).
Selain itu pemicu munculnya vertigo pada pasien adalah kurang tidur, terlalu
lama di depan komputer, dan menyetir tanpa kacamata. Saat menyetir, di depan
komputer, atau beraktivitas membutuhkan penglihatan yang fokus agar mata
sebagai salah satu organ keseimbangan dapat memberingan infoemasi yang tepat
tentang keadaan sekitar. Pasien ini mempunyai miopi sehingga otot siliaris harus
terus-terusan berelaksasi untuk menatap benda yang jauh sehingga terjadi
kelelahan otot siliaris sehingga bayangan tidak jatuh tepat di retina. Hal ini
menyebabkan mata tidak dapat memberikan informasi yang tepat ke korteks
serebri. Ketidaktepatan impuls ini menyebabkan terjadinya vertigo. Kelelahan
tubuh juga berkontibusi terhadap terjadinya vertigo. Saat tubuh lelah maka kontrol
refleks autonom untuk keseimbangan di batang otak akan menurun sehingga
timbul vertigo (Mumenthaler and Mattle, 2006).
Vertigo e.c kelelahan mata menjadi diganosis kerja dikarenakan pada pasien
ini ditemukan anusea dan vormiting yang ringan, tanpa gangguan pendengaran,
penglihatan, atau berbicara. Pada pemeriksaan neurologis juga tidak ditemukan
kelainan. Riwayat memakai kacamata dan adanya faktor pencetus yang
berhubungan dengan kelelahan mata menguatkan diagnosis.
2. Vertigo e..c gangguan pada sistem saraf sentral
Vertigo sentral adalah vertigo yang dikarenakan penyakit pada sistem saraf sentral
(Marill, 2009).Gangguan ini dapat berupa perdarahan dan iskemuk pada
serebelum, nukleus vestibular, dan bagian lain di batang otak. Hal ini terjadi pada
sistem arteri vertebrobasilar. Penyebab lain dapat berupa tumor, trauma, infeksi,
dan multiple skelrosis
Vertigo sentral menjadi diagnosis banding karena pada pasien terdapat nausea dan
vormiting yang tidak terlalu berat, tidak adanya gangguan pendengaran, dan
adanya riwayat DM pada keluarga yang merupakan salah satu fakroe resiko
terjadinya iskemuk arteri.
Namun, vertigo sentral dihilangkan dari diagnosis kerja karena pada pasien ini
tidak ditemukan gangguan pada pemeriksaan neurologis. Selain itu pada
anamnesis tidak ditemukan riwayat trauma, riwayat tumor, dan gangguan pada
saraf kranial lain seperti gangguan berbicara dan ngangguan melihat.
3. Vertigo e.c neuronitis vestibular
Neuronitis vestibular adalah disfungsi sistem vestibular perifer yang akut dan
diikuti oleh nausea, vormiting dan vertigo (Marill, 2009). Neuronitis vestibular ini
salah satu etiologi pada vertigo vestibularis perifer (Lalwin, 2007). Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi virus, oklusi vaskular, dan mekanisme imunologik (Lalwin,
2007). Pada neuronitis vestibular, vertigo terjadi karena adanya kerusakan pada
nervus vestibular sehingga adanya kesalahan input ke sistem saraf sentral (Marill,
2009).
Neuronitis vestibular dijadikan diagnosis banding karena gejala penyakit ini
onsetnya mendadak, serangannya sedang sampai berat, serangan berlangsung
beberapa hari, vertigo bertambah seiring pergerakan kepala, tidak ada gangguan
pendengaran, dan pemeriksaan neurologis yang normal (Lalwin, 2007). Hal ini sesui
dengan kondisi pasien.
Namun, neuronitis vestibularis tidak dijadikan sebagai diagnosis kerja karena pada
pasien tidak ditemukan nausea dan vormiting yang berat, pemeriksaan koordinasi
yang negatif, dan yang paling penting tidak adanya riwayat infeksi.
2.2 Alasan Pemeriksaan Neurologis
a. Pemeriksaan Tingkat kesadaran
Pemeriksaan Tingkat Kesadaran harus dilakukan karena pada vertigo vestibularis
sentral terkadang terdapat penurunan kesadaran (Daroff, 2005). Hal ini
dikarenakan pada vertigo sentral bisa terdapat lesi di cerebelum atau di medula
oblongata (Daroff, 2005).
b. Pemeriksaan Refleks Fisiologis
Refleks fisiologis adalah refleks simpel yang melibatkan saraf aferen, medula
spinalis, dan saraf eferen. Integritas dari refleks bisa terganggu jika ada kerusakan
pada organ reseptor, saraf aferen, medula spinalis, saraf eferen, dan organ efektor.
Hal itu dapat menyebabkan refleks menurun atau hilang. Gangguan juga bisa
berasal dari kerusakan jalur piramidal diatas medula spinalis, yang secara normal
menginhibisi refleks fisiologis, sehingga timbul refleks yang hiperaktif (DeGowin,
2004). Karena vertigo sentral dapat terjadi kerusakan di batang otak, maka perlu
dilakukan pemeriksaan refleks fisiologis.
c. Pemeriksaan Sensibilitas
Pemeriksaan sensibilitas berfungsi untuk mencari adanya lesi di batang otak
karena lesi pada batang otak yang merupakan salah satu etiologi vertigo sentral
dapat menyebabkan gangguan sensibilitas (Mumenthaler and Mattle, 2006).
d. Pemeriksaan Refleks Patologis
Lesi pada jalur pyramidal pada bagian sentral akan mengakibatkan refleks
fisiologis yang hiperaktif dan refleks abnormal jika ada perangsangan (DeGowin,
2004). Hal ini yang menjadikan alas an perlunya pemeriksaan refleks patologis
untuk mengetahui apakah ada vertigo sentral.
e. Pemeriksaan Klonus Otot
Sistem saraf pusat berfungsi untuk menginhibisi refleks fisiologis. Kehilangan
fungsi inhibisi ini mengakibakan spasitas dan kontraksi yang ritmik dari kelompok
otot. Hal ini disebut dengan klonus yang dapat dibangkitkan dengan peregangan
otot tersebut (DeGowin, 2004). Sedangkan pada vertigo sentral terdapat lesi di
batang otak atau serebelum sehingga perlu dilakukan pemeriksaan refleks
patologis.
f. Pemeriksaan motorik
Adanya lesi pada sistem saraf sentral mengakibatkan kelainan pada pemeriksaan
motorik (DeGowin, 2004). Hal ini yang mendasari dilakukannya pemeriksaan
motorik untuk menghilangkan diagnosis banding karena vertigo sentral.
g. Pemeriksaan koordinasi
Pada pemeriksaan Romberg berfungsi untuk memeriksa adanya disfungsi dari
aparatus vestibular (DeGowin, 2004). Jika terdapat gangguan pada aparatus
vestibular, maka pasien akan kehilangan keseimbangan pada pemeriksaan ini.
Sedangkan Pemeriksaan salah tunjuk juga berfungsi untuk memeriksa adanya
gangguan pada aparatus vestibular. Jika pasien menderita lesi pada vestibular,
maka pasien tidak bisa mengulang kembali untuk menunjuk tangan pemeriksa saat
matanya terpejam (DeGowin, 2004). Kedua pemeriksaan ini berfungsi
menghilangkan diagnosis vertigo vestibularis perifer.
Selain itu seharusnya dilakukan pemeriksaan saraf cranial dan test stimulasi nystagmus.
Pemeriksaan saraf cranial berfungsi untuk mengetahui fungsi saraf cranial secara keseluruhan
karena penyebab vertigo tidak hanya berasal dari saraf kranial VII atau saraf
vestibulococlearis, tetapi bisa juga terjadi gangguan pada saraf mata (saraf III, IV, VI)
(Lalwani, 2007). Sedamgkan test stimulasi nystagmus berfungsi untuk membedakan
gangguan vestibularis peifer atau sentral (Lalwani, 2007). Jika ada vertigo perifer akan terjadi
nystagmus horizontal dan pada vertigo sentral akan terjadi nygtamous vertikal (Lalwani,
2007). Nygtamous ini bergerak dari sisi yang terkena lesi (Mumenthaler and Mattle, 2006).
Nygtamous ini terjadi karena impuls dari aparatus vestibular akan mencapai nukleus motorik
di otak sehingga terjadi gerakan abnormal dari bola mata (Mumenthaler and Mattle, 2006).
Nygtamous terdiri dari dua komponen, fase lambat dan fase cepat. Fase lambat merupakan
komponen patologik dari nystagmous, sedangkan fase cepat adalah refleks koreksi untuk
fiksasi (Mumenthaler and Mattle, 2006). Pada vertigo, nygtamous dapat dibangkitkan dengan
gerakan yang tiba-tiba pada aparatus vestibular (Mumenthaler and Mattle, 2006). Test
stimulasi nystagmus harus menggunakan kacamata Frenzel (Lalwani, 2007).
2.3 Alasan diagnosis banding
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang kami lakukan, kami menyimpulkan
beberapa penyakit yang mungkin diderita pasien:
1. Diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi neuropati, nefropati, dan penyakit jantung
koroner
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya
(Gustaviani, 2006). Kami menduga adanya diabetes militus karena adanya gejala klasik DM
pada pasien ini, yaitu polifagia, polidipsi, poliuria, dan penurunan berat badan (Gustaviani,
2006). Hal ini dapat dilihat pada anamnesis pasien mengeluhkan sering pipis terutama pada
malam hari (poliuria), sering haus walaupun sudah minum banyak (polidipsi), ingin makan
banyak (polifagia), dan penurunan berat badan dari 70kg menjadi 50kg selama 6 bulan.
Selain itu pasien juga mengeluhkan gejala lain yaitu lemas dan kesemutan.
Dari RPD didapatkan pasien dulu mengalami kelebihan berat badan, pola makan yang
tidak sehat, dan jarang berolahraga yang merupakan factor resiko DM. Umur pasien yang
sudah 80 tahun juga mempengaruhi adanya DM. Umur merupakan faktor penting yang
mempengaruhi prevalensi ataupun gangguan toleransi glukosa (Gustaviani, 2006).
Namun Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan,
maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah
dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan
untuk diagnosisDM. Ketiga dengan TTGO (PB PERKENI, 2006).
Pada pasien ini sudah dilakukan pemerikasan glukosa darah sewaktu kira-kira satu
bulan yang lalu di puskesmas, hasilnya kadar glukosa darah sewaktunya 329 mg/ dl.
Berdasarkan criteria di atas, dapat disimpulkan pasien memang menderita DM.
DM diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, dan DM tipe lain
(Gustaviani, 2006). Menurut kami, pasien kemungkinan menderita DM tipe 2. Hal ini
dikarenakan DM tipe 2 onset dimulai pada umur diatas 30 tahun dan biasanya pada pasien
obesitas (Guyton, 2008). Karakteristik ini sesuai dengan pasien kami. Nyonya T mulai
merasa keluhan pada tahun 1970, berarti saat umur pasien 40 tahun. Pasien juga memiliki
riwayat berat badan berlebih.
DM adalah penyakit yang progresif, di mana munculnya komplikasi sangat mungkin
pada penderitanya. Komplikasinya dapat bersifat akut ataupun kronik (Jameson, 2006).
Komplikasi akut bisa berupa ketoasidosis, hipoglikemia, ataupun hiperosmotik hiperglikemia
(Jameson, 2006). Sedangkan komplikasi kronisnya dapat berupa neuropati, nefropati,
penyakit jangtung koroner, ataupun retinopati (Jameson, 2006).
Pada pasien ini didapatkan adanya kesemutan di tangan dan kaki. Hal ini merupakan
salah satu manifestasi dari neuropati diabetik (Gustaviani, 2006). Selain itu nyeri pinggang
sampai ke punggung yang dirasakan juga merupakan manifestasi neuropati diabetik tipe
poliradiokulopati diabetic. Poliradiokulopati diabetik adalah suatu sindrom yang ditandai
dengan nyeri yang didistribusikan oleh satu atau lebih saraf motorik (Jameson, 2006).
Radikulopati truncal atau interkostal biasanya bermanifestasi nyeri pada dada atau abdomen
dan dapat menjalar sampai pinggang atau punggung (Jameson, 2006). Nyeri pada neuropati
bisa seperti ditusuk, disobek, atau ditikam (Gustavani, 2006).
Polineuropati distal juga ditemukan pada pasien ini. Kami dapat menyimpulkan hal
ini dari keluhan pasien luka yang sulit sembuh dan melemahnya nadi dorsalis pedis pada
pemeriksaan fisik. Neuropati akan mengubah distribusi tekanan pada kaki dikombinasikan
adanya mikroangiopati menyebabkan pelemahan nadi kemudian jika terjadi trauma luka
menjadi yang sulit sembuh sampai ulkus (Gustavani, 2006).
Pasien juga mengeluhkan buang air yang sering, volume berkurang, dan nokturia.
Keluhan ini kemungkinan karena adanya nefropati diabetik. Nefropati diabetik adalah
komplikasi kronik DM karena adanya kerusakan glomerulus dari ginjal (Gustavani, 2006).
Hiperglikemia yang kronik menyebabkan laju filtrasi glomerulus terus meningkat sehingga
terjadi penebalan membrane basalis sehingga menurunkan laju filtrasi glumerulus dan pada
stadium akhir akan terjadi gagal ginjal (Gustavani, 2006). Pada pasien ini terjadi poliuria dan
nokturia yang merupakan manifestasi klinis dari nefropati diabetik karena laju filtrasi
glomerulus yang meningkat.
Penyakit jantung koroner juga salah satu komplikasi dari DM. Hiperglikemia kronik
menyebabkan menurunnya Nitrat Oksida (NO) yang merupakan pelindung endotel sehingga
terjadi disfungsi endotel dan mempermudah terjadinya arterosklerosis pada pembuluh darah
(Gustavani, 2006). Adanya hipertensi pada pasien ini mempermudah terjadinya disfungsi
endotel dengan memediasi pembentukan radikal bebas yang berarti semakin mudah terjadi
penyakit jantung koroner (Gustavani, 2006). Penyakit jantung koroner dapat bermanifestasi
sebagai nyeri dada, sesak nafas, ataupun sinkop (Gustaviani, 2006). Pada pasien ini
didapatkan keluhan sesak nafas yang memberat saat tidur. Kemudian adanya takipneu,
kesulitan bernafas, ketertinggalan gerak, edema mata kiri, dan ronki basah menandakan
adanya gagal jantung yang merupakan akibat dari penyakit jantung koroner (Price, 2005).
Arterosklerosis yang kronik menyebabkan jantung harus berusaha keras untuk memompa
darah ke seluruh tubuh sehingga jantung mengalami kepayahan dalam mengkompensasi hal
ini (Price, 2005). Sehingga dapat terjadi kegagalan jantung terutama ventrikel kiri
menyebabkan tekanan pulmonal meningkat sehingga terjadi efusi pleura yang bermanifestasi
sebagai dipsnea, takipnea, ronki basah (Price, 2005).
2. Diabetes mellitus tipe 1 dengan komplikasi neuropati, nefropati, dan penyakit jantung
koroner
DM tipe 1 memiliki manifestasi klinis yang hampir sama dengan DM tipe 2. DM tipe
1 menimbulakan manifestasi klinis seperti polifagia, polidipasi, dan poliuria (Hussain, 2010).
Hal ini juga terdapat pada pasien ini. Selain itu DM tipe 1 juga dapat menimbulkan
komplikasi kronik ataupun akut (Hussain, 2010). Sehingga DM tipe 1 dapat dijadikan
diagnosis banding
3. Sindrom Metabolik
Sindrom metabolic adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas
jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai
kompensasi (Gustaviani, 2006). Menurut WHO, sindrom metabolic jika terdapat criteria
hipertensi, dislipidemia, obesitas, gangguan metabolisme glukosa (DM tipe 2 atau TGT), dan
mikroalbuminuria >20 g/menit (Gustaviani, 2006). Dan pada pasien ini terdapat hipertensi
(tekanan darah 150/100 mmHg) dan gangguan metabolism glukosa sehingga kami
menyimpulkan kemungkinan pasien ini menderita sindrom metabolic.
2.4 Alasan diagnosis kerja
Berdasarkan uraian di atas, diagnosis kerja kami adalah DM tipe 2 dengan komplikasi
neuropati, nefropati, dan penyakit jantung koroner. Kami menyingkirkan diagnosis DM tipe
1 karena onset penyakit yang diderita pasien ini pada umur sekitar 40 tahun, adanya
obesitas, dan tidak ada gangguan autoimun yang lain. Sedangkan sindrom metabolic dapat
ditegakkan jika terdapat DM tipe 2 dengan minimal dua kriteria (Gustaviani, 2006).
Sedangkan pada pasien ini hanya ditemukan hipertensi saja.
2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis yang dipilih oleh dokter adalah glibenklamid 1 kali sehari,
captopril 12,5 mg 2 kali sehari dan sirup spopna yang berisi paracetamol dan iosin.
a. Glibenklamid
Glibenklamid atau gliburid termasuk golongan sulfonylurea generasi II. Golongan
obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogeus, kerjanya merangsang sekresi insulin
dari granul sel-sel Langerhans pancreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan
ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel yang menimbulkan depolarisasi
membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. dengan terbukanya kanal Ca, maka
ion Ca++ akan masuk ke sel , merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi
sekresi insulin dengan jumlah ekuivalen dengan peptida-C. namun pada jangka panjang
atau dosis besar dapat menyebabkan hipoglikemia (Suherman, 2007).
Glibenklamid oral akan mengalami obsorpsi di intestin, dalam darah tidak terikat
protein plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya sekitar 2
jam (Suherman, 2007).
Efek sampingnya berupa hipoglikemik, mual, muntah, diare, gejala hematologik,
susunan saraf pusat, mata, dan sebagainya. Gangguan saluran cerna dapat berkurang
dengan menurunkan dosis, menelan obat bersama makanan atau membagi obat dalam
beberapa dosis (Suherman, 2007).
Gejala susunan saraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia, dan sebagainya.
Gejala hematologik seperti leukopenia dan agranulositosis. Hipoglikemia dapat terjadi
pada pasien yang tidak mendapat dosis tepat, tidak makan cukup atau dengan gangguan
fungsi hepar atau ginjal. Kecenderungan hipoglikemia pada orang tua disebabkan oleh
kompensasi berkurang dan asupan makanan yang cenderung kurang. Selain itu,
hipoglikemia tidak mudah dikenali pada orang tua karena timbul perlahan tanpa tanda
akut dan dapat menimbulkan disfungsi otak sampai koma (Suherman, 2007).
Glibenklamid tidak dianjurkan untuk pasien usia lanjut dan insufisiensi ginjal.
Dosis awal 2,5 mg bersama sarapan dan maksimal 15 mg (Suherman, 2007).
Obat ini dipilih karena harganya yang murah dan kondisi ekonomi OS. Tetapi
seharusnya obat ini tidak boleh diberikan sesuai dengan kontraindikasinya.
b. Captopril
Menurut Nafrialdi (2007), captopril termasuk golongan ACE-inhibitor yang
banyak digunakan untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung.
Oleh karena tekanan darah pasien yang cukup tinggi dan obat ini juga baik untuk
hipertensi pada diabetes dan nefropati diabetik yang dialami pasien maka obat ini
diberikan kepada pasien dengan harapan dapat menurunkan tekanan darahnya serta
memperlambat progresivitas dari nefropatinya.
c. Parasetamol
Efek analgesik parasetamol adalah menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan
sampai sedang serta menurunkan suhu tubuh. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh
karena itu parasetamol digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan
penghambat PG yang lemah. Efek iritasi erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat
demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Wilmana, 2007).
Sehingga dokter memberikan obat ini untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien.
Parasetamol diabsorpsi cepat melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam
plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini
tersebar di seluruh cairan tubuh dan di dalam plasma 25% parasetamol terikat protein
plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diekskresi melalui ginjal,
sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi
(Wilmana, 2007).
Sesuai dengan diagnosis kerjanya yaitu DM tipe II dengan komplikasi nefropati,
neuropati dan penyakit jantung koroner maka terapi yang dipilih haruslah tepat. Namun juga
harus berhati-hati mengingat pasien jarang memeriksakan gula darah dan tekanan darahnya
atau melakukan pemeriksaan penunjang lainnya. Menurut kami, terapi farmakologinya antara
lain sebagai berikut :
a. Tolbutamid
Tolbutamid termasuk golongan sulfonilurea generasi I. Tolbutamid dikemas
dalam bentuk tablet 250 dan 500 mg. Obat ini dengan cepat dioksidasi di dalam hati
menjadi bentuk inaktif dan diekskresim melalui ginjal. Oleh karena lama kerjanya
pendek (6-10 jam) dan masa paruhnya sekitar 4-7 jam, maka biasanya diberikan
dalam dosis terbagi. Dalam darah, 91-96% tolbutamid terikat protein plasma. Dosis
lazim harian adalah 1,5-3 g, namun sebagian pasien hanya memerlukan 250-500 mg
sehari. Reaksi toksik akut jarang terjadi, terutama berupa ruam kulit (Suherman,
2007).
Karena masa kerjanya yang pendek dan tidak bergantung pada fungsi ginjal,
tolbutamid merupakan obat yang paling aman untuk diberikan pada pasien usia lanjut
(Suherman, 2007).
b. ACE-inhibitor
ACE-inhibitor menghambat perubahan AT-I (angiotensin I) menjadi AT-II
(angiotensin II) sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain
itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar baradikinin dalam darah
meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi secara
langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium, dan retensi kalium (Nafrialdi, 2007).
Selain itu, ACE-inhibitor menurunkan retensi perifer tanpa diikuti refleks
takikardi. Besarnya penurunan tekanan darah pada pemberian akut sebanding dengan
tingginya kadar renin plasma. berkurangnya produksi AT-II akan mengurangi sekresi
aldosteron di korteks adrenal. Akibatnya terjadi ekskresi air dan natrium, sedangkan
kalium mengalami retensi sehingga ada tendensi terjadinya hiperkalemia terutama
pada gangguan fungsi ginjal (Nafrialdi, 2007).
Di ginjal ACE-inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga
meningkatkan aliran darah ginjal dan akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus. Pada
sirkulasi gromerulus, ACE-inhibitor menimbulkan vasodilatasi lebih dominan pada
arteriol eferen dibanding dengan arteriol aferen sehingga menurunkan tekanan
intraglomeruler. Efek ini dimanfaatkan untuk mengurangi proteinuria pada nefropati
diabetik dan sindrom nefrotik serta untuk memperlambat progresivitas nefropati
diabetik (Nafrialdi, 2007).
ACE-inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif. Obat
ini menunjukkan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi insulin
sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia, dan obesitas. Selain
itu juga sangat baik untuk hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung
koroner dan lain sebagainya (Nafrialdi, 2007).
Efek sampingnya berupa hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, rash (10%),
edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria, efek teratogenik (Nafrialdi,
2007).
Captopril diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavailibilitas
70-75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsi sekitar 30%, oleh
karena itu captopril harus diberikan 1 jam sebelum makan. Captopril dimetabolisme
di hati dan eliminasinya melalui ginjal (Nafrialdi, 2007).
c. Paracetamol
Penulisan resep :
dr. XSIP.
Praktek : Rumah :Jl. Kaliurang Jl. ManokwariYogyakarta Condong Catur ,SlemanTelp. Telp.
Yogyakarta, Juni 2010
R/ Tolbutamid mg 500 No.XXX m.f.l.a. pulv. da in cap dtd No. S 3 d.d. cap I a.c
R/ Captopril mg 12,5 m.f.l.a. pulv. da in cap dtd No. XX S 2 d.d. cap I a.c.
R/ Paracetamol mg 500 m.f.l.a. pulv. d.t.d da in cap No. XXX S p.r. n. 3 d.d. cap I
Pro : Ny. TimbulUmur : 80 tahunAlamat : Piyungan Utara
2.5.2 Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologisnya adalah sebagai berikut :
1. Edukasi
Pengetahuan umum tentang diabetes seperti gejala, diagnosis, klasifikasi dan
macam pengobatan.
Evaluasi nutrisi dan pengembangan perencanaan makan (biasanya dilakukan oleh
dietisien), interaksi obat dan makanan, hubungan makanan dan kegiatan.
Hubungan latihan jasmani atau olahraga dan kemungkinan terjadinya hipoglikemi.
Pemantauan glukosa darah dan keton urin, pemilihan metode-metode
pemeriksaan, peralatannya, pencatatan data dan pemantauan sebagai sumber
informasi, perubahan atau penyesuaian perencanaan makan.
Sebab, gejala, pengobatan dan pencegahan terjadinya : hipoglikemia,
hiperglikemia dan ketoasidosis diabetik.
Sikap yang perlu diambil bila sedang sakit dan prosedur penanganan gawat
darurat.
Komplikasi menahun : deteksi, cara pengobatan, pencegahan dan rehabilitasi.
Pemeliharaan dan pemeriksaan gigi, kuku dan kulit secara teratur.
Fasilitas kesehatan yang tersedia, asuransi kesehatan, instansi, organisasi dan
lembaga yang berhubungan dengan diabetes mengenai fungsi, keuntungan dan
tanggung jawabnya.
Strategi perubahan perilaku, sasaran pengobatan, mengurangi faktor resiko dan
membantu mengatasi atau menyelesaikan masalah.
2. Perencanaan Makan
Makanan dianjurkan seimbang dengan komposisi energi dari karbohidrat, protein
dan lemak sebagai berikut : Karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak 20-
25%.
Prinsip :
a. Anjuran makanan seimbang seperti anjuran makan sehat pada umumnya
b. Tidak ada makanan yang dilarang, hanya dibatasi sesuai kebutuhan (tidak
lebih)
c. Menu sama dengan menu keluarga, gula dalam bumbu tidak dilarang
d. Teratur dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan
Prinsip pembagian porsi makanan sehari-hari :
a. Pola makan disesuaikan dengan kebiasaan makan pasien dan diusahakan porsi
tersebar sepanjang hari
b. Disarankan porsi terbagi (3 besar dan 3 kecil) :
- Makan pagi-makan selingan pagi
- Makan siang-makan selingan siang
- Makan malam-makan selingan malam
Perencanaan makan di bulan puasa :
a. Buka puasa : 50% dari kebutuhan energi sehari.
- Sebelum shalat maghrib : makanan ringan/segar
- Sesudah shalat maghrib : makanan padat/besar
b. Sesudah shalat tarawih : 10% dari kebutuhan energi sehari, berupa makanan
kecil.
c. Sahur : 40% dari kebutuhan energi sehari, berupa makanan padat/besar.
d. Untuk menghindari terjadinya hipoglikemia sebaiknya melambatkan waktu
sahur dan segera berbuka begitu tiba saatnya.
3. Latihan Jasmani
Manfaat :
a. Menurunkan kadar glukosa darah (mengurangi resistensi insulin,
meningkatkan sensitivitas insulin)
b. Menurunkan berat badan
c. Mencegah kegemukan
d. Mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi aterogenik, gangguan lipid
darah, peningkatan tekanan darah dan hiperkoagulasi darah
Berprinsip pada CRIPE
- Continuous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa berhenti.
Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien
melakukan jogging tanpa istirahat.
- Rythmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan
relaksasi secara teratur.
Contoh : jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda, mendayung dan main
golf. Tenis atau bulu tangkis tidak memenuhi syarat karena banyak berhenti.
- Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat.
Contoh : jalan cepat diselingi jalan lambat, jogging diselingi jalan, dsb.
- Progressive
latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dan intensitas ringan
sampai sedang hingga mencapai 30-60 menit.
- Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti
jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.
Yang perlu diperhatikan sebelum latihan jasmani, lakukan :
a. Tentukan berat penyakit dan komplikasinya (penyakit jantung koroner,
hipertensi, gangguan penglihatan, gangguan fungsi ginjal dan hati, kelainan
kaki)
b. Susun program latihan jasmani sesuai berat penyakit dan tingkat kebugaran
Sasaran Heart Rate : 75-85% dari maximum Heart RateMaksimum Heart Rate : 220-umur
c. Kenakan sepatu yang sesuai, periksa kedua kaki setiap sebelum dan sesudah
latihan
d. Beri asupan makanan dan cairan yang cukup serta pemakaian obat-obatan
yang tepat
e. Pada latihan jasmani yang lama (> 1 jam) perlu asupan karbohidrat 10-15
gram (1/2 sendok makan gula pasir) setiap 30 menit
f. Lakukan Exercise Stress Test bagi mereka yang berusia > 40 tahun
g. Setiap latihan dimulai dengan peregangan/pemanasan dan diakhiri dengan
pendinginan/peregangan masing-masing 5-10 menit
h. Selalu ukur denyut nadi sebelum dan sesudah pemanasan. Ulangi lagi setelah
5 menit latihan inti. Setelah tercapai sasaran heart rate, intensitas
dipertahankan.
Hindari :
a. Berlatih pada suhu terlalu panas/dingin.
b. Bila kadar glukosa darah > 250 mg/dL, jangan melakukan latihan jasmani
berat (misal : bulu tangkis, sepak bola dan olah raga permainan yang lain).
c. Jangan teruskan bila ada gejala hipoglikemia.
Strategi menghindari Hipoglikemia :
a. Pelajari respon glukosa darah sendiri terhadap berbagai jenis latihan dengan
mengukur glukosa darah sesaat sebelum, selama dan segera setelah latihan.
b. Periksa glukosa darah sebelum dan sesudah latihan dalam kurun waktu 30
menit untuk mengetahui glukosa darah stabil atau tidak.
c. Latihan sebaiknya dilakukan 1-3 jam setelah makan.
d. Hindari berlatih pada saat insulin mencapai efek maksimal.
e. Perhatikan bahwa latihan akan meningkatkan kecepatan kerja insulin. Bila
menggunakan insulin, sebaiknya suntikan dilakukan di perut.
f. Saat berlatih, kurangi dosis insulin sampai sebesar 25%.
g. Selama atau setelah berlatih dengan keras/lama (>1 jam) perlu tambahan
makanan.
h. Perlu makanan tambahan hingga 24 jam sesudah latihan, bergantung pada
berat dan lama latihan.
h. PENUTUP
Diabetes mellitus adalah penyakit yang umum ditemukan saat ini. Berbagai penelitian
epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan
prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia (PB PERKENI, 2006). WHO memprediksi
adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun
mendatang (PB PERKENI, 2006). Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah
pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (PB
PERKENI, 2006). Karena itu dokter umum menjadi ujung tombak dalam pelayanan
kesehatan bagi penderita diabetes.
Berdasarkan PPK yang telah kami lakukan, kami menyimpulkan bahwa diagnosis dan
penatalaksaan yang awal akan mencegah progresifitas dari penyakit ini. Hal ini dibuktikan
pada pasien yang kami dapat, keterlambatan penanganan menimbulkan komplikasi yang
tidak ringan. Skreening terhadap orang-orang yang berisiko juga sangat penting untuk
mencegah timbulnya penyakit ini sehingga akan menghemat pengeluaran dan meningkatkan
kualitas kesehatan.
Selain itu sebagai dokter kita juga harus bisa menjaring pasien agar mau kontrol
secara rutin Karena memang proses kontrol mencegah terjadinya progresifitas penyakit ini.
Saran kami, sebagai dokter mungkin harus lebih aktif mengajak pasien untuk
memperhatikan perkembangan penyakitnya melalui kontrol berkala. Dan untuk pemerintah
selaku pemangku kepentingan untuk memperluas lagi cakupan jamkesmas agar pasien seperti
yang kami temui dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan tidak terbentur oleh
biaya.
DAFTAR PUSTAKA
Boulton, A., J., M., Kirsner, R., S., Vileikyte, L., Neuropathic Diabetic Foot Ulcers, New
England Journal Medicine, 2004;351:48-55.
Gustaviani, R, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, edisi 4, Balai Penerbit FK UI,
Jakarta.
Jameson, J.L., 2006, Harrison’s Endocrinology, Mc Graw Hill, New York.
Nafrialdi, 2007, Antihipertensi, Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Balai Penerbit FK UI,
Jakarta.
PB PERKENI, 2003, Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia, Jakarta.
Price, S.A., Wilson, L.M., 2005, Patofisologi: konsep klinis proses-proses penyakit, volume
2, edisi 6, EGC, Jakarta.
Suherman, S.K., 2007, Insulin dan Antidiabetik Oral, Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Balai
Penerbit FK UI, Jakarta.
William E. Boden, W., E., Taggart, D., P., Diabetes with Coronary Disease — A Moving
Target amid Evolving Therapies?, New England Journal Medicine, 2009;360;24 11.
Thielman, N.M., Guerrant, R.L., Acute Infectious Diarrhea, New England Journal Medicine,
2004;350:38-47.
Keith A Marill